Hukum Menikahi Wanita Dibawah Umur Menur
BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Pengertian Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis atau melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh. (Dep Dikbud, 1994:456). Sedangkan, dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:398), “kawin” diartikan dengan (1)
menikah; (2) bersetubuh; (3) berkelamin (untuk hewan). Sedangkan “perkawinan”
adalah pernikahan; hal (urusan dan sebagainya) kawin.
1. Pengertian Perkawinan Menurut Fiqih Islam
Dalam Al-Quran dan As-Sunnah, perkawinan disebut dengan annikh
() yang berasal dari bahasa arab - - - dan az-ziwaj/azzawj atau az-zijah ( - - ). (Ahmad Warson
Munawwir, 1984:1671-1672). Sedangkan menurut Al-Syarif Ali bin Muhammad
Al-Jurjaniy (1988:246), perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata
() yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan
digunakan untuk arti bersetubuh.
Menurut sebagian ulama Hanafiyah, nikah adalah akad yang memberikan
kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria
dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis.
Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan bagi
suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan seksual
semata. Oleh mazhab Syafi’iyah, nikah dirumuskan dengan akad yang menjamin
kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan lafal inkah. Sedangkan
9
10
ulama Hanabilah mendefinisikan nikah dengan akad yang dilakukan dengan
menggunakan kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan. (Al-Juzairi,
1984:2-3)
2. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Positif
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan
adalah : “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah sebagai
berikut :
1. Ikatan lahir bathin.
2. Antara seorang pria dengan seorang wanita.
3. Sebagai suami isteri.
4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 merumuskan bahwa
ikatan suami istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan
perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut
suami isteri. (http://repository.usu.ac.id)
Definisi tersebut tampak jauh lebih representatif dan lebih jelas serta
tegas dibandingkan dengan definisi perkawinan dalam Komplikasi Hukum Islam
(KHI) yang merumuskannya sebagai berikut: “Perkawinan menurut hukum Islam
11
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” (KHI:pasal2)
B. Tujuan Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, tujuan
perkawinan adalah “Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Membentuk keluarga artinya
membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami, isteri dan anakanak. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan
yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak
dan kewajiban kedua orang tua.
Bahagia adanya kerukunan dalam hubungan antara suami isteri dan anakanak dalam rumah tangga. Kebahagiaan yang dicapai bukanlah yang sifatnya
sementara, tetapi kebahagiaan yang kekal karenanya perkawinan yang diharapkan
adalah perkawinan yang kekal, yang dapat berakhir dengan kematian salah satu
pasangan dan tidak boleh diputuskan atau dibubarkan menurut kehendak pihakpihak.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijelaskan bahwa
sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat
dengan agama/kepercayaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani tetapi unsur bathin rohani yang mempunyai peranan yang penting.
Suami isteri perlu saling bantu membantu dan saling melengkapi dalam
membentuk keluarga. Pembentukan keluarga atau rumah tangga bahagia dan
12
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa selain
dari perkawinannya harus dilangsungkan menurut ajaran agama masing-masing
sebagai pengejewantahan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Abd Rahman Ghazaly (2006:24-30), tujuan perkawinan antara
lain :
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. Hal ini terlihat dari isyarat QS.
An-Nisa [4] : 1 yang berbunyi:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
Mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa [4] : 1)
2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung
jawab.
3. Memelihara diri dari kerusakan. Orang yang tidak melakukan penyalurannya
dengan perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan
kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan
masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong
untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik.
4. Menimbulkan kesungguhan bertanggung jawab dan mencari harta yang halal.
13
5. Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat sejahtera
berdasarkan cinta dan kasih sayang. Hal ini diungkapkan dalam QS.Ar-Rum
[30] : 21 yang berbunyi :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”. (QS.Ar-Rum [30] : 21)
Menurut Amir Syarifuddin (2007:41-42), sifat perkawinan sebagai sunnah
Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat sebagai berikut :
1. Allah
menciptakan
makhluk
ini
dalam
bentuk
berpasang-pasangan
sebagaimana dalam QS. Adz-Dzariyat [51] : 49yang berbunyi:
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah”. (QS. Adz-Dzariyat [51] : 49)
2. Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perempuan dalam QS. AnNajm [53] : 45 yang berbunyi :
“Dan bahwasanya dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria
dan wanita”. (QS. An-Najm [53] : 45)
3. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi
dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini terdapat dalam
QS. An-Nisa [4] : 1 yang berbunyi :
14
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
Mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa [4] : 1)
4. Perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat atau tanda-tanda dari
kebesaran Allah. Hal ini diungkapkan dalam QS.Ar-Rum [30] : 21 yang
berbunyi :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”. (QS.Ar-Rum [30] : 21)
Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya
selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat
dalam hadits yang berasal dari Anas bin Malik, sabda Nabi yang bunyinya :
“Tetapi aku sendiri melakukan shalat, tidur, aku berpuasa dan juga aku
berbuka, aku mengawini perempuan. Siapa yang tidak senang dengan sunnahku,
maka ia bukanlah dari kelompokku”
Oleh sebab itu, perkawinan sangatlah urgen dalam kehidupan umat
manusia. (http://elmawardie.blogspot.com)
C. Rukun, Syarat Sah dan Batalnya Perkawinan
“Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu.” (Abdul Hamid Hakim, 1976:9).
15
a. Rukun Perkawinan Menurut Fiqih Islam
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas : (Slamet
Abidin dan H. Aminuddin, 1999:64-68)
1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
3. Adanya dua orang saksi
4. Sighat akad nikah
b. Rukun Perkawinan Menurut Hukum Positif
UU Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. UU
Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syaratsyarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun
perkawinan. HKI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti madzhab
fiqh Syafi’iy dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun. (Amir Syarifuddin,
2007:61)
“Syarat yaitu sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum
syar’i, dan dia berada di luar hukum itu sendiri.” (Ensiklopedi Hukum Islam,
1997:1691)
c. Syarat Sah Perkawinan Menurut Fiqih Islam
Menurut Fiqih dalam Islam, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
perkawinan dinyatakan sah adalah :
1. Syarat Umum
16
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam
Al-Qur’an, yaitu :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS. AlBaqarah [2] :221)
Ayat ini menjelaskan tentang larangan perkawinan karena perbedaan
agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an, yaitu :
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
(QS. Al-Maidah [5] :5)
Pengecualiannya
yaitu
khusus
laki-laki
Islam
boleh
mengawini
perempuan-perempuan. Dan dalam QS. An-Nisa [4] : 22-24 menjelaskan tentang
larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.
17
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu .
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa [4] :
22-24) (Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, Farida Prihatini:60)
2. Syarat Khusus
Menurut Abd Rahman Ghazaly (2006:49) garis besarnya syarat-syarat
sahnya perkawinan itu ada dua :
18
1). Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin
menjadikannya istri. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan
perempuan yang akan kawin adalah sebagai berikut : (Amir Syarifuddin,
2007:64-66)
a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya,
baik yang menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal-hal lain
yang berkenaan dengan dirinya.
b. Keduannya sama-sama beragama Islam (tentang kawin lain agama
dijelaskan tersendiri).
c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin atau setuju pula dengan pihak
yang akan mengawininya.
e. Keduannya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan
perkawinan.
f. Tidak sedang mempunyai istri empat (bagi laki-laki), tidak dalam ikatan
perkawinan dan tidak masih dalam masa ‘iddah (bagi manita), serta tidak
ada paksaan dan tidak dalam keadaan haji atau umrah. (Abd Rahman
Ghazaly, 2006:50-55)
2). Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi. Hal tersebut mencangkup :
a. Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. (Amir Syarifuddin,
2007:61). Ijab yaitu pernyataan yang keluar dari pihak wali perempuan atau orang
19
lain sebagai wali. Sedangkan Qabul yaitu pernyataan yang keluar dari pihak
suami. (M. Amin Suma, 2004:97)
Ijab dan qabul mempunyai syarat-syarat menurut Drs. H. Baharuddin
Ahmad, MHI (2008:56), yaitu :
a). Adanya pernyataan mengawinkan dari wali..
b). Adanya pernyataan penerimaan dari calon pengantin laki-laki.
c). Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata
tersebut.
d). Antara Ijab dan qabul bersambungan.
e). Antara Ijab dan qabul jelas maksudnya.
f). Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji
atau umroh.
g) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu
calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua
orang saksi.
b. Wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau
wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda: yang artinya “Tidak ada nikah kecuali dengan
wali” (Abd Rahman Ghazaly, 2006:59). Syarat-syarat wali adalah :
a). Islam.
b). Akil baliqh.
c). Berakal.
20
d). Laki-laki.
e). Adil.
f). Tidak sedang ihram atau umrah. (http://repository.usu.ac.id)
c. Saksi
Syarat-syarat kedua orang saksi tersebut adalah :
a). Berakal
b). Baligh
c). Merdeka
d). Islam
e). Kedua saksi itu mendengar. (Slamet Abidin dan H. Aminuddin,
1999:64)
d. Mahar
Mahar adalah pemberian khusus laki-laki kepada perempuan yang
melangsungkan pernikahan pada waktu akad nikah dan hukumnya wajib
berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa [4] : 4)
d. Syarat Sah Perkawinan Menurut Hukum Positif
Menurut Asmin, SH. (1986:22) , syarat-syarat perkawinan itu dibagi dua,
yakni : syarat materil dan syarat formil. Syarat –syarat materil yaitu syarat-syarat
yang mengenai diri pribadi calon mempelai. Sedangkan syarat formil menyangkut
formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat
dilangsungkannya perkawinan.
21
1. Syarat-syarat Materil, yaitu mencangkup :
1). Beragama Islam
Syarat tersebut diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974, yang
berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu”. (Baharuddin Ahmad, 2008:57)
2). Persetujuan Calon Mempelai
Syarat tersebut diatur dalam pasal 6 ayat (1) UU No.1/1974, yang
berbunyi : “Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.
(Baharuddin Ahmad, 2008:65)
3).Izin dari Orang Tua/Wali bagi Calon Mempelai yang belum berumur 21 Tahun
Syarat perkawinan ini diatur dalam pasal 6 ayat (2) sampai dengan ayat (6)
UU No.1/1974.
Izin diberikan oleh orang tua. Kalau orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali. Dalam hal tidak ada orang tua atau wali atau ada perbedaan di antara
mereka, maka pengadilan dapat memberikan izin setelah mendengar orang-orang
tersebut. (Baharuddin Ahmad, 2008:68)
4). Umur Calon Mempelai
Baik UU No.1/1974 maupun KHI telah menetapkan batas minimal untuk
melangsungkan perkawinan, yakni calon mempelai pria/laki-laki berumur 19
tahun dan calon mempelai perempuan berumur 16 tahun. Hal ini diatur dalam
pasal 7 ayat (1) UU No.1/1974 yang berbunyi : “Perkawinan hanya diizinkan bila
22
piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai usia 16 (enam belas) tahun”. (Baharuddin Ahmad, 2008:69)
5). Tidak Ada Larangan Perkawinan Antara Dua Calon Mempelai
Ketentuan ini diatur kembali di dalam UU No.1/1974 pasal 8 dan pasal 9
(Baharuddin Ahmad, 2008:71), yaitu
larangan perkawinan antara dua orang,
antara lain :
a. Larangan perkawinan berdasarkan kekeluargaan (Pasal 8 UU No.1
Tahun 1974) disebabkan berhubungan darah yaitu larangan perkawinan
karena hubungan kesaudaraan yang terus menerus berlaku dan tidak dapat
disingkirkan berlakunya :
(a). Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas
yang terdiri dari ibu sendiri, anak perempuan, ibu dari ayah, cicit. (Pasal
8 sub a)
(b). Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping terdiri
saudara perempuan ayah, anak perempuan
dari
saudara laki-laki, anak
perempuan saudara perempuan (kemanakan). (Pasal 8 sub (c).
Hubungan semenda terdiri dari saudara perempuan bibi (makcik), ibu
dari isteri (mertua), anak tiri. (Pasal 8 sub c)
(d). Hubungan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak susuan
dan bibi atau paman susuan. (Pasal 8 sub d)
(e). Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam ha seorang suami beristeri lebih dari seorang. (Pasal 8 sub
e)
23
(f). Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin. (Pasal 8 sub f)
b. Larangan oleh karena salah satu pihak atau masing-masing pihak masih
terikat dengan tali perkawinan (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974).
Larangannya bersifat sepihak artinya larangan berlaku secara mutlak
kepada pihak perempuan saja yaitu seorang perempuan yang masih terikat dalam
perkawinan. Larangan Pasal 9 tidak mutlak berlaku kepada seorang laki-laki yang
sedang terikat dengan perkawinan atau seorang laki-laki yang beristeri tidak
mutlak dilarang untuk melakukan perkawinan dengan isteri kedua.
c. Larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali
(Pasal 10 UU No.1 Tahun 1974).
Menurut Pasal 10 diatur larangan kawin bagi suami isteri yang telah
bercerai sebanyak 2 (dua) kali. Perkawinan yang mempunyai maksud agar suami
isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang
mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan.
Pasal 10 bermaksud untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga
suami maupun isteri saling menghargai satu sama lain.
d. Larangan kawin bagi seorang wanita selama masa tunggu (Pasal 11 UU
No.1 Tahun 1974).
Larangan dalam Pasal 11 bersifat sementara yang dapat hilang dengan
sendirinya apabila masa tunggu telah lewat waktunya sesuai dengan ketentuan
masa lamanya waktu tunggu.
Sesuai dengan pasal 8 masa lamanya waktu
24
tunggu selama 300 hari, kecuali jika tidak hamil maka masa tunggu menjadi 100
hari. Masa tunggu terjadi karena perkawinan perempuan telah putus karena :
(a). Suaminya meninggal dunia.
(b). Perkawinan putus karena perceraian.
(c). Isteri kehilangan suaminya.
2. Syarat-syarat Formil/Administratif
Syarat-syarat formil atau administratif
1). Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai
pencatat perkawinan.
2). Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.
3). Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masingmasing.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 yang berbunyi :
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu”. (http://repository.usu.ac.id)
4). Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Ketentuan yang berhubungan dengan syarat formil atau administratif ini
diatur di dalam pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 yang berbunyi : “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
(Baharuddin Ahmad, 2008:80)
e. Syarat Batal Perkawinan Menurut Fiqih Islam
25
Yang menjadi syarat batalnya perkawinan atau
sebab putusnya
perkawinan ialah:
1. Talaq, yaitu memutuskan atau menghilangkan ikatan perkawinan.
2. Khulu, ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya
talaq satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak
isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai
dengan khulu itu.
3. Syiqaq, ialah perselisihan antara suami dan isteri yang diselesaikan dua orang
hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
4. Fasakh, ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu
diputuskan atau dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim
Pengadilan Agama.
5. Ta’lik talaq. Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik
talaq ialah suatu talaq yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi
yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih
dahulu.
6. Ila’, ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan
7. Zhihar, ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu
keadaan dimana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama
26
dengan punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri
isterinya lagi.
8. Li’aan, arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat
pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan
sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri
untuk selama-lamanya.
f. Syarat Batal Perkawinan Menurut Hukum Positif
Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk
selamalamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan
tidak dapat diteruskan. Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan
perkawinan syarat batal atau perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :
1. Kematian
Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus
sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya
salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih
kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan.
Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak
mewaris dari ahli waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat penting
dalam ajaran agama islam, banyak mempengaruhi kehidupan seseorang dengan
orang lain, seperti yang terjadi dalam budaya jahiliyah, hukum waris yang
dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan, hasilnya juga banyak membawa
bencana dan persengketaan dengan para penerima waris, karena itu agama islam
27
membawa perubahan budaya dan mengatur hukum waris dengan jelas dalam AlQur’an dan hadist-hadist Rasul.
2. Perceraian
Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga seringkali tidak
dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram
serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain,
yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian. Kepada mereka yang
mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai bukti
berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian ditandatangani oleh panitera
kepala.
Pasal 221 KUH Perdata yang menetukan setiap salinan putusan perceraian
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi
berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian.
Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian dianggap
terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung
sejak pendaftaran,
kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kemudian dalam ajaran agama islam perceraian hanya diperbolehkan
apabila dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum
islam atau sebagai jalan keluar dari perselisihan keluarga yang sudah tidak
mungkin lagi ada penyelesaiannya .
3. Atas Keputusan Pengadilan
28
Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan adalah putusnya perkawinan
karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota
keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua
calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan perkawinan
yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’ atau
perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam UndangUndang perkawinan maupun menurut hukum agama.
Putusnya Perkawinan dapat terjadi karena adanya putusan Pengadilan bagi
apabila dilakukan di depan Pengadilan Agama, baik itu karena suami yang
menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena isteri yang menggugat cerai atau
memohon hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam agama Islam,
perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan
seketika oleh suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya
adalah untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat
hukum perceraian itu.
Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan
di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang
beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa
perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan namun karena
ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak
maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini.
D. Batasan Umur dalam Perkawinan
1. Dewasa Menurut UU Pemilu
29
Menurut UU No. 10 Tahun 2008 juncto UU No. 42 Tahun 2008 Pasal 19 :
"(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin mempunyai
hak memilih.."Dan Pasal (1) angka 21 : “Pemilih adalah Warga Negara Indonesia
yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah
kawin”. (http://bedahukum.blogspot.com)
2. Dewasa Menurut Undang-Undang Kependudukan
Menurut UU No. 23 Tahun 2006 Pasal (63) :"(1) Penduduk Warga Negara
Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur
17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP."
(http://bedahukum.blogspot.com)
3. Dewasa Menurut KUH Perdata
Pendewasaan ini ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan
pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya
harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan
penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan
terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426
KUHPerdata).
Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan
mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran atau
surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung,
memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya pernyataan pendewasaan penuh
ialah status
hukum
yang
bersangkutan
sama
dengan
status
hukum
30
orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin orang tua tetap
diperlukan.
Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang
dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar
keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan
pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan
yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan,
membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status
hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk
perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Dalam hukum Perdata, belum dewasa adalah belum berumur umur 21
tahun dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin belum berumur 21
tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
Perkawinan
membawa
serta bahwa
yang kawin itu
menjadi
dewasa dan
kedewasaan itu berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus sebelum yang
kawin itu mencapai umur 21 tahun (pasal 330 KUHPerdata).“Belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh satu tahun, dan tidak
terlebih dahulu telah kawin”
Hukum perdata memberikan pengecualian-pengecualian tentang usia
belum dewasa yaitu, sejak berumur 18 tahun seorang yang belum dewasa, melalui
pernyataan dewasa, dapat diberikan wewenang tertentu yang hanya melekat pada
orang dewasa. Seorang yang belum dewasa dan telah berumur 18 tahun kini
31
atas permohonan, dapat dinyatakan dewasa harus tidak bertentangan dengan
kehendak orang tua. (http://72legalogic.wordpress.com)
4. Dewasa Menurut KUP Pidana
Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang
disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21
tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan
acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang
menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin
tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut
pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan
belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia
tidak
kembali
menjadi
"belum
cukup
umur".
(http://sarmanpsagala.wordpress.com)
5. Dewasa Menurut Hukum Adat
Hukum adat tidak mengenal batasan umur belum dewasa dan dewasa.
Hukum Adat hanya mengenal secara isidental saja apakah seseorang itu,
berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak
cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam
hubungan hukum tertentu pula. Artinya, dianggap dewasa apabila dapat
memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan
hukum yang dihadapinya itu. (http://bedahukum.blogspot.com)
32
6. Dewasa Menurut Fiqih Islam
Rasulullah SAW, bersabda :
“Terangkat pertanggungjawaban seseorang dari tiga hal: orang yang tidur
hingga ia bangun, orang gila hingga ia sembuh, dan anak-anak hingga ia
bermimpi dan mengeluarkan air mani (ihtilam)” (HR. Imam Empat)
Menurut isyarat hadits tersebut, kematangan seseorang dilihat pada gejala
kematangan sekdualitas, yaitu keluar air mani bagi laki-laki dan menstruasi (haid)
bagi wanita. Dari segi umur, kematangan ini, masing-masing orang berbeda-beda
saat datangnya. Namun demikian, hadits ini setidaknya dapat memberi gambaran,
bahwa pada umumnya pada usia 15 tahun. (Ahmad Rofiq, 2000:80-81)
LANDASAN TEORETIS
A. Pengertian Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis atau melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh. (Dep Dikbud, 1994:456). Sedangkan, dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:398), “kawin” diartikan dengan (1)
menikah; (2) bersetubuh; (3) berkelamin (untuk hewan). Sedangkan “perkawinan”
adalah pernikahan; hal (urusan dan sebagainya) kawin.
1. Pengertian Perkawinan Menurut Fiqih Islam
Dalam Al-Quran dan As-Sunnah, perkawinan disebut dengan annikh
() yang berasal dari bahasa arab - - - dan az-ziwaj/azzawj atau az-zijah ( - - ). (Ahmad Warson
Munawwir, 1984:1671-1672). Sedangkan menurut Al-Syarif Ali bin Muhammad
Al-Jurjaniy (1988:246), perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata
() yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan
digunakan untuk arti bersetubuh.
Menurut sebagian ulama Hanafiyah, nikah adalah akad yang memberikan
kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria
dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis.
Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan bagi
suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan seksual
semata. Oleh mazhab Syafi’iyah, nikah dirumuskan dengan akad yang menjamin
kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan lafal inkah. Sedangkan
9
10
ulama Hanabilah mendefinisikan nikah dengan akad yang dilakukan dengan
menggunakan kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan. (Al-Juzairi,
1984:2-3)
2. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Positif
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan
adalah : “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah sebagai
berikut :
1. Ikatan lahir bathin.
2. Antara seorang pria dengan seorang wanita.
3. Sebagai suami isteri.
4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 merumuskan bahwa
ikatan suami istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan
perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut
suami isteri. (http://repository.usu.ac.id)
Definisi tersebut tampak jauh lebih representatif dan lebih jelas serta
tegas dibandingkan dengan definisi perkawinan dalam Komplikasi Hukum Islam
(KHI) yang merumuskannya sebagai berikut: “Perkawinan menurut hukum Islam
11
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” (KHI:pasal2)
B. Tujuan Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, tujuan
perkawinan adalah “Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Membentuk keluarga artinya
membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami, isteri dan anakanak. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan
yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak
dan kewajiban kedua orang tua.
Bahagia adanya kerukunan dalam hubungan antara suami isteri dan anakanak dalam rumah tangga. Kebahagiaan yang dicapai bukanlah yang sifatnya
sementara, tetapi kebahagiaan yang kekal karenanya perkawinan yang diharapkan
adalah perkawinan yang kekal, yang dapat berakhir dengan kematian salah satu
pasangan dan tidak boleh diputuskan atau dibubarkan menurut kehendak pihakpihak.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijelaskan bahwa
sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat
dengan agama/kepercayaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani tetapi unsur bathin rohani yang mempunyai peranan yang penting.
Suami isteri perlu saling bantu membantu dan saling melengkapi dalam
membentuk keluarga. Pembentukan keluarga atau rumah tangga bahagia dan
12
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa selain
dari perkawinannya harus dilangsungkan menurut ajaran agama masing-masing
sebagai pengejewantahan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Abd Rahman Ghazaly (2006:24-30), tujuan perkawinan antara
lain :
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. Hal ini terlihat dari isyarat QS.
An-Nisa [4] : 1 yang berbunyi:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
Mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa [4] : 1)
2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung
jawab.
3. Memelihara diri dari kerusakan. Orang yang tidak melakukan penyalurannya
dengan perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan
kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan
masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong
untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik.
4. Menimbulkan kesungguhan bertanggung jawab dan mencari harta yang halal.
13
5. Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat sejahtera
berdasarkan cinta dan kasih sayang. Hal ini diungkapkan dalam QS.Ar-Rum
[30] : 21 yang berbunyi :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”. (QS.Ar-Rum [30] : 21)
Menurut Amir Syarifuddin (2007:41-42), sifat perkawinan sebagai sunnah
Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat sebagai berikut :
1. Allah
menciptakan
makhluk
ini
dalam
bentuk
berpasang-pasangan
sebagaimana dalam QS. Adz-Dzariyat [51] : 49yang berbunyi:
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah”. (QS. Adz-Dzariyat [51] : 49)
2. Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perempuan dalam QS. AnNajm [53] : 45 yang berbunyi :
“Dan bahwasanya dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria
dan wanita”. (QS. An-Najm [53] : 45)
3. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi
dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini terdapat dalam
QS. An-Nisa [4] : 1 yang berbunyi :
14
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
Mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa [4] : 1)
4. Perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat atau tanda-tanda dari
kebesaran Allah. Hal ini diungkapkan dalam QS.Ar-Rum [30] : 21 yang
berbunyi :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”. (QS.Ar-Rum [30] : 21)
Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya
selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat
dalam hadits yang berasal dari Anas bin Malik, sabda Nabi yang bunyinya :
“Tetapi aku sendiri melakukan shalat, tidur, aku berpuasa dan juga aku
berbuka, aku mengawini perempuan. Siapa yang tidak senang dengan sunnahku,
maka ia bukanlah dari kelompokku”
Oleh sebab itu, perkawinan sangatlah urgen dalam kehidupan umat
manusia. (http://elmawardie.blogspot.com)
C. Rukun, Syarat Sah dan Batalnya Perkawinan
“Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu.” (Abdul Hamid Hakim, 1976:9).
15
a. Rukun Perkawinan Menurut Fiqih Islam
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas : (Slamet
Abidin dan H. Aminuddin, 1999:64-68)
1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
3. Adanya dua orang saksi
4. Sighat akad nikah
b. Rukun Perkawinan Menurut Hukum Positif
UU Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. UU
Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syaratsyarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun
perkawinan. HKI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti madzhab
fiqh Syafi’iy dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun. (Amir Syarifuddin,
2007:61)
“Syarat yaitu sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum
syar’i, dan dia berada di luar hukum itu sendiri.” (Ensiklopedi Hukum Islam,
1997:1691)
c. Syarat Sah Perkawinan Menurut Fiqih Islam
Menurut Fiqih dalam Islam, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
perkawinan dinyatakan sah adalah :
1. Syarat Umum
16
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam
Al-Qur’an, yaitu :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS. AlBaqarah [2] :221)
Ayat ini menjelaskan tentang larangan perkawinan karena perbedaan
agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an, yaitu :
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
(QS. Al-Maidah [5] :5)
Pengecualiannya
yaitu
khusus
laki-laki
Islam
boleh
mengawini
perempuan-perempuan. Dan dalam QS. An-Nisa [4] : 22-24 menjelaskan tentang
larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.
17
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu .
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa [4] :
22-24) (Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, Farida Prihatini:60)
2. Syarat Khusus
Menurut Abd Rahman Ghazaly (2006:49) garis besarnya syarat-syarat
sahnya perkawinan itu ada dua :
18
1). Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin
menjadikannya istri. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan
perempuan yang akan kawin adalah sebagai berikut : (Amir Syarifuddin,
2007:64-66)
a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya,
baik yang menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal-hal lain
yang berkenaan dengan dirinya.
b. Keduannya sama-sama beragama Islam (tentang kawin lain agama
dijelaskan tersendiri).
c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin atau setuju pula dengan pihak
yang akan mengawininya.
e. Keduannya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan
perkawinan.
f. Tidak sedang mempunyai istri empat (bagi laki-laki), tidak dalam ikatan
perkawinan dan tidak masih dalam masa ‘iddah (bagi manita), serta tidak
ada paksaan dan tidak dalam keadaan haji atau umrah. (Abd Rahman
Ghazaly, 2006:50-55)
2). Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi. Hal tersebut mencangkup :
a. Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. (Amir Syarifuddin,
2007:61). Ijab yaitu pernyataan yang keluar dari pihak wali perempuan atau orang
19
lain sebagai wali. Sedangkan Qabul yaitu pernyataan yang keluar dari pihak
suami. (M. Amin Suma, 2004:97)
Ijab dan qabul mempunyai syarat-syarat menurut Drs. H. Baharuddin
Ahmad, MHI (2008:56), yaitu :
a). Adanya pernyataan mengawinkan dari wali..
b). Adanya pernyataan penerimaan dari calon pengantin laki-laki.
c). Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata
tersebut.
d). Antara Ijab dan qabul bersambungan.
e). Antara Ijab dan qabul jelas maksudnya.
f). Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji
atau umroh.
g) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu
calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua
orang saksi.
b. Wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau
wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda: yang artinya “Tidak ada nikah kecuali dengan
wali” (Abd Rahman Ghazaly, 2006:59). Syarat-syarat wali adalah :
a). Islam.
b). Akil baliqh.
c). Berakal.
20
d). Laki-laki.
e). Adil.
f). Tidak sedang ihram atau umrah. (http://repository.usu.ac.id)
c. Saksi
Syarat-syarat kedua orang saksi tersebut adalah :
a). Berakal
b). Baligh
c). Merdeka
d). Islam
e). Kedua saksi itu mendengar. (Slamet Abidin dan H. Aminuddin,
1999:64)
d. Mahar
Mahar adalah pemberian khusus laki-laki kepada perempuan yang
melangsungkan pernikahan pada waktu akad nikah dan hukumnya wajib
berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa [4] : 4)
d. Syarat Sah Perkawinan Menurut Hukum Positif
Menurut Asmin, SH. (1986:22) , syarat-syarat perkawinan itu dibagi dua,
yakni : syarat materil dan syarat formil. Syarat –syarat materil yaitu syarat-syarat
yang mengenai diri pribadi calon mempelai. Sedangkan syarat formil menyangkut
formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat
dilangsungkannya perkawinan.
21
1. Syarat-syarat Materil, yaitu mencangkup :
1). Beragama Islam
Syarat tersebut diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974, yang
berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu”. (Baharuddin Ahmad, 2008:57)
2). Persetujuan Calon Mempelai
Syarat tersebut diatur dalam pasal 6 ayat (1) UU No.1/1974, yang
berbunyi : “Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.
(Baharuddin Ahmad, 2008:65)
3).Izin dari Orang Tua/Wali bagi Calon Mempelai yang belum berumur 21 Tahun
Syarat perkawinan ini diatur dalam pasal 6 ayat (2) sampai dengan ayat (6)
UU No.1/1974.
Izin diberikan oleh orang tua. Kalau orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali. Dalam hal tidak ada orang tua atau wali atau ada perbedaan di antara
mereka, maka pengadilan dapat memberikan izin setelah mendengar orang-orang
tersebut. (Baharuddin Ahmad, 2008:68)
4). Umur Calon Mempelai
Baik UU No.1/1974 maupun KHI telah menetapkan batas minimal untuk
melangsungkan perkawinan, yakni calon mempelai pria/laki-laki berumur 19
tahun dan calon mempelai perempuan berumur 16 tahun. Hal ini diatur dalam
pasal 7 ayat (1) UU No.1/1974 yang berbunyi : “Perkawinan hanya diizinkan bila
22
piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai usia 16 (enam belas) tahun”. (Baharuddin Ahmad, 2008:69)
5). Tidak Ada Larangan Perkawinan Antara Dua Calon Mempelai
Ketentuan ini diatur kembali di dalam UU No.1/1974 pasal 8 dan pasal 9
(Baharuddin Ahmad, 2008:71), yaitu
larangan perkawinan antara dua orang,
antara lain :
a. Larangan perkawinan berdasarkan kekeluargaan (Pasal 8 UU No.1
Tahun 1974) disebabkan berhubungan darah yaitu larangan perkawinan
karena hubungan kesaudaraan yang terus menerus berlaku dan tidak dapat
disingkirkan berlakunya :
(a). Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas
yang terdiri dari ibu sendiri, anak perempuan, ibu dari ayah, cicit. (Pasal
8 sub a)
(b). Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping terdiri
saudara perempuan ayah, anak perempuan
dari
saudara laki-laki, anak
perempuan saudara perempuan (kemanakan). (Pasal 8 sub (c).
Hubungan semenda terdiri dari saudara perempuan bibi (makcik), ibu
dari isteri (mertua), anak tiri. (Pasal 8 sub c)
(d). Hubungan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak susuan
dan bibi atau paman susuan. (Pasal 8 sub d)
(e). Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam ha seorang suami beristeri lebih dari seorang. (Pasal 8 sub
e)
23
(f). Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin. (Pasal 8 sub f)
b. Larangan oleh karena salah satu pihak atau masing-masing pihak masih
terikat dengan tali perkawinan (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974).
Larangannya bersifat sepihak artinya larangan berlaku secara mutlak
kepada pihak perempuan saja yaitu seorang perempuan yang masih terikat dalam
perkawinan. Larangan Pasal 9 tidak mutlak berlaku kepada seorang laki-laki yang
sedang terikat dengan perkawinan atau seorang laki-laki yang beristeri tidak
mutlak dilarang untuk melakukan perkawinan dengan isteri kedua.
c. Larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali
(Pasal 10 UU No.1 Tahun 1974).
Menurut Pasal 10 diatur larangan kawin bagi suami isteri yang telah
bercerai sebanyak 2 (dua) kali. Perkawinan yang mempunyai maksud agar suami
isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang
mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan.
Pasal 10 bermaksud untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga
suami maupun isteri saling menghargai satu sama lain.
d. Larangan kawin bagi seorang wanita selama masa tunggu (Pasal 11 UU
No.1 Tahun 1974).
Larangan dalam Pasal 11 bersifat sementara yang dapat hilang dengan
sendirinya apabila masa tunggu telah lewat waktunya sesuai dengan ketentuan
masa lamanya waktu tunggu.
Sesuai dengan pasal 8 masa lamanya waktu
24
tunggu selama 300 hari, kecuali jika tidak hamil maka masa tunggu menjadi 100
hari. Masa tunggu terjadi karena perkawinan perempuan telah putus karena :
(a). Suaminya meninggal dunia.
(b). Perkawinan putus karena perceraian.
(c). Isteri kehilangan suaminya.
2. Syarat-syarat Formil/Administratif
Syarat-syarat formil atau administratif
1). Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai
pencatat perkawinan.
2). Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.
3). Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masingmasing.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 yang berbunyi :
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu”. (http://repository.usu.ac.id)
4). Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Ketentuan yang berhubungan dengan syarat formil atau administratif ini
diatur di dalam pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 yang berbunyi : “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
(Baharuddin Ahmad, 2008:80)
e. Syarat Batal Perkawinan Menurut Fiqih Islam
25
Yang menjadi syarat batalnya perkawinan atau
sebab putusnya
perkawinan ialah:
1. Talaq, yaitu memutuskan atau menghilangkan ikatan perkawinan.
2. Khulu, ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya
talaq satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak
isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai
dengan khulu itu.
3. Syiqaq, ialah perselisihan antara suami dan isteri yang diselesaikan dua orang
hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
4. Fasakh, ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu
diputuskan atau dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim
Pengadilan Agama.
5. Ta’lik talaq. Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik
talaq ialah suatu talaq yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi
yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih
dahulu.
6. Ila’, ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan
7. Zhihar, ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu
keadaan dimana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama
26
dengan punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri
isterinya lagi.
8. Li’aan, arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat
pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan
sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri
untuk selama-lamanya.
f. Syarat Batal Perkawinan Menurut Hukum Positif
Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk
selamalamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan
tidak dapat diteruskan. Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan
perkawinan syarat batal atau perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :
1. Kematian
Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus
sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya
salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih
kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan.
Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak
mewaris dari ahli waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat penting
dalam ajaran agama islam, banyak mempengaruhi kehidupan seseorang dengan
orang lain, seperti yang terjadi dalam budaya jahiliyah, hukum waris yang
dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan, hasilnya juga banyak membawa
bencana dan persengketaan dengan para penerima waris, karena itu agama islam
27
membawa perubahan budaya dan mengatur hukum waris dengan jelas dalam AlQur’an dan hadist-hadist Rasul.
2. Perceraian
Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga seringkali tidak
dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram
serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain,
yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian. Kepada mereka yang
mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai bukti
berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian ditandatangani oleh panitera
kepala.
Pasal 221 KUH Perdata yang menetukan setiap salinan putusan perceraian
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi
berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian.
Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian dianggap
terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung
sejak pendaftaran,
kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kemudian dalam ajaran agama islam perceraian hanya diperbolehkan
apabila dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum
islam atau sebagai jalan keluar dari perselisihan keluarga yang sudah tidak
mungkin lagi ada penyelesaiannya .
3. Atas Keputusan Pengadilan
28
Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan adalah putusnya perkawinan
karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota
keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua
calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan perkawinan
yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’ atau
perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam UndangUndang perkawinan maupun menurut hukum agama.
Putusnya Perkawinan dapat terjadi karena adanya putusan Pengadilan bagi
apabila dilakukan di depan Pengadilan Agama, baik itu karena suami yang
menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena isteri yang menggugat cerai atau
memohon hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam agama Islam,
perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan
seketika oleh suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya
adalah untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat
hukum perceraian itu.
Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan
di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang
beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa
perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan namun karena
ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak
maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini.
D. Batasan Umur dalam Perkawinan
1. Dewasa Menurut UU Pemilu
29
Menurut UU No. 10 Tahun 2008 juncto UU No. 42 Tahun 2008 Pasal 19 :
"(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin mempunyai
hak memilih.."Dan Pasal (1) angka 21 : “Pemilih adalah Warga Negara Indonesia
yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah
kawin”. (http://bedahukum.blogspot.com)
2. Dewasa Menurut Undang-Undang Kependudukan
Menurut UU No. 23 Tahun 2006 Pasal (63) :"(1) Penduduk Warga Negara
Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur
17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP."
(http://bedahukum.blogspot.com)
3. Dewasa Menurut KUH Perdata
Pendewasaan ini ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan
pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya
harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan
penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan
terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426
KUHPerdata).
Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan
mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran atau
surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung,
memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya pernyataan pendewasaan penuh
ialah status
hukum
yang
bersangkutan
sama
dengan
status
hukum
30
orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin orang tua tetap
diperlukan.
Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang
dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar
keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan
pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan
yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan,
membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status
hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk
perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Dalam hukum Perdata, belum dewasa adalah belum berumur umur 21
tahun dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin belum berumur 21
tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
Perkawinan
membawa
serta bahwa
yang kawin itu
menjadi
dewasa dan
kedewasaan itu berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus sebelum yang
kawin itu mencapai umur 21 tahun (pasal 330 KUHPerdata).“Belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh satu tahun, dan tidak
terlebih dahulu telah kawin”
Hukum perdata memberikan pengecualian-pengecualian tentang usia
belum dewasa yaitu, sejak berumur 18 tahun seorang yang belum dewasa, melalui
pernyataan dewasa, dapat diberikan wewenang tertentu yang hanya melekat pada
orang dewasa. Seorang yang belum dewasa dan telah berumur 18 tahun kini
31
atas permohonan, dapat dinyatakan dewasa harus tidak bertentangan dengan
kehendak orang tua. (http://72legalogic.wordpress.com)
4. Dewasa Menurut KUP Pidana
Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang
disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21
tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan
acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang
menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin
tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut
pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan
belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia
tidak
kembali
menjadi
"belum
cukup
umur".
(http://sarmanpsagala.wordpress.com)
5. Dewasa Menurut Hukum Adat
Hukum adat tidak mengenal batasan umur belum dewasa dan dewasa.
Hukum Adat hanya mengenal secara isidental saja apakah seseorang itu,
berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak
cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam
hubungan hukum tertentu pula. Artinya, dianggap dewasa apabila dapat
memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan
hukum yang dihadapinya itu. (http://bedahukum.blogspot.com)
32
6. Dewasa Menurut Fiqih Islam
Rasulullah SAW, bersabda :
“Terangkat pertanggungjawaban seseorang dari tiga hal: orang yang tidur
hingga ia bangun, orang gila hingga ia sembuh, dan anak-anak hingga ia
bermimpi dan mengeluarkan air mani (ihtilam)” (HR. Imam Empat)
Menurut isyarat hadits tersebut, kematangan seseorang dilihat pada gejala
kematangan sekdualitas, yaitu keluar air mani bagi laki-laki dan menstruasi (haid)
bagi wanita. Dari segi umur, kematangan ini, masing-masing orang berbeda-beda
saat datangnya. Namun demikian, hadits ini setidaknya dapat memberi gambaran,
bahwa pada umumnya pada usia 15 tahun. (Ahmad Rofiq, 2000:80-81)