Hans Kelsen dan Tata Hukum Konstitusi Ki

Hans Kelsen dan Landasan Tata Hukum Konstitusi Kita
Oleh : Rian Adhivira Prabowo1
Hans Kelsen, tanpa perlu diragukan lagi adalah seorang salah satu sarjana hukum paling
berpengaruh, termasuk dalam studi ilmu hukum di Indonesia. Hampir tidak mungkin rasanya
membicarakan sistem hukum, beserta tarikan basis legitimasi sebagai dasar legalitasnya tanpa
mengutip hierarki norma dari Hans Kelsen yang tersohor tersebut. Namun apa yang luput dari
pembicaraan mengenai hierarki hukum tersebut adalah justru apa yang dikatakan oleh Hans
Kelsen itu sendiri mengenai apa yang ia sebut sebagai “teori hukum” itu. Menurutnya, tugas dari
teori hukum adalah terbatas untuk menggambarkan bagaimana hukum bekerja, dan bukan
bagaimana hukum seharusnya bekerja. Dalam awal bukunya Pure Theory of Law Kelsen
mengatakan:
As a theory, its exclusive purpose is to know and to describe its object. The theory
attempts to answer the question what and how the law is, not how it ought to be. It is a
science of law (jurisprudence), not legal politics.2
Jadi, apa yang hendak dilakukan Kelsen melalui teorisasi hukum murni-nya adaah untuk
menunjukkan bagaimana hukum berlaku sebagaimana adanya. Pertanyaanya kemudian, apakah
penggunaan teori tersebut menjadi sah adanya dalam hal studi hukum, terutama di Indonesia?
Penggunaanya secara deduktif, untuk “menilai” sistem hukum yang ada di ruang dan waktu yang
lain dengan demikian menjadi kurang tepat mengingat apa yang hendak dibidik oleh Kelsen
sendiri adalah bagaimana adanya dan bukan bagaimana seharusnya. Bahkan lebih lanjut lagi,
studi teori hukum yang berkutat mengenai “bagaimana seharusnya” adalah satu bentuk kesalahan

berpikir dimana memperlakukan hukum selayaknya ideologi.3
Maka untuk menghindari kesalah-pahaman Kelsenian tersebut, tulisan ini tidak hendak
memberikan justifikasi tentang bagaimana sistem hukum Indonesia menurut Hans Kelsen, atau
menilai satu sistem hukum dengan menggunakan teori lain, karena apabila konsekuen dengan
1 Mahasiswa Kelas Fast-Track Angkatan II Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Supervisi oleh
Dr. Retno Saraswati S.H., M.Hum.,. Saya banyak berhutang pada perdebatan AFHI 2012 di Unika Soegijapranata
Semarang antara B. Arif Sidharta dan Donny Danardono. Pendapat Danardono dalam perdebatan tersebut banyak
mempengaruhi saya dalam menyusun makalah ini.
2 Hans Kelsen. Pure Theory of Law. The Lawbook Exchange Ltd. New Jersey. 2005. Hlm 1. Untuk selanjutnya,
seluruh garis bawah kutipan-kutipan yang lain dalam tulisan ini adalah penekanan dari penulis.
3 Ibid hlm 101 dalam satu sub-bab khusus yaitu The Denial of the Ought; The Law as Ideology studi hukum
mengenai yang seharusnya menurut Kelsen justru terdapat dalam bidang kajian sosiologi hukum. Kelsen
menyatakan “the pure theory desires to present the law as it is, not as it ought to be; it seeks to know the real and
possible, not the ‘ideal’, the ‘right’ law. In this sense, the Pure Theory is a radical realistic theory of law, that is, a
theory of legal positivism. The Pure Theory refuses to evaluate the positive law. As a science, the pure theory
regards itslef as obigated to do no more than to grasp the essence of positive law and, by an analysis of its
structure, to understand it. Specifically, the pure theory refuses to serve any political interest by supplying then with
an ideology by which the existing social order is justified or disqualified” (hlm 106).

jalur berpikir Kelsenian, maka sistem norma tersebut seharusnya diabstrasikan dari sistem

hukum yang berlaku, bukan dari teori hukum. Meski demikian, bukan berarti teori hukum
tersebut sama sekali tidak berarti. Penggunaan logika berpikir dari teori tersebut tetap berarti,
tentu sebagai pembanding bagaimana sistem hukum di Indonesia.
Tulisan ini berfokus pada teori Kelsen mengenai sistem hukum beserta validitas normanya dan
bagaimana sistem hukum di Indonesia hari ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Indonesia. Meskipun Kelsen menolak apa yang disebutnya sebagai anasir non-hukum sebagai
bagian dari teori hukum, namun tulisan ini hendak menunjukkan bahwa pada praktiknya, anasir
non-hukum tersebut tetap bekerja dan masuk dalam praktik berhukum. 4 Apa yang hendak
dikatakan adalah bahwa terdapat hubungan antara norma hukum yang berlaku secara khusus
dengan situasi-situasi khusus5 yang terjadi dalam rangka menjalankan hukum tersebut, hal ini
juga diperlukan, sebagaimana diutarakan Kelsen didepan, untuk melihat bagaimana tata hukum
itu tadi. Selain tulisan ini sekaligus hendak menunjukkan bahwa teori Kelsen tersebut tidaklah
mencukupi dalam menjelaskan sistem tata hukum di Indonesia pertama dari tatanan yuridis
formil mengenai bagaimana pengakuan terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan yang kedua
secara materiil dari bagaimana Pancasila disadari atau dihayati. Untuk itu, tulisan ini berangkat
dari pertanyaan dasar: bagaimana Pancasila sebagai norma dasar diatur dan dibaca dalam
sistem hukum Indonesia ?
Sistem Hukum dan Validitasnya
Sistem Norma atau Sistem Hukum menurut Kelsen adalah sistem dari norma dinamis. Sistem
hukum tidak valid karena dirinya sendiri, melainkan karena ada penjamin dari norma dasar dan

sistem yang mengeluarkanya.6 Tanpa adanya tarikan dari norma dasar, maka norma aturan
tersebut tidaklah dapat disebut sebagai norma hukum. Ini pula sesunggunya yang membedakan
Kelsen dengan teori hukum alam. Menurut Kelsen, sementara hukum alam berangkat dari
pengandaian yang baik dan universal, maka pada hukum positif aturan tersebut valid karena
adanya aturan dasar yang merupakan acuan, atau semacam pengikat dari norma-norma yang
ada.7
4 Pandangan ini diutarakan terutama oleh para penganut sosiologi hukum seperti Carol Smart. Feminism and The
Power of Law. Routledge. New York & London. 1991 yang menyatakan bahwa pada kenyataanya, argumen hukum
beserta legitimitasnya ternyata turut dipengaruhi oleh anasir lain yang mana dalam konteksnya adalah studi
perempuan. Pendapat lain juga diutarakan oleh Werner Menski, Suteki, dsb.
5 Lihat misalnya dalam Paul Scholten. Struktur Ilmu Hukum. Tanpa Penerbit. Bandung. 2002 disini Scholten
menyatakan mengenai masalah justifikasi, yang menjadi ciri utama dalam hukum sekaligus membedakanya dari
ilmu lain. Masalah justifikasi ini kemudian menurut Scholten terdapat dalam putusan hakim yang tidak hanya
menjalankan peraturan, namun juga membuat peraturan, apa yang disebutnya sebagai sistem terbuka dalam
hukum.
6 Hans Kelsen. General Theory of Law and State. Harvard University Press. Cambridge & Massachusets. 1949. Hlm
113

Lalu apakah norma dasar itu? Norma dasar sebagaimana diutarakan sebelumnya adalah semacam
pengikat, atau meminjam istilah Benedict Anderson, batas-batas dari satu komunitas tertentu

yang terbentuk secara historis dimana merupakan rumusan definitif dari apa yang disebut
“bangsa”.8Norma dasar tersebut kemudian mendelegasikan kekuatanya kepada norma
dibawahnya, dalam satu tatanan norma hukum. 9 Norma dasar tadi adalah norma yang tercipta
dari momen pertama penciptaan hukum, bukan melalui firman tuhan seperti pada hukum alam,
melainkan pada legislator pertama.10 Norma dasar tidak tercipta dari prosedur legal (karena
barang tentu dia tidak atau belum ada), dan tidak seperti norma dibawahnya, norma dasar valid
karena dianggap demikian adanya, ia ada mendahului hukum yang lain dan valid pada dirinya. 11
Revolusi contohnya, merupakan momen penciptaan hukum dimana tatanan hukum yang lama
dirubah dengan tatanan hukum yang baru. Hukum yang dipergunakan bisa saja merupakan
warisan dari hukum yang lama, namun bagaimanapun revolusi berangkat dari tatanan hukum
yang baru sehingga memiliki pengandaian yang berbeda pula terhadap asumsi norma dasarnya.
Masalah tersbeut oleh Kelsen disebutnya sebagai masalah legitimasi.12
Satu norma hukum dinyatakan valid apabila ia berada dalam hirarki tatanan hukum yang sah.
Hierarki tersebut oleh Kelsen ia jabarkan bahwa selain norma dasar, pertama-tama adalah
konstitusi dalam artian yang material. Pada artian material ini konstitusi bukan hanya secarik
kertas yang dapat dirubah secara konstitusional, melainkan juga merupakan produk sejarah
meski berbeda dari norma dasar. Konstitusi tersebut mengatur kedudukan antar lembaga dan lain
sebagainya yang kemudian berdasarkan konstitusi pula lembaga legislasi membuat peraturan
yang lebih kongkrit dan begitu seterusnya. Berdasarkan hal ini pula maka sumber dari segala
sumber hukum dengan demikian adalah norma dasar, konstitusi dibuat berdasarkan norma dasar,

dan aturan dibawahnya bersumber dari konstitusi. Kelsen mengatakan:
[…] The basic norm is then the ‘source’ of law. But, in a wider sense, every legal norm is
a ‘source’ of that norm, the creation of which it regulates, in determining the procedure of
creation and the contents of the norm to be created. In this sense, any ‘superior’ legal
norm is the ‘source’ of the ‘inferior’ legal norm. Thus, the constitution is the ‘source’ of
statutes created on the basis of the constitution, a statute is the ‘source’ of the judicial

7 Ibid hlm 114
8 Benedict Anderson. Imagined Communities; Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. Verso. London &
New York. 2006
9 Op Cit. Hans Kelsen. General Theory of Law and State… hlm 116
10 Loc cit
11 Loc cit
12 Ibid hlm 117, 118

decision based thereof, the judicial decision is the ‘source’ of the duty it imposes upon the
party and so on.13
Maka aturan yang berada diatas, selain norma dasar tentunya, adalah terkandung didalamnya
pertama, organ dan prosedur mengenai bagaimana peraturan dibawahnya dan kedua isi dari
peraturan tersebut.14 Selanjutnya, bagaimana hukum berjalan adalah tugas dan wewenang dari

lembaga peradilan. Dengan demikian hal ini menjelaskan pula apa yang disebut sebagai norma
statis dan dinamis. Pengertian yang pertama adalah mengenai material, yaitu isi dari norma yang
kandunganya dapat dilacak hingga pada norma dasarnya. Sementara pengertian yang kedua
adalah norma yang semata-mata terbentuk secara formil dari norma yang lebih tinggi ke yang
lebih rendah.15 Norma hukum, apabila ditilik dari validitasnya, karena terikat dalam tatanan
secara formil, maka adalah norma yang dinamis.
Sebagai catatan, norma dasar yang menjadi semacam “jiwa” bagi aturan dibawahnya memiliki
posisi yang terpisah dari aturan yang lain, bahkan konstitusi sekalipun. Kelsen mengatakan
bahwa norma dasar berbeda dari konstitusi sekalipun, bahkan apabila tata hukum yang sah
tersebut ternyata merupakan tata hukum yang tidak adil. Fungsi dari norma dasar tersebut
menurut Kelsen adalah:
[…] is to found the objective validity of a positive legal order, that is, to interpret the
subjective meaning of the acts of human beings by which the norms of an effective
coercive order are created, as their objective meaning.16
Hal ini bagi Kelsen adalah sekaligus merupakan landasan epistemologi hukum sebagai sains,
teori hukum murni, sebagaimana yang ia katakan adalah:
The science of law does not prescribe that one ought to obey the commands of the creator
of the constitution. The science of law remains a merely cognitive discipline even in its
epistemological statement that the basic norm is the condition under which the subjective
meaning of the constitution-creating act, and the subjective meaning of the acts

performed in accordance with the constitution, are interpreted as their objective meaning,
as valid norms, even if the meaning of these acts is so interpreted by the legal science
itself.17
Dari skema teoritik Kelsen diatas dapat disingkat menjadi beberapa poin; pertama, bahwa
terdapat satu sumber hukum dari semua sumber hukum, yang merupakan satu norma yang
disepakati secara umum dan luas sehingga mengandaikan kebenaran pada dirinya sendiri.
13 Ibid hlm 131
14 Ibid hlm 132
15 Op Cit Hans Kelsen. Pure Theory of Law… hlm 196
16 Ibid hlm 202
17 Ibid hlm 204

Kedua, sumber hukum tersebut telah benar pada dirinya dan menjadi semacam “ruh” bagi aturan
dibawahnya dan ketiga, satu-satunya momen ketika landasan hukum tersebut goyah adalah pada
saat revolusi dimana pada momen ini, asumsi basis dari kehidupan yang baru adalah berbeda
sama sekali dengan yang lama.
Berangkat dari logika Kelsen tersebut, apa yang menjadi masalah disini; apabila satu norma
dasar adalah semacam jiwa dari aturan hukum yang lain, lalu apakah ada semacam landasan
hukum dari keberlakuan norma dasar tersebut? Apabila ada semacam jaminan dari landasan
hukum tersebut dan apabila tidak ada bagaimana dapat norma-norma tersebut patut diketahui

berasal dari sana, dan apabila tidak ada pula, layak-kah kemudian norma dasar tersebut menjadi
bahan pertimbangan hukum? Permasalahan tersebut akan dibahas dalam sistem tata hukum di
Indonesia. Apakah ada sumber dari segala sumber hukum dalam sistem hukum di Indonesia, dan
bagaimana ia, meminjam istilah Scholten, “disadari” pada tiap-tiap masa.
Untuk menjelaskan sumber dari segala sumber hukum tersebut, tak pelak lagi harus keluar dari
kerangka berpikir “murni” dari Kelsen, karena sebagaimana diutarakan oleh Kelsen sendiri,
bahwa momen penciptaan hukum adalah legal sekaligus tidak legal karena tercipta bukan
melalui prosedur melainkan membenarkan dirinya sendiri melalui konteks kebersejarahan
tertentu. Tata hukum di Indonesia sendiri mencantumkan secara eksplisit maupun implisit
mengenai sumber dari segala sumber hukum tersebut. Namun sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, pencantuman pengaturan sumber dari segala sumber hukum tersebut juga bisa
menjadi masalah, bagaimana kemurnian tersebut diartikan dalam sistem hukum beserta
kebijakanya di Indonesia.
Sebagaimana dikatakan Kelsen, tulisan ini tidak akan menjawab mengenai bagaimana hukum
seharusnya, melainkan menggambarkan bagaimana hukum disadari. Pada sisi yang lain, untuk
menjawab permasalahan diatas tentu tidak mencukupi dengan pendekatan “normatif”
sebagaimana dikatakan oleh Kelsen sehingga menilik studi-studi sejarah dan sosiologi hukum
karena bagaimanapun, bagaimana norma dapat dipahami apabila bukan melalui pendekatan yang
menurut Kelsen diluar dari hukum tersebut?
Dasar Validitas Sistem Hukum Indonesia

Sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, secara umum adalah Pancasila. 18 Namun apa
yang disebut sebagai sumber dari segala hukum juga roh yang menjiwai tata hukum Indonesia
tersebut tidak hanya ada pada anggapan umum, namun juga diatur dalam beberapa peraturan.
Dalam Pasal 2 UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan:
18 Misalkan lihat saja dalam Bernard L. Tanya. Pancasila Bingkai Hukum indonesia. Genta. Yogyakarta. 2014 lihat
juga Kaelan. Pendidikan Pancasila. Paradigma. Yogyakarta. 2008 Pada intinya para penulis yang disebutkan dalam
kriteria ini adalah mereka yang melakukan pembacaan Pancasila yang tidak jauh dari Tap MPR No II/MPR/1978
dengan bahasan bahwa Pancasila itu bulat dan utuh demi dan untuk rakyat Indonesia. Cara baca seperti ini tidak
memberikan sumbangsih yang berarti.

Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.
Hal tersebut ditegaskan dalam bagian penjelasan umum paragraf 2 yang menyatakan:
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan didasarkan pada
pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala
aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk
pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.
Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua
elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi
dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.
Dan Penjelasan Pasal 2 UU a quo yang menyatakan:
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai
dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf e menyatakan :
Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penjelasan Pasal 17 menyatakan:
Yang dimaksud dengan “sistem hukum nasional” adalah suatu sistem hukum yang
berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang
lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Sementara, yang menjadi “inti” dari Undang-undang a quo sesungguhnya adalah hierarki
perundangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2), yang menyatakan :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c.

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d.

Peraturan Pemerintah;

e.

Peraturan Presiden;

f.

Peraturan Daerah Provinsi; dan

g.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Selain UU 12/2011, Posisi Pancasila sebagai sumber hukum tersebut meski tidak disebutkan
secara jelas namun sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 2 UU 12/2011, termuat dalam
bagian Pembukaan UUD 1945 pada Paragraf keempat yang menyatakan:
[…] yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipumpun oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedudukan dari Undang-Undang ini penting karena tata hukum yang berlaku beserta
pembuatanya di Indonesia mengacu sebagaimana yang diatur dalam UU 12/2011. Apa yang
menjadi masalah disini adalah bahwa Undang-Undang ini memiliki semacam “kekuatan” untuk
mengatur dirinya sendiri, yaitu posisinya dan juga posisi peraturan yang lain dalam tata aturan
hukum Indonesia. Sebagaimana tertera dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) tadi, juga Pasal 2 UndangUndang a quo, maka posisi Pancasila itu sendiri berdiri terpisah dan semata menjadi ruh dari
Konstitusi maupun Undang-Undang yang lain. Bahkan meskipun dalam bagian mengingatnya
UU 12/2012 merujuk pada UUD 1945 dalam Pasal 20, 21, dan 22A, namun perujukan tersebut
pada akhirnya hanya melegalkan dirinya sebagaimana kemudian diatur dalam Pasal 7. UndangUndang inilah sesungguhnya, bersama dengan Pancasila dan UUD 1945, merupakan sumber
validitas dari tata nilai hukum Indonesia.
Dua poin yang hendak diutarakan dari pemaparan diatas adalah : (1) Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum, dan (2) Pencantuman hierarki peraturan yang bersifat tautologis
karena mengatur peraturan dan bahkan cita hukum yang lebih tinggi yaitu Konstitusi dan
Pancasila. Keduanya merujuk pada satu pertanyaan lain, bila demikian maka apakah dasar
validitas dari sistem hukum di Indonesia?
Tepat disinilah masalahnya, sebagaimana diutarakan oleh Kelsen, apa yang disebut sebagai
norma dasar adalah apa yang menjadi “keberlakuan bersama”, yang sahih dan dianggap benar
pada dirinya. Norma ini hanya bisa hilang apabila dirinya tidak lagi diakui karena ada satu

tatanan norma pengikat baru yang berarti adalah revolusi, dimana peraturan yang lama boleh
berlaku namun tidak dengan norma dasar yang menjadi pengikatnya. Argumen Kelsen tersebut
tidak dapat berlaku di Indonesia karena pada kenyataanya, perubahan terhadap norma dasar
maupun bagian material dari konstitusi, yaitu Pembukaan dapat dirubah tanpa adanya revolusi
yang bahkan dalam praktiknya perubahan terhadap norma dasar tersebut secara sosiologis sudah
terjadi meski tidak disertai dengan perubahan secara gamblang. Kedua poin tersebut akan
dijelaskan dibawah.
Norma Dasar dan bagian “Historis” UUD 1945 Hari Ini
Argumen dari bagian ini bertumpu pada Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
sebagai berikut:
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang

Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari
jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan

ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasanya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Pemusyawaratan

Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya
Permusyawaratan Rakyat.

2/3

dari

jumlah

anggota

Majelis

(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan

persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan

perubahan.
Berdasarkan dari ketentuan Pasal 37 tersebut tampak bahwa apa yang bisa dirubah semata-mata
adalah Pasal-Pasal dalam UUD 1945, sehingga tersirat bahwa bagian historisnya, yaitu
Pembukaan yang mana didalamnya mengatur pula Pancasila sebagai cita hukum dalam paragraf
keempatnya adalah tidak dapat dirubah. Namun benarkah ketentuan ini tidak dapat dirubah?
Atau dalam pertanyaan Kelsenian, perlukan Revolusi dalam merubah bagian yang merupakan
sisi yuridis keberlakuan Pancasila sebagai cita hukum? Jawabanya tentu adalah bisa, yaitu
pertama-tama dengan melakukan perubahan terhadap Pasal 37 itu sendiri, sebagaimana diatur
oleh Pasal tersebut.
Apabila Pasal 37 tersebut diamandemen oleh MPR dan sebagaimana diatur dalam UUD 1945,
maka perubahan terhadap Pembukaan yang merupakan sisi historis dari UUD itu sendiri menjadi
mungkin adanya. Lebih jauh lagi, kedudukan antara UUD 1945 dan UU 12/2011 itu sendiri
problematis karena keduanya saling mengandaikan satu sama lain. UUD 1945 memberikan

wewenang kepada legislatif untuk membuat UU dan tata hukum, termasuk kedudukan UUD
1945 beserta Pancasila itu sendiri juga diatur dalam UU 12/2011 itu sendiri. Metode Kelsen,
dengan menarik norma hingga ke sumber dasarnya melalui apa yang disebutnya sebagai norma
dasar tersebut dalam sistem hukum Indonesia tidaklah vertikal lurus keatas, melainkan saling
mengandaikan satu sama lain.

Kedua ragaan tersebut menunjukkan cara baca Kelsen pada kotak sebelah kiri yang
menggambarkan penarikan validitas hukum, yaitu satu norma hukum dinyatakan valid apabila
secara formil terletak dalam tata hukum yang muatan normanya dapat ditelusuri hingga norma
dasar. Sementara pada kotak sebelah kanan menunjukkan bahwa pengaturan perihal norma dasar,
yaitu Pancasila itu sendiri, yang diatur melalui peraturan yang berada dibawahnya yaitu tersirat
dalam bagian Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 2 UU 12/2011 dimana ketentuan UUD 1945 itu
sendiri juga diatur dalam peraturan yang lebih rendah yaitu Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU 12/2011
yang pada sisi yang lain dalam pembentukanya juga bersumber dari UUD 1945 yaitu Pasal 20,
21 dan 22A.
Kembali pada pertanyaan dapatkah posisi Konstitusi dan Pancasila dirubah kedudukanya?
Apabila mengacu pada Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusanya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
Kemudian diatur dalam Undang-Undang 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pada Pasal 10
ayat (1) huruf a menyatakan:
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Berdasarkan ketentuan tersebut maka Pasal 2 dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 tadi
bisa saja diajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang untuk
menghapus ketentuan yang terdapat dalam muatan ayat, pasal dan atau bagian dari undang-

undang yang diajukan maupun apabila Mahkamah menilai pembentukan undang-undang tersebut
tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) dan
ayat (2) UU 24/2003.
Pemaparan tersebut menunjukkan kesalingterkaitan antara norma dasar, konstitusi dan UU
12/2011, dimana yang hendak diutarakan disini adalah bahwa ketiganya sesungguhnya
merupakan sumber dari validitas tata hukum di Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara diatur
secara tersirat dan tersurat dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 2 UU 12/2011, sementara
posisi dari UUD 1945 itu sendiri diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 dan keberadaan dari
UU 12/2011 merupakan turunan terutama dari pasal 20, 21, dan 22 A UUD 1945. Perubahan
pada bagian Pembukaan tersebut dapat dilakukan melalui Amandemen UUD sebagaimana diatur
dalam Pasal 37 UUD 1945 untuk merubah ketentuan dari pasal 37 itu sendiri. Pada kesempatan
lain, perubahan terhadap posisi Pancasila dapat dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap
Pasal 2 UU 12/2011, dan perubahan dari posisi UUD 1945 itu sendiri dimungkinkan melalui
pengujian Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yang apabila dilakukan maka UUD 1945 akan diuji
berdasarkan UUD 1945. Inilah masalah dari pengaturan aturan yang lebih tinggi melalui
peraturan yang lebih rendah sebagaimana terjadi dalam Pancasila, UUD 1945 dan UU 12/2011.
Dengan demikian maka apa yang disebutkan oleh Kelsen, bahwa validitas norma dasar yang
membenarkan dirinya sendiri dan hanya dapat hilang melalui revolusi tidaklah tepat dalam tata
negara Indonesia dimana sumber dari segala sumber tersebut justru diatur oleh peraturan yang
lebih rendah yang memiliki kesempatan untuk dilakukan pengujian terhadap dirinya sendiri
dengan mengacu pada dirinya sendiri pula. Posisi ini membuat tarikan validitas dari norma dasar
tadi tidaklah vertikal melainkan saling mengandaikan antara tiga aturan lain yang memiliki
jenjang yang berbeda, yaitu Pancasila, UUD 1945, dan UU 12/2011.
Pembacaan semacam ini dimungkinkan, perubahan cita hukum yang sekaligus merupakan norma
dasar tersebut, yang berarti merupakan pergantian kedaulatan dalam praktiknya memang
mungkin dapat dilakukan secara legal dan legitim. Untuk itu diperlukan ulasan yang berbeda dari
sudut pandang Kelsen.
Adalah Carl Schmitt, juris dari Jerman pada masa pemerintahan Nazi. Menurut Schmitt, apa
yang membedakan pemerintahan diktator dengan demokratis adalah persoalan prosedur, yang
tentu mencakup legalitas dan legitimasi. Schmitt, yang menolak formalitas birokrasi politik
parlemen Republik Weimar pada masa itu mengajukan satu model lain, yaitu pembuatan
peraturan berdasarkan keputusan yang berarti memberi kewenangan yang lebih pada eksekutif. 19
Meskipun demikian, menurut Schmitt perlu adanya jalan konstitusional untuk melakukan bypass
dalam sistem parlemen yang tidak disukainya itu, dan itulah yang dilakukan oleh Nazi, yaitu
dengan melakukan aktivasi keadaan bahaya negara sebagaimana diatur dalam Konstitusi

19 Carl Schmitt. Legality and Legitimacy. Duke University Press. Durham & London. 2004. Hlm 27-28

Weimar, terutama berdasarkan ketentuan Pasal 48 dan Pasal 76 Konstitusi Weimar. 20 Secara garis
besar, Schmitt menunjukkan bagaimana perubahan ketatanegaraan menuju presentasi langsung
dapat diberlakukan secara konstitusional dan pemaparan Schmitt tersebut, yaitu melalui aktivasi
situasi keadaan khusus.
Perubahan Cara Baca Pancasila ?
Schmitt menunjukkan bahwa perubahan terhadap konstitusi yang berangkat dari konstitusi itu
sendiri adalah memungkinkan. Maka dari argumen tersebut terlihat bahwa norma dasar dalam
praktiknya bukanlah semacam nilai abstrak pengikat satu kedaulatan, melainkan terletak dalam
keputusan yang bersifat kongkrit dari individu yang mengatasnamakan kedaulatan pada dirinya,
inilah titik tembak Schmitt terhadap Kelsen:
The hierarchical order that is legally valid in the state rests on the premise that
authorizations and competences emanate from the uniform central point to the lowest
point. The highest competence cannot be traceable to a person or to a sociopsychological
power complex but only to the sovereign order in the unity of the system of norms.21
Patut dicatat disini bahwa tentu, secara ideal, apa yang dikatakan oleh Schmitt dengan pemberian
wewenang yang besar pada eksekutif tersebut adalah sesuatu yang tidak sehat. Namun Schmitt –
sebagaimana Machiavelli- rupanya memang tidak hendak memberikan gambaran ideal,
melainkan memberikan analisa politik-riil dimana menurutnya birokrasi telah membelenggu
otensitas tindakan. Pembubaran Parleman Weimar bagi Schmitt justru membuka presentasi
langsung dari bawah. Argumen itu tidak sepenuhnya salah karena bagi rakyat Jerman yang kala
itu tengah mengalami kekalahan pada perang dunia pertama dan kesulitan ekonomi, apa yang
ditawarkan oleh optimisme Nazi adalah terlalu menggiurkan untuk ditolak. Hitler bagi Schmitt,
adalah dia yang berhasil meneguhkan kedaulatan.22
Dalam sistem tata hukum di Indonesia, “perubahan” norma dasar secara konstitusional tersebut
juga terjadi layaknya Jerman sebagaimana dicatat oleh Schmitt. “Perubahan” yang dimaksudkan
disini bukanlah perubahan dalam artian yang terang seperti menggantikan Pancasila, melainkan
perubahan “cara baca” Pancasila yang berlangsung dari masa transisi kekuasaan Pada masa
Soekarno kepada Soeharto dan 32 tahun Orde Baru, atau meminjam istilah Benedict Anderson
secara sinis menyebutnya sebagai “Orde Keropos”.23 Tentu, perbedaan cara baca tersebut tidak
disebutkan secara terang, karena bagaimanapun apa yang disebut sebagai “Pancasila” itu sendiri

20 Ibid hlm 66
21 Carl Schmitt. Political Theology, Four Chaters on The Concept of Sovereignty. University of Chicago Press. Chicago
& London. 2005. Hlm 19
22 Ibid hlm 1
23 Benedict Anderson. Indonesia Statistik: Surat Buat Para Pembaca dalam Tempo edisi April 2000

secara politis masih diperlukan sebagai alat legitimasi, meski cara baca beserta implementasinya
bisa sangat berbeda.
Sesungguhnya, terdapat banyak perubahan yang terjadi pada masa transisi kekuasaan Soekarno
kepada Soeharto; Kesenian,24 Reforma Agraria dan industrialisasi,25 HAM dan Kebebasan
Berpendapat,26 Intervensi Pengadilan27 dan lain sebagainya. Perubahan secara garis besar juga
dapat ditemukan dalam karya Mahfud MD yang menjadi rujukan utama penstudi Politik Hukum
di Indonesia yang membagi tipologi hukum berdasarkan beberapa parameter seperti Peraturan
Pers, Pemilu, dan Agraria.28 Tulisan ini akan membidik secara lebih umum, yaitu pembacaan
mengenai hilangnya elemen “kiri” dalam artikulasi Pancasila beserta pengejawantahanya.
Masalah hilangnya perbincangan soal “kiri” ini penting karena hampir seluruh perubahan yang
dijelaskan diawal paragraf ini bersumber daripadanya, setelah peristiwa 1965.29
Pancasila, untuk pertamakali muncul pada rapat sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 melalui
pidato Soekarno. Soekarno, yang mendapatkan tugas dari Radjiman Wedyodiningrat untuk
mencari yang disebut sebagai “Philosofische Grondlag” untuk Indonesia yang hendak
dimerdekakan pada masa itu. Dalam pidato 1 Juni tersebut, tampak apa yang diupayakan oleh
Soekarno adalah unsur “persatuan”, terutama ketika kelima sila yang dia hantarkan tersebut
apabila hendak diperas menjadi satu sila, yaitu ekasila dengan asas Gotong-Royong. Sebenarnya,
gagasan tersebut bukanlah gagasan yang baru dari Soekarno. Pada tahun 1926 Soekarno menulis
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme dan mempertemukan pertautan atara ketiganya. 30
Mengenai rasa persatuan ini kembali diutarakan pada sidang 1 Juni 1945 dimana Soekarno
menekankan lagi pentingnya rasa “satu” sebagai batas-batas kedaulatan Indonesia yang hendak
dimerdekakan. Dalam rapat itu, pidato 1 juni yang diucapkanya menghendaki adanya satu
nationalestaat, negara kebangsaan yang “berbeda” dari negara barat meskipun banyak
24 Lihat dalam Wijaya Herlambang. Kekerasan Budaya Pasca 1965; Bagaimana Orde Baru Melegitimasi AntiKomunisme Melalui Sastra dan Film. Marjin Kiri. Yogyakarta. 2013
25 Lihat Yusriadi. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas Tanah. Genta. Yogyakarta.
26Lihat Samuel Gutom. Mengadili Korban Praktek Pembenaran Terhadap kekerasan Negara. Elsam. Jakarta. 2003
lihat juga Binsar Gultom. Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia, Mengapa Pengadilan
HAM Ad Hoc Kurang Efektif?. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2009 lihat juga Robertus Robet. Politik Hak Asasi
Manusia dan Transisi di Indonesia, Sebuah Tinjauan Kritis. Elsam. 2008
27 Lihat Sebastian Pompe. Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Leip. Jakarta. 2012
28 Lihat Mohammad Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Rajawali Press. Jakarta. 2012
29 Douglas Kammen & Katherine McGregor. Introduction: The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68
dalam Douglas Kammen & Katherine McGregor (ed). The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. Asian
Studies Association of Australia & University of Hawaii Press. Honolulu. 2012. Hlm 11, 15 lihat juga John Roosa. The
September 30th Movement: The Aporias of the Official Narratives dalam Ibid hlm 48-49
30 Soekarno. Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme dalam Iwan Siswo (Peny). Panca Azimat Revolusi; Tulisan,
Risalah, Pembelaan & Pidato Sukarno 1926-1966. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. 2014. Hlm 7

menggunakan ide-ide barat. Pada akhirnya, penggalian Soekarno sampai pada perumusan lima
sila yang dikenal sebagai Pancasila, namun kelima sila tersebut, kata Soekarno, dapat
dipersingkat menjadi tiga, atau Trisila yang dari ketiganya dapat diperas lagi menjadi satu sila
saja, Ekasila, dengan prinsip Gotong Royong. Asas gotong royong ini, yang berarti juga adalah
merupakan intisari dari sila-sila yang lain, adalah sekaligus perekat yang menunjukkan nilai
fundamental Soekarno:
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua
harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam
buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia,
bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia!- semua buat
semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka
dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’.
Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!
Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!
Gotong Royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan, saudarasaudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong royong adalah satu
usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo:
satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini,
bersama-sama! Gotong Royong adalah pembanting tulang bersama pemerasan keringat
bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua,
keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!
Itulah Gotong Royong!31
Tidak berhenti sampai disitu, Soekarno juga kembali menerapkan persatuan dan
mempertahankan keseimbangan politik diantaranya melalui jargon Nasakom; Nasionalisme,
Agamis dan Komunisme yang berdiri berdampingan dengan kekuatan militer yang juga
terfragmentasi. Pada intinya, apa yang Soekarno lakukan dengan menjaga keseimbangan
kekuatan antar golongan, terutama muslim, komunis, maupun militer pada saat itu adalah juga
dalam rangka mempertahankan “gotong-royong” sebagaimana yang diucapkanya pada tahun
1945. Soekarno menyadari betul kondisi perlunya merangkul masyarakat Indonesia yang
memliki kecenderungan pada arah sosialis, dan pada sisi yang lain agamis. Karena itu pulalah
dapat dipahami mengapa Soekarno memberikan fragmentasi antara mana “Islam” yang benar,
dan mana “Komunis” yang benar, dimana keduanya, bagi Soekarno dan kepentingan persatuanya
pada kala itu, adalah mereka yang setia pada persatuan dan “Revolusioner”. Dapat dipahami pula
mengapa Soekarno mengatakan bahwa Masyumi, PSI, Murba maupun PKI 1948 adalah
golongan keblinger; baik Islam Keblinger maupun Marxist Keblinger. Dengan jargon Politik
Sebagai Panglima, Inilah Komunitas Politik Orde Lama.
31 Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, Nannie Hudawati. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22
Agustus 1945. Sekertaris Negara Republik Indonesia. Jakarta. 1995. Hlm 78

Kemudian, kemanakah Indonesia ini hendak diarahkan? Mengacu pada Soekarno beserta
kebijakan dan sikap politiknya, maka dapat dikatakan bahwa yang hendak dicapai, yang menjadi
cita-cita bersama saat itu adalah Sosialisme Indonesia, karena konstelasi politik pada saat itu
jelas terlihat bagaimana sikap Soekarno terhadap Imperialisme, Kolonialisme, Kapitalisme, dan
lain sebagainya. Arah Soekarno mengenai sikapnya kearah kiri tersebut semakin terlihat terutama
dalam berbagai kebijakanya.
Akan tetapi 1965 adalah senjakala dari Soekarno. Melalui peristiwa 1 Oktober yang disusul
pembersihan besar-besaran seluruh elemen kiri dari kota hingga desa-desa, Soekarno praktis
kehilangan kekuatan politiknya. Melemahnya kekuatan politik Soekarno menemukan puncaknya
pada saat ditolaknya pidato pertanggungjawaban Presiden dihadapan MPRS. Upaya Soekarno
untuk menegaskan bahwa supersemar adalah semata surat perintah pun menemui jalan buntu,
karena surat tersebut pada akhirnya dilegitimasi oleh TAP MPR No.IX/MPRS/1966 dan TAP
MPRS No. XV/MPRS/1966 sebelum pada akhirnya pada tahun 1967 Soekarno dicopot dari
Presiden dan Soeharto menjalankan pemerintahan sementara.
Selama masa pemerintahan Soeharto, terutama setelah Pemilihan umum tahun 1971 inilah,
Pancasila dibaca dengan cara yang berbeda. Terutama melalui pembersihan seluruh elemen
negara dari elemen kiri atau yang dianggap kiri, berdasarkan TAP MPRS No, XXV/1966.
Apabila diperbandingkan, arah haluan politik yang berarti Gotong Royong tersebut,
pembangunan yang berdiri diatas kaki sendiri, mengalami perbedaan pesat yaitu melalui
masuknya modal-modal asing. Undang-Undang pertama yang diundangkan adalah UU No
1/1968 tentang Penanaman Modal Asing dimana Freeport menjadi perusahaan pertama yang
meneken kontrak kerjasama. Puncaknya adalah demonstrasi Malari tahun 1974 yang menentang
masuknya modal Jepang.32 Melalui masuknya modal-modal raksasa, segera, Sosialisme
Indonesia menjadi gagasan yang usang.
Tidak hanya itu, Pancasila yang tadinya merupakan semacam “senjata” Soekarno dalam
memberikan batas-batas komunitas politiknya yaitu Nekolim, berubah menjadi alat legitimasi
penanaman modal. Hasil penelitian Yusriadi misalnya, menunjukkan bagaimana Pasal 6 UU
5/1960 yang mengatur perihal Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dibaca dengan cara yang
samasekali lain. Pada masa Soekarno, UU 5/1960 adalah perangkat peraturan yang
menitikberatkan pada Petani. Kondisi berubah ketika dibawah kepemimpinan Soeharto, Fungsi
Sosial Hak Milik Atas Tanah menjadi dasar legitimasi penggusuran lahan oleh negara yang
bahkan dalam perangkat peraturan lain diatur pula ketentuan Pidananya. 33 Untuk mengesahkan
cara baca yang berbeda tersebut, tentu diperlukan semacam musuh bersama, dan jelas, yang
menjadi musuh bersama adalah segenap golongan kiri yang dibantai dan dibuang tanpa
32 Peristiwa Malari ini dapat dilihat dalam Widiarsi Agustina et al. Massa Misterius Malari, Rusuh Politik Pertama
dalam Sejarah Orde Baru. Tempo Publishing. 2014
33 Op Cit Yusriadi. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas Tanah….

pengadilan.34 Tapi tidak hanya kaum kiri, batasan komunitas politk mencakup pula kaum Islam.
Contoh kasus yang cukup mencolok yang menunjukkan adanya pergeseran cita hukum dari
Komunitas Politik ala Orde Lama dengan Komunitas Politik ala Orde Baru adalah kasus
sengketa Waduk Kedung Ombo dan kasus Tanjung Priok 1984.
Peristiwa Tanjung Priok 1984 diawali dari penahanan empat orang pengurus masjid di daerah
Tanjung Priok, karena diduga dalam ceramah yang mereka lakukan menyinggung atau
bertentangan dengan asas tunggal. Dari penangkapan tersebut warga merespon dengan
melakukan pengepungan, menuntut agar kawan mereka dibebaskan. Sebagai jawaban, warga
justru balik dikepung dengan senjata berat dan penembakan yang membabi buta menewaskan
antara 28-700 orang dan puluhan orang lainya luka-luka.35
Sengketa Wadung Kedung Ombo bermula dari rencana pembangunan waduk. Pada umumnya
pembangunan tersebu disetujui warga, namun tidak dengan ganti rugi yang dibayarkan yang
dinilai terlalu kecil dan ditetapkan secara sepihak. Meski sempat dimenangkan pada tingkat
Kasasi Mahkamah Agung yang diketuai oleh Asikin Kusuma Atmaja, namun upaya pengajuan
ganti rugi tersebut dibatalkan pada tingkat PK. Diluar upaya hukum, warga yang mengajukan
protes mendapatkan tekanan terutama dari pihak tentara. Soeharto, bahkan menyatakan bahwa
para petani yang melakukan protes adalah mantan anggota PKI.36
Kedua kasus tersebut menawarkan cara baca Pancasila yang lain. Apabila pada masa orde lama
golongan Islam dan golongan Kiri yang masuk dalam komunitas politik adalah golongan yang
revolusioner, maka pada masa Orde Baru Islam yang betul adalah Islam yang sejalan dengan
pembangunan, sementara golongan kiri dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Komunitas Politk
Orde Baru dengan Pembangunan Sebagai Panglima dimana tafsir politik menjadi tafsir tunggal.
Pada masa ini pula, mengambil dari Sebastian Pompe, dapat dikatakan bahwa kekuasaan
eksekutif memiliki kekuatan paling besar meski secara de jure MPR adalah lembaga tertinggi.
Hal ini sekali lagi adalah karena kekuatan politik Golkar dan Soeharto yang secara de facto
memiliki kekuasaan melebihi legislatif maupun yudikatif. 37 Bentuk penegasan lain dari cara baca
tunggal ini berlaku secara efektif atas nama ketertiban sosial yang dilakukan mulai dari
pembungkaman lawan politik; kematian perdata penanda tangan Petisi-50 misalnya, juga

34 Op Cit Robertus Robet. Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia, Sebuah Tinjauan Kritis… hlm 40
35 Wahyu Wagiman. Final Progress Report Pengadilan HAM Tanjung Priok: Gagal Melakukan Penuntutan yang
Efektif. Elsam. Jakarta. Hlm 3
36 Op Cit Sebastian Pompe. Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung… hlm 217-222
37 Soekarno pada masa Orde Lama sesungguhnya juga merupakan kekuasaan eksekutif yang dominan yang
ditandai dengan intervensi eksekutif pada yudikatif dan legislatif. Namun masalah tersebut dapat dipahami sebagai
bagian dari kondisi darurat negara terutama pasca agresi militer pertama dan kedua Belanda. Apa yang dilakukan
pada masa Orde Baru adalah ketika kondisi negara relatif stabil.

pembunuhan dari unit kemasyarakatan terkecil; melalui aksi penembakan misterius atau Petrus.
Dengan slogan Pembangunan Sebagai Panglima, inilah Komunitas Politik Orde Baru.
Lantas Apa Dasar Konstitusi Kita ?
Dari pembacaan tersebut, apa yang hendak ditembak dalam tulisan ini adalah mengenai
bagaimana Pancasila sebagai dasar negara dicurigai. Menurut Kelsen, norma dasar adalah norma
yang betul pada dirinya dan merupakan sumber dari validasi norma. Kelsen juga menyatakan
bahwa melalui revolusi, norma dasar yang merupakan modus hidup bermasyarakat ini
berhadapan dengan cara hidup baru yang berarti norma baru. Analisa deskriptif mengenai
bagaimana susunan konstitusi Indonesia hari ini maupun kondisi riil secara historis-sosiologis
sebagaimana pemaparan diatas menunjukkan, bahwa argumen Kelsen tersebut tidaklah
mencukupi setidaknya dengan dua alasan.
Alasan pertama adalah tarikan validasi norma dalam tata hukum di Indonesia secara formil justru
diatur dalam aturan yang lebih rendah dan dengan demikian saling mengandaikan relasi antar
satu sama lain. Alasan kedua di Indonesia, revolusi sosial yang terjadi pada tahun 1965 yang
ditandai dengan pemenjaraan 1,7 juta orang dan pembunuhan 3 juta golongan kiri tidak secara
gamblang merubah norma dasar negara. Sebaliknya, norma dasar yang tadinya menjadi pijakan
berdiri termasuk golongan kiri, islam, nasionalis, dan lain sebagainya berbalik menjadi legitimasi
dalam menyingkirkan mereka tersebut untuk diringkas dalam “Taman Mini Indonesia Indah”,
dalam tafsir tunggal Orde Baru. Semuanya dilakukan tidak dengan merubah norma dasar atau
Pancasila itu tadi, melainkan dengan mengganti cara baca.
Konsekuensinya, maka Pancasila itu tadi pada kenyataanya bukanlah sesuatu barang jadi yang
bersifat Illahiah macam kekal dan abadi, melainkan terikat pada -meminjam istilah Danardonokisah. Pancasila dan bagaimana dirinya diterapkan semata-mata adalah produk sejarah, yang
dapat berubah baik secara formil maupun muatan materiilnya. Tulisan ini menunjukkan bahwa
landasan keduanya sesungguhnya tidaklah kokoh, atau setidaknya, tidaklah sekuat sebagaimana
yang digambarkan oleh penstudi Hukum dan Pancasila pada umumnya. 38 Terutama dari
penjelasan kedua mengencai cara baca, tulisan ini juga menunjukkan bahwa titik bidik dari studi
atas nilai-nilai dalam Pancasila sesungguhnya bukan mengenai nilai-nilai yang ada pada dirinya
tersebut, melainkan bagaimana nilai terseut mewujud, muncul, dan berlaku sebagai roh yang
terdapat dalam peraturan maupun kebijakan yang lain. Dengan kata lain, Pancasila haruslah
dibaca sebagai suatu kisah, yaitu kisah mengenai bagaimana dan dalam situasi apa batas-batas
komunitas diberlakukan alih-alih sebagai semacam sesuatu yang telah benar pada dirinya sendiri.
Apabila norma dasar tersebut dapat dirubah secara konstitusional baik materiil maupun
formilnya, lantas, apakah masih ada dan relevankah kiranya semacam “norma dasar” bagi
landasan konstitusi kita?

38 Lihat catatan kaki nomor 18

*Sebagai Catatan, makalah ini hanya memberikan gambaran secara garis besar mengenai tata hukum dan
konstitusi Indonesia hari ini secara formil, maupun mengenai apa yang disebut sebagai Pancasila itu sendiri
secara materiil dengan menunjukkan adanya pergeseran cara baca tanpa merubah ketentuanya. Penelitian secara
lebih rinci mengenai detil formil maupun historis lain sebagai satu bentuk penelitian yang utuh tentu sangat
diperlukan.