Hak dan kewajiban kontrak kerja pak arif

Apa yang dimaksud dengan kontrak kerja?
Sangatlah penting bagi pekerja untuk memiliki kontrek kerja. Kontrak kerja adalah suatu
perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu
maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban. Setiap
perusahaan wajib memberikan kontrak kerja di hari pertama anda bekerja. Dalam KONTRAK
KERJA biasanya terpapar dengan jelas pekerja memiliki hak mendapat kebijakan perusahaan
yang sesuai dengan Undang- undang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Di dalamnya
juga memuat mengenai prosedur kerja dan kode disiplin yang ditetapkan perusahaan.
Dari bunyi pasal 1601a KUH Perdata dapat dikatakan bahwa yang dinamakan
KONTRAK KERJA harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
 Adanya pekerja dan pemberi kerja

Antara pekerja dan pemberi kerja memiliki kedudukan yang tidak sama. Ada pihak
yang kedudukannya diatas (pemberi kerja) dan ada pihak yang kedudukannya
dibawah (pekerja). Karena pemberi kerja mempunyai kewenangan untuk
memerintah pekerja, maka kontrak kerja diperlukan untuk menjabarkan syarat ,
hak dan kewajiban pekerja dan si pemberi kerja.
 Pelaksanaan Kerja

Pekerja melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang ditetapkan di perjanjian
kerja.

 Waktu Tertentu

Pelaksanaan kerja dilakukan dalam kurun waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh
pemberi kerja.
 Adanya Upah yang diterima

Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh
untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau
dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau
peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja
antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri
maupun keluarganya (Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981
tentang Perlindungan Upah).

Syarat sahnya kontrak kerja
Pasal 1338 ayat (1) menyatakan bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah.
Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KHU Perdata. Pasal 1320
KHU Perdata menentukan syarat sahnya kontrak kerja yaitu adanya :
 Kesepakatan


Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau sukarela
di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada
apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.
 Kewenangan

Pihak-pihak yang membuat kontrak kerja haruslah orang-orang yang oleh hukum
dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum
mempunyai kewenangan untuk membuat kontrak. Yang tidak adalah anak-anak,
orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit
jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau
pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
 Objek yang diatur harus jelas

Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan
mencegah timbulnya kontrak fktif.
 Kontrak kerja harus sesuai dengan Undang - Undang.

Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan. Dan

tidak boleh bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.

Sekarang, pengetahuan Anda sudah bertambah mengenai apa arti dari kontrak kerja dan kapan
kontrak kerja dianggap sah. Tetapi ada baiknya Anda juga mempelajari bagaimana cara
membuat kontrak kerja yang baik.

Apa yang dimaksud dengan Kontrak Kerja?
Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan
adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat
syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

Bagaimana membuat kontrak kerja yang memenuhi syarat?
Ada saja yang ada di dalamnya?
Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang
kurangnya harus memuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
c. jabatan atau jenis pekerjaan
d. tempat pekerjaan
e. besarnya upah dan cara pembayarannya

f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam perjanjian
kerja.

Apa syarat kontrak kerja dianggap sah?

Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja dianggap sah atau tidak maka wajib
untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) yang menyatakan bahwa :
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;





kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
kecakapan untuk membuat suatu perikatan
suatu pokok persoalan tertentu
suatu sebab yang tidak terlarang


Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa :
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:





kesepakatan kedua belah pihak
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
adanya pekerjaan yang diperjanjikan
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Apa saja jenis kontrak kerja menurut bentuknya?
a)

Berbentuk Lisan/ Tidak tertulis
 Meskipun kontrak kerja dibuat secara tidak tertulis, namun kontrak kerja jenis ini tetap
bisa mengikat pekerja dan pengusaha untuk melaksanakan isi kontrak kerja tersebut.

 Tentu saja kontrak kerja jenis ini mempunyai kelemahan fatal yaitu apabila ada beberapa
isi kontrak kerja yang ternyata tidak dilaksanakan oleh pengusaha karena tidak pernah
dituangkan secara tertulis sehingga merugikan pekerja.

b)

Berbentuk Tulisan
 Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tulisan, dapat dipakai sebagai bukti tertulis
apabila muncul perselisihan hubungan industrial yang memerlukan adanya bukti-bukti
dan dapat dijadikan pegangan terutama bagi buruh apabila ada beberapa kesepakatan
yang tidak dilaksanakan oleh pengusaha yang merugikan buruh.
 Dibuat dalam rangkap 2 yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, masing-masing
buruh dengan pengusaha harus mendapat dan menyimpan Perjanjian Kerja (Pasal 54 ayat
3 UU 13/2003).

Apa saja jenis perjanjian kerja menurut waktu
berakhirnya?
a)

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)


Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang pekerjanya sering disebut karyawan kontrak
adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan
kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
PKWT harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
 didasarkan atas jangka waktu paling lama tiga tahun atau selesainya suatu pekerjaan
tertentu
 dibuat secara tertulis dalam 3 rangkap : untuk buruh, pengusaha dan Disnaker
(Permenaker No. Per-02/Men/1993), apabila dibuat secara lisan maka dinyatakan sebagai
perjanjian kerja waktu tidak tertentu
 dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin atau dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing
dengan Bahasa Indonesia sebagai yang utama;
 tidak ada masa percobaan kerja (probation), bila disyaratkan maka perjanjian kerja
BATAL DEMI HUKUM (Pasal 58 UU No. 13/2003).
b)

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu, pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
Pekerjanya sering disebut karyawan tetap

Selain tertulis, PKWTT dapat juga dibuat secara lisan dan tidak wajib mendapat pengesahan dari
intstansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan wajib
membuat surat pengangkatan kerja bagi karyawan yang bersangkutan. PKWTT dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) untuk paling lama 3 (tiga) bulan, bila
ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka demi hukum sejak bulan keempat, si pekerja sudah
dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT). Selama masa percobaan, Perusahaan wajib
membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang
berlaku.

Sekarang kita telah mengetahui dasar-dasar mengenai jenis kontrak kerja. Yang paling sering
ditanyakan adalah mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk para pekerja
kontrak. Maka dari itu, Gajimu akan mencoba membahasnya dengan lebih detail.

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Apa yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu?
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah
perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.

Siapa saja pihak yang bersangkutan dalam
penandatanganan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu?
Pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah pekerja
secara pribadi dan langsung dengan pengusaha

Apa saja isi dari Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) ?
Isi dari PKWT bersifat mengatur hubungan individual antara pekerja dengan
perusahaan/pengusaha, contohnya : kedudukan atau jabatan, gaji/upah pekerja, tunjangan serta
fasilitas apa yang didapat pekerja dan hal-hal lain yang bersifat mengatur hubungan kerja secara
pribadi.

Apa saja jenis dan sifat pekerjaan yang
diperbolehkan menggunakan Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu?
1. Pekerjaan yang selesai sekali atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama
tiga tahun
 Apabila pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjian maka Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan.

 Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu harus mencantumkan batasan suatu pekerjaan
dinyatakan selesai.
 Apabila pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
 Pembaruan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dilakukan setelah masa tenggang waktu 30
hari setelah berakhirnya Perjanjian Kerja. Selama tenggang waktu 30 hari tersebut, tidak
ada hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan/pengusaha.
2. Pekerjaan Musiman
 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ini hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan
pada musim tertentu.
 Pekerjaan – pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan/ target tertentu
dapat dilakukan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sebagai pekerjaan musiman.
 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan musiman tidak dapat dilakukan
pembaruan.

3. Pekerjaan yang terkait dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk jenis pekerjaan ini hanya dapat dilakukan untuk
jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1
tahun.
 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan ini tidak dapat dilakukan pembaruan
 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya boleh diberlakukan bagi pekerja yang melakukan
pekerjaan di luar kegiatan atau di luar perkerjaan yang biasa dilakukan perusahaan
4. Pekerjaan harian/ Pekerja
lepas
 Perjanjian Kerja Waktu Terntu dapat dilakukan untuk pekerjaan – pekerjaan tertentu
yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada
kehadiran.
 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerja harian lepas dilakukan dengan ketentuan
pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan.
 Apabila pekerja harian bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut
maka Perjanjian Kerja Waktu Tertentu berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu.
 Pengusaha yang mempekerjakan pekerja harian/lepas wajib membuat perjanjian kerja
secara tertulis
 Perjanjian Kerja tersebut harus memuat sekurang – kurangnya : Nama/alamat perusahaan
atau pemberi kerja, nama/alamat pekerja, jenis pekerjaan yang dilakukan dan bersarnya
upah dan/atau imbalan lainnya.

Apakah PKWT dapat dibuat secara lisan?

Tidak. PKWT wajib dibuat secara tertulis dan didaftarkan di instansi ketenagakerjaan terkait.
Apabila dibuat secara lisan, akibat hukumnya adalah kontrak kerja tersebut menjadi PKWTT.

Berapa lama PKWT dapat diadakan?
PKWT dapat diadakan paling lama 2 (dua) tahun. Apabila pengusaha ingin melakukan
perpanjangan kontrak, maka pengusaha wajib memberitahukan maksud perpanjangan tersebut
secara tertulis kepada pekerja paling lama 7 (tujuh) hari sebelum kontrak berakhir.

Berapa lama maksimal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
yang diperbolehkan Undang-Undang?
Menurut UU No.13/2003 pasal 59 ayat 4, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya boleh
dilakukan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Pengusaha/perusahaan yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, harus memberitahukan
maksudnya untuk memperpanjang PKWT secara tertulis kepada pekerja yang bersangkutan,
paling lama 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir. Jika pengusaha tidak memberitahukan
perpanjangan PKWT ini dalam wakktu 7 (tujuh) hari maka perjanjian kerjanya batal demi
hukum dan menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), seperti yang diatur dalam
UU No.13/2003 pasal 59 ayat 5.

Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 3 ayat 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, bahwa PKWT hanya dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.

PKWT yang dilakukan melebihi waktu 3 (tiga) tahun, maka perjanjian kerjanya batal demi
hukum dan menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan kata lain
karyawan tersebut menjadi karyawan permanen – UU No.13/2003 pasal 59 ayat 7

Apakah pembaruan perjanjian kerja dapat diterapkan
dalam PKWT?
Dapat. Menurut UU No.13/2003 pasal 59 ayat 6, Pembaruan perjanjian kerja dapat dilakukan 1
(satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Pembaharuan ini dapat diadakan setelah lebih dari 30
hari sejak berakhirnya PKWT . Misalnya, apabila pekerjaan belum dapat diselesaikan maka
dapat diadakan pembaruan perjanjian. Apabila PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30
hari sejak berakhirnya PKWT, maka PKWT dapat berubah menjadi PKWTT.

Pembaruan PKWT ini dilakukan dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan
tertentu, namun karena kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan - pasal
3 ayat 5 Kepmenakertrans Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004

Apa perbedaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dengan
Outsourcing?
Outsourcing = Perjanjian Pemborongan Pekerjaan. Perusahaan pemberi kerja memborongkan
sebagian dari pekerjaan kepada perusahaan pemborong atau perusahaan penyedia tenaga kerja
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja.

Hubungan kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan pemborong pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja dapat dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu. Undang-undang tidak mengatur tentang hal ini.

Baik pekerja yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan maupun pekerja dari perusahaan
pemborong outsourcing akan bekerja di lokasi kerja perusahaan tersebut. Status hubungan kerja
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu apakah pekerja yang dipekerjakan langsung atau pekerja yang
melalui outsourcing boleh saja dilakukan sepanjang sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang –
Undang No. 13 tahun 2003.

Apakah Undang-Undang mengatur mengenai perjanjian
kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan
outsourcing?

Mengenai aspek hukum hubungan kerja antara Saudara -selaku pekerja/buruh- dengan
“perusahaan outsourcing“, dijelaskan dalam UU No. 13.2003 pasal 66 ayat 2 huruf b,
bahwa perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan
penyedia jasa pekerja, adalah PKWT apabila pekerjaannya memenuhi persyaratan sebagai
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pelaksanaannya akan selesai dalam
waktu tertentu; dan/atau PKWTT yang dibuat (diperjanjikan) secara tertulis dan ditanda-tangani
oleh kedua belah pihak.

Terkait dengan ketentuan tersebut, dijelaskan dan dipertegas dalam pasal 59 ayat 2 UU
No. 13/2003, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), tidak dapat diadakan
untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap, ada 2 (dua) kategori, yakni:
 pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu
dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalan satu perusahaan, atau
 pekerjaan pekerjaan yang bukan musiman (Penjelasan pasal 59 ayat 2 UU No. 13/2003).
Dengan perkataan lain, apabila suatu pekerjaan walau bersifat terus-menerus, tidak terputusputus, tidak dibatasi waktu namun bukan merupakan bagian dari suatu proses produksi pada satu
perusahaan, dalam arti hanya merupakan kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi atau kegiatan pokok (core business) sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003, maka dianggap bukan sebagai pekerjaan yang berisfat
tetap, sehingga dapat menjadi objek PKWT.

Berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan jasa penunjang, walaupun pekerja dapat
dipekerjakan dengan hubungan kerja melalui PKWT, akan tetapi untuk
“perusahaan outsourcing”, ada persyaratan tambahan sebagai amanat Putusan MK Register
Nomor 27/PUU-IX/2011, bahwa PKWT harus memuat prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja atau Transfer of Undertaking Protection
Employment (TUPE) yang mengamanatkan:
 pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh (termasuk berlanjutnya hubungan
kerja dengan perusahaan outsourcing yang baru) yang objek kerja-nya tetap ada
walaupun terjadi pergantian perusahaan outsourcing.
 masa kerja pekerja/buruh harus diperjanjikan (dalam PKWT) untuk dibuatexperience
letter
 experience letter menentukan masa kerja dan menjadi salah satu dasar penentuan upah
pada perusahaan outsourcing berikutnya.

Apa yang harus dimuat dalam Perjanjian Kerja Tidak
Tertentu pada perusahaan penyedia jasa (outsourcing)?
Atas dasar Putusan MK tersebut kemudian dituangkan dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3)
Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, khususnya PKWT pada perusahaan penyedia jasa pekerja,
bahwa PKWT-nya, sekurang-kurangnya memuat:
 jaminan kelangsungan bekerja;
 jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundangundangan dan yang diperjanjikan; dan
 jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh untuk menetapkan upah;
Demikian juga memuat hak-hak lainnya, seperti








hak atas cuti (tahunan) apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
hak atas jamsostek;
Tunjangan Hari Raya (THR),
istirahat mingguan;
hak atas ganti-rugi (kompensasi diakhirinya hubungan kerja PKWT);
penyesuaian upah berdasarkan -akumulasi- masa kerja;
dan hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian
kerja (PKWT) sebelumnya.

Apakah ada aturan hukum mengenai penahanan suratsurat berharga milik karyawan?
Peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, termasuk UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur boleh-tidaknya perusahaan menahan surat-surat
berharga milik karyawan, seperti misalnya ijazah.

Penahanan ijazah pekerja/karyawan oleh perusahaan, diperbolehkan, sepanjang memang menjadi
kesepakatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan antara pekerja dan pengusaha biasa
dituangkan dalam perjanjian kerja yang mengikat pekerja dan pengusaha dalam hubungan kerja.
Artinya, penahanan ijazah oleh pengusaha diperbolehkan sepanjang Anda menyepakatinya dan
Anda masih terikat dalam hubungan kerja.

Apabila ijazah Anda tetap ditahan dan tidak dikembalikan setelah Anda berhenti bekerja, Anda
dapat mengupayakan cara-cara kekeluargaan terlebih dahulu. Misalnya, dengan mendatangi
perusahaan tersebut untuk meminta kembali ijazah Anda. Namun, apabila memang pihak

perusahaan tidak mau mengembalikan ijazah Anda, Anda dapat menggugat perusahaan tersebut
atas dasar perbuatan melawan hukum atau melaporkan ke polisi atas tuduhan penggelapan.

Sedangkan, penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan adalah
perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan
atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya,
penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau
penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan
barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam
penguasannya yang mana barang/uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain.

Bagaimanakah bila tidak ada perjanjian kerja yang tertulis
antara pekerja dengan perusahaan dikarenakan perusahaan
masih baru beroperasi?
Pada dasarnya, perjanjian kerja tidak harus dilakukan secara tertulis. Berdasarkan Pasal 50 dan
Pasal 51 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh, yang mana perjanjian kerja
dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Akan tetapi, terdapat pengecualian dalam hal perjanjian
kerja untuk waktu tertentu (PKWT). Dalam Pasal 57 UU No.13/2003 ditegaskan bahwa PKWT
harus dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. PKWT
yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
(PKWTT).

Selain itu, dalam hal perusahaan tidak membuat perjanjian kerja secara tertulis (PKWTT) dengan
pekerjanya, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan (Pasal 63 UU Ketenagakerjaan).

Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a.

nama dan alamat pekerja/buruh;

b.

tanggal mulai bekerja;

c.

jenis pekerjaan; dan

d.

besarnya upah.

Jadi, dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu, memang tidak harus dilakukan
dengan perjanjian kerja tertulis, akan tetapi perusahaan wajib membuat surat pengangkatan bagi
pekerjanya.

Bagaimana hukumnya jika Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu dibuat dalam Bahasa Inggris dan para pihak yang
bertandatangan adalah orang asing?
Dalam Undang – Undang No. 13 tahun 2003 pasal 57 ayat 1 menyatakan bahwa “Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan
huruf latin”.

Meski para pihak adalah orang asing, hukum yang berlaku dalam perjanjian tersebut adalah
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, oleh karena itu PKWT harus dibuat dalam bahasa Indonesia,
dengan terjemahan ke Bahasa Inggris. Segala ketentuan yang mengikat secara hukum adalah
ketentuan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris dalam Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu tersebut hanyalah merupakan terjemahan, agar para pihak mengerti isinya.

Apa yang menjadi acuan untuk tenaga kerja asing yang
bekerja di representative office jika ingin hak-haknya bisa
diakomodir menurut hukum Indonesia?
Penggunaan tenaga kerja asing pada representative office juga wajib tunduk pada peraturan
ketenagakerjaan Indonesia. Oleh karena itu, apabila ketentuan ketenagakerjaan kita mengatur
mengenai suatu hak bagi tenaga kerja asing yang wajib dipatuhi oleh pemberi kerja, maka hakhak tersebut wajib diberikan pada tenaga kerja asing tersebut. Contohnya, mengenai jaminan
sosial tenaga kerja. Seorang tenaga kerja asing juga berhak untuk memperoleh jamsostek, seperti
halnya pekerja WNI

Perjanjian Kerja Bersama

Latar Belakang
Dalam dunia kerja, sebelum terjadi hubungan kerja antara Pengusaha dan Pekerja, dibuat suatu
perjanjian yang merupakan dasar kesepakatan untuk memenuhi hak dan kewajiban antara
masing-masing pihak (Pengusaha dan Pekerja). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mengatur tentang perjanjian kerja, dan juga
mengatur tentang perjanjian kerja bersama. Berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU Ketenagakerjaan,
perjanjian kerja bersama (“PKB”) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
Pengertian Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Berdasarkan pengertian tersebut, PKB mengatur mengenai perjanjian antara serikat
pekerja/beberapa serikat pekerja dengan pengusaha/beberapa pengusaha/perkumpulan
pengusaha. Istilah serikat pekerja/serikat buruh berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU
Ketenagakerjaan, adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/ serikat buruh harus tercatat dan telah
terdaftar dalam instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, yaitu Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Syarat dan Tata Cara Penyusunan Perjanjian Kerja Bersama
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku bagi seluruh pekerja/
buruh di perusahaan. Pembuatan PKB disusun secara musyawarah dan harus dilandasi dengan
itikad baik antara pihak pengusaha dengan pekerja, yang artinya harus ada kejujuran dan
keterbukaan para pihak serta kesukarelaan/kesadaran tanpa ada tekanan dari satu pihak terhadap
pihak lain.
Apabila dalam musyawarah penyusunan PKB tidak mencapai kesepakatan, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Penyelesaian melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan
melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
PKB harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam
hal terdapat PKB yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka PKB tersebut harus
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah. Apabila PKB dibuat dalam
bahasa Indonesia, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lain dan menimbulkan
penafsiran yang berbeda, maka PKB yang berlaku adalah yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
- See more at:
http://www.hukumtenagakerja.com/perjanjian-kerja-bersama/#sthash.wsNEUvLt.dpuf

STRATEGI PENYUSUNAN PERJANJIAN KERJA
BERSAMA (PKB)
Posted on: Oktober 6th, 2011 by Dr. H. Gunarto, S.H.,SE.Akt.,M.Hum

1
Oleh : H. Gunarto, S.H.,S.E.Akt.,M.Hum.
Tenaga Kerja di Indonesia
Negara Indonesia adalah negara yang mempunyai jumlah penduduk yang banyak, hal ini
merupakan modal bagi pembangunan bangsa. Dari jumlah penduduk yang banyak tersebut,
mereka dapat menjadi tenaga kerja di negaranya sendiri. Namun, perkembangan penduduk dapat
menjadi suatu faktor pendorong maupun penghambat dalam pembangunan bangsa. Dipandang
sebagai faktor pendorong karena perkembangan atau banyaknya penduduk itu memungkinkan
pertambahan jumlah tenaga kerja dari masa ke masa. Pertambahan penduduk dan pemberian
pendidikan kepada mereka sebelum menjadi tenaga kerja, memungkinkan suatu masyarakat
memperoleh bukan saja tenaga kerja yang tidak berkeahlian sama sekali, akan tetapi juga tenaga
kerja terampil, tenaga kerja terdidik, dan golongan usahawan yang berpendidikan.[1]
Namun, banyaknya tenaga kerja ini tidak diimbangi dengan adanya lapangan kerja, inilah yang
menimbulkan akibat buruk, yakni banyaknya pengangguran.. Padahal dalam ketentuan Pasal 27
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa :
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
[2]
Pada dasarnya pembangunan nasional Indonesia dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata baik materiil maupun
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional ini, tenaga kerja mempunyai peranan dan
kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan peranan
dan kedudukan tenaga kerja, apakah itu tenaga kerja di dalam negeri maupun di luar negeri
diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran
sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.[3]
Pekerja/Buruh di Perusahaan
Setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Bekerja adalah hak setiap orang. Setiap orang bebas untuk mengusahakan haknya
serta menentukan sendiri tindakannya.[4] Tetapi tidak semua orang memiliki ketrampilan dan
keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan, dan perusahaan mulai memperketat penerimaaan
tenaga kerja, yakni hanya orang-orang yang memiliki kriteria yang diinginkan oleh perusahaan
saja yang diterima.
Bagi tenaga kerja yang sudah diterima bekerja di dalam perusahaan (sudah menjadi
pekerja/buruh) harus bekerja dengan penuh tanggung jawab bagi kelangsungan dan

perkembangan hidupnya, bukan hanya sekedar untuk mencari nafkah, melainkan harus pula
didasari itikad baik bahwa dengan jasa-jasa yang telah dijualnya itu dapat pula merupakan
sumbangan untuk turut melancarkan usaha dan kegiatan dalam pengembangan masyarakat.[5]
Dengan demikian antara perusahaan (pengusaha) dengan buruh akan terjalin hubungan kerja,
yakni hubungan-hubungan dalam rangka pelaksanaan kerja antara buruh dengan pengusaha
dalam suatu perusahaan yang berlangsung dalam batas-batas perjanjian kerja dan peraturan kerja
yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak.[6]
Hubungan Kerja Pengusaha dan Pekerja/Buruh
Antara perusahaan (pengusaha) dengan tenaga kerja (pekerja/buruh) terjalin hubungan kerja,
yakni hubungan-hubungan dalam rangka pelaksanaan kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha dalam suatu perusahaan yang berlangsung dalam batas-batas perjanjian kerja dan
peraturan kerja yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak.[7]
Dapat dikatakan pula bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan tenaga
kerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa hubungan kerja
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Jadi, hubungan kerja
adalah hubungan (hukum) antara pengusaha dengan pekerja/buruh (karyawan) berdasarkan
perjanjian kerja. Dengan demikian, hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak,
sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata.[8]
Dengan terwujudnya hubungan kerja itu, maka baik pengusaha maupun buruh yang
bersangkutan masing-masing telah terikat oleh isi perjanjian kerja tersebut, dan masing-masing
telah memperoleh hak, di mana pengusaha berhak memerintah dan/atau menugaskan buruh agar
bekerja dengan giat dan rajin tanpa melampaui batas-batas isi perjanjian itu, dan buruh berhak
menerima upah dan jaminan-jaminan lainnya kepada pengusaha tanpa melampaui pula batasbatas isi perjanjian kerja tersebut. Dengan demikian antara pengusaha dan pekerja/buruh ini
mempunyai hubungan timbal balik, atau dengan kata lain baik perusahaan ataupun buruh
masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.[9] Hak dan kewajiban tersebut harus
dilaksanakan sampai batas waktu perjanjian kerja berakhir.
Perjanjian Kerja Bersama
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, selain mengenal perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha/perusahaan, dikenal pula perjanjian kerja bersama antara
serikat pekerja dengan perusahaan/perkumpulan pengusaha.
Menurut Pasal 1 ayat (2), Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : KEP. 48/MEN/IV/2004,
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.[10]

Berdasarkan ketentuan di atas terlihat bahwa yang terlibat dalam pembuatan PKB adalah serikat
pekerja dan pengusaha, sedangkan hal-hal yang dimuat dalam PKB meliputi hak dan kewajiban
dari kedua belah pihak. Berdasarkan ketentuan di atas, PKB harus didaftarkan ke instansi yang
berwenang dalam hal ini adalah Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Selanjutnya menurut Pasal 1 ayat (4), yang dimaksud dengan pengusaha adalah orang
perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri
atau bukan milik sendiri yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Yang dimaksud dengan
perusahaan sendiri adalah perusahaan yang dimiliki oleh pengusaha, sedangkan yang dimaksud
dengan bukan milik sendiri adalah perusahaan yang dijalankan oleh direksi yang bukan pemilik
perusahaan. Dalam hal ini direksi bertindak atas nama perusahaan untuk melakukan perundingan
bersama pekerja.
Sedang yang dimaksud dengan serikat pekerja adalah seperti tercantum dalam Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Menurut Pasal 1 undang-undang
tersebut, yang dimaksud serikat pekerja Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.[11] Menurut Pasal 5, serikat pekerja
bisa dibentuk oleh sekurang kurangnya 10 pekerja.
Tidak ada ketentuan yang mewajibkan perusahaan untuk membuat kesepakatan bersama. Yang
harus dilakukan oleh perusahaan menurut ketentuan Pasal 2 KEP. 48/MEN/IV/2004 adalah
membuat peraturan perusahaan. Ketentuan ini berlaku bagi perusahaan yang mempekerjakan
sedikitnya 10 karyawan. Seperti PKB, peraturan kerja bersama juga mengatur hak serta
kewajiban pengusaha dan pekerja. Bedanya peraturan perusahaan dibuat oleh perusahaan tanpa
melibatkan serikat pekerja sehingga kepentingan pekerja belum tentu terakomodasi secara
maksimal.
Meski pengusaha tidak diwajibkan membuat PKB, menurut ketentuan Pasal 15 KEP.
48/MEN/IV/2004 mereka harus memberikan respons jika serikat pekerja meminta adanya PKB.
Jadi, apabila serikat pekerja menghendaki adanya PKB, pengusaha wajib memenuhinya.
Biasanya serikat pekerja akan mengirim surat resmi meminta agar pengusaha melakukan
perundingan dalam rangka pembuatan PKB.
Tujuan PKB[12]
Perjanjian kerja bersama dimaksudkan untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis
antara pengusaha dengan pekerja. Pengusaha dan pekerja pada dasarnya adalah saling
membutuhkan. Pengusaha membutuhkan pekerja untuk melakukan aktivitas perusahaan, sedang
pekerja membutuhkan pengusaha untuk mendapatkan penghasilan.
Kedua belah pihak tidak boleh saling menekan, sebab kedua-duanya akan rugi. Dalam hal ini
pengusaha tidak boleh sewenang-wenang memperlakukan pekerja dengan memberikan beban
pekerjaan di atas kemampuan mereka ataupun memberikan upah yang ala kadarnya. Namun di

lain pihak, pekerja jangan menuntut yang berlebihan seperti upah yang sangat tinggi maupun
fasilitas-fasilitas lainnya. Tuntutan yang berlebihan dapat menganggu kelangsungan hidup
perusahaan yang pada gilirannya mengancam kesejahteraan pekerja sendiri. Untuk itulah dalam
PKB, perlu dicapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.
PKB juga berfungsi untuk mengatur hak dan kewajiban perusahaan kepada pekerja dan hak dan
kewajiban pekerja terhadap perusahaan. Dengan adanya PKB hak dan kewajiban kedua belah
pihak menjadi jelas. PKB dipakai sebagai dokumen resmi yang bisa digunakan untuk
menyelesaikan masalah jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak.
Selain itu juga PKB sebagai alat perlindungan bagi pekerja terutama yang berada di level bawah.
Seperti diketahui, PKB biasanya diberlakukan untuk karyawan level bawah seperti seperti clerck,
messenger, atau office boy yang mempunyai posisi tawar relatif rendah. Dengan adanya PKB ini,
posisi mereka menjadi lebih terlindungi. Untuk pekerja di level yang lebih tinggi, mereka
biasanya mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi karena kemampuan yang mereka miliki.
Mereka biasanya mempunyai perjanjian yang sifatnya individual dengan ketentuan yang lebih
menguntungkan bagi mereka. Walaupun ada juga perusahaan yang mengatur bahwa PKB
berlaku untuk semua golongan pekerja.[13]
Tipe-tipe Penyelenggaraan PKB
Tipe-tipe penyelenggaraan PKB, yaitu :
1.

Singgle Plant;

a.
Pihak-pihak yang berunding ialah pimpinan unit kerja dan pengusaha dari suatu
perusahaan;
b.

PKB yang dihasilkan mengikat pekerja dan pengusaha di perusahaan itu;

c.

PKB ini tidak berlaku di perusahaan lain.

2.

Company Wide.

Perjanjian kerja bersama tipe ini pada umumnya diselenggarakan di perusahaan-perusahaan yang
mempunyai cabang-cabang yang tersebar di beberapa tempat.
a.
Pihak-pihak yang berunding ialah pimpinan unit kerja- pimpinan unit kerja dari kantor
pusat dan cabang;
b.
Dalam tipe ini biasanya pimpinan pusat sektor biasanya ikut serta sebagai pendamping atau
koordinator;
c.
Sementara dari pihak pengusaha biasanya diwakili oleh managemen dari kantor pusat dan
cabang;

d.

PKB yang dihasilkan mengikat semua pekerja di pusat maupun di cabang.

Prinsip-prinsip Penyusunan PKB
Dalam penyelenggaraan penyusunan PKB, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.
Masing-masing pihak dijamin untuk mengeluarkan pendapat dan keinginan secara bebas
dan bertanggungjawab;
2.

Kedua belah pihak harus berusaha dengan segala ketulusan hati dan semangat kemitraan;

3.
Keputusan diambil atas dasar prinsip musyawarah untuk mufakat, metode pemungutan
suara harus dihindarkan karena metode tersebut bukanlah aturan main yang dapat diperlakukan
dalam penyusunan PKB;
4.
Isi dan nilai PKB tidak boleh lebih rendah dari norma yang berlaku, misalnya PKB
mengenai upah pekerja/buruh tidak boleh lebih rendah dari nilai upah yang terdapat dalam
ketentuan mengenai upah minimum kabupaten, dan lain sebagainya.
Tata Tertib Perundingan[14]
Perjanjian kerja bersama dibuat melalui perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja yang
mewakili seluruh pekerja dilakukan berdasarkan itikad baik dan kemauan bebas kedua belah
pihak dan dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
Untuk bisa mewakili pekerja, serikat pekerja harus mempunyai anggota lebih dari 50% dari
jumlah keseluruhan pekerja yang dibuktikan dengan kartu keanggotaan yang sah dan masih
berlaku. Jika jumlah anggota kurang dari 50% seperti ketentuan Pasal 16 KEP. 48/MEN/
IV/2004 maka serikat pekerja harus mencari dukungan dari pekerja yang bukan anggota
sehingga jumlahnya mencapai 50% dari total pekerja. Perusahan harus memperhatikan secara
serius apakah serikat pekerja memenuhi persyaratan ini. Serikat pekerja tidak dapat mengklaim
mewakili karyawan jika tidak mendapat mandat tertulis dari 50% total pekerjanya.
Sebelum perundingan dimulai, kedua belah pihak perlu menyepakati tata tertib perundingan yang
memuat tujuan pembuatan tata tertib, susunan tim perunding, materi perundingan, tempat
perundingan, dan tata cara perundingan.
Tempat perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dilakukan di kantor perusahaan atau
kantor serikat pekerja/serikat buruh atau di tempat lain sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak. Tempat perundingan tidak harus di hotel atau tempat yang memerlukan biaya yang mahal,
bisa dilakukan di mess wisma perusahaan atau tempat netral lainnya. Sedangkan biaya
perundingan pembuatan PKB menjadi beban pengusaha, kecuali disepakati lain oleh kedua belah
pihak.

Tata tertib juga perlu mencantumkan cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan
seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 2
Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
Menurut undang-undang tersebut, penyelesaian perselisihan dilakukan secara bipartit antara perusahaan dan pekerja sendiri. Jika tidak terselesaikan maka perselisihan diselesaikan melalui
mediasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi di tingkat pusat ataupun Dinas Tenaga
Kerja di tingkat daerah. Jika tidak tercapai kesepakatan maka kasus dibawa ke Pengadilan
Hubungan Industrial di bawah Pengadilan Negeri.
Meski penyelesaian perselisihan melalui pengadilan dimungkinkan, namun disarankan agar
sebisa mungkin perselisihan bisa diselesaikan di luar pengadilan, sebab penyelesaian perkara
melalui pengadilan membutuhkan biaya yang besar. Selain itu pihak pekerja juga dirugikan
karena lamanya perundingan mengakibatkan tertundanya pelaksanaan hak-hak pekerja.
Sah dan Masa Berlakunya PKB[15]
Perjanjian Kerja Bersama dinyatakan sah setelah ditandatangani oleh kedua belah pihak
(perusahaan dan serikat pekerja), dan berlaku sejak ditandatanganinya perjanjian tersebut.
Setelah ditandatangani, pengusaha mendaftarkan PKB tersebut kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan, yaitu Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota untuk perusahaan
yang terdapat hanya dalam satu wilayah kabupaten/kota Dinas Tenaga Kerja Provinsi dan
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari satu provinsi.
Pendaftaran dimaksudkan sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja
yang dilaksanakan di perusahaan dan sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan
pelaksanaan perjanjian kerja bersama. Pendaftaran bukan merupakan syarat sahnya PKB. PKB
tetap berlaku jika telah ditandatangani oleh perusahaan dan pekerja meskipun belum didaftarkan
kepada instansi di atas. PKB berlaku selama dua tahun sejak ditandatangani dan bisa
diperpanjang maksimum satu tahun berdasarkan kesepakatan tertulis kedua belah pihak.
Pemberlakuan PKB
PKB bisa diberlakukan terhadap seluruh karyawan atau hanya sebagian karyawan tergantung
kesepakatan yang dicantumkan dalam perjanjian tersebut. Untuk perusahaan besar seperti
multinasional, PKB hanya diberlakukan untuk pegawai golongan rendah seperti clerk dan staf
administratif lainnya. Untuk officer atau posisi yang lebih tinggi biasanya diberlakukan kontrak
individu dengan ketentuan yang lebih menguntungkan bagi mereka. Kesemuanya tergantung dari
bagaimana kesepakatan di antara mereka.
Hal-hal yang Dimuat Dalam PKB
Perjanjian kerja bersama sekurang-kurangnya harus memuat nama, tempat kedudukan, serta
alamat serikat pekerja/ serikat buruh, nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan, hak dan
kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh.

Selain itu, jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB, dan tanda tangan para pihak
pembuat perjanjian kerja bersama.[16]
Hak-hak pekerja yang diatur dalam PKB sebaiknya bukan hak-hak normatif yang sudah diatur
dalam ketentuan perundang-undangan seperti upah UMR, Jamsostek, ketentuan pesangon jika
terjadi pemutusan hubungan kerja dan sebagainya. Hal yang diatur dalam PKB adalah hak-hak
tambahan seperti jaminan kesehatan, uang makan, transport, uang lembur, bonus, kenaikan gaji
per tahun, dan lain-lain. Sedang kewajiban yang dilakukan oleh pekerja antara lain sebagai
berikut :
1.

Setiap karyawan wajib mengisi presensi (data kehadiran);

2.
Karyawan harus datang tepat pada waktunya dan harus selalu berada di tempat kerjanya
selama jam-jam kerja dan tidak diperkenankan meninggalkan tempat kerja kecuali dengan izin
perusahaan;
3.

Karyawan harus melaksanakan tugas maupun instruksi perusahaan dengan sebaik-baiknya;

4.
Karyawan hanya diperbolehkan mempergunakan barang-barang milik perusahaan untuk
kepentingan perusahaan dan dilarang memindahkan barang-barang apa pun yang menjadi milik
perusahaan dari tempat kerja karyawan yang bersangkutan atau dari lingkungan perusahaan
tanpa izin;
5.
Karyawan harus merahasiakan dokumen-dokumen rahasia/penting yang berhubungan
dengan kegiatan perusahaan. Pada waktu pemutusan hubungan kerja, semua dokumen-dokumen
rahasia/penting, aset dan inventaris milik perusahaan harus dikembalikan ke perusahaan;
6.
Karyawan yang melanggar tata tertib dan ketentuan perusahaan yang mengakibatkan
kerugian dan atau kerusakan pada barang-barang milik perusahaan harus memberikan
pertanggungjawaban kepada perusahaan. Jika dianggap perlu, perusahaan dapat menuntut
pertanggungjawaban karyawan melalui pengadilan;
Sebelum musyawarah PKB dilaksanakan, kedua belah pihak perlu menyetujui tata tertib
perundingan. Tata tertib ini berguna untuk mengatur kelancaran perundingan dan menjadi acuan
aturan main kedua belah pihak.[17]
Aturan Main Penyusunan PKB
Guna melancarkan proses penyusunan PKB ada beberapa aturan main yang dapat diterapkan
seperti :
1.
Masing-masing pihak wajib mempersiapkan konsep PKB versi masing-masing, yang
materinya dalam batas-batas ukuran yang wajar bagi kepentingan kedua belah pihak;
2.
Dapat diajukan permintaan penyusunan PKB secara tertulis di mana sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, dalam hal permintaan berunding diajukan secara tertulis oleh salah satu

pihak, maka pihak yang lainnya wajib menanggapi secara tertulis dalam waktu selambatlambatnya 14 hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan berunding tersebut;
3.
Selama penyusunan berlangsung, baik buruh/pekerja maupun pengusaha tidak akan
melakukan tindakan-tindakan yang bersifat menekan atau merugikan;
4.
Perundingan-perundingan harus dilakukan dengan itikad baik, penuh sikap jujur, dan
terbuka.
Upaya penyusunan PKB terkadang mengalami, beberapa kendala dan/atau hambatan, di mana
kendala/hambatan yang biasa terjadi adalah adanya kecendrungan pihak pengusaha tidak ingin
membuat PKB dengan berbagai alasan selain itu hambatan yang dihadapi adalah padatnya
jadwal kerja dari manajemen, khususnya apabila banyak pekerjaan yang harus diselesaikan
secepatnya, terkadang faktor ketidaksukaan salah satu pihak terhadap pihak yang lainnya juga
mempengaruhi berjalannya proses perundingan, dan hambatan yang paling sering terjadi adalah
adanya kekhawatiran pengusaha bahwa PKB dapat berisi berbagai tuntutan yang sulit
dipenuhi/diberikan.

. Format perjanjian tertulis

Pada dasarnya, tidak ada format baku atau standar tertentu yang ditentukan dalam pembuatan suatu
perjanjian/kontrak karena Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (lihat Pasal 1338 KUHPerda).
Namun, pembuatan perjanjian tentunya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Lebih jauh simak artikel
kami Batalnya Suatu Perjanjian.

Ricardo Simanjuntak dalam bukunya “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis” (hal. 60) menyatakan bahwa bila
bentuk kontrak lisan saja mempunyai kekuatan hukum yang sah dan harus dipatuhi oleh para pihak yang terikat
padanya, maka prinsip tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya kontrak tidak mempunyai suatu bentuk yang
baku.

Jadi, tidak ada standar yang baku yang ditetapkan untuk membuat suatu perjanjian.

b. Hal-hal yang minimal diatur dalam suatu perjanjian
Pada dasarnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas di antara para pihak yang mengikatkan diri. Dalam
membuat perjanjian di Indonesia berlaku asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338
KUHPerdata sebagaimana kami sebutkan di atas. Namun, untuk hal-hal yang penting dicantumkan dalam
perjanjian, simak artikel kami Poin-poin dalam Perjanjian.

c.

Perjanjian cacat hukum
Menurut advokat David M.L. Tobing dari Adams & Co. suatu perjanjian dikatakan cacat apabila tidak
memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu:

SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Sebab yang halal

Syarat SUBJEKTIF
Syarat OBJEKTIF

Sehingga, apabila suatu perjanjian itu tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat
dimintakan pembatalannya. Sedangkan apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka
perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum.

d. Kiat-kiat menghindari konflik atau perselisihan dalam membuat perjanjian.

Lebih lanjut David M.L. Tobing menjelaskan bahwa dalam suatu perjanjian, pada umumnya ada pihak yang
memiliki posisi lebih dominan, ada yang lebih lemah. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan seperti dalam
praktik perbankan adanya klausula eksonerasi.

Klausula eksonerasi (pengecualian) ini pada suatu perjanjian kredit bank, mencantumkan syarat sepihak.
Klausula ini menyatakan bahwa Bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk mengubah (menaikan/menurunkan)
suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh Debitur, tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur
terlebih dahulu. Dengan kata lain, ada kesepakatan bahwa debitur setuju terhadap segala keputusan sepihak
yang diambil oleh Bank untuk mengubah suku bunga Kredit, yang telah diterima oleh Debitur pada
masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung.
Dengan adanya klausula eksonerasi tersebut, bank diposisikan lebih tinggi daripada nasabah. Menurut David,
hal-hal seperti inilah yang harus dihindari. Untuk menghindari konflik atau perselisihan dalam pembuatan suatu
perjanjian, posisi setiap pihak harus seimbang sehingga potensi timbulnya sengketa di kemudian hari dapat
diminimalkan.

e.

Hukumonline sampai saat ini belum menyediakan contoh-contoh kontrak. Anda dapat mencari contoh-contoh
kontrak di intern