Nutrisi Penyakit Tuberkulosis: Peran Vitamin D dan A

  9 7 8 6 0 2 4 6 5 0 0 3 2 Buku Referensi Nutrisi Penyakit Tuberkulosis:

  

Peran Vitamin D dan A

DINA KEUMALA SARI 2017

  USU Press Art Design, Publishing & Printing Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU Jl. Universitas No. 9 Medan 20155, Indonesia Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 usupress.usu.ac.id © USU Press 2017

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin,

merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk

apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN 978-602-465-003-2

  Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Nutrisi Penyakit Tuberkulosis: Peran Vitamin D dan A / Dina Keumala Sari -- Medan: USU Press 2017. vii, 79 p.; ilus.: 24 cm Bibliografi

ISBN: 978-602-465-003-2

KATA PENGANTAR

  Bismillahirrahmanirrohiiim. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia Nya maka Buku Referensi ini dapat diselesaikan.

  Ini adalah buku referensi yang berisikan tentang nutrisi penyakit tuberkulosis dengan penekanan pada hasil penelitian tentang vitamin D dan A. Buku ini disusun untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran dan referensi lanjutan dalam penelitian tentang nutrisi tuberkulosis, dalam hal ini vitamin D akan dianalisis untuk melihat kaitannya dengan kadar kalsium dan perbaikan konversi dahak. Begitu pula vitamin A, apakah ada hubungan antara asupan dengan kadar di dalam darah.

  Buku ini disusun secara ringkas dan sistematis agar mudah dipelajari dan dipahami. Penulis menyadari ada beberapa topik yang belum dibahas sesuai dengan perkembangan penelitian terkini dunia kedokteran terutama dalam bidang Ilmu Gizi. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kepada para guru dan pembimbing. Semoga buku ini bermanfaat bagi dunia akademik dan menjadi ladang pahala bagi penulis.

  Medan, 10 Nopember 2017 Penulis,

  Dr. dr. Dina Keumala Sari, MG, SpGK

KATA SAMBUTAN

  Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia Nya, Buku Referensi ‘Nutrisi Penyakit Paru: Peran vitamin D dan A’ dapat diterbitkan. Buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru tentang Ilmu Gizi.

  Vitamin D dikaitkan dengan tingginya prevalensi tuberkulosis membuat vitamin tersebut perlu untuk diteliti, terutama juga interaksi dengan mineral kalsium. Walaupun terdapat hubungan dengan vitamin A secara molekuler, tetapi perlu diteliti apakah ada kaitan antara keduanya.

  Saya berharap Buku Referensi ini dapat menjadi pedoman pembelajaran untuk pemahaman terhadap masalah nutrisi penyakit paru. Saya mengucapkan selamat kepada penulis yang telah menyelesaikan tulisannya dan mengharapkan dapat ditingkatkannya produktivitas penelitian dan buku referensi oleh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

  Wassalam Dekan Fakultas Kedokteran

  Universitas Sumatera Utara Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, SpS (K)

  

DAFTAR ISI

  KATA PENGANTAR ................................................................. iii KATA SAMBUTAN .................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................. v DAFTAR TABEL ......................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ...................................................................vii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................vii

  BAB I. PENDAHULUAN ...................................................... 1 BAB II. PERMASALAHAN NUTRISI TUBERKULOSIS ....................................................... 4 BAB III. TUBERKULOSIS ....................................................... 8 BAB IV. VITAMIN D ............................................................. 34 BAB V. VITAMIN A ............................................................. 41 BAB VI. HASIL DARI PENELITIAN TENTANG PERAN VITAMIN D ............................................... 52 BAB VII. HASIL PENELITIAN PERAN VITAMIN A PADA TUBERKULOSIS ......................................... 61 BAB VIII. PENUTUP ................................................................. 67 DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 68 LAMPIRAN ................................................................................ 73

  

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama .................. 31Tabel 3.2 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1..... 32Tabel 3.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 2 .... 32Tabel 4.1. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk vitamin D .................................................................. 37Tabel 4.2. Nilai vitamin D berbagai bahan makanan.

  (μg/100gram) ............................................................ 38

Tabel 4.3. Difisiensi vitamin D mungkin terjadi karena berbagai sebab. ......................................................... 40Tabel 5.1 Angka kecukupan gizi dalam RE (retinol equivalent) ................................................................ 47Table 6.1. Demographic and clinical characteristics in tuberculosis patient ................................................... 52Table 6.2. Anthropometric characteristics in tuberculosis patient ....................................................................... 53Table 6.3. Lifestyle variables in tuberculosis patient ................ 53Table 6.4. Serum levels of 25-hydroxyvitamin D and calcium ..................................................................... 54Table 6.5. Demographic and lifestyle characteristics of subjects before intervention ..................................... 54Table 6.6. Mean serum 25(OH)D and calcium levels before and after intervention .................................... 55Tabel 6.7. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ...... 56Tabel 6.8. Karateristik Pasien Berdasarkan Usia ...................... 56Tabel 6.9 Frekuensi berdasarkan asupan vitamin D ................. 57Tabel 6.10 Frekuensi berdasarkan kadar 25(OH) D serum ......... 57Tabel 6.11 Rata rata kadar 25(OH) D serum pada pasien

  TB ............................................................................. 57

Tabel 6.12 Rata-rata asupan vitamin D pada pasien TB 5 .......... 58Tabel 6.13 Korelasi 25(OH) D serum dan asupan vitamin D ..... 58Tabel 7.1. Deskripsi karakteristik subjek penelitian. ................ 61Tabel 7.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis tuberkulosis. ............................................................. 62Tabel 7.3 Gambaran asupan vitamin A harian subjek penelitian. ................................................................. 63Tabel 7.4 Gambaran serum retinol pada subjek penelitian. ...... 64Tabel 7.5 Hubungan asupan vitamin A dan kadar serum retinol. ....................................................................... 65

  

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Diagram alur untuk menegakkan diagnosis ........... 20Gambar 3.2 Alur diagnosis TB paru .......................................... 29

  2

  3 Gambar 4.1. Proses sintesis vitamin D dan vitamin D ............. 34

Gambar 5.1 Metabolisme vitamin A .......................................... 43Gambar 5.2. Skema vitamin A dan tuberculosis ......................... 51

  

DAFTAR LAMPIRAN

  LAMPIRAN 1 ............................................................................. 73 LAMPIRAN 2 ............................................................................. 75

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang Global Report TB World Health Organization (WHO) tahun

  2015, pada tahun 2014, 6 juta kasus baru TB dilaporkan WHO, kurang dari dua pertiga (63%) dari 9,6 juta orang diperkirakan telah menderita penyakit ini. Hal ini berarti bahwa di seluruh dunia, 37% dari kasus baru tidak terdiagnosis atau tidak dilaporkan. Dari 9,6 juta kasus TB baru pada tahun 2014, 58% berada di daerah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Afrika memiliki 28% dari kasus di dunia pada tahun 2014 dengan beban relatif terhadap populasi yaitu 281 kasus untuk setiap 100.000 orang, lebih dari dua kali lipat dari rata-rata global yaitu 133 per 100.000 penduduk (WHO, 2015).

  Indonesia merupakan negara dengan peringkat kedua untuk penderita kasus TB di dunia setelah India. India, Indonesia dan China memiliki jumlah kasus terbesar yaitu 23%, 10% dan 10% dari masing-masing total global. Di Indonesia diperkirakan terdapat 1 juta kasus baru per tahun, dua kali lipat dari perkiraan sebelumnya untuk kasus insiden jika dibandingkan pada tahun 2014 (WHO, 2015).

  Tingginya kasus TB dikaitkan dengan defisiensi vitamin D dan A dengan mekanisme kerja yang berbeda. Defisiensi vitamin D di Indonesia terkait dengan gaya hidup, yang menghasilkan kadar 25(OH)D serum rendah. Indonesia adalah negara tropis dengan curah sinar matahari yang cukup tidak menjadikan seorang seseorang terhindar dari defisiensi vitamin D. Kurangnya paparan sinar matahari, kurangnya aktivitas fisik, dan kurangnya asupan bahan makanan sumber vitamin D menyebabkan kerentanan meningkat (Sari, 2013a; Sari, 2013b).

  Daerah Sumatera Utara termasuk daerah dengan curah yang cukup, namun dengan berbagai profesi pekerjaan mengalami defisiensi-insufisiensi vitamin D, berdasarkan hasil penelitian di daerah perkotaaan ditemukan sejumlah 95% (148 subjek penelitian) mengalami defisiensi-insufisiensi dan hanya 5% termasuk kategori cukup. Rerata kadar 25(OH)D serum perempuan 17,71 ng/mL dengan Interval Kepercayaan (IK) 95%:16.22-19.34, kadar ini termasuk rendah dibandingkan dengan nilai normal untuk negara tropis yaitu berkisar rentangan 54-90 ng/mL (Grant dan Holick, 2005). Sedangkan di daerah pedesaan ditemukan sejumlah 98% (50 subjek penelitian) mengalami defisensi dan insufisiensi, dan hanya 2% yang termasuk kategori cukup (Sari, 2015d).

  Gaya hidup, pengetahuan, dan tindakan yang kurang mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami defisiensi vitamin D, hal ini berdasarkan dari gaya hidup yang dijalani seperti menghindari sinar matahari, asupan vitamin D yang rendah, dan rendahnya aktivitas fisik (Sari, 2015c). Hal ini dialami juga oleh penderita tuberkulosis.

  Salah satu indikator yang digunakan dalam memantau pengobatan Tuberkulosis paru adalah dengan Conversion Rate (angka konversi). Conversion Rate (angka konversi) adalah persentase pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA (Basil Tahan Asam) negatif setelah menjalani masa pengobatan tahap awal. Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar (Kemenkes RI, 2014).

  Vitamin A menunjukkan pengaruh yang bermakna pada perbaikan kondisi klinis penderita tuberkulosis. Hasil penelitian Pakkasi et al (2009) menyatakan bahwa sebanyak 300 pasien TB berpartisipasi dalam studi dikategorikan sebagai TB ringan (53%) atau TB berat (47%). Vitamin A, hemoglobin dan albumin plasma secara signifikan lebih rendah, rendahnya Vitamin A berkolerasi terhadap tingkat keparahan TB secara statistik diperoleh nilai probabilitas <0,001 (p=0,000).

  Hasil penelitian Pakkasi et al (2010) melakukan studi terhadap 300 pasien TB paru, dan terdapat 255 pasien yang mendapat pengobatan klinis TB paru sampai dengan selesai, menunjukkan bahwa pasien yang diberikan suplemen Vitamin A dan Zink mengalami percepatan konversi dahak rata-rata pada 1,9 minggu.

  Hasil penelitian Karyadi dkk (2002) yang ingin mengetahui efek suplemen Vitamin A dan Zn pada penderita TB baru dengan terapi anti TB standar. Penderita (n=40) menerima Vitamin A 5000 IU dengan 15 mg Zn dan kelompok kontrol (n=40) menerima plasebo setiap hari selama 6 bulan. Setelah dua bulan dan enam bulan, kedua kelompok mengalami peningkatan hemoglobin dan plasma retinol, tetapi peningkatan retinol didapati lebih tinggi secara signifikan terjadi pada kelompok dengan suplemen dibanding dengan kontrol setelah 6 bulan. Pemberian suplemen Vitamin A dan Zn meningkatkan keefektifan terapi anti TB terutama pada dua bulan pertama (fase intensif).

  Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut maka dilakukan penelitian yang agar dapat diketahui apakah peran dari vitamin D dan A dan juga apakah ada peran dari gaya hidup terhadap perbaikan

BAB II PERMASALAHAN NUTRISI TUBERKULOSIS Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang

  disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ terutama paru-paru. Pentakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB diperkirakan sudah ada di dunia sejak 5000 SM, namun kemajuan dalam penemuan dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir (Kemenkes RI, 2015).

  Berdasarkan Global Report TB World Health

  

Organization (WHO) tahun 2015, pada tahun 2014, 6 juta kasus

  baru TB dilaporkan WHO, kurang dari dua pertiga (63%) dari 9,6 juta orang diperkirakan telah menderita penyakit ini. Hal ini berarti bahwa di seluruh dunia, 37% dari kasus baru tidak terdiagnosis atau tidak dilaporkan. Dari 9,6 juta kasus TB baru pada tahun 2014, 58% berada di daerah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Afrika memiliki 28% dari kasus di dunia pada tahun 2014 dengan beban relatif terhadap populasi yaitu 281 kasus untuk setiap 100.000 orang, lebih dari dua kali lipat dari rata-rata global yaitu 133 per 100.000 penduduk (WHO, 2015).

  Terdapat kaitan antara tuberkulosis dengan vitamin D, terutama pada pasien tuberkulosis dengan defisiensi vitamin D. Pada subjek penelitian sehat, penelitian menemukan defisiensi vitamin D sebesar 35% pada perempuan usia 60-75 tahun. proporsi defisiensi vitamin D (pemeriksaan kadar 25(OH)D serum) pada perempuan postmenopause sebesar 27% dan sebanyak 71% mengalami insufisiensi vitamin D. Sedangkan proporsi pada perempuan usia 20-50 tahun ditemukan 70% mengalami defisiensi dan insufisensi dan hanya 5% termasuk kategori sufisiensi atau cukup di temukan di daerah perkotaan. Hal ini juga ditemukan di daerah pedesaan, sebanyak 98% perempuan mengalami defisensi-insufisiensi, dan hanya 2% yang termasuk kategori cukup (Sari, 2013).

  Penelitian pendahuluan telah dilakukan yaitu penelitian Sari (2013; 2014) yang dilakukan di Kota Medan, dengan latitude

  o o

  3,57 Utara/U dan longitude 98 Timur/T, dengan paparan UV B sangat efisien untuk diabsorpsi dan menghasilkan vitamin D3 yang cukup. Berbeda dengan daerah dengan latitude tinggi (lebih

  o

  besar dari 37 ) yang menyebutkan bahwa sudut sinar matahari sangat miring sehingga produksi vitamin D3 sangat sedikit (Holick, 2005). Beberapa daerah menunjukkan jika latitude lebih

  o

  dari 51 , tidak diproduksi vitamin D3 pada kulit, penelitian

  o

  tersebut mencoba dengan sudut lebih besar dari 70 , dinyatakan bahwa dengan sudut yang besar, maka tidak memungkinkan dihasilkannya vitamin D3 selama kurun waktu lima bulan (Engelsen, 2005).

  Rendahnya kadar tersebut sebagian besar disebabkan karena perubahan gaya hidup yang lebih menghindari sinar matahari, rendahnya asupan vitamin D, rendahnya aktivitas fisik, dan tingginya kadar lemak tubuh. Faktor lain adalah mempengaruhi adalah perilaku, rendahnya pengetahuan tentang apa dan bagaimana defisiensi vitamin D dapat terjadi dan rendahnya kurangnya tindakan dalam mencegah defisiensi vitamin juga menunjukkan bahwa perilaku dapat mempengaruhi kadar vitamin D serum. Sejumlah 57,7% proporsi perempuan mempunyai pengetahuan yang rendah tentang defisiensi vitamin D dan tindakan yang juga kurang (75,3%) (Sari, 2014). Ke empat faktor ini lah (paparan sinar, asupan vitamin D, aktivitas fisik, dan lemak tubuh) yang akan menjadi pilar dalam model perubahan gaya hidup yang akan dilakukan. Walaupun demikian, terdapat penelitian yang melaporkan perlakuan yang diberikan, namun diberikan kepada subjek dengan ras berbedan dan perlakuan model perubahan gaya hidup yang berbeda.

  Faktor lain yang Penelitian yang dilakukan Pittas et al., (2007), memberikan suplementasi vitamin D bentuk kolekalsiferol 700 SI dan kalsium 500 mg selama tiga tahun dan dibandingkan dengan plasebo ternyata menunjukkan perbaikan pada sensitivitas insulin. Penelitian randomized controlled trial (RCT) yang dilakukan Nagpal et al., (2009), dengan memberikan suplementasi vitamin D 120.000 SI selama enam minggu menunjukkan peningkatan kadar 25(OH)D serum. Selain vitamin D, telah banyak diketahui, status nutrisi yang rendah termasuk juga terjadi defisiensi vitamin A. Defisiensi vitamin A ditemukan lebih sering terjadi pada penderita tuberkulosis aktif dibandingkan orang sehat. Tuberkulosis dapat menyebabkan berat badan dibawah normal dan defisiensi mikronutrien (multivitamin dan mineral) karena terjadinya malabsorpsi, meningkatnya kebutuhan energi, terganggunya proses metabolik dan berkurangnya asupan makanan karena penurunan nafsu makan dan dapat mengarah terjadinya kondisi

  

wasting. Defisiensi mikronutrien telah dilaporkan pada penderita

tuberkulosis, termasuk juga mereka yang dengan ko infeksi HIV.

  Penelitian penelitian secara cross sectional mengindikasikan defisiensi Vitamin A, thiamin, vitamin B6, folat dan vitamin E sering terjadi pada penderita TB aktif. Defisiensi Vitamin A, vitamin E, thiamin, riboflavin, vitamin B6 dan vitamin C lebih umum terjadi penderita TB dengan HIV. Defisiensi mikronutrien dan status gisi umum yang jelek pada penderita TB aktif dapat menekan system imun cell-mediated yang merupakan pertahanan utama host untuk melawan bakteri Mycobacterium (Lettow et al., 2004).

  Karyadi dkk (2002), melaukan penelitian terhadap pasien TB di Jakarta dari tahun 1997-1998 dengan menambah pemberian Vitamin A dan zink pada pasien TB, pemberian Vitamin A 5000

  IU dan zink (zink sulfate) 15 mg setiap hari dan membandingkan dengan kontrol placebo, pemeriksaan klinis terhadap status mikronutrien sebelum dan sesudah 2 bulan dan menghasilkan konversi sputum lebih cepat. Hasil yang mereka dapat suplemen Vitamin A dan zink memperbaiki efek terapi TB setelah 2 bulan.

  Hasil penelitian Pakkasi et al (2010) melakukan studi terhadap 300 pasien TB paru, dan terdapat 255 pasien yang mendapat pengobatan klinis TB paru sampai dengan selesai, menunjukkan bahwa pasien yang diberikan suplemen Vitamin A dan Zink mengalami percepatan konversi dahak rata-rata pada 1,9 minggu.

  Sebanyak 300 pasien TB berpartisipasi dalam studi dikategorikan sebagai TB ringan ( 53 % ) atau TB berat ( 47 % ) . Vitamin A , hemoglobin dan albumin plasma secara signifikan lebih rendah , rendahnya Vitamin A berkolerasi terhadap keparahan TB (P = 0,000) (Pakkasi et al (2009).

  Menurut penelitian Ahmad et al (2012) terdapat 260 yang terdaftar didalam studi tetapi hanya 214 yang menyelesaikan studi, studi dikelompokkan dalam 4 bagian usia, grup A berusia 31 tahun, Grup B berusia 29,9 tahun, Grup C berusia 30,6 tahun, dan Grup D berusia 30,9 tahun. Dosis Vitamin A yang diberikan yaitu 5000IU dan dosis Zink yang diberikan yaitu 15mg. Dan diperoleh hasil bahwa peran suplementasi Vitamin A dan Zink terhadap waktu konversi dahak pada penderita TB paru menunjukkan hasil kombinasi suplementasi Vitamin A dan zink mempercepat waktu konversi dahak pada pasien TB paru tersebut antara 2,1

  • – 5,4 minggu Untuk itu terdapat beberapa pedoman untuk model perubahan gaya hidup tersebut yaitu yang pertama adalah pedoman model paparan sinar matahari yaitu pemaparan sinar matahari atau UV B selama 25 menit pada tangan dan kaki pada saat matahari bersinar (lama pemaparan disesuaikan dengan saat pemaparan) setiap hari disertai tinggi asupan bahan makanan sumber vitamin D; yang kedua adalah model asupan vitamin A yang bersumber dari suplementasi dan bahan makanan sumber vitamin A.

  Pedoman ketiga adalah pedoman model aktivitas fisik adalah dengan melakukan aktivitas fisik selama 30 menit guna membantu konversi vitamin D, minimal tiga kali dalam seminggu; dan pedoman keempat adalah pedoman kontrol asupan nutrisi tinggi kalori dan protein. Pedoman kelima adalah kontrol asupan OAT.

BAB III TUBERKULOSIS Tuberkulosis (TB), merupakan salah satu penyakit tertua yang

  diketahui dapat mempengaruhi manusia, dan salah satu penyebab utama kematian di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi dari bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB lebih sering menyerang paru-paru, tetapi organ-organ lain juga terlibat dalam 1/3 kasus. Bila ditatalaksana dengan benar, TB yang tidak resisten terhadap obat dapat disembuhkan. Bila tidak ditatalaksana, TB dapat menjadi fatal dalam 5 tahun dalam 60-65% kasus. Transmisi penyakit biasanya melalui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB paru (Raviglione dan O’Brien, 2012).

  Definisi dan Klasifikasi Tuberkulosis

  Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis dengan gejala klinik yang sangat bervariasi dan menyerang pada bagian atau organ tubuh tertentu misalnya paru-paru, kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, kulit dan lain-lain. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar. Definisi kasus TB dapat dibagi menjadi 2 jenis:

   Kasus TB definitif adalah kasus dengan salah satu dari spesimen biologis positif dengan pemeriksaan mikroskopis asupan dahak, biakan atau diagnostik yang cepat. Kasus TB definitif disebut juga dengan kasus TB dengan konfirmasi bakteriologis.

   Kasus TB diagnosis klinis adalah kasus TB yang tidak dapat memenuhi kriteria konfirmasi bakteriologis walah telah diupayakan maksimal tetapi ditegakkan diagnosis TB aktif oleh klinis yang memutuskan untuk memberikan pengobatan TB berdasarkan foto toraks abnormal, histologi sugestif dan kasus ekstraparu. Adapun Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), mengklasifikasikan tuberkulosis paru berdasarkan 2 hal yaitu, berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau basil tahan asam (BTA) dan berdasarkan golongan pasien. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau BTA, TB paru dibedakan atas 2:

1. Tuberkulosis paru BTA (+)

   menunjukkan hasil BTA positif.

  Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak

   BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

  Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan

   BTA positif dan biakan kuman juga positif.

  Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan

   Tuberkulosis paru BTA (-) 2.

   negatif, gambaran kilnis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

  Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA

   negatif tetapi biakan kuman positif. Berdasarkan golongan pasien menurut riwayat pengobatannya, TB paru dibedakan atas 6 kelompok yakni: a)

  Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA

  Kasus baru Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah menelan OAT kurang dari satu bulan.

  b) Kasus kambuh (relaps)

  Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (-) atau baikan positif. Bila BTA negatif atau baikan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif/perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan:

   jamur, keganasan, dll).

  Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis,

   spesialis yang berkompeten menangani kasus tuberkulosis.

  TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter

  c) Kasus defaulted atau drop out (lalai)

  Pasien tuberkulosis yang telah menjalani pengobatan >1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

  d) Kasus gagal

  Pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

  e) Kasus kronik

  Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

  f) Kasus bekas TB

  Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukan lesi TB yang tidak aktif dan tidak mempunyai perubahan, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi. (Isbaniyah, et al., 2011)

  Etiologi Tuberkulosis

  TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Mycobacteria, seperti Mycobacteria tuberculosis, bersifat aerobik, tidak membentuk spora, nonmotile, dan fakultatif. Basil TB berbentuk batang ramping lurus, walau terkadang sedikit melengkung, dengan ukuran panjang 2 μm-4 μm dan lebar 0,2 μm–0,5 μm. Dinding sel mereka mengandung rantai panjang glycolipid dan yang kaya akan mikolat (mycocides) yang

  phospholipoglycans

  melindungi mycobacteria dari serangan lisosom serta mempertahankan perwarnaan fuschsin setelah dibilas dengan asam. Sebagian besar basil TB menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikrobakteria tahan asam dan merupakan mikrobakteria aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Suhu optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4-7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60ºC maka akan mati dalam waktu 15-20 menit.

  Mycobacterium tuberculosis

  Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet (Herchline, 2016).

  Morfologi bakteri Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tuberculosis panjangnya satu sampai 4

  mikron, lebarnya antara 0,3 sampai 0,6 mikron. Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37 dengan tingkat PH optimal pada 6,4 sampai 7,0. Untuk membelah dari satu sampai dua (generation time) kuman membutuhkan waktu 14-20 jam. Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak dan protein. Lemak merupakan komponen lebih dari 30% berat dinding kuman, dan terdiri dari asam stearate, asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta cord

  

factor , sementara komponen protein utamanya adalah

tuberkuloprotein (tuberkulin).

  Secara eksperimental, populasi M. tuberkulosis di dalam lesi dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu:

  Polulasi A, yang terdiri atas kuman yang secara aktif

  berkembang biak dengan cepat, kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang pHnya netral.

  Populasi B, terdiri atas kuman yang tumbuhnya sangat lamban dan berada dalam lingkungan pH yang rendah.

  Lingkungan asam inilah yang melindunginya terhadap obat anti- tuberkulosis tertentu.

  Populasi C, yang terdiri atas kuman tuberkulosis yang

  berada dalam keadaan dormant hampir sepanjang waktu, hanya kadang-kadang saja kuman ini mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat, kuman jenis ini bnayak terdapat dalam dinding kavitas.

  Populasi D, terdiri atas kuman-kuman yang sepenuhnya

  bersifat dormant sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat-obat anti-tuberkulosis. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh manusia sendiri.

  Bila kuman tuberkulosis kontak dengan obat anti TB, maka pertumbuhannya akan amat melemah dalam 2 atau 3 hari, dan kemudian aktif kembali. Masa dua atau tiga hari ini disebut

  

lag phase , dan ini merupakan dasar mengapa obat tuberkulosis

dapat diberikan secara intermitten dua atau tiga kali perminggu.

  Selain itu, dalam suatu populasi kuman sejak awal telah ada sebagian yang resistan terhadap satu jenis obat. Bila pada populasi itu hanya diberi satu jenis obat saja maka kuman yang sensitif akan turun jumlahnya, dan kuman yang resistan akan naik, sehingga setelah beberapa waktu populasi kuman telah berubah menjadi menjadi kuman yang resistan saja isinya. Hal inilah yang disebut fall and rise phenomena, dan menjadi salah satu dasar mengapa kita harus memberikan beberapa obat sekaligus pada penderita tuberkulosis. (Aditama, 2002)

  Epidemiologi Global

  Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi masalah kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikrobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh dunia.

  Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara-nagara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun.

  Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia. Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan:

  • negara yang sedang berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu dinegara maju.

  Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada

  • penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup.

  Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya

  • penduduk di kelompok yang rentan terutama di negeri- negeri miskin.

  Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada

  • para dokter.

  Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara

  • diagnostik, dan pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat.

  Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana

  • (Sudoyo, et al.2010)

  Adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia.

  Epidemiologi dan prevalensi TB paru di Indonesia

  Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,7% dari total jumlah pasien TB dunia, dengan setiap tahun ada 450.000 kasus baru dan 65,000 kematian. Penemuan kasus TB apusan dahak basil tahan asam (BTA) positif sejumlah 19.797 pada tahun 2011.

  Menurut hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi TB berdasarkan diagnosis sebesar 0,4% dari jumlah penduduk. Dengan kata lain, rata-rata tiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 400 orang yang didiagnosis kasus TB oleh tenaga kesehatan. Penyakit TB paru ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤ 1 tahun berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan melalui pemeriksaan dahak, foto toraks, atau keduanya. Hasil Riskesdas 2013 tersebut tidak berbeda dengan Riskesdas 2007 yang menghasilkan angka prevalensi TB paru 0,4%. Prevalensi TB paru berdasarkan gejala batuk ≥ 2 minggu secara nasional sebesar 3,9% dan prevalensi TB paru berdasarkan gelaja batuk darah sebesar 2,8%. (Riskesdas, 2013)

  Patogenesis TB paru

  Sumber penularan infeksi yang paling sering adalah pasien dengan BTA (+) yang mengekskresikan basil tuberkel dalam jumlah banyak, terutama dari traktus respiratorius. Kontak erat, misalnya dalam sebuah keluarga dan pajanan masif, misalnya pada petugas kesehatan, membuat transmisi melalui droplet paling mungkin terjadi. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3.000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembap. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

  Apabila droplet yang mengandung kuman TB terhirup oleh orang sehat, droplet akan masuk ke dinding saluran pernapasan dan kemudian masuk ke alveoli. Pada tempat ini basil tuberkulosis akan membentuk fokus primer, atau disebut juga fokus Gohn. Selanjutnya akan terjadi mekanisme imunitas tubuh non spesifik yang diperankan oleh makrofag. Makrofag akan memfagosit kuman TB, namun pada sebagian kasus makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Dari fokus primer, kuman dapat menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe atau kelenjar getah bening (KGB) regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) di dearah yang terkena. Gabungan antara fokus primer, limfangitis dan limfadenitis disebut sebagai kompleks primer. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai

  3

  4

  jumlah 10 - 10 , yaitu jumlah yang cukup untuk meransang respons imunitas selular.

  Individu yang terinfeksi basil TB untuk pertama kalinya hanya memberikan reaksi seperti jika terdapat benda asing di saluran pernapasan. Selama tiga minggu, tubuh hanya membatasi fokus infeksi primer melalui mekanisme peradangan, tetapi kemudian tubuh juga mengupayakan pertahanan imunitas selular yang bersifat spesifik, yang muncul setelah 3-10 minggu. Proses pembentukan pertahanan imunitas selular akan lengkap setelah 10 minggu.

  1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum). Inilah yang paling banyak terjadi.

  2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi dihilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5mm dan

  10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.

  3. Menyebar dengan cara:- i.

  Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya.

  Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus media oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. ii.

  Penyebaran secara bronkogen, penyebaran pada paru yang bersangkutan maupun ke paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama dahak dan ludah sehingga menyebar ke usus. iii.

  Penyebaran secara hematogen dan limfogen.

  Penyebaran ini dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.

  Sebagian besar orang yang terkena infeksi basil tuberkulosis dapat berhasil mengatasinya, hanya sekitar 3-4% dari orang yang terinfeksi kuman TB yang tidak berhasil menanggulanginya. (Sudoyo, et al., 2010; Kanai M.D., 1991)

  Gejala-gejala klinis

  Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam- macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan yang sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah:

  Deman. Biasanya subfebril menyerupai deman influenza.

  Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40- 41 . Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya deman influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan deman influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringanya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.

  

Batuk/Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk

  terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu- minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

  Sesak Napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh)

  belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

  Nyeri Dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada

  timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.

  Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang

  menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. (Amin. M, et al., 1993)

  Diagnosis TB paru

  Tuberkulosis sering mendapat julukan the great imitator yaitu suatu penyakit yang mempunyai kemiripan dengan penyakit- penyakit paru lain. Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan: gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis TB dibagi atas 2 golongan, yaitu gejala respiratorius berupa batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratorius ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar. Sedangkan gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan penurunan berat badan.

  Pada awal perkembangan penyakit sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan fisis dapat dijumpai antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma dan mediastinum.

  Pemeriksaan fisis

  Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun.

  Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit dinilai secara palpasi, perkusi, dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.

  Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila dicuriga adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonar atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.

  Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis,

  

right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel,

  bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegaly, asites, dan edema.

  Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernafasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.

  Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologi dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif. (Sudoyo, et al., 2010)

  Pemeriksaan bakteriologik Pemeriksaan sputum

  Pemeriksaan sputum untuk menegakkan diagnosis dengan mengumpulkan 3x sampel sputum yang dikumpulkan dalam 2 hari, diistilahkan dengan sputum Sewaktu-Pagi-Sewaktu(SPS).

  

Sewaktu: sputum dikumpulkan pada saat pasien yang diduga TB

  datang berkunjung pertama kali. Saat pulang suspek membawa pot penampung sputum.

  

Pagi: sputum dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot penampung dibawa sendiri kembali.

Sewaktu: sputum dikumpulkan pada hari kedua, saat pasien

menyerahkan dahak pagi hari.

  Setelah sputum terkumpul, maka selanjutnya dilakukan proses pewarnaan dengan menggunakan pewarnaan panas dengan metode Ziehl Neelsen (ZN) atau pewarnaan dingin Kinyoun- menurut Tan Thiam Hok. Interpretasi hasil pemeriksaan

  Gabbet

  dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:- 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif bermaksud BTA positif. 1 kali positif, 2 kali negatif. Ulang BTA 3 kali, kemudian Bila 1 kali positif, 2 kali negatif bermaksud BTA positif Bila 3 kali negatif bermaksud BTA negatif

  Berdasarkan rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis sputum pasien dapat dibaca dengan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) yaitu:

  • disebut negatif

  Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang,

  Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang

  • Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang,
  • disebut + (1+)
  • disebut ++ (2+)

  Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang,

  • disebut +++ (3+)

  Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang,