MNC dan pengaruhnya bagi Negara berkemba
MNC dan pengaruhnya bagi Negara berkembang (host country)
Perusahaan multinasional (MNC) adalah sebuah perusahaan internasional atau transnasional yang
berkantor pusat di satu negara tetapi memiliki kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang.
Perusahaan mengglobalisasikan kegiatan mereka baik untuk memasok pasar dalam negeri-negara
mereka , dan untuk melayani pasar luar negeri secara langsung. Menjaga kegiatan asing dalam struktur
perusahaan memungkinkan perusahaan menghindari biaya yang melekat oleh perantara, dengan entitas
yang terpisah sambil memanfaatkan pengetahuan perusahaan mereka sendiri. Umumnya, MNC dapat
dikategorikan sebagai badan hukum (legal person) yang kedudukannya setara dengan warga negara
(natural person) di tempat MNC didirikan atau berdomisili usaha. Kebanyakan MNC merupakan milik
negara-negara maju yang ditempatkan di negara-negara berkembang. Alasan yang melatar belakangi hal
tersebut adalah besarnya kemungkinan yang dimiliki MNC untuk menghasilkan barang-barang produksi
dengan harga yang lebih murah. Hal ini dikarenakan adanya keuntungan lokasi (location advantages).
Seperti yang diketahui banyak orang bahwa dengan membuka usaha di negara berkembang, maka
perusahaan tersebut akan mendapatkan tenaga kerja yang murah, aturan-aturan perpajakan yang ringan
serta aturan-aturan hukum lain yang cenderung lemah ikatannya. Perusahaan MNC sendiri yang sudah
memasuki suatu Negara akan memberikan efek yang ganda kepada setiap Negara host tersebut, di satu
sisi ada dampak postif yang diberikan, namun di sisi lain MNC juga memberikan dampak buruk kepada
Negara host. Sisi positif yang bias di tawarkan oleh MNC adalah MNC itu merupakan perusahaan yang
berhasil dan memiliki bermacam-macam keunggulan kompetitif, jadi mereka membawa hal-hal positif
didasarkan kepada apa yang dibawanya ke Negara host seperti membawa teknologi, produk yang
dihasilkannya, capital financial, dan teknik management canggih yang tidak dimiliki oleh Negara-negara
host. MNC ini bisa merangsang pertumbuhan perusahaan atau UKM(Usaha Kecil Menengah) yang lebih
kecil di negara host semisal ketika ada MNC yang bergerak dibidang produksi mobil maka secara
langsung perusahaan tersebut membutuhkan pasokan baja, karet untuk memproduksi ban mobilnya,
dengan begitu mereka akan membeli kebutuhan tersebut kenegara house country, perdagangan semakin
bergairah, artinya dilain sisi MNC ini menghidupkan perusahaan atau UKM dengan dibelinya produk yang
dihasilkan oleh mereka, manfaat lainnya adalah perekrutan buruh yang dilakukan secara missal oleh
MNC dan juga perusahaan kecil yang menjual produk terhadap MNC itu turut serta mengurangi
pengangguran ydi house country.
Terciptanya lapangan kerja mempunyai “spilt over effect” terhadap berbagai sector, seperti bisa
mereduksi masalah penganguran, meningkatkan gairah daya beli masyarakat bahkan mengurangi
kriminalitas yang disebabkan oleh orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan, dilain sisi juga MNC ini
turut menyumbang pendapatan disuatu Negara yang berasal dari pajak yang mereka berika kepada
Negara host, akan lebih bagus lagu, sumbangan MNC akan lebih besar apabila MNC yang beroperasi di
Negara host membangun usaha baru, bukan membeli perusahaan local yang telah ada. Karena Negara
host akan mendapatkan tambahan kapasitas prosuksi, perekrutan buruh yang lebih pastinya akan
mentumbangkan kegairahan daya beli masyarakat dan pajak yang diterima oleh pemerintah.
Sedangkan nilai-nilai negatif yang dibawa oleh MNC ke Negara host adalah sebagaimana yang kita
ketahui Munculnya MNC dapat menjadi ancaman bagi kesejahteraan negara dan rakyat, diantaranya
adalah ancaman terhadap perdamaian dan keamanan global, kemiskinan gobal, lingkungan global dan
migrasi masal. Bahkan MNC turut andil dalam menciptakan kesenjangan sosial yang semakin melebar
antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini sungguh sangat disayangkan, yang kedua adalah ketika sebuah
negara merasa telah dirugikan oleh keberadaan MNC. Di satu sisi tentunya negara tersebut ingin
menuntut adanya tanggung jawab MNC atas kerugian yang disebabkan olehnya. Kerugian-kerugian
tersebut umumnya dialami oleh negara-negara berkembang dimana MNC tersebut berada. Masalah
yang muncul antara lain, adanya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh proses produksi, eksploitasi
besar-besaran terhadap kaum buruh, pelanggaran hak konsumen, hingga merebaknya korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Selain itu, perkembangan MNC juga semakin menipiskan peranan dan kebijakan
negara berkaitan dengan hukum nasional terhadap MNC. Namun di sisi lain, tuntutan tersebut baru
dapat dipenuhi apabila posisi MNC telah disejajarkan dengan negara sebagai subyek hukum
internasional. Hal inilah yang sampai sekarang berusaha untuk dihindari dan tetap menjadi polemik
dalam hukum internasional bahwa MNC hingga saat ini masih belum memiliki international legal
personality.
Lebih lanjut, negara-negara berkembang menghadapi sebuah situasi yang cukup sulit. Mereka bukanlah
negara maju yang mampu mengembangkan perekonomiannya dengan mudah. Mudah melakukan
investasi, mudah membuka lapangan pekerjaan, mudah menjalankan kebijakan ekonomi yang ketat dan
kemudahan-kemudahan lainnya. Negara-negara berkembang dihadapkan pada suatu pilihan apakah
mereka akan mengembangkan perekonomiannya ataukah mereka harus melindungi negara dan
rakyatnya. Karena bagaimanapun kedua hal tersebut sulit untuk dicapai dalam waktu yang bersamaan.
Parahnya lagi, negara-negara berkembang justru berlomba-lomba untuk meringankan kebijakankebijakan hukum nasional negaranya guna menarik sebanyak-banyaknya investasi asing, dalam hal ini
MNC, demi kemajuan perekonomiannya tanpa melakukan pertimbangan matang terhadap akibat negatif
yang mungkin akan mereka dapatkan. Dengan begitu, tampaknya hukum nasional tidak cukup kuat
untuk mengikat MNC dalam memberikan pertanggungjawabannya. Lalu hukum internasional lah yang
menjadi harapan mereka selanjutnya. Tetapi masalah yang kemudian muncul adalah hukum
internasional tidak dapat diterapkan bila hukum nasional sebuah negara tidak mendukung. Artinya,
bagaimanapun suatu hukum internasional dibuat, tidak akan dapat diterapkan bila tidak ada hukum
nasional yang telah dibuat dan dijalankan di negara tersebut. Karena toh hukum internasional yang ada
tidak secara jelas menyebutkan MNC sebagai subyek hukum internasional, melainkan masih merupakan
obyek hukum internasional.
Lebih jelasnya, walaupun subyek hukum internasional telah berkembang dan telah meluas cakupannya
meliputi aktor-aktor non-negara (individu, organisasi internasional, dan NGO), namun keberadaan MNC
mash belum termasuk di dalamnya. Dengan tidak termasuknya MNC sebagai subyek hukum
internasional, maka perjanjian maupun traktat internasional yang ada dan telah dibuat sebelumnya tidak
bisa dijadikan dasar yang kuat untuk mengikat dan menuntut pertanggungjawaban MNC pada negaranegara tertentu. Namun pertanggungjawaban tersebut sebenarnya bukanlah hal yang tidak mungkin
untuk diperjuangkan. Karena tidak semua MNC lepas tangan begitu saja terhadap negara yang
ditempatinya. Cara yang dapat dilakukan adalah melalui pembuatan perjanjian atau hukum internasional
yang melibatkan secara aktif berbagai pihak terkait meliputi negara yang bersangkutan serta MNC
dimana pihak-pihak tersebut harus ikut terjun langsung dalam proses perumusan serta
pengimplementasian perjanjian atau hukum internasional yang disepakati tersebut. Tetapi cara ini akan
mengarah pada kondisi yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini, yaitu dengan melibatkan MNC
dalam proses pembuatan hukum internasional serta membuat MNC memiliki hak dan kewajiban, maka
secara tidak langsung mengakui kesetaraan MNC dengan negara-negara di dunia sebagai subyek hukum
internasional. Sungguh merupakan situasi yang sangat sulit dan membingungkan.
Cara terbaik yang mungkin dapat diambil saat ini menurut saya adalah dengan menambah kesadaran
pemerintah di negara-negara berkembang bahwa demi meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
negara bukan berarti harus mengorbankan sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya alam maupun
sumber daya manusia yang merupakan aset penting bagi keberlangsungan hidup negara. Sehingga
hukum nasional yang dibuat bukan bertujuan untuk mempermudah masuknya MNC-MNC ke dalam
negara, melainkan bertujuan untuk melindungi negara tersebut dari campur tangan pihak-pihak asing di
negaranya.
http://acakanblog.blogspot.co.id/2011/05/mnc-dan-pengaruhnya-bagi-negara.html
GLOBALISASI DEMOKRASI"
"Globalization Of Democrazy"
(Mengurai Jalan Pemikiran Arsalan Ghorbani Sheikneshin)
*Yoyarib Mau
Jalan pemikiran Arsalan sebagai seorang Profesor dalam Ilmu Politik dari Tehran Tarbiat Moalem
University memaparkan jalan pemikirannya mengenai Globalisasi demokrasi yang menjadi demensi
penting sebagai “kebutuhan umum” atau paham umum dalam globalisasi demokrasi yang dibutuhkan
sebuah system politik untuk menerapkan hak asasi manusia.
Aliaran Globalisasi menyebabkan adegan perubahan pemikiran dalam politik, teknologi, budaya, dan
urusan sosial yang diputuskan oleh pasar dunia di akhir abad 20.
Ditentukan dikendalikan instrument baru dalam komunikasi dan teknologi baru.
Keadaan ini membuat manusia seakan keluar dari lingkungan, industri, hasil temuan ilmiahnya, sehingga
mendorong kecenderungan masyarakat untuk meningkatkan kerjasama dan mengembangkan
kebebasan.
Perubahan ini terjadi sangat srimultan dalam semua konsep atau ideology antara lain; kekuasaan,
wewenang, dari rasa kebangsaan, keamanan, militer, damai dan perang semuanya memberikan tempat
bagi konsep-konsep ini guna menginginkan kesejahteraan, lingkuangan hidup, hak asasi manusia,
perdagangan, peran masyarakat sipil dunia, ekonomi, budaya dan pembangunan demokrasi.
Keadaan ideal yang digambarkan Arsalan Ghorbani di atas merupakan tujuan utama dari globalisasi
demokrasi, globalisasi demokrasi menyebabkan hadirnya kebijakan luar negeri dari tiap negara keadaan
ini menyebabkan lemahnya kekuasaan untuk melihat kekuasaan lain yang hadir sebagai pemain
internasional yang berdampak terhadap struktur dan arus hubungan Internasional.
Globalisasi di manfaatkan oleh pemain tertentu untuk melakukan percobaan untuk mengakhiri sistem
lama dari distribusi kekuasaan di dunia. Menyebabkan banyaknya permintaan untuk kemajuan serta
kebergantungan dan hubungan bilateral antar negara serta pembagian kekayaan dan kekuasaan secara
adil.
Perubahan baru dari hubungan antar bangsa memberikan gambaran bahwa kekuasaan mulai berkurang
dari bangsa tersebut dan menggambarkan akan kebergantungan terhadap orang lain semakin meningkat
dalam sistem Internasioanal. Keadaan ini sepertinya menjelaskan bahwa kemajuan dan kemunduran
sebuah bangsa sangat ditentukan oleh bangsa lain sehingga perlu membuka diri untuk membangun
hubungan dan aktifitas dengan bangsa lain.
Membangun hubungan dengan negara lain melalui hubungan bilateral atau multi lateral harus di lakukan
dalam bentuk kerjasama ekonomi dalam batas geografis tertentu, seperti yang dilakukan Indonesia saat
ini bergabung dalam ACFTA, ASEAN, OPEC dan APEC, sedangkan di belahan Eropa menggabungkan diri
dalam Uni Eropa dengan satu mata uang yakni EURO, atau ketika negara lain melakukan kunjungan atau
perjalanan ke luar negeri khususnya ke negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa tidak perlu lagi
mengurus visa di setiap negara anggota cukup sekali saja.
Dalam aspek ekonomi proses globalisasi sangat ditentukan oleh besarnya modal, faktor produksi serta
bentuk pekerjaan yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan informasi yang tidak sama.
Keadaan ini menyebabkan kesenjangan serta membutuhkan intervensi dari negara lain hal inilah yang
menjadi kritik dan analisa dari Arsalan Ghorbani, karena kondisi inilah menjadi arena keberuntungan
bagi MNC (Multi National Coorporation) atau TNC (Trade National Coorporation) melakukan investasi di
mana-mana seperti Exxon Mobil, General Motor, Nike, Reebok, Adidas dan Louis Vuiton, Piere Cardien,
Mc Donald, Carrefour, Lote Mart, Black Berry dan berbagai merek terkenal yang merepresentasikan
perusahaan asing yang mendominasi dunia, sehingga membentuk sebuah persepsi bahwa yang
dikategorikan sejahtera adalah mereka yang mengkonsumsi dan mengenakan merek-merek tersebut.
Keadaan ini menyebabkan sebuah putaran global yang menyebabkan perubahan di akhir decade 20-an
dan gambaran keadaan dari proses globalisasi itu sendiri. Gambaran umum globalisasi ini merupakan
berbagai fenomena dari dominasi interaksi dan aktifitas dalam aspek kehidupan global dalam bidang
ekonomi, sosial, politik, teknologi, militer, lingkungan, dan budaya.
Arsalan mengungkapkan suka atau tidak suka faktor utama dari globalisasi adalah sesuatu yang tidak
dapat di bantah tetapi disukai oleh semua bangsa yakni demokrasi, dan aspek lain dari globalisasi yakni
mendunianya demokrasi sebagai sebuah wajah yang menantang.
Kondisi ini membuat kita bertanya apakah kita menolak globalisasi demokrasi atau menerimanya dengan
berbagai catatan ? Arsalan Ghorbani menawarkan dua argument utama terhadap globalisasi demokrasi.
pertama ; dimana karakteristik perubahan kepemimpinan terhadap globalisasi demokrasi budaya yang
sangat prinsip dari globalisasi demokrasi, demokrasi liberal barat sebagai budya yang lebih dominan,
sementara harus berhadapan dengan nilai budaya di negara-negara non-barat atau negara-negara dunia
ketiga.
Demokrasi Liberal Barat (Negara Maju) Vs Budaya Non-Barat (Negara Dunia Ketiga)
Demokrasi Liberal Barat yang berkembang pesat di Eropa, dan telah mengalami fase globalisasi serta
mengalami peradaban yang cukup maju pasca perang dunia ke II, dan ideologi kebebasan dalam
menjalankan hidup dan melakukan aktivitas ekonominya indivudu sangat di berikan keleluasan yang
cukup untuk menjalankan usahanya, pemerintah hanya berperan sebagai ”penjaga malam” peran negara
dibutuhkan untuk memberikan rasa aman bagi para individu.
Namun dalam perjalanan waktu gagasan itu berubah menjadi pemerintah perlu bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyatnya dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. untuk
mewujudkan hal tersebut maka di butuhkan konsep untuk terwujudkannya kesejahteraan yakni the rule
of law. Syarat-syarat dasar untuk terselengaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law
ialah (Miriam Budiardjo – Gramedia - 2008):
1.Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus
menentukan pula cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2.Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals)
3.Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.
4.Pendidikan Kewarganegaraan (civil education)
Hal- hal diatas menjadi ukuran dalam pelaksanaan demokrasi di Eropa hal ini juga seperti-nya harus
menjadi bagian dari globalisasi demokrasi yang akan dan harus menjadi bagian dari kehidupan negara
lain seperti apa yang di katakan Anthony Gidens bahwa; Globalisasi meninggalkan negara-bangsa dalam
arti bahwa kekuatan-kekuatan yang dulu dimiliki oleh negara, termasuk yang mendasari manejemen
ekonomi keynesian telah di perlemah, tetapi globalisasi juga ”menekan ke bawah” ia menciptakan
tuntutan-tuntutan dan kesempatan –kesempatan baru untuk meregenerasi identitas lokal (The Third
Way – Gramedia – 2000).
Isu ini menyebabkan perbedaan yang sangat prinsipil dari keadaan negara-negara ketiga atau negaranegara non-barat seperti di Timur Tengah, Asia, Afrika serta Amerika Latin, Budaya dari belahan wilayah
dari negara-negara non-barat memiliki nilai identitas yang kuat dan merupakan bagaian dari harga diri
dan martabat dirinya, sebagaimana identitas di Timur Tengah yang dipengaruhi oleh budaya Arab dan
Islam yang kental, dimana Ulama memiliki kekuatan kekuasaan yang cukup kental ingind i gantikan
secara langsung hal ini akan menimbulkan konflik, keberadaan ini yang membenarkan globalisasi
demokrasi mengalami hambatan seperti tesisnya Samuel Huntington mengenai ”benturan peradaban
antara Barat dan Islam”.
Karena di lain pihak identitas dari negar-negara non barat akan melakukan proteksi terhadap nilai-nilai
budayanya sehingga menurut Arsalan dibutuhkan proses integrasi dari pemikiran globalisasi demokrasi
yang utama untuk dikonsolidasikan dengan ideentitas lokal sehingga mendapatkan parameter bagi
budaya untuk sebuah perbedaan atau pengecualian dari globalisasi demokrasi sebagai sebuah
konsekuensi. Dan hal inipula yang terjadi di beberapa negara eropa yang menginginkan perlakuan khusus
yang otonom dari sebuah entitas nasional seperti Quebec melepaskan diri dari Canada.
Globalisasi Demokrasi dan Hak Azasi Manusia
Isu kedua yang menjadi bahan kajian dari Arsalan Ghorbani adalah globalisasi demkorasi dan hak sasi
manusia. Keberadaan konsep ini merupakan hak asasi manusia yang menekankan kebergantungan citra
antara manusia, hal in merupakan arti dari partisipasi dari seluruh keberadaan manusia. Hal inilah yang
mendorong didirikannya PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) sebagi prinsip yang fundamental dari
demokrasi.
Menjadi permasalahan adalah dalam menjalankan kepedulian social dari semangat yang prinsip dari
demokrasi di bentuknya lembaga-lembaga social antar bangsa untuk melakukan pengentasan
kemiskinan, kelaparan dan menyelesaikan pertikaian antar sesama manusia di berbagai belahan dunia
sehingga adanya lembaga seperti WHO, UNICEF, UNDP dan lembaga donor lainya yang melakukan tugas
kemanusiaan.
Sejatinya keberadaan lembaga-lembaga ini tidak terlepas dari sikap caritas atau filantropi dari berbagai
perusahaan MNC atau TNC yang cukup besar penghasilannya dan menyisihkan CSR (Coorperate Social
Responsibility) untuk lembaga-lembaga bentukan ini. Pemberian bantuan terkadang tidak selamnya
tulus untuk kemanusiaan tetapi memberi dengan berbagai kepentingan yakni lembaga-lembaga donor
harus menjamin agar perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dapat melakukan investasi di
negara mana saja yang mereka ingin untuk melebarkan usahanya.
Kondisi ini seperti yang Indonesia alami saat ini dana PNPM merupakan bantuan World Bank untuk
mengentaskan keinginan dan mewujudkan tujuan pembangunan dunia MDG’s (Milenium Development
Goal’s) namun seturut dengan bantuan tersebut keinginan perusahaan pendonor yang berasal dari
negara maju menuntut agar investasinya di Indonesia tetap di jamin sebagaimana keberadaan Freeport
dan Exxon Mobil yang tetap dilindungi walaupun menguras alam dan masyarakat di sekitar tempat
pertambangan tetap miskin dan kelaparan, dengan demikian globalisasi demoikrasi dan HAM (Hak Azasi
Manusia) telah di bajak oleh kapitalis dan di jadikan sebagai topeng untuk meraup keuntungan
http://kannutuan.blogspot.co.id/2010/10/globalisasi-demokrasi.html
GLOBALISASI DAN ISU DEMOKRASI: MEMFORMULASIKAN PERAN NEGARA MENJADI "CENTRIC ACTOR"
Oleh,[1]
Abstrak
Demokrasi liberal telah menang dari penantangnya “communism ideology”.Diera milenium
dampaknegatif globalisasi terhadap sendi-sendi kehidupan umat manusia menjadikan demokrasi liberal
di kecam dari berbagai penjuru. Kecaman itu datang karena seiring derasnya arus globalisasi, juga
komersialisasi semakin membabi buta, khususnya di negara dunia ketiga. Kalaborasi antara globalisasi,
komersialisasi dan kapitalisme semakin mengikis prinsip otonomi negara sehingga skeptisme terhadap
keunggulan demokrasi liberal dalam mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat di seantaro dunia
pun bermunculan di permukaan, khususnya dari Prof. Budi Winarno. Terkikisnya otoritas negara diikuti
dengan krisis demokrasimenjadi kausal bagi Budi Winarno menawarkan demokrasi kosmopolitan (visi
demokrasi kosmopolitan) sebagai solusi walaupun itu utopis.
Key Word
Demokrasi liberal, globalisasi dan krisis demokrasi.
Pendahuluan
Sangat kompleks ketika membahas demokrasi liberal karena pastinya tidak lepas dengan
kapitalisme dan komersialisasi. Selain produktivitas ekonomi, kapitalisme juga sejalan dengan kebebasan
politik (demokrasi). “Semua demokrasi,” tulis Peter Berger, “adalah kapitalis; tidak ada demokrasi yang
sosialis.[2]Jalannya demokrasi liberal akan semakin membuka peluang terciptanya masyarakat kapitalis
atas komersialisasi yang semakin meluas.Apalagi di negara-negara berkemabang, terutama negara yang
terjangkit krisis moneter pada penghujung tahun 1990-an, Indonesia misalnya. Indonesia dalam
membangun kembali perekonomiannya, dipaksa untuk meminjam dana dari IMF. Syarat yang harus
dipenuhi oleh negara – negara ketika meminjam dana di IMF adalah pemerintah menandatangani Lol. Lol
ini berisi program-program penyesuaian struktural yang berisi tiga pokok, yakni liberaisasi, deregulasi,
dan privatisasi.[3]
Di jaman umat manusia saat ini dan akan menjadi sejarah di waktu yang akan datang bahwa
demokrasi liberal telah mengalami kejayaan besar atas kemenangannya dalam pertarungan melawan
ideologi sosialis – komunis lebih dari dua dekade yang lalu.[4] Kejayaan demokrasi liberal telah
dihadapkan pada tantangan yang sebenarnya sudah lama menjadi sejarah umat manusia, yaitu
kemiskinan dan berbagai macam ketimpangan. Demokrasi liberal sebagai satu-satunya sistem
pemerintahan yang diimplementasikan oleh sebagian besar negara-negara didunia telah
dimintai tanggung jawab atas kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia di dunia. Bukan hanya itu,
tetapi kejayaan demokrasi liberal juga harus bertanggung jawab atas keberlangsungan prinsip-prinsip
demokrasi ditataran global, maksudnya keadilan dan persamaan harus dijunjung didalam organisasi
supranasional, seperi di IMF, World Bank, dan WTO.
Demokrasi liberal juga dihadapkan pada kekuasaan negara yang semakin berkurang, khususnya di
negara berkembang yang pemerintahannya lemah. Budi Winarno dalam melihat pengaruh globalisasi
yang beraneka ragam mengatakan bahwa satu-satunya yang paling krusial adalah bagaimana negara
harus didefinisikan.[5] Selain itu, negara-negara berkembang juga dihadapkan pada produk demokrasi
liberal yaitu semakin berpengaruhnya perusahaan Multinasional dan transnasional baik ditingkat
nasional, regional maupun di lembaga-lembaga supranasional, seperti di WTO.Ketidakadilan atau tidak
jalannya demokrasi yang ideal di tataran global menjadi refleksi bagi Budi Winarno mengajukan
demokrasi kosmopolitan sebagai solusi konkrit dalam meminimalisir berbagai macam ketimpangan yang
terjadi baik ketimpangan di tataran global sampai ke tingkal nasional, di Indonesia misalnya.
Pembahasan
A. RalasidemokrasidanGlobalisasi
Secara teoritis definisi demokrasi lebih dari dua[6], tergantung ideologi apa yang dianut oleh subjek
yang mendefinisikannya.[7] Tetapi inti dari definisi demokrasi yang ideal adalah “dari rakyat,oleh rakyat
dan untuk rakyat”, ungkap Abrahan Lincoln. Pertanyaan yang timbul sebagai refleksi dari definisi
demokrasi ideal, sistem seperti apakah yang diimplementasikan untuk mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat?. Berbagai macam ideologi atau paham ekonomi politik yang berkembang dan
semakin maju dari waktu ke waktu dan kemudian ideologi manakah yang paling relevan dalam
mengejewantahkan demokrasi ideal atau demokrasi substantif?. Dan pertanyaan terakhir, ideologi apa
yang bertahan sampai detik ini secara mengglobal.
Sungguh begitu kompleks untuk menjawab pertanyaan nomor satu dan dua diatas, tetapi pertanyaan
yang ke tiga, penulis kira lumayan mudah. Demokrasi liberal dianalogikan oleh Francis Fukuyama sebagai
manusia terakhir, maksudnya demokrasi liberal telah menang dalam kompetisi pertarungan ideologi,
khususnya dengan sosialis – komunis.[8] Tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi liberal telah dianut
oleh sebagian besar negara-negara didunia mulai pertengahan abad 20 dan terus berkembang sampai
awal abad ke 21. Sejak tahun 1980-an, 33 rejim militer telah digantikan oleh pemerintahan sipil,
sementara 140 negara dari hampir 200 negara sekarang ini melakukan pemilihan umum multipartai.[9]
Semakin banyaknya negara-negara didunia yang mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi liberal baik
secara prosedural maupun nilai-nilai yang dibangun dan dipegangnya. Demokrasi liberal yang diagungagungkan oleh masyarakat dalam sebuah wilayah atau negara tertentu di seluruh penjuru dunia dan
kemudian diadopsi menjadi sistem negara atau pemerintahan adalah sesuatu yang tidak mustahil.
Manusia pada fitrahnya untuk bebas, karena kebebasan tertinggi manusia adalah kehendak untuk bebas.
[10] Hal tersebut menjadi salah satu pegangan kuat bagi kaum liberal, yang pastinya tidak bertolak
belakang dengan moral dan etika ketika diipmlementasikan oleh setiap individu dengan baik.
Sebagaimana prinsip hak yang universal bahwa batas hak kebebasan seseorang adalah kebebasan orang
lain.
Demokrasi liberal telah mencapai kejayaan gemilang mulai paska perang dingin sampai detik ini, yang
sebelumnya tidak dinikmati oleh ideologi sosialis – komunis sebagai penentang beratnya. Penjelasan
bapak Budi Winarno terkait “Globalisasi dan Isu Demokrasi” sungguh membantu untuk memahami relasi
antara demokrasi liberal dan globalisasi. Derasnya arus globalisasi telah mempengaruhi jalannya
demokrasi substantif sehingga Winarno skeptis dalam melihat demokrasi liberal sebagai jalan satusatunya untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Okelah, masyarakat menikmati
kebebasan ekonomi dan kebebasan politik tetapi apalah gunanya jika didalam masyarakat semakin
tercipta kemiskinan dan ketimpangan, misalnya di Indonnesidan Negara-negaraberkembanglainnya.
Ketimpangan dan kemiskinan dalam sebuah negara secara tidak langsung dipengaruhi atas ketidakadilan
atau penghianatan demokrasi yang terjadi di organisasi-organisasi supranasional. Demokrasi murni yang
tidak jalan di organisasi supranasional karna implikasi dari pengaruh perusahaan multinasional dan
supranasional.[11]
Biarkanlah globalisasi berjalan sesuai bentuknya sendiri, karena kepentingan globalisasi adalah tujuan
bagi dirinya sendiri. Bagipenulis tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan derasnya arus globalisasi,
karena kepercayaan bahwa manusia diadakan karena sudah fitrahnya untuk berfikir “the power of
thinker”[12] sesuai apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Budi Winarno datang dengan ketajaman,
kematangan dan kedewasaan dalam melihat kondisi yang menyerang sendi-sendi kehidupan umat
manusia di seantaro dunia akibat derasnya globalisasi. Tulisan beliau di bab lima terkait “Globalisasi dan
Isu Demokrasi” telah memberikan kita pemahaman terkait letak pengaruh globalisasi terhadap
demokrasi. Atas jasa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di abad milenium yang menjadi waktu
sejarah kita dimasa akan datang globalisasi tidak dapat dibendung atau dihindari.
B. Lembaga Melampaui Kekuatan Negara
Terkaitpembicaraanmasalah politik, globalisasi memiliki peranan penting dalam menjamurnya
isu-isu negara demokrasi. Ketika membicarakan masalah mengenai demokrasi dan globalisasi, ada
beberapa hal yang menjadi penting untuk dibahas, yang pertama ialah melalui adanya demokrasi, maka
banyak negara yang berkesempatan untuk merdeka dari rezim yang otoriter, memiliki strukutur
pemerintahan yang lebih baik dan juga adanya hak yang sama bagi masyarakatnya. Akan tetapi terdapat
pula hal yang tidak bisa dipungkiri akibat adanya efek dari globalisasi ialah mengenai bahwa ada indikasi
jika demokrasi saat ini tidak lagi pure, akan tetapi telah ditunggangi dengan kepentingan-kepentingan
negara maju lainnya maupun negara barat. Dalam hal ini bisa dilihat dari semakin banyak negara yang
menggunakan sistem demokrasi liberal, maka perusahaan-perusahaan TNC ataupun MNC semakin
banyak.
Lembaga-lembaga Multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO yang bukan hanya mempunyai
kekuasaan ekonomi, tetapi juga politik yang sangat besar. Lembaga-lembaga ini diharapkan agar bersifat
bijak atau pro terhadap keadilan demi mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat internasional
atau dunia. Tetapi yang terjadi malah ketimpangan, karena mereka bertolak belakang dengan tujuan
diadakannya mereka, dimana keberadaannya lebih merefleksikan kepentingan-kepentingan perusahaan
transnasional dibandingkan dengan warganegara diseluruh dunia. Makanya didalam lembaga-lembaga
yang melampaui kekuatan negara telah terjadipembajakan demokrasi (garis miring istilah dari demos).
Perusahaan-perusahaan multinasional merupakan aktor penting dalam globalisasi ekonomi yang tengah
berusaha mengintegrasikan pasar-pasar nasional kedalam perekonomian global melalui perdagangan
lintas batas negara, baik dalam bentuk perdangan antara perusahaan dengan pihak luar, dan melalui
aliran investasi yang mengalir melintasi batas-batas negara nasional.[13]
Peran perusahaan-perusahan Multinasional yang begitu dominan baik ditataran nasional maupun
sampai di tingkat global. Thedore Lowi menyebut era ini sebagai a corporate millenniumyang di
interpretasikan kedalam model hegemoni swasta dan pasar bebas (unregulated market), Gilpin
menyebut era sekarang ini sebagai jaman keemasan perusahaan Multinasional. Kapitalisme merupakan
pondasi demokrasi dan pasar bebas dan dalam kapitalisme demokrasi dapat dijual kepada penawar
tertinggi, dan bahwa pasar bebas sebenarnya direncanakan secara terpusat oleh megakorporasi global
yang ukurannya lebih besar dari banyak negara yang ada.[14] Kekuasaan perusahaan multinasional ini
menjadi semakin besar ketika kita melihat kenyataan bahwa mereka mempunyai akses terhadap
lembaga –lembaga multilateral semacam WTO, Bank Dunia, dan IMF. Menurut Herts, banyak aturanaturan yang dibuat dalam WTO untuk kepentingan perusahaan, dan perusahaan itu sendiri memainkan
peran yang sangat penting dalam membentuk aturan tersebut.
Menarik, Joseph E. Stiglitz telah menuding kedua lembaga multilateral IMF dan Bank Dunia tidak
meletakkan hak-hak pilih pada prinsip-prinsip masyarakat yang demokratis. Sebagian besar suara jatuh
ke negara-negara industri kaya. Lembaga-lembaga multilateral ini telah menjadi kekuatan politik yangs
sangat kuat, tetapi tidak sama sekali demokratis sebagaimana yang dikemukakan Stiglitz diatas.[15]Selain
itu, ketika memutuskan untuk menjadi demokrasi, suatu negara harus siap jika hukum internasional akan
masuk ke dalam lingkup hukum nasional, contohnya perusahaan-perusahaan TNC telah dilindungi oleh
hukum bisnis internasional, maka mau atau tidak, negara harus mengikuti aturan main dengan membuat
undang-undang yang berisikan pernyataan keamanan bagi perusahaan-perusahaan TNC tersebut, tidak
jarang ada fenomena bahwa hukum nasional tersebut tidak dapat melindungi kepentingan rakyat
maupun kepentingan nasional suatu negara.Dan juga mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan
instabilitas keuangan global, yang mana saat ini sedang dikuasai oleh neoliberal. Yang ditandai dengan
meningkatnya atau menguatnya kekuasaan baik ekonomi-politik pada segelintir orang atau sekelompok
orang.[16] Dan hal ini yang menyebabkan kekacauan pada beberapa negara, terutama negara yang
berada di dunia ketiga.
Selain itu globalisasi dan demokrasi juga menimbulkan efek semakin kuatnya wewenang lembagalembaga ekonomi global. IMF, WORLD Bank, dan WTO sering kali mengambil alih kewenangan
pemerintahan suatu negara apabila dinilai sudah tidak dapat mengatasi krisis ekonomi yang
memuncak[17]. Demokrasi bukan lagi pure sebagai sistem politik, akan tetapi saat ini telah ada konsep
yang mengatakan bahwa demokrasi bukan hanya merupakan sistem politik maupun sistem
pemerintahan saja, akan tetapi dibalik itu semua terdapat agenda-agenda yang sengaja diselipkan demi
kemakmuran sebagian orang.Salah satunya ialah, ketika berbicara mengenai masalah demokrasi maka
tidak bisa dipisahkan dengan permasalahan liberalisasi ekonomi atau saat ini lebih dikenal dengan
sebutan neoliberalisme. Neoliberalisme mengakibatkan adanya pasar bebas maupun masuknya
perusahaan-perusahaan transnasional ke dalam sebuah negara. Tentu saja liberalisasi ekonomi akan
memiliki dampak yang berbeda bagi kelompok negara-negara maju, dan kelompok-kelompok negara
berkembang meskipun pada dasarnya mereka menggunakan sistem demokrasi.
Menurut data yang ada pada kisaran tahun 1990an, TNCs telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat, yaitu dari 7000-an perusahaan yang berdiri pada tahun 1970-an, menjadi sekitar 37.000
perusahaan yang menyebar ke seluruh dunia.[18]Ketika globalisasi tidak dapat dibendung, maka
perusahaan-perusahaan transnasional akan semakin mengalami kemajuan, Pada saat yang lalu saja
mereka berhasil menguasai 67% perdagangan dunia antar TNCs dan menguasai 34,1% total perdagangan
global. Lebih lanjut TNCsjuga telah menguasai 75% total investasi global. Ada 100 TNCs saat ini yang
menguasai ekonomi dunia. Mereka mengontrol sampai 75% perdagangan dunia[19].Hal ini tentu saja
memberikan efek tersendiri bagi suatu negara, karena saat ini perusahaan-perusahaan tersebut tidak
hanya mempengaruhi permainan bisnis, akan tetapi telah merembet ke dalam politik demokrasi[20].
Dan saat ini perusahaan-perusahaan tersebut telah mampu untuk mempengaruhi pembuatan keputusan
suatu negara.
Tentu saja pengaruh perusahaan-perusahaan tersebut akan menimbulkan nilai yang positif bagi
kemajuan perusahaan tersebut, akan tetapi tidak sedikit yang memberikan efek negative bagi negara
sendiri.Negara pun seperti kesulitan untuk bertindak, karena perusahaan-perusahaan tersebut dilindungi
oleh hukum internasional dan memiliki akses untuk melobi lembaga-lembaga multilateral semacam
WTO, Bank Dunia dan IMF. Dan lembaga-lembaga tersebut pada dasarnya cenderung bersifat tidak
demokratis dalam pengambilan kebijakan yang cenderung dikuasai oleh negara-negara maju. Contohnya
saja bank dunia, kekuatan pengambilan keputusan formal didasarkan pada banyaknya sumbangan
modal yang diberikan. Amerika Serikat menjadi pemegang saham yang terbesar, meskipun Jepang telah
ditekan untuk memberikan saham yang lebih besar, akan tetapi Amerika Serikat mampu membatasi
saham modalnya dan mengumpulkan suara sampai 8 persen[21].
Kekuatan formal tersebut semakin kuat ketika ditambah dengan “tradisi” presiden bank selalu warga
amerika Serikat yang ditunjuk oleh pemerintahan Amerika Serikat sendiri, dan lokasi bank selalu berada
di Wagshinton DC, hal ini memberikan akses yang mudah kepada Departemen Keuangan Amerik Serikat
dan membantu memastikan bahwa negara tersebut mempertanggung jawabkan seperempat dari
manajemen senior dan staf profesional[22]. Dewan Keamanan bukan satu-satunya lembaga global yang
menghadapi bahaya kehilangan legitimasi karena kurangnya legitimasi demokratis. IMF dan World
Bank nyaris berada dalam situasi yang sama. Salah satu anomali paling aneh di jaman kita adalah praktek
bahwa tak satu pun negara Asia dapat memimpin entah itu IMF atau Bank Dunia, dua lembaga ekonomi
global terdepan. Ada suatu ‘peraturan tidak tertulis tapi kuat terasakan sejak pendirian dua lembaga
keuangan ini setelah perang dunia kedua adalah bahwa kepada IMF hendaknya dari Eropa Barat dan
Ketua Bank Dunia adalah orang AS. Sungguh peratuan ini adalah suatu hal yang memalukan baik bagi
IMF maupun Bank Dunia.[23]
Hal tersebutlah yang membuat ragu masyarakat dunia terhadap akan “rasa demokratis “ yang dimiliki
oleh lembaga-lembaga tersebut. Sehingga banyak kritikan terhadap perusahaan-perusahaan TNC atas
perjanjian yang dibuat dengan negara yang ditempati, maupun mengenai kebijakan lembaga tersebut
sendiri.
C. Kembali Memperkuat Negara
Globalisasi tidak dapat ditolak dan terhindarkan dari kehidupan manusia di jaman postmoderenisme saat ini. Dunia telah memperlihatkan kepada kita begitu suksesnya globalisasi dalam
mempengaruhi kedidupan umat manusia. Globalisasi ekonomi, informasi dan budaya telah
mempengaruhi berbagai kehidupan dunia masa kini, termasuk dunia kehidupan urban.[24]Globalisasi
sukses dalam mempengaruhi pola hidup dan pola berpikir umat manusia, tetapi yang begitu krusial
adalah kemiskinan dan ketimpangan. Hadirnya globalisasi dan dikuti oleh ideologi demokrasi liberal
memberikan tugas berat bagi semua negara yang ada didunia, terutama negara-negara yang menganut
sistem demokrasi liberal. Karena secara otomatis, sistem yang diterapkan pastinya diharapkan dapat
membangun negara menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Tidak ada lagi jalan bagi negara-negara dunia untuk menolak globalisasi, karena dengan derasnya
arus globalisasi, pengaruhnya telah berhasil masuk ke sendi-sendi kehidupan umat manusia sampai ke
pelosok-pelosok dunia. Negara-negara sebelumnya sangat kuat memperjuangkan ideologi sosialis –
komunis telah dikalahkan oleh demokrasi liberal, kemungkinan besar karena pengaruh globalisasi dan
ketidakmampuan sistem sosialis komunis dalam memenuhi harapan rakyatnya. Seiring derasnya arus
globalisasi, negara mendapat tugas berat yaitu bagaimana negara berperan besar dalam
mensejahterakan rakyatnya. Logikanya, ketika masyarakat tidak sejahtera, dimana-mana masyarakat
terjangkit kelaparan dan selalu meras ternacam, pastinya negara yang disalahkan. Negara yang tidak
sanggup untuk menghindarkan rakyatnya dari hal-hal yang menakutkan bagi warga negaranya tergolong
pemerintah lemah.
Untuk memahami lebih lanjut terkait dengan bagaimana mengembalikan peran negara, penulis
berkiblat ke orderan Francis Fukuyama, karena Budi Winarno hanya menyajikan sedikit dari sekian
banyak bagaimana mempertahankan otonomi negara. “ Menurut Held, kedaulatan ini harus dibedakan
dengan otonomi yang merujuk pada kemampuan para pemimpin dan agen negara untuk mencari
pilihan-pilihan kebijakan mereka sendiri tanpa terpaksa mengambil bentuk kalobarasi dan kerjasama
internasional.[25] Jadi, penekanan dari Held adalah pemimpin yang bijak, dimana dalam mengambil
keputusan tidak terdapat kontradiktif dengan kepentingan warga negaranya. Selain itu tidak ada paksaan
terhadap suatu pemimpin, dalam hal ini pemimpin negara dalam mengambil keputusan yang
menyangkut kerjasama dengan negara lain dan tidak adanya intervensi dari negara lain ketika waktu
pengambilan keputusan, misalnya di lembaga-lembaga supranasional.
Untuk lebih memahami bagaimana negara harus diperkuat maka terdapat beberapa hal yang perlu
di perhatikan dan tentunya menyangkut masyarakat. Bagi Fukuyama, aksi-aksi terorisme, penyebaran
penyakit, bertahannya tingkat kemiskinan, serta merebaknya perang sipil bukanlah hal-ikhwal yang
berdiri sendiri. Peristiwa-peristiwa itu merupakann gejala politik dimana negara sebagai institusi
terpenting dalam masyrakat gagal menjalankan perannya.[26] Menurut Fukuyama, beberapa gejala
kegagalan diatas telah menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia pada awal abad ke- 21. Karena
dalam negara demokrasi liberal peran negara sangat butuhkan. Sebagaimana keyakinan Ludwiq, Negara
merupakan sebuah keharusan mutlak,karena tugas paling penting diemban oleh negara: perlindungan
tidak hanya terhadap hak milik pribadi, tetapi juga terhadap perdamaian , karena tanpa perdamaian,
keuntungan penuh hak milik pribadi tidak dapat di tuai.[27]
Fukuyama yang sebelumnya berkiblat pada meminimalisir peran negara sejak paska perang dingin
telah meninjau kembali pemikirannya yang pernah ditulis dalam “The end of history and the last
man” yaitu minimnya peran negara. Tetapi dalam bukunya “Memperkuat Negara”, negara harus
berperan besar dalam sendi-sendi kehidupan umat manusia demi kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat. Fukuyama berpendapat bahwa sudah saatnya kita mempekuat peran negara, lebih jauh lagi
dia berkata pandangan kaum pro-pasar pada 1980-an mungkin agak simplistis. Waktu itu, sebagai reaksi
atas merebaknya berbagai bentuk statisme, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara
sedang berkembang kaum liberal menyodorkan alternatif deregulasi, debirokritisasi, rpivatisasi dan
semacamnya. Alternatif semacam ini menjadi penggerak perubahan ekonomi, yaitu dengan memangkas
intervensi ekonomi negara ke tingkat yang minimal.
Alternatif diatas, sebenarnya membawa hasil-hasil yang menggembirakan:pertumbuhan ekonomi,
pengurngan kemiskinan, dan integrasi pasar. Namun dalam beberapa hal, ia justru membawa
problematika baru: berkurangnya peran negara dalam ekonomi juga terkait dengan merosotnya
kapasitas negara untuk melakukan fungsinya yang memang diperlukan. Hal tersebutlah yang
mengakibatkan gejala kegagalan negara, dengan akibat yang menyedihkan.[28] Peran negara harus
dipahami dalam dua dimensi, yaitu cakupan (scope) maupun kekuatan atas kapasitas(strength). Suatu
negara yang kuat ditandai oleh kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkan
ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang berlebihan
Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Jika
terjadi pelanggaran atau penentangan terhadap otoritas ini, ia mampu mengatasinya, kalau perlu dengan
alat-alat pemaksa yang secara sah dikuasainya. Hanya dengan kekuatan semacam inilah negara mampu
menjaga keamanan, ketertiban, kebebasan, serta – jika bersifat intervensionis – mampun mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Jika negara tidak mampu menjaga otoritas semcam ini, ia disebut
sebagai negara lemah. Ia mengajak kita untuk lebih banyak memperhatikan masalah penguatan
kapasitas dan otoritas negara dalam melakukan perannya. Di abad ke 20, banyak negara di Asia, Afrika,
dan Amerika Latin melakukan ekspansi kegiatan ekonomi besar-besaran, tanpa daya dukung
kelembagaan yang memadai.[29] Mereka sangat ambisius ingin mengatur begitu banyak aspek
kehidupan, tetapi kemampuan pemerintahan mereka begitu lemah, baik ketidakmampuan administratif
maupun karena perilaku korupsi dan semacamnya. Akibatnya adalah kegagalan dan bencana kemanusian
dan menyedihkan. Kebebasan dan kesejahteraan ekonomi tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara
yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Sebaliknya negara yang kuat tanpa menjamin
kebebasan dan kesejahteraan tidak akan mampu bertahan lama.[30]
D. Visi demokrasi kosmopolitan[31]
Dengan berbagai kontradiksi yang diakibatkan oleh aktor-aktor yang berkepentingan dalam
memanpaatkan derasnya laju globalisasi, Budi Winarno menawarkan demokrasi kosmopolitan. Beliau
meyakini bahwa demokrasi masih bisa diandalkan sebagai suatu sistem dan juga mekanisme
pemerintahan yang menjamin prinsip akuntabilitas selagi ia bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Bagaimana mendemokratisasikan lembaga-lembaga kekuasaan global dan pada waktu bersamaan
mencari jalan alternatif atas paradigma dominan, neoliberal. Gagasan demokrasi kosmopolitan tidak bisa
dilepaskan dari konteks “the reconfiguration of politic power”. Demokrasi kosmopolitan dipahami
sebagai demokrasi yang memperhitungkan interlocking proses-proses politik dan ekonomi pada level
lokal, nasional, dan global dan akan terjadi demokratisasi ganda (double-democratized). Demokrasi akan
diperkuat di tingkat nasional dan organisasi-organisasi internsional, baik melalui masyarakat sipil
maupun melalui wakil-wakilnya.
Demokrasi kosmopolitan ini disokong oleh keadailan distributif (distributive justice). Ini diberikan untuk
memberikan legitimasi terhadap lembaga-lembaga governance global dan tatanan dunia pada saat
negara menghadapkan penekanan kembali. Agar model demokrasi kosmopolitan ini dapat dilaksanakan,
terdapat beberapa proses yang harus berlangsung. Pertama, langsung diambil dari Held, hukum publik
demokratis ini perlu ditunjang oleh struktur hukum internasional yang ia sebu sebagai hukum
demokratis kosmopolitan. Kedua, model demokrasi kosmopolitan akan mengusahakan terciptanya
legistlatif dan eksekutif transnasional yang efektif pada tingkat regional dan global, yang terkait oleh dan
syarat-syarat hukum demokratis pokok.
Penutup
Paska perang dingin globalisasi tidak dapat dibendung lagi karena seiring dengan menangnya
demokrasi liberal. Visi dari demokrasi liberal yaitu bagaimana semua masyarakat bisa menikmati yang
namanya kebebasan dan persamaan. Tinggal sedikit negara-negara di dunia yang tidak menganut sistem
demokrasi liberal. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu suksesnya demokrasi liberal telah dihadapkan
pada permasalahan yang krusial bagi umat manusia yaitu kemiskinan dan ketimpangan. Ketimpangan
yang terjadi baik dalam negara maupun lembaga-lembaga global menjadi tantangan berat bagi sistem
demokrasi liberal. Dimana demokrasi liberal mengagung-agungkan persamaan tetapi banyak dari
penganutnya tidak mengimplementasikan demokrasi secara murni. Berangkat dari itu, negara-negara
yang berada di dunia ketika tidak banyak berkutip atas bungkangan yang dihadapinya ketika berhadapan
dengan kekuatan besar.
Kekuasaan negara harus di formulasikan kembali guna menanggulangi hal-hal yang menyebabkan
ketimpangan dan kemiskinan. Selain itu demokrasi kosmopolitan, walaupun sesuatu yang utopis, tetapi
harus diperjuangkan demi kemaslahatan manusia dimuka bumi. Karena tanpa realisasi demokrasi
kosmopolitan maka secara tidak langsung akan menghasilkan implikasi yang lama kelamaan bertabah
besar pada sendi-sendi kehidupan umat manusia.
*Tugas matakuliah Internasionaldan Domestik semester V jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Malang bersamadosenMrs. Ayusia Sabhita Kusuma, S.IP, M. Soc. Sc
[1] Kelompok I: Muhammad Jusrianto (201010360311006); Okky Fitranada (2010103603011), Anas
Prayogo (201010360311013; dan Jefri Indo (201010360311007). Penulis Muh. Jusrianto.
[2] Lihat, Rizal Mallarangeng, 2010, “Dari Langit”, Jakarta: Freedom Instute, Hal.,394.
[3] Lihat, Budi Winarno, 2011, “Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS, Hal., 134.
[4] Untuk lebih memahami kemenangan demorasi liberal dari sosialis komunis dapat di jumpai dalam,
Francis Fukuyama, 2011, “The End Of History and The Last Man”, Yogyakarta:CV.QALAM, Hal., 439 – 495.
[5]Op.Cit, Hal.,126.
[6] Macam-macam teori demokrasi: Teori elit demokrasi (elit governent dan elit counter), teori pluralis,
teori marxis, perspektif kelas, diktator proletariat dan teori empiris demokrasi.
[7] Didapatkan dari kuliah “Demokrasi dan Civil Society” yang disampaikan oleh Bapak Gonda Yumitro.
[8] Baca lebih lanjut, Francis Fukuyama, “The End Of History and The Last Man”, Yogyakarta:CV.QALAM,
Hal., 439 – 495.
[9] Dennis M. Rosseau and Andrea Rivero, 2003. “Democracy, A Way of Organizing Knowledge
Economy”, Journal of management inquiry, Vol.12.No.2 June 2003., Hal.115. Dalam, Budi Winarno, 2011,
“Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS, Hal., 123.
[10] Kehendak tertinggi adalah kehendak untuk bebas oleh hegel. Baca lebih lanjut, G.W.F. Hegel, 2012,
“Filsafat Sejarah”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hal., 1-152.
[11]Op.Cit, Hal., 122-144.
[12] Isiah Berlin sangat percaya pada fitrah manusia yaitu kekuatan berfikir.
[13]Op.Cit,Hal.,136-137.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16]Ibid, hal., 127
[17] ibid
[18] Mansour Fakih.neoliberalisme dan globalisasi. Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004
diakses dari http://bos.fkip.uns.ac.id/pub/onno/cd al manaar digilib/bahan/8.%20EKONOMI
%20POLITIK/3.%20Neoliberalisme%20dan%20Globalisasi.pdf pada 08-11-2012 16:32 WIB
[19] ibid
[20] David Korten, 2002. The post Corporate World : Life After Capitalism The Post Corporate World:
(kehidupansetelah kapitalisme), alih bahasa A. Rahman Zainudin, Jakarta: Yayasan Obar, hal74 dalam ,
Winarno, Op, cit ., hal137
[21] Walden Bello. Deglobalization : Ideas For a New World Economy (de-globalisasi : gagasan-gagasan
Ekonomi Baru). Januari 2004.Pondok Edukasi.Bantul.hal: 84
[22]Global Capitalism: Can It Be Made to Work Better, 6 November 2000. business Week. Hal 42-43
dalam ibid.
[23] Lihat, Kishore Mahbubani, 2011, “ Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global Ke Timur
Yang Tak Terelakkan”, Jakarta: Kompas, Hal.,300.
[24] Lihat, Yasraf Amir Piliang, 2011, “Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan”¸
Bandung: Matahari, Hal., 207.
[25] Lihat, Budi Winarno, 2011, “Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS, Hal., 127.
[26] Lihat, Rizal Mallarangeng, 2010, “Dari Langit”, Jakarta: Freedom Instute, Hal.,210.
[27] Lihat, Ludwiq Von Misses, 2011, “Menemukan Kembali Liberalisme”, Jakarta: Freedom Institute dan
FNS, Hal., 46.
[28]Op.Cit
[29] Ibid, Hal., 211-213.
[30] Ibid.
Referensi
Buku:
Bello, Walden. “Deglobalization:Ideas For a New World Economy (de-globalisasi : gagasan-gagasan
Ekonomi Baru)”.Bantul:Pondok Edukasi. 2004.
Budi Winarno, Budi. Isu-Isu Global Kontemporer”. Yogyakarta: CAPS.2011.
Fukuyama, Francis. The End Of History and The Last Man, Yogyakarta:CV.QALAM. 2011.
Hegel, G.W.F. “Filsafat Sejarah”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Mallarangeng, Rizal. Dari Langit. Jakarta: Freedom Instute.2010.
Misses, Ludwiq Von. “Menemukan Kembali Liberalisme”, Jakarta: Freedom Institute dan FNS. 2011.
Mahbubani, Kishore.“Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global Ke Timur Yang Tak
Terelakkan”, Jakarta: Kompas. 2011.
Piliang, Yasraf Amir.“Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan”¸ Bandung:
Matahari. 2011.
Internet:
Fakih, Mansour. “neoliberalisme dan globalisasi. Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär
Edisi I/2004. Diakses dari http://bos.fkip.uns.ac.id/pub/onno/cd al manaar digilib/bahan/8.%20EKONOM
I%20POLITIK/3.%20Neoliberalisme%20dan%20Globalisasi.pdf (Diakses pada pada 8 November 2012 pkl.
16:32 WIB)
Contoh Kasus Dalam Etika Bisnis
PT Freeport Indonesia
Ada pernyataan kuat bahwa telah terjadi distori etika dan pelanggaran kemanusiaan yang hebat di
Papua. Martabat manusia yang seharusnya dijunjung tinggi, peradaban dan kebudayaan sampai mata
rantai penghidupan jelas dilanggar. Itu adalah fakta keteledoran pemerintah yang sangat berat karena
selama ini bersikap underestimate kepada rakyat Papua. Gagasan yang menyatakan mendapatkan
kesejahteraan dengan intensifikasi nyatanya gagal.
Ironisnya, dua kali pekerja Freeport melakukan aksi mogok kerja sejak Juli untuk menuntut hak
normatifnya soal diskriminasi gaji, namun dua kali pula harus beradu otot. Keuntungan ekonomi yang
dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan
Perusahaan multinasional (MNC) adalah sebuah perusahaan internasional atau transnasional yang
berkantor pusat di satu negara tetapi memiliki kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang.
Perusahaan mengglobalisasikan kegiatan mereka baik untuk memasok pasar dalam negeri-negara
mereka , dan untuk melayani pasar luar negeri secara langsung. Menjaga kegiatan asing dalam struktur
perusahaan memungkinkan perusahaan menghindari biaya yang melekat oleh perantara, dengan entitas
yang terpisah sambil memanfaatkan pengetahuan perusahaan mereka sendiri. Umumnya, MNC dapat
dikategorikan sebagai badan hukum (legal person) yang kedudukannya setara dengan warga negara
(natural person) di tempat MNC didirikan atau berdomisili usaha. Kebanyakan MNC merupakan milik
negara-negara maju yang ditempatkan di negara-negara berkembang. Alasan yang melatar belakangi hal
tersebut adalah besarnya kemungkinan yang dimiliki MNC untuk menghasilkan barang-barang produksi
dengan harga yang lebih murah. Hal ini dikarenakan adanya keuntungan lokasi (location advantages).
Seperti yang diketahui banyak orang bahwa dengan membuka usaha di negara berkembang, maka
perusahaan tersebut akan mendapatkan tenaga kerja yang murah, aturan-aturan perpajakan yang ringan
serta aturan-aturan hukum lain yang cenderung lemah ikatannya. Perusahaan MNC sendiri yang sudah
memasuki suatu Negara akan memberikan efek yang ganda kepada setiap Negara host tersebut, di satu
sisi ada dampak postif yang diberikan, namun di sisi lain MNC juga memberikan dampak buruk kepada
Negara host. Sisi positif yang bias di tawarkan oleh MNC adalah MNC itu merupakan perusahaan yang
berhasil dan memiliki bermacam-macam keunggulan kompetitif, jadi mereka membawa hal-hal positif
didasarkan kepada apa yang dibawanya ke Negara host seperti membawa teknologi, produk yang
dihasilkannya, capital financial, dan teknik management canggih yang tidak dimiliki oleh Negara-negara
host. MNC ini bisa merangsang pertumbuhan perusahaan atau UKM(Usaha Kecil Menengah) yang lebih
kecil di negara host semisal ketika ada MNC yang bergerak dibidang produksi mobil maka secara
langsung perusahaan tersebut membutuhkan pasokan baja, karet untuk memproduksi ban mobilnya,
dengan begitu mereka akan membeli kebutuhan tersebut kenegara house country, perdagangan semakin
bergairah, artinya dilain sisi MNC ini menghidupkan perusahaan atau UKM dengan dibelinya produk yang
dihasilkan oleh mereka, manfaat lainnya adalah perekrutan buruh yang dilakukan secara missal oleh
MNC dan juga perusahaan kecil yang menjual produk terhadap MNC itu turut serta mengurangi
pengangguran ydi house country.
Terciptanya lapangan kerja mempunyai “spilt over effect” terhadap berbagai sector, seperti bisa
mereduksi masalah penganguran, meningkatkan gairah daya beli masyarakat bahkan mengurangi
kriminalitas yang disebabkan oleh orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan, dilain sisi juga MNC ini
turut menyumbang pendapatan disuatu Negara yang berasal dari pajak yang mereka berika kepada
Negara host, akan lebih bagus lagu, sumbangan MNC akan lebih besar apabila MNC yang beroperasi di
Negara host membangun usaha baru, bukan membeli perusahaan local yang telah ada. Karena Negara
host akan mendapatkan tambahan kapasitas prosuksi, perekrutan buruh yang lebih pastinya akan
mentumbangkan kegairahan daya beli masyarakat dan pajak yang diterima oleh pemerintah.
Sedangkan nilai-nilai negatif yang dibawa oleh MNC ke Negara host adalah sebagaimana yang kita
ketahui Munculnya MNC dapat menjadi ancaman bagi kesejahteraan negara dan rakyat, diantaranya
adalah ancaman terhadap perdamaian dan keamanan global, kemiskinan gobal, lingkungan global dan
migrasi masal. Bahkan MNC turut andil dalam menciptakan kesenjangan sosial yang semakin melebar
antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini sungguh sangat disayangkan, yang kedua adalah ketika sebuah
negara merasa telah dirugikan oleh keberadaan MNC. Di satu sisi tentunya negara tersebut ingin
menuntut adanya tanggung jawab MNC atas kerugian yang disebabkan olehnya. Kerugian-kerugian
tersebut umumnya dialami oleh negara-negara berkembang dimana MNC tersebut berada. Masalah
yang muncul antara lain, adanya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh proses produksi, eksploitasi
besar-besaran terhadap kaum buruh, pelanggaran hak konsumen, hingga merebaknya korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Selain itu, perkembangan MNC juga semakin menipiskan peranan dan kebijakan
negara berkaitan dengan hukum nasional terhadap MNC. Namun di sisi lain, tuntutan tersebut baru
dapat dipenuhi apabila posisi MNC telah disejajarkan dengan negara sebagai subyek hukum
internasional. Hal inilah yang sampai sekarang berusaha untuk dihindari dan tetap menjadi polemik
dalam hukum internasional bahwa MNC hingga saat ini masih belum memiliki international legal
personality.
Lebih lanjut, negara-negara berkembang menghadapi sebuah situasi yang cukup sulit. Mereka bukanlah
negara maju yang mampu mengembangkan perekonomiannya dengan mudah. Mudah melakukan
investasi, mudah membuka lapangan pekerjaan, mudah menjalankan kebijakan ekonomi yang ketat dan
kemudahan-kemudahan lainnya. Negara-negara berkembang dihadapkan pada suatu pilihan apakah
mereka akan mengembangkan perekonomiannya ataukah mereka harus melindungi negara dan
rakyatnya. Karena bagaimanapun kedua hal tersebut sulit untuk dicapai dalam waktu yang bersamaan.
Parahnya lagi, negara-negara berkembang justru berlomba-lomba untuk meringankan kebijakankebijakan hukum nasional negaranya guna menarik sebanyak-banyaknya investasi asing, dalam hal ini
MNC, demi kemajuan perekonomiannya tanpa melakukan pertimbangan matang terhadap akibat negatif
yang mungkin akan mereka dapatkan. Dengan begitu, tampaknya hukum nasional tidak cukup kuat
untuk mengikat MNC dalam memberikan pertanggungjawabannya. Lalu hukum internasional lah yang
menjadi harapan mereka selanjutnya. Tetapi masalah yang kemudian muncul adalah hukum
internasional tidak dapat diterapkan bila hukum nasional sebuah negara tidak mendukung. Artinya,
bagaimanapun suatu hukum internasional dibuat, tidak akan dapat diterapkan bila tidak ada hukum
nasional yang telah dibuat dan dijalankan di negara tersebut. Karena toh hukum internasional yang ada
tidak secara jelas menyebutkan MNC sebagai subyek hukum internasional, melainkan masih merupakan
obyek hukum internasional.
Lebih jelasnya, walaupun subyek hukum internasional telah berkembang dan telah meluas cakupannya
meliputi aktor-aktor non-negara (individu, organisasi internasional, dan NGO), namun keberadaan MNC
mash belum termasuk di dalamnya. Dengan tidak termasuknya MNC sebagai subyek hukum
internasional, maka perjanjian maupun traktat internasional yang ada dan telah dibuat sebelumnya tidak
bisa dijadikan dasar yang kuat untuk mengikat dan menuntut pertanggungjawaban MNC pada negaranegara tertentu. Namun pertanggungjawaban tersebut sebenarnya bukanlah hal yang tidak mungkin
untuk diperjuangkan. Karena tidak semua MNC lepas tangan begitu saja terhadap negara yang
ditempatinya. Cara yang dapat dilakukan adalah melalui pembuatan perjanjian atau hukum internasional
yang melibatkan secara aktif berbagai pihak terkait meliputi negara yang bersangkutan serta MNC
dimana pihak-pihak tersebut harus ikut terjun langsung dalam proses perumusan serta
pengimplementasian perjanjian atau hukum internasional yang disepakati tersebut. Tetapi cara ini akan
mengarah pada kondisi yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini, yaitu dengan melibatkan MNC
dalam proses pembuatan hukum internasional serta membuat MNC memiliki hak dan kewajiban, maka
secara tidak langsung mengakui kesetaraan MNC dengan negara-negara di dunia sebagai subyek hukum
internasional. Sungguh merupakan situasi yang sangat sulit dan membingungkan.
Cara terbaik yang mungkin dapat diambil saat ini menurut saya adalah dengan menambah kesadaran
pemerintah di negara-negara berkembang bahwa demi meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
negara bukan berarti harus mengorbankan sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya alam maupun
sumber daya manusia yang merupakan aset penting bagi keberlangsungan hidup negara. Sehingga
hukum nasional yang dibuat bukan bertujuan untuk mempermudah masuknya MNC-MNC ke dalam
negara, melainkan bertujuan untuk melindungi negara tersebut dari campur tangan pihak-pihak asing di
negaranya.
http://acakanblog.blogspot.co.id/2011/05/mnc-dan-pengaruhnya-bagi-negara.html
GLOBALISASI DEMOKRASI"
"Globalization Of Democrazy"
(Mengurai Jalan Pemikiran Arsalan Ghorbani Sheikneshin)
*Yoyarib Mau
Jalan pemikiran Arsalan sebagai seorang Profesor dalam Ilmu Politik dari Tehran Tarbiat Moalem
University memaparkan jalan pemikirannya mengenai Globalisasi demokrasi yang menjadi demensi
penting sebagai “kebutuhan umum” atau paham umum dalam globalisasi demokrasi yang dibutuhkan
sebuah system politik untuk menerapkan hak asasi manusia.
Aliaran Globalisasi menyebabkan adegan perubahan pemikiran dalam politik, teknologi, budaya, dan
urusan sosial yang diputuskan oleh pasar dunia di akhir abad 20.
Ditentukan dikendalikan instrument baru dalam komunikasi dan teknologi baru.
Keadaan ini membuat manusia seakan keluar dari lingkungan, industri, hasil temuan ilmiahnya, sehingga
mendorong kecenderungan masyarakat untuk meningkatkan kerjasama dan mengembangkan
kebebasan.
Perubahan ini terjadi sangat srimultan dalam semua konsep atau ideology antara lain; kekuasaan,
wewenang, dari rasa kebangsaan, keamanan, militer, damai dan perang semuanya memberikan tempat
bagi konsep-konsep ini guna menginginkan kesejahteraan, lingkuangan hidup, hak asasi manusia,
perdagangan, peran masyarakat sipil dunia, ekonomi, budaya dan pembangunan demokrasi.
Keadaan ideal yang digambarkan Arsalan Ghorbani di atas merupakan tujuan utama dari globalisasi
demokrasi, globalisasi demokrasi menyebabkan hadirnya kebijakan luar negeri dari tiap negara keadaan
ini menyebabkan lemahnya kekuasaan untuk melihat kekuasaan lain yang hadir sebagai pemain
internasional yang berdampak terhadap struktur dan arus hubungan Internasional.
Globalisasi di manfaatkan oleh pemain tertentu untuk melakukan percobaan untuk mengakhiri sistem
lama dari distribusi kekuasaan di dunia. Menyebabkan banyaknya permintaan untuk kemajuan serta
kebergantungan dan hubungan bilateral antar negara serta pembagian kekayaan dan kekuasaan secara
adil.
Perubahan baru dari hubungan antar bangsa memberikan gambaran bahwa kekuasaan mulai berkurang
dari bangsa tersebut dan menggambarkan akan kebergantungan terhadap orang lain semakin meningkat
dalam sistem Internasioanal. Keadaan ini sepertinya menjelaskan bahwa kemajuan dan kemunduran
sebuah bangsa sangat ditentukan oleh bangsa lain sehingga perlu membuka diri untuk membangun
hubungan dan aktifitas dengan bangsa lain.
Membangun hubungan dengan negara lain melalui hubungan bilateral atau multi lateral harus di lakukan
dalam bentuk kerjasama ekonomi dalam batas geografis tertentu, seperti yang dilakukan Indonesia saat
ini bergabung dalam ACFTA, ASEAN, OPEC dan APEC, sedangkan di belahan Eropa menggabungkan diri
dalam Uni Eropa dengan satu mata uang yakni EURO, atau ketika negara lain melakukan kunjungan atau
perjalanan ke luar negeri khususnya ke negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa tidak perlu lagi
mengurus visa di setiap negara anggota cukup sekali saja.
Dalam aspek ekonomi proses globalisasi sangat ditentukan oleh besarnya modal, faktor produksi serta
bentuk pekerjaan yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan informasi yang tidak sama.
Keadaan ini menyebabkan kesenjangan serta membutuhkan intervensi dari negara lain hal inilah yang
menjadi kritik dan analisa dari Arsalan Ghorbani, karena kondisi inilah menjadi arena keberuntungan
bagi MNC (Multi National Coorporation) atau TNC (Trade National Coorporation) melakukan investasi di
mana-mana seperti Exxon Mobil, General Motor, Nike, Reebok, Adidas dan Louis Vuiton, Piere Cardien,
Mc Donald, Carrefour, Lote Mart, Black Berry dan berbagai merek terkenal yang merepresentasikan
perusahaan asing yang mendominasi dunia, sehingga membentuk sebuah persepsi bahwa yang
dikategorikan sejahtera adalah mereka yang mengkonsumsi dan mengenakan merek-merek tersebut.
Keadaan ini menyebabkan sebuah putaran global yang menyebabkan perubahan di akhir decade 20-an
dan gambaran keadaan dari proses globalisasi itu sendiri. Gambaran umum globalisasi ini merupakan
berbagai fenomena dari dominasi interaksi dan aktifitas dalam aspek kehidupan global dalam bidang
ekonomi, sosial, politik, teknologi, militer, lingkungan, dan budaya.
Arsalan mengungkapkan suka atau tidak suka faktor utama dari globalisasi adalah sesuatu yang tidak
dapat di bantah tetapi disukai oleh semua bangsa yakni demokrasi, dan aspek lain dari globalisasi yakni
mendunianya demokrasi sebagai sebuah wajah yang menantang.
Kondisi ini membuat kita bertanya apakah kita menolak globalisasi demokrasi atau menerimanya dengan
berbagai catatan ? Arsalan Ghorbani menawarkan dua argument utama terhadap globalisasi demokrasi.
pertama ; dimana karakteristik perubahan kepemimpinan terhadap globalisasi demokrasi budaya yang
sangat prinsip dari globalisasi demokrasi, demokrasi liberal barat sebagai budya yang lebih dominan,
sementara harus berhadapan dengan nilai budaya di negara-negara non-barat atau negara-negara dunia
ketiga.
Demokrasi Liberal Barat (Negara Maju) Vs Budaya Non-Barat (Negara Dunia Ketiga)
Demokrasi Liberal Barat yang berkembang pesat di Eropa, dan telah mengalami fase globalisasi serta
mengalami peradaban yang cukup maju pasca perang dunia ke II, dan ideologi kebebasan dalam
menjalankan hidup dan melakukan aktivitas ekonominya indivudu sangat di berikan keleluasan yang
cukup untuk menjalankan usahanya, pemerintah hanya berperan sebagai ”penjaga malam” peran negara
dibutuhkan untuk memberikan rasa aman bagi para individu.
Namun dalam perjalanan waktu gagasan itu berubah menjadi pemerintah perlu bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyatnya dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. untuk
mewujudkan hal tersebut maka di butuhkan konsep untuk terwujudkannya kesejahteraan yakni the rule
of law. Syarat-syarat dasar untuk terselengaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law
ialah (Miriam Budiardjo – Gramedia - 2008):
1.Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus
menentukan pula cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2.Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals)
3.Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.
4.Pendidikan Kewarganegaraan (civil education)
Hal- hal diatas menjadi ukuran dalam pelaksanaan demokrasi di Eropa hal ini juga seperti-nya harus
menjadi bagian dari globalisasi demokrasi yang akan dan harus menjadi bagian dari kehidupan negara
lain seperti apa yang di katakan Anthony Gidens bahwa; Globalisasi meninggalkan negara-bangsa dalam
arti bahwa kekuatan-kekuatan yang dulu dimiliki oleh negara, termasuk yang mendasari manejemen
ekonomi keynesian telah di perlemah, tetapi globalisasi juga ”menekan ke bawah” ia menciptakan
tuntutan-tuntutan dan kesempatan –kesempatan baru untuk meregenerasi identitas lokal (The Third
Way – Gramedia – 2000).
Isu ini menyebabkan perbedaan yang sangat prinsipil dari keadaan negara-negara ketiga atau negaranegara non-barat seperti di Timur Tengah, Asia, Afrika serta Amerika Latin, Budaya dari belahan wilayah
dari negara-negara non-barat memiliki nilai identitas yang kuat dan merupakan bagaian dari harga diri
dan martabat dirinya, sebagaimana identitas di Timur Tengah yang dipengaruhi oleh budaya Arab dan
Islam yang kental, dimana Ulama memiliki kekuatan kekuasaan yang cukup kental ingind i gantikan
secara langsung hal ini akan menimbulkan konflik, keberadaan ini yang membenarkan globalisasi
demokrasi mengalami hambatan seperti tesisnya Samuel Huntington mengenai ”benturan peradaban
antara Barat dan Islam”.
Karena di lain pihak identitas dari negar-negara non barat akan melakukan proteksi terhadap nilai-nilai
budayanya sehingga menurut Arsalan dibutuhkan proses integrasi dari pemikiran globalisasi demokrasi
yang utama untuk dikonsolidasikan dengan ideentitas lokal sehingga mendapatkan parameter bagi
budaya untuk sebuah perbedaan atau pengecualian dari globalisasi demokrasi sebagai sebuah
konsekuensi. Dan hal inipula yang terjadi di beberapa negara eropa yang menginginkan perlakuan khusus
yang otonom dari sebuah entitas nasional seperti Quebec melepaskan diri dari Canada.
Globalisasi Demokrasi dan Hak Azasi Manusia
Isu kedua yang menjadi bahan kajian dari Arsalan Ghorbani adalah globalisasi demkorasi dan hak sasi
manusia. Keberadaan konsep ini merupakan hak asasi manusia yang menekankan kebergantungan citra
antara manusia, hal in merupakan arti dari partisipasi dari seluruh keberadaan manusia. Hal inilah yang
mendorong didirikannya PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) sebagi prinsip yang fundamental dari
demokrasi.
Menjadi permasalahan adalah dalam menjalankan kepedulian social dari semangat yang prinsip dari
demokrasi di bentuknya lembaga-lembaga social antar bangsa untuk melakukan pengentasan
kemiskinan, kelaparan dan menyelesaikan pertikaian antar sesama manusia di berbagai belahan dunia
sehingga adanya lembaga seperti WHO, UNICEF, UNDP dan lembaga donor lainya yang melakukan tugas
kemanusiaan.
Sejatinya keberadaan lembaga-lembaga ini tidak terlepas dari sikap caritas atau filantropi dari berbagai
perusahaan MNC atau TNC yang cukup besar penghasilannya dan menyisihkan CSR (Coorperate Social
Responsibility) untuk lembaga-lembaga bentukan ini. Pemberian bantuan terkadang tidak selamnya
tulus untuk kemanusiaan tetapi memberi dengan berbagai kepentingan yakni lembaga-lembaga donor
harus menjamin agar perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dapat melakukan investasi di
negara mana saja yang mereka ingin untuk melebarkan usahanya.
Kondisi ini seperti yang Indonesia alami saat ini dana PNPM merupakan bantuan World Bank untuk
mengentaskan keinginan dan mewujudkan tujuan pembangunan dunia MDG’s (Milenium Development
Goal’s) namun seturut dengan bantuan tersebut keinginan perusahaan pendonor yang berasal dari
negara maju menuntut agar investasinya di Indonesia tetap di jamin sebagaimana keberadaan Freeport
dan Exxon Mobil yang tetap dilindungi walaupun menguras alam dan masyarakat di sekitar tempat
pertambangan tetap miskin dan kelaparan, dengan demikian globalisasi demoikrasi dan HAM (Hak Azasi
Manusia) telah di bajak oleh kapitalis dan di jadikan sebagai topeng untuk meraup keuntungan
http://kannutuan.blogspot.co.id/2010/10/globalisasi-demokrasi.html
GLOBALISASI DAN ISU DEMOKRASI: MEMFORMULASIKAN PERAN NEGARA MENJADI "CENTRIC ACTOR"
Oleh,[1]
Abstrak
Demokrasi liberal telah menang dari penantangnya “communism ideology”.Diera milenium
dampaknegatif globalisasi terhadap sendi-sendi kehidupan umat manusia menjadikan demokrasi liberal
di kecam dari berbagai penjuru. Kecaman itu datang karena seiring derasnya arus globalisasi, juga
komersialisasi semakin membabi buta, khususnya di negara dunia ketiga. Kalaborasi antara globalisasi,
komersialisasi dan kapitalisme semakin mengikis prinsip otonomi negara sehingga skeptisme terhadap
keunggulan demokrasi liberal dalam mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat di seantaro dunia
pun bermunculan di permukaan, khususnya dari Prof. Budi Winarno. Terkikisnya otoritas negara diikuti
dengan krisis demokrasimenjadi kausal bagi Budi Winarno menawarkan demokrasi kosmopolitan (visi
demokrasi kosmopolitan) sebagai solusi walaupun itu utopis.
Key Word
Demokrasi liberal, globalisasi dan krisis demokrasi.
Pendahuluan
Sangat kompleks ketika membahas demokrasi liberal karena pastinya tidak lepas dengan
kapitalisme dan komersialisasi. Selain produktivitas ekonomi, kapitalisme juga sejalan dengan kebebasan
politik (demokrasi). “Semua demokrasi,” tulis Peter Berger, “adalah kapitalis; tidak ada demokrasi yang
sosialis.[2]Jalannya demokrasi liberal akan semakin membuka peluang terciptanya masyarakat kapitalis
atas komersialisasi yang semakin meluas.Apalagi di negara-negara berkemabang, terutama negara yang
terjangkit krisis moneter pada penghujung tahun 1990-an, Indonesia misalnya. Indonesia dalam
membangun kembali perekonomiannya, dipaksa untuk meminjam dana dari IMF. Syarat yang harus
dipenuhi oleh negara – negara ketika meminjam dana di IMF adalah pemerintah menandatangani Lol. Lol
ini berisi program-program penyesuaian struktural yang berisi tiga pokok, yakni liberaisasi, deregulasi,
dan privatisasi.[3]
Di jaman umat manusia saat ini dan akan menjadi sejarah di waktu yang akan datang bahwa
demokrasi liberal telah mengalami kejayaan besar atas kemenangannya dalam pertarungan melawan
ideologi sosialis – komunis lebih dari dua dekade yang lalu.[4] Kejayaan demokrasi liberal telah
dihadapkan pada tantangan yang sebenarnya sudah lama menjadi sejarah umat manusia, yaitu
kemiskinan dan berbagai macam ketimpangan. Demokrasi liberal sebagai satu-satunya sistem
pemerintahan yang diimplementasikan oleh sebagian besar negara-negara didunia telah
dimintai tanggung jawab atas kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia di dunia. Bukan hanya itu,
tetapi kejayaan demokrasi liberal juga harus bertanggung jawab atas keberlangsungan prinsip-prinsip
demokrasi ditataran global, maksudnya keadilan dan persamaan harus dijunjung didalam organisasi
supranasional, seperi di IMF, World Bank, dan WTO.
Demokrasi liberal juga dihadapkan pada kekuasaan negara yang semakin berkurang, khususnya di
negara berkembang yang pemerintahannya lemah. Budi Winarno dalam melihat pengaruh globalisasi
yang beraneka ragam mengatakan bahwa satu-satunya yang paling krusial adalah bagaimana negara
harus didefinisikan.[5] Selain itu, negara-negara berkembang juga dihadapkan pada produk demokrasi
liberal yaitu semakin berpengaruhnya perusahaan Multinasional dan transnasional baik ditingkat
nasional, regional maupun di lembaga-lembaga supranasional, seperti di WTO.Ketidakadilan atau tidak
jalannya demokrasi yang ideal di tataran global menjadi refleksi bagi Budi Winarno mengajukan
demokrasi kosmopolitan sebagai solusi konkrit dalam meminimalisir berbagai macam ketimpangan yang
terjadi baik ketimpangan di tataran global sampai ke tingkal nasional, di Indonesia misalnya.
Pembahasan
A. RalasidemokrasidanGlobalisasi
Secara teoritis definisi demokrasi lebih dari dua[6], tergantung ideologi apa yang dianut oleh subjek
yang mendefinisikannya.[7] Tetapi inti dari definisi demokrasi yang ideal adalah “dari rakyat,oleh rakyat
dan untuk rakyat”, ungkap Abrahan Lincoln. Pertanyaan yang timbul sebagai refleksi dari definisi
demokrasi ideal, sistem seperti apakah yang diimplementasikan untuk mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat?. Berbagai macam ideologi atau paham ekonomi politik yang berkembang dan
semakin maju dari waktu ke waktu dan kemudian ideologi manakah yang paling relevan dalam
mengejewantahkan demokrasi ideal atau demokrasi substantif?. Dan pertanyaan terakhir, ideologi apa
yang bertahan sampai detik ini secara mengglobal.
Sungguh begitu kompleks untuk menjawab pertanyaan nomor satu dan dua diatas, tetapi pertanyaan
yang ke tiga, penulis kira lumayan mudah. Demokrasi liberal dianalogikan oleh Francis Fukuyama sebagai
manusia terakhir, maksudnya demokrasi liberal telah menang dalam kompetisi pertarungan ideologi,
khususnya dengan sosialis – komunis.[8] Tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi liberal telah dianut
oleh sebagian besar negara-negara didunia mulai pertengahan abad 20 dan terus berkembang sampai
awal abad ke 21. Sejak tahun 1980-an, 33 rejim militer telah digantikan oleh pemerintahan sipil,
sementara 140 negara dari hampir 200 negara sekarang ini melakukan pemilihan umum multipartai.[9]
Semakin banyaknya negara-negara didunia yang mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi liberal baik
secara prosedural maupun nilai-nilai yang dibangun dan dipegangnya. Demokrasi liberal yang diagungagungkan oleh masyarakat dalam sebuah wilayah atau negara tertentu di seluruh penjuru dunia dan
kemudian diadopsi menjadi sistem negara atau pemerintahan adalah sesuatu yang tidak mustahil.
Manusia pada fitrahnya untuk bebas, karena kebebasan tertinggi manusia adalah kehendak untuk bebas.
[10] Hal tersebut menjadi salah satu pegangan kuat bagi kaum liberal, yang pastinya tidak bertolak
belakang dengan moral dan etika ketika diipmlementasikan oleh setiap individu dengan baik.
Sebagaimana prinsip hak yang universal bahwa batas hak kebebasan seseorang adalah kebebasan orang
lain.
Demokrasi liberal telah mencapai kejayaan gemilang mulai paska perang dingin sampai detik ini, yang
sebelumnya tidak dinikmati oleh ideologi sosialis – komunis sebagai penentang beratnya. Penjelasan
bapak Budi Winarno terkait “Globalisasi dan Isu Demokrasi” sungguh membantu untuk memahami relasi
antara demokrasi liberal dan globalisasi. Derasnya arus globalisasi telah mempengaruhi jalannya
demokrasi substantif sehingga Winarno skeptis dalam melihat demokrasi liberal sebagai jalan satusatunya untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Okelah, masyarakat menikmati
kebebasan ekonomi dan kebebasan politik tetapi apalah gunanya jika didalam masyarakat semakin
tercipta kemiskinan dan ketimpangan, misalnya di Indonnesidan Negara-negaraberkembanglainnya.
Ketimpangan dan kemiskinan dalam sebuah negara secara tidak langsung dipengaruhi atas ketidakadilan
atau penghianatan demokrasi yang terjadi di organisasi-organisasi supranasional. Demokrasi murni yang
tidak jalan di organisasi supranasional karna implikasi dari pengaruh perusahaan multinasional dan
supranasional.[11]
Biarkanlah globalisasi berjalan sesuai bentuknya sendiri, karena kepentingan globalisasi adalah tujuan
bagi dirinya sendiri. Bagipenulis tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan derasnya arus globalisasi,
karena kepercayaan bahwa manusia diadakan karena sudah fitrahnya untuk berfikir “the power of
thinker”[12] sesuai apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Budi Winarno datang dengan ketajaman,
kematangan dan kedewasaan dalam melihat kondisi yang menyerang sendi-sendi kehidupan umat
manusia di seantaro dunia akibat derasnya globalisasi. Tulisan beliau di bab lima terkait “Globalisasi dan
Isu Demokrasi” telah memberikan kita pemahaman terkait letak pengaruh globalisasi terhadap
demokrasi. Atas jasa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di abad milenium yang menjadi waktu
sejarah kita dimasa akan datang globalisasi tidak dapat dibendung atau dihindari.
B. Lembaga Melampaui Kekuatan Negara
Terkaitpembicaraanmasalah politik, globalisasi memiliki peranan penting dalam menjamurnya
isu-isu negara demokrasi. Ketika membicarakan masalah mengenai demokrasi dan globalisasi, ada
beberapa hal yang menjadi penting untuk dibahas, yang pertama ialah melalui adanya demokrasi, maka
banyak negara yang berkesempatan untuk merdeka dari rezim yang otoriter, memiliki strukutur
pemerintahan yang lebih baik dan juga adanya hak yang sama bagi masyarakatnya. Akan tetapi terdapat
pula hal yang tidak bisa dipungkiri akibat adanya efek dari globalisasi ialah mengenai bahwa ada indikasi
jika demokrasi saat ini tidak lagi pure, akan tetapi telah ditunggangi dengan kepentingan-kepentingan
negara maju lainnya maupun negara barat. Dalam hal ini bisa dilihat dari semakin banyak negara yang
menggunakan sistem demokrasi liberal, maka perusahaan-perusahaan TNC ataupun MNC semakin
banyak.
Lembaga-lembaga Multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO yang bukan hanya mempunyai
kekuasaan ekonomi, tetapi juga politik yang sangat besar. Lembaga-lembaga ini diharapkan agar bersifat
bijak atau pro terhadap keadilan demi mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat internasional
atau dunia. Tetapi yang terjadi malah ketimpangan, karena mereka bertolak belakang dengan tujuan
diadakannya mereka, dimana keberadaannya lebih merefleksikan kepentingan-kepentingan perusahaan
transnasional dibandingkan dengan warganegara diseluruh dunia. Makanya didalam lembaga-lembaga
yang melampaui kekuatan negara telah terjadipembajakan demokrasi (garis miring istilah dari demos).
Perusahaan-perusahaan multinasional merupakan aktor penting dalam globalisasi ekonomi yang tengah
berusaha mengintegrasikan pasar-pasar nasional kedalam perekonomian global melalui perdagangan
lintas batas negara, baik dalam bentuk perdangan antara perusahaan dengan pihak luar, dan melalui
aliran investasi yang mengalir melintasi batas-batas negara nasional.[13]
Peran perusahaan-perusahan Multinasional yang begitu dominan baik ditataran nasional maupun
sampai di tingkat global. Thedore Lowi menyebut era ini sebagai a corporate millenniumyang di
interpretasikan kedalam model hegemoni swasta dan pasar bebas (unregulated market), Gilpin
menyebut era sekarang ini sebagai jaman keemasan perusahaan Multinasional. Kapitalisme merupakan
pondasi demokrasi dan pasar bebas dan dalam kapitalisme demokrasi dapat dijual kepada penawar
tertinggi, dan bahwa pasar bebas sebenarnya direncanakan secara terpusat oleh megakorporasi global
yang ukurannya lebih besar dari banyak negara yang ada.[14] Kekuasaan perusahaan multinasional ini
menjadi semakin besar ketika kita melihat kenyataan bahwa mereka mempunyai akses terhadap
lembaga –lembaga multilateral semacam WTO, Bank Dunia, dan IMF. Menurut Herts, banyak aturanaturan yang dibuat dalam WTO untuk kepentingan perusahaan, dan perusahaan itu sendiri memainkan
peran yang sangat penting dalam membentuk aturan tersebut.
Menarik, Joseph E. Stiglitz telah menuding kedua lembaga multilateral IMF dan Bank Dunia tidak
meletakkan hak-hak pilih pada prinsip-prinsip masyarakat yang demokratis. Sebagian besar suara jatuh
ke negara-negara industri kaya. Lembaga-lembaga multilateral ini telah menjadi kekuatan politik yangs
sangat kuat, tetapi tidak sama sekali demokratis sebagaimana yang dikemukakan Stiglitz diatas.[15]Selain
itu, ketika memutuskan untuk menjadi demokrasi, suatu negara harus siap jika hukum internasional akan
masuk ke dalam lingkup hukum nasional, contohnya perusahaan-perusahaan TNC telah dilindungi oleh
hukum bisnis internasional, maka mau atau tidak, negara harus mengikuti aturan main dengan membuat
undang-undang yang berisikan pernyataan keamanan bagi perusahaan-perusahaan TNC tersebut, tidak
jarang ada fenomena bahwa hukum nasional tersebut tidak dapat melindungi kepentingan rakyat
maupun kepentingan nasional suatu negara.Dan juga mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan
instabilitas keuangan global, yang mana saat ini sedang dikuasai oleh neoliberal. Yang ditandai dengan
meningkatnya atau menguatnya kekuasaan baik ekonomi-politik pada segelintir orang atau sekelompok
orang.[16] Dan hal ini yang menyebabkan kekacauan pada beberapa negara, terutama negara yang
berada di dunia ketiga.
Selain itu globalisasi dan demokrasi juga menimbulkan efek semakin kuatnya wewenang lembagalembaga ekonomi global. IMF, WORLD Bank, dan WTO sering kali mengambil alih kewenangan
pemerintahan suatu negara apabila dinilai sudah tidak dapat mengatasi krisis ekonomi yang
memuncak[17]. Demokrasi bukan lagi pure sebagai sistem politik, akan tetapi saat ini telah ada konsep
yang mengatakan bahwa demokrasi bukan hanya merupakan sistem politik maupun sistem
pemerintahan saja, akan tetapi dibalik itu semua terdapat agenda-agenda yang sengaja diselipkan demi
kemakmuran sebagian orang.Salah satunya ialah, ketika berbicara mengenai masalah demokrasi maka
tidak bisa dipisahkan dengan permasalahan liberalisasi ekonomi atau saat ini lebih dikenal dengan
sebutan neoliberalisme. Neoliberalisme mengakibatkan adanya pasar bebas maupun masuknya
perusahaan-perusahaan transnasional ke dalam sebuah negara. Tentu saja liberalisasi ekonomi akan
memiliki dampak yang berbeda bagi kelompok negara-negara maju, dan kelompok-kelompok negara
berkembang meskipun pada dasarnya mereka menggunakan sistem demokrasi.
Menurut data yang ada pada kisaran tahun 1990an, TNCs telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat, yaitu dari 7000-an perusahaan yang berdiri pada tahun 1970-an, menjadi sekitar 37.000
perusahaan yang menyebar ke seluruh dunia.[18]Ketika globalisasi tidak dapat dibendung, maka
perusahaan-perusahaan transnasional akan semakin mengalami kemajuan, Pada saat yang lalu saja
mereka berhasil menguasai 67% perdagangan dunia antar TNCs dan menguasai 34,1% total perdagangan
global. Lebih lanjut TNCsjuga telah menguasai 75% total investasi global. Ada 100 TNCs saat ini yang
menguasai ekonomi dunia. Mereka mengontrol sampai 75% perdagangan dunia[19].Hal ini tentu saja
memberikan efek tersendiri bagi suatu negara, karena saat ini perusahaan-perusahaan tersebut tidak
hanya mempengaruhi permainan bisnis, akan tetapi telah merembet ke dalam politik demokrasi[20].
Dan saat ini perusahaan-perusahaan tersebut telah mampu untuk mempengaruhi pembuatan keputusan
suatu negara.
Tentu saja pengaruh perusahaan-perusahaan tersebut akan menimbulkan nilai yang positif bagi
kemajuan perusahaan tersebut, akan tetapi tidak sedikit yang memberikan efek negative bagi negara
sendiri.Negara pun seperti kesulitan untuk bertindak, karena perusahaan-perusahaan tersebut dilindungi
oleh hukum internasional dan memiliki akses untuk melobi lembaga-lembaga multilateral semacam
WTO, Bank Dunia dan IMF. Dan lembaga-lembaga tersebut pada dasarnya cenderung bersifat tidak
demokratis dalam pengambilan kebijakan yang cenderung dikuasai oleh negara-negara maju. Contohnya
saja bank dunia, kekuatan pengambilan keputusan formal didasarkan pada banyaknya sumbangan
modal yang diberikan. Amerika Serikat menjadi pemegang saham yang terbesar, meskipun Jepang telah
ditekan untuk memberikan saham yang lebih besar, akan tetapi Amerika Serikat mampu membatasi
saham modalnya dan mengumpulkan suara sampai 8 persen[21].
Kekuatan formal tersebut semakin kuat ketika ditambah dengan “tradisi” presiden bank selalu warga
amerika Serikat yang ditunjuk oleh pemerintahan Amerika Serikat sendiri, dan lokasi bank selalu berada
di Wagshinton DC, hal ini memberikan akses yang mudah kepada Departemen Keuangan Amerik Serikat
dan membantu memastikan bahwa negara tersebut mempertanggung jawabkan seperempat dari
manajemen senior dan staf profesional[22]. Dewan Keamanan bukan satu-satunya lembaga global yang
menghadapi bahaya kehilangan legitimasi karena kurangnya legitimasi demokratis. IMF dan World
Bank nyaris berada dalam situasi yang sama. Salah satu anomali paling aneh di jaman kita adalah praktek
bahwa tak satu pun negara Asia dapat memimpin entah itu IMF atau Bank Dunia, dua lembaga ekonomi
global terdepan. Ada suatu ‘peraturan tidak tertulis tapi kuat terasakan sejak pendirian dua lembaga
keuangan ini setelah perang dunia kedua adalah bahwa kepada IMF hendaknya dari Eropa Barat dan
Ketua Bank Dunia adalah orang AS. Sungguh peratuan ini adalah suatu hal yang memalukan baik bagi
IMF maupun Bank Dunia.[23]
Hal tersebutlah yang membuat ragu masyarakat dunia terhadap akan “rasa demokratis “ yang dimiliki
oleh lembaga-lembaga tersebut. Sehingga banyak kritikan terhadap perusahaan-perusahaan TNC atas
perjanjian yang dibuat dengan negara yang ditempati, maupun mengenai kebijakan lembaga tersebut
sendiri.
C. Kembali Memperkuat Negara
Globalisasi tidak dapat ditolak dan terhindarkan dari kehidupan manusia di jaman postmoderenisme saat ini. Dunia telah memperlihatkan kepada kita begitu suksesnya globalisasi dalam
mempengaruhi kedidupan umat manusia. Globalisasi ekonomi, informasi dan budaya telah
mempengaruhi berbagai kehidupan dunia masa kini, termasuk dunia kehidupan urban.[24]Globalisasi
sukses dalam mempengaruhi pola hidup dan pola berpikir umat manusia, tetapi yang begitu krusial
adalah kemiskinan dan ketimpangan. Hadirnya globalisasi dan dikuti oleh ideologi demokrasi liberal
memberikan tugas berat bagi semua negara yang ada didunia, terutama negara-negara yang menganut
sistem demokrasi liberal. Karena secara otomatis, sistem yang diterapkan pastinya diharapkan dapat
membangun negara menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Tidak ada lagi jalan bagi negara-negara dunia untuk menolak globalisasi, karena dengan derasnya
arus globalisasi, pengaruhnya telah berhasil masuk ke sendi-sendi kehidupan umat manusia sampai ke
pelosok-pelosok dunia. Negara-negara sebelumnya sangat kuat memperjuangkan ideologi sosialis –
komunis telah dikalahkan oleh demokrasi liberal, kemungkinan besar karena pengaruh globalisasi dan
ketidakmampuan sistem sosialis komunis dalam memenuhi harapan rakyatnya. Seiring derasnya arus
globalisasi, negara mendapat tugas berat yaitu bagaimana negara berperan besar dalam
mensejahterakan rakyatnya. Logikanya, ketika masyarakat tidak sejahtera, dimana-mana masyarakat
terjangkit kelaparan dan selalu meras ternacam, pastinya negara yang disalahkan. Negara yang tidak
sanggup untuk menghindarkan rakyatnya dari hal-hal yang menakutkan bagi warga negaranya tergolong
pemerintah lemah.
Untuk memahami lebih lanjut terkait dengan bagaimana mengembalikan peran negara, penulis
berkiblat ke orderan Francis Fukuyama, karena Budi Winarno hanya menyajikan sedikit dari sekian
banyak bagaimana mempertahankan otonomi negara. “ Menurut Held, kedaulatan ini harus dibedakan
dengan otonomi yang merujuk pada kemampuan para pemimpin dan agen negara untuk mencari
pilihan-pilihan kebijakan mereka sendiri tanpa terpaksa mengambil bentuk kalobarasi dan kerjasama
internasional.[25] Jadi, penekanan dari Held adalah pemimpin yang bijak, dimana dalam mengambil
keputusan tidak terdapat kontradiktif dengan kepentingan warga negaranya. Selain itu tidak ada paksaan
terhadap suatu pemimpin, dalam hal ini pemimpin negara dalam mengambil keputusan yang
menyangkut kerjasama dengan negara lain dan tidak adanya intervensi dari negara lain ketika waktu
pengambilan keputusan, misalnya di lembaga-lembaga supranasional.
Untuk lebih memahami bagaimana negara harus diperkuat maka terdapat beberapa hal yang perlu
di perhatikan dan tentunya menyangkut masyarakat. Bagi Fukuyama, aksi-aksi terorisme, penyebaran
penyakit, bertahannya tingkat kemiskinan, serta merebaknya perang sipil bukanlah hal-ikhwal yang
berdiri sendiri. Peristiwa-peristiwa itu merupakann gejala politik dimana negara sebagai institusi
terpenting dalam masyrakat gagal menjalankan perannya.[26] Menurut Fukuyama, beberapa gejala
kegagalan diatas telah menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia pada awal abad ke- 21. Karena
dalam negara demokrasi liberal peran negara sangat butuhkan. Sebagaimana keyakinan Ludwiq, Negara
merupakan sebuah keharusan mutlak,karena tugas paling penting diemban oleh negara: perlindungan
tidak hanya terhadap hak milik pribadi, tetapi juga terhadap perdamaian , karena tanpa perdamaian,
keuntungan penuh hak milik pribadi tidak dapat di tuai.[27]
Fukuyama yang sebelumnya berkiblat pada meminimalisir peran negara sejak paska perang dingin
telah meninjau kembali pemikirannya yang pernah ditulis dalam “The end of history and the last
man” yaitu minimnya peran negara. Tetapi dalam bukunya “Memperkuat Negara”, negara harus
berperan besar dalam sendi-sendi kehidupan umat manusia demi kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat. Fukuyama berpendapat bahwa sudah saatnya kita mempekuat peran negara, lebih jauh lagi
dia berkata pandangan kaum pro-pasar pada 1980-an mungkin agak simplistis. Waktu itu, sebagai reaksi
atas merebaknya berbagai bentuk statisme, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara
sedang berkembang kaum liberal menyodorkan alternatif deregulasi, debirokritisasi, rpivatisasi dan
semacamnya. Alternatif semacam ini menjadi penggerak perubahan ekonomi, yaitu dengan memangkas
intervensi ekonomi negara ke tingkat yang minimal.
Alternatif diatas, sebenarnya membawa hasil-hasil yang menggembirakan:pertumbuhan ekonomi,
pengurngan kemiskinan, dan integrasi pasar. Namun dalam beberapa hal, ia justru membawa
problematika baru: berkurangnya peran negara dalam ekonomi juga terkait dengan merosotnya
kapasitas negara untuk melakukan fungsinya yang memang diperlukan. Hal tersebutlah yang
mengakibatkan gejala kegagalan negara, dengan akibat yang menyedihkan.[28] Peran negara harus
dipahami dalam dua dimensi, yaitu cakupan (scope) maupun kekuatan atas kapasitas(strength). Suatu
negara yang kuat ditandai oleh kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkan
ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang berlebihan
Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Jika
terjadi pelanggaran atau penentangan terhadap otoritas ini, ia mampu mengatasinya, kalau perlu dengan
alat-alat pemaksa yang secara sah dikuasainya. Hanya dengan kekuatan semacam inilah negara mampu
menjaga keamanan, ketertiban, kebebasan, serta – jika bersifat intervensionis – mampun mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Jika negara tidak mampu menjaga otoritas semcam ini, ia disebut
sebagai negara lemah. Ia mengajak kita untuk lebih banyak memperhatikan masalah penguatan
kapasitas dan otoritas negara dalam melakukan perannya. Di abad ke 20, banyak negara di Asia, Afrika,
dan Amerika Latin melakukan ekspansi kegiatan ekonomi besar-besaran, tanpa daya dukung
kelembagaan yang memadai.[29] Mereka sangat ambisius ingin mengatur begitu banyak aspek
kehidupan, tetapi kemampuan pemerintahan mereka begitu lemah, baik ketidakmampuan administratif
maupun karena perilaku korupsi dan semacamnya. Akibatnya adalah kegagalan dan bencana kemanusian
dan menyedihkan. Kebebasan dan kesejahteraan ekonomi tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara
yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Sebaliknya negara yang kuat tanpa menjamin
kebebasan dan kesejahteraan tidak akan mampu bertahan lama.[30]
D. Visi demokrasi kosmopolitan[31]
Dengan berbagai kontradiksi yang diakibatkan oleh aktor-aktor yang berkepentingan dalam
memanpaatkan derasnya laju globalisasi, Budi Winarno menawarkan demokrasi kosmopolitan. Beliau
meyakini bahwa demokrasi masih bisa diandalkan sebagai suatu sistem dan juga mekanisme
pemerintahan yang menjamin prinsip akuntabilitas selagi ia bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Bagaimana mendemokratisasikan lembaga-lembaga kekuasaan global dan pada waktu bersamaan
mencari jalan alternatif atas paradigma dominan, neoliberal. Gagasan demokrasi kosmopolitan tidak bisa
dilepaskan dari konteks “the reconfiguration of politic power”. Demokrasi kosmopolitan dipahami
sebagai demokrasi yang memperhitungkan interlocking proses-proses politik dan ekonomi pada level
lokal, nasional, dan global dan akan terjadi demokratisasi ganda (double-democratized). Demokrasi akan
diperkuat di tingkat nasional dan organisasi-organisasi internsional, baik melalui masyarakat sipil
maupun melalui wakil-wakilnya.
Demokrasi kosmopolitan ini disokong oleh keadailan distributif (distributive justice). Ini diberikan untuk
memberikan legitimasi terhadap lembaga-lembaga governance global dan tatanan dunia pada saat
negara menghadapkan penekanan kembali. Agar model demokrasi kosmopolitan ini dapat dilaksanakan,
terdapat beberapa proses yang harus berlangsung. Pertama, langsung diambil dari Held, hukum publik
demokratis ini perlu ditunjang oleh struktur hukum internasional yang ia sebu sebagai hukum
demokratis kosmopolitan. Kedua, model demokrasi kosmopolitan akan mengusahakan terciptanya
legistlatif dan eksekutif transnasional yang efektif pada tingkat regional dan global, yang terkait oleh dan
syarat-syarat hukum demokratis pokok.
Penutup
Paska perang dingin globalisasi tidak dapat dibendung lagi karena seiring dengan menangnya
demokrasi liberal. Visi dari demokrasi liberal yaitu bagaimana semua masyarakat bisa menikmati yang
namanya kebebasan dan persamaan. Tinggal sedikit negara-negara di dunia yang tidak menganut sistem
demokrasi liberal. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu suksesnya demokrasi liberal telah dihadapkan
pada permasalahan yang krusial bagi umat manusia yaitu kemiskinan dan ketimpangan. Ketimpangan
yang terjadi baik dalam negara maupun lembaga-lembaga global menjadi tantangan berat bagi sistem
demokrasi liberal. Dimana demokrasi liberal mengagung-agungkan persamaan tetapi banyak dari
penganutnya tidak mengimplementasikan demokrasi secara murni. Berangkat dari itu, negara-negara
yang berada di dunia ketika tidak banyak berkutip atas bungkangan yang dihadapinya ketika berhadapan
dengan kekuatan besar.
Kekuasaan negara harus di formulasikan kembali guna menanggulangi hal-hal yang menyebabkan
ketimpangan dan kemiskinan. Selain itu demokrasi kosmopolitan, walaupun sesuatu yang utopis, tetapi
harus diperjuangkan demi kemaslahatan manusia dimuka bumi. Karena tanpa realisasi demokrasi
kosmopolitan maka secara tidak langsung akan menghasilkan implikasi yang lama kelamaan bertabah
besar pada sendi-sendi kehidupan umat manusia.
*Tugas matakuliah Internasionaldan Domestik semester V jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Malang bersamadosenMrs. Ayusia Sabhita Kusuma, S.IP, M. Soc. Sc
[1] Kelompok I: Muhammad Jusrianto (201010360311006); Okky Fitranada (2010103603011), Anas
Prayogo (201010360311013; dan Jefri Indo (201010360311007). Penulis Muh. Jusrianto.
[2] Lihat, Rizal Mallarangeng, 2010, “Dari Langit”, Jakarta: Freedom Instute, Hal.,394.
[3] Lihat, Budi Winarno, 2011, “Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS, Hal., 134.
[4] Untuk lebih memahami kemenangan demorasi liberal dari sosialis komunis dapat di jumpai dalam,
Francis Fukuyama, 2011, “The End Of History and The Last Man”, Yogyakarta:CV.QALAM, Hal., 439 – 495.
[5]Op.Cit, Hal.,126.
[6] Macam-macam teori demokrasi: Teori elit demokrasi (elit governent dan elit counter), teori pluralis,
teori marxis, perspektif kelas, diktator proletariat dan teori empiris demokrasi.
[7] Didapatkan dari kuliah “Demokrasi dan Civil Society” yang disampaikan oleh Bapak Gonda Yumitro.
[8] Baca lebih lanjut, Francis Fukuyama, “The End Of History and The Last Man”, Yogyakarta:CV.QALAM,
Hal., 439 – 495.
[9] Dennis M. Rosseau and Andrea Rivero, 2003. “Democracy, A Way of Organizing Knowledge
Economy”, Journal of management inquiry, Vol.12.No.2 June 2003., Hal.115. Dalam, Budi Winarno, 2011,
“Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS, Hal., 123.
[10] Kehendak tertinggi adalah kehendak untuk bebas oleh hegel. Baca lebih lanjut, G.W.F. Hegel, 2012,
“Filsafat Sejarah”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hal., 1-152.
[11]Op.Cit, Hal., 122-144.
[12] Isiah Berlin sangat percaya pada fitrah manusia yaitu kekuatan berfikir.
[13]Op.Cit,Hal.,136-137.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16]Ibid, hal., 127
[17] ibid
[18] Mansour Fakih.neoliberalisme dan globalisasi. Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004
diakses dari http://bos.fkip.uns.ac.id/pub/onno/cd al manaar digilib/bahan/8.%20EKONOMI
%20POLITIK/3.%20Neoliberalisme%20dan%20Globalisasi.pdf pada 08-11-2012 16:32 WIB
[19] ibid
[20] David Korten, 2002. The post Corporate World : Life After Capitalism The Post Corporate World:
(kehidupansetelah kapitalisme), alih bahasa A. Rahman Zainudin, Jakarta: Yayasan Obar, hal74 dalam ,
Winarno, Op, cit ., hal137
[21] Walden Bello. Deglobalization : Ideas For a New World Economy (de-globalisasi : gagasan-gagasan
Ekonomi Baru). Januari 2004.Pondok Edukasi.Bantul.hal: 84
[22]Global Capitalism: Can It Be Made to Work Better, 6 November 2000. business Week. Hal 42-43
dalam ibid.
[23] Lihat, Kishore Mahbubani, 2011, “ Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global Ke Timur
Yang Tak Terelakkan”, Jakarta: Kompas, Hal.,300.
[24] Lihat, Yasraf Amir Piliang, 2011, “Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan”¸
Bandung: Matahari, Hal., 207.
[25] Lihat, Budi Winarno, 2011, “Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS, Hal., 127.
[26] Lihat, Rizal Mallarangeng, 2010, “Dari Langit”, Jakarta: Freedom Instute, Hal.,210.
[27] Lihat, Ludwiq Von Misses, 2011, “Menemukan Kembali Liberalisme”, Jakarta: Freedom Institute dan
FNS, Hal., 46.
[28]Op.Cit
[29] Ibid, Hal., 211-213.
[30] Ibid.
Referensi
Buku:
Bello, Walden. “Deglobalization:Ideas For a New World Economy (de-globalisasi : gagasan-gagasan
Ekonomi Baru)”.Bantul:Pondok Edukasi. 2004.
Budi Winarno, Budi. Isu-Isu Global Kontemporer”. Yogyakarta: CAPS.2011.
Fukuyama, Francis. The End Of History and The Last Man, Yogyakarta:CV.QALAM. 2011.
Hegel, G.W.F. “Filsafat Sejarah”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Mallarangeng, Rizal. Dari Langit. Jakarta: Freedom Instute.2010.
Misses, Ludwiq Von. “Menemukan Kembali Liberalisme”, Jakarta: Freedom Institute dan FNS. 2011.
Mahbubani, Kishore.“Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global Ke Timur Yang Tak
Terelakkan”, Jakarta: Kompas. 2011.
Piliang, Yasraf Amir.“Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan”¸ Bandung:
Matahari. 2011.
Internet:
Fakih, Mansour. “neoliberalisme dan globalisasi. Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär
Edisi I/2004. Diakses dari http://bos.fkip.uns.ac.id/pub/onno/cd al manaar digilib/bahan/8.%20EKONOM
I%20POLITIK/3.%20Neoliberalisme%20dan%20Globalisasi.pdf (Diakses pada pada 8 November 2012 pkl.
16:32 WIB)
Contoh Kasus Dalam Etika Bisnis
PT Freeport Indonesia
Ada pernyataan kuat bahwa telah terjadi distori etika dan pelanggaran kemanusiaan yang hebat di
Papua. Martabat manusia yang seharusnya dijunjung tinggi, peradaban dan kebudayaan sampai mata
rantai penghidupan jelas dilanggar. Itu adalah fakta keteledoran pemerintah yang sangat berat karena
selama ini bersikap underestimate kepada rakyat Papua. Gagasan yang menyatakan mendapatkan
kesejahteraan dengan intensifikasi nyatanya gagal.
Ironisnya, dua kali pekerja Freeport melakukan aksi mogok kerja sejak Juli untuk menuntut hak
normatifnya soal diskriminasi gaji, namun dua kali pula harus beradu otot. Keuntungan ekonomi yang
dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan