Child Trafficking dan Industri Seks Glob
Ch ild Traffickin g d an In d u s tri Se ks Glo bal
Bago n g Su yan to
Departem en Sosiologi
Universitas Airlangga, Surabay a
ABSTRAK
Di industri seksual kom ersial, praktik pelacuran y ang m elibatkan anak-anak
perem puan di baw ah um ur adalah salah satu bagian dari industri dan
perdagangan seks global y ang telah m enggurita dan m eram bah ke berbagai
bentuk lay anan. Meski desakan dari berbagai pihak, term asuk dari aktivis
kem anusiaan dan perlindungan hak-hak anak y ang m em inta agar praktik
pelacuran y ang m elibatkan anak-anak dihentikan, perkem bangan industri
pelacuran di berbagai negara dan daerah justru m akin m arak. Selain karena
perputaran uang dalam bisnis pelacuran benar-benar luar biasa, praktik
pelacuran y ang m elibatkan anak perem puan um um ny a tetap sulit diberantas
karena bertali-tem ali dengan faktor kem iskinan, kasus child abuse, m asih
kuatny a ideologi patriarkhi y ang m em arginalisasi kaum perem puan, dan
ditam bah m odus operandi para pelaku trafficking dan ulah germ o serta
m ucikari y ang selalu m encari korban-korban baru untuk m enghidupi sektor
industri seksual kom ersial y ang m ereka kelola.
K a t a -K a t a K u n ci: anak perem puan, child trafficking, dan industri seksual
kom ersial.
In the com m ercial sex industry , the practice of prostitution w hich included
under-age children, especially w om en, has been part of the ever expanding
global sex trade and industry . This global netw ork has infiltrated m any
services area. Although there w ere several voices, including the hum anitarian
activist and children-rights activist, that tried to put an end to the practice of
child-prostitution, the num bers of cases in several countries w ere increasing.
Several explanations could be derived from those phenom ena. The am ount of
m oney circulated in this industry w as one of the m ain factors. Aside from the
econom ic factor, the problem of poverty , the abusing of children, the
patriarchal ideology that m arginalized w om en, and the recruitm ent strategy
of the pim p, w ere several factors that enhance the scope of the com m ercial sex
industry .
K e y w o r d s : girl, child trafficking, com m ercial sex industry .
139
Bagong Suy anto
Pelibatan anak perem puan di bawah um ur dalam industri seksual
kom ersial sesungguhnya adalah salah satu bentuk pekerjaan terburuk
yang, dalam Konvensi ILO No. 182 tentang Tindakan Segera Untuk
Menghapuskan dan Mengurangi Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak,
jelas-jelas disebutkan dilarang dan harus dihapuskan. Tetapi, alih-alih
m akin berkurang, di berbagai negara, perkem bangan dan jum lah anak
perem puan yang m enjadi korban trafficking dan kem udian dilacurkan
justru ditengarai terus m eningkat.
Kasus child trafficking dan pelibatan anak perem puan di bawah um ur
sebagai kom oditi yang diperjual-belikan adalah realitas sosial yang
berkem bang bersam aan dengan globalisasi. Altm an (20 0 7), dalam
bukunya Global Sex, m enunjukkan bagaim ana hasrat dan kesenangan
atas tubuh acapkali dibingkai, dibentuk, diperdagangkan dan
dikom odifikasikan m elalui jejaring politik-ekonom i global, khususnya
dalam kaitannya dengan perkem bangan turism e internasional.
Di Asia, pada tahun 1996 diperkirakan jum lah anak-anak yang
dilacurkan m encapai 8 40 ribu jiwa. Di Taiwan tercatat sebanyak 60 ribu
anak yang terpaksa bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Kom ersial). Di
Bangladesh, di sebuah kota pelabuhan Naratangj di luar Dhaka,
dilaporkan m em iliki 1.60 0 pekerja seks yang hidup di sana bersam a
keluarganya. Di India, angkanya lebih m em prihatinkan lagi, yakni
sekitar 40 0 -50 0 ribu anak dilaporkan terjerum us dalam dunia
pelacuran. Sem entara itu, sekitar 30 0 ribu perem puan asal Nepal
dilaporkan telah dijual di rum ah-rum ah bordir di India. Di Afrika
Selatan, dilaporkan perdagangan gadis-gadis m uda dari Mozam bique ke
rum ah-rum ah bordir di Cape Town dan J ohannesburg juga m eningkat
(Altm an 20 0 7, 259-260 ).
Di Thailand, studi yang dilakukan Sim or Baker (20 0 0 ) m enem ukan
bahwa tidak sedikit rem aja belia yang m asih sekolah juga bekerja paruh
waktu m erangkap sebagai pelacur. Para pelajar yang m erangkap kerja
sebagai pelacur ini di Thailand lazim disebut jaitaek, dan apa yan g
m ereka lakukan sam a seperti para pelajar di berbagai kota besar di
Indonesia yang disebut sebagai “ayam abu-abu” atau grey chicken. Di
Indonesia sendiri, jum lah anak perem puan yang dilacurkan
diperkirakan telah m encapai m encapai 40 -70 ribu.Farid (1999)
m em perkirakan sekitar 30 % dari seluruh pekerja seks yang ada di
Indonesia m asih berusia di bawah 18 tahun.
Di Singapura, m enurut catatan Brazil (20 0 5), dewasa ini diperkirakan
jum lah pelacur di negara dengan sim bol Merlion ini sekitar 6 ribu orang,
dan sebagian di antaranya adalah perem puan m uda yang berasal dari
India, Filipina, dan Indonesia. Di Rusia, laporan dari Malarek (20 0 8)
m enyatakan bahwa ribuan gadis m uda yang putus asa di Rusia acapkali
140
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
terjerat im ing-im ing pekerjaan bergaji tinggi, tanpa m enyadari bahwa
m ereka kem udian dijerum uskan ke dalam lem bah hitam prostitusi. Di
Serbia, gadis-gadis dari seantero Eropa Tim ur seringkali disiksa dan
dipersiapkan paksa sebelum dijual sebagai budak seks ke berbagai
negara.
Daftar keterlibatan dan pem aksaan anak perem puan untuk bekerja
sebagai PSK ini sudah barang tentu dapat terus diperpanjang ke
berbagai negara, baik negara m aju m aupun negara m iskin.Yang jelas,
sebagai sebuah realitas sosial, pelacuran dan pelibatan anak perem puan
dalam industri seksual ini telah m enjadi fenom ena global yang m akin
m assif, berkem bang ke seluruh penjuru dunia.
Bis n is yan g Me n gu n tu n gkan
Seperti halnya bisnis perjudian, perputaran uang dalam bisnis pelacuran
diperkirakan m encapai angka m ilyaran dollar. Pada tahun 1995, pernah
dilaporkan bahwa perputaran uang dalam bisnis pelacuran m encapai
1,27 sam pai dengan 3,6 m ilyar dollar (Kom pas, 30 April 1995). Studi
yang dilakukan ILO (Organisasi Buruh Internasional) tahun 1998
tentang pelacuran di em pat negara Asia Tenggara, m em perkirakan
bahwa di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand jum lah orangorang yang m encari penghidupan dari pelacuran, baik langsung m aupun
tidak langsung, m encapai jutaan orang. Penghasilan dari sektor seks di
em pat negara tersebut diperkirakan m encapai 2 hingga 4 persen dari
total GNP, dan pendapatan yang dihasilkan sangat penting bagi
kehidupan dan pendapatan jutaan pekerja, selain para pelacur itu
sendiri.
Bersam aan dengan m akin m eningkatnya jum lah anak perem puan yang
terjerum us dalam bisnis jasa syahwat ini, diprediksi jum lah perputaran
uang di balik dunia prostitusi niscaya m akin besar, khususnya dalam
lim a-sepuluh tahun belakangan ini. Sebagai kegiatan usaha yang
sifatnya ilegal, perkem bangan bisnis prostitusi bagaim ana pun m em ang
m enguntungkan berbagai pihak – tidak hanya para pelaku trafficking,
germ o dan m ucikari, tetapi juga seluruh pihak yang terlibat dalam m ata
rantai bisnis prostitusi ini.Ada kesan kuat, kendati pem erintah di
berbagai negara, m asyarakat dan berbagai organisasi sosial-keagam aan
acapkali m encoba m enutup paksa berbagai kom pleks lokalisasi dan
aparat keam anan tak sekali dua kali m elakukan operasi penggerebekan,
tetapi sepertinya sem uanya sia-sia.
Mekanism e rekruitm en, sindikat perdagangan perem puan, dan jaringan
operasi bisnis prostitusi terus berkem bang atau m inim al tetap bertahan
karena kian lam a justru m enjadi kian rum it dan canggih, sehingga tidak
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
141
Bagong Suy anto
m udah bagi negara m ana pun untuk m em berantas kasus child
trafficking. Di tengah iklim perkem bangan industri seksual kom ersial
yang m akin m arak, dan iklim persaingan yang m akin ketat, bahkan tak
sedikit sindikat perdagangan anak dan perem puan, serta para germ o
yang kem udian m enem puh jalan pintas untuk m eraih pelanggan dan
m engeruk keuntungan besar, yakni m encari sebanyak m ungkin PSKPSK baru yang m asih anak-anak, dan bahkan kalau perlu dengan cara
paksa: m ulai dari penipuan, ancam an, penganiayaan, penyekapan, dan
berbagai bentuk intim idasi lain. Sudah m enjadi rahasia um um , bahwa di
berbagai kom pleks lokalisasi, anak-anak di bawah um ur tersebut
biasanya ditawarkan sebagai layanan istim ewa dengan harga yang lebih
tinggi.
Hasil kajian yang dilakukan Irwanto et al. (20 0 1, 31) m enem ukan
bahwa tingginya perm intaan anak perem puan dalam dunia industri
seksual dipicu oleh m itos-m itos seputar keperawanan dan tuahnya yang
dipercaya dapat m em buat lelaki hidung belang tetap awet m uda, di
sam ping adanya ancam an penyebaran HIV/ AIDS yang kem udian
m enyebabkan perm intaan terhadap anak perem puan cenderung
m eningkat karena dianggap lebih bersih dan am an. Seperti dikatakan
Altm an (20 0 7), bahwa di berbagai belahan dunia, adanya ancam an
AIDS telah m eningkatkan perm intaan terhadap pelacur-pelacur di
bawah um ur.
Di Indonesia, praktek perdagangan dan eksploitasi seksual terhadap
anak perem puan dari Indonesia ini bukan hanya terjadi untuk
kepentingan bisnis di dalam negeri saja, tetapi juga telah m eram bah ke
negara lain, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Hongkong,
dan lain-lain. Asiaweek, 7 Februari 1997 pernah m elaporkan bahwa di
negara seperti Thailand, Singapura dan Malaysia Tim ur acapkali
dijum pai PSK anak yang berasal dari Indonesia, sebagian berusia 14
tahun, dan m ereka dapat m enem bus pintu im igrasi karena m em alsu
paspor sesuai instruksi dari calo yang m enjanjikan akan m em pekerjakan
m ereka di restoran, pabrik atau yang lain.
Fakto r Pe n ye bab
Kalau coba dirinci, faktor penyebab di balik keterlibatan anak
perem puan dalam bisnis prostitusi sesungguhnya sangat kom pleks.
Sachiyo Yam ato (20 0 0 ), dalam tesisnya yang berjudul Prostitution and
Fem inism s: Integrating the Subjective Accounts of Pow er for W om en in
the Philippine Sex Industry m enem ukan bahwa di Filipina ada dua
aliran dari kelom pok fem inis dalam m em andang keterlibatan
perem puan dalam industri perdagangan seksual. Pertam a, kelom pok
fem inis strukturalis yang berpendapat bahwa keputusan perem puan
142
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
untuk terlibat dalam industri perdagangan seksual terjadi karena faktor
kem iskinan dan patriarkhi, di m ana hal ini m erupakan sistem
“seksploitatif” dalam politik-ekonom i dunia internasional m aupun
nasional yang m em aksa perem puan m asuk ke dalam dunia prostitusi,
yakni sebagai kom oditas bagi daya tarik seksual pria dan pertim bangan
keuntungan sem ata. Kedua, kelom pok fem inis liberal/ neo-liberal yang
m em andang bahwa perem puan, tanpa m em pertim bangkan latar
belakang sosial-ekonom i m ereka, m em iliki pilihan untuk m asuk atau
tidak dalam dunia protitusi.
Di Filipina, m enurut Yam ato, perem puan yang terlibat dalam kehidupan
prostitusi um um nya tidak selalu m em iliki kecantikan fisik yang
m enonjol. Mereka kebanyakan berusia sekitar 16-20 tahun, yang
berusaha tam pil cantik dengan cara pergi ke salon kecantikan setiap
hari, m enggunakan m ake-up yang berlebihan, berpakaian seksi dan
m elakukan m anicure-pedicure setiap m inggunya, tetapi berbagai usaha
itu sepertinya sia-sia tatkala m ereka terjun ke jalanan, bekerja di rum ah
bordil, bekerja di karaoke atau pub dengan upah di bawah m inim um . Di
Kota Angeles Pam panga, m isalnya, para perem puan yang bekerja di bar
um um nya m em ang dikhususkan pada prostitusi m iliter, yaitu m elayani
US Clark Air Force Base. Di sana, perem puan m uda asli Filipina yang
berkulit coklat kelapa berdansa, m enari setengah telanjang di pusat
podium utam a, dikelilinggi pelanggan asing (kebanyakan pasukan dari
Australia dan Am erika Serikat) yang sengaja datang ke Angeles City
untuk m encari pelayanan seksual. Para laki-laki asing yang datang ke
daerah m erah di Filipina ini, m eski tidak kaya di negara asalnya, tetapi
m ereka um um nya m em iliki kekuatan finansial untuk m em beli jasa
layanan seksual dari para perem puan m uda di Filipina yang relatif
m urah. Di Filipina, tidak sedikit perem puan yang terlibat dalam industri
seksual m enggunakan obat-obatan dan alkohol untuk m em bunuh rasa
m alu untuk m enjadi terhina oleh pelanggan, baik kata-kata m aupun
perilaku.
Posisi perem puan yang terlibat dalam bisnis jasa layanan seksual di
Filipina, m enurut Yam ato acapkali dikonstruksi dalam kom petisi dan
hegem oni kekuatan struktural yang kom pleks dalam perkem bangan
m odal global, negara, gereja Katholik, m enerapkan standar ganda, di
satu sisi prostitusi dianggap ilegal, nam un di sisi yang lain prostitusi
disetujui atau m inim al dibiarkan m akin berkem bang m enjadi bagian
dari pariwisata seks karena ketergantungan negara pada m ata uang
asing. J adi, seperti dikatakan Truong (1990 ), lebih dari sekadar im bas
dari nilai patriarkhis, pertum buhan prostitusi yang m elibatkan anakanak perem puan sesungguhnya adalah berkaitan dengan kom pleksitas
politik dan ekonom i di balik m araknya kehidupan prostitusi di Asia
Tenggara.
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
143
Bagong Suy anto
Baker (20 0 0 ), dalam kajiannya di Thailand Utara, tepatnya di Chiang
Rai m enem ukan m eski dalam dua dekade terakhir terjadi penurunan
besar pada jum lah anak yang beresiko m asuk ke sektor prostitusi,
nam un tetap m asih ada anak-anak yang beresiko terjerum us ke dalam
bisnis layanan seksual ini karena tekanan kem iskinan, pendidikan dan
keluarga yang berantakan, serta anak-anak yang tergolong anak-anak
yang jaitek. Jaitek ini adalah istilah orang Thailand untuk m enyebut
anak-anak yang berperilaku m enyim pang, seperti kecanduan obat bius
dan terlibat dalam hubungan seks bebas.Konsep atau nilai todtan
bunkhun, yaitu nilai yang m engharuskan anak berbakti kepada orang
tuanya, walau disebut-sebut m erupakan salah satu faktor anak
terjerum us ke dalam prostitusi, tetapi m enurut Baker pandangan ini
sebetulnya terlalu berlebihan.
Menurut Baker, sejak terjadi krisis ekonom i tahun 1997 di Thailand,
anak-anak yang berasal dari Myanm ar, suku gunung dan anak-anak
Thai Dataran-Rendah yang acapkali tidak berpendidikan dan m iskin
cenderung kesulitan m encari pekerjaan, hingga akhirnya terjerum us ke
dalam sektor prostitusi. Di daerah ini, anak-anak yang dilacurkan
biasanya beroperasi secara sem bunyi-sem bunyi di bar-bar, karaoke atau
tem pat hiburan m alam lainnya – yang jauh dari pandangan um um .
Perang terhadap prostutisi anak yang dicanangkan Perdana Menteri
Thailand Chuan Leekpai di bulan Nopem ber 1992 tam paknya tidak
terlam pau efektif untuk m encegah tetap m erebaknya praktik
perdagangan dan pelacuran anak-anak.
Para orang tua dan anak-anak yang bekerja sebagai PSK di Thailand
Utara itu bukan tidak m enyadari ancam an HIV/ AIDS dan ancam an
hukum an yang tercantum dalam Undang-Undang Prostitution
Suppression 1996. Tetapi, karena tiadanya peluang untuk bisa hidup
dan bekerja di sektor yang lain, m aka tidak sedikit anak perem puan (dan
juga anak laki-laki) di Thailand yang kem udian m engadu nasib dan
pasrah bekerja di sektor prostitusi. Yang m em prihatinkan dari studi
yang dilakukan Baker, orang tua dan anak telah m enyadari ancam an
m erebaknya HIV/ AIDS, tetapi ketika orang tua m ereka ternyata telah
divonis terkena HIV/ AIDS dan m em butuhkan biaya pengobatan yang
besar, m aka sejarah pun kem bali terulang: anak-anak yang m asih belia
itu terpaksa m enjual tubuhnya guna m em enuhi kebutuhan berobat
orang tuanya. Di Changwat Chiang Rai, m enurut catatan Departem ent
of Public Health (20 0 0 ), paling-tidak terdapat 2.982 anak yang positif
terinfeksi HIV/ AIDS, baik secara langsung m aupun tidak langsung.
Bagi sebagian anak, selain tekanan yang sifatnya struktural, seperti
kem iskinan dan kesem patan kerja yang relatif kecil, faktor yang
ditem ukan Sim on Baker m enjadi penyebab tetap m erebaknya praktik
pelacuran anak adalah m aterialism e dan m asalah obat-obatan. Ketika
144
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
m asyarakat desa terus-m enerus terekspose dengan barang konsum si
m odern dan m ewah m elalui m edia m assa serta daya tarik yang
ditawarkan gadis-gadis PSK m igran dari kota ketika m ereka pulang
kam pung, m aka sedikit-banyak hal itu m enim bulkan keinginan untuk
m endapatkan yang lebih banyak. Tidak sedikit anak desa yang m em iliki
harapan yang jauh m elebihi realitas kehidupan desa, seperti m em iliki
telepon selular dan lain-lain, yang kem udian m endorong m ereka untuk
rela m enjual tubuhnya, karena itu adalah cara yang term udah untuk
m endapatkan uang.
Masalah obat-obatan, m enurut Baker, m erupakan faktor baru yang
m em buat generasi anak-anak di Thailand Utara kem bali terjerum us
dalam pelacuran. Yaba, tablet am fetam in m erupakan salah satu jenis
obat bius yang banyak dikonsum si anak-anak, m enyebabkan 1 dari 3
anak-anak rela m enjual tubuhnya agar bisa m em peroleh uang untuk
m em beli yaba. Diperkirakan di Changwat, sekitar 90 % dari siswa adalah
pem akai yaba. Guru-guru yang ada di berbagai sekolah um um nya
m engetahui siswanya m erupakan pem akai yaba, tetapi m ereka tidak
berani bertindak terlam pau jauh karena takut pem balasan dan teror
yang dilakukan pengedar lokal.
Di Thailand Utara, pola utam a dari rekruitm en anak untuk dijadikan
PSK um um nya adalah m elalui agen dan anak-anak yang sebelum nya
telah m enjadi PSK. Biasanya seorang agen akan m em beri uang antara 5
ribu sam pai 20 ribu baht kepada orang tua anak – tergantung pada
berapa banyak utang m ereka. Sem entara itu, seorang PSK yang berhasil
m erayu tem an dari desanya untuk m enjadi PSK baru, m ereka biasanya
akan m em peroleh kom pensasi berupa potongan utang dari m ucikarinya.
Menurut Baker, dewasa ini, peran PSK untuk ikut m em bantu m encari
korban-korban baru inilah yang justru m enem pati proporsi terbesar.
J ulia O’Connell Davidson (20 0 2), dalam studinya yang dilakukan
tentang anak-anak perem puan yang diperdagangkan di China, selain
m engkaji karakteristik dan faktor penyebab di balik m akin m eluasnya
keterlibatan anak di bawah um ur dalam industri seksual dalam dua
dekade terakhir, juga m em aparkan bagaim ana pandangan laki-laki di
China terhadap posisi perem puan, terutam a anak perem puan yang
terlibat dan bekerja di industri layanan jasa seksual kom ersial.Di China,
m enurut Davidson, kendati sejak tahun 1957 telh diterbitkan UndangUndang yang m elarang prostitusi dan diterapkan ancam an hukum an
yang berat, baik kepada perem puan yang m enjadi pelacur m aupun
pihak-pihak yang m em anfaatkan pelacur, tetapi bersam aan dengan
m akin berkem bangnya perekonom ian di China, m aka m akin
berkem bang pula bisnis pelacuran.
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
145
Bagong Suy anto
Di China, ancam an hukum an yang diberlakukan bagi perem puan yan g
terlibat dalam bisnis prostitusi sejak tahun 1957 telah ditingkatkan
m enjadi hukum an fisik penjara 3-10 tahun. Selam a perang m elawan
pelacuran di akhir tahun 1980 -an dan awal tahun 1990 -an, hukum an
m ati juga kerapkali dijatuhkan kepada sejum lah penjaga atau prem an
dan pem ilik rum ah pelacuran. Di tahun 1991 saja, sekitar 30 ribu
pelacur telah dikirim untuk bekerja paksa di kam p (Ruan & Lau 1997).
Yang m enjadi m asalah, m eski ancam an hukum an dan sikap aparat
dalam beberapa kasus sangat represif terhadap praktik prostitusi, tetapi
di sejum lah daerah perkem bangan bisnis seksual ini tetap tak
terbendung, terlebih ketika pegawai pem rintah di tingkat lokal
terkadang m enjalankan periode toleransi yang besar bagi perkem bangan
bisnis pelacuran karena alasan kepentingan turism e dan perkem bangan
pem bangunan ekonom i daerah.
Menurut Davidson, di China perm intaan terhadap seks kom ersial
sangatlah besar karena industri seks ini m enawarkan peluang
m em peroleh penghasilan yang lebih besar, baik kepada para pelacur
m aupun m ucikari. Bagi perem puan yang m em iliki pendidikan buruk,
tak berkeahlian dan/ atau term arginalisasikan secara sosial-ekonom i,
peluang kerja yang ditawarkan industri seksual seringkali sangat
m enggoda. Di China, praktik pelacuran yang berkem bang di negara ini
relatif berm acam -m acam , m ulai dari gadis panggilan yang m elayani
pria-pria m enengah ke atas, kam uflase perem puan sebagai “istri kedua”
atau istri sim panan, pekerja seks jalanan yang m elayani pelanggan kelas
pekerja, dan pekerja seks yang dikelola oleh m am i-m am i atau orangorang tertentu di kom plesk lokalisasi, di restoran, hotel, bar, karaoke,
dan salon kecantikan.
Untuk m em astikan berapa sebetulnya jum lah anak perem puan yang
terlibat dalam bisnis pelacuran di China, diakui Davidsonbukanlah hal
yang m udah.Tetapi, dari berbagai kasus dan data sporadis yang berhasil
diinventarisir, ditengarai keterlibatan anak di bawah um ur dalam bisnis
pelacuran di China bukanlah sekadar isapan jem pol. Statistik tentang
tindak kejahatan yang dilakukan anak-anak di China, term asuk
kejahatan dan kesalahan seksual, di tiga kota yang disurvei, ditem ukan
95% dilakukan rem aja putri dan sebagian di antaranya bahkan berusia
12 tahun. Di Sechuan, studi yang dilakukan Gil dkk. (1996) m enem ukan
dari 626 pelacur yang m em anfaatkan jasa klinik, um um nya usia m ereka
berkisar antara 14-24 tahun. Sem entara itu, di Macau, Hongkong dan
pekerja seks di China Daratan, dari hasil studi yang dilakukan Zi Teng
(20 0 0 ) dan Yim (20 0 0 ) diketahui bahwa tidak sedikit perem puan yang
terpaksa m enjadi pelacur ketika berusia 16-17 tahun.
Di China, ketika kesenjangan terjadi dalam berbagai sektor: antara desakota, antara provinsi yang m akm ur dengan yang m iskin, dan antara
146
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
penghuni kota dan kaum m igran, antara m ayoritas Han dan kelom pok
etnis m inoritas, m aka kem ungkinan anak perem puan m iskin terjerum us
dalam praktik pelacuran m enjadi sangat besar. Anak-anak perem puan
pekerja m igran m iskin, seringkali lebih m udah terperangkap dan tertipu
m enjadi pelacur, karena kem iskinan dan kebodohan m ereka. Di daerah
yang berkem bang pesat, seperti Shenzhen, m isalnya, perdagangan seks
um um nya berkem bang sangat pesat, terutam a didukung oleh banyaknya
m igran perem puan dan anak-anak dari desa yang kesulitan m encari
pekerjaan di kota, kem udian terpaksa m asuk ke dalam bisnis pelacuran
untuk m elayani sejum lah besar pengunjung dari Hongkong dan dunia
internasional, m aupun orang-orang lokal dan m igran.
Menurut Pan (20 0 1), bagi anak perem puan yang tidak m em iliki jaringan
sosial, tengah m enunggu pekerjaan atau m enjadi pekerja pabrik,
bilam ana m ereka sudah tidak perawan lagi, m erupakan korban
penipuan dan ditinggal dipacarnya, atau telah bercerai, dan kem udian
bertem u dengan m ucikari atau seorang tem an yang m engajaknya
bekerja sebagai pekerja seks kom ersial, m aka dengan cepat m ereka akan
larut dan m enjadi bagian dari anak-anak perem puan yang dilacurkan.
Daya tarik penghasilan yang sangat besar adalah faktor yang sangat kuat
m em pengaruhi keterlibatan anak perem puan di sektor prostitusi. Di
Macau, m enurut Davidson, seorang anak perem puan yang dilacurkan
bisa m em peroleh penghasilan sam pai 150 .0 0 0 RMB – jauh lebih besar
daripada penghasilan yang m ereka peroleh di desanya.
Siegrid Tautz, Angela Bahr, dan Sonja Wolte (20 0 6), adalah sejum lah
peneliti yang m encoba m engkaji berbagai faktor penyebab tim bulnya
pelacuran dan trafficking pada anak-anak, serta dam pak dari eksploitasi
seksual kom ersial terhadap anak dan rem aja, khususnya di bidang
kesehatan. Menurut Tautz, Bahr, dan Wolte, beberapa faktor penyebab
dan konteks dari m eningkatnya praktik pelacuran anak-anak di bawah
um ur dan kasus trafficking pada anak-anak berhubungan dengan
adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang terjadi di berbagai
belahan dunia. Ketika perbatasan antara Tim ur dan Barat pasca Peran g
Dingin m ulai terbuka dan globalisasi ekonom i m akin m asif, seperti
terjadi di Uni Eropa, wilayah Mekong di Asia dan di Afrika Selatan,
m enurut ketiga penulis ini, langsung atau tidak langsung m enyebabkan
kasus trafficking dan kasus eksploitasi seksual kom ersial m enjadi
m eningkat luar biasa terlebih ketika industri pariwisata juga
berkem bang m akin liar. Dalam hal ini, adanya “perm intaan” pasar
dalam industri seks global, serta perkem bangan perkem bangan jejarin g
di dunia m aya yang difasilitasi penggunaan teknologi kom unikasi baru,
seperti telepon selular dan internet adalah hal-hal yang m enyebabkan
m engapa praktik pelacuran anak dan child trafficking cenderung m akin
sulit diberantas.
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
147
Bagong Suy anto
Seperti banyak kajian lain, Tautz, Bahr, dan Wolte (20 0 6) juga
m engidentifikasi salah satu faktor yang m elatarbelakangi terjadinya
peningkatan kasus trafficking dan eksploitasi seksual kom ersial pada
anak-anak dan rem aja adalah kem iskinan. Di Thailand, m isalnya,
dilaporkan setelah terjadi krisis ekonom i di tahun 1998/ 1999 terdapat
peningkatan sekitar 20 % anak-anak yang terlibat dalam prostitusi (ILOIPEC, 20 0 1). Nam un dem ikian, lebih dari sekadar faktor kem iskinan,
Tautz, Bahr, dan Wolte m enyatakan bahwa peluang m em peroleh
penghasilan yng lebih baik dan prospek akan kebebasan yang lebih luas,
keterlibatan keluarga dalam penyalahgunaan obat dan kekerasan juga
m enjadi faktor tam bahan yang m enyebabkan anak-anak terjerum us
dalam dunia pelacuran.
Akibat akses yang sangat terbatas pada perawatan kesehatan, m enurut
Tautz, Bahr, dan Wolte, seringkali m enyebabkan anak-anak
(perem puan) yang m enjadi korban eksploitasi seksual kom ersial
m engalam i berbagai dam pak, seperti: (1) dam pak fisik berupa luka,
khususnya luka pada organ seksual internal dan eksternal, kelainan
fungsi, dan bahkan kadangkala dengan akibat yang fatal. Di kalangan
anak-anak, luka serius pada wilayah genital seringkali m enjadi
perm anen sebagai akibat tindak kekerasan seksual yang m ereka alam i;
(2) dam pak psikosom atik, berupa sindrom a sakit kronik, kelainan
gastro-intestinal, dan persoalan pernafasan; (3) dam pak psikologi,
seperti kelainan stres pasca-traum atik, kelainan m akan, kehilangan
harga diri dan depresi; (4) m unculnya perilaku kesehatan yang
berbahaya, antra lain terlibat dalam alkohol dan penyalahgunaan obat,
m erokok, praktik seksual beresiko tinggi; (5) dam pak yang berhubungan
dengan kesehatan seksual dan reproduksi, seperti penyakit m enular
seksual, HIV/ AIDS, keham ilan yang tak direncanakan dan aborsi tak
am an. Resiko terinfeksi HIV dan penyakit m enular seksual sangat tinggi
dialam i anak-anak dan rem aja, karena organ seksual m ereka belum
sepenuhnya berkem bang, sehingga terdilah luka terbuka yang
m em udahkan penularan berbagai penyakit m enular seksual, bahkan
HIV/ AIDS; dan (6) bagi anak korban eksploitasi seksual kom ersial tidak
jarang di antara m ereka yang kem udian m enyakiti diri, atau bahkan
m encoba bunuh diri. Di seluruh dunia, studi yang dilakukan WHO
(20 0 3) m encatat bahwa sekitar 33% dari sem ua kelainan pascatraum atik yang terjadi pada perem puan dan 21% pada laki-laki, ada
hubungannya dengan kasus kekerasan dan eksploitasi seksual yang
dialam i korban ketika m asih anak-anak.
U paya Pe n an gan a n Kas u s Ch ild Traffickin g
Dari hasil kajian diketahui bahwa anak-anak perem puan yang m asuk
dalam bisnis industri seksual kom ersial biasanya dipaksa oleh gabungan
148
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
berbagai faktor dan kondisi lingkungan: tekanan kem iskinan,
kekecewaan karena love affair yang gagal, kurangnya kesem patan kerja
di pasar kerja, bias nilai patriarkhis, tawaran gaya hidup hedonis, dan
kondisi psikologis anak-anak yang rentan terhadap penipuan,
pem aksaan dan tekanan-tekanan sosial lainnya.
Ini berarti, m enangani persoalan anak-anak yang dilacurkan sem ata
hanya dari segi ekonom i atau pendekatan m oral saja, niscaya sam a
sekali tidak akan pernah m em adai. Munculnya fenom ena sosial anak
perem puan yang dilacurkan bukanlah karena kesalahan si korban yang
asusila dan kurang m em aham i nilai dan norm a m asyarakat, dan juga
bukan karena sekadar m engejar penghasilan yang lebih besar, tetapi
lebih dari itu ini adalah fenom ena sosial yang berkaitan dengan
persoalan ekonom i-politik, kultural, gaya hidup, dan lain sebagainya.
Ibarat m engurai benang ruwet, dalam upaya penanganan kasus anakanak yang dilacurkan, oleh sebab itu ada banyak tali-tem ali persoalan
yang m esti diurai satu per satu secara sabar dan em patif.
Sebagai korban tindak eksploitasi dan berbagai bentuk tindak
kekerasan, posisi anak-anak perem puan yang dilacurkan terbukti rawan
m enjadi korban eksploitasi, m enderita secara psikologis, dan rentan
terjerum us m enjadi korban yang paling m enderita secara struktural.Bisa
dibayangkan, hati siapa yang tak tergugah m enyaksikan anak-anak
perem puan yang seharusnya m em andang dunia dengan m ata berbinar,
ternyata setiap hari harus bergelut dengan ancam an tindak kekerasan
(child abuse), terutam a sexual abuse dan berbagai penderitaan yang
m enistakan m ereka. Seperti dikatakan Gadis Arivia, bahwa dalam usia
dini, anak-anak perem puan yang bekerja sebagai pekerja seks palingtidak dalam satu tahun telah ditiduri oleh lebih dari 30 0 orang laki-laki
dan berbagai usia dan perangai.
Anak-anak korban trafficking yang dilacurkan, ibaratnya adalah orang
yang sudah jatuh, m asih ditam bah lagi dengan tim paan dan him pitan
tangga. Sebagai pihak yang m enjadi objek pem erasan germ o, calo dan
lelaki ”tukang jajan”, hasil keringat anak-anak perem puanyang
dilacurkan cenderung lebih banyak dinikm ati orang lain, dan repotnya
jika m ereka berani m enolak, m aka ancam an kekerasan dan pelecehan
niscaya sudah m enanti. Sem entara itu, pada saat m ereka m au keluar
dari situasi yang m em belenggunya, alih-alih m em peroleh sim patik dari
m asyarakat, yang terjadi justru seringkali adalah reaksi m asyarakat yan g
cenderung bersyakwasangka dan bahkan m enghakim i.
Untuk m enyelam atkan anak-anak perem puan dari perangkap industri
seksual kom ersial yang penuh dengan ancam an kekerasan dan
pelanggaran hak anak, harus diakui bukanlah hal yang m udah. Selam a
ini, berbagai strategi yang dikem bangkan negara untuk m em batasi
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
149
Bagong Suy anto
ruang gerak industri pelacuran um um nya m em andang entitas dan bisnis
ini sebagai penyakit sosial yang harus ditutup paksa, nam un di saat yang
sam a cenderung m engabaikan peran m odal dan konsum en yang
m enjadi bagian tak terpisahkan dari perkem bangan industri leisure dan
layanan seksual. Sering pula terjadi, upaya penanganan dan
penyelam atan nasib anak-anak perem puan yang dilacurkan justru
m em perlakukan m ereka sebagai terdakwa yang ikut disalah-salahkan,
sehingga dalam praktek justru m akin m enjerum uskan anak-anak
perem puan yang dilacurkan untuk m enanggung akum ulasi beban yang
lebih berat.
Untuk m em berantas fenom ena kom ersialisasi dan eksploitasi seksual
anak perem puan di berbagai negara, yang dibutuhkan tak pelak adalah
langkah penanganan yang benar-benar terpadu. Dengan m engacu pada
program aksi yang benar-benar terpadu dan em patif kepada anak-anak
perem puan yang dilacurkan sebagai korban, niscaya satu per satu akar
m asalahnya akan dapat diatasi.
Pertam a, selain berusaha m encegah m unculnya anak-anak perem puan
sebagai korban-korban baru di dunia prostitusi, bagi anak-anak
perem puan yang diketahui dilacurkan oleh germ o atau m ucikari, m aka
tidak bisa tidak m ereka harus dikeluarkan dengan segera. Sesuai
Konvensi Hak Anak (KHA), Konvensi ILO No. 182 dan UU Perlindungan
Anak, pelacuran sesungguhnya adalah salah satu bentuk pekerjaan
terburuk yang dilarang untuk anak-anak, sehingga solusinya hanya satu
kata: m ereka harus segera dikeluarkan dari perangkap germ o dan
diselam atkan kelangsungan m asa depannya.
Bagi anak-anak perem puan yang m enjadi korban di industri seksual
kom ersial, langkah strategis yang harus dilakukan adalah pem ulihan
dan reintegrasi anak-anak korban eksploitasi di sektor industri seksual
kom ersial. Caranya, antara lain dengan m engutam akan pendekatan
non-punitive kepada anak-anak yang dilacurkan dalam keseluruhan
prosedur perundangan, m em beri pelayanan m edis, psikologis, terhadap
korban ESKA dan keluarganya, khususnya korban yang terkena penyakit
m enular seksual (PMS) dan HIV/ AIDS.
Kedua, perlunya m em aham i anak-anak yang terlibat dalam praktek
pelacuran sebagai korban (bukan terdakwa), sehingga ketika dilakukan
razia atau operasi penertiban tindak penegakan hukum seyogianya lebih
difokuskan pada germ o, m ucikari, calo atau pelanggan yang nyata-nyata
m em anfaatkan ketidakberdayaan anak sebagai obyek eksploitasi seksual
kom ersial. Selam a ini, diakui atau tidak bahwa dalam penanganan kasus
anak-anak yang dilacurkan dan diperdagangkan sering terjadi korban
justru diperlakukan sebagai bagian dari pelaku tindak krim inal seperti
layaknya pem beli atau konsum en m aupun pihak ketiga (germ o,
150
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
m ucikari) yang m em peroleh keuntungan dari kegiatan transaksi seksual,
sehingga yang m uncul bukankah tindakan sim pati dan em pati untuk
m elindungi dengan tulus, tetapi terkadang m alah sekaligus m enangkap
korban karena dianggap juga ikut m em etik keuntungan dari kasus yang
m enim pa m ereka.
Di Thailand, Kam boja, Filipina, dan Am erika Serikat sejak lam a telah
dirum uskan UU yang m engakui bahwa seorang anak perem puan yang
berusia di bawah 18 tahun dan terlibat dalam industri seks kom ersial
atau m erupakan korban child trafficking akan dianggap sebagai korban
dan diperlakukan seperti layaknya korban yang sesungguhnya —dengan
berbagai entitlem ent atau pelayanan dan perlindungan lain yang
seharusnya diterim a oleh korban. J adi, jauh dari sikap m em perlakukan
anak sebagai terdakwa, dalam kasus perdagangan anak —sekali pun
kejadiannya m ungkin sudah sekian tahun yang lalu, dan anak tidak lagi
m erasa bagian dari pihak yang dirugikan—, tetap m ereka sem ua harus
diperlakukan sebagai korban yang patut dilindungi dan diselam atkan
secara sungguh-sungguh.
D aftar Pu s taka
Bu ku
Altm an, Dennis, 20 0 7. Global Sex, Politik Seks, Kom ersialisasi Tubuh
dan Hubungan Internasional. J akarta: Qalam .
Arivia, Gadis, 20 0 6. Fem inism e: Sebuah Kata Hati. J akarta: Kom pas.
Bachtiar, Reno & Edy Purnom o, 20 0 7.Bisnis Prostitusi, Profesi y ang
Menguntungkan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Baker, Sim on, 20 0 0 . The Changing Situation of Child Prostitution in
Nothern Thailand: A Study of Cangw at Chiang Rai. Bangkok:
ECPAT International.
Barry, Kathleen L., 1981. Fem ale Sexual Slavery . New York: Avon
Books.
Bernstein, Elizabeth, 20 0 7. Tem porarily Yours, Intim acy , Authenticity ,
and the Com m erce of Sex. Chicago: The University of Chicago Press.
Brazil, David, 20 0 5. Bisnis Seks di Singapura, No Money No Honey ,
Telaah Blak-Blakan Bisnis Seks Singapura. Ciputat: Pustaka
Prim atam a.
Brown, Louise, 20 0 5. Sex Slaves, Sindikat Perdagangan Perem puan di
Asia. J akarta: Yayasan Obor Indonesia.
Darwin, Muhadjir dkk, 20 0 4.Perdagangan Anak Untuk Tujuan
Pelacuran di Jaw a Tengah, Yogy akarta dan Jaw a Tim ur: Sebuah
Kajian Cepat. Yakarta: ILO-IPEC.
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
151
Bagong Suy anto
Davidson, J ulia O’Connell & J acqueline Sanchez Taylor, 1995. Child
Prostitution and Sex Tourism in Venezuela.Bangkok: ECPAT
International.
Davidson, J ulia O’Connell, 20 0 2. Children in the Sex Trade in China.
Stockholm : Save the Children Sweden.
Dijk, Frans Van & Wahyuningrum (eds.), 20 0 4.Nightm are in Border
Areas: A Study on Child Trafficking in Indonesia for Labour
Exploitation. Yogyakarta: Rifka Annisa Research and Training
Center.
Ditm ore, Melissa Hope (ed.), 20 0 6. Ency clopedia of Prostitution an d
Sex W ork.London: Greenwood Press.
Djoerban, Zubairi, 20 0 1. Mem bidik AIDS: Ikhtiar Mem aham i HIV dan
ODHA. Yogyakarya: Galang Press.
Hoigard, Cecilie & Liv Finstad, 20 0 8.Tubuhku Bukan Milikku:
Prostitusi, Uang dan Cinta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hull, Terence H. dkk., 1997. Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan
Perkem banganny a. J akarta: Sinar Harapan.
Irwanto dkk., 20 0 1. Perdagangan Anak di Indonesia. J akarta: ILO.
Irwanto, Muham m ad Farid & J effry Anwar, 1999.Anak y ang
Mem butuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia: Analisis Situasi.
J akarta: PKPM Unika Atm ajaya.
J effreys, Sheila, 20 0 9. The Industrial Vagina: The Political Econom y of
the Global Sex Trade. London & New York: Routledge.
J ulianto, Irwan (Peny.), 20 0 2. Anak-anak yang Dilacurkan, Masa Depan
yang Tercam pakkan. Yogyakarta: Pustaka Populer Obor.
Koentjoro, 20 0 4.On The Spot: Tutur Dari Sarang Pelacur. Yogyakarta:
Tinta.
Malarek, Victor, 20 0 6. Natasha: M eny ibak Perdagangan Seks Dunia.
J akarta: Seram bi Ilm u Pustaka.
McAlpine, Mhairi, 20 0 6. “Prostitution: An Expression of Patriarchal
Oppression”,dalam Scottist Socialist Party Wom en’s Network,
Prostitution: A Contribution to the Debate. Glasgow: Scottist
Socialist Party.
Phoenix, J oanna, 20 0 1. Making Sense of Prostitution. New York:
Palgrave MacMillan.
Pisani, Elizabeth, 20 0 8 . Kearifan Pelacur: Kisah Gelap di Balik Bisnis
Seks dan Narkoba. J akarta: Seram bi Ilm u Sem esta.
Purnom o, Tjahjo & Ashadi Siregar, 1983.Dolly , M em bedah Dunia
Pelacuran Surabay a: Kasus Kom pleks Pelacuran Dolly . J akarta:
Grafiti.
Rozario, Rita, 1986. Trafficking in W om en and Children in India. New
Delhi: Uppal Publishing House.
Saptari, Ratna & Brigitte Holzner, 1997.Perem puan, Kerja, dan
Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perem puan. J akarta:
Grafiti.
152
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
Sedyaningsih-Mam ahit, Endang R., 1999. Perem puan-Perem puan
Kram at Tunggak. J akarta: Sinar Harapan.
Sullivan, Mary Lucille, 20 0 7. Making Sex W ork: A Failed Experim ent
W ith Legalised Prostitution. Melbourne: Spinifex Press.
Suyanto, 20 0 2. Perdagangan Anak Perem puan, Kekerasan Seksual dan
Gagasan Kebijakan. J ogyakarta: Pusat Sudi Kependudukan dan
Kebijakan UGM.
Suyanto, Bagong & Sri Sanituti Hariadi (eds.), 20 0 0 . Pekerja Anak:
Masalah dan Upay a Penangananny a. Surabaya: Lutfansah
Mediatam a.
Suyanto, Bagong et al..(eds.), 20 0 0 . Tindak kekerasan Terhadap Anak:
Masalah dan Upay a Pem antauanny a. Surabaya: Lutfansah
Mediatam a.
Suyanto, Bagong, 20 10 . Masalah Sosial Anak.J akarta: Prenada Media.
Tautz, Siegrid, dkk., 20 0 7. “Com m ercial Sexual Exploitation of Children
and Young People”, dalam : Oliver Razum , Hajo Zeeb, & Ulrich
Laaser, Globalisierung-Gerechtigkeit-Gesundheit, Einfuhrung in
International Public Health. Bern: Verlag Hans Hubuer.
Tong, Rosem arie Putnam , 20 0 4. Fem inist Thought: Pengantar Paling
Kom prehensif kepada Arus Utam a Pem ikiran Fem inis. Yogyakarta &
Bandung: J alasutra.
Truong, Thanh-Dam , 1992. Seks, Uang dan Kekuasaan, Pariw isata dan
Pelacuran di Asia Tenggara. J akarta: LP3ES.
Artike l Ju rn al
Aderinto, Saheed, 20 0 7. “’The Girl in Moral Danger’: Child Prostitution
and Sexuality in Colonial Lagos, Nigeria, 1930 s to 1950 ”, Journal of
Hum anities & Social Sciences, 1 (2): 1-21.
Darnela, Lindra, 20 0 7. “Trafficking in Wom en Sebagai Akibat Tidak
Terpenuhinya
Hak-hak
Dasar:
Suatu
Tinjauan
Hukum
Internasional”, Jurnal Ying Yang, 2 (2): 1-32.
Edlund, Lena & Evelyn Korn, 20 0 2.“A Theory of Prostitution”,Journal
of Political Econom y , 110 (1): 181-214.
Ekberg, Gunilla, 20 0 4. “The Swedish Law That Prohibit the Purchase of
A Sexual Service: Best Practices for prevention of Prostitution and
Trafficking in Hum an Beings”, Violence Against W om en, 10 (10 ):
1187-1218.
Karandikar, Sharvari, 20 0 8 . “Need for Developing A Sound Prostitution
Policy:
Recom m endations
for
Future
Action”,Journal of
Interdiciplinary & Multidiciplinary Research, 2 (1): 1-6.
Perschler-Desai, Viktoria, 20 0 1.“Childhood on the Market: Teenage
Prostitution in Southern Africa”, African Security Review , 10 (4).
Raym ond, J anice G., 20 0 4. “Prostitution on Dem and, Legalizing the
Buyers as Sexual Consum ers”,Violence Against W om en, 10 (10 ):
1156-1186.
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
153
Bagong Suy anto
Sum m it, Roland C., 1983. “The Child Sexual Abuse Accom odation
Syndrom e”,Journal of Child Abuse & N eglect, 7 (2): 177-193.
Lap o ran Pe n e litian
Banerjee, Upala Devi, 1999. “Sexual Exploitation and Trafficking of the
Girl Child in South Asia: The Most Degrading Form of Child Labour”,
dalam 28 th ICW S Asia & Pacific Regional Conference Proceedings.
J oni,
Muham m ad, 1998. “Pelacuran Anak, Eksploitasi Tak
Tersem bunyikan”, dalam Makalah Sem iloka Nasional Prostitusi
Anak & Industri Pariw isata. Diselenggarakan Puspar UGM
bekerjasam a dengan ILO-IPEC.
McCoy, Am alee, 20 0 4. “Blam ing Children for The Their Own
Exploitation: The Situation East Asia”,dalam ECPAT 7th Report on
The Im plem entation of the Agenda for Action Agains the
Com m ercial Sexual Exploitation of Children.
O’Donnell, Owen, dkk., 20 0 2. Child Labour and Helth: Evidence and
Research Issues. Understanding Children's W ork Program m e
W orking Paper, J anuary 20 0 2.
Seguin, Maureen L., 20 0 8 . The Protection of Children Involved in
Prostitution Act: Case Study and Field Analy sis. Tesis. Saskatoon:
University of Saskatchewan.
Yam ato, Sachiyo, 20 0 0 . Prostitution and Fem inism s: Integrating the
Subjective Accounts of Pow er for W om en in the Philippine Sex
Industry . Tesis Master. Halifax, Nova Scotia: Dalhousie University.
154
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Bago n g Su yan to
Departem en Sosiologi
Universitas Airlangga, Surabay a
ABSTRAK
Di industri seksual kom ersial, praktik pelacuran y ang m elibatkan anak-anak
perem puan di baw ah um ur adalah salah satu bagian dari industri dan
perdagangan seks global y ang telah m enggurita dan m eram bah ke berbagai
bentuk lay anan. Meski desakan dari berbagai pihak, term asuk dari aktivis
kem anusiaan dan perlindungan hak-hak anak y ang m em inta agar praktik
pelacuran y ang m elibatkan anak-anak dihentikan, perkem bangan industri
pelacuran di berbagai negara dan daerah justru m akin m arak. Selain karena
perputaran uang dalam bisnis pelacuran benar-benar luar biasa, praktik
pelacuran y ang m elibatkan anak perem puan um um ny a tetap sulit diberantas
karena bertali-tem ali dengan faktor kem iskinan, kasus child abuse, m asih
kuatny a ideologi patriarkhi y ang m em arginalisasi kaum perem puan, dan
ditam bah m odus operandi para pelaku trafficking dan ulah germ o serta
m ucikari y ang selalu m encari korban-korban baru untuk m enghidupi sektor
industri seksual kom ersial y ang m ereka kelola.
K a t a -K a t a K u n ci: anak perem puan, child trafficking, dan industri seksual
kom ersial.
In the com m ercial sex industry , the practice of prostitution w hich included
under-age children, especially w om en, has been part of the ever expanding
global sex trade and industry . This global netw ork has infiltrated m any
services area. Although there w ere several voices, including the hum anitarian
activist and children-rights activist, that tried to put an end to the practice of
child-prostitution, the num bers of cases in several countries w ere increasing.
Several explanations could be derived from those phenom ena. The am ount of
m oney circulated in this industry w as one of the m ain factors. Aside from the
econom ic factor, the problem of poverty , the abusing of children, the
patriarchal ideology that m arginalized w om en, and the recruitm ent strategy
of the pim p, w ere several factors that enhance the scope of the com m ercial sex
industry .
K e y w o r d s : girl, child trafficking, com m ercial sex industry .
139
Bagong Suy anto
Pelibatan anak perem puan di bawah um ur dalam industri seksual
kom ersial sesungguhnya adalah salah satu bentuk pekerjaan terburuk
yang, dalam Konvensi ILO No. 182 tentang Tindakan Segera Untuk
Menghapuskan dan Mengurangi Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak,
jelas-jelas disebutkan dilarang dan harus dihapuskan. Tetapi, alih-alih
m akin berkurang, di berbagai negara, perkem bangan dan jum lah anak
perem puan yang m enjadi korban trafficking dan kem udian dilacurkan
justru ditengarai terus m eningkat.
Kasus child trafficking dan pelibatan anak perem puan di bawah um ur
sebagai kom oditi yang diperjual-belikan adalah realitas sosial yang
berkem bang bersam aan dengan globalisasi. Altm an (20 0 7), dalam
bukunya Global Sex, m enunjukkan bagaim ana hasrat dan kesenangan
atas tubuh acapkali dibingkai, dibentuk, diperdagangkan dan
dikom odifikasikan m elalui jejaring politik-ekonom i global, khususnya
dalam kaitannya dengan perkem bangan turism e internasional.
Di Asia, pada tahun 1996 diperkirakan jum lah anak-anak yang
dilacurkan m encapai 8 40 ribu jiwa. Di Taiwan tercatat sebanyak 60 ribu
anak yang terpaksa bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Kom ersial). Di
Bangladesh, di sebuah kota pelabuhan Naratangj di luar Dhaka,
dilaporkan m em iliki 1.60 0 pekerja seks yang hidup di sana bersam a
keluarganya. Di India, angkanya lebih m em prihatinkan lagi, yakni
sekitar 40 0 -50 0 ribu anak dilaporkan terjerum us dalam dunia
pelacuran. Sem entara itu, sekitar 30 0 ribu perem puan asal Nepal
dilaporkan telah dijual di rum ah-rum ah bordir di India. Di Afrika
Selatan, dilaporkan perdagangan gadis-gadis m uda dari Mozam bique ke
rum ah-rum ah bordir di Cape Town dan J ohannesburg juga m eningkat
(Altm an 20 0 7, 259-260 ).
Di Thailand, studi yang dilakukan Sim or Baker (20 0 0 ) m enem ukan
bahwa tidak sedikit rem aja belia yang m asih sekolah juga bekerja paruh
waktu m erangkap sebagai pelacur. Para pelajar yang m erangkap kerja
sebagai pelacur ini di Thailand lazim disebut jaitaek, dan apa yan g
m ereka lakukan sam a seperti para pelajar di berbagai kota besar di
Indonesia yang disebut sebagai “ayam abu-abu” atau grey chicken. Di
Indonesia sendiri, jum lah anak perem puan yang dilacurkan
diperkirakan telah m encapai m encapai 40 -70 ribu.Farid (1999)
m em perkirakan sekitar 30 % dari seluruh pekerja seks yang ada di
Indonesia m asih berusia di bawah 18 tahun.
Di Singapura, m enurut catatan Brazil (20 0 5), dewasa ini diperkirakan
jum lah pelacur di negara dengan sim bol Merlion ini sekitar 6 ribu orang,
dan sebagian di antaranya adalah perem puan m uda yang berasal dari
India, Filipina, dan Indonesia. Di Rusia, laporan dari Malarek (20 0 8)
m enyatakan bahwa ribuan gadis m uda yang putus asa di Rusia acapkali
140
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
terjerat im ing-im ing pekerjaan bergaji tinggi, tanpa m enyadari bahwa
m ereka kem udian dijerum uskan ke dalam lem bah hitam prostitusi. Di
Serbia, gadis-gadis dari seantero Eropa Tim ur seringkali disiksa dan
dipersiapkan paksa sebelum dijual sebagai budak seks ke berbagai
negara.
Daftar keterlibatan dan pem aksaan anak perem puan untuk bekerja
sebagai PSK ini sudah barang tentu dapat terus diperpanjang ke
berbagai negara, baik negara m aju m aupun negara m iskin.Yang jelas,
sebagai sebuah realitas sosial, pelacuran dan pelibatan anak perem puan
dalam industri seksual ini telah m enjadi fenom ena global yang m akin
m assif, berkem bang ke seluruh penjuru dunia.
Bis n is yan g Me n gu n tu n gkan
Seperti halnya bisnis perjudian, perputaran uang dalam bisnis pelacuran
diperkirakan m encapai angka m ilyaran dollar. Pada tahun 1995, pernah
dilaporkan bahwa perputaran uang dalam bisnis pelacuran m encapai
1,27 sam pai dengan 3,6 m ilyar dollar (Kom pas, 30 April 1995). Studi
yang dilakukan ILO (Organisasi Buruh Internasional) tahun 1998
tentang pelacuran di em pat negara Asia Tenggara, m em perkirakan
bahwa di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand jum lah orangorang yang m encari penghidupan dari pelacuran, baik langsung m aupun
tidak langsung, m encapai jutaan orang. Penghasilan dari sektor seks di
em pat negara tersebut diperkirakan m encapai 2 hingga 4 persen dari
total GNP, dan pendapatan yang dihasilkan sangat penting bagi
kehidupan dan pendapatan jutaan pekerja, selain para pelacur itu
sendiri.
Bersam aan dengan m akin m eningkatnya jum lah anak perem puan yang
terjerum us dalam bisnis jasa syahwat ini, diprediksi jum lah perputaran
uang di balik dunia prostitusi niscaya m akin besar, khususnya dalam
lim a-sepuluh tahun belakangan ini. Sebagai kegiatan usaha yang
sifatnya ilegal, perkem bangan bisnis prostitusi bagaim ana pun m em ang
m enguntungkan berbagai pihak – tidak hanya para pelaku trafficking,
germ o dan m ucikari, tetapi juga seluruh pihak yang terlibat dalam m ata
rantai bisnis prostitusi ini.Ada kesan kuat, kendati pem erintah di
berbagai negara, m asyarakat dan berbagai organisasi sosial-keagam aan
acapkali m encoba m enutup paksa berbagai kom pleks lokalisasi dan
aparat keam anan tak sekali dua kali m elakukan operasi penggerebekan,
tetapi sepertinya sem uanya sia-sia.
Mekanism e rekruitm en, sindikat perdagangan perem puan, dan jaringan
operasi bisnis prostitusi terus berkem bang atau m inim al tetap bertahan
karena kian lam a justru m enjadi kian rum it dan canggih, sehingga tidak
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
141
Bagong Suy anto
m udah bagi negara m ana pun untuk m em berantas kasus child
trafficking. Di tengah iklim perkem bangan industri seksual kom ersial
yang m akin m arak, dan iklim persaingan yang m akin ketat, bahkan tak
sedikit sindikat perdagangan anak dan perem puan, serta para germ o
yang kem udian m enem puh jalan pintas untuk m eraih pelanggan dan
m engeruk keuntungan besar, yakni m encari sebanyak m ungkin PSKPSK baru yang m asih anak-anak, dan bahkan kalau perlu dengan cara
paksa: m ulai dari penipuan, ancam an, penganiayaan, penyekapan, dan
berbagai bentuk intim idasi lain. Sudah m enjadi rahasia um um , bahwa di
berbagai kom pleks lokalisasi, anak-anak di bawah um ur tersebut
biasanya ditawarkan sebagai layanan istim ewa dengan harga yang lebih
tinggi.
Hasil kajian yang dilakukan Irwanto et al. (20 0 1, 31) m enem ukan
bahwa tingginya perm intaan anak perem puan dalam dunia industri
seksual dipicu oleh m itos-m itos seputar keperawanan dan tuahnya yang
dipercaya dapat m em buat lelaki hidung belang tetap awet m uda, di
sam ping adanya ancam an penyebaran HIV/ AIDS yang kem udian
m enyebabkan perm intaan terhadap anak perem puan cenderung
m eningkat karena dianggap lebih bersih dan am an. Seperti dikatakan
Altm an (20 0 7), bahwa di berbagai belahan dunia, adanya ancam an
AIDS telah m eningkatkan perm intaan terhadap pelacur-pelacur di
bawah um ur.
Di Indonesia, praktek perdagangan dan eksploitasi seksual terhadap
anak perem puan dari Indonesia ini bukan hanya terjadi untuk
kepentingan bisnis di dalam negeri saja, tetapi juga telah m eram bah ke
negara lain, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Hongkong,
dan lain-lain. Asiaweek, 7 Februari 1997 pernah m elaporkan bahwa di
negara seperti Thailand, Singapura dan Malaysia Tim ur acapkali
dijum pai PSK anak yang berasal dari Indonesia, sebagian berusia 14
tahun, dan m ereka dapat m enem bus pintu im igrasi karena m em alsu
paspor sesuai instruksi dari calo yang m enjanjikan akan m em pekerjakan
m ereka di restoran, pabrik atau yang lain.
Fakto r Pe n ye bab
Kalau coba dirinci, faktor penyebab di balik keterlibatan anak
perem puan dalam bisnis prostitusi sesungguhnya sangat kom pleks.
Sachiyo Yam ato (20 0 0 ), dalam tesisnya yang berjudul Prostitution and
Fem inism s: Integrating the Subjective Accounts of Pow er for W om en in
the Philippine Sex Industry m enem ukan bahwa di Filipina ada dua
aliran dari kelom pok fem inis dalam m em andang keterlibatan
perem puan dalam industri perdagangan seksual. Pertam a, kelom pok
fem inis strukturalis yang berpendapat bahwa keputusan perem puan
142
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
untuk terlibat dalam industri perdagangan seksual terjadi karena faktor
kem iskinan dan patriarkhi, di m ana hal ini m erupakan sistem
“seksploitatif” dalam politik-ekonom i dunia internasional m aupun
nasional yang m em aksa perem puan m asuk ke dalam dunia prostitusi,
yakni sebagai kom oditas bagi daya tarik seksual pria dan pertim bangan
keuntungan sem ata. Kedua, kelom pok fem inis liberal/ neo-liberal yang
m em andang bahwa perem puan, tanpa m em pertim bangkan latar
belakang sosial-ekonom i m ereka, m em iliki pilihan untuk m asuk atau
tidak dalam dunia protitusi.
Di Filipina, m enurut Yam ato, perem puan yang terlibat dalam kehidupan
prostitusi um um nya tidak selalu m em iliki kecantikan fisik yang
m enonjol. Mereka kebanyakan berusia sekitar 16-20 tahun, yang
berusaha tam pil cantik dengan cara pergi ke salon kecantikan setiap
hari, m enggunakan m ake-up yang berlebihan, berpakaian seksi dan
m elakukan m anicure-pedicure setiap m inggunya, tetapi berbagai usaha
itu sepertinya sia-sia tatkala m ereka terjun ke jalanan, bekerja di rum ah
bordil, bekerja di karaoke atau pub dengan upah di bawah m inim um . Di
Kota Angeles Pam panga, m isalnya, para perem puan yang bekerja di bar
um um nya m em ang dikhususkan pada prostitusi m iliter, yaitu m elayani
US Clark Air Force Base. Di sana, perem puan m uda asli Filipina yang
berkulit coklat kelapa berdansa, m enari setengah telanjang di pusat
podium utam a, dikelilinggi pelanggan asing (kebanyakan pasukan dari
Australia dan Am erika Serikat) yang sengaja datang ke Angeles City
untuk m encari pelayanan seksual. Para laki-laki asing yang datang ke
daerah m erah di Filipina ini, m eski tidak kaya di negara asalnya, tetapi
m ereka um um nya m em iliki kekuatan finansial untuk m em beli jasa
layanan seksual dari para perem puan m uda di Filipina yang relatif
m urah. Di Filipina, tidak sedikit perem puan yang terlibat dalam industri
seksual m enggunakan obat-obatan dan alkohol untuk m em bunuh rasa
m alu untuk m enjadi terhina oleh pelanggan, baik kata-kata m aupun
perilaku.
Posisi perem puan yang terlibat dalam bisnis jasa layanan seksual di
Filipina, m enurut Yam ato acapkali dikonstruksi dalam kom petisi dan
hegem oni kekuatan struktural yang kom pleks dalam perkem bangan
m odal global, negara, gereja Katholik, m enerapkan standar ganda, di
satu sisi prostitusi dianggap ilegal, nam un di sisi yang lain prostitusi
disetujui atau m inim al dibiarkan m akin berkem bang m enjadi bagian
dari pariwisata seks karena ketergantungan negara pada m ata uang
asing. J adi, seperti dikatakan Truong (1990 ), lebih dari sekadar im bas
dari nilai patriarkhis, pertum buhan prostitusi yang m elibatkan anakanak perem puan sesungguhnya adalah berkaitan dengan kom pleksitas
politik dan ekonom i di balik m araknya kehidupan prostitusi di Asia
Tenggara.
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
143
Bagong Suy anto
Baker (20 0 0 ), dalam kajiannya di Thailand Utara, tepatnya di Chiang
Rai m enem ukan m eski dalam dua dekade terakhir terjadi penurunan
besar pada jum lah anak yang beresiko m asuk ke sektor prostitusi,
nam un tetap m asih ada anak-anak yang beresiko terjerum us ke dalam
bisnis layanan seksual ini karena tekanan kem iskinan, pendidikan dan
keluarga yang berantakan, serta anak-anak yang tergolong anak-anak
yang jaitek. Jaitek ini adalah istilah orang Thailand untuk m enyebut
anak-anak yang berperilaku m enyim pang, seperti kecanduan obat bius
dan terlibat dalam hubungan seks bebas.Konsep atau nilai todtan
bunkhun, yaitu nilai yang m engharuskan anak berbakti kepada orang
tuanya, walau disebut-sebut m erupakan salah satu faktor anak
terjerum us ke dalam prostitusi, tetapi m enurut Baker pandangan ini
sebetulnya terlalu berlebihan.
Menurut Baker, sejak terjadi krisis ekonom i tahun 1997 di Thailand,
anak-anak yang berasal dari Myanm ar, suku gunung dan anak-anak
Thai Dataran-Rendah yang acapkali tidak berpendidikan dan m iskin
cenderung kesulitan m encari pekerjaan, hingga akhirnya terjerum us ke
dalam sektor prostitusi. Di daerah ini, anak-anak yang dilacurkan
biasanya beroperasi secara sem bunyi-sem bunyi di bar-bar, karaoke atau
tem pat hiburan m alam lainnya – yang jauh dari pandangan um um .
Perang terhadap prostutisi anak yang dicanangkan Perdana Menteri
Thailand Chuan Leekpai di bulan Nopem ber 1992 tam paknya tidak
terlam pau efektif untuk m encegah tetap m erebaknya praktik
perdagangan dan pelacuran anak-anak.
Para orang tua dan anak-anak yang bekerja sebagai PSK di Thailand
Utara itu bukan tidak m enyadari ancam an HIV/ AIDS dan ancam an
hukum an yang tercantum dalam Undang-Undang Prostitution
Suppression 1996. Tetapi, karena tiadanya peluang untuk bisa hidup
dan bekerja di sektor yang lain, m aka tidak sedikit anak perem puan (dan
juga anak laki-laki) di Thailand yang kem udian m engadu nasib dan
pasrah bekerja di sektor prostitusi. Yang m em prihatinkan dari studi
yang dilakukan Baker, orang tua dan anak telah m enyadari ancam an
m erebaknya HIV/ AIDS, tetapi ketika orang tua m ereka ternyata telah
divonis terkena HIV/ AIDS dan m em butuhkan biaya pengobatan yang
besar, m aka sejarah pun kem bali terulang: anak-anak yang m asih belia
itu terpaksa m enjual tubuhnya guna m em enuhi kebutuhan berobat
orang tuanya. Di Changwat Chiang Rai, m enurut catatan Departem ent
of Public Health (20 0 0 ), paling-tidak terdapat 2.982 anak yang positif
terinfeksi HIV/ AIDS, baik secara langsung m aupun tidak langsung.
Bagi sebagian anak, selain tekanan yang sifatnya struktural, seperti
kem iskinan dan kesem patan kerja yang relatif kecil, faktor yang
ditem ukan Sim on Baker m enjadi penyebab tetap m erebaknya praktik
pelacuran anak adalah m aterialism e dan m asalah obat-obatan. Ketika
144
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
m asyarakat desa terus-m enerus terekspose dengan barang konsum si
m odern dan m ewah m elalui m edia m assa serta daya tarik yang
ditawarkan gadis-gadis PSK m igran dari kota ketika m ereka pulang
kam pung, m aka sedikit-banyak hal itu m enim bulkan keinginan untuk
m endapatkan yang lebih banyak. Tidak sedikit anak desa yang m em iliki
harapan yang jauh m elebihi realitas kehidupan desa, seperti m em iliki
telepon selular dan lain-lain, yang kem udian m endorong m ereka untuk
rela m enjual tubuhnya, karena itu adalah cara yang term udah untuk
m endapatkan uang.
Masalah obat-obatan, m enurut Baker, m erupakan faktor baru yang
m em buat generasi anak-anak di Thailand Utara kem bali terjerum us
dalam pelacuran. Yaba, tablet am fetam in m erupakan salah satu jenis
obat bius yang banyak dikonsum si anak-anak, m enyebabkan 1 dari 3
anak-anak rela m enjual tubuhnya agar bisa m em peroleh uang untuk
m em beli yaba. Diperkirakan di Changwat, sekitar 90 % dari siswa adalah
pem akai yaba. Guru-guru yang ada di berbagai sekolah um um nya
m engetahui siswanya m erupakan pem akai yaba, tetapi m ereka tidak
berani bertindak terlam pau jauh karena takut pem balasan dan teror
yang dilakukan pengedar lokal.
Di Thailand Utara, pola utam a dari rekruitm en anak untuk dijadikan
PSK um um nya adalah m elalui agen dan anak-anak yang sebelum nya
telah m enjadi PSK. Biasanya seorang agen akan m em beri uang antara 5
ribu sam pai 20 ribu baht kepada orang tua anak – tergantung pada
berapa banyak utang m ereka. Sem entara itu, seorang PSK yang berhasil
m erayu tem an dari desanya untuk m enjadi PSK baru, m ereka biasanya
akan m em peroleh kom pensasi berupa potongan utang dari m ucikarinya.
Menurut Baker, dewasa ini, peran PSK untuk ikut m em bantu m encari
korban-korban baru inilah yang justru m enem pati proporsi terbesar.
J ulia O’Connell Davidson (20 0 2), dalam studinya yang dilakukan
tentang anak-anak perem puan yang diperdagangkan di China, selain
m engkaji karakteristik dan faktor penyebab di balik m akin m eluasnya
keterlibatan anak di bawah um ur dalam industri seksual dalam dua
dekade terakhir, juga m em aparkan bagaim ana pandangan laki-laki di
China terhadap posisi perem puan, terutam a anak perem puan yang
terlibat dan bekerja di industri layanan jasa seksual kom ersial.Di China,
m enurut Davidson, kendati sejak tahun 1957 telh diterbitkan UndangUndang yang m elarang prostitusi dan diterapkan ancam an hukum an
yang berat, baik kepada perem puan yang m enjadi pelacur m aupun
pihak-pihak yang m em anfaatkan pelacur, tetapi bersam aan dengan
m akin berkem bangnya perekonom ian di China, m aka m akin
berkem bang pula bisnis pelacuran.
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
145
Bagong Suy anto
Di China, ancam an hukum an yang diberlakukan bagi perem puan yan g
terlibat dalam bisnis prostitusi sejak tahun 1957 telah ditingkatkan
m enjadi hukum an fisik penjara 3-10 tahun. Selam a perang m elawan
pelacuran di akhir tahun 1980 -an dan awal tahun 1990 -an, hukum an
m ati juga kerapkali dijatuhkan kepada sejum lah penjaga atau prem an
dan pem ilik rum ah pelacuran. Di tahun 1991 saja, sekitar 30 ribu
pelacur telah dikirim untuk bekerja paksa di kam p (Ruan & Lau 1997).
Yang m enjadi m asalah, m eski ancam an hukum an dan sikap aparat
dalam beberapa kasus sangat represif terhadap praktik prostitusi, tetapi
di sejum lah daerah perkem bangan bisnis seksual ini tetap tak
terbendung, terlebih ketika pegawai pem rintah di tingkat lokal
terkadang m enjalankan periode toleransi yang besar bagi perkem bangan
bisnis pelacuran karena alasan kepentingan turism e dan perkem bangan
pem bangunan ekonom i daerah.
Menurut Davidson, di China perm intaan terhadap seks kom ersial
sangatlah besar karena industri seks ini m enawarkan peluang
m em peroleh penghasilan yang lebih besar, baik kepada para pelacur
m aupun m ucikari. Bagi perem puan yang m em iliki pendidikan buruk,
tak berkeahlian dan/ atau term arginalisasikan secara sosial-ekonom i,
peluang kerja yang ditawarkan industri seksual seringkali sangat
m enggoda. Di China, praktik pelacuran yang berkem bang di negara ini
relatif berm acam -m acam , m ulai dari gadis panggilan yang m elayani
pria-pria m enengah ke atas, kam uflase perem puan sebagai “istri kedua”
atau istri sim panan, pekerja seks jalanan yang m elayani pelanggan kelas
pekerja, dan pekerja seks yang dikelola oleh m am i-m am i atau orangorang tertentu di kom plesk lokalisasi, di restoran, hotel, bar, karaoke,
dan salon kecantikan.
Untuk m em astikan berapa sebetulnya jum lah anak perem puan yang
terlibat dalam bisnis pelacuran di China, diakui Davidsonbukanlah hal
yang m udah.Tetapi, dari berbagai kasus dan data sporadis yang berhasil
diinventarisir, ditengarai keterlibatan anak di bawah um ur dalam bisnis
pelacuran di China bukanlah sekadar isapan jem pol. Statistik tentang
tindak kejahatan yang dilakukan anak-anak di China, term asuk
kejahatan dan kesalahan seksual, di tiga kota yang disurvei, ditem ukan
95% dilakukan rem aja putri dan sebagian di antaranya bahkan berusia
12 tahun. Di Sechuan, studi yang dilakukan Gil dkk. (1996) m enem ukan
dari 626 pelacur yang m em anfaatkan jasa klinik, um um nya usia m ereka
berkisar antara 14-24 tahun. Sem entara itu, di Macau, Hongkong dan
pekerja seks di China Daratan, dari hasil studi yang dilakukan Zi Teng
(20 0 0 ) dan Yim (20 0 0 ) diketahui bahwa tidak sedikit perem puan yang
terpaksa m enjadi pelacur ketika berusia 16-17 tahun.
Di China, ketika kesenjangan terjadi dalam berbagai sektor: antara desakota, antara provinsi yang m akm ur dengan yang m iskin, dan antara
146
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
penghuni kota dan kaum m igran, antara m ayoritas Han dan kelom pok
etnis m inoritas, m aka kem ungkinan anak perem puan m iskin terjerum us
dalam praktik pelacuran m enjadi sangat besar. Anak-anak perem puan
pekerja m igran m iskin, seringkali lebih m udah terperangkap dan tertipu
m enjadi pelacur, karena kem iskinan dan kebodohan m ereka. Di daerah
yang berkem bang pesat, seperti Shenzhen, m isalnya, perdagangan seks
um um nya berkem bang sangat pesat, terutam a didukung oleh banyaknya
m igran perem puan dan anak-anak dari desa yang kesulitan m encari
pekerjaan di kota, kem udian terpaksa m asuk ke dalam bisnis pelacuran
untuk m elayani sejum lah besar pengunjung dari Hongkong dan dunia
internasional, m aupun orang-orang lokal dan m igran.
Menurut Pan (20 0 1), bagi anak perem puan yang tidak m em iliki jaringan
sosial, tengah m enunggu pekerjaan atau m enjadi pekerja pabrik,
bilam ana m ereka sudah tidak perawan lagi, m erupakan korban
penipuan dan ditinggal dipacarnya, atau telah bercerai, dan kem udian
bertem u dengan m ucikari atau seorang tem an yang m engajaknya
bekerja sebagai pekerja seks kom ersial, m aka dengan cepat m ereka akan
larut dan m enjadi bagian dari anak-anak perem puan yang dilacurkan.
Daya tarik penghasilan yang sangat besar adalah faktor yang sangat kuat
m em pengaruhi keterlibatan anak perem puan di sektor prostitusi. Di
Macau, m enurut Davidson, seorang anak perem puan yang dilacurkan
bisa m em peroleh penghasilan sam pai 150 .0 0 0 RMB – jauh lebih besar
daripada penghasilan yang m ereka peroleh di desanya.
Siegrid Tautz, Angela Bahr, dan Sonja Wolte (20 0 6), adalah sejum lah
peneliti yang m encoba m engkaji berbagai faktor penyebab tim bulnya
pelacuran dan trafficking pada anak-anak, serta dam pak dari eksploitasi
seksual kom ersial terhadap anak dan rem aja, khususnya di bidang
kesehatan. Menurut Tautz, Bahr, dan Wolte, beberapa faktor penyebab
dan konteks dari m eningkatnya praktik pelacuran anak-anak di bawah
um ur dan kasus trafficking pada anak-anak berhubungan dengan
adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang terjadi di berbagai
belahan dunia. Ketika perbatasan antara Tim ur dan Barat pasca Peran g
Dingin m ulai terbuka dan globalisasi ekonom i m akin m asif, seperti
terjadi di Uni Eropa, wilayah Mekong di Asia dan di Afrika Selatan,
m enurut ketiga penulis ini, langsung atau tidak langsung m enyebabkan
kasus trafficking dan kasus eksploitasi seksual kom ersial m enjadi
m eningkat luar biasa terlebih ketika industri pariwisata juga
berkem bang m akin liar. Dalam hal ini, adanya “perm intaan” pasar
dalam industri seks global, serta perkem bangan perkem bangan jejarin g
di dunia m aya yang difasilitasi penggunaan teknologi kom unikasi baru,
seperti telepon selular dan internet adalah hal-hal yang m enyebabkan
m engapa praktik pelacuran anak dan child trafficking cenderung m akin
sulit diberantas.
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
147
Bagong Suy anto
Seperti banyak kajian lain, Tautz, Bahr, dan Wolte (20 0 6) juga
m engidentifikasi salah satu faktor yang m elatarbelakangi terjadinya
peningkatan kasus trafficking dan eksploitasi seksual kom ersial pada
anak-anak dan rem aja adalah kem iskinan. Di Thailand, m isalnya,
dilaporkan setelah terjadi krisis ekonom i di tahun 1998/ 1999 terdapat
peningkatan sekitar 20 % anak-anak yang terlibat dalam prostitusi (ILOIPEC, 20 0 1). Nam un dem ikian, lebih dari sekadar faktor kem iskinan,
Tautz, Bahr, dan Wolte m enyatakan bahwa peluang m em peroleh
penghasilan yng lebih baik dan prospek akan kebebasan yang lebih luas,
keterlibatan keluarga dalam penyalahgunaan obat dan kekerasan juga
m enjadi faktor tam bahan yang m enyebabkan anak-anak terjerum us
dalam dunia pelacuran.
Akibat akses yang sangat terbatas pada perawatan kesehatan, m enurut
Tautz, Bahr, dan Wolte, seringkali m enyebabkan anak-anak
(perem puan) yang m enjadi korban eksploitasi seksual kom ersial
m engalam i berbagai dam pak, seperti: (1) dam pak fisik berupa luka,
khususnya luka pada organ seksual internal dan eksternal, kelainan
fungsi, dan bahkan kadangkala dengan akibat yang fatal. Di kalangan
anak-anak, luka serius pada wilayah genital seringkali m enjadi
perm anen sebagai akibat tindak kekerasan seksual yang m ereka alam i;
(2) dam pak psikosom atik, berupa sindrom a sakit kronik, kelainan
gastro-intestinal, dan persoalan pernafasan; (3) dam pak psikologi,
seperti kelainan stres pasca-traum atik, kelainan m akan, kehilangan
harga diri dan depresi; (4) m unculnya perilaku kesehatan yang
berbahaya, antra lain terlibat dalam alkohol dan penyalahgunaan obat,
m erokok, praktik seksual beresiko tinggi; (5) dam pak yang berhubungan
dengan kesehatan seksual dan reproduksi, seperti penyakit m enular
seksual, HIV/ AIDS, keham ilan yang tak direncanakan dan aborsi tak
am an. Resiko terinfeksi HIV dan penyakit m enular seksual sangat tinggi
dialam i anak-anak dan rem aja, karena organ seksual m ereka belum
sepenuhnya berkem bang, sehingga terdilah luka terbuka yang
m em udahkan penularan berbagai penyakit m enular seksual, bahkan
HIV/ AIDS; dan (6) bagi anak korban eksploitasi seksual kom ersial tidak
jarang di antara m ereka yang kem udian m enyakiti diri, atau bahkan
m encoba bunuh diri. Di seluruh dunia, studi yang dilakukan WHO
(20 0 3) m encatat bahwa sekitar 33% dari sem ua kelainan pascatraum atik yang terjadi pada perem puan dan 21% pada laki-laki, ada
hubungannya dengan kasus kekerasan dan eksploitasi seksual yang
dialam i korban ketika m asih anak-anak.
U paya Pe n an gan a n Kas u s Ch ild Traffickin g
Dari hasil kajian diketahui bahwa anak-anak perem puan yang m asuk
dalam bisnis industri seksual kom ersial biasanya dipaksa oleh gabungan
148
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
berbagai faktor dan kondisi lingkungan: tekanan kem iskinan,
kekecewaan karena love affair yang gagal, kurangnya kesem patan kerja
di pasar kerja, bias nilai patriarkhis, tawaran gaya hidup hedonis, dan
kondisi psikologis anak-anak yang rentan terhadap penipuan,
pem aksaan dan tekanan-tekanan sosial lainnya.
Ini berarti, m enangani persoalan anak-anak yang dilacurkan sem ata
hanya dari segi ekonom i atau pendekatan m oral saja, niscaya sam a
sekali tidak akan pernah m em adai. Munculnya fenom ena sosial anak
perem puan yang dilacurkan bukanlah karena kesalahan si korban yang
asusila dan kurang m em aham i nilai dan norm a m asyarakat, dan juga
bukan karena sekadar m engejar penghasilan yang lebih besar, tetapi
lebih dari itu ini adalah fenom ena sosial yang berkaitan dengan
persoalan ekonom i-politik, kultural, gaya hidup, dan lain sebagainya.
Ibarat m engurai benang ruwet, dalam upaya penanganan kasus anakanak yang dilacurkan, oleh sebab itu ada banyak tali-tem ali persoalan
yang m esti diurai satu per satu secara sabar dan em patif.
Sebagai korban tindak eksploitasi dan berbagai bentuk tindak
kekerasan, posisi anak-anak perem puan yang dilacurkan terbukti rawan
m enjadi korban eksploitasi, m enderita secara psikologis, dan rentan
terjerum us m enjadi korban yang paling m enderita secara struktural.Bisa
dibayangkan, hati siapa yang tak tergugah m enyaksikan anak-anak
perem puan yang seharusnya m em andang dunia dengan m ata berbinar,
ternyata setiap hari harus bergelut dengan ancam an tindak kekerasan
(child abuse), terutam a sexual abuse dan berbagai penderitaan yang
m enistakan m ereka. Seperti dikatakan Gadis Arivia, bahwa dalam usia
dini, anak-anak perem puan yang bekerja sebagai pekerja seks palingtidak dalam satu tahun telah ditiduri oleh lebih dari 30 0 orang laki-laki
dan berbagai usia dan perangai.
Anak-anak korban trafficking yang dilacurkan, ibaratnya adalah orang
yang sudah jatuh, m asih ditam bah lagi dengan tim paan dan him pitan
tangga. Sebagai pihak yang m enjadi objek pem erasan germ o, calo dan
lelaki ”tukang jajan”, hasil keringat anak-anak perem puanyang
dilacurkan cenderung lebih banyak dinikm ati orang lain, dan repotnya
jika m ereka berani m enolak, m aka ancam an kekerasan dan pelecehan
niscaya sudah m enanti. Sem entara itu, pada saat m ereka m au keluar
dari situasi yang m em belenggunya, alih-alih m em peroleh sim patik dari
m asyarakat, yang terjadi justru seringkali adalah reaksi m asyarakat yan g
cenderung bersyakwasangka dan bahkan m enghakim i.
Untuk m enyelam atkan anak-anak perem puan dari perangkap industri
seksual kom ersial yang penuh dengan ancam an kekerasan dan
pelanggaran hak anak, harus diakui bukanlah hal yang m udah. Selam a
ini, berbagai strategi yang dikem bangkan negara untuk m em batasi
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
149
Bagong Suy anto
ruang gerak industri pelacuran um um nya m em andang entitas dan bisnis
ini sebagai penyakit sosial yang harus ditutup paksa, nam un di saat yang
sam a cenderung m engabaikan peran m odal dan konsum en yang
m enjadi bagian tak terpisahkan dari perkem bangan industri leisure dan
layanan seksual. Sering pula terjadi, upaya penanganan dan
penyelam atan nasib anak-anak perem puan yang dilacurkan justru
m em perlakukan m ereka sebagai terdakwa yang ikut disalah-salahkan,
sehingga dalam praktek justru m akin m enjerum uskan anak-anak
perem puan yang dilacurkan untuk m enanggung akum ulasi beban yang
lebih berat.
Untuk m em berantas fenom ena kom ersialisasi dan eksploitasi seksual
anak perem puan di berbagai negara, yang dibutuhkan tak pelak adalah
langkah penanganan yang benar-benar terpadu. Dengan m engacu pada
program aksi yang benar-benar terpadu dan em patif kepada anak-anak
perem puan yang dilacurkan sebagai korban, niscaya satu per satu akar
m asalahnya akan dapat diatasi.
Pertam a, selain berusaha m encegah m unculnya anak-anak perem puan
sebagai korban-korban baru di dunia prostitusi, bagi anak-anak
perem puan yang diketahui dilacurkan oleh germ o atau m ucikari, m aka
tidak bisa tidak m ereka harus dikeluarkan dengan segera. Sesuai
Konvensi Hak Anak (KHA), Konvensi ILO No. 182 dan UU Perlindungan
Anak, pelacuran sesungguhnya adalah salah satu bentuk pekerjaan
terburuk yang dilarang untuk anak-anak, sehingga solusinya hanya satu
kata: m ereka harus segera dikeluarkan dari perangkap germ o dan
diselam atkan kelangsungan m asa depannya.
Bagi anak-anak perem puan yang m enjadi korban di industri seksual
kom ersial, langkah strategis yang harus dilakukan adalah pem ulihan
dan reintegrasi anak-anak korban eksploitasi di sektor industri seksual
kom ersial. Caranya, antara lain dengan m engutam akan pendekatan
non-punitive kepada anak-anak yang dilacurkan dalam keseluruhan
prosedur perundangan, m em beri pelayanan m edis, psikologis, terhadap
korban ESKA dan keluarganya, khususnya korban yang terkena penyakit
m enular seksual (PMS) dan HIV/ AIDS.
Kedua, perlunya m em aham i anak-anak yang terlibat dalam praktek
pelacuran sebagai korban (bukan terdakwa), sehingga ketika dilakukan
razia atau operasi penertiban tindak penegakan hukum seyogianya lebih
difokuskan pada germ o, m ucikari, calo atau pelanggan yang nyata-nyata
m em anfaatkan ketidakberdayaan anak sebagai obyek eksploitasi seksual
kom ersial. Selam a ini, diakui atau tidak bahwa dalam penanganan kasus
anak-anak yang dilacurkan dan diperdagangkan sering terjadi korban
justru diperlakukan sebagai bagian dari pelaku tindak krim inal seperti
layaknya pem beli atau konsum en m aupun pihak ketiga (germ o,
150
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
m ucikari) yang m em peroleh keuntungan dari kegiatan transaksi seksual,
sehingga yang m uncul bukankah tindakan sim pati dan em pati untuk
m elindungi dengan tulus, tetapi terkadang m alah sekaligus m enangkap
korban karena dianggap juga ikut m em etik keuntungan dari kasus yang
m enim pa m ereka.
Di Thailand, Kam boja, Filipina, dan Am erika Serikat sejak lam a telah
dirum uskan UU yang m engakui bahwa seorang anak perem puan yang
berusia di bawah 18 tahun dan terlibat dalam industri seks kom ersial
atau m erupakan korban child trafficking akan dianggap sebagai korban
dan diperlakukan seperti layaknya korban yang sesungguhnya —dengan
berbagai entitlem ent atau pelayanan dan perlindungan lain yang
seharusnya diterim a oleh korban. J adi, jauh dari sikap m em perlakukan
anak sebagai terdakwa, dalam kasus perdagangan anak —sekali pun
kejadiannya m ungkin sudah sekian tahun yang lalu, dan anak tidak lagi
m erasa bagian dari pihak yang dirugikan—, tetap m ereka sem ua harus
diperlakukan sebagai korban yang patut dilindungi dan diselam atkan
secara sungguh-sungguh.
D aftar Pu s taka
Bu ku
Altm an, Dennis, 20 0 7. Global Sex, Politik Seks, Kom ersialisasi Tubuh
dan Hubungan Internasional. J akarta: Qalam .
Arivia, Gadis, 20 0 6. Fem inism e: Sebuah Kata Hati. J akarta: Kom pas.
Bachtiar, Reno & Edy Purnom o, 20 0 7.Bisnis Prostitusi, Profesi y ang
Menguntungkan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Baker, Sim on, 20 0 0 . The Changing Situation of Child Prostitution in
Nothern Thailand: A Study of Cangw at Chiang Rai. Bangkok:
ECPAT International.
Barry, Kathleen L., 1981. Fem ale Sexual Slavery . New York: Avon
Books.
Bernstein, Elizabeth, 20 0 7. Tem porarily Yours, Intim acy , Authenticity ,
and the Com m erce of Sex. Chicago: The University of Chicago Press.
Brazil, David, 20 0 5. Bisnis Seks di Singapura, No Money No Honey ,
Telaah Blak-Blakan Bisnis Seks Singapura. Ciputat: Pustaka
Prim atam a.
Brown, Louise, 20 0 5. Sex Slaves, Sindikat Perdagangan Perem puan di
Asia. J akarta: Yayasan Obor Indonesia.
Darwin, Muhadjir dkk, 20 0 4.Perdagangan Anak Untuk Tujuan
Pelacuran di Jaw a Tengah, Yogy akarta dan Jaw a Tim ur: Sebuah
Kajian Cepat. Yakarta: ILO-IPEC.
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
151
Bagong Suy anto
Davidson, J ulia O’Connell & J acqueline Sanchez Taylor, 1995. Child
Prostitution and Sex Tourism in Venezuela.Bangkok: ECPAT
International.
Davidson, J ulia O’Connell, 20 0 2. Children in the Sex Trade in China.
Stockholm : Save the Children Sweden.
Dijk, Frans Van & Wahyuningrum (eds.), 20 0 4.Nightm are in Border
Areas: A Study on Child Trafficking in Indonesia for Labour
Exploitation. Yogyakarta: Rifka Annisa Research and Training
Center.
Ditm ore, Melissa Hope (ed.), 20 0 6. Ency clopedia of Prostitution an d
Sex W ork.London: Greenwood Press.
Djoerban, Zubairi, 20 0 1. Mem bidik AIDS: Ikhtiar Mem aham i HIV dan
ODHA. Yogyakarya: Galang Press.
Hoigard, Cecilie & Liv Finstad, 20 0 8.Tubuhku Bukan Milikku:
Prostitusi, Uang dan Cinta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hull, Terence H. dkk., 1997. Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan
Perkem banganny a. J akarta: Sinar Harapan.
Irwanto dkk., 20 0 1. Perdagangan Anak di Indonesia. J akarta: ILO.
Irwanto, Muham m ad Farid & J effry Anwar, 1999.Anak y ang
Mem butuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia: Analisis Situasi.
J akarta: PKPM Unika Atm ajaya.
J effreys, Sheila, 20 0 9. The Industrial Vagina: The Political Econom y of
the Global Sex Trade. London & New York: Routledge.
J ulianto, Irwan (Peny.), 20 0 2. Anak-anak yang Dilacurkan, Masa Depan
yang Tercam pakkan. Yogyakarta: Pustaka Populer Obor.
Koentjoro, 20 0 4.On The Spot: Tutur Dari Sarang Pelacur. Yogyakarta:
Tinta.
Malarek, Victor, 20 0 6. Natasha: M eny ibak Perdagangan Seks Dunia.
J akarta: Seram bi Ilm u Pustaka.
McAlpine, Mhairi, 20 0 6. “Prostitution: An Expression of Patriarchal
Oppression”,dalam Scottist Socialist Party Wom en’s Network,
Prostitution: A Contribution to the Debate. Glasgow: Scottist
Socialist Party.
Phoenix, J oanna, 20 0 1. Making Sense of Prostitution. New York:
Palgrave MacMillan.
Pisani, Elizabeth, 20 0 8 . Kearifan Pelacur: Kisah Gelap di Balik Bisnis
Seks dan Narkoba. J akarta: Seram bi Ilm u Sem esta.
Purnom o, Tjahjo & Ashadi Siregar, 1983.Dolly , M em bedah Dunia
Pelacuran Surabay a: Kasus Kom pleks Pelacuran Dolly . J akarta:
Grafiti.
Rozario, Rita, 1986. Trafficking in W om en and Children in India. New
Delhi: Uppal Publishing House.
Saptari, Ratna & Brigitte Holzner, 1997.Perem puan, Kerja, dan
Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perem puan. J akarta:
Grafiti.
152
Global & Strategis, Th. 7, No. 1
Child Trafficking dan Sem akin Marakny a Industri Seks Global
Sedyaningsih-Mam ahit, Endang R., 1999. Perem puan-Perem puan
Kram at Tunggak. J akarta: Sinar Harapan.
Sullivan, Mary Lucille, 20 0 7. Making Sex W ork: A Failed Experim ent
W ith Legalised Prostitution. Melbourne: Spinifex Press.
Suyanto, 20 0 2. Perdagangan Anak Perem puan, Kekerasan Seksual dan
Gagasan Kebijakan. J ogyakarta: Pusat Sudi Kependudukan dan
Kebijakan UGM.
Suyanto, Bagong & Sri Sanituti Hariadi (eds.), 20 0 0 . Pekerja Anak:
Masalah dan Upay a Penangananny a. Surabaya: Lutfansah
Mediatam a.
Suyanto, Bagong et al..(eds.), 20 0 0 . Tindak kekerasan Terhadap Anak:
Masalah dan Upay a Pem antauanny a. Surabaya: Lutfansah
Mediatam a.
Suyanto, Bagong, 20 10 . Masalah Sosial Anak.J akarta: Prenada Media.
Tautz, Siegrid, dkk., 20 0 7. “Com m ercial Sexual Exploitation of Children
and Young People”, dalam : Oliver Razum , Hajo Zeeb, & Ulrich
Laaser, Globalisierung-Gerechtigkeit-Gesundheit, Einfuhrung in
International Public Health. Bern: Verlag Hans Hubuer.
Tong, Rosem arie Putnam , 20 0 4. Fem inist Thought: Pengantar Paling
Kom prehensif kepada Arus Utam a Pem ikiran Fem inis. Yogyakarta &
Bandung: J alasutra.
Truong, Thanh-Dam , 1992. Seks, Uang dan Kekuasaan, Pariw isata dan
Pelacuran di Asia Tenggara. J akarta: LP3ES.
Artike l Ju rn al
Aderinto, Saheed, 20 0 7. “’The Girl in Moral Danger’: Child Prostitution
and Sexuality in Colonial Lagos, Nigeria, 1930 s to 1950 ”, Journal of
Hum anities & Social Sciences, 1 (2): 1-21.
Darnela, Lindra, 20 0 7. “Trafficking in Wom en Sebagai Akibat Tidak
Terpenuhinya
Hak-hak
Dasar:
Suatu
Tinjauan
Hukum
Internasional”, Jurnal Ying Yang, 2 (2): 1-32.
Edlund, Lena & Evelyn Korn, 20 0 2.“A Theory of Prostitution”,Journal
of Political Econom y , 110 (1): 181-214.
Ekberg, Gunilla, 20 0 4. “The Swedish Law That Prohibit the Purchase of
A Sexual Service: Best Practices for prevention of Prostitution and
Trafficking in Hum an Beings”, Violence Against W om en, 10 (10 ):
1187-1218.
Karandikar, Sharvari, 20 0 8 . “Need for Developing A Sound Prostitution
Policy:
Recom m endations
for
Future
Action”,Journal of
Interdiciplinary & Multidiciplinary Research, 2 (1): 1-6.
Perschler-Desai, Viktoria, 20 0 1.“Childhood on the Market: Teenage
Prostitution in Southern Africa”, African Security Review , 10 (4).
Raym ond, J anice G., 20 0 4. “Prostitution on Dem and, Legalizing the
Buyers as Sexual Consum ers”,Violence Against W om en, 10 (10 ):
1156-1186.
Global & Strategis, Januari-Juni 20 13
153
Bagong Suy anto
Sum m it, Roland C., 1983. “The Child Sexual Abuse Accom odation
Syndrom e”,Journal of Child Abuse & N eglect, 7 (2): 177-193.
Lap o ran Pe n e litian
Banerjee, Upala Devi, 1999. “Sexual Exploitation and Trafficking of the
Girl Child in South Asia: The Most Degrading Form of Child Labour”,
dalam 28 th ICW S Asia & Pacific Regional Conference Proceedings.
J oni,
Muham m ad, 1998. “Pelacuran Anak, Eksploitasi Tak
Tersem bunyikan”, dalam Makalah Sem iloka Nasional Prostitusi
Anak & Industri Pariw isata. Diselenggarakan Puspar UGM
bekerjasam a dengan ILO-IPEC.
McCoy, Am alee, 20 0 4. “Blam ing Children for The Their Own
Exploitation: The Situation East Asia”,dalam ECPAT 7th Report on
The Im plem entation of the Agenda for Action Agains the
Com m ercial Sexual Exploitation of Children.
O’Donnell, Owen, dkk., 20 0 2. Child Labour and Helth: Evidence and
Research Issues. Understanding Children's W ork Program m e
W orking Paper, J anuary 20 0 2.
Seguin, Maureen L., 20 0 8 . The Protection of Children Involved in
Prostitution Act: Case Study and Field Analy sis. Tesis. Saskatoon:
University of Saskatchewan.
Yam ato, Sachiyo, 20 0 0 . Prostitution and Fem inism s: Integrating the
Subjective Accounts of Pow er for W om en in the Philippine Sex
Industry . Tesis Master. Halifax, Nova Scotia: Dalhousie University.
154
Global & Strategis, Th. 7, No. 1