HUKUM EKONOMI ISLAM subjek hukum ekonomi
HUKUM EKONOMI ISLAM
Makalah
Al Islam dan Ke-Muhammadiyahan 4
Dosen Pengampu:
Drs. Hamron Zubadi, M. Si
Disusun Oleh:
Kelompok 3
Sinta Aslivia
Danu Wijaya DP
Ulfa Chanifah
Elsi Dwi Pratiwi
Endra Setiawan
Erlinda Nila Luvita
Tri mugiarti
15.0102.0058
15.0102.0059
15.0102.0060
15.0102.0061
15.0102.0062
15.0102.0064
15.0102.0065
Angga Pradana K
Arif Zulfikar
Nora Angelita W
Faida Aprilia
Sri Devi Oktavia
Imam Pamungkas
15.0102.0067
15.0102.0068
15.0102.0070
15.0102.0071
15.0102.0072
15.0102.0073
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2018
A. Hakikat Hukum Ekonomi
Hukum ekonomi merupakan pernyataan mengenai kecenderungan suatu
pernyataan hubungan sebab akibat antara dua kelompok fenomena. Semua hukum ilmiah
adalah huku dalam arti yang sama. Tetapi hkum-hukum ekonomi tidak bisa setepat hukum
ilmu-ilmu pengetahuan alam. Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan sosial, dengan
menghadapi banyak orang yang dikendalikan oleh banyka motif. Unsur ini dalam
situasinya menyebabkan kenyataan bahwa hukum-hukum ekonomi hanya dapat
memberikan hasil rata-rata. Data ekonomi tidak hanya banyak jumlahnya tetapi data itu
sendiri bisa berubah. Kaerna selera, watak, dan sikap manusia berubah pada suatu jangka
waktu maka tugas untuk meramalakan bagaimanakah perbedaan reaksi manusia terhadap
suatu perubahan keadaan tertentu pada kesempatna yang berbeda, menjadi sangat riskan
dan berbahanya. Banyak faktor yang tidak dapat diketahui dalam situasi tertentu. Semua
data tidak dapat diramalkan dan diketahui berdasarkan data yang diketahui dan mungkin
dipalsukan atau diubah oleh pengaruh data yang tidak diketahui.
“Hukum-hukum ekonomi”, tulis Seligman dalam karyanya Principles of
Economics, pada hakikatnya bersifat hipotetik. Semua hukum ekonomi memuat isi anak
kalimat bersyarat sebagai berikut, “hal-hal lain sama keadaannya:, yakni kita beranggapan
bahwa seperangkat fakta-fakta tertentu akan menyusul kesimpulan-kesmpulan tertentu jika
tidak terjadi perubahan lain pada waktu yang bersamaan. Hukum dari semua ilmu
pengetahuan lainnya juga bersifat hipotetik. Semua hukum ekonomi pada hakikatnya tidak
hipotetik. Ada beberapa hukum ekonomi yang dapat dianggap benar seperti hukum alam
dan hukum lain yang berlaku. Sebagaimana yang dikatakan Marshall, “Seperti juga neraca
halus seorang ahli kimia yang telah membuat ilmu kimia lebih eksak daripada ilmu
pengetahuan alam mana pun, demikian neraca ahli ekonomi sekalipun secara kasar dan
tidak sempurna telah membuat ilmu ekonomi lebih eksak dibanding dengan cabang ilmuilmu sosial lain yang manapun”. Secara umu ilmu ekonomi tidak memberikan kesimpulan
dan doktrin yang mapan kepada kita. Sebaliknya memberikan perlengkapan pikiran, teknik
berpikir, pandangan, dan pendekatan.
B. Sumber Hukum Ekonomi Islam
Keunikan hukum Islam adalah karena keunikan dan kedalaman asas-asasnya
mengenai seluruh masalah umat manusia yang berlaku sepanjang masa. Seluruh dasar dan
sumber hukum Islam merupakan mukjizat yang tetap dan kekal. Mukjizat dalam arti bahwa
hukum Islam tidak hanya dapat dibandingkan dengan hukum pasang surut. Islam selalu
menghasilkan kebenaran baru dan tuntunan segar pada setiap masa dan tingkatan. Kita
semua mengtahui pada dasarnya da empat sumber Hukum Islam: Al Quran, Sunnah dan
Hadits, Ijma, Qiyas, dan Ijtihad.
1. Al-Qur’an
Sumber hukum Islam yang abadi dan asli adalah kitab suci Al Qur’an. Al
Qur’an merupakan amanat sesungguhnya yang disampaikan Allah melalui ucapan Nabi
Muhammad SAW untuk membimbing umat manusia. Amanat ini bersifat universal,
abadi, fundamental. Akan tetapi terjadi kesalahpahaman diantara para umat muslim dan
non muslim mengenai arti sebenarnya dari kitab suci Al Qur’an. Salah paham timbul
dari pertentangan apakah Al Qur’an “diciptakan” atau “tidak diciptakan”. Aliran
pemikiran Mu’tazilah bersama dengan ahli pikir non muslim percaya bahwa Al Qur’an
itu diciptakan dan bukanlah firman Allah. Tampaknya mereka percaya bahwa Kitab
Suci Al Qur’an iitu telah dikirimkan kedalam hati Nabi Muhammad SAW dan dari
sinilah muncul bahasa dan gaya Nabi Muhammad SAW dari waktu ke waktu. Maka
berdasarkan sumber Shah Waliyullah dan Iqbal dapat kita katakan bahwa Kitab Suci
Al Qur’an itu ”tidak diciptakan” namun merupakan amanat yang telah disampaikan
Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Disini terletak perbedaan fundamental antara
mistisisme wahyu Al Qur’an dengan ilham mistik seorang filsuf, penyair dan ilmuwan.
Dalam pengertian ini, wahyu Ilahi itu tidak merupakan bagian dari pikiran
kreatif Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Al Qur’an abadi. Kitab Suci Al Qur’an
secara pasti melarang setiap usaha apa pun untuk mempersekutukan makhluk (shrik)
dengan Allah dan Nabi Muhammad SAW sendiri mengutuk setiap perbuatan seperti itu
sebagai dosa terbesar. Kitab Suci Al Qur’an itu tidak diciptakan tetapi selalu
memberikan dan terus memberikan bimbingan yang diperlukan oleh umat manusia.
Dalam kata-kata Sir Muhammad Zafarullah Khan, berkata bahwa “Al Qur’an telah
menyatakan bahwa kepalsuan tidak akan pernah dapat mengalahkannya. Semua
penelitian kemasa lampau dan setiap penemuan barang baru dimasa depan akan
mengukuhkan kebenarannya” (Q.S, Fuskilat, 41:42). Al Qur’an berbicara pada semua
tingkatan dan berusaha mencapai semua jenis pengertian, melalui perumpamaan,
persamaan, argumentasi, penelitian, pandangan dan penelitin mengenai fenomena
alam, hukum alam ,moral serta spiritual. (Q.S, Al Kahfi,18, 54-55) (Q.S, Az Zumar,
39:27) (Q.S, Al Hasyr, 59:22).
Al Qur’an juga membicarakan prinsip-prinsip pokok dan menaruh perhatian
terhadap sifat-sifat Ilahi, dan suatu cara agar umat manusia dapat memperoleh manfaat
dari pengetahuan tentang itu. Sesungguhnya, semua hal pokok bagi peningkatan
kesejahteran umat manusia di segala bidang, entah mengenai asas atau kelakuan, telah
diutarakan dan disusun dalam Al Qur’an (An Nahl, 16:90). Kemudian kita diingatkan:
“Hai mausia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dri Tuhan-Mu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orangorang yang beriman.” (Q.S, Yunus, 10:57).
Hal terakhir, adalah kesalahpahaman mengenai Al Qur’an yang timbul dari
anggapan N.J Coulson yang membuat ulasan sebagai berikut: ”Tujuan utma Al Qur’an
bukanlah untuk mengatur hubungan anatara manusia dengan sesamanya, melainkan
hubungan dengan penciptanya”. Pandangan ini menunjukkan ketidakpahaman yang
menyedihkan dari si Pengarang mengenai hukum Al Qur’an yang bertujuan untuk
menciptakan keseimbangan antara kebutuhan kehidupan spiritual dan material. Ayatayat yang diwahyukan di Mekkah terutama yang terdahulu, semuanya memerintahkan
gar rakyat Mekah percaya pada hari kebangkitan kembali, hari kiamat dan ganjaran tau
hukuman, aturan tentang perkawinan dan perceraian, persoalan perang dan damai,
hukuman terhadap pencurian, perzinaan, pembunuhan manusia, dan sebagainya.
Dengan demikian jelaslah bahwa Al Qur’an tidak hanya mengenai rincian tentang
pentingnya menyusun dan memelihara hubungan erat dengan Tuhan tetapi juga
menjelaskan semua yang mungkin diperlukan untuk memenuhi kehidupan sosial yang
lengkap.
2. Hadits dan Sunnah
Dalam konteks hukum Islam Sunnah secara harfiah berarti "cara, adat istiadat,
kebiasaan hidup" mengacu pada perilaku Nabi SAW yang dijadikan teladan: Sunnah
sebagian besar didasarkan pada praktek normatif masyarakat di jamannya. Pengertian
Sunnah mempunyai arti tradisi yang hidup pada masing-masing generasi berikutnya.
Beberapa ahli hukum berpendapat baik Sunnah maupun Hadist yang sezaman
dan sama hakikatnya pada tahap paling dini setelah Nabi SAW itulah yang mereka
jadikan kaidah. Sunnah dibedakan dari Hadist yang biasanya merupakan cerita sangat
singkat, yang pada pokoknya berisi informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat,
disetujui dan tidak disetujui oleh Nabi SAW atau informasi mengenai sahabatsahabatnya. Karena itu Hadist adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan Sunnah
adalah pemberitaan sesungguhnya, jika ia menuruti kaidah dan akan menjadi asas
praktik bagi kaum muslimin. Sementara Sunnah merupakan sebagian besar dan
terutama adalah suatu fenomena praktik yang dilengkapi dengan norma-norma
perilaku, Hadist menjadi sarana tidak hanya dari norma-norma hukum tetapi juga dari
kepercayaan dan asas-asas keaagamaan.
Jawaban atas pertanyaan mengenai mengapa Sunnah merupakan sumber hukum
ada pada Kitab Suci Al Qur'an, yang memerintahkan kaum Muslimin agar mengikuti
perilaku Nabi SAW untuk menjadi teladannya. Melalui Al Qur'an, Allah
memerintahkan Nabi SAW untuk menetapkan masalah-masalah kaum Muslimin
menurut wahyu-wahyu-Nya. (Q.S. Al Maidah 5 : 47-48). Selanjutnya Nabi SAW
dinyatakan sebagai penafsir Al Qur'an (Q.S. An Nisa 5 : 16, 44). Al Qur'an umpamanya
menyebut Shalat dan Zakat, namun tidak menulis rincian-rinciannya. Nabilah yang
menjelaskan hal-hal itu kepada pengikut-pengikutnya dalam bentuk yang praktis. Lagi
pula, Al Qur'an menuntun kaum Muslimin untuk mengikuti suri teladan Nabi. Karena
itu, Sunnah menjadi sumber Hukum Islam. Dalam usaha memberikan kedudukan
utama kepada Sunnah sebagai sumber hukum, teori yang menyatakan bahwa Sunnahlah
yang merupakan pelengkap terhadap Al Qur’an dan dapat menggantikan Al Qur’an bila
terjadi kontradiksi. Kita tidak bersedia menerima pendirian ini semata-mata karena
peralihan pusat gaya berat dari Al Qur’an kepada Sunnah. F. Rahman menyebutkan
bahwa “setelah periode para sahabat (dan dalam beberapa hal mengenai generasi “para
pengganti” berikutnya), Sunnah tidaklah dapat disimpulkan dari praktek sesungguhnya
tetapi hanya dari Hadist yang disampaikan secara tegas. Akan tetapi yang terpenting
adalah kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh melalui penafsiran suatu Hadist dalam
kurun waktu mana saja disebut Sunnah. Sehingga Abu Daud (meninggal 275/888)
sesudah menunjuk suatu Hadits, berkata, “Ada lima Sunnah dalam hadits ini, “yakni
lima soal dengan sifat nrma-norma praktis yang dapat disimpulkan dari Hadits ini.”
Penafsiran Hadits dan Sunnah harus memperhatikan perspektif sejarah dan arti
penting fungsionalnya yang tepat dalam konteks sejarah. Karena dalam suatu
masyarakat yang meluas secara cepat, penafsiran Kitab Suci Al Qur’an dan Sunnah
harus menjadi tuntunan bagi pemahaman dan penerapan moral yang cerdas, tidak
hanya untuk formalitasme yang kaku belaka. Sesugguhnya, melalui penafsiran
individual terhadap hukum dan dogma, isi Sunnah memperkaya materinya, walaupun
bersifat seragam dalam hal-halnya yang pokok, kecuali ajaran-ajaran ekstrim tertentu
dari kalangan Khariji dan sekte-sekte lainnya, yang dalam rinciannya mengenai hampir
semua hal bertentangan.
3. Ijma’
Ijma’ adalah sumber ketiga hukum islam, merupakan konsensus baik dari
masyarakat maupun para cendekiawan agama. Perbedaan konseptual antara sunnah dan
ijma terletak pada kenyataan bahwa sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran-ajaran
Nabi dan diperluas kepada para sahabat karena mereka merupakan sumber bagi
penyampainya, sedangkan ijma adalah suatu prinsip isi hukum baru yang timbul
sebagai akibat dalam melakukan penalaran dan logikanya menghadapi suatu
masyarakat yang meluas dengan cepat, seperti halnya masyarakat Islam dini, yang
bermula dengan para sahabat dan diperluas kepada generasi-generasi berikutnya.
Ijma' didasarkan pada Hadits, ketika Nabi berkata : "perbedaan pendapat
umatku, adalah pertanda adanya rakhmat yang datangnya dari Tuhan". Terdapat halhal yang telah diterima dan disetujui secara umum oleh seluruh masyarakat. Jenis ijma'
masyarakat. Di lain pihak, terdapat ketentuan-ketentuan yang telah disetujui oleh
kalangan ulama, dari suatu daerah tertentu, dan tidak oleh seluruh masyarakat. Jenis ini
dikenal sebagai ijma' ulama yang dapat digunakan sebagai mekanisme untuk
menciptakan sejenis perpaduan antara pendapat-pendapat berbeda yang timbul sebagai
akibat kegiatan-kegiatan hukum pribadi ulama.
Suatu masyarakat muslim yang ingin tetap mengikuti dunia modern harus
memberikan arti yang layak kepada ijma' sebagai sumber hukum Islam dan
yirisprudensi. Karena ia membantu kita memperoleh seperangkat asas-asas atau kitab
undang-undang tingkah laku yang menjalankan Ijtihad, dasar Fikh, yang terakhir tetapi
tak kalah pentingnya.
4. Ijtihad atau Qiyas
Dari segi bahasa Ijtihad adalah mengerjakan sesuatu dengan segala
kesungguhan. Sedangkan menurut istilah Ijtihad adalah mengerahkan segala potensi
dan kemampuan untuk menetapkan hukum-hukum syariat. Secara teknik, Ijtihad
berarti meneruskan setiap usaha untuk menetukan sedikit banyaknya kemungkinan
suatu persoalan Syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya
mungkin benar, walaupun mungkin saja keliru.
Di abad-abad dini Islam, Ra'y (pendapat pribadi) merupakan alat pokok Ijtihad.
Tetapi ketika asas-asas hukum telah ditetapkan secara sistematik, hal itu kemudian
digantikan oleh Qiyas. Tak diragukan lagi bahwa Al Qur'an dan Sunnah memberikan
ketentuan hukum mengenai kehidupan individu dan sosial kaum muslimin kepada kita.
Peranan Qiyas adalah memperluas hukum ayat kepada soal-soal yang tidak
termasuk dalam bidang syarat-syaratnya, dengan alasan sebab "efektif" yang bisa bagi
kedua hal tersebut dan tidak dapat dipahami dari pernyataan (mengenai hal yang asli).
Menurut para ahli hukum, perluasan undang-undang melalui analogi tidak membentuk
ketentuan hukum yang baru, malainkan hanya membantu kita untuk menemukan
hukum.
C. Prinsip-prinsip Hukum Lainnya
Sejauh ini terdapat empat dasar Fiqh yang telah diuji, yakni sumber-sumber hukum
yang telah diterima dan disahkan oleh keempat mazhab terpenting. Tetapi ada prinsipprinsip hukum lain yang hanya diterima oleh sebagian kecil dari mereka dan perlu
dijelaskan secara singkat, yaitu istihsan, istislah, dan istishab.
1. Istihsan
Terpenting diantara 3 prinsip ini adalah istihsan yang hanya dianjurkan oleh
Mazhab Hanafi. Secara harfiah artinya adalah menganggap sesuatu itu baik dan benar.
Menurut risalah “usul Fiqh”, secara teknis istihsan menyatakan pengabaian pendapat
yang dihasilkan melalui penalaran anologi (qiyas) dengan lebih menyukai suatu
pandapat yang berbeda yang didukung oleh pembuktian yang lebih kuat.
Istihsan merupakan “suatu sarana yang efektif dari pada Qiyas dalam
memasukkan unsur-unsur baru, karena dalam hal ini ketentuan-ketentuan untuk
menetapkan persoalan adalah lebih mudah dalam Qiyas, maka ia memberi
kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar”.
2. Istislah
Istislah berarti melarang atau mengizinkan suatu hal semata-mata karena ia
memenuhi suatu “maksud yang baik” (maslahah), walaupun tidak ada bukti jelas pada
sumber yang diwahyukan untuk mendukung tindakan semacam itu. Istislah oleh
sementara orang sisebut “dedukasi mandiri” (istidlal mursal), atau “dedukasi” (istidlal)
saja.
Karena prinsip yang digunakan oleh Mazhab Maliki mengesampingkan
perlunya menemukan bukti pendukung dalam sumber-sumbernya, barangkali dari
kesemuanya, inilah yang paling efektif dalam menghadapi suatu keadan yang belum
pernah terdengar sebelumnya.
3. Istishab
Prinsip ini diajukan oleh Imam Syafi’i. Menurut istishab, bila eksistensi sesuatu
hal telah pernah ditetapkan dengan bukti, walaupun kemudian timbul keragu-raguan
mengenai kelanjutan eksistensinya, ia masih tetap dianggap ada. Disebut istishab ahhal, bila masa kini dinilai menurut masa silam, dan disebut istishab al-madi, jika
kebalikannya yang terjadi. Prinsip inin juga diakui oleh Abu Hanifah, pendiri Mazhab
Hanafi, tetapi hanya untuk menyangkal suatu pernyataan (dawa), yaitu sebagai alat
pembelaan (daf’dawa) dan bukan untuk menetapkan suatu pernyataan (dawa).
D. Mazhab-mazhab Fiqh dan Implikasi Kontemporer
Hukum islam sebagai latar belakang untuk memahami hukum dan asas-asas
ekonomi, atau secara rasional menentukan sejauh mana pengaruh pengetahuan yang bukan
wahyu dalam menetapkan Fiqh atau hukum islam.
Diantara mazhab-mazhab Fiqh yang terpenting adalah:
1. Mazhab yang didirikan oleh Abu Hanifah 80H-150H (699M-767M), terkenal sebagai
Mazhab Hanafi.
2. Malik Abu Anas, 95H-179H (713M-795M), terkenal sebagai Mazhab Maliki.
3. Muhammad Ibn Idris al Shafi’i, 150H-204H (767M-820M), terkenal sebagaui Mazhab
Syafi’i.
4. Ahmad Ibn Hanbal, 169H-241H (780M-855M), terkenal sebagai Mazhab Hanbali
Disamping mazhab-mazhab terkemuka tersebut, terdapat pula mazhab-mazhab
Fiqh lainnya yang didirikan oleh ulama-ulama seperti Dawud ibn ‘Ali al Awza’i, Sufyan
al Thawri, dan Abu Thwar, di zaman yang sama.
Masing-masing mazhab dianggap sebagai “mujtahid” penuh dan dianggap
mempunyai sistem teori dan penerapan hukum sendiri. Akan tetapi perbedaan pandangan
antara mazhab Fiqh itu memperluwes kita dalam menafsirkan dan menerapkan Fiqh yang
merupakan kumpulan ketentuan hukum mengenai urusan kemanusiaan yang diambil dari
syariat suatu nama umum bagi kumpulan lengkap kebenaran agama yang diajarkan oleh
Nabi SAW. Dinamisme hukum islam ini memberikan sistem asas berbeda-beda yang dapat
digunakan untuk menjelaskan berbagai masalah sosio-ekonomik yang dihadapi oleh
negara-negara Muslim modern, dan untuk memecahkan persoalan dengan cara yang
dibenarkan islam.
Daftar Pustaka
Mannan, M.A. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima
Yasa.
Makalah
Al Islam dan Ke-Muhammadiyahan 4
Dosen Pengampu:
Drs. Hamron Zubadi, M. Si
Disusun Oleh:
Kelompok 3
Sinta Aslivia
Danu Wijaya DP
Ulfa Chanifah
Elsi Dwi Pratiwi
Endra Setiawan
Erlinda Nila Luvita
Tri mugiarti
15.0102.0058
15.0102.0059
15.0102.0060
15.0102.0061
15.0102.0062
15.0102.0064
15.0102.0065
Angga Pradana K
Arif Zulfikar
Nora Angelita W
Faida Aprilia
Sri Devi Oktavia
Imam Pamungkas
15.0102.0067
15.0102.0068
15.0102.0070
15.0102.0071
15.0102.0072
15.0102.0073
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2018
A. Hakikat Hukum Ekonomi
Hukum ekonomi merupakan pernyataan mengenai kecenderungan suatu
pernyataan hubungan sebab akibat antara dua kelompok fenomena. Semua hukum ilmiah
adalah huku dalam arti yang sama. Tetapi hkum-hukum ekonomi tidak bisa setepat hukum
ilmu-ilmu pengetahuan alam. Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan sosial, dengan
menghadapi banyak orang yang dikendalikan oleh banyka motif. Unsur ini dalam
situasinya menyebabkan kenyataan bahwa hukum-hukum ekonomi hanya dapat
memberikan hasil rata-rata. Data ekonomi tidak hanya banyak jumlahnya tetapi data itu
sendiri bisa berubah. Kaerna selera, watak, dan sikap manusia berubah pada suatu jangka
waktu maka tugas untuk meramalakan bagaimanakah perbedaan reaksi manusia terhadap
suatu perubahan keadaan tertentu pada kesempatna yang berbeda, menjadi sangat riskan
dan berbahanya. Banyak faktor yang tidak dapat diketahui dalam situasi tertentu. Semua
data tidak dapat diramalkan dan diketahui berdasarkan data yang diketahui dan mungkin
dipalsukan atau diubah oleh pengaruh data yang tidak diketahui.
“Hukum-hukum ekonomi”, tulis Seligman dalam karyanya Principles of
Economics, pada hakikatnya bersifat hipotetik. Semua hukum ekonomi memuat isi anak
kalimat bersyarat sebagai berikut, “hal-hal lain sama keadaannya:, yakni kita beranggapan
bahwa seperangkat fakta-fakta tertentu akan menyusul kesimpulan-kesmpulan tertentu jika
tidak terjadi perubahan lain pada waktu yang bersamaan. Hukum dari semua ilmu
pengetahuan lainnya juga bersifat hipotetik. Semua hukum ekonomi pada hakikatnya tidak
hipotetik. Ada beberapa hukum ekonomi yang dapat dianggap benar seperti hukum alam
dan hukum lain yang berlaku. Sebagaimana yang dikatakan Marshall, “Seperti juga neraca
halus seorang ahli kimia yang telah membuat ilmu kimia lebih eksak daripada ilmu
pengetahuan alam mana pun, demikian neraca ahli ekonomi sekalipun secara kasar dan
tidak sempurna telah membuat ilmu ekonomi lebih eksak dibanding dengan cabang ilmuilmu sosial lain yang manapun”. Secara umu ilmu ekonomi tidak memberikan kesimpulan
dan doktrin yang mapan kepada kita. Sebaliknya memberikan perlengkapan pikiran, teknik
berpikir, pandangan, dan pendekatan.
B. Sumber Hukum Ekonomi Islam
Keunikan hukum Islam adalah karena keunikan dan kedalaman asas-asasnya
mengenai seluruh masalah umat manusia yang berlaku sepanjang masa. Seluruh dasar dan
sumber hukum Islam merupakan mukjizat yang tetap dan kekal. Mukjizat dalam arti bahwa
hukum Islam tidak hanya dapat dibandingkan dengan hukum pasang surut. Islam selalu
menghasilkan kebenaran baru dan tuntunan segar pada setiap masa dan tingkatan. Kita
semua mengtahui pada dasarnya da empat sumber Hukum Islam: Al Quran, Sunnah dan
Hadits, Ijma, Qiyas, dan Ijtihad.
1. Al-Qur’an
Sumber hukum Islam yang abadi dan asli adalah kitab suci Al Qur’an. Al
Qur’an merupakan amanat sesungguhnya yang disampaikan Allah melalui ucapan Nabi
Muhammad SAW untuk membimbing umat manusia. Amanat ini bersifat universal,
abadi, fundamental. Akan tetapi terjadi kesalahpahaman diantara para umat muslim dan
non muslim mengenai arti sebenarnya dari kitab suci Al Qur’an. Salah paham timbul
dari pertentangan apakah Al Qur’an “diciptakan” atau “tidak diciptakan”. Aliran
pemikiran Mu’tazilah bersama dengan ahli pikir non muslim percaya bahwa Al Qur’an
itu diciptakan dan bukanlah firman Allah. Tampaknya mereka percaya bahwa Kitab
Suci Al Qur’an iitu telah dikirimkan kedalam hati Nabi Muhammad SAW dan dari
sinilah muncul bahasa dan gaya Nabi Muhammad SAW dari waktu ke waktu. Maka
berdasarkan sumber Shah Waliyullah dan Iqbal dapat kita katakan bahwa Kitab Suci
Al Qur’an itu ”tidak diciptakan” namun merupakan amanat yang telah disampaikan
Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Disini terletak perbedaan fundamental antara
mistisisme wahyu Al Qur’an dengan ilham mistik seorang filsuf, penyair dan ilmuwan.
Dalam pengertian ini, wahyu Ilahi itu tidak merupakan bagian dari pikiran
kreatif Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Al Qur’an abadi. Kitab Suci Al Qur’an
secara pasti melarang setiap usaha apa pun untuk mempersekutukan makhluk (shrik)
dengan Allah dan Nabi Muhammad SAW sendiri mengutuk setiap perbuatan seperti itu
sebagai dosa terbesar. Kitab Suci Al Qur’an itu tidak diciptakan tetapi selalu
memberikan dan terus memberikan bimbingan yang diperlukan oleh umat manusia.
Dalam kata-kata Sir Muhammad Zafarullah Khan, berkata bahwa “Al Qur’an telah
menyatakan bahwa kepalsuan tidak akan pernah dapat mengalahkannya. Semua
penelitian kemasa lampau dan setiap penemuan barang baru dimasa depan akan
mengukuhkan kebenarannya” (Q.S, Fuskilat, 41:42). Al Qur’an berbicara pada semua
tingkatan dan berusaha mencapai semua jenis pengertian, melalui perumpamaan,
persamaan, argumentasi, penelitian, pandangan dan penelitin mengenai fenomena
alam, hukum alam ,moral serta spiritual. (Q.S, Al Kahfi,18, 54-55) (Q.S, Az Zumar,
39:27) (Q.S, Al Hasyr, 59:22).
Al Qur’an juga membicarakan prinsip-prinsip pokok dan menaruh perhatian
terhadap sifat-sifat Ilahi, dan suatu cara agar umat manusia dapat memperoleh manfaat
dari pengetahuan tentang itu. Sesungguhnya, semua hal pokok bagi peningkatan
kesejahteran umat manusia di segala bidang, entah mengenai asas atau kelakuan, telah
diutarakan dan disusun dalam Al Qur’an (An Nahl, 16:90). Kemudian kita diingatkan:
“Hai mausia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dri Tuhan-Mu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orangorang yang beriman.” (Q.S, Yunus, 10:57).
Hal terakhir, adalah kesalahpahaman mengenai Al Qur’an yang timbul dari
anggapan N.J Coulson yang membuat ulasan sebagai berikut: ”Tujuan utma Al Qur’an
bukanlah untuk mengatur hubungan anatara manusia dengan sesamanya, melainkan
hubungan dengan penciptanya”. Pandangan ini menunjukkan ketidakpahaman yang
menyedihkan dari si Pengarang mengenai hukum Al Qur’an yang bertujuan untuk
menciptakan keseimbangan antara kebutuhan kehidupan spiritual dan material. Ayatayat yang diwahyukan di Mekkah terutama yang terdahulu, semuanya memerintahkan
gar rakyat Mekah percaya pada hari kebangkitan kembali, hari kiamat dan ganjaran tau
hukuman, aturan tentang perkawinan dan perceraian, persoalan perang dan damai,
hukuman terhadap pencurian, perzinaan, pembunuhan manusia, dan sebagainya.
Dengan demikian jelaslah bahwa Al Qur’an tidak hanya mengenai rincian tentang
pentingnya menyusun dan memelihara hubungan erat dengan Tuhan tetapi juga
menjelaskan semua yang mungkin diperlukan untuk memenuhi kehidupan sosial yang
lengkap.
2. Hadits dan Sunnah
Dalam konteks hukum Islam Sunnah secara harfiah berarti "cara, adat istiadat,
kebiasaan hidup" mengacu pada perilaku Nabi SAW yang dijadikan teladan: Sunnah
sebagian besar didasarkan pada praktek normatif masyarakat di jamannya. Pengertian
Sunnah mempunyai arti tradisi yang hidup pada masing-masing generasi berikutnya.
Beberapa ahli hukum berpendapat baik Sunnah maupun Hadist yang sezaman
dan sama hakikatnya pada tahap paling dini setelah Nabi SAW itulah yang mereka
jadikan kaidah. Sunnah dibedakan dari Hadist yang biasanya merupakan cerita sangat
singkat, yang pada pokoknya berisi informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat,
disetujui dan tidak disetujui oleh Nabi SAW atau informasi mengenai sahabatsahabatnya. Karena itu Hadist adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan Sunnah
adalah pemberitaan sesungguhnya, jika ia menuruti kaidah dan akan menjadi asas
praktik bagi kaum muslimin. Sementara Sunnah merupakan sebagian besar dan
terutama adalah suatu fenomena praktik yang dilengkapi dengan norma-norma
perilaku, Hadist menjadi sarana tidak hanya dari norma-norma hukum tetapi juga dari
kepercayaan dan asas-asas keaagamaan.
Jawaban atas pertanyaan mengenai mengapa Sunnah merupakan sumber hukum
ada pada Kitab Suci Al Qur'an, yang memerintahkan kaum Muslimin agar mengikuti
perilaku Nabi SAW untuk menjadi teladannya. Melalui Al Qur'an, Allah
memerintahkan Nabi SAW untuk menetapkan masalah-masalah kaum Muslimin
menurut wahyu-wahyu-Nya. (Q.S. Al Maidah 5 : 47-48). Selanjutnya Nabi SAW
dinyatakan sebagai penafsir Al Qur'an (Q.S. An Nisa 5 : 16, 44). Al Qur'an umpamanya
menyebut Shalat dan Zakat, namun tidak menulis rincian-rinciannya. Nabilah yang
menjelaskan hal-hal itu kepada pengikut-pengikutnya dalam bentuk yang praktis. Lagi
pula, Al Qur'an menuntun kaum Muslimin untuk mengikuti suri teladan Nabi. Karena
itu, Sunnah menjadi sumber Hukum Islam. Dalam usaha memberikan kedudukan
utama kepada Sunnah sebagai sumber hukum, teori yang menyatakan bahwa Sunnahlah
yang merupakan pelengkap terhadap Al Qur’an dan dapat menggantikan Al Qur’an bila
terjadi kontradiksi. Kita tidak bersedia menerima pendirian ini semata-mata karena
peralihan pusat gaya berat dari Al Qur’an kepada Sunnah. F. Rahman menyebutkan
bahwa “setelah periode para sahabat (dan dalam beberapa hal mengenai generasi “para
pengganti” berikutnya), Sunnah tidaklah dapat disimpulkan dari praktek sesungguhnya
tetapi hanya dari Hadist yang disampaikan secara tegas. Akan tetapi yang terpenting
adalah kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh melalui penafsiran suatu Hadist dalam
kurun waktu mana saja disebut Sunnah. Sehingga Abu Daud (meninggal 275/888)
sesudah menunjuk suatu Hadits, berkata, “Ada lima Sunnah dalam hadits ini, “yakni
lima soal dengan sifat nrma-norma praktis yang dapat disimpulkan dari Hadits ini.”
Penafsiran Hadits dan Sunnah harus memperhatikan perspektif sejarah dan arti
penting fungsionalnya yang tepat dalam konteks sejarah. Karena dalam suatu
masyarakat yang meluas secara cepat, penafsiran Kitab Suci Al Qur’an dan Sunnah
harus menjadi tuntunan bagi pemahaman dan penerapan moral yang cerdas, tidak
hanya untuk formalitasme yang kaku belaka. Sesugguhnya, melalui penafsiran
individual terhadap hukum dan dogma, isi Sunnah memperkaya materinya, walaupun
bersifat seragam dalam hal-halnya yang pokok, kecuali ajaran-ajaran ekstrim tertentu
dari kalangan Khariji dan sekte-sekte lainnya, yang dalam rinciannya mengenai hampir
semua hal bertentangan.
3. Ijma’
Ijma’ adalah sumber ketiga hukum islam, merupakan konsensus baik dari
masyarakat maupun para cendekiawan agama. Perbedaan konseptual antara sunnah dan
ijma terletak pada kenyataan bahwa sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran-ajaran
Nabi dan diperluas kepada para sahabat karena mereka merupakan sumber bagi
penyampainya, sedangkan ijma adalah suatu prinsip isi hukum baru yang timbul
sebagai akibat dalam melakukan penalaran dan logikanya menghadapi suatu
masyarakat yang meluas dengan cepat, seperti halnya masyarakat Islam dini, yang
bermula dengan para sahabat dan diperluas kepada generasi-generasi berikutnya.
Ijma' didasarkan pada Hadits, ketika Nabi berkata : "perbedaan pendapat
umatku, adalah pertanda adanya rakhmat yang datangnya dari Tuhan". Terdapat halhal yang telah diterima dan disetujui secara umum oleh seluruh masyarakat. Jenis ijma'
masyarakat. Di lain pihak, terdapat ketentuan-ketentuan yang telah disetujui oleh
kalangan ulama, dari suatu daerah tertentu, dan tidak oleh seluruh masyarakat. Jenis ini
dikenal sebagai ijma' ulama yang dapat digunakan sebagai mekanisme untuk
menciptakan sejenis perpaduan antara pendapat-pendapat berbeda yang timbul sebagai
akibat kegiatan-kegiatan hukum pribadi ulama.
Suatu masyarakat muslim yang ingin tetap mengikuti dunia modern harus
memberikan arti yang layak kepada ijma' sebagai sumber hukum Islam dan
yirisprudensi. Karena ia membantu kita memperoleh seperangkat asas-asas atau kitab
undang-undang tingkah laku yang menjalankan Ijtihad, dasar Fikh, yang terakhir tetapi
tak kalah pentingnya.
4. Ijtihad atau Qiyas
Dari segi bahasa Ijtihad adalah mengerjakan sesuatu dengan segala
kesungguhan. Sedangkan menurut istilah Ijtihad adalah mengerahkan segala potensi
dan kemampuan untuk menetapkan hukum-hukum syariat. Secara teknik, Ijtihad
berarti meneruskan setiap usaha untuk menetukan sedikit banyaknya kemungkinan
suatu persoalan Syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya
mungkin benar, walaupun mungkin saja keliru.
Di abad-abad dini Islam, Ra'y (pendapat pribadi) merupakan alat pokok Ijtihad.
Tetapi ketika asas-asas hukum telah ditetapkan secara sistematik, hal itu kemudian
digantikan oleh Qiyas. Tak diragukan lagi bahwa Al Qur'an dan Sunnah memberikan
ketentuan hukum mengenai kehidupan individu dan sosial kaum muslimin kepada kita.
Peranan Qiyas adalah memperluas hukum ayat kepada soal-soal yang tidak
termasuk dalam bidang syarat-syaratnya, dengan alasan sebab "efektif" yang bisa bagi
kedua hal tersebut dan tidak dapat dipahami dari pernyataan (mengenai hal yang asli).
Menurut para ahli hukum, perluasan undang-undang melalui analogi tidak membentuk
ketentuan hukum yang baru, malainkan hanya membantu kita untuk menemukan
hukum.
C. Prinsip-prinsip Hukum Lainnya
Sejauh ini terdapat empat dasar Fiqh yang telah diuji, yakni sumber-sumber hukum
yang telah diterima dan disahkan oleh keempat mazhab terpenting. Tetapi ada prinsipprinsip hukum lain yang hanya diterima oleh sebagian kecil dari mereka dan perlu
dijelaskan secara singkat, yaitu istihsan, istislah, dan istishab.
1. Istihsan
Terpenting diantara 3 prinsip ini adalah istihsan yang hanya dianjurkan oleh
Mazhab Hanafi. Secara harfiah artinya adalah menganggap sesuatu itu baik dan benar.
Menurut risalah “usul Fiqh”, secara teknis istihsan menyatakan pengabaian pendapat
yang dihasilkan melalui penalaran anologi (qiyas) dengan lebih menyukai suatu
pandapat yang berbeda yang didukung oleh pembuktian yang lebih kuat.
Istihsan merupakan “suatu sarana yang efektif dari pada Qiyas dalam
memasukkan unsur-unsur baru, karena dalam hal ini ketentuan-ketentuan untuk
menetapkan persoalan adalah lebih mudah dalam Qiyas, maka ia memberi
kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar”.
2. Istislah
Istislah berarti melarang atau mengizinkan suatu hal semata-mata karena ia
memenuhi suatu “maksud yang baik” (maslahah), walaupun tidak ada bukti jelas pada
sumber yang diwahyukan untuk mendukung tindakan semacam itu. Istislah oleh
sementara orang sisebut “dedukasi mandiri” (istidlal mursal), atau “dedukasi” (istidlal)
saja.
Karena prinsip yang digunakan oleh Mazhab Maliki mengesampingkan
perlunya menemukan bukti pendukung dalam sumber-sumbernya, barangkali dari
kesemuanya, inilah yang paling efektif dalam menghadapi suatu keadan yang belum
pernah terdengar sebelumnya.
3. Istishab
Prinsip ini diajukan oleh Imam Syafi’i. Menurut istishab, bila eksistensi sesuatu
hal telah pernah ditetapkan dengan bukti, walaupun kemudian timbul keragu-raguan
mengenai kelanjutan eksistensinya, ia masih tetap dianggap ada. Disebut istishab ahhal, bila masa kini dinilai menurut masa silam, dan disebut istishab al-madi, jika
kebalikannya yang terjadi. Prinsip inin juga diakui oleh Abu Hanifah, pendiri Mazhab
Hanafi, tetapi hanya untuk menyangkal suatu pernyataan (dawa), yaitu sebagai alat
pembelaan (daf’dawa) dan bukan untuk menetapkan suatu pernyataan (dawa).
D. Mazhab-mazhab Fiqh dan Implikasi Kontemporer
Hukum islam sebagai latar belakang untuk memahami hukum dan asas-asas
ekonomi, atau secara rasional menentukan sejauh mana pengaruh pengetahuan yang bukan
wahyu dalam menetapkan Fiqh atau hukum islam.
Diantara mazhab-mazhab Fiqh yang terpenting adalah:
1. Mazhab yang didirikan oleh Abu Hanifah 80H-150H (699M-767M), terkenal sebagai
Mazhab Hanafi.
2. Malik Abu Anas, 95H-179H (713M-795M), terkenal sebagai Mazhab Maliki.
3. Muhammad Ibn Idris al Shafi’i, 150H-204H (767M-820M), terkenal sebagaui Mazhab
Syafi’i.
4. Ahmad Ibn Hanbal, 169H-241H (780M-855M), terkenal sebagai Mazhab Hanbali
Disamping mazhab-mazhab terkemuka tersebut, terdapat pula mazhab-mazhab
Fiqh lainnya yang didirikan oleh ulama-ulama seperti Dawud ibn ‘Ali al Awza’i, Sufyan
al Thawri, dan Abu Thwar, di zaman yang sama.
Masing-masing mazhab dianggap sebagai “mujtahid” penuh dan dianggap
mempunyai sistem teori dan penerapan hukum sendiri. Akan tetapi perbedaan pandangan
antara mazhab Fiqh itu memperluwes kita dalam menafsirkan dan menerapkan Fiqh yang
merupakan kumpulan ketentuan hukum mengenai urusan kemanusiaan yang diambil dari
syariat suatu nama umum bagi kumpulan lengkap kebenaran agama yang diajarkan oleh
Nabi SAW. Dinamisme hukum islam ini memberikan sistem asas berbeda-beda yang dapat
digunakan untuk menjelaskan berbagai masalah sosio-ekonomik yang dihadapi oleh
negara-negara Muslim modern, dan untuk memecahkan persoalan dengan cara yang
dibenarkan islam.
Daftar Pustaka
Mannan, M.A. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima
Yasa.