Sejarah Perkembangan Filologi (1) Perkembangan Filologi (1)

Sejarah Perkembangan Filologi

Nama

: Siti Rahmah Lubis

NIM

: 1600025065

Mata kuliah

: Filologi

Prodi

: Sastra Indonesia

Fakultas

: Sastra, Budaya dan Komunikasi


Sejarah Perkembangan Filologi

Filologi adalah salah satu cabang ilmu yang mampu membuka aspek-aspek kebudayaan Yunani lama,yang merupakan akar bagi unsurunsur yang dapat dirasakan dalam segala bidang kehidupan. Kebudayaan Yunani lama,hingga abad ini tetap berperan dalam memperluas dan
memperdalam pengetahuan mengenai sumber dari segala ilmu pengetahuan. Kebudayaan Yunani lama juga merupakan salah satu dasar
pemikiran yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat dunia Barat,kawasan Timur Tengah, Asia dan Asia Tenggara, serta
kawasan Nusantara. Ilmu Filologi tumbuh dan berkembang di kawasan kerajaan Yunani; kota Iskandariyah di Benua Afrika Pantai Utara. Dari
kota ini filologi kemudian berkembang dan meluas hingga ke Eropa Daratan dan ke bagian-bagian dunia yang lain.
Selain untuk tujuan penggalian ilmu pengetahuan Yunani lama, kegiatan filologi juga dikenal sebagai kegiatan perdagangan. Untuk hal
ini penyalinan naskah biasanya dilakukan oleh para budak belian yang pada waktu itu masih banyak dan mudah dikerahkan. Hasil penyalinan
tersebut lalu diperdagangkan di sekitar Laut Tengah.
I. Filologi di Eropa Daratan
Bangsa Yunani pertama kali melakukan kegiatan filologi pada abad ke-3 SM di kota Iskandariyah dan berhasil membaca naskah-naskah
Yunani lama yang ditulis pada daun papirus dengan huruf Yunani kuno yang berasal dari huruf bangsa Funisia,yang penulisannya berkisar pada
abad ke-8 SM.
Pada abad ke-3 SM, terdapat pusat ilmu pengetahuan di kota Iskandariyah, karena para ahli (yang berasal dari daerah sekitar Laut
Tengah) yang bekerja di tempat tersebut banyak melakukan telaah naskah-naskah lama. Pusat ilmu pengetahuan itu berupa perpustakaan yang
menyimpan sejumlah naskah (papirus yang bergulung,ditulis pada satu sisi dengan benda runcing) milik bangsa Yunani lama yang berisi
berbagai ilmu pengetahuan, yakni ilmu filsafat, kedokteran, perbintangan (astronomi), sastra, ilmu hukum, dan lain-lain. Bangunan perpustakaan
itu merupakan museum yang aslinya adalah sebuah kuil untuk memuja 9 orang Dewi Muses, dewi kesenian dan ilmu pengetahuan dalam

mitologi Yunani. Para penggarap naskah itu kemudian dikenal dengan sebutan ahli filologi atau filolog, sedangkan metode yang mereka gunakan
untuk menelaah naskah-naskah itu dinamakan ilmu filologi. Eratosthenes adalah yang pertama kali memakai istilah ahli filologi atau filolog.
Metode taraf awal itu terus berkembang dari abad ke abad hingga waktu ini, di berbagai negara dan bangsa. Metode taraf awal tersebut
dilakukan dengan :
-

Memperbaiki huruf dan bacaan, ejaan, bahasa, serta tatatulisnya
Menyuntingnya hingga mudah dibaca, bersih dari kesalahan-kesalahan. Terkadang ditambahi komentar atau tafsiran dan penjelasanpenjelasan lain secukupnya
Eksamplar yang telah disunting tersebut di salin lagi berkali-kali

Para filolog taraf awal ini dikenal dengan aliran atau mazhab Iskandariyah. Kegiatan filologi di Iskandariyah kian lama kian ramai, sampai
jatuhnya daerah Iskandariyah ke tangan bangsa Romawi pada abad ke-1 SM.
Pada awal pertumbuhan ilmu filologi, para filolog menelaah karya sastra Homerus, tulisan-tulisan Plato, Menander, Herodotus,
Hippocrates, Socrates,dan Aristoteles, dimana isinya meliputi karya sastra bermutu tinggi dan berbagai ilmu pengetahuan serta filsafat. Lalu
setelah Iskandariyah jatuh kedalam kekuasaan Romawi, kegiatan filologi pun berpindah ke Eropa Selatan, berpusat di kota Roma, namun tetap
melanjutkan tradisi dan kegiatan mazhab Iskandariyah. Pada abad ke-1, tradisi filologi Yunani mulai berkembang, berupa pembuatan resensi
terhadap naskah-naskah tertentu. Perkembangan ini berkelanjutan hingga peristiwa pecahnya kerajaan Romawi pada abad ke-4 menjadi kerajaan
Romawi Barat dan Romawi Timur, yang mempengaruhi perkembangan filologi selanjutnya.



Filologi di Romawi Barat

Di Romawi Barat, kegiatan filologi di fokuskan kepada penggarapan naskah-naskah dalam bahasa Latin yang ada sejak abad ke-3 SM
yang berupa puisi dan prosa, diantaranya tulisan Cicero dan Varro.
Tradisi Latin ini dikembangkan di kerajaan Romawi Barat, dan bahasa Latin menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Kegiatan filologi di
Romawi Barat juga dilakukan oleh para pendeta untuk telaah naskah-naskah keagamaan sejak terjadinya kristenisasi di benua Eropa.
Akibatnya, naskah-naskah Yunani ditinggalkan, bahkan terkadang dipandang sebagai tulisan yang berisi paham jahiliyah dan ilmu yang
berkaitan dengan paham itu. Karena itu telaah teks Yunani mengalami kemunduran dan tidak banyak yang mengenal kandungan isinya lagi.
Sejak abad ke-4, teks sudah ditulis dalam bentuk buku (codex), menggunakan bahan kulit binatang (terutama kulit domba), dikenal dengan
nama perkamen (Belanda; perkament. Inggris; perchment). Dalam bentuk codex, naskah dapat memakai halaman, jadi mudah dibaca,
dan bahan perkamen lebih tahan lama dibanding bahan papirus.



Filologi di Romawi Timur

Ketika di Romawi Barat telaah teks Yunani mengalami kemunduran, di Romawi Timur mulai muncul pusat-pusat studi teks Yunani,
seperti di Antioch, Athena, Iskandariyah (pusat studi bidang filsafat Aristoteles), Beirut (pusat studi bidang hukum),Konstantinopel, dan Gaza.
Dalam periode itu mulai muncul kebiasaan menulis tafsir dari isi naskah pada tepi halaman,yang disebut scholia.




Filologi di Zaman Renaisans

Renaisans dimulai pada abad ke-13, di Italia, kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya, dan berakhir pada abad ke-16. Istilah
renaisans berarti perubahan di lapangan sejarah kebudayaan mengenai tanggapan hidup serta peralihan dari Zaman Pertengahan ke Zaman Baru.
Renaisans adalah periode dimana kebudayaan klasik diambil kembali sebagai pedoman hidup. Dalam arti luas, renaisans berarti periode dimana
rakyat cenderung kepada dunia Yunani klasik atau kepada aliran humanisme. Kata humanisme berasal dari kata humaniora (Yunani) atau
umanista (Latin), yang berarti; guru yang mengelola tata bahasa, retorika, puisi, filsafat, ilmu hukum, sejarah, keagamaan, kesastraan, dan
kesenian. Kajian yang dilakukan pada zaman renaisans tetap berpijak pada kritik teks serta sejarahnya, seperti karya dari Italia berikut ini;
Lovato Lovati (1241-1309), Lorensi Vallo (1407-1457), dan Angelo Poliziano (1454-1494).
Pada abad ke-15, banyak filolog dari Romawi Timur berpindah ke Eropa Selatan, terutama ke kota Roma karena jatuhnya kerajaan
Romawi Timur atau Bizantum ke tangan bangsa Turki. Ditempat-tempat baru itulah mereka mendapat kedudukan sebagai pengajar, penyalin
naskah, atau penerjemah teks Yunani dalam bahasa Latin.
Pada abad ke-15 ini juga ditemukan mesin cetak oleh Gutenberg dari Jerman, yang menimbulkan perkembangan baru dalam bidang
filologi. Karena itulah zaman sebelum ditemukannya mesin cetak dinamakan zaman pra-Gutenberg. Sejak ditemukannya mesin cetak tersebut,
kekeliruan yang banyak terjadi pada penyalinan teks menjadi lebih kecil, tidak seperti sewaktu teks disalin dengan tangan. Disamping itu
kedudukan bahasa Yunani, Romawi, dan Latin menjadi penting, khusus untuk kajian Beibel diperlukan pengetahuan baha Ibrani dan Arab. Di
Eropa, ilmu filologi berkembang dan diterapkan juga untuk telaah naskah lama nonklasik, seperti naskah Germania, Romania.
Mulai abad ke-19, ilmu bahasa atau linguistik berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri terpisah dari ilmu filologi.

Dan pada abad ke-20 pengertian filologi di kawasan Anglo-Sakson berubah menjadi Linguistik.

II. Filologi di Kawasan Timur Tengah
Negara-negara Timur Tengah mendapatkan ide filsafat dan ilmu eksakta terutama dari bangsa Yunani kuno, yang telah menanamkan
kebudayaan di Mesir, Siria, dan di beberapa tempat lain sejak zaman Iskandar Zulkarnain.
Studi naskah dan ilmu pengetahuan Yunani makin berkembang pada zaman dinasti Abasiyah, dalam pemerintahan khalifah Mansur (754775), Harun Alrasyid (786-809), dan puncak perkembangan itu pada masa pemerintahan Makmun (809-833). Didalam istananya terkumpul
sejumlah ilmuwan dari negara lain yang belajar geometri, astronomi, teknik , dan musik. Mereka dibangunkan sebuah pusat studi yang diberi
nama Bait al-Hikmah (Lembaga Kebijaksanaan), lengkap dengan perpustakaan dan observatorium. Ada tiga penerjemah ternama yang beragama
nasrani pada waktu itu, diantaranya Qusta bin Luqa, Hubaisyi, dan yang paling luas pengetahuannya bernama Hunain bin Ishaq (menguasai
bahasa Arab, Yunani, Persia). Bangsa-bangsa di Timur Tengah memang dikenal sebagai bangsa yang memiliki dokumen lama yang berisi nilainilai agung. Sebelum kedatangan islam, bangsa Arab dan Persia telah memiliki karya sastra berupa prosa dan puisi yang mengagumkan,
misalnya Mu’allaqat dan Qasidah pada bangsa Arab dan cerita Seribu Satu Malam dari Persia serta karya-karya penyair Umar Khayyam.
Pada abad ke-8 sampai ke-15, kekuasaan dinasti Umayah meluas ke Spanyol dan Andalusia, membuka dimensi baru bagi telaah karya
tulis dari kawasan Timur Tengah yang masuk ke Eropa Daratan waktu itu. Ilmu pengetahuan Yunani kembali masuk ke Eropa dengan baju Islam.
Orientalis yang dikenal pada waktu itu ialah Albertus Magnus ahli filsafat Aristoteles melalui tulisan-tulisan al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ghazali. Ia
mengajar di Persia pada abad ke-12. Pada abad ke-13 dilakukan penerjemahan karya tulis Ibn Rusyd dan Ibnu Sina kedalam bahasa Latin, di
pusat studi Montpillier.
Pada abad ke-17, telaah teks klasik Arab dan Persia di Eropa telah dipandang mantap, terutama di Cambridge dan Oxford. Waktu itu
selain naskah Arab dan Persia, ditelaah juga naskah Turki, Ibrani, dan Siria. Pada akhir abad ke-18, didirikan pusat studi kebudayaan ketimuran
oleh Silvester de Sacy dengan nama Ecole des Langues Orientales Vivantes.
III. Filologi di Kawasan Asia: India

Bangsa India adalah salah satu bangsa diantara bangsa Asia yang dipandang memiliki cukup dokumen peninggalan masa lampau serta
telah dapat membuka kebudayaannya. Pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain, terjadi kontak langsung dengan bangsa Yunani yang mengadakan
perjalanan sampai ke India pada abad ke-3 SM. Pengaruh Yunani pada seni patung terbukti di daerah Gandhara, ditemukan patung Buddha yang
dipahat seperti patung Apollo memakai jubah tebal. Perpaduan kebudayaan Yunani, Hindu, Buddha, dan Jaina dinamakan kebudayaan
Gandhara, yang mencapai puncaknya pada zaman raja Kaniska Kusana dalam tahun ke 78-100. Filsafat Yunani diduga telah mempengaruhi
sistem filsafat india Nyana dan Waisesika; doktrin Aristoteles telah mempengaruhi silogisme India,dan teori atom Empedocles berpengaruh
pada hukum atom India.
Sekelompok pendeta Buddha mengadakan perjalanan dakwah ke China sejak abad ke-1 , dan terjadilah kontak langsung antara bangsa
India dengan China. Bangsa China juga melakukan perjalanan menuju tempat-tempat suci di India setelah itu. Dalam sejarah India, tercatat tiga
orang Cina yang menerjemahkan naskah-naskah India kedalam bahasa China,yaitu Fa-hian (399), Huen-tsing (630-465), dan I-tsing (671-695).
Kontak langsung itu ditandai dengan masuknya karya sastra India Pancatantra dalam kesastraan Persi yang digubah pada abad ke-3 di India
oleh seorang Waisynawa, atas perintah Kaisar Anusyirwan dari dinasti Sasaniyah (531-579),yang oleh Abdullah Ibn Muqaffa diterjemahkan
kedalam bahasa arab dan dikenal dengan judul Kalila wa Dimna. Karya sastra India lain yang diterjemahkan kedalam bahasa Persi, yaitu
Sukasaptati yang dalam versi Persia dikenal dengan judul Tutinameh.
Seorang musafir Arab-Persia yang bernama Alberuni adalah yang pertama kali mempelajari naskah-naskah India pada
tahun 1030.

Naskah-naskah India yang paling tua adalah kesastraan Weda, kitab suci agama Hindu yang isinya adalah kepercayaan kepada
dewa,penyembahan terhadap mereka secara ritual,mantra-mantra yang mengiringi upacara keagamaan Hindu,dan ilmu sihir; yang mengandung
bagian Regweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atarwa-weda yang disusun pada abad ke-6 SM. Setelah Weda, disusunlah naskah-naskah lain yang

berisi kitab suci Brahmana,yakni cerita mengenai penciptaan dunia dan isinya,cerita para dewa serta cerita mengenai persajian, kitab
Aranyaka,berisi petunjuk bagi petapa yang menjalani kehidupan dalam hutan-hutan, dan kitab Upanisad yang berisi masalah filsafat yang
memikirkan rahasia dunia. Selain itu terdapat juga naskah-naskah India yang berisi wiracarita, seperti Mahabharata dan Ramayana,yang ditulis
oleh para kawya (penyair andalan).
Pada tahun 1498, bangsa Barat, Vasco da Gama menemukan jalan laut ke India , dan mulai menelaah naskah-naskah India yang berisi
berbagai aspek kebudayaan baru. Mula-mula dikenal mereka adanya bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Gujarati, bahasa Bangali pada
sebelum abad ke-19. Bahasa Sansekerta mulai diketahui pada awal abad ke-19, dan kitab-kitab Weda ditemukan pada akhir abad ke-19. Hasil
kajian-kajian tersebut mulai di publikasikan oleh seorang Belanda bernama Abraham Roger dengan judul Open Door to Hidden Heathendom
pada tahun 1651. Kemudian di tahun 1671, terbit karangan orang Perancis bernama Bernier dan Tafernier di tahun 1677 yang membahas
mengenai geografi, politik, adat istiadat,serta kepercayaan bangsa India.
Mulanya, tatabahasa Sansekerta ditulis dalam bahasa Latin oleh Hanxleden, seorang pendeta berbangsa Jerman. Karangan ini lalu
diterbitkan di Roma oleh Fra Paolo Bartolomeo, yang adalah seorang penginjil berbangsa Austria, pada tahun 1790, dan pernah tinggal di
Malabar pada tahun 1776-1789.
Pada abad ke-18, bangsa Inggris memulai kegiatan filologi di India, diawali dengan hasrat gubernur jenderal Warren Hastings menyusun
kitab hukum berdasarkan hukum yang ditulis dalam naskah-naskah lama bangsa India, yang kemudian diterbitkan di London pada tahun 1776.
Pada tahun 1784, para orientalis Inggris yang saat itu sedang bekerja di India mendirikan sebuah wadah kegiatan filologi bernama The Asia
Society di Bengal. Diantara mereka yang memajukan kegiatan tersebut antara lain Sir Charles Wikins (yang menguasai bahasa Sansekerta dan
berhasil menerjemahkan Bhagawatgita berjudul Song of The Adorable One pada tahun 1785, menerjemahkan Hitopadesa pada tahun 1787, dan
menyusun tatabahasa Sansekerta pada tahun 1808), Sir William Jones (yang mendirikan The Asia Society di Calcutta pada tahun 1794,
menerjemahkan Sakuntala, Gitagowinda; kitab hukum Manu), dan Henry Thomas Colebrooke.

Pada abad ke-19 dikenal nama Alexander Hamilton (berbangsa Inggris), Friedrich Schlegel (berbangsa Jerman), keduanya adalah ahli
yang memajukan studi naskah-naskah Sansekerta di Eropa. Friedrich menulis buku On The Language and Wisdom of the Indian pada tahun
1808, juga mendirikan Lembaga Filologi India di Jerman.
Pada abad ke-17, kitab Upanisad diterjemahkan kedalam bahasa Persi dan hasil terjemahan ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada
tahun 1801-1802, oleh seorang orientalis Perancis bernama Anquetil Duperron yang berjudul Oupnek’hat.

IV. Filologi di Kawasan Nusantara
Nusantara termasuk dalam kawasan Asia Tenggara. Seperti kawasan Asia pada umumnya, kawasan ini sejak kurun waktu yang lama
memiliki peradaban yang tinggi dan mewariskan kebudayaannya kepada anak keturunanya melalui berbagai media, termasuk media tulisan yang
berupa naskah-naskah. Kawasan Nusantara terdiri dari beragam kelompok etnis yang masing-masing memiliki kebudayaan yang khas.


Naskah Nusantara dan Para Pedagang Barat
Pengkajian naskah-naskah Nusantara dimulai dengan kehadiran bangsa Barat pada abad ke-16. Para pedagang lah yang pertama kali
mengetahui mengenaik adanya naskah-naskah lama tersebut. Lalu para pedagang mengumbulkan naskah-naskah itu dari perorangan atau
dari tempat-tempat yang memiliki koleksi, seperti pesantren atau kuil-kuil, kemudian membawanya ke Eropa,menjualnya kepada
perorangan atau kepada lembaga-lembaga yang telah mengoleksi naskah-naskah lama. Naskah-naskah itu terus berpindah tangan karena
dijual atau dihadiahkan. Peter Floris (pernah menetap di Aceh pada tahun 1604) adalah seseorang yang dikenal bergerak dalam
perdagangan naskah. Kumpulan naskahnya dijual kepada Thomas Erpenius, seorang orientalis ternama dari Leiden (1584-1624).
Frederick de Houtman, saudara laki-laki dan teman seperjalanan Cornelis de Houtman,menulis karangan berjudul Spraeck ende

Woordboeck, inde Maleysche ende Madagaskarche Talen yang terbit tahun 1603, membuktikan minatnya terhadap kebudayaan
Nusantara.
Di zaman VOC, bahasa-bahasa Nusantara yang dipelajari terbatas pada bahasa Melayu, karena bahasa Melayu mampu menghubungkan
bangsa pribumi dengan bangsa asing seperti India, Cina, Arab, dan bangsa Eropa lainnya.



Telaah Naskah Nusantara oleh Para Penginjil
Terjemahan Alkitab yang pertama terbit dalam bahasa Melayu pada tahun 1629, tepatnya 33 tahun setelah tibanya kapal Belanda pertama
di kepulauan Nusantara. Penerbitnya adalah Jan Jacobsz Palenstein,sedangkan nama penerjemahnya Albert Cornelisz Ruil (atau Ruyl),
dan judulnya Net Niuwe Testament in Nederduyts ende Malays, na de Grieckscher waarheyt overgeset – Jang Testamentum Baru
bersalin kepada Bassa Hulanda dan Bassa Malaju, seperti Jang Adillan bassa Gregu. Sebelumnya, Ruyl dan Jacob van Neck telah
menerbitkan Spiegel van de Maleise Tale.
Seorang penginjil terkenal yang menaruh minat pada naskah-naskah Melayu diantaranya adalah Dr.Melchior Leijdecker (1645-1701),
Petrus van den Vorm (1664-1731), Francois Valentijn, dan G.H Werndly (karangannya berjudul Maleische Spraakkunst, 1736).
Lembaga Nederlandsche Bybelgenootschap atau yang disingkat NBG adalah lembaga yang emmiliki kegiatan penting dipandang dari
sudut ilmu bahasa. Lembaga ini menyanggupkan diri menerbitkan tulisan Bruckner, dan berpendapat baha untuk menerjemahkan Alkitab
dalam bahasa-bahasa Indonesia seseorang harus memiliki bakat ilmiah yang cukup dalam bidang ilmu bahasa. Pada umumnya, tenaga-

tenaga yang dikirim oleh NBG tidak melakukan telaah filologis terhadap naskah-naskah yang dibaca dan dipelajari bahasanya. Sesuai

dengan teori filologi bahwa sastra lisan termasuk kajian filologi, maka diantara penginjil itu ada yang mengkaji sastra lisan di daerah
yang didatanginya, karena kelompok etnis didaerah tersebut belum mengenal huruf hingga budayanya masih disimpan dalam sastra lisan,
seperti daerah Toraja oleh N. Adriani dan Kruijt.


Kegiatan Filologi terhadap Naskah Nusantara
Kajian para filolog terhadap naskah-naskah Nusantara bertujuan untuk menyunting, membahas serta menganalisis isinya, atau untuk
kedua-duanya. Pada taraf awal, kajian tersebut difokuskan untuk tujuan penyuntingan. Kegiatan tersebut diarahkan untuk naskah Jawa
dan Melayu. Perkembangan selanjutnya, naskah itu disunting dalam bentuk transliterasi dalam huruf Latin, misalnya Wrettasantjaja
(1849), Ardjoena-Wiwaha (1850) dan Bomakawya (1850), ketiganya merupakan naskah Jawa Kuna oleh R.Th.A.Friederich dan Brata
Joeda (1850) oleh Cohen Stuart, serta suntingan teks Mahabharata berjudul Adiparwa, Oud-javaansche prozageschrift (1906) dan Drie
Boeken van het Oud-Javaansche Mahabharata in Kawi-Teks en Nederlandsche vertaling (1893) oleh H.H.Juynboll.
Pada abad ke-20, muncul terbitan ulang dari naskah yang pernah disunting sebelumnya dengan maksud untuk
menyempurnakan,diantaranya yaitu :
- Terbitan sebuah primbon Jawa dari abad ke-16, pertama kali oleh Gunning (1881) dengan metode diplomatik, lalu disunting oleh
H.Kraemer pada tahun 1921 dengan judul Een Javaansche Primbon uit de Zestiende Eeuw, diterbitkan lagi pada tahun 1954 oleh G.W.J.
Drewes dengan judul yang sama.
- Naskah Sunan Bonang, yang disunting oleh B.J.O. Schrieke pada tahun 1916 dengan judul Het Boek van Bonang. Diterbitkan lagi pada
tahun 1969 oleh Drewes dengan judul The Admonitions of Seh Bari.
- Naskah Wirataparwa, yang diterbitkan oleh Juynboll pada tahun 1892. Diterbitkan lagi pada tahun 1938 oleh Fokker dengan judul

Wirataparwa, opnieuw uitgegeven, vertaald en toegelicht.
- Naskah Arjunawiwaha, yang diterbitkan pada tahun 1850 oleh Friederich. Diterbitkan lagi oleh Poerbatjaraka pada tahun 1926 dengan
judul Arjuna Wiwaha.
Tersedianya naskah serta suntingan-suntingan naskah Nusantara juga mendorong minat untuk menyusun kamus bahasa-bahasa
Nusantara. Sejak abad ke-19,telah terbit beberapa kamus bahasa Jawa oleh tenaga-tenaga penginjil yang dikirim oleh NBG ke Indonesia.
Terbitan-terbitan kamus bahasa Jawa Kuna yang banyak dikenal,diantaranya :
- Kawi Balineesch- Nederlandsch Woordenboek (1897-1912), disusun oleh Van der Tuuk.
- Old-Javaansch-Nederlansch Woordenlyst (1923), disusun oleh H.H.Juynboll.
- Old Javanesch-English Dictionary (1982), disusun oleh P.J.Zoetmulder.
Kamus bahasa Melayu diantaranya yaitu :
- Nieuw Maleish-Nederlandsch Woordenboek (1947), disusun oleh H.C.Klinkert.
- A Malay-English Dictionary (1959), disusun oleh R.J.Wilkinson
Kegiatan filologi terhadap naskah-naskah Nusantara telah mendorong berbagai kegiatan ilmiah yang hasilnya telah dimanfaatkan
oleh berbagai disiplin, terutama disiplin humaniora dan disiplin ilmu-ilmu sosial. Kegiatan-kegiatan tersebut telah memenuhi tujuan ilmu
filologi, yaitu membuka kebudayaan bangsa dan mengangkat nilai-nilai luhur yang tersimpan didalamnya.