1. Pengertian dan Sejarah Jurnalistik1

Pengertian dan Sejarah Jurnalisme
DALAM Webster Dictionary disebutkan: “journalism (jurnalisme) adalah kegiatan
mengumpulkan berita atau memproduksi sebuah surat kabar. Dengan kata lain,
jurnalisme adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang wartawan, sedangkan
jurnalistik merupakan kata sifat (ajektif) dari jurnalisme.”
Jurnalisme (berasal dari kata journal), artinya catatan harian, atau catatan mengenai
kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari istilah
bahasa Latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik.
Secara harfiah (etimologis, asal usul kata), jurnalistik (journalistic) artinya
kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya
laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau
“catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran
catatan harian.
1.

Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jurnalistik adalah hal yang menyangkut
kewartawanan dan persuratkabaran.

2. Kamus Umum Bahasa Indonesia : Jurnalistik adalah kegiatan untuk
menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya.
3. Ensiklopedi Indonesia : Jurnalistik adalah bidang profesi yang

mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan seharihari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran dan pengkajian)
secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.
4. Leksikon Komunikasi : Jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan,
menulis, menyunting dan menyebarkan berita dan karangan utuk surat kabar,
majalah, dan media massa lainnya seperti radio dan televisi.
5. Dictionary of Media and Communication : Journalism is the profession of
gathering, writing, editing, publishing news, as for the newspaper and other print
and broadcast media. Journal: a daily & diary record, hence sometimes used as a
synonym for a newspaper, a printed record of proceeding.
6. Wikipedia : Journalism is the craft of conveying news, descriptive material and
comment via a widening spectrum of media. These include newspapers,
magazines, radio and television, the internet and even, more recently, the
cellphone.
7.

Webster Tower Dictionary : Journalist is the occupation of editing and
writing newspaper and magazines.

8. Asep Syamsul M. Romli : Jurnalistik adalah proses kegiatan mengolah,
menulis, dan menyebarluaskan berita dan atau opini melalui media massa.

9. F. Fraser Bond : Journalism ambraces all the forms in which and trough
which the news and moment on the news reach the public.
10. M. Djen Amar : Jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan
menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya.
11. M. Ridwan : Jurnalistik adalah suatu kepandaian praktis mengumpulkan,
mengedit berita untuki pemberitaan dalam surat kabar, majalah, atau terbitan
terbitan berkala lainnya. Selain bersifat ketrampilan praktis, jurnalistik
merupakan seni.

12. Onong U. Effendi : Jurnalistik adalah teknik mengelola berita sejak dari
mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak. Pada
mulanya jurnalistik hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informatif saja.
13. Adinegoro : Jurnalistik adalah semacam kepandaian karang-mengarang yang
pokoknya memberi perkabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar
tersiar seluas-luasnya.
14. Summanang : Jurnalistik adalah segala sesuatu yang menyangkut
kewartawanan.
15. Roland E. Wolseley : Jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran,
pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati, hiburan
umum secara sistematis dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada surat kabar,

majalah, dan disiarkan di stasiun siaran.
16. Astrid S. Susanto : Jurnalistik adalah kegiatan pencatatan dan atau pelaporan
serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari.
17. Erik Hodgins : Jurnalistik adalah pengiriman informasi dari sini ke sana
dengan benar, seksama, dan cepat, dalam rangka membela kebenaran dan
keadilan.
18. A.W. Widjaya : Jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang
dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai
peritiwaatau kejadian sehari-hari yang aktualdan factual dalam waktu yang
secepat-cepatnya.
19. A. Muis : Definisi tentang jurnalistik cukup banyak. Namun dari definisi-definisi
tersebut memiliki kesamaan secara umum. Semua definisi juranlistik
memasukan unsur media massa, penulisan berita, dan waktu yang tertentu
(aktualitas).
20. Spencer Crump : Journalism covers all mankind’s activities, and challenging to
the intellect. Journalism encompasses fields ranging from reporting with words
and photographs to editing, and from newspaper to television. Journalists are the
eyes, ears and curiosity of the public and must be so broad in their outlook that
they can translate events in many fields.
21. Mac Dougall : Jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta &

melaporkan peristiwa.
22. Leslie Stephen : Jurnalistik merupakan penulisan tentang hal-hal yang penting
dan tidak kita ketahui.
23. Erik Hodgins : Jurnalistik adalah pengiriman informasi dari tempat yang satu
ke tempat yang lain dengan benar, seksama dan cepat, dalam rangka membela
kebenaran dan keadilan berpikir, yang selalu dapat dibuktikan.
24. Kustadi Suhandang : Jurnalistik adalah seni dan keterampilan mencari,
mengumpulkan, mengolah, menyusuri dan menyajikan berita tentang peristiwa
yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan
hati nurani khalayaknya.
25. Martin Moenthadi : Jurnalistik atau jurnalisme merupakan pekerjaan
kewartawanan untuk mengumpulkan, menulis, mengedit dan menerbitkan berita
di dalam surat kabar.

Sebagai sebuah ilmu, jurnalistik mungkin terbilang masih baru dibandingkan dengan
ilmu-ilmu lainnya yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Namun, jika dipandang
sebagai sebuah proses atau kegiatan sosial yang dilakukan manusia, maka jurnalistik
sudah ada seiring peradaban manusia.
Dalam prakteknya, kegiatan jurnalistik mulai berkembang sejak ditemukannya alat
cetak untuk membuat surat kabar. Kehadiran surat kabar tersebut diiringi pula

dengan keinginan untuk mempelajari persuratkabaran, yang dalam bahasa Jerman
disebut Zeitungswissenschaft, sedangkan orang Inggris menyebutnya Journalism,
dan di Indonesia dikenal dengan sebutan Jurnalistik.
Jurnalistik didefinisikan sebagai suatu keterampilan atau kegiatan mengelola bahan
berita, mulai dari peliputan sampai pada penyusunan yang layak disebarluaskan
kepada masyarakat secara rutin setiap hari, melalui surat kabar dan majalah atau
memancarkannya melalui siaran radio dan siaran televisi.
Bagi wartawan atau jurnalis, memahami ilmu dan teknik jurnalistik tentu merupakan
hal yang mutlak. Namun demikian, masyarakat pembaca, pendengar, atau pemirsa
pun penting mengenal dan memahami jurnalistik agar tidak menjadi objek pasif
media massa.
Wartawan, dengan aktivitasnya tersebut, dapat disebut saksi sejarah sekaligus terus
menuliskan catatan sejarah. Mantan editor Washington Post, Phil Graham
menggambarkannya sebagai “naskah kasar pertama sejarah” (a first rough draft of
history) karena wartawan sering merekam peristiwa bersejarah pada saat
kejadiannya dan pada saat yang sama harus membuat berita dalam tenggat waktu
(deadline) yang pendek.
Istilah jurnalistik itu sendiri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yakni : 1) secara
harfiyah; 2) secara konseptual; dan 3) secara praktis. Secara harfiyah, jurnalistik
(journalistic) artinya kewartawanan atau kepenulisan. Kata dasarnya jurnal

(journal), artinya laporan atau catatan, atau jour dalam bahasa Prancis yang berarti
hari (day). Asal-muasalnya dari bahasa Yunani kuno, du jour yang berarti hari, yakni
kejadian hari ini yang diberitakan dalam lembaran-lembaran tercetak.
Sedangkan secara konseptual, jurnalistik dapat dipahami dari 3 (tiga) sudut pandang,
yakni sebagai 1) proses; 2) teknik; dan 3) ilmu.
*Sebagai proses
Jurnalistik adalah aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan
informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan
(jurnalis).
*Sebagai teknik
Jurnalistik adalah keahlian (expertise) atau keterampilan (skill) menulis karya
jurnalistik (berita, artikel, feature) termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan
penulisan seperti peliputan peristiwa (reportase) dan wawancara.
*Sebagai ilmu
Jurnalistik adalah bidang kajian mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi
(peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa. Jurnalistik termasuk ilmu
terapan (applied science) yang dinamis dan terus berkembang sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat itu
sendiri.
Sementara itu, jurnalistik dalam sudut pandang praktis adalah disiplin ilmu dan

teknik pengumpulan, penulisan, dan pelaporan berita, termasuk proses
penyuntingan dan penyajiannya. Produk jurnalistik, yakni berita, disajikan atau
disebarluarkan melalui berbagai jenis media massa, termasuk suratkabar, majalah,
radio, dan televisi serta internet (media online).
Setiap harinya, para jurnalis atau wartawan melakukan kegiatan peliputan berbagai
peristiwa atau kejadian penting untuk selanjutnya diberitakan atau disiarkan agar
peristiwa atau kejadian tersebut diketahui oleh publik secara luas dan serentak.

Sejarah Jurnalistik
Jurnalistik memiliki sejarah yang sangat panjang. Sebagaimana dikemukakan oleh
Onong Uchjana Effendy, kegiatan jurnalistik sudah berlangsung sangat tua, dimulai
sejak zaman Romawi Kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Waktu itu, informasi
harian dikirimkan dan dipasang di tempat-tempat publik untuk menginformasikan
hal-hal yang berkaitan dengan isu negara dan berita lokal (Tebba, 2005).
Namun, seiring berjalannnya waktu serta perkembangan di bidang teknologi
informasi dan komunikasi, masyarakat mulai mengembangkan berbagai metode
untuk mempublikasikan berita atau informasi tersebut. Kendati pada awalnya,
publikasi informasi hanya diperuntukkan bagi kalangan terbatas, terutama para
pejabat pemerintah.
Memasuki Abad 17 dan 18 surat kabar dan majalah untuk publik mulai diterbitkan

untuk pertama kalinya di wilayah eropa barat, Inggris, dan Amerika Serikat. Kendati
surat kabar untuk umum ini sering mendapat tentangan dan sensor dari penguasa
setempat mengingat berita atau informasi yang dipublikasikan cenderung
mengkiritisi kebijakan pemerintah atau penguasa setempat kala itu. Namun di sisi
lain, media kala itu telah berhasil menjalankan fungsi kontrol sosialnya.
Iklim yang lebih baik untuk penerbitan surat kabar generasi pertama ini baru muncul
pada pertengahan abad 18, ketika beberapa negara, seperti Swedia dan Amerika
Serikat berhasil mengesahkan undang-undang kebebasan pers sebagai titik tolak dari
perkembangan pers yang liberal yang dapat menjalankan fungsi kontrolnya secara
komprehensif dan total.
Industri surat kabar mulai menunjukkan geliatnya yang luar biasa ketika budaya
membaca di masyarakat tumbuh semakin meluas. Terlebih ketika memasuki masa
Revolusi Industri di Prancis, di mana industri surat kabar diuntungkan dengan
adanya penemuan mesin cetak tenaga uap yang bisa menggenjot oplah untuk
memenuhi permintaan publik akan berita.
Seiring dengan semakin majunya bisnis berita, pada pertengahan 1800-an mulai
berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita
dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah.
Kantor berita tersebut dengan cepat meraih popularitasnya. Pasalnya, para
pengusaha surat kabar dapat lebih menghemat pengeluarannya (dudget) dengan

berlangganan berita kepada kantor-kantor berita tersebut daripada harus membayar
wartawan untuk pergi atau ditempatkan di berbagai wilayah. Adapun kantor berita
yang sejak dulu sampai saat ini eksis di dunia, antara lain, Associated Press (Amerika
serikat), Reuters (Inggris), dan Agence France Presse (Prancis).
Terkait sejarah jurnalistik yang cukup panjang, terutama jurnalistik dalam sudut
pandang kegiatan pelaporan manusia, maka untuk memudahkan pemahaman
mengenai runtutan atau kronologis dari sejarah jurnalistik tersebut secara
komprehensif, maka sejarah jurnalistik di dunia sedikitnya dapat dibagi ke dalam 3
(tiga) fase utama, yakni 1) fase bahtera Nabi Nuh As; 2) fase Kekaisaran Romawi
kuno (Julius Caesar); dan 3) fase Nabi Muhammad Saw.
1. Fase Nabi Nuh As
Sejumlah pakar sepakat, sejarah jurnalistik jika dipandang dari segi kegiatan
pelaporan manusia telah berkembang sejak zaman Nabi Nuh As. Bahkan,
Suhandang (2004) menerangkan, hikayat bahtera Nabi Nuh As merupakan cikal
bakal kegiatan kejurnalistikan di dunia.
Dikisahkan, kala itu sebelum Allah Swt mengazab kaum Nabi Nuh As yang kufur
dengan banjir bah yang teramat dahsyat, datang malaikat utusan Allah Swt kepada
Nabi Nuh As agar ia membuat sebuah perahu atau bahtera yang sangat besar di atas
bukit.
Tentu saja pekabaran tersebut semakin membuat kaum kufur kala itu semakin ingkar

terhadap ajaran yang dibawa oleh nabi Allah tersebut, bahkan menuduh Nabi Nuh As
sudah gila karena membuat perahu di atas bukti. Namun, dengan ketauhidan yang
tinggi, Nabi Nuh As dibantu para pengikutnya yang setia akhirnya dapat
merampungkan pembuatan bahtera tersebut.

Bahtera itu sedianya akan dijadikan sebagai alat evakuasi Nabi Nuh As beserta sanak
keluarga dan seluruh pengikutnya yang shaleh berikut segala jenis hewan masingmasing satu pasang jika air bah datang dan menenggelamkan daratan.
Alkisah, saat pengerjaan bahtera rampung, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya,
bahkan tiada henti-hentinya, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulanbulan. Demikian pula angin dan badai yang mendera tiada usai, menghancurkan
segala apa yang ada di dunia kala itu, kecuali bahtera Nabi Nuh As.
Akibatnya, dunia pun kala itu berubah menjadi lautan yang sangat dalam dan luas.
Sementara Nabi Nuh As beserta sanak keluarga dan orang-orang yang bertauhid
lainnya serta hewan-hewan tersebut terselamatkan dari banjir bah karena berada di
dalam bahtera.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, namun sepertinya air bah belum
menunjukkan tanda-tanda akan surut. Karenanya, Nabi Nuh As beserta lainnya yang
ada dikapal mulai khawatir dan gelisah karena persediaan makanan mulai menipis.
Setiap orang yang berada di dalam bahtera pun semakin bertanya-tanya, apakah air
bah akan surut atau akan selamanya dunia tenggelam? Kepastian akan hal itu
rupanya yang hanya bisa menetramkan karisauan hati mereka. Dengan menngetahui

situasi dan kondisi yang sebenarnya, mereka mengharapkan dapat memeroleh
landasan berfikir untuk melakukan tindak lanjut dalam menghadapi kondisinya,
terutama dalam melakukan penghematan yang cermat.
Guna memenuhi keperluan dan keinginan para penumpang kapalnya itu, maka Nabi
Nuh As lantas mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk meneliti keadaan air
serta untuk mencari tahu kemungkinan adanya sumber makanan.
Setelah beberapa lama burung itu terbang mengamati keadaan air, dan kian kemari
mencari makanan, namun hasilnya sia-sia belaka. Burung dara itu hanya melihat
daun dan ranting pohon zaitun (olijf) yang tampak muncul ke permukaan air.
Karenanya, ranting itu pun di patuknya dan dibawanya pulang ke kapal.
Melihat kedatangan burung dara membawa ranting zaitun. Nabi Nuh As pun
mengambil kesimpulan bahwa air bah sudah mulai surut, namun seluruh permukaan
bumi masih tertutup air, sehingga burung dara itu tidak menemukan tempat untuk
istirahat. Demikianlah kabar dan berita itu disampaikan kepada seluruh penumpang
kapal.
Atas dasar fakta sejarah itulah maka para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh As
sebagai seorang pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) yang pertama kali di
dunia. Bahkan sejalan dengan teknik-teknik dan caranya mencari serta menyiarkan
kabar (warta berita di zaman sekarang dengan lembaga kantor beritannya) pada
tarikh Islam tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya kantor berita yang pertama
di dunia adalah bahtera Nabi Nuh As atau biasa dikenal dengan sebutan Noah Ark.
2. Fase Romawi Kuno (Julius Caesar)
Abad 60 SM atau masa kekaisaran Romawi kuno diyakini sebagai cikal bakal
kehadiran ilmu Jurnalistik. Bahkan sejarawan sepakat, hal tersebut sebagai sejarah
pers pertama di dunia.
Kala itu, Kaisar Julius Caesar mengembangkan kegiatan pelaporan sehari-hari yang
oleh pakar ilmu Jurnalistik disebut sebagai Acta Diurna, yakni catatan harian atau
pengumuman tertulis setiap hari pada papan pengumuman tentang kegiatan senat.
Kebijakan Julius Caesar ini merupakan tindak lanjut atau pengembangan dari apa
yang pernah dilakukan Imam Agung Romawi yang mencatat segala kejadian penting
yang diketahuinya pada Annals, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi
rumahnya. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap
orang yang lewat dan memerlukannya.
Awalnya, pengumuman tentang informasi senat atau berita-berita yang berkaitan
dengan kebijakan pemerintah kala itu hanya dikonsumsi secara terbatas, yakni
khusus untuk kalangan pejabat dan orang-orang kaya.
Namun, Kaisar Julius Caesar yang sangat memahami akan manfaat dan pentingnya
pemberitaan memerintahkan supaya isi keputusan senat yang bersifat resmi itu tidak
hanya dikuasai oleh para pejabat dan orang-orang kaya saja, tetapi juga perlu
diketahui oleh rakyat banyak.

Dengan demikian, Julius Caesar kala itu telah mendirikan pondasi awal The Right
Know (hak tahu) kepada rakyat, dimana rakyat sudah diberikan hak untuk
mengetahui tentang segala hal yang menyangkut dirinya atau menyangkut
perhatiannya.
Atas kebijakannnya tersebut, Julius Caesar memerintahkan setiap pengumumanpengumuman atau berita-berita dari dinas pemerintahan resmi ditempelkan pada
papan pengumuman. Papan pengumuman yang berwarna putih itu terpasang atau
terpampang di pusat kota (alun-alun) Roma yang kala itu lebih dikenal dengan
sebutan Forum Romanum atau Stadion Roma (Assegaf, 1983).
Pengumuman-pengumuman yang disiarkan pada Forum Romanum itu terdiri atas
dua jenis, 1) Acta Senatura, yakni pengumuman yang berisi laporan-laporan dan
keputusan-keputusan senat ; 2) Acta Diurna Populi Romawi, yakni pengumuman
yang berisi laporan-laporan tentang rapat-rapat dewan perwakilan rakyat dan beritaberita lainnya. (M.O. Palapah, 1976).
Setiap penduduk bebas membacanya bahkan juga boleh mengutipnya untuk
kemudian dikabarkan ke tempat lain. Selain itu, ada juga lapisan masyarakat yang
menerima isi laporan atau pengumuman tersebut tanpa harus datang ke alun-alun
untuk melihatnya. Mereka adalah golongan orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah
di Roma yang setiap hari mengirimkan budak-budaknya yang pandai menulis untuk
mencatat apapun yang tertulis dalam papan pengumuman tersebut.
Dengan demikian, majikan-majikan ini setiap harinya dapat mengetahui segala
sesuatu yang diputuskan oleh senat dan badan-bedan pemerintahan lainnya. Itulah
sebabnya dalam penyebarannya diserahkan kepada usaha swasta yang justru
merupakan ciri-ciri pertama dari kegiatan jurnalistik. Sementara budak-budak
suruhan majikannya tersebut itulah yang dinamakan Diurnarii atau masa sekarang
dikenal dengan istilah wartawan.
Perkembangan selanjutnya, Diurnarii tidak terbatas kepada para budak saja, tetapi
juga orang bebas yang ingin menjual catatan harian kepada siapa saja yang
memerlukannya. Beritanya pun berkembang, tidak sebatas pada informasi tentang
kegiatan senat, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan yang
menarik khalayak. Akibatnya, terjadi persaingan di antara para Diurnarii untuk
mencari dan menyiarkan berita dengan menelusuri Kota Roma, bahkan sampai
keluar kota itu.
Persaingan itu pun kemudian menimbulkan korban pertama dalam sejarah
Jurnalistik. Seorang Diurnarii bernama Julius Rusticus dihukum gantung atas
tuduhan menyiarkan berita yang belum boleh disiarkan (masih rahasia). Kasus
tersebut menunjukkan bahwa kegiatan jurnalistik di masa itu masih terbatas
mengelola hal-hal yang informatif saja.
Akan tetapi, kegiatan jurnalistik tidak mengalami perkembangan yang signifikan
Setelah jaman Romawi kuno tersebut. Pasalnya, sejak Romawi kuno runtuh,
kegiatan jurnalistik pun mengalami kevakuman, terutama ketika Eropa memasuki
masa kegelapan (dark ages). Pada waktu itu jurnalistik menghilang.
3. Fase Nabi Muhammad SAW
Para ahli di bidang ilmu sosial, khususnya ilmu komunikasi pada umumnya
sependapat bahwa sistem komunikasi yang ditemukan pada suatu bangsa biasanya
seirama dengan kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Cara suatu bangsa
berkomunikasi mencerminkan sistem budaya itu. Norma-norma budya itu biasanya
memengaruhi perilaku komunikasi warganya.
Dalam sistem komunikasi tradisional sifat-sifat komunikasi manusia belumlah
komplek. Proses komunikasi berlangsung secara antarpribadi atau tatap muka. Pada
umumnya komunikator berkenalan dengan penerima pesan atau pemerima
informasi (komunikan).
Karena itu, nilai-nilai budaya cenderung homogen, media masa yang digunakan juga
masih sederhana dan belum banyak digunakan lambang-lambang verbal. Orang
memakai bentuk tangan atau memanjat pohon untuk memanggil penduduk
sekampung.
Dalam konteks komunikasi massa, khususnya sistem komunikasi massa Islam, maka
ciri khas sistem komunikasi massa ini adalah menyelesaikan (menyampaikan)

informasi kepada pendengar, pemirsa atau pembaca tentang perintah dan larangan
Allah Swt (Al-quran dan Al-Hadist).
Pada dasarnya, agama sebagai kaidah dan sebagai perilaku merupakan sebuah pesan
(informasi) kepada warga masyarakat agar berprilaku sesuai dengan perintah dan
larangan Tuhan.
Berdasarkan teori-teori sistem komunikasi tersebut maka cikal-bakal (embrio) sistem
komunikasi massa ialah takkala Bilal bin Ribah mengumandangkan azan di zaman
permulaan kenabian Muhammad Saw. Azan pertama itulah merupakan awal
lahirnya sistem komunikasi massa Islam (Muis, dalam Hamka Rafiq, 1989)
Al-kitab (al-quran) yang diwahyukan kepada Muhammad Saw pada dasarnya
menyampaikan informasi tentang Allah, tentang alam dan makhluk–makhluk serta
tentang hari akhir (kiamat) dan akherat. Kumpulan tertulis dari semua surat/ayat
(bagian/sub bagian ) dari Al-Quran itu lazimnya disebut mushaf dan kumpulan
ajaran wahyu yang diturunkan disebut suhuf.
Mendengar kata mushaf, pasti sudah tidak asing lagi. Kata itu lazim dinisbatkan bagi
kitab secara fisik, bukan secara esensi, termasuk kitab suci. Sedangkan kata suhuf
lebih kepada konteks isinya. Dalam Al-qur’an Surah Al-‘Ala, pada dua ayat terakhir
tertulis, Inna hadzaa lafii shuhf al-ula, suhufi Ibrahima wa Musa. Dalam ayat ini
disebutkan dua kata suhuf, yakni suhuf Ibrahim dan Musa.
Berdasarkan konteks itulah diyakini bahwa dalam proses dakwah yang dilakukan
oleh para nabi, di dalamnya terdapat sebuah unsur yang sangat vital, yakni
jurnalisme. Ayat suhufi Ibrahima wa Musa juga bermakna bahwa Muhammad Saw
menggunakan hasil-hasil jurnalisme Ibrahim dan Musa sebagai bahan acuan
perjuangan.
Dengan demikian, wartawan atau jurnalis dalam bahasa Arab sering diistilahkan
dengan sebutan mushaf. Kata itu sangat korelatif dengan kata suhuf, kendati dalam
konteks yang berbeda, namun bermuara pada satu matra, yakni karya manuskrip.
Sementara orang yang menyusun karya tersebut disebut musahif.
Jika kini banyak wartawan yang mahir meliput suatu kejadian atau berita kemudian
mempublikasikannya melalui surat kabar dan majalah atau menyiarkannya lewat
radio atau televisi, maka di jaman Rasululllah Saw sesungguhnya para sahabat nabi
telah melaksanakan fungsi kewartawanan yang suci (Ya’kub, 1986). Para sahabat
nabi tersebut telah mensponsori kegiatan tugas-tugas jurnalistik dengan berbagai
pemberitaan mengenai diri pribadi Rasulullah Saw.
Karenanya, para sahabat-sahabat nabi adalah wartawan-wartawan otodidak yang
mahir mengcover berita-berita kejadian di jaman nabi terutama yang menyangkut
langsung kegiatan Rasulullah Saw, baik perbuatan-perbuatan maupun perkataanperkataannya (Hadist).
Para sahabat yang kerapkali mengikuti dan meliputi berita-berita ihwal nabi begitu
banyak jumlahnya. Siti Aisyah, Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Abu Hurairrah, Amar bin Ash dan Ibnu Umar hanyalah segelintir
nama di antara sejumlah sahabat nabi lainnya.
Sahabat-sahabat inilah yang memindahkan berita-berita kepada sahabat lainnya,
kemudian kepada para tabi’in. Lalu kepada tabi’it tabi’in. Ratusan ribu hadist yang
berhasil dicatat oleh ahli-ahli hadist adalah berkat jasa-jasa reportase mereka.
Dalam tarikh Islam disebutkan, sepeninggal sahabat-sahabat nabi yang mengcover
langsung berita-berita kejadian nabi tersebut. Sebagai orang pertama yang
menerima berita itu, maka pada masa tabi’in lahir pulalah perawi-perawi hadist yang
bekerja sebagai media yang memindahkan berita itu kepada perawi-perawi lainnya,
atau langsung diberitakan kepada umat sebagai landasan untuk beramal.
Perawi-perawi ini dalam ilmu hadist biasa disebut Sanad. Sebut saja Bukhori,
Muslim, Turmudzi, Abu Dawud, Ahmad, Imam Malik, dan masih banyak lagi. Selain
menerima berita (hadist) dari tangan pertama ke tangan kedua dan ketiga, mereka
menghafalkan berita itu menurut redaksi yang asli --tanpa mengurangi atau
menambah-- kemudian memindahkan kepada perawi lain dan akhirnya sampai
kepada abad-abad berikutnya dimana hadist-hadist dapat dihimpun dalam berbagai
kitab.
Perawi-perawi yang berkecimpung dalam pemberitaan nabi itu tidak sekedar
menghafalkan, menerima, dan memindahkannya secara teratur, tetapi juga

memegang teguh salah satu prinsip jurnalisme yang objektif, yakni melakukan cek
dan ricek atau dalam istilah Islamnya tabayyun.
Mereka menyeleksi hadist-hadist itu untuk memilih dan memilah mana hadist-hadist
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan mana hadis-hadis diragukan
kebenarannya. Setelah itu, maka lahirlah klasifikasi hadist berdasarkan validasi yang
sebenar-benarnya, seperti hadist shahih, hadist dhaif bahkan hadist palsu.
Hadis itu sendiri menurut arti bahasa adalah pekabaran, atau kejadian, yakni suatu
berita atau kejadian yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan
demikian, apa yang disebut ilmu hadist adalah ilmu yang mempelajari tentang beritaberita kejadian yang berhubungan dengan diri Nabi Muhammad Saw (Ya’qub, 1986).
Apabila melihat kembali ke awal-awal kelahiran serta kebagkitan Islam, maka akan
jelas terlihat bahwa sesunguhnya dakwah sebagai salah satu bentuk kegiatan
jurnalistik sudah dimulai dan dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw. Jurnalisme
dakwah yang dimulai Rasulullah Saw itu dilakukan dengan mengirimkan surta-surat
dakwah kepada para kaisar, raja dan kepada masyarakat luas.
Pada tahun ke-6 hijriyah misalnya, yakni masa perdamaian antara kaum muslimin
dengan orang-orang kafir Quraisy yang ditandai dengan perjanjian yang dikenal
dengan sebutan Shulhul Hudaibiyah. Setelah perdamaian itu terwujud, untuk lebih
menyebarluaskan syiar Islam, Rasulullah Saw kemudian menempuh langkah dakwah
yang baru, yakni melalui tulisan atau surat.
Ketika itu, Rasulullah Saw menyusun dan merancang isi dakwah melalui tulisan atau
surat, kemudian para sahabat bertugas menjadi penulisnya. Untuk meyakinkan
penerimanya bahwa surat itu berasal dari Rasulullah Saw, maka pada setiap surat
diberi stempel yang terbuat dari cincin perak yang berukiran tulisan
muhammadurasulullah.
Surat-surat dakwah Nabi Muhammad Saw yang berisi ajakan dan seruan untuk
meyakini kebenaran Islam sebagai pegangan hidup dunia dan akhirat tersebut
dikirimkan kepada sejumlah kaisar, raja dan penguasa negeri, antara lain Kaisar
Romawi timur, Hiraqlius (Hercules), Raja Persia, Kisra Abrawais, Raja Habsyi, An
Najasvi, Raja Bahrain, Al Mundzir bin Sawa, dan penguasa Yamamah, Hudzah bin
Ali serta sejumlah penguasa negeri lainnya kala itu (Ardhana, 1995).
Melalui contoh surat-surat (risalah) tersebut, maka Rasulullah Saw sebetulnya telah
merintis sistem jurnalistik di dalam melakukan komunikasi Islam sebagai salahsatu
metode dakwah. Ini berarti bahwa dakwah dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai media yang ada termasuk media tulisan yang pada era sekarang ini telah
jauh berkembang dalam berbagai macam bentuk.
Dengan demikian, maka kegiatan menyebarkan berita, yang mirip jurnalisme bukan
hal baru dalam tradisi Islam. Para nabi dikenal sebagai pembawa risalah suci dari
Tuhan. Beberapa nabi juga dikenal sebagai pemilik lembaran-lembaran (suhuf) suci
untuk diberitakan kepada masyarakat luas.
Islam sendiri, sebagai agama merupakan nilai dan tatanan yang diwahyukan Allah
Swt untuk kemanusiaan. Karenanya, Islam lebih merupakan jiwa bagi pers atau
jurnalisme namun bukan salah satu mazhab atau teori bagi jurnalisme.
Karenanya, tidak perlu ada istilah Jurnalisme Islam sebagai mazhab. Kalaupun ada,
mungkin lebih tepat diartikan sebagai Jurnalisme tentang Islam atau tentang orangorang Islam. Atau Jurnalisme Islam diartikan sebagai jurnalisme yang berintegrasi
dengan nilai-nilai keislaman, yaitu ketauhidan dan kemanusiaan. Ketauhidan yang
memuliakan kemanusiaan, dan kemanusiaan yang tetap mengagungkan ketuhanan.
Istilah jurnalisme Islam atau jurnalisme kemanusiaan Islam adalah istilah yang
menunjuk pada kerja-kerja peliputan, pencarian atau pengumpulan berita atau opini,
pengelolaannya, penulisannya dan penyebarannya kepada khalayak, yang berbasis
pada nilai-nilai luhur Islam.
* Sekilas Tentang Jurnalisme Islam
Pada hakekatnya jurnalisme “umum”maupun jurnalisme Islam bermakna sama,
yakni, sebagai suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai
informasi dan peristiwa secara aktual dan faktual.
Namun, yang membedakan di antara keduanya hanyalah pada karakteristik dan ciri
para pelakunya (jurnalis) serta substansi dari informasi yang disampaikan, dimana

dalam jurnalisme Islam mengandung muatan nilai-nilai Islam, serta berbagai
pandangan dengan perspektif ajaran Islam kepada khalayak.
Karenanya, jurnalisme menurut Zaim Uchrowi, wartawan senior Republika, dapat
dimaknai sebagai suatu proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal
yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai-nilai Islam dengan mengedepankan
dakwah Islamiyah.
Dengan demikian, pada prinsipnya jurnalistik Islam adalah suatu aktivitas yang
terdiri dari proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai informasi dan
peristiwa atau pendapat dengan muatan nilai-nilai keislaman (dakwah) yang
didasarkan pada (mematuhi) kaidah-kaidah jurnalistik serta norma-norma yang
bersumber dari Alquran dan Sunnah Rasulullah Saw.
Sementara berdasarkan riset yang pernah dilakukan R. Rudi Agung Prabowo
terhadap sejumlah wartawan Republika yang notabene sebagai para jurnalis Islam
menunjukkan bahwa pandangan jurnalis Republika mengenai konsepsi jurnalisme
Islam tersebut sedikitnya memiliki tiga (3) diferensiasi yang mencolok, yakni :
* Metode jurnalistik dan etika Islam ada kesesuaian, namun untuk saat ini jurnalisme
Islam belum ada.
* Jurnalisme Islam dengan jurnalisme lainnya sama. Jurnalisme yang baik adalah
berpihak pada yang ditindas, berpihak pada yang lemah, memegang prinsip-prinsip
kejujuran, keadilan, kebenaran, dan mengkritisi ketidakadilan. Jika ada jurnalisme
seperti itu, hal itu baik, dan itu adalah Islam.
* Jurnalisme adalah mengedepankan aspek-aspek universal dan tidak ada istilah
jurnalisme Islam, Kristen, dan sebagainya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jurnalisme Islam dalam pandangan para
jurnalis (Islam) Republika adalah, 1) Jurnalisme Islam itu belum lahir; 2)
Sesungguhnya tidak ada dikotomi dalam jurnalisme Islam; dan 3) Jurnalisme Islam
Populer.
Sejarah Jurnalistik di Indonesia
1. Zaman Pendudukan Belanda

Pers kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda pada masa
penjajahan Belanda. Pers ini berupa surat kabar, majalah, koran berbahasa Belanda
atau bahasa daerah Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis
Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan
kewartawanan sebagai alat perjuangan.
Pada tahun 1744 terbit tabloid Belanda pertama di Indonesia yaitu Batavis Novelis
atau dengan namapanjangnya Bataviasche Nouvelles en Politique
Raisonnementes. Sebenarnya pada tahun 1615 Gubernur Jenderal pertama VOC
Jan Piterszoon Coen telah memerintahkan menerbitkan Memorie der Nouvelles .
Surat kabar ini berupa tulisan tangan. Tanggal 5 Januari 1810 Gubernur Jenderal
Daendels menerbitkan sebuah surat kabar mingguan Bataviasche Koloniale
Courant yang memuat tentang peraturan-peraturan tentang penempatan jumlah
tenaga untuk tata buku, juru cetak, kepala pesuruh dan lain-lain. Setelah itu mulai
bermunculan surat kabar baru dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Seperti; Medan
Priyayi (1910), Bintang Barat, Bintang Timur, dan masih banyak lagi. Medan Priyayi
adalah surat kabar pertama yang dimiliki oleh masyarakat pribumi Indonesia, yang
didirikan oleh Raden Jokomono atau Tirto Hadi Soewirjo. Oleh sebab itu Raden
Jokomono atau Tirto Hadi Soewirjo disebut sebagai tokoh Pemrakarsa Pers Nasional,
karena dia adalah orang pertama dari Indonesia yang mampu memprakarsainya dan
dimodali oleh modal Nasional.
Pada tahun 1811 saat Hindia Belanda menjadi jajahan Inggris Bataviasche
Koloniale Courant tidak terbit lagi. Orang Inggris menerbitkan Java
Government Gazette. Surat kabar ini sudah memuat humor dan terbit antara 29
Februari 1812 sampai 13 Agustus 1814. Hal ini dikarenakan pulau Jawa dan Sumatera
harus dikembalikan kepada Belanda.
Belanda kemudian menerbitkan De Bataviasche Courant dan kemudian tahun
1828 diganti dengan Javasche Courant memuat berita-berita resmi , juga berita

pelelangan, kutipan dari surat kabar di Eropa. Tahun 1835 di Surabaya
terbitSoerabajaasch Advertentieblad. Kemudian di Semarang pada pertengahan
abad 19 terbit Semarangsche Advertentiebladdan De Semarangsche
Courant dan kemudian Het Semarangsche Niuews en
Advertentieblad. Surat kabar ini merupakan harian pertama yang mempunyai
lampiran bahasa lain seperti Jawa, Cina dan juga Arab. Tahun 1862 untuk pertama
kali dibuka jalan kereta api oleh Pemerintah Hindia Belanda maka untuk
menghormati hal tersebut Het Semarangsche Niuews en
Advertentieblad berganti nama menjadi de Locomotief.
Setelah itu mulai bermunculan surat kabar baru dari masyarakat Indonesia itu
sendiri. Seperti; Medan Priyayi (1910), Bintang Barat, Bintang Timur, dan masih
banyak lagi. Medan Priyayi adalah surat kabar pertama yang dimiliki oleh
masyarakat pribumi Indonesia, yang didirikan oleh Raden Jokomono atau Tirto Hadi
Soewirjo. Oleh sebab itu Raden Jokomono atau Tirto Hadi Soewirjo disebut sebagai
tokoh Pemrakarsa Pers Nasional, karena dia adalah orang pertama dari Indonesia
yang mampu memprakarsainya dan dimodali oleh modal Nasional.
2. Masa Pergerakan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada di bawah penjajahan
Belanda sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers nasional adalah
pers yang di usahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan
dan di peruntukan bagi orang Indonesia. Setelah munculnya pergerakan modern
Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, Surat kabar yang di keluarkan orang Indonesia
lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers menyuarakan kepedihan,
penderitaan,dan merupakan refleksi isi hati bangsa terjajah. Pers menjadi pendorong
bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.

·
·

3. Zaman Penjajahan Jepang
Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran dilarang. Akan tetapi pada akhirnya
ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar
Matahari, dan Suara Asia.
Beberapa keuntungan yang di dapat oleh para wartawan di Indonesia yang bekerja
pada penerbitan Jepang,antara lain sebagai berikut :
Pengalaman yang di peroleh para karyawan pers Indonesia bertambah.Fasilitas dan
alat-alat yang di gunakan jauh lebih banyak dari pada masa pers zaman Belanda.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin sering dan luas.
Pengajaran untuk rakyat agar berfikir kritis terhadap berita yang di sajikan oleh
sumber-sumber resmi Jepang.Selain itu,kekejaman dan penderitaan yang di alami
pada masa pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin bangsa memberikan
semangat untuk melawan penjajahan.
4. Orde lama
Pers pada masa Orde lama digunakan untuk mengkritisi pemimpin. Dewan Pers
pertama kali terbentuk pada tahun 1966 melalui Undang-undang No.11 Tahun 1966
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Fungsi dari Dewan Pers saat itu adalah
sebagai pendamping Pemerintah serta bersama-sama membina perkembangan juga
pertumbuhan pers di tingkat nasional. Saat itu, Menteri Penerangan secara exofficiomenjabat sebagai Ketua Dewan Pers.
5. Orde baru
Pada era orde baru, kedudukan dan fungsi Dewan Pers tidak berubah yaitu masih
menjadi penasihat pemerintah, terutama untuk Departemen Penerangan. Hal ini
didasari pada Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Tetapi
terjadi perubahan perihal keterwakilan dalam unsur keanggotaan Dewan Pers seperti
yang dinyatakan pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Pers Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 4
Tahun 1967 :

“Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan
wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang
lain.”
Pada masa ini, khususnya ketika Ali Murtopo menjadi Menteri Penerangan (19771982), Departemen Penerangan difungsikan sebagai sebuah "departemen politik"
bersama Departemen Dalam Negeri. Artinya, ia mempunyai fungsi pembinaan
politik. Departemen ini berada di garda terdepan dalam setiap kampanye pemilu.
Fungsi ini semakin kental terasa tatkala Harmoko menjadi Menteri Penerangan
(1982-1997), dan selama tiga periode berturut-turut Harmoko merangkap menjadi
Ketua Umum Golkar (1987-1998) dan Ketua Umum MPR (Maret 1998 -November
1998). Ini adalah jabatan dan kedudukan yang sangat strategis. Dalam struktur
kekuasaan seperti itu, Departemen Penerangan menjadi lembaga penjaga gerbang
informasi yang sangat efektif bagi kepentingan pemerintah. Departemen Penerangan
(melalui Direktorat Bina Wartawan Dirjen PPG) mempunyai kewenangan untuk
mencegah tangkal visa bagi wartawan maupun koresponden luar negeri serta mempunyai kewenangan untuk mencegah tangkal tayangan siaran langsung televisi dari
dan ke luar negeri. Karena itu, Departemen Penerangan juga mempunyai wewenang
dalam pengaturan agenda informasi dari dan ke luar negeri. (Hidayat, dkk,
2000:225).
6. Reformasi
Disahkannya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers membuat berubahnya
Dewan Pers menjadi Dewan Pers yang Independen, dapat dilihat dari Pasal 15 ayat
(1) UU Pers menyatakan :”Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”.
Fungsi Dewan Pers juga berubah, yang dahulu sebagai penasihat Pemerintah
sekarang telah menjadi pelindung kemerdekaan pers. Tidak ada lagi hubungan
secara struktural dengan Pemerintah.
Dihapuskannya Departemen Peneranganpada masa Presiden Abdurrahman
Wahid menjadi bukti. Dalam keanggotaan, tidak ada lagi wakil dari Pemerintah
dalam Dewan Pers. Tidak ada pula campur tangan Pemerintah dalam institusi dan
keanggotaan, meskipun harus keanggotaan harus ditetapkan melalui Keputusan
Presiden.
Untuk Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers, dipilih melalui mekanisme rapat pleno
(diputuskan oleh anggota) dan tidak dicantumkan dalam Keputusan Presiden.
Pemilihan anggota Dewan Pers independen awalnya diatur oleh Dewan Pers
lama. Atang Ruswita menjabat sebagai Ketua Badan Pekerja Dewan Pers pertama,
sebuah badan bentukan Dewan Pers sebelum dilakukannya pemilihan anggota.
Badan Pekerja Dewan Pers kemudian melakukan pertemuan dengan berbagai macam
organisasi pers juga perusahaan media. Pertemuan tersebut mencapai sebuah
kesepakatan bahwa setiap organisasi wartawan akan memilih dan juga mencalonkan
dua orang dari unsur wartawan serta dua dari masyarakat.
Setiap perusahaan media juga berhak untuk memilih serta mencalonkan dua orang
yang berasal dari unsur pimpinan perusahaan media juga dua dari unsur masyarakat.
Ketua Dewan Pers independen yang pertama kali adalah Atmakusumah
Astraatmadja.
Referensi:
1. Assegaff. 1982. Jurnalistik Masa Kini: Pengantar Ke Praktek Kewartawanan.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
2. Muis, A. 1999. Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Dharu
Annutama.
3. Romli, Asep Syamsul M. 2005. Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan
dan Kepenulisan. Bandung: Batic Press.
4. Santana K., Septiawan. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Obor.
5. Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk,
dan Kode Etik. Bandung: Penerbit Nuansa.

6. Sumadiria, AS Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature
Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.*