MAKALAH PESTISIDADAN TEKNOLOGI APLIKASI

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Peranan pestisida dalam sistem pertanian sudah menjadi dilema yang sangat
menarik untuk dikaji. Berpihak pada upaya pemenuhan kebutuhan produksi pangan
yang sejalan dengan peningkatan perumbuhan penduduk Indonesia, maka pada
konteks pemenuhan kuantitas produksi pertanian khususnya produk hortikultura
pestisida sudah tidak dapat lagi dikesampingkan dalam sistem budidaya pertaniannya.
Pestisida kimiawi hingga saat ini masih dianggap sebagai satu-satunya senjata
pamungkas untuk menghadapi serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman), hal
ini dikarenakan kompleksnya permasalahan-permasalahan yang sering dijumpai di
lapangan. Pada saat ini dan masa yang akan datang, pestisida tampaknya masih
menjadi salah satu komponen penting guna pengendalian organisme pengganggu
tanaman. Aplikasi pestisida kimia saat ini masih banyak dilakukan oleh petani dengan
cara disemprotkan dan disebarkan yang memungkinkan sebagian besar deposit
pestisida jatuh pada permukaan tanah.
Lamanya persistensi pestisida tergantung dari jenis, konsentrasi dan keadaan
lingkungan atau tempat pestisida tertinggal. Pestisida, terutama pestisida kimia, telah
dikenal memiliki pengaruh negatif terhadap organisme dalam tanah. Penggunaan
pestisida oleh petani dapat tersebar di lingkungan sekitarnya; air permukaan, air
tanah, tanah dan tanaman. Sifat mudah berpindah yang dimiliki akan berpengaruh

terhadap kehidupan organisme non sasaran, kualitas air, kualitas tanah dan udara.
Pestisida sebagai salah satu agen pencemar ke dalam lingkungan baik melalui
udara, air maupun tanah dapat berakibat langsung terhadap komunitas hewan,
tumbuhan terlebih manusia. Perkembangan penelitian tentang toksikologi lingkungan
mengalami perkembangan yang cepat dalam beberapa dekade terakhir, akan tetapi di
daerah tropis masih sedikit yang meneliti tentang pengaruh pestisida terhadap

ekosistem dalam tanah. Beberapa organisme dapat dijadikan sebagai indikator
tercemarnya suatu lingkungan. Di antara organisme tersebut adalah cacing tanah.
Pestisida secara kimia dapat diklasifikasikan menjadi pestisida organik dan
anorganik. Pestisida organik terdiri dari pestisida organik alam dan organik buatan.
Pestisida organik buatan diklasifikasikan antara lain sebagai golongan organoklorin,
dimana golongan ini di Indonesia sudah tidak digunakan lagi. Golongan organofosfat,
karena banyak yang bersifat toksis maka hanya sebagian saja yang digunakan.
Golongan yang banyak digunakan adalah pestisida golongan karbamat dan golongan
piretroida. Salah satu contoh golongan karbamat yang sebagai insektisida adalah
propoksur, karbaril, BPMC dan karbofuran
1.2 Tujuan dan Manfaat
1.2.1


Tujuan

Makalah tentang Toksisitas Karbamat ini disusun dengan tujuan untuk
mendeskripsikan tentang senyawa karbamat dalam pestisida sintetik serta toksisitas
karbamat yang bersifat racun bagi hewan, lingkungan dan manusia.
1.2.2

Manfaat
Mahasiswa mampu memahami dan mendeskripsikan senyawa karbamat

beserta toksisitasnya yang bersifat racun bagi hewan, lingkungan dan manusia.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida
2.1.1 Pengertian Pestisida
Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari
bahasa inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Yang dimaksud
hama bagi petani sangat luas yaitu : tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman

yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, nematoda (cacing yang
merusak akar), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan.
Menurut peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973 (yang dikutip oleh Djojosumarto,
2008) pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus
yang dipergunakan untuk :
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak
tanaman atau hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan.
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman, tidak termasuk pupuk.
4. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan peliharaan dan
ternak.
5. Memberantas dan mencegah hama-hama air.
6. Memberikan atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam
rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan, memberantas atau mencegah
binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang
yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.
Pestisida yang digunakan di bidang pertanian secara spesifik sering disebut
produk perlindungan tanaman (crop protection products) untuk membedakannya dari
produk-produk yang digunakan dibidang lain. (Djojosumarto, 2008). Pengelolaan

pestisida adalah kegiatan meliputi pembuatan, pengangkutan, penyimpanan,
peragaan, penggunaan dan pembuangan / pemusnahan pestisida. Selain efektifitasnya
yang tinggi, pestisida banyak menimbulkan efek negatif yang merugikan. Dalam

pengendalian pestisida sebaiknya pengguna mengetahui sifat kimia dan sifat fisik
pestisida, biologi dan ekologi organisme pengganggu tanaman. (Wudianto R, 2010).
2.1.2.Penggolongan Pestisida
Penggolongan pestisida berdasar bahan aktifnya (Kusnoputranto, 1996) :
1. Organoklorin (Chlorinated hydrocarbon)
Organoklorin merupakan racun terhadap susunan saraf (neuro toxins) yang
menyebabkan tremor dan kejang-kejang
2. Organofosfat (Organo phosphates – Ops)
Ops umumnya adalah racun pembasmi serangga yang paling toksik secara akut
terhadap binatang bertulang belakang seperti ikan, burung, kadal (cicak) dan
mamalia), mengganggu pergerakan otot dan dapat menyebabkan kelumpuhan.
Organofosfat dapat menghambat aktifitas dari cholinesterase, suatu enzim yang
mempunyai peranan penting pada transmisi dari signal saraf.
3. Karbamat (carbamat)
Sama dengan organofosfat, pestisida jenis karbamat menghambat enzim- enzim
tertentu, terutama cholinesterase dan mungkin dapat memperkuat efek toksik dari

efek bahan racun lain. Karbamat pada dasarnya mengalami proses penguraian yang
sama pada tanaman, serangga dan mamalia. Pada mamalia karbamat dengan cepat
diekskresikan dan tidak terbio konsentrasi namun bio konsentrasi terjadi pada ikan.
4. Piretroid
Salah satu insektisida tertua di dunia, merupakan campuran dari beberapa ester
yang disebut pyretrin yang diektraksi dari bunga dari genus Chrysantemum. Jenis
pyretroid yang relatif stabil terhadap sinar matahari adalah : deltametrin, permetrin,
fenvlerate. Sedangkan yang tidak stabil terhadap sinar matahari dan sangat beracun
bagi serangga adalah : difetrin, sipermetrin, fluvalinate, siflutrin, fenpropatrin,
tralometrin, sihalometrin, flusitrinate. Piretrum mempunyai toksisitas rendah pada
manusia tetapi menimbulkan alergi pada orang yang peka, dan mempunyai
keunggulan diantaranya: diaplikasikan dengan takaran yang relatif sedikit, spekrum

pengendaliannya luas, tidak persisten, dan memiliki efek melumpuhkan yang sangat
baik.
5. Kelompok lain
Berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan, terdiri dari berbagai urutan senyawa
yang diproduksi secara alami oleh tumbuh-tumbuhan. Produk tumbuhan yang secara
alami merupakan pestisida yang sangat efektif dan beberapa (seperti nikotin, rotenon
ekstrak pyrenthrum, kamper dan terpentium) sudah dipergunakan oleh manusia untuk

tujuan ini sejak beberapa ratus tahun yang lalu.
2.1.3. Jarak/Frekuensi Penyemprotan Pestisida Sesuai Golongan
1) Golongan Organofosfat
Berdasarkan masa degradasinya dalam lingkungan yaitu sekitar 2 minggu maka
frekuensi/jarak penyemprotan golongan ini adalah 2 minggu sekali.
2) Golongan Karbamat
Golongan ini hampir sama dengan organofosfat, dimana golongan ini juga tidak
persisten, mulai banyak dipasaran. Masa degradasi di lingkungan hampir sama
dengan organofosfat yaitu sekitar 12-14 hari, oleh karena itu maka frekuensi
penyemprotannya berkisar 12-14 hari.
3) Golongan Piretroid
Dibandingkan dua golongan diatas, golongan Piretroid yang paling baru.
Golongan Piretroid memiliki beberapa keunggulan, diantaranya diaplikasikan dengan
takaran relatif sedikit, spektrum pengendaliannya luas, tidak persisten, dan memiliki
efek melumpuhkan (knock down effect) yang sangat baik, masa terdegradasi dalam
lingkungan juga singkat, berkisar antara 10-12 hari, jadi jarak/frekuensi
penyemprotan juga berkisar 10-12 hari. ( Djojosumarto,2008).
2.1.4.Karakteristik Pestisida

Dalam menentukan pestisida yang tepat, perlu diketahui karakterisitk pestisida

yang meliputi efektivitas, selektivitas, fitotoksitas, residu, resistensi, LD 50, dan
kompabilitas (Djojosumarto, 2008)
1. Efektivitas
Merupakan daya bunuh pestisida terhadap organisme pengganggu. Pestisida
yang baik seharusnya memiliki daya bunuh yang cukup untuk mengendalikan
organisme pengganggu dengan dosis yang tidak terlalu tinggi, sehingga memperkecil
dampak buruknya terhadap lingkungan.
2. Selektivitas
Selektivitas sering disebut dengan istilah spektrum pengendalian, merupakan
kemampuan pestisida untuk membunuh beberapa jenis organisme. Pestisida yang
disarankan didalam pengendalian hama terpadu adalah pestisida yang berspektrum
sempit.
3. Fitotoksitas
Fitotoksitas merupakan suatu sifat yang menunjukkan potensi pestisida untuk
menimbulkan efek keracunan bagi tanaman yang ditandai dengan pertumbuhan yang
abnormal setelah aplikasi pestisida.
4. Residu
Residu adalah racun yang tinggal pada tanaman setelah penyemprotan yang
akan bertahan sebagai racun sampai batas tertentu. Residu yang bertahan lama pada
tanaman akan berbahaya bagi kesehatan manusia tetapi residu yang cepat hilang

efektivitas pestisida tersebut akan menurun.
5. Persistensi
Persistensi adalah kemampuan pestisida bertahan dalam bentuk racun di
dalam tanah. Pestisida yang mempunyai persistensi tinggi akan sangat berbahaya
karena dapat meracuni lingkungan.

6. Resistensi

Resistensi merupakan kekebalan organisme pengganggu terhadap aplikasi
suatu jenis pestisida. Jenis pestisida yang mudah menyebabkan resistensi organisme
pengganggu sebaiknya tidak digunakan.
7. LD 50 atau Lethal Dosage 50%
Berarti besarnya dosis yang mematikan 50% dari jumlah hewan percobaan.
8. Kompatabilitas
Kompatabilitas adalah kesesuaian suatu jenis pestisida untuk dicampur
dengan pestisida lain tanpa menimbulkan dampak negatif. Informasi tentang jenis
pestisida yang dapat dicampur dengan pestisida tertentu biasanya terdapat pada label
di kemasan pestisida.
2.2 Toksisitas Pestisida
Toksisitas merupakan istilah dalam toksikologi yang didefinisikan sebagai

kemampuan bahan kimia untuk menyebabkan kerusakan/injuri. Istilah toksisitas
merupakan istilah kualitatif, terjadi atau tidak terjadinya kerusakan tergantung pada
jumlah unsur kimia yang terabsorpsi. Sedangkan istilah bahaya (hazard) adalah
kemungkinan kejadian kerusakan pada suatu situasi atau tempat tertentu; kondisi
penggunaan dan kondisi paparan menjadi pertimbangan utama. Untuk menentukan
bahaya, perlu diketahui dengan baik sifat bawaan toksisitas unsur dan besar paparan
yang diterima individu. Manusia dapat dengan aman menggunakan unsur berpotensi
toksik jika menaati kondisi yang dibuat guna meminimalkan absopsi unsur tersebut.
Risiko didefinisikan sebagai kekerapan kejadian yang diprediksi dari suatu efek yang
tidak diinginkan akibat paparan berbagai bahan kimia atau fisik.
Pestisida yang mempunyai daya bunuh tinggi dalam penggunaan dengan
kadar yang rendah menimbulkan gangguan lebih sedikit bila dibandingkan dengan
pestisida dengan daya bunuh rendah tetapi dengan kadar tinggi. Toksisitas pestisida
dapat diketahui dari LD 50 oral dan dermal yaitu dosis yang diberikan dalam
makanan hewan-hewan percobaan yang menyebabkan 50% dari hewan-hewan

tersebut mati. Klasifikasi Toksisitas senyawa pestisida pada tikus percobaan dapat
dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 1. Klasifikasi Toksisitas Pestisida pada Tikus


Parameter yang digunakan untuk menilai efek peracunan pestisida terhadap
mamalia dan manusia adalah nilai LD50 (lethal dose 50 %) yang menunjukkan
banyaknya pestisida dalam miligram (mg) untuk tiap kilogram (kg) berat seekor
binatang-uji, yang dapat membunuh 50 ekor binatang sejenis dari antara 100 ekor
yang diberi dose tersebut. Yang perlu diketahui dalam praktek adalah LD50 akut oral
(termakan) dan LD50 akut dermal (terserap kulit). Nilai-nilai LD50 diperoleh dari
percobaan-percobaan dengan tikus putih. Nilai LD50 yang tinggi (di atas 1000)
menunjukkan bahwa pestisida yang bersangkutan tidak begitu berbahaya bagi
manusia. LD50 yang rendah (di bawah 100) menunjukkan hal sebaliknya.

2.3 Senyawa Karbamat
Karbamat merupakan insektisida yang bersifat sistemik dan berspektrum luas
sebagai nematosida dan akarisida. Golongan karbamat pertama kali disintesis pada
tahun 1967 di Amerika Serikat dengan nama dagang Furadan. Umumnya karbamat
digunakan untuk membasmi hama tanaman pangan dan buah-buahan pada padi,
jagung, jeruk, alfalfa, ubi jalar, kacang-kacangan dan tembakau. Dengan dilarangnya
sebagian besar pestisida golongan organokhlorin (OC) di Indonesia maka pestisida

golongan organofosfat (OP) dan karbamat menjadi alternatif bagi petani di dalam
mengendalikan hama penyakit tanaman di lapangan. Sadjusi Dan Lukman (2004)

dalam Indraningsih 2008 melaporkan bahwa insektisida golongan karbamat yang
banyak digunakan di lapangan terdiri dari jenis karbofuran, karbaril dan aldikarb.
Sementara itu, beberapa jenis pestisida golongan karbamat yang umum digunakan
pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah antara lain karbaril
(Sevin™), karbofuran (Furadan™ dan Curater™), tiodikarb (Larvin™) dan
BPMC/Butyl Phenyl-n-Methyl Carbamate (Bassa™, Dharmabas™ dan Baycarb™).
Karbamat bekerja mengikat asetilkolinesterase atau sebagai inhibitor
asetilkolinesterase. Asetilkolinesterase adalah enzim yang diperlukan untuk
menjamin kelangsungan fungsi sistem saraf manusia, vertebrata, dan insekta. Fungsi
asetikolinesterase adalah mengatur produksi dan degradasi asetilkolin (Ach), suatu
neurotransmiter pada sistem saraf otonom (parasimpatik) dan somatik (otot rangka).
Karbamat merupakan insektisida berspektrum luas dengan aplikasi luas dalam
pertanian. Insektisida ini diproduksi dari asam karbamat (Bambang 2013).
Insektisida karbamat jenis propoksur masih digunakan sebagai insektisida
rumah tangga. Insektisida propoksur mempunyai waktu paruh sekitar 4 jam,
sehingga insektisida jenis ini cepat hilang namun tetap berbahaya jika terjadi
akumulasi (Baron 1991 dalam Mariana 2009).
Senyawa karbamat bisa bersifat racun (toksik). Industri-industri pestisida
memanfaatkan senyawa karbamat tersebut sebagai senyawa aktif pada perstisida jenis
karbaril, karena senyawa itu memiliki daya racun (toksisitas) yang tinggi. Indikator
sifat toksis itu tercermin dari nilai lethal dosage 50% (LD50) oral sebesar 540 ppm
(mg/kg berat badan). Dibandingkan dengan sifat toksis insektisida jenis lain
(organoklorin), contoh DDT LD50 sebesar 113 ppm, aldrin dan dieldrin 39 ppm dan
46 ppm. Sedangkan golongan pestisida organopospor, contoh malathion dan
parathion berturut-turut 1.000 ppm dan 3,6 ppm. Sifat toksis dan tidak toksis itu baru
terbentuk dan tergantung pada molekul atau grup pembentuk esternya.

Metil karbamat (methyl carbamate atau methylurethane) adalah senyawa
karbamat paling sederhana dengan rumus kimia C2H5NO2, yang mana gugus metil
(CH3) mensubstitusi atom hidrogen (H) dari gugus asam (COOH). Diketahui
senyawa ini bersifat karsinogenik pada tikus. Senyawa lain adalah ethyl carbamat
(urethane) yang sering dipakai sebagai “veterinary medicine”. Pestisida (merk) lain
dari golongan karbamat antara lain, Aldicarb, Carbofuran, Furadan (nematisida),
Carbaryl, Fenoxycarb, Sevin dan Baygon (insektisida).
Batas maksimum residu
(ppm)
Jenis hasil pertanian
Tanaman padi
Beras
Jerami
Jagung:
Biji jagung
Jerami jagung
Kedelai
Biji kedelai
Limbah kedelai
Sayuran
Kol/Kubis
Limbah kol
Wortel
Limbah wortel
Produk ternak
Daging sapi
Susu sapi
Pakan ternak

Aldikarb

Karbaril

Karbofuran

Karbosulfan

0,02
0,05

1
120

0,1
1

na
0,05

0,05
0,5

0,02
400

0,05
0,2

0,05
0,05

0,02
na

0,2
30

0,2
Na

Na
Na

na
na
na
na

na
na
0,5
na

0,5
Na
0,5
Na

na
na
na
na

0,01
0,01
0,5

0,05
0,05
400

0,05
0,05
0,2

0,05
0,03
0,05

na = not available (data tidak tersedia)
Sumber: BADAN STANDARDISASI NASIONAL (BSN) 2004 dalam Indraningsih, 2008

Tabel 2. Batas maksimum residu pestisida golongan karbamat berdasarkan acuan
Codex Allimentarius Commission, 2004
Keracunan karbamat bersifat akut yang dapat terjadi melalui inhalasi,
gastrointestinal (oral) atau kontak kulit. Karbamat dapat menimbulkan efek

neurotoksik melalui hambatan enzim asetilkholinesterase (AchE) pada sinapsis
syaraf dan myoneural junctions yang bersifat reversibel. Gejala klinis keracunan
karbamat merupakan reaksi kholinergik yang berlangsung selama 6 jam. Tingkat
keparahannya tergantung pada jumlah karbamat yang terkonsumsi dengan gejala
klinis berupa pusing, kelemahan otot, diare, berkeringat, mual, muntah, tidak ada
respon pada pupil mata, penglihatan kabur, sesak napas dan konvulsi (Risher Et Al.,
1987 dalam Indraningsih 2008). Keracunan karbamat pada manusia dilaporkan
pernah terjadi di Spanyol pada tahun 1998 dengan gejala berkeringat, tremor,
myosis, gangguan pernapasan, dan muntah. Karbamat, khususnya karbofuran
dilaporkan dapat menimbulkan kanker paru-paru pada manusia (Wesseling Et Al.,
1999; Bonner Et Al., 2005 dalam Indraningsih 2008).
Penggunaan pestisida dapat menimbulkan residu pada produk tanaman
pangan maupun peternakan. Residu pestisida yang terjadi pada pangan dapat
disebabkan karena penggunaan langsung pada tanaman pangan dan peternakan,
pakan ternak yang tercemar pestisida dan kontaminasi lingkungan oleh pestisida.
Pengaruh residu pestisida dalam pangan tergantung dari sifat fisik pestisida, jumlah
dan waktu pemaparan. Konsumsi pangan yang mengandung residu pestisida yang
berlebihan dapat menimbulkan gangguan kesehatan akut maupun kronik. Gejala
keracunan akut umumnya meliputi muntah-muntah, diare, nyeri perut, pusing dan
kekakuan. Selanjutnya keracunan kronik menimbulkan kerusakan pada sistem syaraf
atau jaringan lain seperti hati, ginjal dan gangguan perkembangan fetus hewan
(Indraningsih,2008).
Penurunan kadar residu pada pangan dapat dilakukan dengan beberapa
pendekatan yaitu secara fisik dan kimia. Residu pestisida pada produk pertanian dapat
dikurangi dengan cara mencuci produk tersebut dengan air yang mengalir untuk
beberapa kali, kemudian direndam di dalam air selama satu jam. Alternatif lain adalah
merebus produk tersebut selama satu menit dan kemudian buang air rebusan. Bila
kedua cara tersebut dikombinasi maka penurunan residu pestisida dapat berlangsung

terus. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa detergen dapat digunakan untuk
melepaskan residu pestisida pada buah-buahan (Indraningsih,2008).
2.4 Jenis-jenis Senyawa Karbamat
2.4.1 Karbaril
1. Sinonim / Nama Dagang
1-naphthalenyl methylcarbamate; 1-naphthol-N-methylcarbamate; 1-naphthylN- methylcarbamine; Arylam; Carbamine; Carbaril; Carbarilo; Carbaryl; Carbatox;
Carylderm; Carpolin; Cekubaryl; Denapon; Dicarbam; Hexavin; Karbaspray;
Methylcarbamate 1-naphthalenol; Methylcarbamate 1-naphthol; Methylcarbamic
acid; 1-naphthyl ester; N-methyl-alpha-naphthylurethan; NAC; Panam; Ravyon;
Septene; Sevin; Tercyl; Tricarnam; Union Carbide 7744.
Nomor Identifikasi :
Nomor CAS
: 63-25-2
Nomor RTECS
: FC5950000
Nomor EC (EINECS): 200-555-0
Nomor EU Index
: 006-011-00-7
UN
: 2757
STCC
: 4941122
2. Sifat Fisika Kimia
Nama bahan : Karbaril
IUPAC: 1-naphthyl methylcarbamate
Strukur

:

Deskripsi
Bentuk kristal padat, warna mulai dari tidak berwarna, putih hingga kelabu,
tergantung pada kemurnian senyawa; tidak berbau, non-korosif; Berat molekul

201,24; Rumus kimia C12H11NO2; Terdekomposisi sebelum mendidih; Titik lebur
142oC (288 F); Titik nyala 193-202 oC; Kelarutan dalam air 0,005 g/100 g pada 20 oC
dan 0,004 g/100 g pada 30oC. Dapat larut dalam aseton, isoforon, sikloheksanon,
dimetilformamid, dimetilsulfoksida, campuran kresol, petroleum oils, pelarut polar.
Sedikit larut dalam metanol. Stabil terhadap panas, cahaya, dan asam pada kondisi
penyimpanan. Tekanan uap 2 gm/kg; LD50 oral-marmut 250 mg/kg; LC inhalasimarmut >390 mg/m3/4 jam; LDL0 oral-hamster 250 mg/kg; LD50 intraperitonealhamster 640 mg/kg; LDL0 subkutan-ayam 2 gm/kg; LD50 oral-burung puyuh 829

mg/kg; LD50 oral-gerbil 491 mg/kg; LD50 oral-mammalia 510 mg/kg; LD50 tidak
dilaporkan-mammalia 310 mg/kg; LD50 oral-burung liar 56 mg/kg; TDL0 oral-tikus
(rat) 30 mg/kg/30 hari intermittent; TDL0 oral-tikus (rat) 1050 mg/kg/21 hari
intermittent; TDL0 oral-tikus (rat) 10800 mg/kg/96 hari kontinyu; TDL0 oral-tikus
(rat) 25480 mg/kg/1 tahun intermittent; TDL0 oral-tikus (rat) 1109 mg/kg/22 minggu
intermittent; TCL0 inhalasi-tikus (rat) 214 µg/m3/24 jam – 13 minggu intermittent;
TDL0 oral-tikus (rat) 720 mg/kg/10 hari intermittent; TDL0 oral-tikus (rat) 300
mg/kg/50 hari kontinyu; TDL0 inhalasi-tikus (rat) 23 mg/m3/4 jam – 17 minggu
intermittent; TCL0 inhalasi- kucing 63 mg/kg/4 minggu intermittent; TDL0 oral-babi
8157 mg/kg/72 hari intermittent; TDL0 oral-burung puyuh 13230 mg/kg/14 minggu
kontinyu.
Data Tambahan
Toksisitas pada ikan

: LC50 (Mortalitas) Barb (Barbus stigma) 21,05 µg/L
selama 96 jam

Toksisitas pada invertebrate : EC50 (Immobilisasi) Water flea (Daphnia pulex) 6,4
µg/L selama 48 jam
Toksisitas pada alga

: Fotosintesis alga hijau (Enteromorpha intestinalis) 50
µg/L selama 6 jam

Fototoksisitas

: Fotosintesis Frog’s bit (Halophila ovalis) 50 µg/L
selama 6 jam

Toksisitas lain

: Lokomotor Clawded toad / katak air (Xenopus laevis)
100 µg/L selama 24 jam

Karbaril bersifat racun sedang. Karbaril segera dipecah dan diekskresi melalui
urin dan feses. Karbaril bersifat letal terhadap berbagai serangga non target. Senyawa
ini bersifat lebih aktif pada serangga daripada mammalia. Bersifat toksik sedang
terhadap organisme perairan dan beberapa spesies burung. Kadar residu pada ikan
dapat 140 kali lebih besar daripada kadarnya di air.

Senyawa

ini

cepat

dimetabolisme

dan

didegradasi

sehingga

tidak

menunjukkan risiko bioakumulasi yang berbeda nyata pada air yang bersifat alkali
tetapi berbeda nyata pada kondisi air yang asam.
Penguraian di tanah dan air tanah: Karbaril memiliki sifat kurang persisten di
tanah. Degradasi karbaril di tanah kebanyakan disebabkan oleh cahaya matahari dan
bakteri. Karbaril memiliki waktu paruh 7-14 hari di tanah berpasir serta 14-28 hari di
tanah liat.
Penguraian di air: Pada air permukaan, penguraian karbaril terjadi oleh bakteri
serta melalui proses hidrolisis. Evaporasi berlangsung sangat lambat. Karbaril
memiliki waktu paruh sekitar 10 hari pada pH netral. Waktu paruh bervariasi sesuai
tingkat keasaman air.
Penguraian pada vegetasi: Degradasi karbaril pada hasil pertanian terjadi
melalui hidrolisis di dalam tumbuhan. Waktu hidup residu pendek, kurang dari 2
minggu. Dibandingkan dengan senyawa karbaril, metabolit karbaril memiliki
toksisitas yang lebih rendah terhadap manusia. Penguraian senyawa ini sangat
bergantung pada tingkat keasaman dan temperature (Anonim1).
2.4.2 Karbofuran
1. Sinonim / Nama Dagang
7-benzofuranol, 2,3-dihydro-2,2-dimethyl-, methylcarbamate; Carbamic acid,
methyl-, 2,3-dihydro-2,2-dimethyl-7-benzofuranyl ester; 2,3-dihydro-2,2-dimethyl- 7benzofuranol methylcarbamate; Carbofurane; Carbofuran mixture; Chinufur; Crisfuran;
Curaterr; D 1221; 2,3-dihydro-2,2-dimethylbenzofuranyl-7-N-methylcar- bamate; 2,2dimethyl-7-coumaranyl-N-methylcarbamate; 2,2-dimethyl-2,3-dihydro -7-benzofuranyl-Nmethylcarbamate; FMC 10242; Furadan; Furadan 3G; Furada- keman ne; Furodan;
Karbofuranu; Methyl carbamic acid 2,3-dihydro-2,2-dimethyl- 7-benzofuranyl ester; NIA
10242; Niagara 10242; Niagara Nia-10242; OMS-864; Yaltox.

Nomor Identifikasi :
Nomor CAS
: 1563-66-2

Nomor OHS
: 04240
Nomor RTECS
: FB9450000
Nomor EC (EINECS): 216-353-0
Nomor EU Index
: 006-026-00-9
UN
: 2757
STCC
: 4921524
2. Sifat Fisika Kimia
Nama bahan

: Karbofuran

Rumus molekul

: C12H15NO3

Struktur

:

Deskripsi
Bentuk padat, kristal berwarna putih, tidak berbau; Berat molekul 221,28;
Titik lebur 153-154 oC; Tekanan uap 0,00002 mmHg pada 33 oC; Kerapatan relatif
(air=1): 1,180 pada 20oC; Kelarutan dalam air 700 ppm pada 25oC; Dapat larut dalam
pelarut

aseton,

benzen,

dimetilformamida,

dimetil

sulfoksida,

asetonitril,

sikloheksana, N-metil pirolidon.
3. Penggunaan
Insektisida, akarisida, nematosida. Penggunaan utama pada padi-padian,
terutama pada tanaman pakan sapi dan kuda.
4. Identifikasi Bahaya
a) Risiko utama dan sasaran organ
Bahaya utama terhadap kesehatan seperti gangguan genitourinaria, gangguan jantung
atau kardiovaskuler, gangguan sistem saraf, gangguan pernafasan, gangguan kulit dan
alergi. Organ sasaran: Sistem saraf
b) Terhirup
Jika terhirup, efek pertama dari penghambatan kolinesterase biasanya pada
pernafasan dan kemungkinan hiperemia nasal serta berair, dada terasa tidak nyaman,

dyspnea, nafas berbunyi karena meningkatnya sekresi bronkial dan bronkokonstriksi.
Efek sistemik lain dapat mulai terjadi dalam beberapa menit atau beberapa jam
setelah terpapar. Gejalanya antara lain adalah mual, muntah, diare, kram perut, sakit
kepala, vertigo, nyeri mata, spasme otot siliar, pandangan kabur atau redup, miosis,
atau dalam beberapa kasus midriasis, lakrimasi, salivasi, berkeringat, dan
kebingungan. Efek lain pada susunan saraf pusat dan neuromuskular yang dilaporkan
adalah ataksia, arefleksia, lemah, lelah, tremor, twitching, fasikulasi, bicara melantur,
paralisis pada anggota badan dan kemungkinan otot-otot pernafasan. Pada kasus yang
berat, dapat terjadi defekasi dan urinasi secara tidak sadar, bradikardia, hipotensi,
edema paru, kejang, koma, dan kematian yang disebabkan gagal nafas atau serangan
jantung. Biasanya bahan tidak terakumulasi pada jaringan mamalia dan inhibisi
kolinesterase membalik dengan agak cepat. Pada kasus yang tidak fatal, kesakitan
biasanya berlangsung kurang dari 24 jam.
c) Kontak dengan kulit
Dapat menyebabkan iritasi. Dapat terjadi keringat setempat dan fasikulasi
(kedutan) di tempat kontak. Jika bahan yang terserap kulit jumlahnya memadai, dapat
timbul gejala seperti pada paparan terhirup jangka pendek, kemungkinan gejala
tertunda selama 2-3 jam, biasanya kurang dari 8 jam.
d) Kontak dengan mata
Sediaan bubuk 25% dan 75% dalam bentuk sediaan WP (Wettable Powder)
bersifat letal jika diaplikasikan pada mata kelinci pada dosis berturut-turut 21,5
mg/kg dan 18,0 mg/kg. Kontak langsung dengan mata dapat menyebabkan nyeri,
hiperemia (kemerahan pada jaringan), lakrimasi, kedutan (twitching) pada kelopak
mata, miosis, dan spasme otot siliar disertai hilangnya akomodasi, pandangan kabur
atau redup, nyeri di sekitar alis. Kadang-kadang dapat terjadi midriasis dan bukan
miosis. Dengan paparan yang memadai, gejala lain adalah penghambatan
kolinesterase yang dapat timbul seperti yang dideskripsikan pada terhirup jangka
pendek.
e) Tertelan

Jika tertelan, efek pertama yang mungkin timbul adalah mual, muntah,
anoreksia, kram abdomen, dan diare. Dengan adanya absorbsi dari saluran
pencernaan, efek lain dari inhibisi kolinesterase, seperti pada inhalasi jangka panjang
dapat timbul. Gejala dapat timbul dalam beberapa menit atau tertunda selama
beberapa jam.
5. Stabilitas dan reaktivitas

Reaktivitas
: Stabil pada tekanan dan suhu normal
Tancampurkan
: Basa, asam, bahan pengoksidasi
Karbofuran dengan
Media alkalin
: Dapat menyebabkan hidrolisis
Kondisi asam
: Dapat menyebabkan hidrolisis
Pengoksidasi (kuat) : Bahaya meledak dan terbakar
Bahaya dekomposisi: Produk dekomposisi termal: oksida nitrogen
Polimerisasi
: Tidak terpolimerisasi.
6.Penyimpanan
Simpan dan tangani sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
standard yang berlaku. Lindungi dari kerusakan fisik dan jauhkan dari jangkauan
anak-anak. Serta jauhkan dari makanan, minuman, dan bahan makanan hewan.
7.Toksikologi
Toksisitas
Data pada hewan
LD50 oral-tikus (rat) 5 mg/kg; LC50 inhalasi-tikus (rat) 85 mg/m3; LD50
kulit-tikus (rat) 120 mg/kg; LD50 tidak dilaporkan-tikus (rat) 19 mg/kg; LD50 oraltikus (mouse) 2 mg/kg; LD50 intravena-tikus (mouse) 450 µg/kg; LD50 tidak
dilaporkan- tikus (mouse) 5 mg/kg; LD50 oral-anjing 19 mg/kg; LC50 inhalasi-anjing
52 mg/kg; LD50 kulit-kelinci 885 mg/kg; LD50 tidak dilaporkan-kelinci 885 mg/kg;
LC50 inhalasi-marmut 43 mg/m3/4 jam; LD50 oral-burung dara 1330 µg/kg; LD50
oral- ayam 6300 µg/kg; LD50 oral-burung puyuh 3160 µg/kg; LD50 oral-bebek 415
µg/kg; LD50 kulit-mammalia 837 mg/kg; LD50 oral-burung liar 420 µg/kg; LD50
kulit- burung liar 100 mg/kg; TDL0 oral-tikus (rat) 21 mg/kg/30 hari intermittent;
TDL0 intraperitoneal-tikus (mouse) 3 mg/kg/6 minggu intermittent; TDL0 kulit-

kelinci 17 mg/kg/20 hari intermittent; TDL0 oral-ayam 1960 mg/kg/2 minggu
kontinyu; TDL0 oral-burung liar 71600 µg/kg/7 hari kontinyu.
Data Tambahan
Dapat melewati plasenta. Interaksi dengan pestisida antikolinesterase lain
dapat menimbulkan potensi toksik. Sangat toksik terhadap kehidupan perairan :
Toksisitas pada ikan

: LC50 (Mortalitas) ikan lele (Mystus vittatus) 310
µg/L 96 jam

Toksisitas pada Invertebrata : EC50 (Mortalitas) kutu air (Daphnia pulex) µg/L 48
jam
Toksisitas Alga

: EC50 (Pertumbuhan populasi) alga hijau (Chlorella
pyrenoidosa) 272640 µ/L 96 jam

Toksisitas Lain

: Daya tetas katak (Microhyla ornata) 1000 µg/L 48
hari (Anonim2)

2.4.3 Butil Fenil Metil Karbamat
1. Sinonim / Nama Dagang
Fenobucarb;

2-sec-butylphenylmethyl

carbamate;

0-sec-butylphenyl-n-

methylcarbamate; 0-sec-butylphenylmethyl carbamate; 2-(1-methyl-propyl) phenyl
methylcarbamate. Bassa; Baycarb; Hopsin; Osbac.
Nomor Identifikasi :
Nomor CAS
: 3766812
Nomor NIOHS
: FB54250
Nomor RTECS
: FB9450000
Nomor EC (EINECS): 223-188-8
2. Sifat Fisika Kimia
Nama bahan :Buthyl Phenyl Methyl Carbamate
Deskripsi
Kristal berwarna kuning muda atau merah muda. Titik lebur 31-32C.
Tekanan uap pada 20C: 48 m pa. Larut dalam air pada 30c : 610mg/l.

3. Penggunaan
Insektisida, herbisida.
4. Identifikasi Bahaya
a) Risiko utama dan sasaran organ
Bahaya utama terhadap kesehatan: Merusak sistim syaraf jika tertelan,
terhirup dan kontak dengan kulit dan organ sasaran: Sistem saraf
b) Terhirup
Iritasi, rasa terbakar, mual, muntah, diare, sakit perut, sakit dada, sulit
bernapas, denyut jantung tidak teratur, sakit kepala, pening, gangguan penglihatan,
dilatasi pupil, kongesti paru-paru, konfulsi dan koma
b) Kontak dengan kulit
Sedikit iritasi
c) Kontak dengan mata
Sedikit iritasi.
d) Tertelan
Efeknya sama seperti efek inhalasi : Iritasi, rasa terbakar, mual, muntah, diare,
sakit perut, sakit dada, sulit bernapas, denyut jantung tidak teratur, sakit kepala,
pening, gangguan penglihatan, dilatasi pupil, kongesti paru- paru, konfulsi dan koma.
5. Stabilitas dan reaktivitas
Reaktivitas
: Stabil pada tekanan dan suhu normal
Tancampurkan
: Basa, asam, bahan pengoksidasi
Butil Fenil Metil karbamat dengan
Media alkalin
: Dapat menyebabkan reaksi exotermik
Kondisi asam
: Dapat menyebabkan reaksi exotermik
Pengoksidasi (kuat)
: Bahaya meledak dan terbakar
Bahaya dekomposisi
: Produk dekomposisi termal: oksida
karbon, nitrogen
6. Penyimpanan
Simpan dan tangani sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
standard yang berlaku. Lindungi dari kerusakan fisik dan jauhkan dari jangkauan
anak-anak. Jauhkan dari makanan, minuman, dan bahan makanan hewan.
7. Toksikologi

Toksisitas
Data pada manusia : tidak tersedia data toksisitas pada manusia.
Data pada hewan
Oral-rat LD50 : 410 mg/kg; Oral-mouse LD50 : 410 mg/kg; Unk-rat LD50 :
340 mg/kg; Skin-mouse LD50 : 340-4.200 mg/kg.
Karsinogenik
Dari data studi menunjukkan pemberian Butil Fenil metil karbamat selama 2
th pada tikus-tikus (rats) 4,1 mg/kg b.w. dengan dosis 100 mg/kg makanan tiap hr
menunjukkan tidak ada karsinogenik

2.5 Pestisida Berbahan Aktif Karbamat
1. Furadan 3G

Gambar 1. Furadan 3GR

Insektisida berbahan aktif Karbofuran 3 % W/W dengan Nomor Pendaftaran
RI.16/8-20026T berbentuk butiran berwarna biru tua. Furadan 3 G kini diproses
dengan teknologi baru Manufacturing Use Product (MPU) dengan keunggulan sbb :
a) Lebih sedikit debu sehingga lebih aman bagi pengguna dan lingkungan dari resiko
keracunan
b) Sistem pelepasan karbofuran lebih stabil dan toleran dalam kisaran ph tanah.
c) Pelapisan bahan aktif terhadap butiran lebih merata
d) Warna lebih seragam.
Karakteristik Furadan 3 G :
a) Kombinasi unik antara karakteristik kimia dan biologi
b) Sejalan dengan program IPM sebab aman bagi predators dan parasites
c) Non Persisten dan non phototoxid
d) Tidak mempunyai potensi bioakumulasi
e) Hasil metabolit dari penguraian Furadan mempunyai toksisitas lebih kecil
f) Waktu paruh pada tanah jenin sandy loam & silt loam : 30 hari sedang pada jenis
tanah muck : 60 hari
g) Daya larut dalam air sangat tinggi, sifat ini mempermudah untuk diserap tanaman.
Cara Kerja Furadan.
a) Masuk

ke

jaringan

melalui

absorbsi

perakaran

yang

selnjutnya

ditranslokasikan melalui sistem vasculer ke bagian tanaman yang lainnya
tetapi tidak ditranslokasikan ke bunga dan buah.
b) Bereaksi dengan bantuan sinar ultr-violet
c) Tidak mematikan musuh alami
d) Memiliki sifak kontak dan juga sistemik.
2. Sevin 85 SP

Gambar 2. Sevin 85 SP
Grup : Insektisida
Bahan Aktif : Carbaryl 85%
Ukuran Kemasan : 100 g, 250 g, 500 g
Nomor izin : RI.22/10-2001/T
LD50 Acute Toxicity : Oral, rat: 63.4 mg/ kg
Dermal rat : > 2000 mg/ kg
Sevin umumnya digunakan baik pada tanaman sayuran, perkebunan, taman,
bahkan tanaman keras sekalipun. Bahan aktif karbaril telah popular sejak tahun 1956
sebagai insektisida berspektrum luas yang dapat mengendalikan hampir 140 jenis
serangga maupun kutu-kutuan. Sevin juga efektif digunakan sebagai moluksisida
dalam mengendalikan hama siput dan keong. Bahan aktifnya karbaril adalah salah
satu yang tertua sejak diperkenalkan secara komersial diantara bahan lain dalam kelas
karbamat. Banyak produk yang terdaftar menggunakan bahan aktif karbaril, tetapi
manufaktur utamanya adalah Bayer Cropscience. Sevin dijual dalam bentuk tepung,
granul, maupun cairan konsentrat. Sevin termasuk pestisida yang memiliki tingkat
toksisitas moderat terhadap mamalia, tetapi tinggi terhadap lebah dan serangga
menguntungkan lainnya.
Sevin yang berbahan aktif karbaril membunuh serangga dengan mengganggu
fungsi normal system saraf. Impuls saraf ditransmisikan dari satu saraf ke saraf
lainnya melalui senyawa kimia yang disebut acethylcholine. Pada kondisi normal,

enzim yang disebut acetylcholinesterase menghancurkan acetylcholine agar impuls
saraf lainnya dapat ditransmisikan. Karbaril akan menghentikan fungsi dari enzim
acetylcholinesterase ini, dengan demikian tidak ada lagi yang menghancurkan
acetylcholine, hal ini dapat menimbulkan kejang, kebingungan, kelumpuhan, dan
pada akhirnya kematian pada serangga.
Beberapa hama yang dapat dikendalikan oleh sevin adalah belalang, ulat grayak,
perusak daun, penggerek buah, penggerek batang, penggerek pucuk, ulat api, kutukutuan, penggulung daun, dan penghisap buah.

BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Toksisitas Karbofuran
Karbofuran merupakan insektisida sistemik yang diintroduksi pada tahun
1965 dan termasuk insektisida dari golongan karbamat yang sukses di pasaran.
Karbofuran bekerja terutama sebagai racun kontak dan racun perut. Umumnya
diformulasi sebagai butiran dan diaplikasikan lewat tanah, untuk mengendalikan
banyak jenis serangga hama dan nematoda. LD50 pada tikus sekitar 8 mg/kg; LD50
dermal (24 jam) >2000 mg/kg yang dapat menyebabkan iritasi ringan pada mata dan
kulit kelinci; LC50 inhalasi (4 jam, tikus) sebesar 0,075 mg/l udara (Kinasih,2014).
Selain itu LD50 Karbofuran lainnya yaitu LD50 oral-tikus (rat) 5 mg/kg;
LC50 inhalasi-tikus (rat) 85 mg/m3; LD50 kulit-tikus (rat) 120 mg/kg; LD50 tidak

dilaporkan-tikus (rat) 19 mg/kg; LD50 oral-tikus (mouse) 2 mg/kg; LD50 intravenatikus (mouse) 450 µg/kg; LD50 tidak dilaporkan- tikus (mouse) 5 mg/kg; LD50 oralanjing 19 mg/kg; LC50 inhalasi-anjing 52 mg/kg; LD50 kulit-kelinci 885 mg/kg;
LD50 tidak dilaporkan-kelinci 885 mg/kg; LC50 inhalasi-marmut 43 mg/m3/4 jam;
LD50 oral-burung dara 1330 µg/kg; LD50 oral- ayam 6300 µg/kg; LD50 oral-burung
puyuh 3160 µg/kg; LD50 oral-bebek 415 µg/kg; LD50 kulit- burung liar 100 mg/kg;
TDL0 oral-tikus (rat) 21 mg/kg/30 hari intermittent; TDL0 intraperitoneal-tikus
(mouse) 3 mg/kg/6 minggu intermittent; TDL0 kulit-kelinci 17 mg/kg/20 hari
intermittent; TDL0 oral-ayam 1960 mg/kg/2 minggu kontinyu; TDL0 oral-burung liar
71600 µg/kg/7 hari kontinyu (Anonim2).
Karbofuran dikenal bersifat toksik pada mamalia dan sangat toksik atau fatal
pada unggas. Aplikasi karbofuran melalui penyemprotan lahan dan area berpotensi
untuk menimbulkan intoksikasi pada manusia, ternak dan hewan liar. Insektisida
karbofuran ini dapat terserap melalui saluran pencernaan dan inhalasi dari proses
penyemprotan, tetapi jarang terjadi melalui absorbsi kulit. Tabel 3 menggambarkan
nilai LD50 (toksisitas akut) karbofuran pada beberapa hewan percobaan.
Jenis hewan

Cara
intoksikasi

LD50
(mg/kg BB)

Tikus putih
Oral
8,8
Mencit
Oral
14,4
Marmot
Oral
9,2
Kelinci
Oral
7,5
Anjing
Oral
15,38
Kucing
Oral
2,5 – 3,5
Tikus putih
Dermal
2.000
Kelinci
Dermal
2.000
Tikus putih
Intraperitone
(jantan)
al
8,4
Tikus putih
Intraperitone
(betina)
al
2,8
Sumber: IPCSINTOX (1985) dalam Indraningsih,2008
Tabel 3. Taraf Toksisitas Akut (LD 50) karbofuran pada beberapa hewan percobaan

3.2 Toksisitas Karbosulfan
Insektisida karbosulfan ditemukan pada tahun 1979. Insektisida sistemik ini
bisa disebut sebagai proinsektisida dan bekerja sebagai racun kontak dan racun perut.
Dalam tubuh serangga, karbosulfan akan diubah menjadi karbofuran. LD50 pada
tikus yaitu 3820 mg/kg secara oral; LD50 dermal (24 jam) >2000mg/kg
menyebabkan iritasi ringan pada mata dan kulit; LC50 inhalasi (1 jam, tikus) 1,53
mg/l udara (Kinasih,2014).
3.3 Toksisitas BPMC
Insektisida BPMC yang memiliki nama umum fenobukarb ditemukan pada
tahun 1962. BPMC merupakan insektisida non-sistemik dengan cara kerja terutama
sebagai racun kontak dan digunakan untuk mengendalikan wereng, thrips, dan bubuk
pada beberapa tanaman termasuk padi. BPMC juga digunakan untuk mengendalikan
ulat buah dan aphids pada kapas. LD50 pada tikus sekitar 623 (j) – 657 (b) mg/kg;
LD50 dermal pada kelinci yaitu 10250 mg/kg; LC50 inhalasi pada tikus yaitu 0,366
mg/l udara (Stenersen, 2004, dalam Kinasih, 2014).
Data toksisitas pada hewan Oral-rat LD50 : 410 mg/kg; Oral-mouse LD50 :
410 mg/kg; Unk-rat LD50 : 340 mg/kg; Skin-mouse LD50 : 340-4.200 mg/kg. Dari
data studi menunjukkan pemberian Butil Fenil metil karbamat selama 2 th pada tikustikus (rats) 4,1 mg/kg b.w. dengan dosis 100 mg/kg makanan tiap hr menunjukkan
tidak ada karsinogenik (Anonim3).
Insektisida berbahan aktif BPMC (O-sec-butylphenyl methylcarbamate) 500
g/l, berasal dari golongan karbamat (anticholinesterase carbamate) yang memiliki
daya kerja sebagai racun kontak dan racun lambung yang sangat kuat.
3.4 Toksisitas Karbamat Terhadap Cacing Tanah
Perkembangan

penelitian

tentang

toksikologi

lingkungan

mengalami

perkembangan yang cepat dalam beberapa dekade terakhir, akan tetapi di daerah

tropis masih sedikit yang meneliti tentang pengaruh pestisida terhadap ekosistem
dalam tanah. Beberapa organisme dapat dijadikan sebagai indikator tercemarnya
suatu lingkungan. Di antara organisme tersebut adalah cacing tanah.
Akumulasi insektisida terhadap hewan non target dalam tanah penting
diketahui karena hewan tanah tersebut dapat berperan sebagai redestribusi insektisida
sehingga dapat mempengaruhi rantai transfer insektisida ke tingkat organisme yang
lebih tinggi. Kondisi ini menjadi dasar penelitian ini dimana akan dilakukan
pengamatan terhadap efek pestisida terhadap cacing tanah.
Hasil penelitian (Kinasih, 2014) menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi insektisida yang diberikan terhadap cacing tanah E. fetida maka semakin
tinggi tingkat kematiannya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai kematian tertinggi pada
perlakuan dengan konsentrasi tertinggi selain itu perlakuan insektisida

juga

dapat

mengakibatkan penurunan bobot tubuh cacing tanah E. fetida.
Dari tiga jenis insektisida golongan Karbamat yang digunakan yaitu
Karbofuran 3%, Karbosulfan 200, 11 g/l dan Butil Phenil Methil Carbamate (BPMC)
500 g/l yang diaplikasikan pada cacing tanah mengakibatkan E. fetida mengalami
kematian pada konsentrasi 50 mg, 100 mg, 200 mg dan 300 mg/kg (berat kering
tanah), sedangkan pada kontrol dan konsentrasi 25 mg tidak terdapat kematian.
Persentase kematian tertinggi cacing tanah E. fetida terdapat pada perlakuan dengan
konsentrasi 300 mg yaitu Karbosulfan sebesar 73,33%, BPMC, sebesar 76,66%.
Begitu pula pada perlakuan insektisida Karbofuran, kematian tertinggi cacing tanah
E. fetida juga terdapat pada konsentrasi 300 mg sebesar 66,66%.
Insektisida BPMC mampu membunuh lebih tinggi E. fetida pada konsentrasi
100 mg/kg, 200 mg/kg dan 300 mg/kg apabila dibandingkan dengan kedua
insektisida lainnya. Sedangkan karbofuran memiliki kemampuan membunuh lebih
rendah terutama pada konsentrasi 100 mg/kg, 200 mg/kg dan 300 mg/kg. Namun
insektisida karbosulfan memiliki daya toksik yang lebih cepat bila dibandingkan
dengan kedua jenis pestisida lainnya. Hal ini terlihat bahwa pada konsentrasi 300

mg/kg pada semua jenis insektisida, hanya insektisida karbosulfan yang mampu
membunuh hampir 50% populasi cacing tanah E. fetida (46,7%).
Setelah dilakukan analisa prohibit menunjukkan LC50 dari ketiga jenis
insektida tersebut menunjukkan nilai yang berbeda-beda. LC50 untuk insektisida
karbosulfan yaitu 173,78 mg/kg (berat kering tanah), untuk BPMC yaitu 169,82
mg/kg (berat kering tanah), sedangkan insektisida karbofuran memiliki nilai LC50
sebesar 188,21 mg/kg (berat kering tanah). Nilai LC 50 tersebut menunjukkan
insektisida karbosulfan memiliki kemampuan lebih toksik bila dibandingkan dengan
karbofuran. Sedangkan BPMC memiliki kemampuan paling toksik terhadap E. fetida
bila dibandingkan dengan karbosulfan dan karbofuran.
Dari hasil pengamatan (Kinasih,2014) cacing tanah E. fetida yang keracunan

insektisida muncul ke permukaan tanah kemudian cacing menjadi kaku, berlendir,
terjadi pembengkakan segmen dan mati dengan kliteliumnya pecah. Aplikasi
pestisida jenis karbamat juga mengakibatkan penurunan bobot tubuh cacing yaitu
terjadi penurunan yang cukup signifikan, terutama pada perlakuan 200 mg/kg dan
300 mg/kg untuk semua perlakuan. Penurunan bobot tubuh tersebut diduga terjadi
karena terganggunya proses fisiologis dan metabolisme tubuh akibat perlakuan
karbosulfan, karbofuran dan BPMC (Biphenil Methil Carbamat). Pengaruh
konsentrasi karbosulfan, karbofuran dan BPMC (Biphenil Methil Carbamat)
merupakan tekanan lingkungan bagi cacing tanah E. fetida sehingga hewan tersebut
akan mereduksi pertumbuhannya.
Adanya akumulasi insektisida menyebabkan organ tubuh E. fetida mengalami
gangguan sehingga mengurangi nafsu makan yang mengakibatkan laju konsumsi
pakan menurun dan pemanfaatan energi yang berasal dari makanan lebih banyak
digunakan untuk mempertahankan diri dari tekanan lingkungan serta mengganti
bagian sel tubuh yang rusak akibat bahan asing sehingga kelebihan energi dari
penggunaan untuk proses tersebut sangat sedikit dimanfaatkan untuk menambah
bobot tubuh (Heath, 1987 dalam Kinasih,2014).

Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dapat dikatakan sebagai parameter
yang sensitif dalam menentukan efek insektisida karbosulfan, BPMC dan karbofuran
pada E. fetida. Polutan (karbosulfan, karbofuran dan BPMC) dapat berpengaruh
secara langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku makan, cara makan,
penyerapan, pencernaan, asimilasi, ekskresi dan perubahan pada tingkat hormonal
yang akhirnya berpengaruh terhadap pertumbuhan. Adaya fluktuasi dan ketersediaan
makanan, kondisi tanah dan kondisi cacing tanah berpengaruh terhadap besarnya
energi yang dikonsumsi oleh seekor cacing tanah, sehingga energi yang dikonsumsi
tersebut dapat lebih besar atau lebih kecil dari energi yang dipakainya. Hal ini
mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan energi tumbuh (Tang dan
Affandi 2002 dalam Kinasih 2014). Secara normal, sekitar 70% nilai energi yang
berasal dari makanan diprioritaskan dan dipergunakan untuk pemeliharaan jaringan
tubuh, tetapi apabila cacing tanah sakit atau mengalami gangguan lingkungan akan
mempengaruhi cacing tanah menggunakan energi untuk mempertahankan hidupnya
lebih besar dari biasanya.

3.5 Toksisitas Karbamat Terhadap Mortalitas Benih Ikan Mas
Ikan serta biota air lain yang hidup di lingkungan perairan yang tercemar
pestisida dapat menyerap bahan aktif pestisida dan akan tersimpan dalam tubuh. Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa bioakumulasi pestisida (endosulfan) semakin
meningkat dengan bertambahnya konsentrasi dan waktu pemaparan hingga
tercapainya kondisi steady state. Selain itu, pengaruh lanjut dari bioakumulasi
pestisida secara signifikan dapat menurunkan laju pertumbuhan dan berdampak
terhadap kondisi hematologis ikan.
Hasil penelitian ( Aisyah,2015) berupa uji toksisitas akut yang dilakukan
terhadap 20 larva ikan mas pada masing-masing kelompok dengan menggunakan
pestisida jenis karbamat didapatkan hasil pada konsentrasi 0,025 ppm ikan mati
berjumlah 16 ekor, konsentrasi 0,05 ppm ikan mati berjumlah 20 ekor dan konsentrasi

0,025 ppm ikan mati berjumlah 11 ekor. Berdasarkan analisis probit maka Nilai
LC50-24 jam benih ikan mas ada pada konsentrasi 0,183 ppm.
Perlakuan dengan konsentrasi sebesar 0,025 ppm pada data (II) jumlah hewan
uji yang mati sebanyak 7 ekor, sedangkan pada data (III) sebanyak 9 ekor, maka dari
20 ekor ikan uji, ada 16 ikan yang mati setelah pemaparan selama 24 jam, artinya
dengan konsentrasi sebesar 0,025 ppm bahan toksik karbamat sudah mampu
mematikan 80% hewan uji. Perbedaan ikan yang mati pada data (II) dan (III)
disebabkan karena respon terhadap bahan toksik tiap individu ikan berbeda.
Begitupula pada konsentrasi 0,075 ppm pada data (II) jumlah hewan uji yang mati
sebanyak 5 ekor, sedangkan pada data (III) sebanyak 6 ekor, artinya dari 20 ekor ikan
ujia ada 11 ekor ikan uji yang mati setelah pemaparan selama 24 jam atau dengan
konsentrasi sebesar 0,025 ppm bahan toksik karbamat sudah mampu mematikan 55%
hewan uji.
Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal yang mempengaruhi adalah kemampuan ikan untuk bertahan hidup pada
kondisi lingkungan yang baru (kemampuan adaptasi) seperti yang dikemukakan oleh
Djamal (2002) bahwa Adaptasi merupakan kemampuan individu untuk mengatasi
keadaan lingkungan dan menggunakan sumber-sumber alam lebih banyak untuk
mempertahankan hidupnya dalam relung yang diduduki. Ini bahwa setiap organisme
mempunyai sifat adaptasi untuk hidup pada berbagai macam keadaan lingkungan.
Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi lingkungan akuarium uji, baik sifat fisik
maupun kimiawi yang menjadi faktor pembatasnya seperti oksigen terlarut,
ketersediaan nutrien yang digunakan sebagai makanan, suhu, pH ataupun hasil
metabolit yang menjadi bahan toksik seperti ammonia.
Namun pada konsentrasi 0,050 ppm, baik pada data (II) dan data (III) jumlah
hewan uji yang mati sebanyak 10 ekor. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi
karbamat sebesar 0,050 ppm dengan waktu pemaparan selama 24 jam mampu
mematikan seluruh pop