Penyaliban Yesus dan Kekerasan Struktura

Penyaliban Yesus dan Kekerasan Struktural
Oleh: Demianus Nataniel
Pendahuluan
Kematian Yesus di kayu salib menampilkan beberapa paradoks. Salah satunya ialah
bahwa kematian Yesus terjadi sebagai sebuah peristiwa yang dipandang memalukan. Jika dilihat
dari konstelasi kekuatan politik dan keagamaan orang-orang Yahudi di bawah kekuasaan
Romawi maka kematiannya menjadikan Yesus sebagai bagian dari kelompok pemberontak yang
kalah dan terkutuk. Cara pandang terhadap kematian Yesus ini diungkapkan dengan jelas oleh
Paulus dalam 1 Kor. 1:23, “tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orangorang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan”.
Namun demikian pada ayat-ayat berikutnya Paulus mengatakan, “Tetapi untuk mereka yang
dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan
hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang
lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia” (1 Kor. 1:24-25). Kematian Yesus kemudian
dipuja dan diperingati terus menerus oleh orang Kristen sebagai sebuah peristiwa yang
menggambarkan kasih Allah. Apa yang Paulus nyatakan mencerminkan keseriusan orang Kristen
dalam menampilkan peristiwa kematian Yesus sebagai yang agung dan mulia.1
Persoalan lainnya berkenaan salib Kristus adalah adanya fakta yang menunjukkan bahwa
pemaknaan terhadap salib Kristus telah menghasilkan persoalan kemanusiaan, dua di antaranya
yakni sikap anti Yahudi dan pembenaran terhadap penggunaan kekerasan.2 Pertanyaannya adalah
mengapa pemaknaan gereja mengenai salib Kristus sampai pada titik dapat melanggengkan
kekerasan, dan adakah cara lain untuk memaknai salib Kristus yang mendorong munculnya sikap

anti kekerasan? Dengan menelusuri pemaknaan salib Kristus melalui berbagai karya seni gereja,
serta dengan memperhatikan karya-karya yang dengan sadar dirancang melawan penggunaan
kekerasan makalah ini ingin menunjukkan bahwa pemaknaan terhadap salib Kristus berkenaan
dengan kekerasan hasilnya lebih ditentukan oleh sikap gereja berdasarkan kepentingannya yang
dipengaruhi oleh konteks sosialnya.
1 S. Mark Heim, Saved From Sacrifice: A Theology of the Cross (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans
Publishing Co., 2006), xi.
2 Theodore W. Jennings Jr., Transforming Atonement: A Political Theology of the Cross (Minneapolis: Fortress
Press, 2009), 10.

1

Sebelum membahas bagaimana salib Kristus dihadirkan dalam karya seni gereja dan
bagaimana para teolog memanfaatkan pemikiran Rene Girard mengenai hubungan kekerasan dan
pembentukan masyarakat, penting juga dilihat bagaimana pemaknaan salib Kristus oleh gereja
telah dianggap turut bertanggung jawab atas berbagai tradsi kemanusiaan.
Salib Kristus dan Kekerasan Gereja
Dalam perkembangan gereja sejak permulaan hingga saat ini, berbagai pemaknaan
mengenai salib Kristus telah bermunculan. Salah satu yang sangat mempengaruhi pemikiran
gereja hingga saat ini adalah sebagaimana yang diusung oleh Anselmus dari Canterbury.3 Dalam

karyanya yang berjudul Cur Deus Homo ia menjelaskan bahwa melalui kematian Yesus, Allah
menggantikan manusia dalam menjalani hukuman akibat dosa-dosanya. Pemikiran ini didasarkan
pada prinsip keadilan yang harus dijaga oleh Allah. Dosa manusia yang menyerang kehormatan
Allah mengharuskan dilaksanakannya hukuman bagi manusia. Namun karena begitu besar kasih
Allah bagi dunia ini maka hukuman itu diambil alih oleh Allah, yang dalam pelaksanaannya
mengambil rupa manusia. Dengan kata lain pengorbanan Yesus di kayu salib dimaknai sebagai
tebusan terhadap beban dosa yang seharusnya ditanggung oleh manusia.
Pemikiran sebagaimana disebutkan di atas menghasilkan tampilan ganda dari wajah
Allah. Di satu sisi Allah dihadirkan sebagai yang penuh kasih sehingga berkenan menjalani
penderitaan untuk manusia dan dunia, tetapi di sisi lain Allah juga dihadirkan sebagai yang
menuntut adanya hukuman, termasuk dengan jalan kekerasan. Wajah ganda yang terakhir inilah
yang menghasilkan berbagai penyimpangan perilaku orang Kristen, khususnya yang dilakukan
berdasarkan gagasan mengenai diijinkannya penggunaan kekerasan untuk tujuan tertentu yang
dianggap benar.
Tuduhan sebagaimana disebutkan di atas bukan tanpa alasan. Dalam bukunya yang
berjudul Violence, Hospitality, and The Cross, Hans Boersma tampaknya menyatakan bahwa
kekerasan dan hukuman yang ada di balik peristiwa salib Kristus tidak selamanya negatif. Di
dalamnya dia antara lain membahas model-model teori penebusan, terutama berdasarkan
metafor-metafor yang digunakannya.4 Boersma mengingatkan bahwa metafor yang digunakan
dalam teori-teori penebusan yang ada, termasuk yang ada dalam Alkitab, tidak dapat begitu saja

3 David A. Brondos, Paul On The Cross: Reconstructing The Apostle’s Story of Redemption (Minneapolis: Fortress
Press, 2006), 3.
4 Hans Boersma, Violence, Hospitality, and the Cross: Reappropriating the Atonement Tradition (Grand Rapids,
Michigan: Baker Academic Publishing, 2004), 99-132.

2

ditransfer ke dalam konteks bahasa yang baru, karena terikat dengan konteks kemunculannya.5
Yang lebih dapat dilakukan adalah memodifikasi model-model tersebut sedemikian rupa
sehingga menghasilkan sebuah teori penebusan yang dapat menjawab persoalan sesuai dengan
konteksnya saat ini. Dalam hal ini Boersma mengusulkan sebuah model yang berpusat pada
kesanggrahan atau hospitalitas Allah. Berkenaan dengan kesanggarahan atau hospitalitas Allah,
Boersma menyatakan bahwa kesanggrahan tidak dapat murni atau berdiri sendiri. Ada unsurunsur lain yang menyertai penyataannya, terutama subyek atau pelakunya. Oleh sebab itu
Boersma membedakan antara kesanggrahan yang Allah lakukan dengan yang manusia perbuat.
Kesanggrahan Allah tidak dapat dibatasi oleh sesuatu yang bersifat narsistik.6 Artinya,
kesanggrahan Allah tidak pernah berorientasi pada diri-Nya sendiri, tetapi untuk kepentingan
manusia atau ciptaan-Nya yang lain. Hal ini berbeda dengan kesanggrahan yang dinyatakan oleh
manusia. Keramahtamahan yang dinyatakan oleh manusia senantiasa melibatkan kepentingan
manusia. Jadi, jika Allah menggunakan kekerasan ataupun memberlakukan hukuman, itu bukan
semata-mata hanya memuaskan keinginan Allah semata, tetapi memuat kepentingan seluruh

ciptaan-Nya, termasuk manusia.
Upaya Boersma untuk memodifikasi model-model penebusan ke dalam sebuah model
yang menekankan kesanggrahan Allah diawali dengan menunjukkan bahwa di setiap model teori
penebusan yang ada terdapat unsur-unsur kesanggrahan Allah, termasuk dalam konsep hukuman
dan kekerasan. Gagasan ini mendasar sebab menurutnya hukuman dan kekerasan adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari salib Kristus. Keduanya tidak dapat diabaikan dan digantikan dengan
apapun karena faktanya itu memang terjadi. Namun demikian, di balik kekerasan dan hukuman
yang terjadi dalam salib Kristus, kesanggrahan Allah juga dinyatakan.7
Kemungkinan dipergunakannya kekerasan untuk tujuan yang dianggap benar berdasarkan
salib Kristus diungkapkan juga dalam kritikan kaum feminis yang umumnya melihat bahwa
pemahaman gereja yang menyatakan kesengsaraan dan kematian Yesus di kayu salib sebagai
bagian dari karya Allah untuk menebus dosa dunia, telah mendorong berlangsungnya
penindasan, termasuk tindak kekerasan terhadap orang-orang yang lemah.8 Pemahaman ini
dituduh telah membuat orang-orang Kristen memuja penderitaan dan menghalangi upaya-upaya
5 Hans Boersma, Violence, Hospitality, and the Cross: Reappropriating the Atonement Tradition, 107.
6 Ibid., 37.
7 Ibid., 154.
8 Joanne Carlson Brown & Rebecca Parker (peny.)., Christianity, Patriarchy and Abuse (New York: PilgrimPress,
1989), 2.


3

perlindungan dan pemulihan kaum yang teraniaya. Penderitaan akibat kekerasan juga kemudian
dipahami sebagai tanda ketaatan yang harus dialami sehingga segala usaha untuk memberontak
terhadap situasi demikian dinilai tidak kristiani.9
Selain terungkap dalam tuduhan kaum feminis, penggunaan kekerasan berdasarkan narasi
kesengsaraan dan penyaliban Yesus juga terungkap dalam dua dari tiga kelompok yang menurut
Gil Bailie, sebagaimana dipaparkan oleh Mark Heim, terinspirasi oleh gagasan pembaharuan
yang terkandung dalam teks-teks Alkitab yang merupakan sastra apokalipitik.10 Kelompok
pertama disebut sebagai kaum reaksionis. Kelompok ini memandang bahwa dunia baru yang
tanpa kekerasan dapat benar-benar diwujudkan dengan melakukan kekerasan yang disakralkan,
sebagaimana yang ada dalam mitologi korban. Gagasan ini antara lain dapat dilihat dari gerakan
Nazi yang meyakini bahwa Jerman baru yang penuh kegemilangan akan muncul jika seluruh
rakyat Jerman bersama-sama memerangi dan menumpas biang keladi rusaknya kondisi Jerman,
yakni orang-orang Yahudi. Dengan memilih secara semena-mena teks-teks Alkitab, para
pendukung gerakan Nazi menempatkan salib Kristus bukan sebagai simbol yang mengangkat
suara korban, melainkan sebagai simbol yang memberi semangat tempur memerangi musuhmusuh Jerman. Yang paling diangkat dalam penyaliban Yesus adalah peran orang-orang Yahudi
sebagai yang bertanggung jawab atas kematian Yesus. Kristus kemudian tidak ditempatkan
sebagai guru dan juruselamat, melainkan sebagai pahlawan perang. Jika dalam mitologi korban
para pelaku tidak dibebani perasaan bersalah sama sekali karena menganggap kekerasan yang

dilakukannya semata-mata kehendak Allah, dalam gerakan Nazi jelas ada kesadaran bahwa
kekerasan adalah hal buruk yang harus dihentikan. Dengan kata lain, kekerasan adalah jalan
berat tetapi yang tidak dapat dihindari. Mereka yang berani ambil bagian dalam penumpasan
musuh-musuh Jerman adalah orang-orang yang berkorban demi kejayaan negara dan layak
diberikan penghormatan.
Kelompok kedua, yang disebut oleh Bailie sebagai kelompok revolusionis berkeyakinan
bahwa kekerasan dapat diberlakukan untuk menghancurkan struktur dan orang-orang yang
bertanggung jawab atas berlangsungnya praktek pengkambinghitaman. Contoh dari kelompok
ini adalah gerakan komunisme yang meyakini bahwa kaum kapitalis sebagai yang bertanggung
jawab atas kemiskinan dan perbedaan kelas. Jika gerakan Nazi memanfaatkaan struktur
pengkambinghitaman korban untuk meraih dunia baru maka komunisme bergerak berdasarkan
9 Elisabeth S. Fiorenza, Jesus: Miriam’s Child, Sophia’s Prophet (London: SCM Press, 1995), 106.
10 S. Mark Heim, Saved From Sacrifice: A Theology of the Cross , 263-275.

4

prinsip yang terkandung dalam kisah penyaliban Yesus, yakni mengangkat suara-suara korban.
Komunisme bergerak atas nama korban dalam melawan mereka yang dianggap sebagai pelaku
ketidakadilan dengan harapan hilangnya kelas-kelas di tengah masyarakat.
Salib Kristus dan Kekerasan dalam Karya Seni Gerejawi

Pemaknaan salib Kristus yang berimbas pada pembenaran terhadap kekerasan tercermin
juga dari sejarah kesenian dalam gereja yang menampilkan tema penderitaan dan kematian
Yesus. Dalam dua buah karyanya yang berjudul The Beauty of The Cross dan The Triumph of
The Cross, Richard Viladesau secara berurutan membahas hubungan pemikiran teologis dengan
karya-karya seni gereja khususnya berkenaan dengan salib Kristus. Dalam The Beauty of The
Cross, Viladesau mengangkat pemaknaan terhadap kesengsaraan dan kematian Yesus sejak masa
gereja perdana hingga awal renaisans. Pemaknaan gereja-gereja perdana terhadap kesengsaraan
dan penyaliban Yesus antara lain terungkap dalam teks-teks Perjanjian Baru. Namun demikian
Viladesau sepakat dengan pemahaman yang menyatakan bahwa narasi kesengsaraan dan
kematian Yesus dalam Injil-injil dan teks-teks Perjanjian Baru lainnya tidak dapat dipahami
sebagai laporan historis. Narasi-narasi tersebut merupakan bentuk penafsiran terhadap perisitiwaperistiwa yang sesungguhnya.11
Viladesau melanjutkan, bahwa walaupun narasi-narasi tersebut dikemas dengan berbeda
namun tidak ada di antaranya yang bertentangan. Sebaliknya, semua narasi tersebut sepakat
bahwa kesengsaraan dan kematian Yesus adalah bagian dari karya keselamatan yang dilakukan
Allah. Perbedaan muncul karena ada dua perspektif yang digunakan. Yang pertama adalah yang
menekankan kebangkitan sebagai simbol kemenangan Allah atas kuasa dosa, dan yang kedua
adalah yang menekankan penyaliban Yesus sebagai kesengsaraan yang diakibatkan oleh
perbuatan dosa manusia.12
Menurut Viladesau, dalam perkembangananya bapa-bapa gereja memanfaatkan kedua
perspektif dalam Perjanjian Baru sebagaimana disebutkan di atas.13 Contohnya adalah Athanasius

yang meyakini bahwa kematian Yesus di hadapan publik merupakan sesuatu yang perlu dan
penting. Tanpa kematian yang demikian maka kebangkitan Kristus sulit untuk dapat diterima
11 Richard Viladesau, The Beauty of The Cross: The Passion of Christ in Theology and the Arts-From the
Catacombs to the Eve of the Renaissance (New York: Oxford University Press, 2006), 20-22.
12 Ibid, 21-24.
13 Ibid, 25-33.

5

dan dipercaya. Oleh sebab itu kematian di kayu salib bukanlah cara yang dipilih oleh Yesus
walaupun dijalaninya dengan kerelaan.
Sampai dengan abad ke-5, penyaliban Kristus belum menjadi perhatian para seniman
Kristen. Salib lebih dimanfaatkan sebagai lambang yang diperagakan dalam ritual tertentu. Pada
zaman bapa-bapa gereja kesengsaraan dan kematian Yesus dipahami dalam bingkai inkarnasi
Allah yang menyelamatkan. Dalam terang inkarnasi, penyaliban Yesus lebih dipahami sebagai
kemuliaan Allah ketimbang persitiwa dan tanda kesengsaraan. Tema kemenangan Allah dalam
kematian Yesus antara lain tercermin dalam formulir liturgi gereja di Bizantium dan di Roma.
Sampai ketika penggambaran salib Kristus menjadi biasa, tema kemenangan menjadi
tema utama hingga abad pertengahan. Tema kemenangan tampaknya sesuai dengan semangat
militerisme dalam bentuk penaklukan orang-orang Bar-bar oleh kerajaan-kerajaan di Eropa

yang tekah menjadi Kristen. Selain semangat militerisme, karakter lain yang mempengaruhi
karya seni gereja hingga menghasilkan tema Kristus pemenang adalah dominasi kaum aristokrat.
Dominasi kaum aristokrat ini juga tercermin dalam pemikiran Anselmus yang menekankan
bahwa dosa telah menyerang kehormatan Allah, sehingga penyelamatan adalah upaya pemulihan
kehormatan Allah.
Pergeseran tema dalam menggambarkan penyaliban Yesus mulai terjadi pada awal
renaisans.14 Prinsip-prinsip renaisans yang lebih menghargai sumber-sumber kuno baik berupa
filsafat Yunani maupun juga teks-teks Alkitab menghasilkan perubahan karakter kesenian di
gereja. Penggambaran salib Yesus yang tadinya lebih bertemakan Kristus yang menang, berubah
menjadi Kristus yang menderita. Perubahan ini terjadi karena orang mulai mengingat kembali
bagaimana kisah-kisah dalam Alkitab mengenai Yesus yang menderita dan mati di kayu salib.
Persoalannya ialah bagaimana penyaliban Yesus ini harus ditampilkan? Di satu sisi, aliran
naturalisme yang mulai berkembang pada awal renaisans mendorong penggambaran salib
Kristus sebagaimana adanya. Jika ini diikuti maka seharusnya Yesus ditampilkan dengan lusuh
dan menyedihkan. Jika Yesus digambarkan lusuh dan menyedihkan maka ini tidak sesuai dengan
filsafat Neo Platonisme yang memahami bahwa apa yang tampak di luar mencerminkan gagasan
atau ide-ide yang ada di dalamnya. Jika Yesus diyakini sebagai inkarnasi Allah, dan dikandung
dari Roh Kudus, maka tubuh Yesus walaupun dalam penderitaan harus tetap ditampilkan
dengan indah. Oleh sebab itulah maka walaupun penyaliban Yesus mulai digambarkan dengan
14 Richard Viladesau, The Triumph of the Cross: The Passion of Christ in Theology and the Arts, From the

Renaissance to the Conter-Reformation (New York: Oxford University Press, 2008), 11-75.

6

mengangkat tema penderitaan, tetapi para seniman tetap berusaha menampilkannya seindah
mungkin. Selain itu, tema Kristus yang menderita tidak menghapus tema Kristus pemenang.
Keduanya hadir bersama-sama.
Seiring dengan menguatnya tema Yesus yang menderita, karya seni gereja juga dipenuhi
dengan lukisan-lukisan yang mengangkat penderitaan Maria ibu Yesus.15 Salah satu karya seni
yang menampilkan kehadiran Maria adalah Pieta. Dalam lukisan tersebut Maria digambarkan
sedang membopong tubuh Yesus sesaat setelah diturunkan dari salibnya. Perhatian pada
kesusahan Maria yang mengiringi penderitaan Yesus juga dimunculkan dalam gambaran
penyaliban Yesus dengan kain syal yang menutupi bagian vital tubuh Yesus. Diyakini bahwa
penyaliban Yesus merupakan puncak perendahan diri Allah yang sungguh-sungguh menjadi
manusia, sehingga saat disalibkan Yesus dalam keadaan telanjang. Kain syal yang kerap muncul
dalam lukisan Yesus yang disalib dipahami sebagai kain syal milik Maria. Kehadiran Maria yang
turut menderita ini muncul seiring dengan kesadaran bahwa penderitaan Kristus di kayu salib
dapat diapahami dan dirasakan dengan antara lain memahami dan merasakan bagaimana Maria
ibu Yesus juga menderita.
Hal lain yang menononjol berkenaan dengan penderitaan dan kematian Yesus dalam

kesenian gereja adalah rujukan terhadap kisah-kisah dalam Alkitab. Salah satunya adalah
lukisan-lukisan yang menggambarkan penyaliban Yesus bersama dua penyamun masing-masing
satu di samping kiri dan satu di samping kanannya. Berbagai variasi bermunculan berkenaan
dengan tema lukisan tersebut. Walaupun merujuk pada teks-teks Alkitab, lukisan-lukisan tersebut
kerapkali terjebak dalam gejala anakronistik. Dalam Crucifixon karya Jan van Eyck, kostum dan
suasana kota yang menjadi latar pemandangannya mencerminkan busana dan suasana kota abad
ke-15.16
Selain lukisan dan pahatan, jenis karya seni gerejawi yang juga memuat penderitaan dan
kematian Yesus adalah liturgi, drama, serta musik di gereja. Dalam liturgi, penderitaan dan
kematian Yesus terutama muncul dalam Perjamuan Kudus. Sebelum reformasi, Perjamuan
Kudus antara lain dipahami sebagai sarana meditasi atau perenungan mengenai penderitaan dan
penyaliban Yesus. Dalam perjamuan kudus umat ambil bagian secara sungguh-sungguh dalam
pengorbanan Yesus di kayu salib. Gabriel Biel menyebutkan ada empat pengaruh besar bagi
15 Richard Viladesau, The Triumph of the Cross: The Passion of Christ in Theology and the Arts, From the
Renaissance to the Conter-Reformation, 84-91.
16 Ibid, 69-71.

7

orang Kristen yang mengikuti perjamuan kudus jika dikaitkan dengan penderitaan Yesus.17
Pertama adalah mengingatkan umat pada penderitaan Yesus. Kedua adalah pengampunan dosa.
Ketiga menggelorakan cinta kasih sebagaimana pengorbanan Yesus yang merupakan wujud cinta
kasih Allah bagi dunia. Dan keempat adalah memampukan umat untuk siap menanggung
penderitaan di dalam dunia.
Sementara itu, drama yang biasa dibuat dalam sebuah liturgi di gereja, khususnya liturgi
Perjamuan Kudus, umumnya mengangkat tema seluruh karya penyelamatan Allah yang dimulai
sejak penciptaan dan kejatuhan manusia ke dalam dosa. Namun demikian, penderitaan dan
penyaliban Yesus mendapat tempat yang cukup banyak di dalamnya. Dalam hal ini tidak jarang
masuk pula unsur-unsur di luar kisah yang ada dalam Alkitab. Misalnya adalah ratapan Maria di
kaki Yesus. Hal ini menunjukkan perhatian penting juga pada penderitaan Maria yang mengiringi
penderitaan Yesus. Demikian juga dalam musik yang dimainkan di gereja. Tema-tema seputar
penderitaan dan kematian Yesus mendapat tempat yang cukup luas. Namun sayang, Viladesau
mencatat bahwa pada awal renaisans drama dan musik seputar penderitaan dan kematian Yesus
tidak jarang memuat hal-hal yang mendorong perasaan anti-Yahudi. Menghadirkan orang-orang
Yahudi yang diwakili oleh para pemimpinnya sebagai yang bertanggung jawab atas kesengsaraan
dan kematian Yesus.18
Perasaan anti-Yahudi juga dimunculkan pada periode berikutnya, yakni pada masa
reformasi. Dua seniman yang menjadi pendukung gerakan reformasi adalah Lukas Cranach dan
Albrech Durer.19 Tema yang paling digemari pada waktu itu adalah penyaliban Yesus. Hal ini
sejalan dengan pemikiran Luther yang menjadikan salib Kristus sebagai pusat dalam
berteologi.20 Hal lain yang menonjol berkenaan dengan karya seni mereka adalah penggunaan
teks-teks Alkitab yang mengisi lukisan-lukisannya. Model kesenian ini sejalan dengan gagasan
para reformator seperti Luther dan Calvin yang sangat menekankan peran Alkitab sebagai firman
Allah bagi gereja. Sayangnya, penggunaan teks-teks Alkitab itu dirancang dengan menempatkan

17 Richard Viladesau, The Triumph of the Cross: The Passion of Christ in Theology and the Arts, From the
Renaissance to the Conter-Reformation, 92.
18 Ibid, 99.
19 Ibid, 143-170.
20 Alister E. McGrath, Luther’s Theology of the Cross: Martin Luther’s Theological Breakthrough, 2nd edition (West
Sussex: John Wiley & Sons Ltd., 2011), 201-231.

8

orang-orang Yahudi sebagai yang paling bertanggung jawab terhadap penderitaan dan kematian
Yesus, yang pada gilirannya memunculkan perasaan anti-Yahudi.21
Pertanyaan lain yang penting untuk Lukas Cranach dan Albrech Durer adalah apakah
keberpihakan mereka terhadap gagasan reformasi didasarkan semata-mata pada kesamaan
pandangan dengan para reformator ataukah karena ada unsur lainnya, mengingat mereka adalah
orang-orang yang dekat dengan dunia percetakan. Bisa jadi keberpihakkan mereka
dilatarbelakangi juga oleh kepentingan usaha percetakan yang mereka miliki.
Pada masa reformasi, hubungan antara karya seni gereja dengan penggunaan kekerasan
juga muncul pada gerakan ikonoklasme, yakni gerakan penolakan terhadap penggunaan karya
seni di dalam gereja dalam bentuk pengrusakan dan pemusnahan karya-karya seni yang dipajang
di gereja. Sasaran utama pengrusakan dan pemusnahan pada waktu itu adalah gambar dan patung
Yesus yang disalibkan.
Di lain pihak, dalam tubuh gereja katolik terdapat gerakan reformasi tersendiri. Gagasan
reformasi katolik mengenai penggunaan karya seni di gereja tercermin antara lain dalam konsili
Trento yang memutuskan bahwa penggunaan karya seni di gereja adalah baik bukan karena
diyakini memiliki kekuatan ilahi, melainkan mendukung umat untuk memahami apa yang
dihantarkan oleh karya-karya seni tersebut. Jika ada yang melakukan penyimpangan dalam
penggunaan karya-karya seni tersebut akan diekskomunikasikan. Berkenaan dengan tuduhan
kalangan Protestan bahwa penggunaan berbagai karya seni di gereja sebagai bentuk
pemberhalaan, seorang Yesuit yang bernama Peter Casinius menjawabnya dengan menyatakan
bahwa tuduhan tersebut sama seperti tuduhan Yudas Iskariot terhadap Maria Magdalena yang
mencurahkan minyak narwastu di kepala Yesus.22
Sementara itu gerakan kontra reformasi lebih mengharapkan penggunaan gambar-gambar
kudus berfungsi melayani kepentingan keagamaan. Beberapa hal yang membedakan karyakarya seni gerakan kontra reformasi dengan gerakan reformasi adalah pemaknaan salib Kristus
sebagai yang tidak hanya berisi konsep keselamatan sebagai anugerah Allah, tetapi juga pada
peran kehendak bebas dan tanggung jawab manusia. Selain itu juga semakin menguatnya sosok

21 Richard Viladesau, The Triumph of the Cross: The Passion of Christ in Theology and the Arts, From the
Renaissance to the Conter-Reformation, 146.
22 Ibid, 206-207.

9

dan Maria, ibu Yesus dalam penderitaan Kristus yang disalibkan. Untuk dapat memahami
penderitaan Kristus maka perlu juga merasakan kepedihan Maria saat anaknya disalib.23
Penderitaan dan Kematian Yesus dalam Karya Seni Kontemporer
Upaya mengeksploitasi kekerasan dan perasaan anti Yahudi tidak hanya terjadi pada awal
renaisans ataupun pada masa reformasi. Pada saat ini, beberapa karya seni yang memanfaatkan
kisah penderitaan dan kematian Yesus terkesan membenarkan adanya kekerasan, salah satunya
adalah novel dan film yang berjudul The Passion of Christ, karya Mel Gibson. Di dalamnya
Gibson memberikan pemaknaan tersendiri terhadap penyaliban Yesus.
Dalam tulisannya yang berjudul The Gospel of the Cross Confronts the Powers, Ched
Myers memberikan catatan-catatan kritis khusunya mengenai alur kisah dalam film tersebut.24
Menurut Myers, film tersebut memuat roh anti-semit dalam struktur kisahnya. Dengan berusaha
mengharmoniskan kisah dalam Injil-injil Kanonik, Gibson menempatkan tanggung jawab utama
penyaliban Yesus pada para pemuka agama Yahudi. Upaya mengharmoniskan alur kisah Injilinjil kanonik ini menurut Myers telah menghasilkan Injil kelima yang sejatinya adalah anti atau
berlawanan dengan Injil yang sesungguhnya.
Dengan menggunakan Injil Markus sebagai bahan penafsirannya terhadap penyaliban
Yesus, Myers kemudian menunjukkan bahwa pemerintah Romawi yang sesungguhnya
berkompeten dan bertanggung jawab dalam peristiwa penyaliban Yesus. Model penghakiman
sekaligus penghukuman yang dijatuhkan pada Yesus jelas dilatarbelakangi oleh kepentingan
politik penguasa Romawi di Yudea.
Lebih lanjut Myers menunjukkan bahwa kegiatan Yesus dengan murid-muridnya harus
dipahami sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan yang berpihak pada kepentingan sosial
ekonomi masyarakat serta berkonflik dengan kepentingan penguasa Romawi. Catatan-catatan
terakhir ini menurut Myers tidak tampak dalam film The Passion of the Christ. Film ini menurut
Myers lebih mencerminkan pemahaman doketisme yang memahami Yesus sebagai Allah yang
sejati dan hanya berpura-pura sebagai manusia. Berangkat dari pemahaman ini film The Passion
of the Christ menghadirkan kematian Yesus sebagai yang terpisah dari kepentingan sosial politik
23 Richard Viladesau, The Triumph of the Cross: The Passion of Christ in Theology and the Arts, From the
Renaissance to the Conter-Reformation, 280-281.
24 Ched Myers, “The Gospel of the Cross Confronts the Powers”, dlm., Consuming Passion: Why The Killing of
Jesus Really Matters, peny. Simon Barrow & Jonathan Bartley (London: Darton, Longman and Todd Ltd., 2006),
61-72.

10

masyarakat Yahudi. Yesus sejak awal dihadirkan sebagai sosok yang telah ditunjuk dan
dipersiapkan Allah untuk mati di kayu salib dalam rangka menebus dosa-dosa manusia.
Menurut Myers, film tersebut juga mengabaikan kenyataan bahwa Yesus adalah bagian
dari masyarakat Yahudi yang berjuang untuk bangsanya.25 Gibson tidak menganggap penting
mengapa Yesus sampai menerima hukuman salib. Dari persepektif sejarah Palestiana abad
pertama, salib sesungguhnya merupakan simbol perjuangan orang-orang Yahudi, sebelum
kemudian bergeser menjadi simbol keselamatan orang-orang Kristen.
Berbeda dengan Myers yang melihat secara negatif terhadap The Passion of the Christ,
Anne Richards melihat hal yang lain. Dalam tulisannya yang berjudul Being Delivered From
Gibson’s Hell, Richards melihat sisi positif film tersebut karena mengajak penonton menyadari
kondisi dunia yang bagaikan neraka, yang harus diatasi bersama.26 Dalam film itu, aura neraka
dijadikan setting setting utama film tersebut, seolah menarik dunia neraka ke dalam dunia saat
ini. Bersama-sama dengan Yudas yang dihadirkan dalam film tersebut, penonton seoalah diajak
mengenal secara detil mengenai neraka.
Menurut Richards, Gibson tampaknya mengajak penonton turut merasakan semua
penderitaan yang dapat dialami oleh manusia yang penuh kejahatan. Di dalam dunia yang penuh
dengan kejahatan ini manusia terperangkap dalam ketidakberdayaan. Hanya Yesus yang sanggup
melawan dan membebaskan manusia dari perangkap ini. Tampak jelas dalam film tersebut
bahwa Yesus diutus Allah untuk membersihkan, memperbaiki, dan menyembuhkan sebagai
anugerah Allah bagi manusia.27
Dalam sorotan Richards, film tersebut dibuka dengan adegan Yesus di taman Getsemani
yang digambarkan mencekam, penuh hantu, disinari cahaya bulan penuh serta kegelapan biru di
sekelilingnya. Tidak lama kemudian iblis yang digambarkan sebagai sosok maskulin hadir
mengiringi pergumulan Yesus berkenaan dengan penderitaan dan kematian yang harus
diterimanya. Ketika iblis berkomentar bahwa beban keselamatan terlalu berlebihan untuk
seorang manusia, terkesan seolah-olah ia sudah mengetahui dalamnya penderitaan yang akan
ditanggung oleh Yesus.

25 Ched Myers, “The Gospel of the Cross Confronts the Powers”, dlm., Consuming Passion: Why The Killing of
Jesus Really Matters, peny. Simon Barrow & Jonathan Bartley (London: Darton, Longman and Todd Ltd., 2006),72.
26Anne Richards, “Being Delivered From Gibson’s Hell”, dlm., Consuming Passion: Why The Killing of Jesus
Really Matters, peny. Simon Barrow & Jonathan Bartley (London: Darton, Longman and Todd Ltd., 2006),74-80.
27 Ibid

11

Sepanjang adegan, aura neraka di dalam dunia terus dijaga termasuk adegan Barabbas
yang menyeringai dengan mata kelabu seperti anak iblis. Demikian juga dengan suasana
mencekam dalam adegan penyaliban. Iblis menemani Yesus sepanjang perjalanan menuju
Kalvari. Penjahat yang tidak percaya kepada kemesiasan Yesus ditampilkan dengan mata yang
jahat saat menatap Yesus.
Menurut Richards, Gibson tampaknya mengajak penonton turut merasakan semua
penderitaan yang dapat dialami oleh manusia yang penuh kejahatan. Di dalam dunia yang penuh
dengan kejahatan ini manusia terperangkap dalam ketidakberdayaan. Hanya Yesus yang sanggup
melawan dan membebaskan manusia dari perangkap ini. Tampak jelas dalam film tersebut
bahwa Yesus diutus Allah untuk membersihkan, memperbaiki, dan menyembuhkan sebagai
anugerah Allah bagi manusia. Apa yang menurut Richards penting dari film tersebut adalah
ajakan untuk menyadari kondisi dunia ini yang digambarkan seperti neraka. Berbagai
penderitaan dan kematian terjadi disebabkan oleh berbagai faktor yang adalah tantangan bagi
umat manusia untuk bersama-sama mengatasinya.
Dua komentar berbeda terhadap film yang dibuat oleh Mel Gibson ini menunjukkan cara
pandang terhadap sebuah peristiwa dengan sudut pandang yang berbeda. Myers dengan
keprihatinannya terhadap dampak negatif dari teologi salib yang terlanjur dianggap
melanggengkan kekerasan tampaknya berkesimpulan bahwa bahwa film tersebut turut
membenarkan adanya kekerasan. Di sisi lain, Richards berusaha menangkap sisi-sisi positif film
tersebut dengan menghubungkan aura neraka yang ditampilkan film tersebut, dan
menghubungkannya dengan kondisi kejahatan manusia saat ini. Pertanyaannya adalah apakah
semua penonton mampu melihat film tersebut sebagaimana Myers dan Richards? Bisa jadi
penonton memiliki kesimpulan yang berbeda satu sama lain. Yang pasti kesimpulan apapun akan
menentukan cara pandang berikutnya tentang dunia ini. Oleh sebab itu penting bagi gereja untuk
dengan sadar merancang pemaknaan salib Kristus agar dapat meminimalkan, atau bahkan
menghapus sama sekali kemungkinan adanya pemaknaan yang dapat membenarkan penggunaan
kekerasan. Berikut ini adalah usaha-usaha untuk memaknai penyaliban Yesus yang dengan sadar
dirancang untuk melawan penggunaan kekerasan.

12

Girardian dan Jalan Baru
Seorang ilmuwan yang layak untuk diperhatikan berkenaan dengan upaya melawan
kekerasan dalam kehidupan beragama adalah Rene Girard. Salah satu pemikirannya yang
mendapat perhatian banyak kalangan termasuk para teolog adalah adanya mekanisme kambing
hitam dalam ibadat korban di setiap agama.28 Girard menjelaskan bahwa salah satu penentu
terbentuknya budaya adalah adanya persaingan di antara sesama manusia karena masing-masing
memiliki kemampuan dan hasrat untuk meniru yang disebut dengan mimesis. Persaingan yang
dilatarbelakangi oleh mimesis ini pada gilirannya dapat menimbulkan konflik, termasuk
kekerasan dalam kehidupan manusia. Kondisi ini harus diselesaikan. Alih-alih menghilangkan
kekerasan untuk mengatasi persoalan yang ada, manusia malah melakukan kekerasan berikutnya
melalui sebuah mekanisme kambing hitam. Dalam hal ini kekerasan tidak dihilangkan tapi
diselesaikan dengan kekerasan lainnya yang disakralkan. Dalam mekanisme kambing hitam, ada
korban yang harus dihadirkan untuk dijadikan sasaran kutuk dan kemarahan masyarakat dengan
tuduhan telah melakukan tindakan yang paling mengancam tatanan masyarakat. Posisi korban
menjadi sangat unik. Di satu sisi dibutuhkan dan bahkan dimuliakan, tetapi di sisi lain dijadikan
sasaran hujatan dan objek kekerasan. Dengan dihadirkannya korban, di harapkan tatanan
masyarakat yang terganggu dapat dipulihkan.
Dengan memperhatikan pemikiran Girard sebagaimana disebutkan di atas, beberapa
teolog mengupas teks-teks Alkitab yang berbicara tentang kematian Yesus di kayu salib.
Penggunaan teori Girard ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa teks-teks Alkitab banyak
berbicara mengenai ibadat korban. Dan dalam pembahasan mengenai penyaliban Yesus, bahasabahasa yang digunakan banyak yang mengambil konteks ibadat korban.
Salah seorang teolog yang memanfaatkan teori Girard dalam membahas penyaliban
Yesus adalah Mark Heim. Dalam bukunya yang berjudul Saved From Sacrivice: A Theology of
the Cross, Heim menyatakan bahwa setidaknya ada dua hal penting yang dapat dicermati dalam
memahami penyaliban Kristus.29 Pertama adalah berkenaan dengan pandangan Girard yang
menunjukkan bahwa korban dipahami sebagai jalan keluar bagi persoalan nyata di tengah
masyarakat. Pemahaman ini dapat dipakai sebagai alat untuk merekonstruksi pemahaman gereja
mengenai Yesus Kristus sebagai korban penebusan dosa sejak masa gereja mula-mula dan pada
28 Bdk. Rene Girard, Things Hidden Since the Foundation of the World, terj. Stephen Bann & Michael Meteer
(Stanford, California: Stanford University Press, 1987), 299-305.; Rene Girard, I See Satan Fall Like Lightning, terj.
James G. William (Maryknoll, N.Y.: Orbis Books, 2001), 19-31.
29 S. Mark Heim, Saved From Sacrifice: A Theology of the Cross, 50.

13

masa berikutnya. Kedua, walaupun ada anggapan bahwa ibadat korban tidak sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi pola yang ada di dalam ibadat korban
ternyata terus berlangsung hingga saat ini. Penggunaan kekerasan oleh penguasa dan kelompok
tertentu dalam menyikapi berbagai fenomena sosial, serta adanya kelompok-kelompok yang
dijadikan kambing hitam atas berbagai persoalan di tengah masyarakat, merupakan tantangan
dalam merumuskan teologi salib yang relevan untuk saat ini.
Dengan memanfaatkan teori Girard, Heim menjelaskan bahwa dalam narasi penyaliban
Yesus sebagaimana tertuang dalam teks-teks Perjanjian Baru, terdapat unsur-unsur yang
terkandung dalam mitologi korban.30 Dalam surat Ibrani, peran Yesus sebagai korban
sebagaimana dipakai dalam ibadat korban agama Yahudi jelas sekali, Dalam surat-surat Paulus,
peran Yesus sebagai penebus dosa manusia juga muncul di banyak tempat. Dalam Injil-injil,
mitologi korban dalam penyaliban Yesus dimulai dengan gambaran Yerusalem yang terancam
kacau akibat berkumpulnya banyak orang menjelang hari raya Paskah orang Yahudi. Kehadiran
Yesus yang dikambinghitamkan sebagaimana layaknya dalam mitologi korban sangat kentara.
Yesus dikenai tuduhan mengancam tatanan masyarakat, yakni bukan hanya melawan penguasa
politik, tetapi juga dianggap menghujat Allah. Kutukan dan kekerasan dijatuhkan sepenuhnya
kepada Yesus. Harapan terciptanya perdamaian atau rekonsiliasi dalam prosesi pengorbanan
tercermin dari kekompakkan yang terjalin antara Herodes dan Pilatus, bahkan seluruh bangsa
Yahudi yang diwakili oleh para pemimpin agamanya, termasuk kaum Farisi dan Saduki. Padahal
dalam kenyataannya Herodes dan Pilatus memiliki hubungan yang tidak harmonis, demikian
juga dengan Farisi dan Saduki.
Namun demikian, jika dibandingkan dengan mitologi korban secara utuh maka terlihat
jelas perbedaan di antara keduanya. Dalam mitologi korban penderitaan korban seolah diabaikan
karena memang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Mereka yang melakukan kekerasan, dan
mengkambinghitamkan korban dianggap sebagai yang telah menjalani titah keagamaan dengan
baik. Di sisi lain, dalam narasi-narasi Kristen yang terungkap dalam Perjanjian Baru, kontras
antara pelaku kekerasan dan korban yang dikambinghitamkan sangat jelas. Peran pelaku
kekerasan sebagai yang jahat dinyatakan dengan tegas. Sebaliknya, posisi korban dihadirkan
sebagai yang benar atau sama sekali tidak bersalah dibeberkan dengan rinci. Penderitaan korban
dituturkan dengan detil, dan tanpa selubung. Bukan hanya itu, harapan untuk terjadinya
30 S. Mark Heim, Saved From Sacrifice: A Theology of the Cross, 107-114.

14

perdamaian setelah prosesi korban tidak terjadi. Dalam Injil Markus, para murid dikisahkan
sangat ketakutan. Konflik tidak terselesaikan. Mark Heim menjelaskan bahwa ini adalah bentuk
penelanjangan dan penolakan terhadap praktek pengorbanan dan pengkambinghitaman. Bukan
hanya itu, narasi-narasi Kristen mengenai penyaliban Yesus bukan sekadar penelanjangan
kejahatan dan dosa di balik tradisi korban, tetapi juga penegasan tentang ketidak efektifannya.
Korban tidak mati. Yesus bangkit. Pengorbanan gagal dan tidak perlu diteruskan.
Dari paparan sebagaimana disebutkan di atas, Mark Heim sesungguhnya ingin
menyatakan bahwa peristiwa penyaliban sebagaimana yang dipaparkan dalam teks-teks
Perjanjian Baru seharusnya dapat dijadikan sebagai sumber penolakan terhadap penggunaan
kekerasan. Pertanyaannya adalah mengapa sampai terjadi hal yang sebaliknya, yakni penggunaan
narasi penyaliban Yesus untuk mendukung penggunaan kekerasan? Alasan utamanya adalah
masuknya kepentingan politik penguasa tatkala kekristenan diakuisisi oleh pemerintah Romawi,
dan ketika hukuman salib dihapuskan. Keduanya membuat peristiwa salib dilepaskan dari
sejarahnya.
Upaya menempatkan peristiwa penyaliban Yesus sebagai penolakkan terhadap kekerasan
juga disampaikan oleh J. Denny Weaver dalam bukunya The Nonviolent Atonement. Berangkat
dari teori penebusan yang berpijak pada peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus, Weaver
mengajukan sebuah teori yang bersumber pada teori klasik Christus Victor. Teorinya ini disebut
Narrative Christus Victor. Dalam uraiannya mengenai Narrative Christus Victor yang ditaruh
setelah pendahuluan, Weaver langsung menegaskan bahwa apa yang Yesus lakukan dan ajarkan
adalah anti kekerasan.31
Weaver juga mereview secara singkat tiga model atau motif teori penebusan yang telah
ada selama ini, yakni Christus Victor, Satisfaction, dan Moral Influence.32 Dari ketiga model atau
motif penebusan ini, Weaver memilih untuk melanjutkan model Christus Victor dengan lebih
mendasarkan diri pada teks-teks Alkitab sebagai dasar argumentasinya. Konsep pertarungan
kosmik yang ada dalam teori Christus Victor digeser menjadi pertarungan Yesus melawan
kuasa-kuasa kejahatan dalam wujud para penguasa yang korup dan menindas.
Yang menarik dari uraiannya saat menjelaskan Narrative Christus Victor adalah bahwa
Weaver tidak mulai percakapannya dengan membahas kematian Yesus, tetapi dengan
31 J.Denny Weaver, The Nonviolent Atonement (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2001),
12,13, 36.
32 Ibid, 14-18.

15

menganalisa kitab Wahyu. Dengan menganalisa kitab Wahyu, Weaver menunjukkaan bagaimana
seluruh bagian kitab Wahyu menggambarkan pertarungan kekuatan Allah melawan kuasa iblis,
Kristus melawan anti-Kristus, dengan kemenangan berada di pihak Allah atau Kristus. Uraian
inilah yang menjadi alasan mengapa motif Christus Victor tetap dipertahankan untuk
dikembangkan oleh Weaver. Catatan penting berdasarkan analisanya terhadap kitab Wahyu
adalah bahwa kekuatan jahat yang menjadi lawan Allah adalah sesuatu yang nyata terjadi dalam
sejarah manusia, yakni struktur kekuasaan yang ada di abad pertama, bukan abad keduapuluh
satu ini. Dengan kata lain Weaver menegaskan dimensi sosial-politik yang ada di balik
pertarungan Allah dan kuasa kejahatan yang digambarkan dalam kitab Wahyu. Selain itu Weaver
juga menyatakan bahwa berdasarkan analisanya terhadap kitab Wahyu, pertarungan yang Allah
lakukan melawan kuasa iblis dilakukan-Nya tanpa kekerasan.33 Dalam penjelasannya mengenai
penaklukan para penguasa dunia oleh penunggang kuda putih di pasal 19, pedang yang keluar
dari mulut penunggang kuda putih itu adalah firman Allah, bukan pedang dalam arti kekuatan
senjata yang membinasakan.
Setelah menganalisa kitab Wahyu, Weaver melanjutkannya dengan memaparkan secara
garis besar apa yang Yesus ajarkan dan lakukan sebagaimana dikisahkan dalam Injil-injil.
Dengan paparan tersebut Weaver menunjukkan bahwa pertarungan Allah melawan kekuatan
jahat sebagaimana digambarkan dalam kitab Wahyu cocok dengan apa yang Injil-injil kisahkan.
Sesuai dengan gambaran dalam kitab Wahyu, Injil-injil lebih menegaskan bahwa pertarungan
Allah dengan kuasa kejahatan berakhir dengan dibangunnya relasi baru yang damai, atau
rekonsiliasi dunia dengan Allah.34
Konsep pertarungan sebagaimana yang diungkapkan dalam kitab Wahyu dan juga Injilinjil juga sesuai dengan apa yang Paulus sampaikan dalam surat-suratnya. Selama ini bahasa
yang digunakan oleh Paulus mengenai salib, pengorbanan dan pemenuhan hukum Taurat,
seringkali dipahami dalam kerangka motif satisfaction. Allah menjadi manusia untuk menjaga
agar kehormatan Allah dipulihkan dari kerusakan akibat dosa manusia, sekaligus menjaga agar
keadilan Allah tetap terjaga. Dengan mengacu pada karya J. Christian Baker dan Raymund
Schwager, Weaver menyatakan bahwa motif satisfaction tidak sesuai dengan pengajaran Paulus.
Sebaliknya, apa yang diuraikan oleh Paulus mendukung gagasan utama motif Christus Victor.35
33 J. Denny Weaver, The Nonviolent Atonement, 20.
34 Ibid, 34.
35 J. Denny Weaver, The Nonviolent Atonement, 49-58.

16

Intisari pemikiran apokaliptik Paulus dan keyakinannya pada kebangkitan Kristus hanya dapat
dipahami berdasarkan konsep pertarungan kosmik Allah dan kuasa kejahatan yang
mengejawantah dalam kekuatan politik Romawi. Demikian juga dengan surat Ibrani, praktek
ibadat korban dalam Perjanjian Lama, bahkan sejarah bangsa Israel. Semuanya memuat
dukungan terhadap motif Christus Victor daripada motif Satisfaction.
Dalam surat Ibrani, penggunaan bahasa yang berhubungan dengan ibadat korban tidak
dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa Yesus benar-benar sebagai korban yang menggantikan
dosa manusia sebagaimana dipikirkan Rene Gerard tentang ibadat korban Israel. Penggunaan
bahasa korban dalam surat Ibrani lebih merujuk pada peran sebagai imam agung yang menjadi
perantara antara Allah dan manusia. Sedangkan dalam ibadat korban bangsa Israel, sebagaimana
dipaparkan dalam kitab Imamat, tidak ada sama sekali petunjuk bahwa korban-korban yang
disampaikan dapat menghapus dosa Israel sepenuhnya. Penghapusan dosa tidak dapat dipenuhi
hanya oleh korban persembahan, tetapi oleh perubahan sikap dan perilaku Israel dari yang tidak
benar menjadi benar; dari yang mengkhianati keadilan menjadi pendukung keadilan. Dan dalam
sejarah bangsa Israel, motif Christus Victor dapat dilacak sejak pemanggilan Abraham untuk
kemudian dijadikan sebagai bangsa yang besar dan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di dunia.
Artinya, di balik pemanggilan Abraham, Allah berharap kehendak-Nya menjadi pedoman bagi
seluruh umat manusia di dunia ini.
Walaupun Weaver meneruskan salah satu gagasan dalam teori penebusan klasik, yakni
Christus Victor, namun demikian seluruh uraiannya diarahkan untuk mengatasi pemaknaan salib
Kristus yang terlanjur dianggap mendukung kekerasan. Penggunaan bahasa-bahasa yang
berhubungan dengan kekerasan seperti dalam kitab Wahyu oleh Weaver dengan sadar juga
diarahkan untuk membongkar praktek kejahatan yang harus dilawan bukan dengan kekerasan
sebagaimana judul bukunya The Nonviolent Atonement.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian sebagaimana disebutkan di atas, setidaknya ada tiga hal yang dapat
ditarik sebagai sebuah kesimpulan. Pertama, harus diakui bahwa pemaknaan terhadap salib
Kristus dalam prakteknya telah turut mendukung penggunaan kekerasan oleh orang-orang
Kristen. Berbagai gagasan teoritis termasuk juga teori-teori penebusan Kristen, maupun karyakarya seni gerejawi yang merekam kesengsaraan dan kematian Yesus, telah menunjukkan bahwa
17

kekerasan adalah bagian dari sejarah yang timbul akibat sebuah pemaknaan terhadap salib
Kristus. Kenyataan ini tidak perlu ditutupi tetapi harus disadari agar gereja mengetahui di mana
posisinya saat ini berkenaan dengan kekerasan. Hal ini penting mengingat pemahaman gereja
mengenai penggunaan kekerasan masih belum sepakat. Di satu sisi ada yang mengatakan bahwa
sebagaimana ajaran dan tindakan Yesus, gereja harus sepenuhnya menolak kekerasan seperti
yang dinyatakan oleh Weaver. Di sisi lain ada yang memahami bahwa kekerasan adalah hal yang
tidak dapat dihapuskan bahkan dalam hal tertentu dibutuhkan. Dasar pemikirannya antara lain
ialah karena Alkitab juga menunjukkan bagaimana Allah menggunakan kekerasan sebagai wujud
cinta kasih-Nya. Pemikiran yang terakhir ini antara lain dinyatakan oleh Boersma.
Kesimpulan yang kedua adalah bahwa masalah kekerasan dan penggunaannya lebih
ditentukan oleh sikap gereja berdasarkan kepentingan sosialnya. Pemaknaan-pemaknaan
terhadap salib Kristus tidak semata-mata merupakan hasil imajinasi para pembuatnya. Berbagai
gagasan teoritis maupun juga karya-karya seni gereja menunjukkan bahwa konteks sosial
pembuatannya sangat menentukan. Semangat militerisme dalam penaklukan atas orang-orang
Bar-bar oleh kerajaan-kerajaan di Eropa yang telah menjadi Kristen membuat gambaran Yesus
yang disalib tampil dengan tema Kristus pemenang. Lingkungan aristokrat tempat Anselmus
hadir telah menghasilkan teori penebusan yang bertemakan kehormatan Allah. Gagasan para
reformator yang didukung baik oleh para teolog maupun juga para seniman yang kemudian
melahirkan gerakan kontra reformasi dengan gagasan teoritis dan karya-karya seninya, juga
dipengaruhi bukan hanya pemikiran imajinatif mereka melainkan juga oleh kepentingankepentingan sosial lainnya. Dengan demikian, penggunaan ataupun penolakan terhadap
kekerasan adalah sikap yang harus diambil sejak awal. Apakah gereja akan menolak penggunaan
kekerasan ataukah akan membenarkannya itu adalah sikap yang dengan sadar harus diambil oleh
gereja dalam berteologi. Teologi lahir berdasarkan sikap dan kepentingan gereja terhadap dunia
ini.
Kesimpulan yang ketiga ialah bahwa acuan terhadap konteks sosial, politik dan
keagamaan yang melatarbelakangi penyaliban Yesus sangat menentukan hasil sebuah
pemaknaan. Mereka yang mencermati konteks sosial, politik, dan keagamaan, sehingga
menghasilkan teks-teks Perjanjian Baru yang berbicara mengenai penyaliban Yesus cenderung
memaknai salib Kristus sebagai perlawanan terhadap penggunaan kekerasan. Sebaliknya mereka
yang mengabaikan konteks sosial, politik, dan keagamaan, dari munculnya teks-teks tersebut
18

cenderung memaknai penyaliban Yesus langsung dalam hubungannya dengan rencana Allah.
Ketika salib Kristus dipahami sebagai rencana Allah maka kekerasan yang ada di dalamnya pun
sebagai rencana Allah. Itu artinya ialah bahwa kekerasan adalah kehendak Allah.
Dari tiga kesimpulan sebagaimana disebutkan di atas maka tanggung jawab gereja saat
ini berkenaan dengan penggunaan kekerasan adalah kesadaran akan adanya dua pilihan yang
harus diambil dengan sadar. Ketika gereja dengan sadar mengambil keputusan untuk menolak
penggunaan kekerasan maka seluruh tafsiran yang kesimpulannya menyatakan benar terhadap
penggunaan kekerasan. Sebaliknya ketika gereja dengan sadar memilih untuk menolak segala
bentuk kekerasan maka dengan sadar pula gereja harus menaruh peristiwa penyaliban Yesus
sebagai sebuah peristiwa historis yang di dalamnya terdapat intrik dan kepentingan manusia yang
dikuasai oleh keegoisan dan keserakahan. Selamat memilih.
*****

19

Daftar Pustaka
-

Boersma, H., Violence, Hospitality, and the Cross: Reappropriating the Atonement
Tradition, Grand Rapids, Michigan: Baker Academic Publishing, 2004.

-

Brondos, David A., Paul On The Cross: Reconstructing The Apostle’s Story of
Redemption, Minneapolis: Fortress Press, 2006.

-

Fiorenza E.S., Jesus: Miriam’s Child, Sophia’s Prophet, London: SCM Press, 1995.

-

Girard, R., Things Hidden Since the Foundation of the World, terj. Stephen Bann &
Michael Meteer, Stanford, California: Stanford University Press, 1987.

-

----------- ., I See Satan Fall Like Lightning, terj. James G. William (Maryknoll, N.Y.:
Orbis Books, 2001.

-

Joanne Carlson Brown, J.Carlson & Rebecca Parker (peny.)., Christianity, Patriarchy
and Abuse, New York: Pilgrim Press, 1989.

-

Heim, S. Mark, Saved From Sacrifice: A Theology of the Cross, Grand Rapids,
Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2006.

-

Jennings Jr., Theodore W., Transforming Atonement: A Political Theology of the Cross,
Minneapolis: Fortress Press, 2009.

-

McGrath, A.E., Luther’s Theology of the Cross: Martin Luther’s Theological
Breakthrough, 2nd edition, West Sussex: John Wiley & Sons Ltd., 2011.

-

Myers, C., “The Gospel of the Cross Confronts the Powers”, dlm., Consuming Passion:
Why The Killing of Jesus Really Matters, peny. Simon Barrow & Jonathan Bartley,
London: Darton, Longman and Todd Ltd., 2006.

-

Richards, A., “Being Delivered From Gibson’s Hell”, dlm., Consuming Passion: Why
The Killing of Jesus Really Matters, peny. Simon Barrow & Jonathan Bartley, London:
Darton, Longman and Todd Ltd., 2006.

-

Viladesau, R., The Beauty of The Cross: The Passion of Christ in Theology and the ArtsFrom the Catacombs to the Eve of the Renaissance, New York: Oxford University Press.

-

-------------- ., The Triumph of the Cross: The Passion of Christ in Theology and the Arts,
From the Renaissance to the Conter-Reformation, New York: Oxford University Press,
2008.

-

Weaver, J.D., The Nonviolent Atonement, Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans
Publishing Co., 2001.
20