Gejala Deparpolisasi dan State Capture M

Gejala Deparpolisasi dan State Capture Menuju Pemilu 2014
Oleh: Hendra Sunandar1
Pemilu 2014 ada di depan mata, setiap partai politik peserta pemilu sedang sibuk dalam proses
konsolidasi demokrasi untuk mencapai hasil memuaskan di tahun 2014 mendatang. Harapan
akan adanya pembangunan berkelanjutan yang lebih baik di Indonesia kembali bermunculan.
Meskipun harapan tersebut muncul disaat gejala deparpolisasi mencuat di masyarakat.
Gejala deparpolisasi bermunculan di masyarakat sebagai akibat dari track record partai politik
yang selalu membuat perasaan kecewa di masyarakat. Seperti maraknya tindakan korupsi yang
tidak ada habisnya. Alhasil dalam setiap survey tidak heran apabila partai politik selalu
mendapatkan raport merah dalam hal tingkat kepercayaan publik dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
Deparpolisasi adalah fenomena psikologis yang menurunkan kepercayaan publik terhadap partai
politik. Dalam leksikon ilmu politik, deparpolisasi bisa di ukur melalui dua dimensi, pertama
adalah bisa dilihat dari seberapa banyak pemilih yang mengidentifikasikan dirinya dengan partai
atau dimensi afeksi dan kedua dilihat dari evaluasi masa pemilih terhadap fungsi intermediasi
partai atau dimensi rasional. (Biorcio dan Mannheimer, 1995)
Identifikasi seseorang dengan partai politik (Party ID) adalah kedekatan pemilih terhadap partai
tertentu atau partai tertentu adalah identitas politiknya. Kontinuitas serta stabilitas dukungan
terhadap partai tertentu dapat terjadi apabila pemilih mengidentifikasikan diri dengan partai. dan
sebaliknya bila tidak ada pemilih yang mengidentifikasikan diri dengan partai maka kontinuitas
dukungan terhadap partai akan lemah (Campbell, 1960).


Menurut data Lembaga Survey

Indonesia (LSI) menyebutkan rata-rata Party ID di Indonesia hanya 20% dan itupun menyebar
ke banyak partai. pemilih masa mengambang (swing voters) mencapai angka 80% dari populasi
masyarakat Indonesia. Oleh karena minimnya party ID serta tingginya angka swing voters maka
tidak heran apabila gejala deparpolisasi di kalangan pemilih sangat kuat.
Selain melalui tingkat party ID, deparpolisasi juga dapat diukur dari tingkat sejauh mana partai
politik dalam mampu menyerap aspirasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan di
lembaga legislatif. Menurut data Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada Desember 2011,
1 Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan co-founder @ForumIde,
Komunitas Utan Kayu

mayoritas masyarakat menilai fungsi dan intermediasi partai sangat buruk. Apabila dibandingkan
dengan institusi lain, raport kinerja partai politik dan DPR selalu mendapat nilai yang terburuk di
mata publik. Partai politik beserta DPR dinilai publik sebagai lembaga paling korup yang sangat
sulit ditemukan transparansi anggarannya. Tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik
lebih rendah bila dibanding dengan media massa, ormas, LSM dan lain-lain
State Capture Menuju Pemilu 2014
Salah satu yang paling mengkhawatirkan dalam arena persaingan politik adalah adanya

intervensi dari elit kapital (pemilik modal) untuk mempengaruhi arah kebijakan suatu negara.
Pengaruh elite kapital dalam mekanisme keputusan politik pernah menjadi bahan penelitian
Bussiness Environment for Performance Survey (BEEPS) yang dilakukan oleh Bank Dunia dan
European Bank for Reconstruction and Development (EBRD) dalam waktu 10 tahun yang
dimulai pada tahun 1999 hingga 2009. Penelitian tersebut dengan sampel berjumlah 6500 hingga
11800 perusahaan di dua puluh Sembilan negara di kawasan Eropa Timur dan Asia Tengah.
Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa ada suatu hubungan yang hierarkis antara perusahaan
dengan elite politik dalam menentukan arah kebijakan. Hubungan tersebut dibagi kedalam tiga
bentuk. Yang pertama adalah state capture yakni hubungan pemberian suap dari elit kapital
kepada pejabat negara untuk mempengaruhi pembuatan undang-undang. Kedua adalah hubungan
influence, yakni kemampuan perusahaan untuk mempengaruhi kebijakan publk tanpa harus
membayar suap kepada pejabat negara, hal tersebut bisa dilakukan apabila elit politik memiliki
kedekatan erat dengan pemilik modal atau keduanya memiliki pola hubungan simbiosis
mutualisme dalam menentukan atar kebijakan. Dan yang ketiga adalah hubungan administratif,
yakni berupa suap yang dilakukan oleh pemilik modal agar tidak melakukan aturan yang sudah
disepakati bersama dalam parlemen.
Biasanya dalam kurun waktu penjelang pemilu, praktek state-capture banyak dilakukan oleh
pemiliki modal untuk ikut campur dalam pemenangan kandidat politik yang akan bertarung
nantinya. Mengingat ongkos demokrasi di Indonesia tidaklah murah, maka antara pemilik modal
berusaha untuk melakukan hubungan kerjasama dengan partai politik atau calon legislatif untuk

memenangkan pemilu 2014 nanti dengan memberikan bantuan berupa dana kampanye dan
apabila pemilu berhasil dimenangkan maka arah kebijakan yang akan diputuskan nantinya tidak
lebih dari perpanjangan dari pemilik modal alias kebijakan pesanan sebagai bentuk balas budi

antara pejabat negara kepada elit kapital yang telah membantu dalam hal pendanaan pada masamasa kampanye . Karena dalam politik sejatinya tidak ada makan siang gratis.
Menurut BEEPS, untuk mengukur tingkat state capture dapat dilihat dari aspek dampak serta
perilaku elit politik. setidaknya ada enak komponen utama untuk mengukurnya, diantaranya
adalah tingkat jual-beli keputusan di parlemen, jual-beli keputusan presiden, jual beli keputusan
di pengadilan dalam kasus kriminal, perilaku korupsi di Bank Sentral, jual beli keputusan di
pengadilan dalam kasus perdagangan dan sumbangan untuk partai politik dari perusahaan.
Keenam aspek tersebut seringkali terjadi dalam atmosfer politik di Indonesia, misalnya adalah
kasus suap La Ode Nurhayati bersama mafia banggar serta penyuapan dua pejabat di
Kemenakertrans oleh investor yang dijanjikan akan mendapat proyek infrastruktur dan lain-lain.
Menuju pemilu 2014, sudah dipastikan partai politik telah mempersiapkan dari jauh-jauh hari
untuk mempersiapkan segala sesuatunya termasuk persoalan anggaran dana kampanye.
Mahalnya ongkos demokrasi membuat partai politik terpaksa untuk mencari dana-dana pihak
ketiga yang tidak jelas asal-usulnya, tak terkecuali dana tersebut berasal dari elit kapital sang
pemilik modal dengan segala kepentingannya
Alhasil, potret demokrasi di Indonesia erat kaitannya dengan sumbangan pihak ketiga. Menurut
Thomas Ferguson dalam bukunya Investment Theory of Party Competition (1995), apabila

sistem politik dalam suatu negara digerakan oleh uang maka kebijakan-kebijakan yang muncul
tidak lebih merupakan perpanjangan tangan kepentingan elit bisnis, pemilik modal dan investor.
Sumbangan elit kapital terhadap partai politik adalah bentuk investasi berupa kendali negara,
alhasil pusat kekuasaan telah bergeser dari prinsip keterwakilan rakyat kearah plutachy
(kekuasaan oligarki sang pemilik modal). Gejala state-capture tersebut diperparah dengan
manajemen partai politik yang jauh dari nilai-nilai transparansi di hadapan publik serta aparat
penegak hukum yang lemah.
Fenomena state-capture merupakan salah satu penyebab rendahnya kepercayaan masyarakat
kepada partai politik, meskipun disadari bahwasannya menjelang pemilu 2014 harapan untuk
Indonesia yang lebih baik tidak bisa dihindari oleh masyarakat. Partai politik dalam fungsinya
sebagai produsen pejabat publik seharusnya bisa menyadari akan pentingnya dalam membangun
bangsa dan negara ketimbang melakukan hal-hal yang lebih banyak mudharatnya. Pembangunan

berkelanjutan seharusnya menjadi orientasi utama partai politik dalam menentukan arah
kebijakannya dalam suatu parlemen.
Sikap penjaringan kebijakan seperti state-capture telah merusak tatanan serta cita-cita negara
Indonesia yang memimpikan adanya kesejahteraan umum. Seharusnya orientasi kebijakan partai
politik lebih mengutamakan kepentingan masyarakat umum tetapi kini faktanya terbalik,
orientasi kebijakan partai politik hanyalah perpanjangan tangan elit kapital atau pemilik modal
yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan khalayak umum, tak heran

apabila gejala deparpolisasi mencuat di sebagian besar masyarakat.
Sikap deparpolisasi yang berkembang di masyarakat bisa menjadi boomerang akan munculnya
angka golput yang tinggi nantinya di tahun 2014, kekhawatiran tersebut muncul mengingat
masyarakat sudah mulai jenuh dan bosan melihat perilaku partai politik yang sudah diluar etika
dalam kewarganegaraan. Hal tersebut menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
partai politik sangat tinggi. Terlebih angka golput yang tinggi sudah terlihat melalui pemilukada
yang berlangsung di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang rata-rata mencapai 40%-an. Fakta
tersebut semakin mengkhawatirkan akan tingginya angka golput di pemilu 2014 nanti.
Deparpolisasi dan Harapan Pembangunan
Gejala antipati terhadap partai politik memunculkan suatu kekhawatiran akan rendahnya
partisipasi politik di tahun 2014 nantinya, dalam studi yang dilakukan oleh Gabriel Almond dan
Sydney Verba dalam bukunya yang berjudul The Civic Culture(1965) membagi pola budaya
politik menjadi tiga, yang pertama budaya parokial adalah sikap apatis individu terhadap partai
politik, sikap apatis tersebut muncul atas dasar ketidaktahuan terhadap fenomena politik, kedua,
budaya politik subjek yakni sikap acuh seorang individu terhadap partai politik namun dibalik
sikap acuh dan ketidakpeduliannya tersebut, masyarakat memiliki tingkat pemahaman yang
tinggi terhadap objek sosial dan partai politik. dan yang ketiga yakni budaya partisipan yang
memungkinkan masyarakat terlibat aktif dalam proses alur demokrasi dan masyarakat memiliki
tingkat pemahaman yang tinggi dalam fenomena sosial yang berkembang. Untuk menciptakan
cita-cita negara tentu amat dibutuhkan budaya politik partisipan yang berkembang dalam suatu

negara.

Namun untuk menumbuhkan budaya partisipan tersebut tidaklah mudah, meskipun harapan
untuk mewujudkan cita-cita suatu negara tersebut dimiliki secara penuh oleh berbagai lapisan
masyarakat. Saat ini masyarakat dituntut untuk terlibat aktif dalam alur demokrasi dibalik
tingginya rasa kekecewaan terhadap partai politik.
Harapan terhadap pembangunan yang lebih baik sudah tentu ada dalam pikiran masyarakat
menjelang pemilu 2014, namun dibalik harapan tersebut ada rasa phobia yang amat tinggi
terhadap partai politik di masyarakat. Hal tersebut sebagai impact dari praktek korupsi nan
traksaksional sepanjang

penyelenggara negara sejak dilakukannya pemilu secara langsung.

Terlebih Partai Demokrat yang dalam kampanyenya di tahun 2009 selalu menggemborgemborkan keseriusannya dalam pemberantasan korupsi justru menjadi senapan yang menusuk
dirinya sendiri ketika justru banyak pengurus inti dari Partai Demokrat yang terindikasi
melakukan praktek korupsi.
Di pemilu tahun 2014 tentu masyarakat tidak ingin kekecewaan tersebut muncul kembali. Oleh
karena itu sudah saatnya partai politik berbenah diri sebelum penyelenggaraan pemilu 2014
berlangsung. Hal tersebut penting dalam upaya untuk menghapus gejala deparpolisasi yang
berkembang dan meningkatkan budaya partisipan di seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut

merupakan salah satu upaya dasar untuk menciptakan budaya dan output demokrasi yang lebih
baik sesuai dengan harapan masyarakat luas.
Isu-isu tentang pertumbuhan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan,
pendidikan, sikap toleransi dan pemberantasan korupsi menjadi harapan masyarakat Indonesia
menjelang pemilu 2014. Oleh karenanya sudah saatnya partai politik berusaha untuk
mengembalikan kepercayaan publik dengan berbenah diri dan memperbaiki sistem manajemen
partai yang dikelola secara modern. Apabila manajemen partai sudah diperbaiki secara total,
penulis yakin fenomena state-capture, korupsi politik, money politics dapat diminimalisir. Hal
tersebut tentu membutuhkan dukungan oleh beberapa lembaga negara terkait seperti Komisi
Pemilihan Umum (KPU) beserta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menciptakan aturan
main pemilihan umum yang tegas serta bisa menutup kemungkinan praktik kecurangan serta
perilaku amoral bagi aktor politik dan dengan begitu harapan akan adanya pembangunan
berkelanjutan bisa direalisasikan dengan baik.