Perspektif Critical Theory dan Aplikasin

Perspektif Critical Theory dan Aplikasinya dalam Studi
Kasus Foreign Aid to Indonesia
Esai Mata Kuliah Perspektif Alternatif dalam Hubungan Internasional
Dosen Pengampu : Yusli Effendi, S.IP., M.A.

Disusun oleh :
Kelompok 1
Ezra Day Sitorus

Rika Zulkarnaen

145120401111007
Rizqi Wisnu Mauludino

155120400111002
Yoga Maulidy Prawira

155120400111005

155120400111007


Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Malang
2018

Latar Belakang
Perspektif alternnatif dalam ilmu hubungan internasional atau yang lebih dikenal
dengan perspektif post-positivist merupakan perspektif yang memberikan pendekatan baru
dalam mengkaji fenomena hubungan internasional. Salah satu perspektif yang termasuk
dalam aliran post-positivist adalah teori kritis, atau critical theory. Tanpa membahas terlalu
dalam, perspektif teori kritis merupakan perspektif alternatif dalam hubungan internasional
yang membahas mengenai suatu fenomena sosial yang kemudian berusaha mengupasnya
hingga ke akar fenomena tersebut.1
Perspektif teori kritis yang juga mempromosikan emansipasi di masyarakat, dengan
cara-cara berupa penumpasan penggunaan kekerasan dan sebagainya maka dapat dikatakan
sebagai perspektif yang sangat humanis. Perspektif ini melihat sesuatu hingga ke dasarnya
sehingga secara garis besar perspektif ini kemudian menyajikan suatu solusi tentang suatu
masalah, yang mana sering sekali menyinggung aspek tatanan masyarakat atau dunia. Robert
Cox secara singkat menjelaskan “untuk mengubah dunia maka harus dimulai dengan

memahami dunia sebagaimana adanya”.2 Robert Cox yang merupakan ahli teori kritis
kemudian menjelaskan bahwa teori kritis harus mampu menilai secara kritis terhadap asalusul sesuatu untuk kemudian menemukan letak permasalahan yang sebenarnya. 3 Jadi,
penggunaan perspektif teori kritis dapat digunakan untuk melihat sebuah fenomena dan
mencari masalah sebenarnya dengan cara melihat asal-usul atau awal mula fenomena
tersebut.
Washington consensus merupakan suatu produk dari institusi keuangan besar di
Amerika Serikat. Membahas lebih jauh dalam pembahasan, singkatnya dari washington
consensus adalah kondisi perekonomian sebuah negara yang diasumsikan mampu untuk
meningkatkan perekonomian negara tersebut menjadi lebih baik dan membuat lebih
sejahtera. Washington consensus ini kemudian dipopulerkan dan dipromosikan ke negaranegara berkembang untuk kemudian menyesuaikan dengan kondisi tersebut guna
memperbaiki ekonomi negara tersebut. Washington consensus dapat dikatakan merupakan
sebuah bentuk perekonomian kapitalisme. Salah satu negara yang turut mengaplikasikan
washington consensus adalah Indonesia. Dampaknya, terdapat bantuan luar negeri yang

1

Burchill, Scott dan Andrew Linklater. 2002. Teori-teori Hubungan Internasional. Bab 6.
Burchill. Ibid. Halaman 209.
3
Burchill. Ibid. Halaman 209.

2

2

diberikan kepada Indonesia berupa utang luar negeri dengan syarat Indonesia mengikuti
kondisi-kondisi sebagaimana tercantum dalam washington consensus.
Maka, perspektif teori kritis yang menekankan pada kritik yang emansipatoris dan
penekanan pada akibat dari tatanan dunia yang berpihak pada kaum tertentu, penggunaan
teori kritis dirasa cukup menarik dan diharapkan mampu menemukan gambaran yang lebih
besar terhadap kasus yaitu bantuan luar negeri yang diterima Indonesia sebagai bentuk dari
implementasi washington consensus.

Pembahasan
Critical Theory
Pada dasarnya, teori kritis
hubungan

internasional

adalah


(critical theory)
sejenis

teori

dalam teori-teori

alternatif

baru

yang

dimaksudkan untuk memberikan gambaran teoritikal alternatif dari teoriteori arus utama lain yang seringkali digunakan dalam studi hubungan
internasional, seperti teori realisme dan liberalisme. Tidak hanya teori
kritis berdiri mandiri dari teori-teori yang lainnya, teori kritis juga
berusaha mengkritik teori-teori lain yang sudah mapan keberadaannya
dalam studi hubungan internasional, di mana aspek-aspek internal dari
teori-teori arus utama yang sering digunakan adalah fokus utama kritik

oleh teori kritis.
Untuk lebih jelasnya, aspek-aspek non-politik dan ekonomi yang
seringkali diabaikan oleh paham-paham realisme dan liberalisme seperti
budaya dan gender turut berusaha dilibatkan oleh teori kritis untuk
menjamin pembahasan yang menyeluruh dari seluruh aspek dinamika
hubungan

internasional.

Di

sini,

teori

kritis

banyak

mendapatkan


inspirasinya dan merupakan sebuah kelanjutan dari teori Marxisme 4 yang
dicetuskan oleh pemikir Jerman Karl Marx, yang meyakini akan adanya
dan selalu hadirnya sistem eksploitasi materiil dalam sistem produksi di
tengah masyarakat. Menurutnya, ketimpangan ekonomi dan sosial yang
4

Devetak, Richard, 2001. Critical Theory, in; Scott Burchill, et al, Theories of
International Relations, Palgrave, Halaman 155-180.

3

disebabkan oleh praktek kapitalisme dalam perekonomian negara akan
memperluas kemelaratan dan kemiskinan fnansial masyarakat, yang
memancing reaksi keras dari kelas pekerja terhadap para pemilik modal
yang telah mengeksploitasi mereka.
Pendekatan Marxisme oleh Marx yang sifatnya ekonomik ini
kemudian diperdalam lebih jauh oleh Antonio Gramsci (seorang Marxis
Italia). Menurut Gramsci, Marxisme yang memang ditujukan untuk
mencapai emansipasi dan persamaan ekonomi kepada seluruh lapisan

strata masyarakat (emancipation) yang menuntut adanya kebebasan
manusia dari kekangan hegemoni dan kekuatan lain yang mencegah
mereka untuk mencapai keinginan pribadi mereka. 5 Dari situ, teori kritis
menitikberatkan pada keyakinan bahwa sistem internasional, tidak seperti
yang dipercaya oleh kaum realis dan liberal sebagai sesuatu yang taken
for granted, adalah cerminan dari kekuatan-kekuatan politik dan sosial
yang berusaha menjaga keamanan dan kekuasaannya terhadap entitasentitas lain yang tidak sekuat mereka.6
Mengacu pada struktur hegemoni yang merupakan dasar asumsi
utama kekuatan yang berusaha melakukan eksploitasi di tengah sistem
internasional, terciptalah blok-blok politik, ekonomi, dan kelas sosial yang
terus dikelola oleh negara-negara hegemonik, yang mencerminkan
adanya

sebuah

eksploitasi

tatanan

ekonomi


oleh

dunia

yang

akan

negara-negara

mempermudah

hegemonik.

Teori

proses
kritis


menganggap bahwa tatanan dunia tersebutlah yang menjadi akar dari
permasalahan. Teori kritis berusaha mengkritik tatanan tersebut dan
berusaha mengubah dan menciptakan tatanan dunia yang dirasa lebih
adil bagi seluruh manusia.
Melalui penjelasan diatas, teori kritis memang terdengar mirip
dengan perspektif marxisme. Hal tersebut tidaklah salah karena teori
kritis mempelajari banyak pemikir dan flsuf tidak terkecuali Karl Marx.
5

Ashley, Richard K. Political Realism and Human Interests. International Studies
Quarterly, Vol. 25, No. 2, Symposium in Honor of Hans J. Morgenthau. (Jun., 1981)
6
Sterling-Folker, Jennifer, 2006. Making Sense of Internatioanl Relations Theory, London:
Lynne Rienner Publishers

4

Teori kritis sebagaimana dijelaskan oleh Robert Cox, merupakan teori
yang berbentuk antitesis dari teori-teori tradisional. 7 Teori tradisional
seperti realisme melihat tatanan dunia sebagai hal yang ada sejak dahulu,

kaku, dan sebagaimana adanya. Namun, teori kritis melihat bahwa
bahkan teori-teori tradisional mempunyai asal-usul yaitu tempat dan
waktu tertentu dimana para pemikirnya terpengaruh oleh keadaan sosial
yang ada. Dengan kata lain, teori kritis memandang bahwa segala teori
merupakan hasil interaksi sosial dan pasti mempunyai akar permulaan.
Meskipun teori kritis berorientasi pada pemecahan masalah, namun
pada dasarnya teori kritis hanya mempertanyakan asal-usul bagaimana
suatu masalah tersebut terjadi. Teori kritis melihat segala aspek sosial
masyarakat seperti budaya dan sejarah masyarakat sehingga akar dari
masalah ataupun tatanan yang ada dapat diidentifkasi. Teori kritis
menjelaskan bahwa setiap kejadian atau fenomena tidak berasal dari
sesuatu yang diberikan secara alamiah, tetapi merupakan suatu produk
dari interaksi sosial, budaya, dan sejarah manusia. Bahkan, setiap teori
memiliki subjektiftasnnya sendiri dikala sebuah teori dan penelitinya
harus bebas dari nilai-nilai tertentu. Hal ini yang menjadikan teori kritis
sebagai teori post-positivist karena teori kritis melihat bahwa segala
sesuatu pasti memiliki pembuat atau pencipta yang mana dapat ditelusuri
dan dikritik.8 Tetapi pada akhirnya, teori kritis menjelaskan bahwa sistem
atau tatanan dunia yang dibuat berdasarkan situasi tertentu adalah
sumber dari masalah dan bahwa tatanan tersebut harus direkonstruksi

ulang. Oleh karena itu, teori kritis sangat berorientasi pada kesejahteraan
manusia dan berusaha membuat dunia adil pada seluruh orang, maka dari
itu teori kritis selalu mempromosikan nilai-nilai emansipasi. Hanya saja
secara praktek teori kritis masih lebih menekankan pada kritik-kritik
terhadap sumber masalah dibanding memberi solusi konkret.

Washington Consensus dan Foreign Aid to Indonesia

7
8

Burchill. Ibid. Halaman 202.
Burchill. Ibid. halaman 206.

5

Washington Consensus
Konsep pembangunan negara terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, krisis
yang dialami banyak negara pasca perang dunia kedua akibat adanya intervensi negara yang
terlalu kuat dalam hal perekonomian memunculkan banyak gagasan dari para ahli mengenai
model pembangunan baru yang harus dilakukan bagi negara. Neo-liberalisme kemudian
muncul sebagai sebuah ide baru yang mengasumsikan bahwa negara seharusnya tidak terlibat
dalam urusan pasar karena akan menghambat jalannya perekonomian. Sehingga pasar harus
independent agar fungsinya secara natural bisa berjalan dengan baik. Para aktor dari pasar
harus dibebaskan dari aturan-aturan yang dibuat negara agar tidak menghalangi mereka
dalam mencapai tujuan yang ideal, dengan demikian maka semua negara didunia harus
menerapkan hal serupa, kebijakan ekonomi yang terintegrasi seara penuh, dengan kata lain
harus ada deregulasi.
Model ini juga mengharuskan negara untuk tidak menghabiskan anggaran untuk
pelayanan sosial bagi masyarakatnya, misalnya kesehatan dan pendidikan, hal tersebut
dikatakan sangat tidak efisien. Maka cara yang dianjurkan adalah dengan melakukan
privatisasi. Negara tidak perlu menyediakan dan mengelola

hal-hal yang berhubungan

dengan pelayanan publik, sehingga anggaran negara tidak harus terpotong, ditambah lagi
pelayanan yang akan dihasilkan oleh swasta tentunya akan lebih baik mengingat tujuannya
adalah profit, sehingga berusaha memberikan sesutu yang dibutuhkan masyarakat.
Ide atau konsep ini kemudian dipertegas dalam washington consensus. Washington
consensus pertama kali diperkenalkan oleh John Williamson pada akhir tahun 1980an.
Konsensus Washington adalah kesamaan pandangan lembaga-lembaga yang bermarkas di
washington (IMF, World Bank, dan US Treasury Departmet) mengenai rekomendasi bagi
negara-negara berkembang yang dilanda krisis.9 Konsensus Washington memiliki tiga pilar
utama, yaitu dereguasi, privatisasi, dan liberalisasi pasar. Konsensus tersebut menjabarkan
sepuluh kebijakan ekonomi yang diperlu dilakukan sebuah negara untuk terlepas dari krisis,
yakni10:
1. Disiplin fiskal
Pemerintah disarankan untuk melakukan kebijakan fiskal yang konservatif. Defisit
anggaran tidak boleh lebih dari dua persen terhadap produk domestik bruto(PDB).
9

Awalil Rizky dan Nasyith Majidi. Neoliberalisme Mencengkram Indonesia. hal 234.
A. Tony Prasetianto. IMF (International Monetary Fund). Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas : Yogyakarta.
Hal 119-120
10

6

2. Reorientasi Pengeluaran Publik
Perlu adanya prioritas bagi pengeluaran publik untuk anggaran pemerintah, dimana
pemerintah juga harus berupaya untuk memperbaiki distribusi pendapatan melalui
belanja pemerintah.
3. Reformasi pajak
Pemerintah perlu memperluas basis pemungutan pajak. Hal ini dikarenakan pajak
merupakan komponen penting anggaran pemerintah dan pemerintah dinilai perlu
lebih kreatif dalam hal pemungutannya, dengan cara memperluas basisnya.
4. Liberalisasi finansial
Sektor finansial perlu didorong lebih ke arah iberal dan kian diperketat kompetisinya.
Hal ini agar terciptanya efisiensi.
5. Kebijakan nilai tukar yang memiliki kredibilitas dan dapat menjamin terdorongnya
iklim persaingan.
6. Liberalisasi Perdagangan
Liberalisasi perdagangan diupayakan agar terciptanya efisiensi dan meningkatkan
kompetisi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan
melakukan penghilangan hambatan-hambatan secara berkesinambungan.
7. Keterbukaan Penanaman modal asing
Pemerintah diharuskan untuk mendorong kompetisi antara perusahaan domestik
dengan perusahaan asing, sehingga meningkatkan efisiensi. Disamping itu dengan
semakin terbukana negara terhadap investasi asing, akan mendorong kompetisi
perdagangan dan finansial domestik.
8. Privatisasi
Pemerintah harus mengupayakan dilakukannya privatisasi, dimana perusahaan
BUMN dialihkan kepada sektor swasta agar dapat dikelola dengan maksimal.
9. Deregulasi
Hambatan-hambatan dalam perdagangan harus dihilangkan, termasuk peraturan dari
negara yang menghambat berkembangnya industri-industri, sehingga persaingan
semakin kompetitif dan pertumbuhan pasar bisa semakin cepat.
10. Pinjaman hak paten
Harus dilakukannya perlindungan akan kekayaan intelektual baik disektor formal
maupun informal.

7

Konsensus Washington ini sangat berpengaruh di dunia, karena bukan hanya sebuah
ide-ide yang tertulis, namun juga diapikasikan secara nyata karena poin-poin yang terdapat
didalamnya digunakan sebagai prasarat pemberian hutang atau bantuan ekonomi kepada
negara-negara berkembang. Hal ini kemudian memunculkan aspek baru dalam hubungan
antara negara maju dan negara berkembang, yakni dalam aspek politik karena salah satu
persyaratanya adalah negara harus merubah kebijakannya. WTO dan IMF dalam prakteknya
menggunakan poin-poin dalam washington konsensus sebagai syarat yang diberikan kepada
negara peminjam, dengan catatan bahwa dalam kondisi beragam yang dialami oleh negara
peminjam, syarat yang diberikan adalah sama.
Bantuan Luar Negeri (Foreign Aid) ke Indonesia
Pada

10

perekonomian

tahun

pertama

Indonesia

masa

menunjukkan

pemerintahan

pertumbuhan

Soeharto,

yang

sangat

mengesankan. Tingkat pertumbuhan ekonomi selalu berada dia atas 5%
per tahun. Dan bahkan di awal 1990-an, tingkat pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia, yaitu mencapai ratarata 7%. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang konsisten dan
berada pada posisi yang baik selama 10 tahun berturut-turut ini telah
menyebabkan Indonesia masuk dalam kategori the newly industrializing
economy (NIEs).11
Namun, perekonomian Indonesia kemudian mengalami penurunan
drastis setelah pada pertengahan tahun 1997 muncul krisis moneter di
Thailand

karena

perekonomiandi

devaluasi
Indonesia.

bath
Untuk

yang

juga

menangani

berpengaruh
hal

itu,

terhadap

pemerintah

melakukan intervensi untuk menstabilkan rupiah. Pada bulan Agustus
1997, Pemerintah membuat keputusan drastis, antara lain pengalihan
dana BUMN dari bank-bank komersial ke SBI dan menaikkan tingkat suku
bunga SBI (30% untuk satu bulan dan 28% untuk 3 bulan). Sayangnya
kebijakan tersebut justru mengakibatkan kurs rupiah terdepresiasi hingga
32% sejak 1 Januari 1997. Sampai akhir tahun 1997 keadaan rupiah tidak
stabil

hingga

akhirnya

rupiah

ditutup

pada

nilai

Rp

4.650

atau

terdepresiasi hingga 68,7%.12
11
12

Fadli Zon. 2004. Politik Huru-Hara Mei 1998. Institute of Policy Studies (IPS) : Jakarta. hlm. 4-5.
Ibid. Hlm. 5.

8

Melemahnya

nilai

tukar

rupiah

terhadap

dolar

AS

tersebut

berdampak negatif terhadap posisi neraca pembayaran, terutama karena
utang luar negeri makin membengkak. Anjloknya rupiah secara dramatis
menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank
nasional dalam kesulitan besar dan begitu pula dengan bank-bank besar
internasional. Bahkan surat utang pemerintah juga terus merosot ke level
di bawah junk atau menjadi sampah. Di pasar modal, Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah pada 15
September 1998. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp
226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998. 13
Krisis

tersebut

berdampak

pada

perusahaan-perusahaan

di

Indonesia, mulai dari skala kecil hingga konglomerat. Sektor yang paling
terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan.
Tumbangnya perusahaan-perusahaan itu melahirkan gelombang besar
pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibat PHK dan naiknya harga-harga
dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga
meningkat mencapai sekitar 50% dari total penduduk. Pendapatan per
kapita yang mencapai US$ 1.155 per kapita tahun 1996, menciut menjadi
US$ 610 per kapita pada tahun 1998.14
Krisis ekonomi yang terjadi pada Indonesia pada tahun 1997
berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Dalam penanganannya,
pemerintah juga berusaha untuk menyelesaikan masalah krisis tersebut
dengan berbagai kebijakan seperti dengan kebijakan moneter, fskal,
perbankan, dll. Namun, hal itu masih sulit untuk dilakukan sehingga
Presiden Soeharto meminta bantuan kepada IMF untuk membantu
menyelesaikan krisis ekonomi tersebut, maka pada 31 Oktober 1997,
ditandatangani Nota Kesepakatan (Letter of Intent / LoI) pertama dengan
IMF oleh Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dan Gubernur Bank
Indonesia Sudradjad Djiwandono dalam Memorandum on Economic and
Financial Policies.15

13

Ibid. Hlm. 6.
Ibid. Hlm. 7.
15
Fadli Zon, Op. Cit., hal. 7
14

9

Nota Kesepakatan itu mencakup: sasaran anggaran berimbang,
sasaran-sasaran pengadaan uang dan infasi, kebijakan nilai tukar uang,
keseimbangan

perdagangan

dan

kebijakan

perdagangan,

reformasi

hukum perburuhan, reformasi struktur PNS, privatisasi, dan perubahan
perundang-undangan. Dalam syarat jangka pendek, IMF menekankan
kebijakan: (a) devaluasi nilai tukar uang, unifkasi dan peniadaan kontrol
uang; (b) liberalisasi harga: peniadaan subsidi dan harga; (c) pengetatan
anggaran.

Sedangkan

untuk

jangka

panjang

yaitu:

(a)

liberalisasi

perdagangan: mengurangi dan meniadakan kuota impor dan tarif; (b)
deregulasi

sektor

perbankan

sebagai

“program

penyesuain

sektor

keuangan”; (c) privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara; (d)
privatisasi lahan pertanian, mendorong agrobisnis; (e) reformasi pajak:
meningkatkan pajak tak langsung; dan (f) mengelola kemiskinan melalui
penciptaan sasaran dana-dana sosial.16
Dengan adanya bantuan dari IMF tersebut, praktis Indonesia pada
saat itu bergantung kepada utang luar negeri. Meskipun hal itu membantu
untuk penanganan krisis, tetapi justru membuat utang luar negeri
Indonesia semakin meningkat. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh IMF
untuk menangani krisis moneter tidak memperhatikan keadaan politik
Indonesia pada saat itu kurang stabil dan kapabilitas pengelolaan yang
sarat dengan praktik korupsi. Pada 15 Januari 1998, Presiden Soeharto
menandatangani kesepakatan LoI yang kedua. Dalam LoI tersebut,
tercantum 50
Indonesia,

pernyataan yang harus

seperti

kebijakan

moneter,

dijalankan

oleh Pemerintah

kebijakan

fskal,

kebijakan

perbankan, dan juga kebijaksanaan sektor riil melalui penyesuaian secara
struktural.17
Penandatangan LoI yang kedua tidak mendapat tanggapan yang
positif sehingga LoI yang kedua ini gagal menyelesaikan masalah utama
pada saat itu yaitu jatuhnya rupiah. Dengan gagalnya LoI yang kedua,
pada 10 April 1998 ditandatangi kesepakatan yang ketiga. Fokusnya tidak
berbeda jauh dari beberapa kesepakatan sebelumnya mengenai ekonomi
mikro, bukan pada krisis mata uang pada saat itu. Pada 4 Mei 1998, atas
16
17

Ibid., hal. 7-8
Ibid. hal. 7-8

10

desakan IMF, pemerintah menaikkan harga BBM sampai 71%, tarif listrik
dinaikkan secara gradual.18 Pada pertengahan 1998, perekonomian
Indonesia

masih terpuruk.

Diperkirakan 113 Juta orang penduduk

Indonesia (56% dari jumlah penduduk) berada dibawah garis kemiskinan.
Ada yang mengatakan bahwa 40 juta orang penduduk Indonesia tidak
mampu membeli makanan dan dalam kondisi rawan pangan.

19

Pandangan Perspektif Critical Theory terhadap Foreign Aid ke Indonesia
Sebelum teori kritis berusaha menjelaskan pandangannya terhadap kasus tersebut.
Washington consensus sendiri juga mengalami beberapa kritikan dalam pelaksanaannya.
Dalam perkembangannya, terjadi krisis global yang menyebabkan negara mengalami
keterpurukan ekonomi, termasuk beberapa negara berkembang di Asia.

Bagi beberapa

negara, cara yang paling cepat digunakan untuk menyelesaikan kekacauan yang terjadi adalah
dengan meminjam dana, disisi lain syarat yang diberikan oleh pemberi hutang terbesar
didunia, yakni IMF dan World Bank sangat terpaku pada poin-poin Washington Consensus.
Sehingga solusi yang ditawarkan bagi negara-negara tersebut hanya satu.
Keberadaan Washington Consensus awalnya berjalan dengan baik dengan memberi
bantuan ke negara-negara berkembang maupun negara yang mengalami krisis. Akan tetapi
masyarakat Indonesia menilai keberadaan Washington Consensus terdapat tekanan pada
penggalian dana dan pembangunan luar negeri. Adanya tekanan tersebut menyebabkan
pengabaian pemakaian biaya pembangunan dalam negeri. Washington Consensus cenderung
membiarkan defisit pada transaksi berjalan (Current Account Deficit), maka seharusnya
diperlukan pengaturan neraca modal (Capital Account Control) dan perlu diberlakukan
sistem nilai tukar yang terkendalikan. Hal ini nantinya akan meningkatkan kepercayaan
masyarakat akan mata uang dalam negeri dan dimungkinkan. Kritikan terhadap Washington
Consensus adalah terlalu dominan dalam menagani krisis yang dialami oleh beberapa negara.
Washington Consensus mendapat kritikan karena utang luar negeri / PDB tinggi,
defisit transaksi berjalan, liberalisasi neraca modal, kepercayaan pada mata uang dalam
negeri rendah, suku bunga tinggi, jumlah kredit uang beredar rendah, sistem perbankan
lemah, investasi rendah, pertumbuhan ekonomi rendah. Sedangkan keadaan perekonomian
18
19

Fadli Zon, Op. Cit., hal. 10
Ricklefs. 2004. Sejarah Indonesia Modern. Serambi : Jakarta. Hal. 656-657

11

yang ditawarkan oleh Herr Pierwe adalah utang luar negeri / PDB rendah, surplus transaksi
berjalan, sistem nilai tukar dikontrol, kepercayaan mata uang dalam negeri tinggi, suku bunga
rendah, jumlah kredit uang beredar tinggi, sistem perbankan kuat, investasi tinggi,
pertumbuhan ekonomi tinggi.
Washington Consensus lebih memperhatikan efisiensi dan disiplin fiskal yang
mengacu pada pemotongan biaya yang seharusnya untuk sosial dan tidak memperhatikan
kebijakan sosial. Tugas pemerintah semestinya mengusahakan pembangunan masyarakat
sosial

untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Millenium Development Goal’s

(MDG’s) 2015 merupakan salah satu upaya yang dapat mengatasi kemiskinan. Indonesia
tertipu dalam debt trap yang disarankan oleh IMF setelah Indonesia melakukan privatisasi,
liberalisasi, dan deregulasi. Akibat hal tersebut memperparah krisis, karena proses privatisasi
maupun penjualan BUMN yang dilakukan oleh negara membuat masyarakat miskin
kehilangan ruang untuk mengakses apa yang selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah
terhadap masyarakat miskin. Privatisasi, liberalisasi, dan stabilisasi memang penting, akan
tetapi

dalam

implementasinya

seringkali

dilakukan

secara

terburu-buru

tanpa

memperhitungkan masyarakat yang belum siap terhadap ketiga hal tersebut. Washington
consensus juga kurang memperhatikan keadilan di dalam masyarakat, sehingga jumlah
masyarakat yang pengangguran terus meningkat akibat kompetisi yang terjadi di era
globalisasi yang menyebabkan adanya privatisasi.
Penerapan syarat yang diajukan sesuai dengan konsensus tersebut nyatanya tidak
selalu berhasil, karena beberapa negara justru semakin dilanda keterpurukan akibat pada
beberapa poin, negara belum siap menerapkan kebijakan tersebut. Dari sinilah asumsi-asumsi
washington consensus dipertanyakan. Ide kritis terhadap konsep washington consensus ini
disebut juga sebagai post-washington konsensus. Kritiknya adalah penerapan satu solusi
untuk semua masalah yang ditawarkan oleh washington consensus dianggap terlalu
mengabaikan fakta-fakta bahwa setiap masalah membutuhkan satu solusi yang spesifik.
Post-washington consensus ini mengkritik bahwa kebijakan ekonomi yang
disyaratkan dilakukan terlalu drastis pada suatu negara yang sedang terkena krisis, sehingga
negara yang bersangkutan belum tentu sudah siap dengan hal tersebut. Misalnya mengenai
poin bahwa negara harus membuka akses investasi asing sebesar-besarnya dan memberi
akses swasta untuk mengelola sumber daya vital bagi masyarakat, maka dengan demikian
modal asing secara besar-besaran akan masuk kedalam negeri, tidak hanya berupa materi,
12

namun juga teknologi yang memudahkan proses produksi ataupun distribusi. Dengan adanya
hal tersebut, masyarakat dalam wilayah tersebut belum tentu siap terhadap perubahan
tersebut, misalnya kemampuan mereka yang kurang terlatih, sehingga besar peluang mereka
akan termarjinalkan dari dunia pekerjaan, disisi lain mereka tetap harus bekerja keras untuk
bisa mengakses kebutuhan pokok yang telah dikelola oleh pihak swasta, dengan
kemungkinan besar harganya lebih mahal dibanding ketika dikelola oleh negara. Sehingga
dalam prakteknya sangat memimpikan GDP yang tinggi tentang pemerataan pendapatan dan
kesehjateraan masayarakat.
Jika dilihat secara teoritis, maka pemikiran post-washington consensus sangat dekat
dengan paham Keynesian yang menekankan pada state rule khususnya pada kebijakan
ekonomi yang mengedepankan kepada pemerataan kesehjateraan masyarakat. Peran negara
dalam perekonomian tidak bisa dihilangkan seluruhnya dan peran swasta juga harus dibatasi.
Swasta tidak serta merta diberikan kebebasan untuk menjalankan usahanya karena mereka
adalah golongan yang berorientasi profit semata. Negara akan tetap memberikan regulasiregulasi tertentu yang akan menguntungkan pihak swasta dan tidak merugikan masyarakat
dan negara.
Maka, washington consensus dapat dilihat sebagai cara negara besar yang didominasi
oleh negara-negara penganut liberalisme dan kapitalisme ekonomi. Kritik terhadap
washington consensus diatas juga mencerminkan kritik-kritik yang dapat diutarakan melalui
perspektif teori kritis. Negara-negara besar yang berperan dalam sistem internasional tentu
memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kedaulatannya sebagai negara hegemon.
Hal ini dibtuktikan dengan kemampuan negara-negara besar dalam menciptakan tatanan
dunia dimana pusat dan sumber dari tatanan tersebut berasal dari negara-negara ini.
Kemudian terciptalah tatanan dunia yang dikehendaki oleh negara-negara tersebut yang mana
kemudian disebarkan ke negara-negara lain. Washington consensus merupakan salah satu
produk dari tatanan dunia yang dikontrol negara hegemon, lebih spesifik negara barat.
Jadi, menurut teori kritis washington consensus adalah sebuah produk yang berasal
dari pemikiran negara-negara barat yang mana menggunakan ideologi liberal dan kapitalis.
Masalah-masalah yang kemudian muncul seperti timbulnya utang luar negeri, kurangnya
kendali pemerintah terhadap pasar domestik bukan merupakan permasalahan yang timbul
akibat segi ekonomi. Permasalahan sebenarnya terletak di washington consensus itu sendiri
yang merupakan produk kekuasaan negara barat yang telah ada dan diamini oleh mayoritas
13

penduduk dunia tanpa menyadari bahwa sebenarnya hal tersebutlah yang menjadi akar
permasalahan sebenarnya.
Washington Consensus secara sederhana adalah alat untuk mengendalikan ekonomi
negara-negara kecil dan berkembang dengan dalih bahwa hal tersebut adalah resep untuk
menciptakan kondisi perekonomian negara yang baik. Pada nyatanya tidak demikian,
washington consensus merupakan bentuk penyebaran ideologi-ideologi negara barat yang
hanya mempersulit dan bahkan mengekang masyarakat negara berkembang. Dampaknya,
tatanan dunia sangat ketergantungan terhadap hal tersebut dan bahwa cara untuk memberikan
solusinya adalah menawarkan sistem baru atau merekonstruksi ulang supaya keadilan dan
kesejahteraan masyarakat secara umum dapat tercapai.
Oleh karena itu, Indonesia yang menyetujui syarat-syarat yang diajukan IMF dalam
meminta bantuan luar negeri yang mana merupakan bentuk dari washington consensus
membuat Indonesia mengikuti keinginan atau kondisi yang didasari pada orientasi negara
barat dan bahwa ternyata hal tersebut adalah satu-satunya opsi rasional yang dipilih oleh
pemerintah menunjukan bahwa tatanan dunia pada saat itu dikuasai oleh negara-negara barat
yang menciptakan washington consensus. Permasalahan yang lalu timbul di kemudian hari
dapat kita kritik bahwa sebenarnya berakar dari washington consensus itu sendiri yang mana
tidak dikaji lebih dahulu terhadap kecocokannya di sistem ekonomi masyarakat Indonesia.
Indonesia yang sudah tergantung dengan ekonomi pasar menjadi sulit untuk kemudian
meraih kontrol kembali ketika intensitas dari kondisi-kondisi yang dipromosikan oleh
washington consensus sudah berlaku secara umum dan semakin besar.

Kesimpulan
Melalui pembahasan diatas, teori kritis melihat bahwa washington consensus adalah
cara yang dilakukan oleh negara-negara besar untuk mengontrol negara-negara kecil dan
berkembang melalui pengaturan sistem ekonomi negara tersebut. Masalah-masalah yang
timbul di negara berkembang seperti menumpuknya utang luar negeri atau kalah bersaingnya
produk lokal merupakan masalah yang sering dilihat sebagai bentuk ketidakmampuan negara
mengelola pasar nasionalnya. Tetapi, teori kritis melihat masalah tersebut sebenarnya
bersumber dari negara-negara barat yang merancang tatanan dunia untuk bergantung pada
sistem kapitalisme dan liberalisme pasar yang mana menguntungkan mereka.
14

Dominasi negara barat menyebabkan kerugian bagi negara-negara kecil dan
berkembang karena mereka sulit untuk memajukan ekonomi yang berimbas pada
kesejahteraan masyarakat karena terlilit belenggu sistem yang memperbudak mereka.
Tatanan dunia yang ada merupakan rancangan dari negara barat yang memegang ideologi
liberalisme dan mengincar keuntungan sekaligus mempertahankan power mereka di dunia
internasional. Oleh karena itu, dengan menggunakan teori kritis maka studi kasus mengenai
bantuan luar negeri yang diterima oleh Indonesia sebagai bentuk aplikasi washington
consensus hanyalah merupakan alat negara-negara barat untuk mengontrol ekonomi
Indonesia dan masalah-masalah seperti yang dijelaskan di pembahasan merupakan dampak
dari ketidakadilan oleh sistem yang terus dihiraukan dalam menjadi sumber masalah dan
akhirnya mencari jalan yang salah dalam usaha penyelesaian.

15

Daftar Pustaka
Ashley, R. K. (1981). Political Realism and Human Interests. International Studies
Quarterly.
Burchill, S., & Linklater, A. (2002). Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung:
Nusamedia.
Devetak, R. (2001). Theories of International Relations. Palgrave Macmilan.
Prasetianto, A. T. (n.d.). IMF (International Monetary Fund). Yogyakarta:
Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas.
Ricklefs, M. C. (2004). Sejarah Modern Indonesia. Jakarta: Serambi.
Rizky, A., & Majidi, N. (2008). Neoliberalisme Mencengkram Indonesia. Jakarta.
Sterling-Folker, J. (n.d.). Making Sense of International Relations Theory. London:
Lynne Rienner Publishers.
Zon, F. (2004). Politik Huru-Hara Mei 1998. Jakarta: Institue of Policy Studies.

16