Sastra dan Dekonstruksi oleh Dipa Nugrah

Sastra dan Dekonstruksi
Dekonstruksi adalah suatu istilah yang kerap dikaitkan dengan Jacques Derrida
meskipun Derrida sendiri agak ogah-ogahan dengan istilah tersebut (bdk. Zehfuss dalam
Edkins dan Williams ed., 2010: 182) dan menyesal karena dianggap “menetapkan” takdir
makna

istilah dekonstruksi

sebagaimana

diamini

orang-orang

(Lawlor,

2006).

Dekonstruksi sebagai suatu bentuk filosofi dianggap sesuatu yang radikal, ia menantang
aliran filsafat yang sudah mapan (mis. Fenomenologi ala Husserl maupun Heidegger dan
Strukturalisme ala Saussure), bikin masuk angin teolog (mis. karena tulisannya tentang

Messianisme dan Abraham), buat geleng kepala namun salut sejarawan (karena
argumen dekonstruksi bahwa tulisan sejarah selalu terbuka untuk diedit), tak ketinggalan
setidaknya bikin kembung kalangan akademisi filsafat namun justru oleh sebagian orang
dianggap menginspirasi gerakan sayap kiri, feminisme, skeptisme, dan poskolonialisme
(cf. Sterne, 2004 dan Reynolds, 2010). Inti dari pemikiran Derrida lewat dekonstruksi
adalah pengunjukan bahwa bagaimana bahasa telah memberi batasan dan kondisi bagi
pikiran. Derrida mendobrak batasan tersebut dan mengatakan bahwa tidak ada meaning
dan hirarki di dalam bahasa yang diyakini tetap sebagai tetap melainkan terus berubah
dan tidak tertentukan (undecidables) (Dorbolo, 2004).
Derrida berpendapat bahwa pemikiran Barat disusun oleh dikotomi oposisi
biner dan ia menyebutnya sebagai ”metafisika kehadiran” atau dapat juga disebut
sebagai “metafisika”. Dua penyusun oposisi biner ini bersifat saling berlawanan dan
eksklusif satu sama lain namun ko-eksisten. Kata “siang” berlawanan dengan “malam”,
kata “siang” tidak bisa menggantikan kata “malam” karena keduanya eksklusif dalam
kediriannya, dan kata “siang” tidak signifikan jika tidak ada pembandingnya, yaitu kata
“malam” (bdk. Lao Tzu, 1995). Lebih jauh lagi, Derrida melihat di dalam pemikiran Barat
sejak jaman Plato bahwa di dalam oposisi biner tersebut ada peletakan tatanan hierarkis

atasnya. Derrida melihat bahwa meskipun ko-eksisten namun salah satu istilah atau kata
tersebut dianggap mempunyai derajat yang lebih tinggi dibanding lainnya; “siang” lebih

bagus daripada “malam”, “kehadiran” lebih baik daripada “absen”, ”positif” lebih duluan
daripada ”negatif”, dan bahwa “ujaran” lebih unggul daripada “tulisan” (Reynolds, 2010).
Perlu untuk dicatat, bahwa salah satu strategi dari dekonstruksi adalah pembalikan posisi
dari

hirarki

oposisi

biner

(Reynolds,

2010).

Derrida

di

dalam


bukunya Of

Grammatology mengkritisi keadaan pemikiran yang menyatakan bahwa ”ujaran” lebih
baik daripada ”tulisan”. Ada dikatakan bahwa “tulisan” adalah bentuk representasi yang
nilainya lebih rendah bila dibandingkan dengan “ujaran” karena apa yang dikatakan lewat
“ujaran” merupakan keluaran yang langsung dari tubuh sehingga dianggap lebih dekat
dengan pikiran asli (Selden dkk., 1997: 171-172) dan ”ujaran” sebagai simbolisasi realitas
yang pertama menurut pemikiran strukturalis dikatakan lebih tinggi nilainya dibandingkan
dengan ”tulisan” yang merupakan simbolisasi dari ”ujaran” (Reynolds, 2010). Perlu
diketahui bahwa pada pemikiran strukturalis, dikatakan bahwa kita hanya “mengalami
realitas” namun tidak akan bisa mengetahui realitas-di-dalam-kesejatiannya. Untuk
melihat realitas kita harus menggunakan simbol, kode, atau tanda. Simbol, kode, atau
tanda bukanlah realitas namun “pengalaman akan realitas” terpaksa kita representasikan
ke dalam bentuk simbol, kode, atau tanda agar realitas tadi menjadi diketahui. Dengan
melakukan demikian maka pengertian memahami realitas adalah “mengetahui realitas
lewat tanda dan sistem tanda”. Jikalau intensi representasi realitas yang harus
ditransferkan muncul ”ujaran”, maka berdasar pemikiran strukturalis, ”tulisan” adalah
bentuk derivasi kedua dari representasi akan realitas. Jadi urutannya adalah ”realitas” –>
”ujaran” –> ”tulisan”. Pemikiran demikian lalu menempatkan ”tulisan” jauh ketepatan dan

kesesuaiannya dibandingkan ”ujaran” di dalam merepresentasikan realitas. Karena
”tulisan” merupakan simbolisasi dari simbol yang sudah lebih duluan (”ujaran”) (Lye,
1998; Reynolds, 2010). Argumen Derrida menentang pendapat tersebut. Derrida setuju

hanya pada bagian bahwa baik ”ujaran” maupun ”tulisan” merupakan sistem tanda dan
bukan realitas itu sendiri. Namun ia mempertanyakan pernyataan dari kaum strukturalis,
khususnya tesis Saussure, yang menyatakan “the arbitrariness of the sign”. Jika tidak
ada kaitan antara tanda dan yang ditandai maka ”ujaran” (yang merupakan sistem tanda)
tidaklah bisa dikatakan lebih baik daripada ”tulisan”.
Derrida juga memunculkan istilah différance. Différance berasal dari bahasa
Perancis yang mempunyai arti to differ (membedakan) dan to defer (menunda). Sebagai
contoh: ambil sign “mobil”. “Mobil” merepresentasikan “kehadiran” sesuatu itu di dalam
“ketidakhadirannya”. Ketika sesuatu itu tidak dapat ditunjukkan, maka kita akan
“menelusuri jalan memutar dari sign itu” (Derrida, 1982: 9). Sehingga dapatlah dikatakan
bahwa sign menunda
“kehadiran”

yang

“kehadiran”


tidak

hadir.

dan
Ide

membedakan

“kehadiran”

dirinya

mengenai différance mempertanyakan

dengan
otorita

“kehadiran” (Zehfuss, 2002: 200) sebab ketika sign dimunculkan maka timbul masalah

lain. Sebuah sign di dalam suatu teks tidaklah bisa dikontrol oleh pencipta teks. Berdasar
“the arbitrariness of the sign”, sebuah sign bisa merujuk kepada sesuatu yang berbeda
dengan maksud dari pemuncul sign tersebut di dalam teks. Tidak ada jaminan bahwa
rujukan yang sama atas sign itu bakal dimiliki oleh reseptor teks.
Ia juga menyatakan bahwa makna adalah sesuatu yang sangat labil. Pengertianpengertian identifikasi dalam bentuk

istilah-istilah semisal “perempuan”

adalah

sebuah fiksi yang menandai penetapan makna yang sifatnya sementara saja, parsial,
dan arbitrer (Barker, 2005: 477). Dus memungkinkan pula kepada kita untuk “terus”
mendeskripsikan ulang apa yang dikotakkan di dalam definisi istilah “perempuan” dalam
suatu proses inversion (pembalikan posisi marjinalnya dihadapkan dengan “lakilaki”), displacement (penukaran letak pusat-nya menjadi “perempuan”), argumentasi
kontra supplement (bahwa salah satu istilah dari oposisi biner adalah pelengkap dari
istilah lainnya) (cf. Reynolds, 2010).

Derrida (dalam Selden dkk., 1997: 174) menunjukkan bahwa pembacaan
terhadap tulisan atau teks berkisar pada tiga karakteristik:
1. Teks adalah tanda yang dapat direproduksi di dalam ketidakhadiran tidak hanya

pencipta teks di dalam konteks khusus, namun bahkan dalam ketidakhadiran referen.
2. Teks dapat menunjukkan “konteks riil” dan dapat dibaca di dalam konteks yang
berbeda meskipun berbeda dengan maksud pencipta teks. Rangkaian tanda yang
ada di dalam teks dapat dibangunkan sebuah wacana di dalam konteks yang
berbeda (sebagaimana terjadi di dalam kutipan).
3. Teks menjadi sesuatu yang rentan “peruangan” dalam artian dua hal: (1) Teks telah
terpisah dari teks-teks lain di dalam rangkaian yang khusus, (2) Teks terpisah dari
“referen aktual” (sebab teks hanya dapat merujuk kepada sesuatu yang sebenarnya
tidak hadir di dalam dirinya).
Secara umum, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara pembacaan teks yang
“bukan metode atau alat yang bisa diterapkan pada sesuatu dari luar sana … [namun]
adalah sesuatu yang terjadi dan sedang terjadi di dalam” (Derrida dalam Caputo, 1997:
9). Dekonstruksi, sebagai pemikiran Derrida, juga kerap disebut sebagai filosofi hesitasi
(Reynolds, 2010) karena setiap pilihan yang kita ambil, selalu tidak bisa kita justifikasikan
(cf. Derrida, 1995: 70). Namun dekonstruksi bukanlah penghancuran makna teks dan
tidak:
berlangsung melalui kecurigaan acak atau subversi manasuka, melainkan dengan
cara menarik keluar dengan hati-hati kekuatan-kekuatan signifikansi yang saling
berperang di dalam teks (Johson dalam Barry, 2010: 83)
serta dapat:

menuju ke suatu hubungan tertentu, yang tidak tertangkap oleh penulis, antara apa
yang ia maksudkan dan apa yang tidak ia maksudkan pada pola-pola bahasa yang ia
pakai … membuat yang kasatmata menjadi terlihat (Derrida dalam Barry, 2010: 83)
sebab setiap teks:

dapat dianggap mengatakan sesuatu yang berbeda dari apa yang tampaknya ia
katakan … teks dapat dianggap membawa signifikansi majemuk atau mengatakan
banyak hal-hal yang berlainan, yang secara fundamental menegasi, menyangkal,
atau mensubversi apa yang oleh kritik bisa disebut akan makna ‘stabil’ tunggal. …
sebuah teks dapat mengkhianati dirinya sendiri (J.A. Cuddon dalam Barry, 2010: 83).

Sehingga penerapan dekonstruksi terhadap suatu teks, atau dalam konteks tulisan ini
adalah teks sastra, dapatlah berorientasi sebagai berikut (Culler dalam Lye, 2008; Barry,
2010: 85):
1. Penyingkapan ketaksadaran tekstual, bahwa makna yang diungkapkan mungkin
berbeda dengan makna di permukaan. Atau dengan kata lain, membaca teks dalam
rangka mencari bentuk pengkhianatan teks terhadap dirinya sendiri. Contoh
pembacaan dekonstruktif ini dapat kita temukan pada karya Chairil Anwar “Aku”.
Sajak “Aku” atau kadang disebut berjudul “Semangat” bukanlah bentuk sajak
perjuangan yang tak kenal takut. Teks sajak “Aku” pada bagian akhir ada baris yang

berkata: Aku mau hidup seribu tahun lagi. Justru baris ini menjadi signifikan, karena
dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa si aku menyesal telah tidak peduli
akan peluru yang menembus kulitnya. Ia menyesal dan ingin hidup lebih lama lagi.
Jadi sajak ini bukan bentuk kematian yang gagah berani; yang patriotik; yang sonder
rajuk justru malah suatu penyesalan si aku karena telah terlalu gegabah sehingga
kematian yang sebentar lagi datang membuatnya takut.
2. Pencarian kata-kata yang sudah mati (atau sekarat) signifikansinya yang kontradiktif
kemudian dikedepankan sehingga dapat membawa makna krusial bagi keseluruhan
teks.
3. Penunjukkan bahwa teks disifatkan oleh ciri ketidakpaduannya dan bukan
keterpaduannya. Contoh pembacaan dekonstruktif ini dilakukan oleh Katrin Bandel
(2006: 143-163) atas karya Djenar Maesa Ayu “Nayla” yang dapat dikatakan sebagai
karya yang dibuat dengan benturan plot yang tidak logis dus suatu bentuk
ketergopohan pencipta teks.
4. Penunjukkan fragmen tertentu sebagai pusat analisis sehingga mustahil terjadi
univokal pembacaan; yang terjadi adalah multiplisitas makna. Contoh yang bagus
tentang ini adalah sajak Robert Frost “The Road Not Taken”. Pada bagian: And that
has

made


all

the

difference,tidak

bisa

ditentukan

dengan

jelas

apakah

si traveller menyesal dengan pilihan yang telah dibuatnya atau tidak. Klaim bahwa
yang benar adalah si traveller menyesalkan pilihan yang telah dibuatnya sebagai
satu-satunya makna yang sah adalah labil vice versa.

5. Pencarian pergeseran, patahan, retakan di dalam teks dan membuktikannya sebagai
bentuk yang sengaja direpresi, dihapus, dilewati oleh teks.
6. Pembuktian bahwa teks memiliki makna berbeda daripada interpretasi yang diterima
sebagai benar atau primer. Contoh yang bagus adalah pembacaan dekonstruktif

interpretasi primer terhadap novel karya Marah Rusli “Sitti Nurbaya (Kasih Tak
Sampai)” oleh Aziz Abdul Ngashim (2010). Ngashim menunjukkan bahwa interpretasi
primer selalu mengatakan bahwa Sitti Nurbaya adalah korban kawin paksa oleh
orang tuanya. Di dalam tulisannya, Ngashim menggoncang interpretasi tersebut dus
menyatakan bahwa justru Sitti Nurbaya mengorbankan dirinya sehingga dinikahi
Datuk Meringgih agar bapaknya tidak dipenjara setelah gagal membayar utang.
Ngashim lewat tulisannya juga menggugat sebuah keberterimaan umum bahwa
kawin (di)paksa oleh orang tua adalah serupa kisah Sitti Nurbaya dan blunder umum
tersebut berarti memfitnah ayah Sitti Nurbaya (yaitu Baginda Sulaiman) serta
memelencengkan bentuk rela berkorban dan bakti orang tua sebagaimana
diteladankan oleh Sitti Nurbaya.
7. Pemfokusan bahwa sesuatu yang marjinal di dalam teks, semisal karakter nonutama, justru merupakan ‘pusat’ atau sesuatu yang ‘mengontrol’ seluruh makna
teks. Contoh yang bagus adalah semisal pembacaan dekonstruktif terhadap novel
“Sitti Nurbaya (Kasih Tak Sampai)”. Proposisi yang bisa dimunculkan adalah
pergeseran status tokoh di dalam novel tersebut. Jika terketahui bahwa novel ini
memiliki latar sosio-historis pemberontakan rakyat Padang terhadap Belanda karena
kebijakan pajak. Maka pembacaan Faruk (1999: 48-49) yang menyatakan bahwa
Samsul Bahri sebagai tokoh utama adalah bermasalah. Bagaimana tidak? Samsul
Bahri-lah yang berada di pihak Belanda ketika terjadi pertempuran dengan rakyat
Padang. Pun juga Samsul Bahri pula yang mengganggu istri Datuk Meringgih
dengan berciuman di malam hari di salah satu fragmen novel tersebut. Datuk
Meringgih adalah pahlawan (hero) sesungguhnya karena sokongannya kepada
perjuangan melawan Belanda lepas dari cara liciknya mendapatkan Sitti Nurbaya
sedangkan Samsul Bahri adalah pengkhianat negara dan perusak perkawinan orang
sehingga lebih layak dia disebut sebagai penjahat (villain).

DAFTAR PUSTAKA

Bandel, Katrin. 2006. “Nayla, Potret Sang Pengarang Perempuan sebagai Selebriti”
dalam Sastra, Perempuan, dan Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Barker, Carlos. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik, terjemahan Tim KUNCI Cultural
Studies Center. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Barry, Peter. 2010. Beginning Theory, Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan
Budaya terjemahan Harviyah

Widiawati

dan

Evi

Setyarini.

Yogyakarta:

Jalasutra.
Caputo, John D. 1997. Deconstruction in a Nutshell: A Conversation with Jacques
Derrida. New York: Fordham University Press.
Derrida, Jacques. 1981. Positions, terjemahan Alan Bass. London: Athlone Press.
_____________. 1982. Margins of Philosophy, terjemahan Alan Bass. Chicago: The
University of Chicago Press.
_____________. 1995. The Gift of Death, terjemahan Wills. Chicago: University of
Chicago Press.
Dorbolo, Jon. 2004. Jacques Derrida: Duality, Hierarchy, Priority. Diakses pada Kamis,
16 Juni 2011 pukul 6:59 WIB dari alamat laman:
http://oregonstate.edu/instruct/phl201/modules/Philosophers/Derrida/derrida_duality.htm
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lawlor, Leonard. Wed 22 Nov, 2006. Jacques Derrida. Diakses pada Kamis, 16 Juni
2011 pukul 6:54 dari alamat laman:
http://plato.stanford.edu/archives/win2006/entries/derrida/
Lye, John. 30 April 2008. Deconstruction: Some Assumptions. Diakses pada Selasa, 7
Juni 2011 pukul 13:37 WIB dari alamat laman:
http://www.jeeves.brocku.ca/english/courses/4F70/deconstruction.php

Ngashim, Aziz Abdul. 2010. Jangan Fitnah Siti Nurbaya. Diakses pada Senin, 7 Juni
2011 pukul 11:45 WIB dari alamat laman:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/28/jangan-fitnah-siti-nurbaya/-12
Reynolds, Jack. 2010. Jacques Derrida (1930 – 2004). Diakses pada Kamis, 9 Juni 2011
pukul 16:40 WIB dari laman:
http://www.iep.utm.edu/derrida/
Selden, Raman; Peter Widdowson; dan Peter Brooker. 1997. A Reader’s Guide to
Contemporary

Literary

Theory Fourth

Edition.

Hertfordshire:

Prentice

Hall/Harvester Wheatsheaf.
Sterne, Jonathan. 2004. Some Simple Thoughts on Jacques Derrida (19302004) diakses 16 Juni 2011 pukul 6:31 WIB dari alamat laman:
http://bad.eserver.org/editors/2004/thoughts_on_jacques_derrida.html
Tzu, Lao. 20 Juli 1995. Tao Te Ching a translation by S. Mitchell. Dibaca 1 April 2011
pukul 10:30 WIB dari alamat laman:
http://academic.brooklyn.cuny.edu/core9/phalsall/texts/taote-v3.html
Zehfuss, Maja. 2002. Constructivism in International Relations: The Politics of Reality.
Cambridge: Cambridge University Press.
__________. 2010. “Jacques Derrida” dalam Teori-teori Kritis Menantang Pandangan
Utama Studi Politik Internasional, Edkins dan Williams ed. terjemahan Teguh
Wahyu Utomo. Yogyakarta: Pustaka Baca!

Sastra dan Dekonstruksi by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons
Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

This article was written on 6 June 2011.
This article is available also at: http://dipanugraha.blog.com/2011/06/06/sastradan-dekonstruksi/