Bahasa dan prasangka dalam media sosial

Sub tema : Penggunaan Bahasa Indonesia pada media sosial
Bahasa dan prasangka dalam media sosial
A.Yusdianti T. 1
A. Aryana. 1
tenriawali@gmail.com.
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin.
Abstrak
Dewasa ini, media sosial tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita saat ini. Media sosial adalah
wadah dalam mengungkapkan pendapat dan mengekspresikan diri. Selain itu, media sosial juga memiliki
peran sebagai media penyebar informasi. Dengan kegunaan media sosial sebagai penyebar informsi
menjadikan media sosial dapat digunakan sebagai alat untuk memengaruhi masyarakat.
Beragamnya fungsi media sosial menjadikan bahasa media sosial menjadi bermacam-macam
bergantung konteks penggunaan serta tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat status dalam media sosial.
Diantara berbagi macam jenis penggunaan bahasa Indonesia dalam media sosial, penggunaan bahasa
yang mengandung prasangka menjadi menarik untuk diteliti, sebab dengan mengetahui prasangka yang
terkandung di dalam bahasa yang digunakan oleh masyarakat/individu terutama di media sosial, maka
akan diketahui bagaimana cara masyarakat/individu tersebut memengaruhi pembaca dengan prasangka
yang dimiliknya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bahasa dalam media sosial yang dianggap
mengandung prasangka. penelitian ini akan berfokus pada pengidentifikasian bahasa yang mengandung
prasangka dengan menggunakan teori yang terdapat dalam buku yang berjudul Prejudice in discourse

karya Teun A. Van Dijk.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah teks yang
diambil dari media sosial facebook. Analisis data dalam penelitian ini terdiri atas ; (1) pengumpulan data
yang berupa teks, yang dianggap menunjukkan prasangka dari media sosial facebook, dan (2)
mengidentifikasi teks yang telah didapatkan berdasarkan ekspresi prasangka dan perangkat retoris
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa dalam media sosial tidak terlepas dari prasangka.
Tipe gaya bahasa yang cenderung digunakan diantaranya; generalisasi, kontras, repetisi, serta
enumeration dan klimaks. Penggunaan gaya bahasa tersebut bertujuan untuk menyakinkan pembaca
bahwa apa yang diyakini oleh penulis status di media sosial tersebut adalah benar.
Kata kunci : Wacana, prasangka, gaya bahasa, media sosial.
A. Pendahuluan
Dewasa ini, media sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia
modern. Media sosial merupakan wadah dalam mengungkapkan pendapat, mengekspresikan diri, dan
sebagai tempat menunjukkan eksistensi diri, sehingga dengan beragamnya hal yang dapat dilakukan
dengan media sosial, maka media sosial seperti facebook, twitter, instagram, line, dll. menjadi hal yang
sangat memengaruhi masyarakat saat ini.
Bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai oleh masyarakat untuk mengungkapkan gagasan.
Ekspresi bahasa tersebut menggambarkan kecendrungan masyarakat ataupun individu penuturnya. Dalam
media sosial, bahasa digunakan sebagai cara mengekspresikan pikiran, sehingga penggunaan bahasa di
media sosial sarat akan bahasa yang bersifat emotif. Selain sarat akan bahasa emotif, penggunaan bahasa

dalam media sosial juga memiliki kecenderungan bersifat propaganda. Propaganda dalam media sosial
dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif dengan memanfaatkan prasangka yang berfungsi
sebagai penunjang untuk memengaruhi orang-orang yang membaca suatu tulisan di media sosial.
Prasangka atau prejudice merupakan perilaku negatif atau positif yang mengarahkan kelompok
pada individualis berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang kelompok. Prasangka
juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional, yang akan mudah sekali menjadi
motivator munculnya ledakan sosial. Oleh karena itu, penelitian terhadap bahasa prasangka menjadi
menarik untuk dilakukan, sebab dengan mengetahui prasangka yang terkandung di dalam bahasa yang
1

Mahasiswa Magister Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin.

1

digunakan oleh masyarakat/individu terutama di media sosial, maka akan diketahui bagaimana cara
masyarakat/individu tersebut memengaruhi pembaca dengan prasangka yang dimiliknya.
Penelitian mengenai bahasa prasangka pernah dilakukan oleh Setiawati Darmojuwono dengan
judul penelitian Manipulasi bahasa dan prasangka sosial dalam komunikasi . Dalam penelitian tersebut,
Setiawati menyimpulkan bahwa manipulasi bahasa prasangka ditandai oleh beberapa hal, diantaranya;
menggunkan kata-kata yang mengandung unsur makna emotif sehingga dapat menimbulkan emosi positif

atau negatif, menggunakan kata-kata rancu maknanya/tidak jelas sehingga memungkinkan
perluasan/penyempitan konsep sesuai dengan tujuan, mengaburkan konsep kata melalui eufemisme, dan
menggunakan metafora sebagai cara mengungkap realitas secara tidak langsung.
Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian ini akan berfokus pada pengidentifikasian bahasa
yang mengandung prasangka dengan menggunakan teori yang terdapat dalam buku yang berjudul
Prejudice in discourse karya Teun A. Van Dijk. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
penelitian dalam bidang prasangka, terutama dalam hal-hal yang menyangkut pemecahan masalah
ataupun konflik yang menyangkut SARA.
B. Prasangka
Menurut Worchel dan kawan-kawan (2000) pengertian prasangka dibatasi sebagai sifat negatif
yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu kelompok dan individu anggotanya. Menurut David O. Sears
dan kawan-kawan (1991), prasangka sosial adalah penilaian terhadap kelompok atau seorang individu
yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok tersebut, artinya prasangka sosial ditujukan pada
orang atau kelompok orang yang berbeda dengannya atau kelompoknya. Prasangka sosial memiliki
kualitas suka dan tidak suka pada obyek yang diprasangkainya, dan kondisi ini akan mempengaruhi
tindakan atau perilaku seseorang yang berprasangka tersebut. Selanjutnya Kartono, (1981) menguraikan
bahwa prasangka merupakan penilaian yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang
terlampau cepat, sifatnya berat sebelah dan dibarengi tindakan yang menyederhanakan suatu realitas.
Prasangka sosial menurut Papalia dan Sally, (1985) adalah sikap negatif yang ditujukan pada
orang lain yang berbeda dengan kelompoknya tanpa adanya alasan yang mendasar pada pribadi orang

tersebut. Lebih lanjut diuraikan bahwa prasangka sosial berasal dari adanya persaingan yang secara
berlebihan antar individu atau kelompok. Selain itu proses belajar juga berperan dalam pembentukan
prasangka sosial dan kesemuanya ini akan terintegrasi dalam kepribadian seseorang. Dengan demikian
bila seseorang berupaya memahami orang lain dengan baik maka tindakan prasangka sosial tidak perlu
terjadi.
Individu yang berprasangka pada umumnya memiliki sedikit pengalaman pribadi dengan
kelompok yang diprasangkai. Prasangka cenderung tidak didasarkan pada fakta-fakta objektif, tetapi
didasarkan pada fakta-fakta yang minim yang diinterpretasi secara subjektif. Jadi, dalam hal ini prasangka
melibatkan penilaian apriori karena memperlakukan objek sasaran prasangka (target prasangka) tidak
berdasarkan karakteristik unik atau khusus dari individu, tetapi melekatkan karakteristik kelompoknya
yang menonjol.
Menurut Sarwono (2007), prasangka orang Indonesia terdiri atas lima, yaitu; prasangka etnik,
prasangka gender, prasangka agama, prasangka politik, dan prasangka seks. Prasangka etnik adalah
prasangka yang didasari pada identitas etnik yang berasal dari budaya yang berbeda. Prasangka gender
adalah prasangka yang didasari pada stereotipe tentang perempuan. Prasangka agama merupakan
prasangka yang timbul karena adanya interpretasi terhadap agama. Prasangka politik didasari oleh
pandangan politik masing-masing individu. Serta prasangka seks didasari pada anggapan atau mitosmitos yang berkembang di dalam masyarakat mengenai seks.
C. Prasangka dalam Wacana
Van Dijk (1984: 112) dalam prejudice in discourse mengatakan bahwa ;
Cognitive processes in the expression of prejudice in talk presuppose a complex system

of social constraints, rules, norms, information, and situational variables. Among other
things, talk, also in interviews, requires strategies of self-presentation and persuasion.
dari kutipan di atas terlihat bahwa proses kognitif dalam (bahasa) ekspresi prasangka menunjukkan
sistem sosial, aturan, norma, infomasi, dan situasi. Selain itu ekspresi prasangka juga digunakan baik
dalam percakapan ataupun wawancara yang menuntut strategi untuk menunjukkan diri dan juga
memengaruhi orang yang diajak berbicara.
Pada dasarnya anggota masyarakat tahu mengenai aturan dan norma yang berlaku umum
mengenai apa yang bisa dikatakan, kepada siapa dan dalam situasi seperti apa. Dalam hal pembicaraan
2

yang bersifat negatif, seperti gosip, fitnah, dan diskriminasi verbal, masyarakat cenderung memberi
tanggapan dan penilaian yang buruk pada orang melakukan pembicaraan yang bersifat negatif tersebut,
sehingga untuk menghindari penilaian buruk tersebut, orang yang ingin melakukan pembicaran yang
bersifat negatif melakukan beberapa strategi berbahasa. Strategi berbahasa yang dimaksud di sini adalah
gaya bahasa (stilistika) dalam mengungkapkan prasangka.
Stilistika, yakni ilmu tentang gaya bahasa, menjadi suatu disiplin ilmu yang mempelajari gayagaya bahasa. Sebenarnya, penggunaan dari gaya dan ilmu gaya itu secara luas meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia, bagaimana segala sesuatu dilakukan, dinyatakan, dan diungkapakan.
Van Dijk (1984: 133) mengatakan bahwa ;
Style is the linguistic trace of the context in a text. More or less independently of
content, style allows the hearer to infer properties of the personal or social

characteristics of talk. In our case, for instance, stylistic variations allow the hearer to
infer evaluation and affect involved in opinions and attitudes about minorities, about the
social roles of the speaker, about the definition by the speaker of the ethnic relations
involved, or about the actual strategies performed during the interview.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa gaya adalah jejak linguistik dari suatu konteks yang berada di dalam
teks. Gaya (bahasa) memungkinkan pendengar untuk menyimpulkan sifat karakteristik pribadi atau sosial
orang yang berbicara, sehingga variasi gaya memungkinkan pendengar untuk menyimpulkan penilaian,
pendapat, sikap pembicara tentang minoritas, tentang peran sosial dari pembicara, atau tentang strategi
yang dilakukan oleh pembicara.
Menurut Van Dijk, strategi yang dilakukan pembicara untuk mengungkapkan prasangkanya
meliputi Rhetorical operations (perangkat retoris) dan The expression of prejudice (ekspresi prasangka).
The expression of prejudice terdiri atas; penunjukan kaum minoritas, penyebutan nama asal, penggunaan
kata demonstratif jarak, paternalistic diminutive, serta penggunaan kata ‘yang berbeda’ (difference).
Sedangkan Rhetorical operations terdiri atas; kontras (contrast), generalisasi, pernyataan yang melebihlebihkan, litotes, repetisi, penyebutan satu per satu dan klimaks, serta perbandingan.
The expression of prejudice
Contoh
penunjukan kaum minoritas
Orang asing, orang cina, yahudi, dll.
penyebutan nama asal
Negro, Surinamese, Turks, Moroccans, dll

penggunaan kata demonstratif jarak Orang asing itu, orang turki itu, orang-orang seperti itu, dll
paternalistic diminutive
Penggunaan kata perempuan yang seharusnya wanita
Difference
Penggunaan kata seperti; mereka mempunyai pemikiran yang
berbeda, mereka mempunyai gaya hidup yang berbeda,
mereka mempunyai kebiasaan yang berbeda, mereka
mempunyai kepercayaan yang berbeda, dll
Rhetorical operations
Contoh
Kontras
Suami ku bekerja, sedangkan mereka tidak
Generalisasi
Semua orang asing membawa pisau
Exaggeration
Orang itu sanggup makan 20 porsi makanan dalam sehari
Litotes
Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali
Repetisi
Very often, very often, I have very good contacts with them

(foreigners), very good contacts.
Enumeration and Klimaks
and that was not once, and that was not twice, that was
constantly.. .
Perbandingan
foreigner is like a guest in our house, who also must adapt to
the rules of the house.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah teks yang
diambil dari media sosial facebook. Analisis data dalam penelitian ini terdiri atas ; (1) pengumpulan data
yang berupa teks, yang dianggap menunjukkan prasangka dari media sosial facebook, dan (2)
mengidentifikasi teks yang telah didapatkan berdasarkan ekspresi prasangka dan perangkat retoris.
E. Pembahasan
Berikut merupakan data yang telah dikumpulkan dari media sosial facebook, yang dianggap
mengandung prasangka;
3

Data 1

Data 2


Orang liberal emang selalu CACAT LOGIKA.
Salah satu contohnya adalah yang berikut ini.
Plus lagi fakta bahwa dia mendukung orang kafir
sebagai pemimpin, padahal sudah jelas-jelas
dilarang oleh agama. Maka lahirlah OPINI
ASBUN tanpa dasar sama sekali, yang tujuannya
hanya untuk membela majikannya secara
membabi-buta.
NB: Mari biasakan untuk tidak mencaci-maki
siapapun, termasuk orang-orang yang gambarnya
tercantum pada foto ini. Mari kritisi saja
pemikirannya. Belajarlah jadi orang dewasa.
Terima kasih.
Jn
October 12 at 11:47am
Maaf, Mulai Sekarang Saya Mendukung Ahok
Oleh: @jn
Ya, mohon maaf sebesar-besarnya. Anda pasti
terkejut, kaget luar biasa, benar-benar tak

menduga, kecewa dan marah pada saya. Namun
ini adalah pilihan saya. Pilihan yang saya ambil
dengan penuh kesadaran. Saya adalah manusia,
sama seperti Anda, yang berhak memilih apapun,
bukan?
Ya, mulai sekarang saya mendukung Ahok. Ini
bagian dari hak asasi saya sebagai manusia. Jadi
Anda jangan protes
Kenapa saya mendukung Ahok?
Pertama, karena dia sudah meminta maaf.
Terlepas apakah permintaan maafnya itu tulus
atau hanya trik licik untuk menarik simpati
publik, karena dia sadar karena posisinya makin
terancam, namun yang jelas dia sudah minta
maaf. Kita sebagai muslim yang baik tentu harus
memaafkan, bukan?
Kedua, karena ternyata Ahok itu sangat hebat.
Kenapa? Hebatnya di mana?
Tentu saja. Karena selama ini umat Islam
bercerai-berai, saling menyerang hanya garagara urusan khilafiyah. Hanya gara-gara doa

qunut, hanya gara-gara merayakan maulid atau
tidak, tahililan atau tidak. Sulit sekali
mempersatukan umat Islam.
Namun Ahok memang benar-benar hebat.
Karena dia menghina Al Maidah 51, tiba-tiba
umat Islam jadi bersatu. Semangat untuk
membela Islam pun menyala-nyala dengan
begitu besarnya.
Ahok memang benar-benar hebat. Sebab dengan
kehadirannya. kita jadi tahu siapa umat Islam
yang masih punya iman, walau dalam porsi yang
paling sedikit pun. Dan mana umat Islam yang
masuk golongan munafik.
Umat Islam yang masih tersisa iman di dadanya,
walau itu hanya secuil, walau selama ini dia
masuk kategori Islam KTP, namun mereka

Generalisasi :
Orang liberal emang selalu CACAT
LOGIKA
Penunjukan kaum minoritas :
Plus lagi fakta bahwa dia
mendukung orang kafir sebagai
pemimpin, padahal sudah jelas-jelas
dilarang oleh agama.

Kontras :
Terlepas apakah permintaan
maafnya itu tulus atau hanya trik
licik untuk menarik simpati publik.

4

Data 3

masuk di "barisan sakit hati", marah oleh hinaan
Ahok, sehingga mereka pun dengan penuh
semangat membela Islam.
Adapun mereka yang ngakunya ahli agama,
hafal berbagai macam ayat Al Quran dan hadits,
fasih ngomong agama, namun ternyata mereka
tidak mau patuh pada perintah Allah lewat Al
Maidah 51. Sungguh kini kita sangat paham
bahwa mereka adalah golongan ORANG
MUNAFIK.
Ya, itulah bukti kehebatan Ahok. Karena itulah,
saya mendukung dia untuk MASUK PENJARA.
Sebab mumpung umat islam sedang bersatu,
sedang semangat-semangatnya untuk membela
Islam, tentu saja inilah saat yang tepat untuk
MEMENJARAKAN AHOK.
Setuju?
"Lho, kan udah minta maaf. Kok masih
dipenjara?"
Dia kita maafkan, namun proses hukum harus
tetap jalan. Sebab perbuatan nista si Ahok ini
termasuk delik umum, BUKAN delik aduan.
Silahkan belajar ilmu hukum agar paham.
Jakarta, 12 Oktober 2016
Jn
Salah satu ciri *hokers adalah TIDAK
KONSISTEN: (generalisasi)
Ketika kemarin junjungannya masih ngotot
membela diri, mereka pun sibuk menjadi "ahli
tafsir dadakan" untuk membela si junjungan.
Mereka ngotot mengklaim bahwa junjungannya
tak bersalah.
Kini setelah junjungannya meminta maaf, eh...
para ahli tafsir dadakan ini bukannya minta maaf
karena terbukti mereka juga bersalah. Kini
mereka malah sibuk memuji-muji sang
junjungan sebagai orang yang berbesar hati,
gentleman, mau meminta maaf, dan sebagainya.
Padahal ya padahal:
Kita tentu masih sangat ingat, bagaimana
junjungan mereka itu selalu MENCARI
KAMBING HITAM atas kegagalan programprogram kerjanya.
"Banjir Jakarta karena ada sabotase, karena ada
kabel yang menumpuk, karena ini karena itu...."
Tak pernah intropeksi diri, tak pernah meminta
maaf kepada rakyat atas kegagalannya.
Tapi ini tiba-tiba meminta maaf? Huh!
Itu pun minta maafnya karena terpaksa, tidak
benar-benar tulus. Kalau benar-benar tulus,
harusnya sejak awal dia meminta maaf.
Kalau benar-benar tulus, harusnya dia minta
maaf karena telah menghina Al Quran. Eh, dia
justru HANYA meminta maaf karena telah bikin
masyarakat ribut.
Bah! Pemimpin Macam Mana Pula Kau Ini?

Generalisasi :
Salah satu ciri *hokers adalah
TIDAK KONSISTEN.
Repetisi :
 Padahal ya padahal
 Itu pun minta maafnya karena
terpaksa, tidak benar-benar
tulus. Kalau benar-benar tulus,
harusnya sejak awal dia
meminta maaf

5

Jn
October 11 at 2:25pm
Data 4
Pak Buni Yani dilaporkan ke polisi dengan
Enumeration and klimaks :
tuduhan memposting potongan video Ahok yang Pak Buni Yani dilaporkan ke polisi
berisi penghinaan terhadap Al Quran. Ini artinya: dengan tuduhan memposting
1. Strategi PLAYING VICTIM pun dimulai.
potongan video Ahok yang berisi
Mereka yang mulai cari gara-gara, eh mereka
penghinaan terhadap Al Quran. Ini
justru berlagak jadi korban.
artinya:
2. Strategi PENGALIHAN FOKUS pun dimulai. 1. Strategi PLAYING VICTIM pun
Saya yakin, menjadikan Pak Buni Yani sebagai
dimulai. Mereka yang mulai cari
target bertujuan agar kita sibuk membahas
gara-gara, eh mereka justru berlagak
beliau, dan lupa membahas AHOK sebagai
jadi korban.
PENEBAR SARA YANG SEBENARNYA.
2. Strategi PENGALIHAN FOKUS
Mereka ingin agar kita lupa membicarakan Ahok pun dimulai. Saya yakin,
yang telah menghina Al Quran.
menjadikan Pak Buni Yani sebagai
JANGAN TERKECOH!
target bertujuan agar kita sibuk
NB: Untuk Pak Buni Yani, JANGAN TAKUT!
membahas beliau, dan lupa
Saya yakin banyak yang mendukung Anda,
membahas AHOK sebagai
TERMASUK SAYA.
PENEBAR SARA YANG
Saya juga yakin, semakin Pak Buni Yani
SEBENARNYA.
dizalimi, maka perlawanan umat Islam akan
semakin besar.
Jn
October 8 at 7:36am
Data 5
Katanya jangan main SARA, padahal merekalah Kontras :
yang mulai main SARA. Katanya jangan
Katanya jangan main SARA,
menebar kebencian lewat socmed. Padahal
padahal merekalah yang mulai main
merekalah yang mulai melakukannya.
SARA. Katanya jangan menebar
Strategi playing victim. Mereka yang mulai bikin kebencian lewat socmed. Padahal
onar, tapi mereka selalu berlagak seolah-olah
merekalah yang mulai
merekalah korbannya. (kontras)
melakukannya.
(Termasuk pada kasus pelecehan terhadap Al
Strategi playing victim. Mereka
Maidah 51 oleh Ahok. Mereka mulai pakai
yang mulai bikin onar, tapi mereka
strategi yang sama, seolah-olah Ahok yang jadi
selalu berlagak seolah-olah
korban penzaliman. Padahal aslinya, dialah yang merekalah korbannya.
mulai memprovokasi).
Berdasarkan data yang ditemukan, penanda prasangka dalam wacana yang ditemukan terdiri atas:
a. Generalisasi
Kalimat prasangka yang mengandung generalisasi terdapat pada data;
 Orang liberal emang selalu CACAT LOGIKA. (data 1)
 Salah satu ciri ahokers adalah TIDAK KONSISTEN. (data 3)
Penggunaan kata emang selalu dan kata salah satu ciri menunjukkan bahwa enulis status fb tersebut ingin
mengeneralisasi bahwa semua orang liberal itu cacat logika, serta semua ahokers itu tidak konsisten.
b. Kontras
Kalimat prasangka yang mengandung kontras terdapat pada data;
 Terlepas apakah permintaan maafnya itu tulus atau hanya trik licik untuk menarik simpati publik.
(data 2)
 Katanya jangan main SARA, padahal merekalah yang mulai main SARA. Katanya jangan
menebar kebencian lewat socmed. Padahal merekalah yang mulai melakukannya .... Strategi
playing victim. Mereka yang mulai bikin onar, tapi mereka selalu berlagak seolah-olah merekalah
korbannya.
Penggunaan kata atau hanya, padahal, dan tapi digunakan oleh penulis status tersebut untuk
menunjukkan kesalahan yang dilakukan subjek/pelaku dengan menggunakan kata-kata pengingkaran
tersebut.
c. Repetisi
6

Kalimat prasangka yang mengandung repetisi terdapat pada data;
 Padahal ya padahal... (data 3)
 Itu pun minta maafnya karena terpaksa, tidak benar-benar tulus. Kalau benar-benar tulus,
harusnya sejak awal dia meminta maaf. (data 3)
Penggunaan kata yang diulang atau repetisi pada data 3 menunjukkan bahwa penulis status ingin
pembacanya menaruh perhatian pada hal yang diulang penulis, yang dalam hal ini penulis ingin menarik
perhatian pembaca bahwa apakah subjek yang dibicarakan itu benar-benar tulus ataupun perilaku subjek
yang dibicarakan sudah benar atau masih salah.
d. Enumeration and klimaks
Kalimat prasangka yang mengandung enumeration and klimaks terdapat pada data;
 Pak Buni Yani dilaporkan ke polisi dengan tuduhan memposting potongan video Ahok yang
berisi penghinaan terhadap Al Quran. Ini artinya:
1. Strategi PLAYING VICTIM pun dimulai. Mereka yang mulai cari gara-gara, eh mereka justru
berlagak jadi korban.
2. Strategi PENGALIHAN FOKUS pun dimulai. Saya yakin, menjadikan Pak Buni Yani sebagai
target bertujuan agar kita sibuk membahas beliau, dan lupa membahas AHOK sebagai PENEBAR
SARA YANG SEBENARNYA.
Penulis status di atas menggunakan strategi enumeration dan klimaks. Hal ini ditandai dengan pernyataan
yang kemudian dilanjutkan dengan pemaparan alasan satu per satu. Tipe kalimat prasangka yang seperti
ini bertujuan untuk meyakinkan pembaca bahwa argumen penulis status tersebut logis. Penulis dalam
status di atas ingin memengaruhi pembacanya bahwa tuduhan memposting potongan video Ahok yang
berisi penghinaan terhadap Al Quran hanya mempunyai dua arti yaitu munculnya strategi playing victim
oleh pendukung ahok, dan yang kedua akan terjadi strategi penglihan fokus dari para pendukung ahok.
F. Simpulan
Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa, bahasa dalam media sosial tidak terlepas dari
prasangka. Tipe gaya bahasa yang digunakan diantaranya; generalisasi, kontras, repetisi, serta
enumeration dan klimaks. Penggunaan gaya bahasa tersebut bertujuan untuk menyakinkan pembaca
bahwa apa yang diyakini oleh penulis status di media sosial tersebut adalah benar.
Daftar Pustaka
Darmojuwono, Setiawati. 2000. ‘Manipulasi Bahasa dan Prasangka Sosial dalam Komunikasi’. Jurnal
WACANA, Vol. 2, hal. 32-39.
Dayakisni, Tri dan Hudainah. 2006. Psikologi Sosial. Malang : UMM Press.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra (Cetakan Pertama). Yogyakarta : CAPS.
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra : Sebuah Penjelajahan Awal (cetakan pertama). Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Kartono, Kartini. 1981. Patologi Sosial Jilid I. Bandung: Rajawali Press.
Papalia, Diane E., dan Oldes, Sally Wendkos. 1985. Psychology. New York: McGraw-Hill Inc.
Sarwono, Prof.Dr.Salito Wirawan. 2007. Psikologi prasangka orang Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.
Sears, David O., Freedman, Jonathan L. & L. Anne Peplau. 1991. Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Teun A. van Dijk. 1984. Prejudice in discourse. Amsterdam/Philadelphia : JOHN BENJAMINS
PUBLISHING COMPANY.
Worchel, S., Cooper, R., Goethals, G. R., & Olson, J.M. 2000. Social Psychology. USA: Thomson
Learning.

Makalah ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional dan Dialog Kebangsaan Bulan Bahasa 2016
di Universitas Hasanuddin, Makassar 11-12 nopember 2016.
7