288595314 Peran Kb Dalam Upaya Menurunkan Angka Kematian Maternal Di Indonesia

REFERAT
PERAN KELUARGA BERENCANA DALAM UPAYA MENURUNKAN
ANGKA KEMATIAN IBU DI INDONESIA

PEMBIMBING
Dr. dr. Raditya Wratsangka, Sp.OG(K)
PENYUSUN
Fadhilla Eka N

030.10.098

Muhammad Alfi

030.10.184

Felix Hartanto

030.10.104

Runy P


030.10.242

Galih Arief

030.10.112

T. Rini

030.08.237

Herman Malondong

030.06.112

Soraya Verina

030.10.259

Muhamad Reza A


030.10.165

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PERIODE 2015 PERIODE 10 AGUSTUS 2015-17 OKTOBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat
dan hidayah - Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun judul untuk penulisan ini adalah ” Peran Keluarga Berencana Dalam Upaya Menurunkan
Angka Kematian Ibu di Indonesia”. Dalam penyusunan makalah ini, kami telah mencurahkan
segala pikiran dan kemampuan yang dimiliki. Namun tetap ada hambatan dan kendala yang
harus dilewati.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr.dr. Raditya Wratsangka, Sp.OG(K) selaku
dosen pembimbing, teman - teman dan seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.


Jakarta, Agustus 2015

Penulis

2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...………………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI………………...……………………………………………………………………3
BAB I PENDAHULUAN….……………………………………………………………………..4
BAB II KELUARGA BERENCANA …….…………....………………………………………...6
BAB III ANGKA KEMATIAN MATERNAL…….…………………………………………...11
BAB IV PERAN KB DALAM MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU ...........

14

BAB V KESIMPULAN…..…...………………………………………………………………..17
DAFTAR PUSAKA…..…….…………………………………………………………………..18


3

BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan data dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia telah menunjukkan penurunan yang signifikan dari
tahun 1994 sampai dengan tahun 2007 yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup, meskipun
demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia. Akan tetapi bila dilihat dari target
Millenium Development Goals (MDGs) yakni 110 per 100.000 kelahiran hidup, maka
AKI saat ini masih perlu diturunkan lagi. Sumatera Utara menjadi propinsi nomor tiga
tertinggi angka fertilitas setelah Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Angka Fertilitas Total
(TFR) adalah jumlah dari angka kelahiran menurut kelompok umur atau rata-rata jumlah
anak yang akan dilahirkan oleh seorang wanita pada akhir masa reproduksi jika
mengikuti fertilitas yang berlaku.1
Oleh karena itu upaya penurunan AKI serta peningkatan derajat kesehatan ibu tetap
merupakan salah satu prioritas utama dalam penanganan bidang kesehatan. Departemen
Kesehatan pada tahun 2000 telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) jangka panjang
upaya penurunan angka kematian ibu dan kematian bayi baru lahir. Dalam Renstra ini
difokuskan pada kegiatan yang dibangun atas dasar sistem kesehatan yang mantap untuk
menjamin pelaksanaan intervensi dengan biaya yang efektif berdasarkan bukti ilmiah

yang dikenal dengan nama "Making Pregnancy Safer (MPS)". Strategi MPS ini mengacu
pada 3 pesan kunci yaitu : 1) setiap persalinan ditolong oleh tenaga bidan terlatih, 2)
setiap komplikasi obstetrik neonatal mendapat pelayanan yang adekuat, dan 3) setiap
wanita usia subur dapat akses terhadap pencegahan kehamilan serta penanganan aborsi
yang tidak aman.
Penyebab kematian ibu selain karena perdarahan, preeklamsia/eklamsia adalah
tingginya paritas pada seorang ibu, yang diikuti rendahnya akses terhadap pelayanan
kesehatan. Tingginya paritas seorang ibu, selain mempunyai dampak terhadap angka
kesakitan dan kematian ibu juga meningkatkan jumlah penduduk yang tidak terkendali.
Pada isu status reproduksi 4 Terlalu (4T) : yaitu keadaan ibu yang terlalu muda (untuk
menikah, hamil dan punya anak), usia terlalu tua tetapi masih produktif, kehamilan terlalu

4

sering dan jarak kehamilan terlalu dekat memberi peran penting terhadap penurunan AKI
dan pencapaian program Keluarga Berencana.1

BAB II
5


KELUARGA BENCANA

2.1 Definisi Keluarga Berencana
Menurut World Health Organisation (WHO) expert committee 1997: keluarga
berencana adalah tindakan yang membantu pasangan suami istri untuk menghindari
kehamilan yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang memang sangat
diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam
hubungan dengan umur suami istri serta menentukan jumlah anak dalam keluarga.2
Keluarga berencana menurut Undang-Undang no 10 tahun 1992 (tentang
perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera) adalah upaya
peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia
perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan
kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
Keluarga berencana adalah suatu usaha untuk menjarangkan jumlah dan jarak
kehamilan dengan memakai kontrasepsi. Secara umum keluarga berencana dapat
diartikan sebagai suatu usaha yang mengatur banyaknya kehamilan sedemikian rupa
sehingga berdampak positif bagi ibu, bayi, ayah serta keluarganya yang bersangkutan
tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kehamilan tersebut.
Diharapkan dengan adanya perencanaan keluarga yang matang kehamilan merupakan
suatu hal yang memang sangat diharapkan sehingga akan terhindar dari perbuatan untuk

mengakhiri kehamilan dengan aborsi.1
2.2 Tujuan Keluarga Berencana (KB)
Gerakan KB dan pelayanan kontrasepsi memiliki tujuan:
a. Tujuan demografi yaitu mencegah terjadinya ledakan penduduk dengan menekan laju
pertumbuhan penduduk (LLP) dan hal ini tentunya akan diikuti dengan menurunnya
angka kelahiran atau TFR (Total Fertility Rate) dari 2,87 menjadi 2,69 per wanita.
Pertambahan penduduk yang tidak terkendalikan akan mengakibatkan kesengsaraan dan
menurunkan sumber daya alam serta banyaknya kerusakan yang ditimbulkan dan
6

kesenjangan penyediaan bahan pangan dibandingkan jumlah penduduk. Hal ini diperkuat
dengan teori Malthus (1766-1834) yang menyatakan bahwa pertumbuhan manusia
cenderung mengikuti deret ukur, sedangkan pertumbuhan bahan pangan mengikuti deret
hitung.
b. Mengatur kehamilan dengan menunda perkawinan, menunda kehamilan anak pertama
dan menjarangkan kehamilan setelah kelahiran anak pertama serta menghentikan
kehamilan bila dirasakan anak telah cukup.
c. Mengobati kemandulan atau infertilitas bagi pasangan yang telah menikah lebih dari
satu tahun tetapi belum juga mempunyai keturunan, hal ini memungkinkan untuk
tercapainya keluarga bahagia.

d. Married Conseling atau nasehat perkawinan bagi remaja atau pasangan yang akan
menikah dengan harapan bahwa pasangan akan mempunyai pengetahuan dan pemahaman
yang cukup tinggi dalam membentuk keluarga yang bahagia dan berkualitas.
e. Tujuan akhir KB adalah tercapainya NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan
Sejahtera) dan membentuk keluarga berkualitas, keluarga berkualitas artinya suatu
keluarga yang harmonis, sehat, tercukupi sandang, pangan, papan, pendidikan dan
produktif dari segi ekonomi.
2.3 Sasaran Program KB
a. Sasaran Langsung
Pasangan usia subur yaitu pasangan yang wanitanya berusia antara 15 - 49 tahun, Karena
kelompok ini merupakan pasangan yang aktif melakukan hubungan seksual dan setiap
kegiatan seksual dapat mengakibatkan kehamilan. PUS diharapkan secara bertahap
menjadi peserta KB yang aktif lestari sehingga memberi efek langsung penurunan
fertilisasi.
b. Sasaran Tidak Langsung
1) Kelompok remaja usia 15 - 19 tahun, remaja ini memang bukan merupakan target
untuk menggunakan alat kontrasepsi secara langsung tetapi merupakan kelompok yang
beresiko untuk melakukan hubungan seksual akibat telah berfungsinya alat-alat
reproduksinya. Sehingga program KB disini lebih berupaya promotif dan preventif untuk
mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan serta kejadian aborsi.


7

2) Organisasi-organisasi, lembaga-lembaga kemasyarakatan, instansi-instansi pemerintah
maupun swasta, tokoh-tokoh masyarakat (alim ulama, wanita, dan pemuda), yang
diharapkan dapat memberikan dukungannya dalam pelembagaan NKKBS.
3) Sasaran wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.
2.4 Akseptor Keluarga Berencana
Akseptor Keluarga Barencana (KB) adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang
menggunakan salah satu alat/obat kontrasepsi (BKKBN, 2007)
- Jenis-jenis Akseptor KB
a. Akseptor Aktif adalah: Akseptor yang ada pada saat ini menggunakan salah satu
cara/alat kontrasepsi untuk menjarangkan kehamilan atau mengakhiri kesuburan.
b. Akseptor Aktif Kembali adalah : Pasangan Usia Subur yang telah menggunakan
kontrasepsi selama tiga bulan atau lebih yang tidak diselingi suatu kehamilan, dan
kembali menggunakan cara alat kontrasepsi baik dengan cara yang sama maupun
berganti cara setelah berhenti/istirahat kurang lebih tiga bulan berturut-turut dan
bukan karena hamil.
c. Akseptor KB Baru adalah: Akseptor yang baru pertama kali menggunakan
alat/obat kontrasepsi atau PUS yang kembali menggunakan alat kontrasepsi setelah

melahirkan atau abortus.
d. Akseptor KB Dini adalah: Para ibu yang menerima salah satu cara kontrasepsi
dalam waktu 2 minggu setelah melahirkan atau abortus.
e. Akseptor Langsung : Para Istri yang memakai salah satu cara kontrasepsi dalam
waktu 40 hari setelah melahirkan atau abortus.
f. Akseptor dropout adalah: Akseptor yang menghentikan pemakaian kontrasepsi
lebih dari 3 bulan (BKKBN, 2007).
2.5 Jenis- Jenis Alat Kontrasepsi1
8

Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti “melawan”
atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang
dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah
menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan antara sel
telur dengan sel sperma. Untuk itu, berdasarkan maksud dan tujuan kontrasepsi, maka yang
membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang aktif melakukan hubungan seks dan keduaduanya memiliki kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan (Suratun, 2008).

Dalam konteks gerakan KB nasional, konsep mandiri merupakan suatu inovasi baru
dimana titik berat dalam penawaran dalam awal pelaksanaan program KB, berubah
menjadi fokus permintaan. Dengan kata lain mandiri dalam program KB meminta

masyarakat untuk berinisiatif serta berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan yang
berhubungan dengan perencanaan keluarga, khususnya kebutuhan alat kontrasepsi di
tempat pelayanan KB.
Pelayanan kontrasepsi sebagai sebagian dari pelayanan KB merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan, jenis pelayanan yang dapat diberikan kepada konsumen pada
kemampuan fasilitas kesehatan dan ini berhubungan dengan jenjang pelayanan. Fasilitas
pelayanan KB professional dapat bersifat teknik statis atau mobile ( TKBK, Pusling ) dan
diselenggarakan oleh tenaga professional, yaitu dokter spesialis, dokter umum, bidan atau
perawat kesehatan. Pelayanan yang mobile diperlukan untuk menjangkau pedesaan yang
terpencil. Fasilitas pelayanan KB professional statis meliputi pelayanan KB sederhana,
lengkap, sempurna dan paripurna.
Fasilitas pelayanan KB sederhana menyediakan jenis alat kontrasepsi seperti
kondom, obat vaginal, pil KB, suntik KB, IUD, menanggulangi efek samping, dan
berupaya rujukan. Tenaga pelaksanannya minimal perawat kesehatan atau bidan yang
dilatih. Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah kehamilan. Upaya ini bersifat
sementara dapat juga bersifat permanen, penggunaan alat kontrasepsi merupakan salah
satu variabel yang mempengaruhi fertilitas, konsumen memerlukan kontrasepsi dengan
kemampuan yang dapat dipercayai untuk mencegah kehamilan.
Alat kontrasepsi yang bermutu minimal memiliki ciri-ciri sebagai berikut : punya
daya guna, aman, estestis, mudah didapat, tidak memerlukan motivasi terus- menerus dan
9

efek sampingnya sedikit-dikitnya. Angka-angka konkret mengenai jumlah konsumen
yang harus menderita akibat komplikasi pemakaian KB, jumlah kegagalan alat
kontrasepsi, berapa banyak pengguna KB yang dapat ditolong ataupun tidak dan berapa
jumlah akseptor yang harus drop – out.2
Jenis-jenis alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan adalah :
1. IUD ( INTRA UTERINA DEVICE)
IUD ( INTRA UTERINA DEVICE ) atau Alat Kontrasepsi Dalam Rahim atau
AKDR adalah alat kontrasepsi yang terbuat dari plastik yang halus dan berbentuk
spiral atau lainnya yang dipasang ke dalam rahim dengan memakai alat khusus oleh
dokter dan bidan yang sudah dilatih. Kontra indikasi pemasangan IUD / AKDR :
1. Adanya sangkaan kehamilan
2. Pendarahan di saluran kencing
Efektivitas : Sangat efektif, yaitu 0,5 – 1 kehamilan per 100 perempuan selama satu
tahun penggunaan.
2 . IMPLANT Adalah alat kontrasepsi yang berbentuk kecil seperti karet elastis
yang ditanam dibawah kulit dan pemakain alat ini dalam jangka waktu 3 – 5 tahun.
Kontraindikasi

penggunaan

IMPLANT

:

Pada

kebanyakan

klien

dapat

menyebabkan perubahan pola haid berupa bercak Pendarahan ( spotting,
hipermenorea serta amenorea ). Evektivitas : Sangat efektif ( kegagalan 0,2 – 1
kehamilan per 100 perempuan ).
3 . MOW ( Metode Operatif Wanita ) Metode Operatif Wanita adalah metode
operasi melalui operasi rongga perut dengan pemotongan pada tubapalopi.
Sehingga dengan demikian tidak akan terjadi pembuahan. Kontraindikasi
penggunaan MOW : Alergi terhadap obat anastesi, berat badan berlebihan ( obesitas
), infeksi pada saat melahirkan ( intrapartum ) dan nifas. Efektivitas : Sangat efektif
( gagal 0,1 – 0,7 per 100 perempuan.
BAB III
ANGKA KEMATIAN MATERNAL
Secara definisi, menurut Depkes, Kematian ibu adalah kematian yang terjadi pada
ibu hamil, bersalin dan nifas (sampai 42 hari setelah bersalin), sebagai akibat dari
10

kelainan yang berkaitan dengan kehamilannya atau penyakit lain yang diperburuk oleh
kehamilan, dan bukan karena kecelakaan. Beberapa ahli menyebut kematian ibu adalah
ukuran penting dari kematian suatu bangsa dan masyarakat serta mengindikasikan
kesenjangan dalam kesehatan dan akses ke pelayanan kesehatan. Kematian ibu
merupakan permasalahan kesehatan publik global dan penurunan kematian ibu adalah
prioritas agenda kesehatan dan politik di setiap negara.3
Sementara WHO mendefinisikan kematian ibu sebagai “kematian wanita saat hamil
atau 42 hari setelah kehamilan berakhir, tanpa melihat lamanya kehamilan dan lokasi
persalinan, karena sebab apapun terkait atau dipicu oleh kehamilan atau komplikasi dan
manajemennya namun bukan karena sebab-sebab kecelakaan atau insidental”. Sementara
terdapat dua alternatif alat ukur baru kematian ibu terkait dengan kehamilan, yaitu:
1.

Kematian maternal lanjut (late maternal death) – Kematian yang diakibatkan

penyebab obstetric langsung dan tidak langsung lebih dari 42 hari namun kurang dari 1
tahun (antara 42 hari – 1 tahun) setelah melahirkan (after termination of pregnancy).
2.

Kematian terkait kehamilan (pregnancy-related death) – Kematian ibu yang

terjadi selama kehamilan atau 42 hari setelah melahirkan, tanpa melihat penyebabnya,
obstetric langsung dan tidak langsung (oleh sebab apapun). Kematian ibu terkait
kehamilan (pregnancy-related death) sangat berguna ketika penyebab kematian sulit
ditentukan dan ketika semua kematian di daerah itu disebabkan karena kehamilan.
3.1 Upaya safe motherhood
Upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir harus melalui
jalan yang terjal. Terlebih kala itu dikaitkan dengan target Millenium Development Goals
(MDGs) 2015, yakni menurunkan angka kematian ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000
kelahiran hidup, dan angka kematian bayi (AKB) menjadi 23 per 100.000 kelahiran hidup
yang harus dicapai. Waktu yang tersisa hanya tinggal tiga tahun ini, tidak akan cukup
untuk mencapai sasaran itu tanpa upaya-upaya yang luar biasa.4

11

Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyebab
langsung kematian ibu hampir 90 persen terjadi pada saat persalinan dan segera setelah
persalinan. Sementara itu, risiko kematian ibu juga makin tinggi akibat adanya faktor
keterlambatan, yang menjadi penyebab tidak langsung kematian ibu. Ada tiga risiko
keterlambatan, yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk (termasuk terlambat
mengenali tanda bahaya), terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat keadaan
darurat dan terlambat memperoleh pelayanan yang memadai oleh tenaga kesehatan..
Upaya terobosan yang paling mutakhir adalah program Jampersal (Jaminan
Persalinan) yang digulirkan sejak 2011. Program Jampersal ini diperuntukan bagi seluruh
ibu hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru lahir yang belum memiliki jaminan kesehatan
atau asuransi kesehatan. Keberhasilan Jampersal tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan
pelayanan kesehatan namun juga kemudahan masyarakat menjangkau pelayanan
kesehatan disamping pola pencarian pertolongan kesehatan dari masyarakat, sehingga
dukungan dari lintas sektor dalam hal kemudahan transportasi serta pemberdayaan
masyarakat menjadi sangat penting.
Melalui program ini, pada tahun 2012 Pemerintah menjamin pembiayaan persalinan
sekitar 2,5 juta ibu hamil agar mereka mendapatkan layanan persalinan oleh tenaga
kesehatan dan bayi yang dilahirkan sampai dengan masa neonatal di fasilitas kesehatan.
Program yang punya slogan Ibu Selamat, Bayi Lahir Sehat ini diharapkan memberikan
kontribusi besar dalam upaya percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi baru
lahir.5
Tahun 1990-1991, departemen kesehatan dibantu WHO, UNICEF, UNDP
melaksanakan Assessment Safe Motherhood. Suatu hasil dari kegiatan adalah
rekomendasi Rencana Kegiatan

Lima Tahun Departemen Kesehatan menerapkan

rekomendasi tersebut dalam bentuk strategi operasional untuk mempercepat penurunan
angka kematian ibu (AKI). Sasarannya adalah menurunkan AKI dari 450 per 100 000
kelahiran hidup pada tahun 2000.
a.

Keluarga berencana yang memastikan bahwa setiap orang /pasangan mempunyai

akses ke informasi dan pelayanan KB agar dapat merencanakan waktu yang tepat untuk
12

kehamilan , jarak kehamilan, jumlah anak . Dengan demikian diharapkan tidak ada
kehamilan yang diinginkan. Kehamilan yang masuk kategori “ 4 terlau”, yaitu termuda
atau terlalu tua untuk kehamilan, terlalu sering hamil dan terbanyak anak.
b.
Pelayanan antenatal, untuk mencegah adanya komplikasi obstetric mungkin dan
memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin serta ditangani secara memadai.
c.
Persalinan yang aman , memastikan bahwa semua penolong persalinan
mempunyai pengetahuan, keterampilan dan alat untuk member pertolongan yang aman
dan bersih serta memberikan pelayanan nifas kepada ibu dan bayi
d.
Pelayanan obstetric esensial, memastikan bahwa pelayanan obstetric resiko tinggi
dan komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang membutuhkannya.
Keempat intervensi strategis perlu dilaksanakan lewat pelayanan kesehatan dasar
dan bersendikan kesetaraan hak dan status bagi wanita.

BAB IV
PERAN KELUARGA BERENCANA DALAM MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN
IBU
Kematian Maternal adalah kematian yang berlangsung selama kehamilan, pada saat
persalinan dan setelah persalinan sampai batas waktu 42 hari (postpartum) tetapi bukan
karena kecelakaan. Di Indonesia kematian ibu melahirkan masih merupakan masalah
13

utama dalam bidang kesehatan. Sampai saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
menempati teratas di Negara-negara ASEAN, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup.
Program KB memiliki peranan dalam menurunkan resiko kematian ibu melalui
pencegahan kehamilan, penundaan usia kehamilan serta menjarangkan kehamilan dengan
sasaran utama adalah Pasangan Usia Subur (PUS). Sesuai dengan tuntutan perkembangan
program, maka program KB telah berkembang menjadi gerakan Keluarga Berencana
Nasional yang mencakup gerakan masyarakat. Gerakan Keluarga Berencana Nasional
disiapkan untuk membangun keluarga sejahtera dalam rangka membangun sumber daya
manusia yang optimal, dengan ciri semakin meningkatnya peran serta masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan pelayanan KB, (BKKBN,2005).
Salah satu strategi dari pelaksanaan program KB sendiri seperti tercantum dalam
Rencana

Pembangunan

Jangka

Menengah

(RPJM)

tahun

2004-2009

adalah

meningkatnya penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKPJ) seperti IUD
(Intra Uterine Device), implant (susuk) dan sterilisasi. IUD merupakan salah satu jenis
alat kontrasepsi non hormonal dan termasuk alat kontrasepsi jangka panjang yang ideal
dalam upaya menjarangkan kehamilan. Keuntungan pemakaian IUD yakni memerlukan
satu kali pemasangan untuk jangka waktu yang lama dengan biaya yang relatif murah,
aman karena tidak mempunyai pengaruh sistemik yang beredar ke seluruh tubuh, tidak
memengaruhi produksi ASI dan kesuburan cepat kembali setelah IUD dilepas.
Pada Riskesdas 2010, PUS usia 15-49 tahun berstatus kawin dan memakai alat KB
tahun 2009 sebanyak (75,7%). Propinsi dengan persentase peserta KB aktif tertinggi
adalah Bengkulu (85,5%), Bali (85,1%), dan DKI Jakarta (82%). Sedangkan persentase
peserta KB aktif terendah adalah Papua (33,9%), Maluku Utara (59,5%), dan Kepulauan
Riau (64,3%). Persentase peserta KB aktif menurut metode kontrasepsi yang sedang
digunakan adalah KB suntik dan KB pil yang masih banyak diminati sebagai alat KB
oleh pasangan usia subur yaitu masing-masing sebesar
(50,2%) dan (28,3%). Sebaliknya Metode Operasi Pria (MOP) dan Metode Operasi
Wanita (MOW) merupakan metode kontrasepsi yang terendah diminati oleh Akseptor
KB. Berdasarkan metode kontrasepsi menurut propinsi, alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR/IUD) banyak digunakan di Propinsi Bali (47,88%) dan DI Yogyakarta (25,44%)
dengan persentase jauh di atas propinsi yang lain. Persentase terendah pemakaian IUD di
14

Kalimantan Selatan (1,78%) dari persentase nasional (4,3%). Begitu pula untuk metode
MOW kedua propinsi tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan propinsi lainnya yaitu
Bali (3,79%) dan DI Yogyakarta (5,1%).
Kaitan antara AKB dan AKI dengan Keluarga Berencana adalah pada isu status
reproduksi seperti dinyatakan pada diagram kerangka konsep.

Beberapa kajian

menunjukkan keadaan “4 Terlalu” yaitu: keadaan ibu yang terlalu muda (untuk menikah,
hamil, dan punya anak), usia terlalu tua tetapi masih produktif, kehamilan terlalu sering,
dan jarak kehamilan terlampau dekat. Kondisi ini erat terkait dengan tingginya tingkat
kesakitan dan kematian ibu dan anak.
Terkait AKB, satu faktor penting adalah umur ibu dibawah 20 tahun meningkatkan
resiko kematia neonatal, serta usia ibu di atas 35 tahun meningkatkan resiko kematian
perinatal.Odds Ratio AKB dari ibu usia di bawah 20 tahun sebesar 1,4 kali lebih tinggi
dari AKB pada ibu usia 20-35 tahun.
Untuk mencegah semakin parahnya “4T” tersebut, dilaksanakan program KB di
daerah-daerah. Kesertaan KB umumnya sudah tinggi. Persentase kesertaan KB umumnya
pada kisaran 60-70%. Alat kontrasepsi yang paling popular umumnya adalah pil dan
suntik.
Namun studi kualitatif menunjukkan bahwa ketika daya beli alat kontrasepsi
sebagian masyarakat rendah, menyebabkan ketidakmampuan ibu-ibu mengatur jarak dan
jumlah kelahiran anaknya. Khusus di pedesaan, keinginan mengatur jumlah anak sudah
ada, tetapi sebagian besar masih pada tingkat keinginan dan belum dalam praktek.
Penyebabnya, karena terbatasnya akses mereka terhadap pelayanan KB, rendahnya
kemampuan ekonomi, atau kurangnya independensi ibu (pada banyak kasus, menjadi
akseptor KB adalah berdasarkan keputusan suami). Kendala akses pada pelayanan KB
akan meningkatkan pula kejadian Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dan bahkan aborsi
illegal
Terdapat 3 syarat kondisi upaya kesehatan yang harus dipenuhi, yaitu: manajemen
kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Dari sisi manajemen,
perencanaan program harus kontinu, bukan berbasis proyek yang hanya jangka pendek
dan tidak sustained. Akurasi data menjadi kunci penting bagi perencanaan. Priority
15

setting adalah keahlian yang harus dimiliki para perencana. Tidak ketinggalan, fungsi
manajemen (sampai monitoring evaluasi) harus dijalankan dengan cermat dan tepat.
Terkait pelayanan kesehatan, ketersediaan tenaga, sarana, prasarana (contohnya alat
kontrasepsi) menjadi syarat penting. Program juga harus didukung mekanisme yang
memadai dan efektif mencapai lapisan terbawah.
Yang ketiga, pemberdayaan masyarakat, partisipasi masayarakat harus digalakkan
kembali. Pemanfaatan Posyandu oleh balita menurun drastis sejak krismon tahun 1997
(Depkes, 2004:83). Peran swasta, LSM, dan organisasi kemasyarakatan dalam
menurunkan AKI dan AKB harus digalang, diorganisir dengan baik, dan dimobilisasi
secara efektif.
Ketiga syarat tersebut dapat diupayakan melalui pemantapan kebijakan nasional.
Kebijakan yang sudah ada dan bersifat makro, menjadi payung untuk kebijakan teknis di
bawahnya. Kebijakan yang tersosialisasi dengan baik, akan menumbuhkan komitmen
yang tinggi dari para stakeholders, baik dari segi program maupun pendanaan. Dan semua
itu memerlukan strategi advokasi yang sesuai.

BAB V
KESIMPULAN
Keluarga berencana adalah suatu usaha untuk menjarangkan jumlah dan jarak
kehamilan dengan memakai kontrasepsi. Secara umum keluarga berencana dapat
diartikan sebagai suatu usaha yang mengatur banyaknya kehamilan sedemikian rupa
sehingga berdampak positif bagi ibu, bayi, ayah serta keluarganya yang bersangkutan
tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kehamilan tersebut.
Penduduk

telah

menyadari

pentingnya

pembatasan

jumlah

anak

demi

peningkatan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, Indonesia masih memerlukan
16

program KB, tetapi dengan orientasi berbeda. Targetnya bukan lagi menurunkan
angka kelahiran, melainkan meningkatkan kualitas pelayanan pada masyarakat
dalam pengaturan kelahiran. Termasuk menyediakan beragam alat kontrasepsi serta
membuat masyarakat paham akan alat kontrasepsi yang mereka pilih. Selain itu,
program KB juga tetap berusaha agar alat dan pelayanan kontrasepsi mudah
didapatkan masyarakat dengan harga yang terjangkau, termasuk mereka dalam
kelompok miskin. Dengan adanya program KB ini dapat bermanfaat untuk menurunkan
angka kematian ibu di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sarwono Prawiroharjo.,Prof.,DR. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Gramedia. Jakarta.
1997.
2. Ide B. Pengawasan Wanita Hamil dalam : Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran. EGC. 2007. p187-93.
3. Arif Manjoer,.dkk,. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid I. Media Aesculapius.
FKUI. Jakarta. 2001
4. Rustam Mochtar,.Prof,. DR,. Sinopsis Obstetri. Jilid II. EGC. Jakarta. 1998
5. Mochtar, Rustam. Diagnosis, Pemeriksaan , Pengawasan , dan Nasihat-nasihat Untuk Ibu
hamil in ; Sinopsis Obstetric. Jakarta : EGC. 1990. p. 309-81.
17

18