Makalah Kebebasan Beragama Pendidikan Ke

Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali
yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas
segala berkat, rahmat, taufk, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya,
sehingga

penulis

dapat

menyelesaikan

makalah

dengan

judul

”Kebebasan


Beragama”. Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari
berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: Seluruh Teman Sekolah dan segenap keluarga besar Asrama
yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari
sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis
berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu
ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap
agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Pemali, 14 November 2014

Penyusun

1

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................................................................1
Daftar Isi.......................................................................................................................................2


Bab I : Pendahuluan.............................................................................................3
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................5

Bab II : Pembahasan.............................................................................................6
Bab III : Pemecahan Masalah..............................................................................8
3.1 Pengertian hak Kebebasan Beragama..............................................................................8
3.2 Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat ?.........................12
3.3 Penerapan Bergama Di Indonesia...................................................................................13

Bab IV : Penutup.................................................................................................16

2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak

asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila
tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia
semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara.
Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau
Negara lain. HAM juga merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang,
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Oleh karena
itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil
oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat
kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan
sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga
kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau

3

tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk
memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.

Kesadaran akan hak asasi manusia , harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali
sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah
ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia.
Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan
hak asasi manusia.
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights,
United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak
yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai
manusia.
John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Menurut Prof. Dr. Dardji darmodiharjo, S.H, HAM adalah hak-hak dasar / pokok yang dibawa
manusia

sejak


lahir

sebagai

anugerah

Tuhan Yang Maha Esa.

4

Laboratorium pancasila IKIP Malang menyebutkan bahwa HAM adalah hak yang melekat pada
martabat

manusia

sebagai

insan


ciptaan

Tuhan

Yang Maha Esa.
Prof. Mr. Kuntjono Purbo pranoto, HAM adalah hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya
yang tidak dipisahkan hakikatnya.
Koentjoro Poerbapranoto ( 1976 ), Hak Asasi adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut
kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
UU No 39 Tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hokum, pemerintah dan setiap
orang demi kerhormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa Hak Asasi Manusia itu merupakan suatu hak dasar yang
dimiliki oleh setiap manusia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat
dipisahkan dari diri manusia kemudian hak tersebut juga harus dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan dan harkat martabat.

1.2 Rumusan masalah
Adapaun rumusan masalah yang ingin penulis cari permasalahannya ialah:

1. Apakah maksud dari Hak kebebasan beragama tersebut ?
2. Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat ?
3. Bagaimana penerapan kebebasan beragama di Indonesia ?

5

BAB II
PEMBAHASAN
Negara Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai jumlah penduduk
terbanyak di dunia. Dengan banyaknya jumlah penduduk tersebut, tidak menutup kemungkinan
jika Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukkan yang sangat besar, terlebih lagi
dalam urusan memilih kepercayaan. Selain itu, warga negara Indonesia juga dikenalkan dengan
sikap saling toleransi yang sudah dipelajari dari sejak kecil hingga dewasa.
Namun akhir-akhir ini, sikap toleransi yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia kini
telah mulai menghilang sedikit demi sedikit. Hal tersebut dapat terlihat ketika banyak sekali aksiaksi yang mengintimidasi kelompok-kelompok yang mereka sebut sebagai “aliran sesat”.
Kebebasan beragama adalah prinsip yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat,
untuk menerapkan agama atau kepercayaan dalam ruang pribadi atau umum. Kebebasan
beragama termasuk kebebasan untuk mengubah agama dan tidak menurut setiap agama.
Dalam negara yang mengamalkan kebebasan beragama, agama-agama lain bebas dilakukan
dan ia tidak menghukum atau menindas pengikut kepercayaan lain yang berbeda dari agama

resmi. Kebebasan memeluk agama di indonesia sudah dijamin dalam konstitusi yang tercantum
dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 :

6

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak
untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga
menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk
agama.
Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD
1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD
1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasanpembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap
patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.

7


BAB III
PEMECAHAN MASALAH
3.1 Pengertian Hak Kebebasan Beragama
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 menyatakan setiap orang berhak atas
kebebasan agama (Pasal 18). Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18). Definisi hak kebebasan beragama secara
formal terdapat dalam DUHAM, tepatnya dalam Pasal 18 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan batin dan agama, dalam hak ini
termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan
agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan
menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum
maupun yang tersendiri.”
Pasal tersebut menjelaskan mengenai hak kebebasan beragama yang terdiri dari hak untuk
beragama, hak untuk berganti agama, hak untuk mengamalkan agama dengan cara
mengajarkannya, melakukannya baik secara sendiri ataupun kelompok dan di tempat umum atau
tempat pribadi.

8

Pada tahun 1993 Komite HAM PBB dan sebuah badan independen yang terdiri dari 18 orang

ahli menjelaskan agama atau keyakinan sebagai :“ Theistic, non-theistic and atheistic belief, as
well as the right not to profess any religion or belief.” Definisi tersebut telah menjelaskan bahwa
agama atau keyakinan dapat berbentuk ketuhanan, non ketuhanan, tidak bertuhan dan tidak
mengakui sama sekali agama atau keyakinan tertentu
Di AS pemahaman mengenai freedom of religion, baik dalam arti positif maupun negatif
seperti diungkapkan Sir Alfred Denning bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk
beribadah atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama Kristen
atau agama lain atau bahkan tidak beragama (Azhary, 2004, dalam Triyanto, 2008).
Pengertian kebebasan beragama seperti yang ada dalam deklarasi umum PBB tentu saja
bersifat sangat liberal, dan nampak didominasi budaya Barat. Ini berbeda dengan konsep
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengandung konotasi positif. Artinya, tidak
ada tempat bagi ateisme atau propaganda antiagama di Indonesia. Itu juga yang menjadi
penyebab, mengapa dalam pengambilan keputusan mengenai DUHAM, khususnya pasal
mengenai kebebasan beragama, utusan Arab Saudi di PBB bersikap abstain. Karena menurut
hukum Islam, orang yang keluar dari agama Islam, atau tidak bertuhan berarti murtad atau kafir.
Sebagai reaksi terhadap Deklarasi Umum HAM yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran
Islam, maka Organisasi Konferensi Islam (OKI), pada akhirnya,tahun 1990, membuat sebuah
deklarasi HAM yang berlandaskan hukum Islam. Deklarasi tersebut dikenal dengan nama Cairo
Declaration ( Deklarasi Kairo/DK). DK bejumlah 30 pasal yang mengatur HAM, baik dalam
bidang hak sipil dan politik juga hak ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu hak yang diatur

dalam DK adalah hak kebebasan beragama.
Pembukaan Deklarasi Kairo berbunyi demikian:

9

“Berkeinginan untuk memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha umat manusia dalam
rangka menegakkan hak-hak asasi manusia, melindungi manusia dari pemerasan dan
penindasan, serta menyatakan kemerdekaan dan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang
layak sesuai dengan syariat Islam. Bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam
Islam merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya
berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau
mengabaikanya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan itu merupakan perintah suci mengikat
yang termaktub dalam wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui nabi-Nya yang terakhir.”
Pasal 10 Deklarasi Kairo mengatur sebagai berikut:
“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah SWT). Islam melarang melakukan
paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan
seseorang untuk mengubah agamanya atau menjadi atheis.”(lihat Eka A. Aqimuddin, 2009).
Di Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945, yang menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan
berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan
bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih
diperkuat lagi dalam Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai
kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam
masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam
pengajaran dan peribadatannya.

10

Soalnya adalah, jika dalam DUHAM, Deklarasi Kairo maupun di dalam UU HAM kebebasan
beragama dan berkeyakinan telah dijamin, mengapa masih ada kekerasan atas nama agama?
Dalam serangkaian kasus kekerasan berbasis agama di Indonesia akhir-akhir ini, kita dapat
melakukan analisis berdasarkan pada ketentuan normatif yang berlaku, baik yang ada dalam
DUHAM, DK, UUD’45, UU HAM maupun KUHP. Kasus-kasus tersebut di atas tadi
memperlihatkan bahwa berbagai ketentuan HAM maupun perundangan-undangan telah
dilanggar.
Soalnya adalah, siapa yang harus menjamin agar para pemeluk agama dan keyakinan yang
menoritas ini dapat melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya itu dengan tenang, aman
dan tanpa ancaman?
UUD’45 pasal 18 telah menyebutkan bahwa negarah, khsusunya pemerintahlah yang
berkewajiban untuk menghormati, melindungi, memajukan dan memenuhi Hak Asasi Manusia.
Demikian juga UU No.39/1999 pasal 71 dan 72 menegaskan bahwa jaminan itu menjadi
kewajiban negara untuk memenuhinya.
Seutuhnya bunyi UU 39/1999 mengenai HAM, (Pasal 71) adalah demikian :
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,melindungi, menegakkan, dan
memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundangundangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara
Republik Indonesia”.
Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana diatur pasal 71, meliputi langkah
implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,
keamanan negara, dan bidang lain. (Pasal 72)

11

Tentu ada masalah, ketika undang-undang telah memberikan mandat, tetapi dalam praktiknya
di lapangan, aparat keamanan negara terkesan membiarkan kelompok-kelompok “penguasa
dunia moral” dengan cara brutal menghakimi kelompok lain yang agama dan keyakinannya
berbeda. Ada apa semua ini? Ada yang bilang bahwa semua itu adalah strategi elite penguasa
untuk mengalihkan isu Bank Century, kasus Gayus, kasus cek perjalanan terkait pemilihan
Gubernur BI. Ada juga yang menduga polisi di tingkat bawah takut dituduh melanggar HAM,
dan takut dihukum oleh atasannya jika bertindak keras; ada analisis lain yang melihatnya sebagai
akibat dari kepemimpinan nasional yang lemah, dan sebagainya.
Ditengah berbagai ketidakmenentuan ini, termasuk ketidakmenentuan analisis terhadap
berbagai kasus kekerasan berbasis agama tersebut, maka sudah waktunya dibangun gerakan
advokasi yang kuat, agar yang tidak menentu itu bisa lebih pasti. Terutama kepastian bahwa
mereka yang melanggar hukum harus ditindak secara tegas, sesuai peraturan yang berlaku.

3.2 Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat ?
Menurut pasal 2 ayat (2) UU Penodaan Agama, kewenangan menyatakan suatu
organisasi/aliran kepercayaan yang melanggar larangan penyalahgunaan dan/atau penodaan
agama sebagai organisasi/aliran terlarang ada pada Presiden, setelah mendapat pertimbangan
dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Pada prakteknya, ada Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat atau biasa
disingkat Bakor Pakem. Sebenarnya yang dimaksud Bakor Pakem adalah Tim Koordinasi
Pengawasan Kepercayaan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No.:

12

KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM).
Tim Pakem ini bertugas mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang tumbuh dan hidup di
kalangan masyarakat. Tim Pakem ini kemudian akan menghasilkan suatu surat rekomendasi
untuk Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, tindakan apa yang harus
diambil. Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (“JAI”), misalnya, Tim Pakem memberikan
rekomendasi agar JAI diberi peringatan keras sekaligus perintah penghentian kegiatan.

3.3 Penerapan Kebebasan beragama di Indonesia
Dalam UUD 1945 Pasal 29 sangat tegas disebutkan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu.” Pasal ini merupakan bentuk perlindungan negara terhadap
semua umat beragama di Indonesia. Pasal tersebut juga merupakan bentuk peneguhan dan
penegasan bahwa Negara Indonesia didirikan bukan atas dasar satu agama saja, tetapi
memberikan kedudukan yang sama bagi semua agama yang berkembang di Indonesia.Konsepsi
satu untuk semua merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa dengan melihat realitas
kemajemukan bangsa.
Sebagai bangsa yang majemuk pluralistis, tentunya Indonesia mempunyai potensi konflik yang
sangat tinggi, terutama konflik antaragama. Karena itu dalam rangka menciptakan kerukunan
umat beragama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama (Perber) dua menteri, yaitu
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.

13

Di Indonesia sendiri kebebasan beragama diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pemerintah secara resmi mengakui enam agama, dan beberapa larangan hukum terus berlaku
terhadap beberapa jenis kegiatan keagamaan tertentu yang dianggap dapat menyinggung agama
lain. Kebebasan beragama dianggap diatur secara tertulis pada undang-undang dengan tujuan
agar HAM masyarakat dapat terwujud dengan baik dan benar. Dengan kata lain, pemerintah
sebenarnya menyalahkan tindakan-tindakan anarkis yang dilakukan atas dasar agama tertentu.
Namun fakta berbicara lain sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum di Indonesia
penerapan peraturan mengenai kebebasan beragama masih kurang tegas dalam pelaksanaannya.
Contohnya saja kasus jemaat Ahmadyah yang diperlakukan bak buruan. Sudah puluhan kali
rumah dan masjid mereka dibakar. Dan tragedi di Cikeusik, Pandeglang, Banten, tahun 2011
lalu, semakin membuat kita prihatin. Penyerang tak hanya membakar rumah, tapi juga
membunuh tiga anggota Ahmadiyah. Kebrutalan itu seolah didiamkan oleh polisi di sana.
Kepolisian setempat beralasan, jumlah personel tidak cukup untuk menghadang kelompok yang
menyerang Ahmadiyah. Dalih seperti ini sulit dipahami oleh akal sehat. Kalaupun fakta itu
benar, bukankah mereka bisa meminta bantuan polisi di daerah lain? Jika aparat terdesak, kenapa
pula

tidak

menghalau

lewat

tembakan

peringatan?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menyatakan, ada kemungkinan peristiwa itu bisa
dicegah. Ia kemudian berjanji akan menghukum siapa pun yang terbukti lalai dan bersalah, entah
itu polisi, personel pemerintah daerah, anggota Ahmadiyah, maupun massa penyerang.
Masalahnya, publik telanjur kurang percaya bahwa pemerintah benar-benar akan bertindak
tegas. Orang juga ragu akan kemampuan pemerintah menyelesaikan urusan Ahmadiyah secara
tuntas. Sebab, insiden seperti itu sudah terlalu sering terjadi, dan pemerintah selalu tak mampu
melindungi anggota Ahmadiyah. Pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad ini justru semakin kerap

14

menjadi sasaran penyerangan setelah pemerintah mengeluarkan surat keputusan bersama pada
2008. SKB yang diteken oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung itu
melarang kegiatan Ahmadiyah.
Di situ sebenarnya juga diatur bahwa masyarakat tak boleh main hakim terhadap anggota
Ahmadiyah, tapi ketentuan ini terbukti tidak efektif. Surat keputusan itu justru dijadikan alat oleh
sekelompok masyarakat untuk melegalkan penyerangan. Warga Ahmadiyah dianggap melanggar
surat itu karena mereka menyiarkan ajaran sesat. Pemerintah mestinya mencabut aturan yang
kontroversial ini. Namun apa daya rupanya pemerintah belum melakukan apapun yang berarti
untuk mencegah kasus ini terjadi.
Ini menjadi bukti bahwa penegakan kebebasan beragama di Indonesia masih sangat
memprihatinkan. Kebebasan untuk mengekspresikan keberagamaan di Indonesia nampaknya
juga banyak mendapat sorotan dari dunia internasional. Meskipun belum bisa dijadikan rujukan,
data terbaru yang dikeluarkan Pemerintah Amerika Serikat yang memasukkan Indonesia dalam
daftar pelanggaran berat kebebasan beragama bersama Afganistan, Bangladesh, Belarus, Kuba,
Mesir, dan Nigeria perlu dicermati ulang. Setidaknya, laporan tahunan yang dirilis pertengahan
tahun 2006 ini cukup membuka mata untuk melihat sejauh mana Indonesia telah menjamin hakhak beragama warganya.

15

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berbicara tentang hubungan antar agama, maka membicarakan mengenai pluralisme agama.
Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda bagi setiap orang. Secara sosiologis,
pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural
dalam hal beragama.
Wacana pluralisme agama adalah setiap umat beragama didunia pasti berbeda, tetapi juga
terdapat titik temu secara teologis antara umat-umat beragama. Sesungguhnya tidak ada yang
namanya absolutisme agama, hal itu berarti antar umat beragama tidak bisa menyalahkan ajaran
agama orang lain yang dapat dilakukan hanya menghargai agama orang lain. Dengan demikian
apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama lain itu salah maka yang sesungguhnya
salah adalah orang tersebut karena secara tidak langsung ia menyalahkan yang Tuhan dan
bahkan menyamakan dirinya dengan Tuhan. Oleh karena itu, pengertian dan pemahaman tentang

16

agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak
menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain

17