Malpraktik Tenaga Kesehatan dan Etika Pr

TUGAS PAPER ETIKA PROFESI

ANALISIS MALPRAKTIK TENAGA KESEHATAN
TERHADAP ETIKA PROFESI

DOSEN PENGAMPU: Dra. Hj. INDRIHADI ISNAENI, M.Sc.

NAMA : DEDI IRAWAN
NIRM : 1333.001.197

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
JAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Akhir-akhir ini sering kita menemukan dalam pemberitaan media massa
adanya peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di
Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter

yang berdampak buruk terhadap pasiennya.
Media massa kemudian sering memberitahukan tentang kasus gugatan
tuntutan hukum (perdata dan/atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga
medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat
konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik
(malpractice) atau kelalaian medis tersebut.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasuskasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human
error) dari sang dokter. Perlu diketahui dengan sangat, sejauh ini di negara
kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan atau
tenaga kesehatan yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Melihat fenomena di atas, maka makalah ini akan membahas tentang salah
satu kasus malpraktik di Indonesia.

BAB II
ISI
Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga
malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.

Meskipun arti harfahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut
dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka
pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difnisi malpraktek profesi kesehatan
adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan
tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan
membuat pertanyaan apakah dengan adanya kesalahan tersebut tenaga
kesehatan otomatis akan melanggar kode etik profesi mereka. Di dalam
setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan
praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua
norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical
malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Jenis-Jenis Malpraktek
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori
sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil
malpractice dan Administrative malpractice.

1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice
manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela.

b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan,
kecerobohan.
 Criminal malpractice yang bersifat sengaja misalnya melakukan
euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal
332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP),
melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
 Criminal malpractice yang bersifat ceroboh misalnya melakukan
tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
 Criminal malpractice yang bersifat lalai misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.
Pertanggung jawaban di depan hukum pada criminal malpractice adalah
bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada
orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila

tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya
sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau
korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of
vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan
dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya
(tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Tenaga kesehatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice
manakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu


diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai
kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya
tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat
Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
kesehatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

Kajian Kasus Malpraktek
Klinik MH Takut-takuti Pasien dengan Diagnosis Palsu
JAKARTA, KOMPAS.com — Klinik MH diketahui memberikan diagnosis
palsu untuk menakut-nakuti pasien, lalu meminta sejumlah uang perawatan
agar dapat segera ditindak. Hal tersebut disampaikan oleh beberapa orang
yang mengaku pernah menjadi pasien di sana.
NZ (23) salah satunya. Perempuan ini awalnya tertarik dengan perawatan
yang ditawarkan di klinik MH saat berkonsultasi melalui chat di situs
web milik klinik MH. Kemudian, NZ pun datang langsung ke sana untuk
berobat dengan diimingi diskon 50 persen untuk biaya pemeriksaan dan tes
USG.
Saat di sana, NZ dipatok harga Rp 345.000 untuk pemeriksaan awal dan tes

USG. Setelahnya, NZ diinformasikan oleh dokter yang hanya bisa berbahasa
Mandarin untuk melakukan pemeriksaan lanjutan disertai dengan terapi
selama 10 hari. Biaya terapi per harinya dipatok Rp 700.000. Namun, NZ
yang merasa ragu berusaha menolak, tetapi malah mendapat ancaman dari
dokter dan perawat di sana.
"Kalau dibiarkan terus bisa mandul saat punya suami. Mbak enggak mau kan
kalau lagi berhubungan intim tiba-tiba enggak nyaman dan suami enggak
puas," kata NZ menirukan ancaman yang dituturkan oleh perawat kepada
Kompas.com, Rabu (17/9/2014).
NZ tetap mengatakan menolak dan tidak ingin menjalankan terapi karena
tidak ada uang. Sampai-sampai, seorang perawat memaksa NZ memeriksa
saldo di tabungannya untuk mengetahui masih ada uang atau memang
benar sudah tidak ada uang.

Isu tentang kejanggalan di tempat yang dulunya Hotel Metropole ini menjadi
pembicaraan hangat di media sosial, salah satunya Kaskus. Dalam thread
milik Singlebreath yang berjudul "sharing pengalaman malpraktek:
METROPOLE
HOSPITAL/KLINIK
JAKARTA"

hampir
semua
komentar
menunjukkan modus yang digunakan klinik MH untuk menipu pasiennya.
Seperti komentar dari Wandakwee, dia mengatakan bahwa setiap pasien
baru yang datang ke sana akan menjalani tes seperti tes USG dan
kolposkopi. Kemudian setelah hasil dari tes keluar, dokter di sana akan
memberikan hasil tes yang menunjukkan bahwa pasien itu mengalami sakit
yang parah dan harus segera diperiksa lebih lanjut.
"Katanya ada benih kista, ada radang di vagina, trus banyak pektay serta
byk bakteri/jamur didalam atau dimulut rahim githu bilangnya (lupa" inget)
pokoqnya kurang lebih kaya githu. ane disuruh lah perawatan 10hari, tp ane
ama suami blg bs ga alternatif lain, trus nego" gt ama suster nya, dokternya
bilang 7 hari dulu ajah, jadi ya udah ane buka resep dhe buat pengobatan 7
hari," tutur Wandakwee.
Pasien yang belum tahu akan modus itu secara otomatis akan mengikuti
arahan dari dokter tersebut untuk terapi ataupun operasi. Biaya yang
dipatok pun beragam, mulai dari Rp 5 juta sampai puluhan juta rupiah. Klinik
ini melayani pemeriksaan dan pengobatan khusus untuk perempuan,
dengan berbagai jenis pemeriksaan, seperti pemeriksaan kandungan dan

alat reproduksi.
Izin Praktik Klinik Metropole Sudah Dicabut Dinas Kesehatan DKI
JAKARTA, KOMPAS.com — Klinik Metropole yang saat ini ramai
diperbincangkan masyarakat di media sosial Facebook ternyata tidak
berizin. Izin usahanya telah dicabut Dinas Kesehatan DKI Jakarta pada akhir
Agustus 2014.
"Pada akhir Agustus, izinnya dicabut. Izin dicabut dan pemiliknya diberikan
surat pencabutan," kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emmawati
kepada Kompas.com, Rabu (17/9/2014).
Dien menjelaskan, ada dua penyalahgunaan izin yang dilakukan pengelola
klinik yang terletak di Pinangsia, Tamansari, Jakarta Barat, itu. Pada sekitar
Juni 2014, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat memberikan izin untuk Klinik

Metropole untuk kategori izin praktik pratama. Yang diperbolehkan praktik
hanya dokter umum dan dokter gigi umum saja.
Namun, dalam perkembangannya, kata Dien, pengelola Klinik Metropole
membuka rawat inap yang sebetulnya tidak boleh dilakukan oleh klinik yang
masuk kategori klinik pratama. "Kalau mau buka rawat inap, izinnya bukan
klinik pratama, tapi klinik utama," ujar Dien.
Pelanggaran selanjutnya yang dilakukan oleh pengelola Klinik Metropole,

lanjut Dien, adalah melakukan kegiatan operasi dan mempekerjakan tenaga
asing tanpa izin. Atas dasar itulah, pada Agustus 2014, pihak pengelola
Klinik Metropole mendapat teguran dari Kepala Suku Dinas Jakarta Barat.
Namun, menurut Dien, teguran tersebut tidak membuat pengelola kapok.
Dien mengatakan, saat ini, Klinik Metropole sudah tak lagi mengantongi izin.
Ia pun mengajak masyarakat untuk ikut mengawasi klinik tersebut.
"Jadi, sekarang, mereka sudah tidak punya izin. Kalau mereka masih tetap
melakukan praktik, itu urusannya sudah pada ranah pihak kepolisian,"
ujarnya.
Klinik Metropole kini sedang ramai menjadi pembicaraan di media sosial
Facebook. Salah satu akun Kaskus bernama Singlebreath mengaku sebagai
pasien yang merasa telah ditipu oleh klinik MH. Dia mengatakan, saat awal
melakukan konsultasi secara online di chat situs web klinik MH, jawabannya
terasa memuaskan dan situs web yang ditampilkan terkesan meyakinkan
sehingga memutuskan untuk langsung datang ke sana. Namun, ketika
berobat, pemilik akun Singlebreath ini dipaksa untuk operasi hari itu juga
dengan ancaman Singlebreath memiliki potensi kanker.
Dua situs web Klinik MH, yaitu www.metropolehospital.com
www.klinikmetropole.com, kini tidak bisa diakses.


dan

Melihat kasus di atas, maka patut dipertanyakan bagaimanakah tenaga
kesehatan semisal dokter yang bekerja di sana. Apakah mereka melanggar
etika profesi mereka atau hanya menjalankan tugas dari klinik tempat
mereka bekerja.
Sebagai catatan, profesi dokter, diikat oleh sebuah etika profesi dalam
sebuah payung Majelis Kode Etik Kedokteran atau MKEK. Seorang dokter

dapat dikatakan melakukan pelanggaran saat praktek, jika sudah dibuktikan
dalam suatu sidang majelis kode etik.
Hukuman yang dijatuhkan majelis kode etik biasanya berkisar pada skorsing
praktek, disuruh kembali sekolah untuk memperdalam ilmunya hingga
dicabut ijin praktek kedokterannya.
Kasus dugaan malpraktek memang tak sedikit jumlahnya. Beberapa kasus
yang sempat terangkat ke masyarakat umumnya terjadi setelah pasca
imunisasi, operasi bahkan tak jarang setelah si pasien berobat ke ahli
kesehatan karena sebelumnya diindikasikan menderita suatu penyakit.
Ironisnya perdebatan sengit menyoal kasus dugaan malpraktik di pengadilan
hampir dipastikan berakhir dengan bertambahnya sakit hati bagi sang

korban. Sakit hati karena kasusnya tak bisa diteruskan, atau bahkan ditolak
majelis hakim karena kurang lengkapnya data pendukung.
LBH Kesehatan, sebagai wadah bantuan hukum bagi mereka yang merasa
abaikan haknya oleh oknum aparat kesehatan memiliki data yang tidak
sedikit. Saat ini saja LBH Kesehatan membantu menangani lebih dari 100
kasus dugaam mal praktik di sejumlah wilayah Indonesia. Namun ironisnya,
hanya sedikit kasus dugaan mal praktek yang maju ke meja hijau yang
menang dalam persidangan.
Upaya hukum untuk mencari keadilan bagi korban dugan mal praktik kerap
berlangsung di sejumlah ruang pengadilan. Dari upaya hukum pidana,
perdata bahkan hingga tun atau tata usaha negara. Dari catatan LBH
Kesehatan, dari beberapa bentuk tata peradilan tersebut, bisa dibilang
peradilan perdatalah yang paling memungkinkan seorang korban dugaan
mal praktik memperoleh haknya. Sementara tata peradilan lainnya
umumnya jauh panggang dari api.
Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidanakan seseorang disamping orang tersebut melakukan
perbuatan yang dilarang dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada
pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis
tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal
48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan
perbuatan pidana karena adanya daya paksa.

Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat
diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah
memenuhi 3 unsur, sebagai berikut:
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya
keadaan jiwa petindak harus normal.
2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang
dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau pemaaf.
Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan
tersebut. Dalam Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu
melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja
menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang
ahli dokter kandungan yang melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk
menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan
tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan
penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.
Di dalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut,
dokter operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada
pasien yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat luka”
dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam
setiap pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang
diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari.
Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi akibat dilakukannya
pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini terjadi
dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan,
akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam
kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan
tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak.
Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan
keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.

Kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan
menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian
pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan
keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada
hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.
Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum
substantif, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum
administrasi tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum
yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya
dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter,
merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini
belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata
yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak
seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran.
Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan
Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah
Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula digunakan sebagai terjemahan dari
Health Law yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian
Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah
hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum
kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari
medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan
berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana
hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum
Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan
dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical
Law masih belum muncul dalam bentuk modifkasi tersendiri. Setiap ada
persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu
kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23
Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Jika ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu
yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan
dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam
pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna
memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek
medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni
sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya
bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture)
yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan
malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi
(peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau
kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya
banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau
kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau
kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota
masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut
ketentuan yang berlaku bagi profesi.
Oleh karena menyangkut dua disiplin ilmu yang berbeda maka metode
pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini
adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum.
Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia
(SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter
atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui
jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam
struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan
menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah
pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang
kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
(pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden
(pasal 54 ayat 3).

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No.
56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas
menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam
menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom,
mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana
Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan,
Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi.
Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat
diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para
dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk
bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi.
Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi
kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
Upaya Pencegahan Dalam Menghadapi Tuntutan Malpraktek
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan
karena adanya malpraktek diharapkan para bidan dalam menjalankan
tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan
upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya bukan perjanjian
akan berhasil.
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed
consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau
dokter
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan
segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari data kajian yang telah kita peroleh dapat disimpulkan bahwa seorang
tenaga kesehatan harus berhati-hati dalam memberikan pelayanan pada
pasiennya. Sehingga pelayanan atau tindakah yang kita berikan tidak
merugikan pasien dan berdampak pada kesehatan pasien.
Oleh karena itu bidan harus selalu memperhatikan apa yang dibutuhkan
pasien sehingga kita mampu memberikan pelayanan yang komprehensif dan
berkualitas, tenaga kesehatan harus mempunyai pengetahuan dan
pemahaman yang cukup mendalam agar setiap tindakannya sesuai dengan
standar profesi dan kewenangannya.
Saran
Pasien harus dipandang sebagai subjek yang memiliki pengaruh besar atas
hasil akhir layanan bukan sekadar objek. Hak-hak pasien harus dipenuhi
mengingat kepuasan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan.
Waspadai pula akan ketidakpuasan pasien karena dapat menjadi pangkal
tuntutan hukum.