Globalisasi dan Hubungannya Dengan Organ

GLOBALISASI DAN HUBUNGANNYA
DENGAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN
Tarkus Suganda
CROPSAVER
(Center of Research on Plant Production for Sustainability of Agriculture
and Viability of Environmental Resources)
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Jatinangor, Bandung 40600
E-mail : tarkus@bdg.centrin.net.id
PENDAHULUAN
Globalisasi, secara harfiah adalah meningkatnya aliran teknologi, keuangan, perdagangan,
pengetahuan, orang, tata nilai, dan ide melewati batas-batas konvensional teritorial.

Dari definisi

tersebut, nampak bahwa selain semakin kaburnya batas-batas suatu negara, globalisasi memiliki implikasi
terhadap setiap segi kehidupan penduduk dunia. Sebagai contoh, dilihat dari sudut pandang ekonomi
makro, globalisasi sering juga diartikan sebagai ‘perdagangan bebas’, yang artinya adalah bahwa dalam
era globalisasi, jika suatu negara sudah meratifikasi fakta perdagangan bebas, maka negara tersebut tidak
boleh melarang aliran masuk produk barang atau jasa dari negara lain selama produk barang atau jasa
tersebut memiliki nilai kompetitif yang unggul atau telah memenuhi standard yang ditentukan. Sekilas,

konsep dari globalisasi dan perdagangan bebas tersebut nampaknya memang adil, namun dibaliknya
mengandung konsekuensi bahwa kualitas produk barang atau jasa yang diproduksi haruslah prima.
Pertanian juga tidak terlepas dari imbasan globalisasi ini. Imbasan ini perlu mendapat perhatian
dari semua fihak di Indonesia karena pertanian merupakan urat nadi perekonomian manusia. Pertanian
menyediakan hampir sebagian besar dan terpenting kebutuhan dasar umat manusia. Pangan, sandang,
papan (perumahan), bahan baku industri, keamanan, estetika, ketenangan emosi, dan lapangan pekerjaan
dapat disediakan oleh kegiatan pertanian. Pangan, sebagai kebutuhan dasar dan prasyarat agar manusia
dapat tetap melangsungkan kehidupannya di muka bumi ini, sampai saat sekarang belum ditemukan
sintetisnya. Selama ini, pertanian telah terbukti mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi sebagian
besar rakyat Indonesia, menyebabkan harga pangan tetap terjangkau masyarakat, dan membantu
mencegah lepasnya devisa ke luar negeri bahkan justru menarik devisa dari luar negeri (Suganda, 2004).

1 Dipublikasikan dalam : Prospek dan Tantangan Pertanian Indonesia

di Era Globalisasi (PT Agricon, 2005).

Di negara-negara maju pun, contohnya Amerika Serikat (AS), yang menurut anggapan
kebanyakkan orang merupakan negara industri dan jasa, pertanian tetap mendapat prioritas dari
pemerintahnya. Menurut laporan Menteri Pertanian AS (2003), sepertiga dari produk pertanian AS
diekspor ke negara lain, dan nilainya mencapai 60 milyar dollar setahunnya.


Secara menyistem

(sistemik), Pemerintah AS mengerahkan berbagai daya upaya agar produk pertaniannya tetap mendunia.
Sebagai contoh, bagaimana setiap penduduk dunia ‘digiring’ untuk mengonsumsi berbagai bahan
makanan berbahan baku gandum karena gandum merupakan produk unggulan pertanian AS.
Oleh karena pentingnya peranan pertanian bagi ketahanan suatu negara, maka tugas Pemerintahan
suatu negara dalam era globalisasi ini, terutama yang mengandalkan sektor pertanian seperti Indonesia
adalah memfortifikasi pasar dalam negeri dari serbuan produk pertanian negara lain, dan di lain fihak
kalau dapat, adalah merebut pasar di negara lain dengan produk pertanian yang dihasilkannya.
Pertanian menghadapi berbagai dilema. Di satu sisi, pertanian, terutama di Indonesia, semakin
nampak terpinggirkan dan bukan lagi menjadi prioritas pembangunan nasional.

Pertanian semakin

ditinggalkan, bukan saja oleh Pemerintah, tetapi juga oleh generasi muda Indonesia. Bekerja di bidang
pertanian dianggap tidak bergengsi, tidak memiliki prospek masa depan, tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kemajuan teknologi masa kini, mungkin karena lingkungan kerja bidang pertanian identik
dengan lingkungan yang kotor dan panas.
Hal yang sama sebenarnya dihadapi juga oleh Pemerintahan AS, namun bedanya adalah bahwa

Pemerintahan AS melakukan berbagai upaya untuk memecahkan masalah berkurangnya generasi muda
bidang pertanian, antara lain melalui penerapan teknologi modern, menerapkan berbagai kebijakan
moneter, dan tetap mempromosikan kegiatan pertanian sebagai lapangan kerja yang menjanjikan karena
adanya jaminan dari Pemerintah. Kebijakan Pemerintah Indonesia juga adalah potong kompas, yaitu
dengan mengimpor produk pertanian, bahkan untuk komoditas yang juga dihasilkan oleh pertanian
Indonesia. Tidak ada upaya sedikit pun untuk menciptakan kebijakan mempromosikan generasi muda
untuk tetap menggeluti pertanian sebagai suatu profesi.
Konsep ketahanan pangan di Indonesia dikembangkan hanya oleh orang sosial ekonomi
pertanian, tanpa pernah melibatkan ahli bidang lain, apalagi bidang perlindungan tanaman. Sering sekali
kebijaksanaan pertanian lebih bersifat jangka pendek, dengan menitikberatkan pertimbangan ekonomi
sesaat.

Sebagai contoh, daripada menginvestasikan dana untuk riset bidang pertanian, Departemen

Perdagangan lebih memilih mengimpor produk pertanian dari luar negeri hanya dengan alasan lebih
ekonomis. Daripada menginvestasikan dana untuk mengembangkan bibit kentang, para importir bibit
lebih suka mendatangkannya dari luar negeri. Akibatnya, Globodera rostochiensis, nematoda yang
seharusnya OPTK (organisme pengganggu tanaman karantina atau OPT yang harus diwaspadai masuknya
ke wilayah Indonesia) kini sudah masuk ke Indonesia terbawa bibit kentang impor.
2 Dipublikasikan dalam : Prospek dan Tantangan Pertanian Indonesia


di Era Globalisasi (PT Agricon, 2005).

Dilema lain dari pertanian adalah tuntutan akan produk pertanian semakin lama semakin besar,
baik terhadap kuantitas, kontinuitas, juga terhadap kualitasnya. Pertambahan jumlah penduduk yang
semakin tinggi menuntut pertanian harus meningkatkan produktivitas, yang sangat kontradiktif dengan
semakin menyusutnya areal pertanian produktif. Sebagaimana diperkirakan, populasi manusia di bumi
diprediksi akan mencapai 8,5 milyar orang pada tahun 2025 (Gambar 1). Semua membutuhkan pangan

Populasi (x juta)

yang harus dan hanya dapat disediakan oleh pertanian (Batten, 1999).

10000
8500

8000

7100
6228


6000

5294

4000

3276

2000

2141
1490
651

0

2253
1023


3951

4400
3645

4028

1195

1266

6975

5660

4854

2831
1120


1374

1440

1525

1940 1965 1975 1985 1990 2000 2010 2025
Tahun
Dunia

Neg. Maju

Neg. Brkmbng

Gambar 1. Proyeksi perkembangan populasi dunia (Agrios, 1997).

Bukan hanya kuantitasnya, kontinyuitas produksi pertanian juga dituntut untuk tetap
dipertahankan, karena misalnya cuaca buruk dan bencana alam semakin sering melanda, bahkan
menghancurkan areal pertanian. Sementara itu, sesuai dengan hukum alam, semakin tinggi pendidikan
dan tingkat penghasilan seseorang, semakin tinggi pula tuntutan orang tersebut terhadap produk

berkualitas, termasuk juga terhadap produk pertanian. Untuk makanan, kualitas memegang peranan yang
sangat penting karena efek dominonya akan menyebabkan malnutrisi yang berujung selain kepada
kematian juga kemunduran kualitas hidup manusia. Menurut Pinstrup-Andersen (2001), International
3 Dipublikasikan dalam : Prospek dan Tantangan Pertanian Indonesia

di Era Globalisasi (PT Agricon, 2005).

Food Policy Institute, di Washington DC, memprediksi bahwa sekitar 820 juta penduduk dunia tidak
memiliki akses ke makanan sehat dan kehidupan yang layak. Sementara itu, 170 juta anak dilaporkan
mengalami kekurangan gizi.
Pemerintah, yang memiliki kepentingan politik untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat,
seharusnya menyadari betapa pentingnya peranan pertanian dari segi politik. Kegagalan menyediakan
pangan yang terjamin kuantitas, kualitas, dan kontinuitasnya akan menyebabkan suatu Pemerintahan
dijauhi, bahkan ditumbangkan kekuasaannya oleh rakyat.

Sangat ironis melihat kenyataan bahwa

Indonesia sebagai negara agraris terbesar di dunia (90% penduduknya berusaha di bidang pertanian)
justru menjadi negara pengimpor komoditas pertanian terbesar di dunia (Husodo, 2003) sebagaimana
terlihat pada Tabel 1 berikut.


Tabel 1.

Komoditas pertanian yang diimpor Indonesia dan besarannya

(Husodo, 2003).
Komoditas
Beras
Gula
Kedelai
Gandum
Jagung
Ternak sapi

Besarnya impor
+ 2.000.000 ton/th
+ 1.600.000 ton/th
+
800.000 ton/th
+ 4.500.000 ton/th

+ 1.000.000 ton/th
+
450.000 ekor/th

Posisi sebagai importir
No. 1 di dunia
No. 2 di dunia

Peranan Hama Dan Penyakit Tumbuhan Sebagai Pembatas Produksi Pertanian
Kegiatan pertanian, apalagi pertanian modern, pada dasarnya adalah membudidayakan satu jenis
tanaman yang kita inginkan hasilnya. Dalam praktik pertanian modern, keseragaman bukan saja dalam
hal jenis tanamannya, tetapi juga dalam hal varietasnya. Adalah sudah menjadi hukum alam bahwa
memprioritaskan penanaman satu jenis tanaman akan mengundang kehadiran berbagai jasad pengganggu,
baik yang berupa binatang (hama), patogen (penyakit), maupun tumbuhan lain selain yang kita kehendaki
keberadaannya di pertanaman kita (gulma).

Selama kegiatan pertanian ada selama itu pula ketiga

organisme pengganggu tumbuhan (OPT) tersebut akan selalu mengganggu dan menjadi pembatas
produksi. Besarnya kehilangan hasil pertanian sebelum panen oleh ketiga OPT tersebut dapat dilihat

dalam Gambar 1.

4 Dipublikasikan dalam : Prospek dan Tantangan Pertanian Indonesia

di Era Globalisasi (PT Agricon, 2005).

12%
12%

10%

66%

Hama

Penyakit

Gulma

Lainnya

Gambar 1. Kerugian hasil pertanian sebelum panen oleh hama, penyakit, dan gulma (Sumber :
Agrios, 1997).
Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh adanya OPT tersebut, menurut Pinstrup-Andersen
(2001) mengutip hasil survey yang dilakukan oleh tim Jerman pada tahun 1994 terhadap delapan jenis
tanaman utama dunia (belum termasuk ke dalamnya ketela pohon, sorgum dan milet) menunjukkan
bahwa dalam kurun waktu 1988-1990 penyakit tanaman telah merugikan sebesar 13% (setara dengan
US$ 39 milyar). Di Asia, kerugian menjadi semakin besar karena faktor iklim di negara-negara Asia,
yang umumnya merupakan wilayah tropika, sangat menunjang perkembangan hama, penyakit, dan gulma
(Tabel 2).
Tabel 2.

Persentase kehilangan produk pertanian dan kerugian akibat hama, penyakit, dan gulma
(Sumber : Agrios, 1997).
Wilayah
Eropa
Oseania
Amerika Utara & Tengah
Rusia
Amerika Selatan
Afrika
Asia

Kehilangan (%)
28,2
36,2
31,2
40,9
41,3
48,9
47,1
Total

Kerugian (US $ juta)
16,8
1,9
23,0
22,0
21,8
12,8
145,3
243,7

IMPLIKASI GLOBALISASI TERHADAP BIDANG PERLINDUNGAN TANAMAN

5 Dipublikasikan dalam : Prospek dan Tantangan Pertanian Indonesia

di Era Globalisasi (PT Agricon, 2005).

Paling tidak, ada empat implikasi utama dari imbasan globalisasi terhadap pertanian terutama
dalam hubungannya dengan bidang perlindungan tanaman. Pertama, globalisasi meningkatkan frekuensi
lalu lintas produk pertanian. Kedua, globalisasi atau era perdagangan bebas menyaratkan bahwa
pembatasan masuknya produk pertanian ke suatu negara tidak boleh dihambat. Ketiga, kualitas produk
(termasuk teknologi budidaya dan kondisi kesehatan produk) pertanian menjadi satu-satunya prasyarat
yang dapat dijadikan senjata untuk menolak produk pertanian negara lain.

Keempat, sumber daya

manusia (SDM), baik yang terlibat langsung dalam kegiatan produksi pertanian maupun yang terlibat
secara tidak langsung (pemasaran produk pertanian) harus memiliki kualitas tinggi.
Salah satu ciri globalisasi adalah semakin tingginya mobilitas manusia yang didukung oleh
semakin baiknya sarana transportasi. Sebagaimana telah dikemukakan, globalisasi juga mengandung
makna semakin bebasnya transportasi produk pertanian dari negara produsen ke negara konsumen. Dari
sudut pandang perlindungan tanaman, semakin derasnya mobilitas manusia dan produk pertanian harus
diwaspadai karena keduanya dapat menjadi agen pembawa bibit penyakit (patogen), hama, maupun biji
dan bagian gulma. Diperlukan peranan Karantina Tumbuhan yang semakin besar dengan diperlengkapi
dengan teknologi pendeteksian OPT yang canggih. Contohnya, teknologi untuk mendeteksi OPT dengan
metode konvensional, yang membutuhkan waktu beberapa hari bahkan minggu untuk mengetahui
hasilnya, sudah harus sudah diganti dengan teknologi modern berbasis DNA, a.l. PCR, ELISA, dll.
Kewaspadaan terhadap kemungkinan digunakannya OPT sebagai senjata biologis untuk
memperlemah ketahanan suatu negara agar negara target menjadi tergantung secara ekonomi kepada
negara lain juga harus semakin ditingkatkan. Bioterorisme yang diterapkan untuk memperlemah sektor
pertanian bukan lagi sebuah prasangka. Berbagai dokumen, bahkan aksi nyata sudah banyak dilakukan
oleh negara-negara maju dalam melindungi pertanian mereka. Pemerintah AS sudah menerbitkan UU
Bioterorisme yang ancaman hukumannya lebih berat dari UU Karantina. Sekarang, membawa atau
mengekspor produk pertanian yang ditengarai mengandung OPT dapat dikategorikan sebagai upaya
terorisme (Suganda, 2004).
UU Bioterorisme yang kini sedang diberlakukan di AS ternyata dimulai dari hasil pemikiran para
fitopatologis yang tergabung ke dalam the American Phytopathological Society (APS) yang
mengeluarkan Buku Putih sebagai rumusan hasil

simposium yang diselenggarakan dalam Annual

Meeting APS dan CBS di Montreal Canada (http://www.apsnet.org/media/ps/BiosecurityWhitepaper202.pdf) dan http://www.apsnet.org/online/feature/bioterrorism/, sebagai rangkuman dari suatu simposium
yang berjudul “Crop Biosecurity” (Schaad, et al., 1999).
Dalam era perdagangan bebas, keluar masuknya produk pertanian ke suatu negara, pada
prinsipnya tidak boleh dihambat. Hanya kualitas yang menjadi salah satu faktor yang dapat ‘dimainkan’
oleh suatu negara untuk menolak masuknya produk pertanian negara lain ke pasar domestiknya. Hal ini
6 Dipublikasikan dalam : Prospek dan Tantangan Pertanian Indonesia

di Era Globalisasi (PT Agricon, 2005).

tidak pula mudah dilakukan. Diperlukan adanya suatu metode yang sahih untuk dapat menolak masuknya
suatu produk pertanian ke pasar domestik.

Menolak hanya berdasarkan alasan untuk melindungi

kepentingan pertanian domestik tidak dapat dibenarkan karena dapat dituduh sebagai dumping atau
‘melakukan subsidi dan proteksi’, yang keduanya dianggap bertentangan dengan kaidah persaingan
bebas.
Kualitas yang merupakan satu-satunya kriteria yang dapat dijadikan ‘senjata’ dalam era
perdagangan bebas, bukan saja diterapkan kepada produk akhir yang diperdagangkan tetapi juga kepada
cara atau teknologi dalam memproduksi produk pertanian tersebut. Ini sudah terbukti dengan ditolaknya
ekspor kopi Lampung ke pasaran dunia hanya karena budidaya kopi yang diterapkan petani kopi
Lampung tidak ‘berwawasan lingkungan’ (mengabaikan ecolabelling), atau kasus ditolaknya ekspor
pisang cavendish hanya karena dalam jajaran pelaksana produksinya tidak melibatkan ahli perlindungan
tanaman yang memiliki sertifikasi yang diakui.
Adanya produk pertanian yang terkontaminasi oleh patogen dapat menyebabkan terbentuknya zat
toksik (toksin) yang membahayakan kesehatan manusia. Sebagai contoh, aflatoksin pada kacang tanah
dan jagung yang terinfeksi Aspergilus flavus dan A. parasiticus, fumonisin pada jagung yang terinfeksi
Fusarium, dan ergot pada gandum dan barley yang terinfeksi Claviceps purpurea, dll. Mengingat bahaya
dari adanya kontaminasi toksin dalam makanan, beberapa negara, a.l. Jepang menerapkan zero tolerance
bagi produk pertanian yang terkontaminasi. Artinya, satu biji saja kacang tanah terinfeksi Aspergillus
terdeteksi, maka seluruh kontainer dapat ditolak. The Council on Agricultural Science and Technology
(CAST) melaporkan bahwa kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kontaminasi produk pertanian oleh
patogen penghasil toksin ditaksir berkisar antara US& 0,5 juta s.d. US$ 1,5 juta (Cardwell et al.,, 2001).
Tingginya tingkat kompetisi dan tuntutan akan kualitas produk yang diperdagangkan berimbas
kepada perlunya penyediaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) bidang pertanian,
termasuk SDM bidang perlindungan tanaman. Produk pertanian yang memiliki kualitas yang tinggi,
tentunya hanya akan dihasilkan jika SDM pertaniannya juga berkualitas tinggi. Implikasinya, pendidikan
bidang perlindungan tanaman harus dikembangkan sesuai dengan persyaratan internasional, termasuk ke
dalamnya membekali dengan teknologi pendeteksian OPT secara cepat dan dini.
KAIDAH PENANGGULANGAN OPT DI ERA GLOBALISASI
Sebagaimana telah dikemukakan, kualitas produk pertanian menjadi satu-satunya syarat yang
harus dapat dipenuhi oleh produsen agar produk pertaniannya dapat diterima oleh pasar internasional.
Hal ini berarti bahwa selain produk pertanian tersebut harus memenuhi aspek kualitas visual, juga harus
7 Dipublikasikan dalam : Prospek dan Tantangan Pertanian Indonesia

di Era Globalisasi (PT Agricon, 2005).

memenuhi aspek kualitas kesehatan dan keamanan produk, yang tentunya sangat ditentukan pula oleh
teknologi produksi, penanganan pascapanen dan pengolahannya.
Dalam hubungannya dengan upaya melindungi tanaman dari serangan OPT, ketentuan diatas
tentunya sangat menentukan pemilihan jenis dan teknologi perlindungan tanaman yang merupakan
sebagian dari proses produksi pertanian. Konsep perlindungan tanaman secara terpadu, yang memadukan
berbagai komponen pengendalian dan menempatkan penggunaan pestisida sebagai upaya terakhir harus
diterapkan dengan ketat. Riset-riset untuk menemukan berbagai teknologi pengendalian yang dapat
dipadukan satu sama lain, contohnya penggunaan agensia hayati yang antagonis terhadap OPT,
pemanfaatan pestisida botani, sistem monitoring OPT, penggunaan mulsa, bahan hijauan, dan lain-lain,
perlu untuk terus digalakkan.
SIMPULAN
Kegiatan pertanian merupakan satu-satunya cara agar manusia tetap dapat mempertahankan
eksistensinya di muka bumi ini.

Sementara OPT justru merupakan salah satu faktor yang selalu

membatasi tercapainya produksi pertanian yang diharapkan. Kegiatan pertanian dan peranan OPT sangat
dipengaruhi oleh globalisasi, a.l. oleh derasnya mobilitas manusia dan transportasi produk pertanian, yang
sangat memungkinkan masuknya OPT dari negara lain ke negara kita. Diperlukan upaya yang serius dari
seluruh lapisan masyarakat dan Pemerintah untuk melindungi pertanian dari serbuan produk negara lain,
dan juga untuk meningkatkan kualitas proses produksi dan produk pertanian dalam negeri agar dapat
bersaing di pasar internasional.
BAHAN BACAAN
Agrios, G.N. 1997. Plant Pathology 4th Ed. Academic Press.
Batten, J. 1999. World Food Crisis : Meeting the Demands of A Growing population. APS/CPS World
Food Crisis Symposium, Agustus 9, 1999. Available at APSnet . Diakses 29 Juli 2003.
Cardwell, K.F., A. Desjardins, S.H. Henry, G. Munkvold, and J. Robens. 2001. Mycotoxins: the cost of
achieving food security and food quality. APSnet Feature Story August 2001. Available online
at http://www.apsnet.org (Diakses 12 September 2001).
Husodo, S.Y. 2003. Indonesia, negara agraris yang merupakan importir pangan yang sangat besar.
Kompas, 26 Mei 2003.

8 Dipublikasikan dalam : Prospek dan Tantangan Pertanian Indonesia

di Era Globalisasi (PT Agricon, 2005).

Pinstrup-Andersen, P. 2001. The Future World Food Situation and the Role of Plant Diseases. The Plant
Health Instructor. DOI: 10.1094/PHI-I-2001-0425-01. Available at :

http://www.apsnet.org

(Diakses, 15 Agustus 2001).
Schaad, N.W., J.J. Shaw, A. Vidaver, J.J. Leach, and B.J. Erlick. 1999. Crop biosecurity. APSnet
Feature, September 15 through October 31, 1999. Available at : http://www.apsnet.org (Diakses,
15 Juli 2000).
Suganda, T. 2004. Peranan Penyakit Tumbuhan Dalam Mencapai Ketahanan Pangan dan Keberlanjutan
Hidup Manusia.

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Penyakit Tumbuhan,

Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, 3 April 2004.

9 Dipublikasikan dalam : Prospek dan Tantangan Pertanian Indonesia

di Era Globalisasi (PT Agricon, 2005).