d pu 056011 chapter1

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan suatu fenomena laten dalam kehidupan manusia. Sementara kemiskinan merupakan krisis berbahaya, yang harus segera ditanggulangi (Al-Qordhawi, 1982: 59). Terkadang, orang masih sanggup menahan kesabarannya dengan kemiskinan yang disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara penghasilan dengan banyaknya jumlah penduduk yang ada. Akan tetapi, apabila kemiskinan itu terjadi karena ketidakadilan distribusi di antara mereka, terjadinya perampasan hak oleh sebagian terhadap sebagian yang lain, dan adanya kemewahan golongan minoritas karena mengeksploitasi golongan mayoritas, maka pada saat itu, kemiskinan akan menggoncangkan ketenteraman masyarakat.

Kondisi kemiskinan pada masyarakat Indonesia, kontras dengan kemakmuran di sektor ibadah ritual, yang secara permukaan menunjukkan fenomena menggembirakan. Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat dalam aktifitas keagamaan tersebut, penyimpangan-penyimpangan sosial terus terjadi (Farid, M. 2004: 3). Fenomena ini menunjukkan bahwa aktivitas sosial ekonomi umat beragama kurang disadari sebagai wujud dari kesalehan. Hal ini kontradiktif dengan esensi Islam, yang menegakkan kehidupan kemanusiaan yang tinggi, sebagaimana dikatakan Sayyid Sabiq (1982: 9)


(2)

او

ﺔ ﻴ ﻧ ﺎ ﺴ ﻧ

إ ة

ﺎ ﻴ ﺣ ﺔ ﻣ ﺎ ﻗ

إ ف

ﺪ ﻬ ﺘ ﺳ

ا ى

ﺬ ﻟ

ا

ﺞ ﻬ ﻨ ﳌ

ا و ،

ﻞ ﻣ ﺎ ﻜ ﻟ

ا ر

ﻮ ﺘ ﺳ ﺪ ﻟ

ا

ﻮ ﻫ

م

ﻼ ﺳ ﻹ

و ،

ﻜ ﻔ ﺘ ﻟ

ا و ة د ار

ا

ﺎ ﻬ ﻴ ﻓ ﻞ ﻘ ﺘ ﺴ ﺗ

و ،

ﻤ ﻀ ﻟ

ا و

ﻞ ﻘ ﻌ ﻟ

ا

ﺎ ﻬ ﻴ ﻓ

ر

ﺮ ﺤ ﺘ ﻳ

...

ﺔ ﻌ ﻴ ﻓ

ر

ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﺪ ﺣ ﻷ

ن

ﺎ ﻄ ﻠ ﺳ ﻻ ﻪ ﻧ

أ و ،

ﺮ ﻣ

أ

ﻚ ﻟ ﺎ ﻣ

و ،

ﻪ ﺴ ﻔ ﻧ ﺪ ﻴ ﺳ ﻪ ﻧ ﺄ ﺑ

د

ﺮ ﻓ ﻞ ﻛ ﺎ ﻬ ﻴ ﻓ ﺮ ﻌ ﺸ ﻳ

ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﻰ ﻠ ﻌ ﻳ ﻻ

و

ﻮ ﻠ ﻌ ﻳ

ى

ﺬ ﻟ

ا ،

ﻖ ﳊ

ا ن

ﺎ ﻄ ﻠ ﺳ

ى

ﻮ ﺳ

،

Agama menurut Djawad Dahlan (2004: 1) adalah “kekuatan potensial yang terdapat pada kalbu setiap manusia yang membimbing kehidupan ke arah kesucian, kebermaknaan kualitas hidup dan memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan keduniawian”. Di dalam agama terkandung sistem nilai yang hakiki, konsisten dan bersifat universal.

Islam tidaklah cukup dengan motivasi dan simbol-simbol, ia adalah kurikulum hidup yang aktual, dan belum dianggap Islam selama belum terwujud dalam aktifitas amal saleh secara nyata. Sayyid Qutb (1992: v..3: 1709) menyatakan hal demikian itu:

إ ل

ﻮ ﺤ ﺘ ﺗ

ﺎ ﻣ

،

ﺎ ﻳ

ا

ﻮ ﻨ ﻟ

او

ﺮ ﻋ ﺎ ﺸ ﳌ

ا

ﻪ ﻴ ﻓ ﻲ ﻔ ﻜ ﺗ ﻻ

،

ﺔ ﻴ ﻌ ﻗ

او ة

ﺎ ﻴ ﺣ ﺞ ﻬ ﻨ ﻣ

م

ﻼ ﺳ ﻹ

ا ن إ

ﻢ ﻜ ﳊ

ا ط

ﺎ ﻨ ﻣ ﺖ ﺴ ﻴ ﻟ ﺎ

ا

ﺬ ﺑ ﻲ ﻫ ﺎ ﻬ ﻨ ﻜ ﻟ

و ،

ﺎ ﺎ ﻜ ﻣ ﺔ ﺒ ﻴ ﻄ ﻟ

ا

ﺔ ﻴ ﻨ ﻠ ﻟ

و .

ﺔ ﻴ ﻌ ﻗ

او ة

ﺎ ﻛ ﺮ ﺣ ﻴ ﻗ

د

ﺪ ﺤ ﺘ ﻓ

،

ﻞ ﻤ ﻌ ﻟ

ا

ﻊ ﻣ ﺐ ﺴ ﲢ ﻲ ﻫ ﺎ ﳕ

إ . ء ا

ﺰ ﳉ

او

:

ﺚ ﻳ ﺪ ﳊ

ا

ﻌ ﻣ

ا

ﺬ ﻫ

و .

ﻞ ﻤ ﻌ ﻟ

ا

ﺔ ﻤ

! ت

ﺎ ﻴ ﻨ ﻟ

ا د

ﺮ ﻻ

... ل

ﺎ ﻤ ﻋ ﻷ

ا .. ( ت

ﺎ ﻴ ﻨ ﻟ ﺎ ﺑ

ل

ﺎ ﻤ ﻋ ﻷ

ا

ﺎ ﳕ

إ )

Untuk mencapai kualitas hidup muslim berderajat kepedulian sosial maka ajaran Islam harus diaktualisasikan dalam kehidupan yang konkret di tengah masyarakat (Asy’arie, M. 1997: vii). Perwujudan ajaran kepedulian sosial ini dapat diindikasikan dengan selalu berorientasi kepada mewujudkan masa depan yang lebih baik.


(3)

Kepedulian sosial umat beragama seyogyanya dapat dijadikan modal dasar sebagai dasar pengentasan kemiskinan, tetapi juga bisa sebaliknya, upaya pengentasan kemiskinan dapat mempengaruhi pula pada tingkat kepedulian sosial masyarakatnya.

Dalam perspektif Islam, ekonomi berfungsi sebagai anugerah, amanah dan sekaligus fitnah. Sebagai istrumen ujian dari Allah bagi setiap manusia, ekonomi bersifat netral dalam arti bisa digunakan oleh orang yang meraihnya sebagai alat untuk beramal saleh, dan bisa pula untuk maksiat. Dengan demikian, amal saleh dan maksiat merupakan tujuan penggunaan dari harta, atau dilihat dari perspektif mekanisme rekayasa, merupakan kualitas output dari suatu proses kasab ma’isyah.

Cara meraih harta memberi dampak terhadap keseimbangan kehidupan dunia (Al-Asyhar, T. 2003: 80). Dengan hartanya seseorang mengadakan makanan, dan cara memperoleh makanan menurut Ali Yafie (2003: xii) mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jasmani dan rohani manusia. Oleh karenanya, cara-cara kasab ma‘isyah yang penuh dengan kedzaliman akan memicu kekikiran, kebakhilan dan perilaku maksiat lainnya. Sementara pencarian harta untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dengan proses yang halal, selain memicu taqarrub kepada Allah SWT, juga akan melahirkan sikap kedermawanan, cinta dan kasih sayang serta tindakan lain yang mencerminkan kepedulian secara sosial.

Dalam suatu sistem sosial atau masyarakat, tingkat kualitas ekonomi manusia berbeda satu dengan lainnya, bahkan bagi masing-masing individu pun


(4)

besaran ekonomi bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu. Fenomena kesenjangan sosial akan dengan mudah ditemukan dalam setiap situasi, waktu dan tempat. Jika demikian gambaran sunnatullah dari suatu sistem sosial, maka sungguh menjadi tidak adil manakala orang yang mampu membiarkan saudaranya yang lemah. Sementara keadilan bagi suatu sistem sosial adalah merupakan salah satu tiang penyangga. Maka untuk tegaknya keadilan, suatu sistem sosial menuntut setiap orang yang mampu untuk membantu saudaranya yang lemah dan berusaha rnengangkatnya menjadi mampu.

Di antara potensi ekonomi yang dapat digunakan untuk mendukung upaya pengentasan kemiskinan adalah zakat. Zakat merupakan salah satu kewajiban ubudiyyah yang ditaklifkan oleh Allah SWT kepada setiap hamba-Nya yang dikaitkan dengan hartanya.

Allah SWT (2: 43) berfirman :

َ

ِ

ِ

ا

ﱠﺮ ﻟ

ا َ

ﻊ ﻣ

َ

ا

ُ

ﻌ ﻛ

َ

ْر ا َو َة

ﺎﻛ ﱠﺰ ﻟ

َ

ا ا

ُ

ا َء َو َة َ

ﻼ ﱠﺼ ﻟ

ا ا

ﻮ ﻤ ﻴ

ُ

ِ

َأ َو

“Dan kalian dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat, dan rukulah bersama orang-orang yang ruku”

Zakat adalah kewajiban mengeluarkan sebagian dari harta dengan aturan yang tertentu baik batas minimum kewajibannya (nishab) dan batas minimum waktunya (haul), maupun nilai atau kadar harta yang harus dikeluarkannya. Jika zakat terbatasi pada ketentuan nishab dan haul; infaq dan shodaqoh dapat dilakukan kapan saja tanpa batasan jumlah, dan merupakan salah satu ibadah yang disunahkan Rasulullah Muhammad SAW agar umatnya berinfaq dan bershadaqah baik di saat lapang maupun sempit.


(5)

Fungsi terpenting dari zakat berupa pemberian jaminan pemenuhan kebutuhan dasar hidup kaum miskim. Ismail Luthfi Japakiya (2008: 25) menyebutkan bahwa zakat adalah salah satu landasan utama dalam terciptanya kedamaian dan keamanan, utamanya keamanan dari kemiskinan dan penyakit. Selanjutnya ia berpendapat bahwa: "... Islam considers the entire community responsible for the food security of all its individuals …

Zakat, sebagai disabdakan Baginda Nabi SAW adalah burhan atau bukti nyata bahwa seseorang itu Islam. Maka tanpa “menunaikan zakat”, menurut Al Quran (Al Mukminun: 1-4) maka seseorang tidak bisa termasuk ke dalam ikatan orang-orang mukmin yang dijamin Allah akan mendapatkan kemenangan, pewaris Syurga Firdaus dan mendapatkan petunjuk serta berita yang rnenggembirakan.

Sebaliknya, tanpa menunaikan zakat, seseorang menjadi tidak berbeda dengan orang-orang yang musyrik (Fushshilat: 6). Orang tak berzakat adalah sama dengan orang-orang yang munafik (Al Baqarah: 67). Tanpa menunaikan zakat, seseorang menjadi tidak berhak atas rahmat Allah (Al A’raf: 157). Yang tak berzakat, juga tidak berhak untuk mendapatkan pertolongan dari Allah SWT (Al Haj: 41). Di lain tempat, Al-Qur’an (Al Baqarah: 34-35) mengancam orang yang tidak menunaikan zakat dengan hukuman yang sangat keras, di dunia dan juga di akherat. Harta-harta yang tidak dikeluarkan zakatnya akan dijadikan panggang dan disetrikakan kepada punggung-punggung orang yang tidak berzakat. Rasulullah SAW memastikan bahwa Allah akan menimpakan bala di dunia kepada mereka yang enggan menunaikan zakat.


(6)

Ibrahim, Y. (2004: 68) menyatakan sedemikian pentingnya zakat bagi kemasyarakatan, sehingga seluruh ulama sepakat wajibnya zakat untuk dikeluarkan ketika barang yang wajib dizakati itu telah mencapai nishab dan telah dimiliki selama satu tahun atau melewati haul. Penangguhan zakat dilarang kecuali jika si pembayar punya alasan kluat yang menjadikannya tidak dapat membayar zakat. Sebaliknya, sebagian besar ulama mengatakan bahwa boleh seseorang membayar zakatnya lebih dahulu dari waktu yng semestinya. Dalam hal ini Al Shabuni (1997:96) berkata:

ﻪ ﻧ ﻷ

، ل

ﻮ ﳊ

ا ء

ﺎ ﻬ ﺘ ﻧ

ا

ﻞ ﺒ ﻗ

،

ﲔ ﻣ ﺎ ﻋ

و أ م

ﺎ ﻌ ﻟ

ا ة

ﺎ ﻛ ﺰ ﻟ

ا

ﻞ ﻴ ﺠ ﻌ ﺗ

ز ا

ﻮ ﺟ

ء

ﺎ ﻬ ﻘ ﻔ ﻟ

ا ر

ﻮ ﻬ

ى

ﺮ ﻳ

) :

ﻪ ﻧ ﺎ ﺤ ﺒ ﺳ

ل

ﺎ ﻗ ﺪ ﻗ

و ،

ﺔ ﻋ ﺎ ﻄ ﻟ

ا

ﻞ ﻌ ﻓ

ﺔ ﻘ ﺑ ﺎ ﺴ ﳌ

ا و ،

ا ا

ﺔ ﻋ

ر

ﺎ ﺴ ﳌ

ا

ﻦ ﻣ

(

ﺎ ﻌ ﻴ ﻢ ﻜ ﻌ ﺟ ﺮ ﻣ ﷲ

ا إ ت ا

ا ا

ﻮ ﻘ ﺒ ﺘ ﺳ ﺎ ﻓ

Demikianlah, zakat merupakan salah satu dari prinsip-prinsip keadilan sosial yang diajarkan Islam. Kesenjangan di dalam suatu sistem sosial merupakan sunnatullah, karena Allah dengan dasar kebijaksanaan-Nya menetapkan keberadaaan manusia dengan sifat berpasang-pasangan sebagaimana Ia sifatkan dengannya pula atas alam ini beserta segala yang Ia hidupkan di atasnya. Ia ciptakan siang dengan malam sebagai pasangannya sebagaimana Ia ciptakan pula wanita sebagai pasangan bagi pria. Allah berfirman dalam Al Quran (Al Zariyat: 49): “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”. Ekonomi merupakan salah satu aspek dari kehidupan manusia, yang tunduk kepada hukum alam yang menjadi sunnah-Nya. Ada orang kaya, dan ada pula yang sengsara.


(7)

Allah SWT menciptakan jagat raya dan mengatur rotasi alam beserta segala yang hidup di atasnya secara maha sempurna dan maha bijaksana. Dalam konteks kebijaksanaan-Nya itulah, Allah SWT mengundangkan zakat sebagai bagian integral dari konsep ilahiyah-Nya yang sempurna untuk menjamin keseimbangan rotasi kehidupan semesta alam. Zakat merupkan satu bentuk perwujudan keadilan yang dituntut oleh suatu sistem sosial. Oleh karenanya, zakat merupakan sunnatullah sosial. Kesenjangan ekonomi merupakan lahan subur bagi tumbuhnya kebencian sosial. Di dalam kesenjangan tersimpan potensi kecemburuan dan bahkan kebencian, yang dapat merusak ketenangan hidup bermasyarakat, dan bahkan mengancam eksistensi agama.

Perbedaan di antara manusia dalam aspek kepemilikan harta kekayaan merupakan sebuah kenyataan yang membutuhkan solusi di dalam syari’at Allah. Allah menyatakan (QS. 16:71) bahwasanya Allah telah melebihkan satu atas yang lainnya dalam soal rezeki. Artinya kelebihan harta pada seorang kaya adalah karena keutamaan yang diberikan Allah kepadanya. Oleh karenya, ketika menafsirkan ayat tersebut, Al Zuhayli (1997, v.3 : 1790) menyatakan bahwa Allah pula telah mewajibkan kepada si kaya yang diberi kelebihan itu untuk memberi kepada si fakir apa yang menjadi haknya sesuai ketetapan Allah, yang bukan merupakan pemberian dari si kaya, dan bukan pula karena kebaikan si kaya, tetapi semata-mata karena ditetapkan oleh Allah sebagai kewajiban si kaya, dan karenanya menjadi haknya si fakir:

ئ ر

ﺎ ﻃ ﻲ ﻌ ﻗ

او

ﺮ ﻣ

ا

ﺐ ﺳ ﺎ ﻜ ﳌ

ا

ﻞ ﻴ ﺼ ﲢ

و

ﺐ ﻫ

ا

ﻮ ﳌ

او ق از ر

ا س

ﺎ ﻨ ﻟ

ا

ﲔ ﺑ

ت و

ﺎ ﻔ ﺘ ﻟ

ا

ا

ا ع

ﺮ ﺷ

ج

ﺎ ﺘ ﺎ ﻌ ﺗ

ل

ﺎ ﻗ

ج

ﻼ ﻋ

)

ﺾ ﻌ ﺑ ﻰ ﻠ ﻋ ﻢ ﻜ ﻀ ﻌ ﺑ ﻞ ﻀ ﻓ ﷲ

او


(8)

ق ز

ﺮ ﻟ

ا

ي ا (

ن ا

ﻐ ﻟ

ا

ﻋ ﺐ ﺟ

و او ق ز

ﺮ ﻟ

ا

ﺾ ﻌ ﺑ ﻲ ﻠ ﻋ ﺎ ﻨ ﻀ ﻌ ﺑ ﻞ ﻀ ﻓ ﺎ ﻌ ﺗ ﷲ

ا ن ا

ﺎ ﻌ ﺗ ﻪ ﻟ ﻮ ﻘ ﻟ ﺔ ﻨ ﻣ ﻻ

و

ﺎ ﻋ ﻮ ﻄ ﺗ ﻻ ﺎ ﺿ

و

ﺮ ﻔ ﻣ ﺎ ﺒ ﺟ

او

ﺎ ﻘ ﺣ ﻘ ﻔ ﻟ

ا

ﻲ ﻄ ﻌ ﻳ

)

ﱞﻖ ﺣ

َ

ْ

ِ ِ ا

َ

ْ

َأ ِ َو

ِمو ُ

ﺮ ﺤ

ْ

َ

ْ

ا َو ِ

ِ

ﺋ ﺎ ﱠﺴ ﻠ

ِ

(

ﻞ ﺋ ﺎ ﺴ ﳌ

ا و ا ة

ﺎ ﻛ ﺰ ﻟ

ا

ﺔ ﻀ ﻳ

ر و

ﻖ ﻴ ﻘ ﲢ

و ت و

ﺎ ﻔ ﺘ ﻟ

ا

ﻚ ﻟ

ذ ج

ﻼ ﻌ ﻟ

م

ﻼ ﺳ ﻻ

ا ع

ﺎ ﻤ ﺘ ﺟ ﻻ

ا ن

ﺎ ﻤ ﻀ ﻟ

ا و ا

ﻞ ﻓ ﺎ ﻜ ﺘ ﻟ

ا

Zakat berfungsi antara lain untuk menjaga stabilitas psikologis sosial. Zakat merupakan katup pengaman sosial dan sekaligus benteng pertahanan akidahnya kaum Muslim yang miskin. Pengaturan zakat menjadi salah satu contoh kasus riil betapa lengkapnya syari’at Islam.

Sistem nilai Islam tidak berhubungan dengan dimensi ritual belaka tetapi juga berkaitan dengan pengaturan cara hidup bermasyarakat, dan dengan pembangunan keadilan sosial. Islam datang dengan tuntunan keadilan yang utuh. Selain keadilan secara hukum, Islam pun amat memperhatikan keadilan sosial dan ekonomi. Zakat merupakan salah satu konsep Ilahiyah untuk mewujudkan keadilan sosial ekonomi itu.

Zakat memiliki dua sisi, selain sebagai media taqarrub kepada Allah; juga menjadi bagian dari signifikansi mu‘amalah. Sebagai ibadah yang memasuki dua domain ubudiyah dan mu‘amalah sekaligus, maka kewajiban zakat selain meliputi aspek teologis dan syar’i juga mengandung nilai sosial yang fundamental untuk membangun masyarakat. Dilihat dari perspektif ekonomi, mengeluarkan zakat akan mengurangi kekayaan, tetapi secara keimanan (teologis dan syari’at), membayar zakat bukannya mengurangi kekayaan tetapi justru menambahnya, karena zakat adalah berarti ‘tambahan’.


(9)

Menunaikan zakat merupakan bukti keimanan dan sekaligus perwujudan rasa syukur kepada Allah. Imanlah yang mencerahkan seseorang, bahwa rejeki milik Allah dan Allah pula yang memberikan kepadanya. Untuk itu, menunaikan zakat merupakan bukti syukur umat kepada-Nya. Iman telah membimbingnya bahwa syukur dengan wujud zakat membuka turunnya rahmat Allah SWT yang semakin membuatnya melimpah, sesuai firman Allah SWT di dalam Al Qur’an surat 14 ayat 7, bahwa siapa yang bersyukur niscaya Allah memberinya tambah.

Selain berhubungan dengan keadilan dan jaminan keamanan, menurut kitab Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuh, di dalam kewajiban zakat terkandung pembinaan nilai mencegah sifat bakhil. Kecenderungan materialistik adalah sedemikian kuat pada jiwa manusia, sementara pada sisi lain kedermawanan merupakan tuntutan bagi kelangsungan manusia sebagai mahluk sosial. Oleh karenanya Allah SWT menjadikan zakat sebagai media pembinaan kejiwaan dan pelatihan praktis menuju kedermawanan. (Al Jurjawi, A. A. tt.: 172).

Al-Zuhayli (1997: v.3:1790) menjelaskan empat hikmah penting dari zakat: Pertama, memelihara harta dari para incaran mata dan tangan para pendosa; kedua, zakat merupakan pertolongan bagi orang-orang fakir dan orang-orang yang sangat memerlukan bantuan; ketiga, zakat menyucikan jiwa dari penyakit kikir dan bakhil dengan melatih untuk bersifat pemberi dan dermawan; dan keempat, zakat melatih sikap syukur kepada Allah SWT:

.

ﲔ ﻣ ﺮ

او

ﲔ ﻻ

ا ي

ﺪ ﻳ

ا د ا

ﺪ ﺘ ﻣ

او

ﲔ ﻋ ﻻ

ا

ﻊ ﻠ ﻄ ﺗ ﻦ ﻣ ﻪ ﻨ ﺼ ﲢ

و ل

ﺎ ﳌ

ا ن

ﻮ ﺼ ﺗ ﻻ

و ا

ﻲ ﻬ ﻓ

ن ا ط

ﺎ ﺸ ﻨ ﻟ

او

ﻞ ﻤ ﻌ ﻟ

ا ف

ﺎ ﻧ ﺎ ﺘ ﺳ ﻻ ﻢ ﻬ ﻳ ﺪ ﻳ ﺎ ﺑ ﺬ ﺧ ﺎ ﺗ

.

ﲔ ﺟ ﺎ ﺘ ﶈ

او ء ا

ﺮ ﻘ ﻔ ﻠ ﻟ

ن

ﻮ ﻋ ﺎ ﻴ ﻧ ﺎ ﺛ ﻲ ﻫ

و


(10)

ا

و ق

ﺎ ﻫ

ر

ا

ﻦ ﻣ ﺔ ﻟ

و

ﺪ ﻟ

او

ﺮ ﻘ ﻔ ﻟ

ا ض

ﺮ ﻣ ﻦ ﻣ ﻊ ﻤ ﺘ

ا

ﺲ ﻔ ﻨ ﻟ

ا

ﺮ ﻬ ﻄ ﺗ ﺎ ﺜ ﻟ ﺎ ﺛ ﻲ ﻫ

و .

ﻒ ﻌ ﻀ

ا

ﺮ ﻜ ﺷ ﺖ ﺒ ﺟ

و

ﺎ ﻌ ﺑ

ار

ﻲ ﻫ

و .ء

ﺎ ﺨ ﺴ ﻟ

او ل

ﺬ ﺒ ﻟ

ا

ﻦ ﻣ ﺆ ﳌ

ا د

ﻮ ﻌ ﺗ

و

ﻞ ﺨ ﺒ ﻟ

او

ﺢ ﺸ ﻟ

ا ء ا د

ﻦ ﻣ

ل

ﺎ ﳌ

ا ة

ﺎ ﻛ

ز ل

ﺎ ﻘ ﻴ ﻓ ﻪ ﻴ ﻟ

ا ف

ﺎ ﻀ ﺗ ﺎ

ا

ل

ﺎ ﳌ

ا

ﺔ ﻤ ﻌ ﻨ ﻟ

Dalam kitab Islamuna, Sayyid Sabiq (1982, 120-121) menjelaskan tentang atsar (pengaruh) penting dari zakat terhadap aspek moralitas atau akhlak manusia. Menurutnya, mencintai harta kekayaan karena fitrahnya. Kecintaan ini mendorong manusia kepada sifat bakhil, rakus, individualistik dan sifat-sifat jelek lainnya. Sementara sifat-sifat itu dapat menurunkan manusia ke level binatang. Dalam konteks inilah makna dari sabda Nabi “seburuk-buruk penyakit adalah bahil”. Manusia tidak bisa membersihkan dirinya dari keburukan-keburukan itu kecuali dengan latihan kedemarwanan. Oleh karena itulah, zakat berfungsi sebagai latihan yang memaksa. Maka sekiranya jiwa sudah mulai terlatih untuk keluar dari tekanan hawa nafsu dan kecintaannya tadi, maka jiwa itu akan tunduk patuh terhadap titah-titah Allah.:

: ق

ﻼ ﺧ ﻻ

ا

ﺎ ﻫ ﺮ ﺛ

أ

إ

ﻪ ﺒ ﺣ ﺎ ﺻ ﻮ ﻋ ﺪ ﻳ ﺐ ﳊ

ا ا

ﺬ ﻫ

و .

ﻪ ﻌ ﺒ ﻄ ﺑ

ل

ﺎ ﳌ

ا

ن

ﺎ ﺴ ﻧ ﻹ

او

او ،

ﻞ ﺨ ﺒ ﻟ

ا

...

ﺔ ﻘ ﻴ ﻠ ﳋ

ا

ﻞ ﺋ

ا ذ

ﺮ ﻟ

ا

ﺮ ﺋ ﺎ ﺳ

و ، ة

ﺮ ﺛ ﻷ

ا و ،

ﺔ ﻴ ﻧ ﺎ ﻧ ﻷ

او ،

ﻊ ﺸ ﳉ

او ص

ﺮ ﳊ

ل

ﻮ ﺳ ﺮ ﻟ

ا

ﺸ ﻳ ﻌ ﳌ

ا ا

ﺬ ﻫ

إ و ، ن ا

ﻮ ﻴ ﳊ

ا ى

ﻮ ﺘ ﺴ ﻣ

إ ن

ﺎ ﺴ ﻧ ﻹ ﺎ ﺑ

ل

ﺰ ﻨ ﺗ

ت

ﺎ ﻔ ﺼ ﻟ

ا

ﺬ ﻫ

و

ﺬ ﻫ ﻦ ﻣ

ء

ﺮ ﳌ

ا

ﺺ ﻠ ﺨ ﺘ ﻳ ﻻ

و ... (

ﻞ ﺨ ﺒ ﻟ

ا ء ا

ﺪ ﻟ

او د أ ) :ل

ﻮ ﻘ ﻴ ﻓ ﻢ ﻠ ﺳ

و

ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﷲ

ا

ﻰ ﻠ ﺻ ﺔ ﺑ

ر

ﺪ ﻟ

ا و ، ل

ﺬ ﺒ ﻟ

ا

ﻰ ﻠ ﻋ ﻦ ﻳﺮ ﻤ ﺘ ﻟ ﺎ ﺑ ﻻ

إ ،

ﻞ ﺋ

ا ذ

ﺮ ﻟ

ا

ﺔ ﺒ ﻳﺮ ﺿ

ة

ﺎ ﻛ ﺰ ﻟ

ا

ﺖ ﻧ ﺎ ﻛ

ﻦ ﻣ

و ، ء

ﺎ ﻄ ﻌ ﻟ

او

، ة

ﺮ ﻣ ﺪ ﻌ ﺑ

ة

ﺮ ﻣ

،

ﺎ ﻮ ﺒ

و

ﺎ ﻫ

ا

ﻮ ﻫ ﻰ ﻠ ﻋ ﺲ ﻔ ﻨ ﻟ

ا ت

ﺮ ﺼ ﺘ ﻧ

ا ا ذ إ و ... ،

ﺔ ﻳ

ر

ﺎ ﺒ ﺟ

إ

ع

ﺎ ﻓ ﺪ ﻧ ﻻ

ا

ﻦ ﻋ

ة

ﺪ ﻴ ﻌ ﺑ

و ،

ا

ﺮ ﻣ

او

ﻷ ﺔ ﻌ ﺿ ﺎ ﺧ

و ،

ﻞ ﻘ ﻌ ﻟ

ا

ﻢ ﻜ ﳊ ﺔ ﻠ ﻟ ﺬ ﻣ ﺖ ﺤ ﺒ ﺻ

أ

.

ﻰ ﻔ ﻃ ﺎ ﻌ ﻟ

ا


(11)

Asalib al kalimat (susunan redaksi bahasa) yang digunakan Al Quran ketika memerintahkan zakat, selalu menggunakan kalimat “al ita”, seperti kata

ا

ُ

ا َء

di Al Baqarah 43, tidak menggunakan perintah langsung. Hal ini, tiada lain karena untuk menunjukkan sifat zakat yang fundamental bagi kaum beriman. (Al Qardhawai, Y. 1986: Vol.1 : 75). Disamping itu, perintah zakat di dalam Al Quran hampir selalu digandengkan dengan zakat. Rahasia dari silabi bahasa ini tiada lain karena menunjukkan keterkaitan zakat dengan nilai-nilai individu dan masyarakat. Menurut Al Maraghi (1974, 1 : 192) hal demikian itu menjelaskan bahwa nilai yang terkandung dalam shalat adalah untuk memperbaiki keadaan individu (ishlah al fard), sementara dalam zakat terkandung nilai untuk memperbaiki keadaan masyarakat (ishlah al mujtama’). Sementara dua keadaan individu dan masyarakat adalah mesti menyatu seperti menyatunya dua sisi dari satu keping mata uang:

ل

ﺎ ﺣ

ح

ﻼ ﺻ

ا

ﻦ ﻣ

ة

ﻼ ﺼ ﻟ

ا

ﺎ ﳌ

ة

ﻼ ﺼ ﻟ ﺎ ﺑ

ة

ﺎ ﻛ ﺰ ﻟ

ا ن

ﺮ ﻘ ﻳ

ن ا ن ا

ﺮ ﻘ ﻟ

ا

ﺔ ﻨ ﺳ

ت

ﺮ ﺟ ﺪ ﻗ

و

ء

ﺎ ﻐ ﺘ ﺑ

ا

ﻪ ﺑ

د

ﺎ ﺟ ﻦ ﻤ ﻓ

ح و

ﺮ ﻟ

ا

ﻖ ﻴ ﻘ ﺷ

ل

ﺎ ﳌ

ا ن ا ا

ﻊ ﻤ ﺘ

ا ح

ﻼ ﺻ

ا

ﻦ ﻣ

ة

ﺎ ﻛ ﺰ ﻟ

ا

ﺎ ﳌ

و د

ﺮ ﻔ ﻟ

ا

ﺳ ﷲ

ا ت

ﺎ ﺿ ﺮ ﻣ ﻪ ﺗ ﺎ ﻤ ﻠ ﻜ ﻟ

ء

ﻼ ﻋ

ا و

ﻪ ﻨ ﻳ ﺪ ﻟ

ا

ﺪ ﻴ ﻳ ﺎ ﺗ ﷲ

ا

ﻞ ﻴ ﺒ ﺳ

ﻪ ﺴ ﻔ ﻧ

ب

ﺬ ﺑ ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﻞ ﻬ

Syekh Rasyid Ridha (tt.: v.1:422) menggunakan bahasa yang lebih tegas lagi dalam menjelaskan relevansi shalat dan zakat, yaitu bahwa shalat itu untuk memperbaiki keadaan jiwa individu (ishlah nufus al afrad), sementara zakat untuk memperbaikai keadaan masyarakat (ishlah syuun al mujtama’). Dan menurut beliau, bahwa harta adalah pasangannya dari ruh atau jiwa. Maka sekiranya jiwanya telah condong kepada sifat dermawan lantaran semara-mata mengharapkan ridha Allah SWT maka hal itu menambah keimanannya:


(12)

، د ا

ﺮ ﻓ ﻷ

ا س

ﻮ ﻔ ﻧ

ح

ﻼ ﺻ ﻹ

ة

ﻼ ﺼ ﻟ

ا ن

ة

ﻼ ﺼ ﻟ ﺎ ﺑ

ة

ﺎ ﻛ ﺰ ﻟ

ا ن

ﺮ ﻘ ﺑ

ن ا

ﺮ ﻘ ﻟ

ا

ﺔ ﻨ ﺳ ﺖ ﻀ ﻣ ﺪ ﻗ

و

ن

ﺎ ﻓ

ة

ﻼ ﺼ ﻟ

ا

ﺎ ﻣ

ة د

ﺎ ﺒ ﻌ ﻟ

ا

ﻌ ﻣ ﻦ ﻣ ﺎ ﻬ ﻴ ﻓ

ن إ ، ع

ﺎ ﻤ ﺘ ﺟ ﻻ

ا ن

ﻮ ﺌ ﺷ

ح

ﻼ ﺻ ﻹ

ة

ﺎ ﻛ ﺰ ﻟ

او

ﻪ ﻟ ﺬ ﺑ

ن

ﺎ ﻛ ﺎ ﻌ ﺗ ﷲ

ا ة

ﺎ ﺿ ﺮ ﻣ

ء

ﺎ ﻐ ﺘ ﺑ

ا

ﻪ ﺑ

د

ﺎ ﺟ ﻦ ﻤ ﻓ

ح و

ﺮ ﻟ

ا

ﻖ ﻴ ﻘ ﺷ

ن

ﻮ ﻟ ﻮ ﻘ ﻳ ﺎ ﻤ ﻛ

ل

ﺎ ﳌ

ا

ﻪ ﻧ ﺎ ﳝ

ا ا

ﺪ ﻳﺰ ﻣ

Dalam kaitan dengan kejiwaan, menurut Nofal ((tt.: 30) zakat membina manusia terbebas dari dominasi harta kekayaan:

Zakat also frees men from the domination of money, this domination that sometimes leads a man to sickness and even to suicide. The amassing of money and miserliness are the first symptoms of this domination. The only active way to combat it is generosity and charity. One sign of this domination upon a man is turning his back upon an honourable way of life. He neglects his needs and the needs of his family and even of his religion

Dalam konteks sosial, kata Syekh Muhammad ‘Abduh (tt.: v.1:422) zakat meretas jalan yang menghubungkan cinta antara si kaya dengan si fakir. Dan jalan yang telah terhubungkan ini dapat memicu kepada terwujudnya sikap kesatuan umat, sehingga keadaan mereka benar-benar dirasakan sebagai satu tubuh:

ن

ﻮ ﻜ ﺗ ﺣ ﺔ ﻣ ﻷ

ا ة

ﺪ ﺣ

و

ﻢ ﺎ ﺼ ﺗ ﺎ ﺑ

ن

ﻮ ﻜ ﺘ ﺘ ﻓ

ء ا

ﺮ ﻘ ﻔ ﻟ

او ء

ﺎ ﻴ ﻨ ﻏ ﻷ

ا

ﲔ ﺑ ﻞ ﺼ ﺗ ﻟ

ا

ﺎ ﻛ ﺰ ﻟ

او

...

ﺪ ﺣ

او

ﻢ ﺴ ﺠ ﻛ

Zakat yang diterima fakir miskin, menurut Nofal (tt.: 28) akan mendorong si penerima untuk mencintai saudaranya yang ditakdirkan berlebih secara ekonomi:

Zakat is also one way of preventing the spreading of principles that make the poor grudge the rich their wealth and make them hate society. It is the means of establishing love and frienfship amongst people, rich and poor alike, a feeling of co-operative socialism


(13)

Oleh karena itu, tujuan besar dari kewajiban zakat itu menurut Mahmud Abu al Su’ud (1968: 15) ada dua, pertama Qashd Fardy (tujuan bersifat individu), yaitu untuk membantu individu dalam membersihkan jiwanya terutama dari belenggu syahwat materi dan menyambungkan hubungan kemasyarakatan antara satu individu dengan lainnya, dan kedua Qashd ‘Am (tujuan yang bersifat umum) yaitu terbentuknya peraturan dan ketentuan umum tentang pokok-pokok muamalah yang bersifat ekonomi yang seharusnya dikeluarkan oleh negara.

: ن

ﺎ ﻳﺮ ﻫ ﻮ ﺟ

ن ا

ﺪ ﺼ ﻗ

ة

ﺎ ﻛ ﺰ ﻠ ﻟ

و

)

۱

ﻬ ﻄ ﺗ ﻰ ﻠ ﻋ

د

ﺮ ﻔ ﻟ

ا ة

ﺪ ﻋ ﺎ ﺴ ﲟ ﻚ ﻟ

ا ذ و ، ي د

ﺮ ﻓ ﺪ ﺼ ﻗ

(

، د

ﺮ ﻔ ﻟ

او د

ﺮ ﻔ ﻟ

ا

ﲔ ﺑ ﺔ ﻴ ﻋ ﺎ ﻤ ﺘ ﺟ ﻻ

ا

ﺔ ﻠ ﺼ ﻟ

ا م

ﺎ ﻜ ﺣ

إ و ، ل

ﺎ ﳌ

ا ة

ﻮ ﻬ ﺷ ﻰ ﻠ ﻋ ﺐ ﻠ ﻐ ﺘ ﻟ

ا و

ﻪ ﺴ ﻔ ﻧ

، ا

ﻮ ﺳ

ن و د د

ﻮ ﺒ ﻌ ﳌ

ا

ﺎ ﻌ ﺗ ﻪ ﻧ ﺄ

ـ

ﺑ ﻢ ﺋ

ا

ﺪ ﻟ

ا ف ا

ﻋ ﻻ

ا

ﻊ ﻣ

،

ﺐ ﻫ

ا

ﻮ ﻟ

ا

ﻖ ﻟ ﺎ ﳋ

ا إ ب

ﺮ ﻘ ﺘ ﻟ

او

ﲔ ﺣ ﺪ ﺼ ﻘ ﻟ

ا ا

ﺬ ﻫ ﻰ ﻠ ﺠ ﺘ ﻳ

و

ﺘ ﺑ ﻴ ﻓ

ن

ﺎ ﺴ ﻧ ﻹ

ا

ﺮ ﺑ ﺪ ﺔ ﻨ ﺴ ﻟ

ا و

ﱘ ﺮ ﻜ ﻟ

ا ن أ

ﺮ ﻘ ﻟ

ا ء

ﺎ ﺟ ﺎ ﻤ

ﺔ ﻳ

د

ﺮ ﻓ

ة

ﺎ ﻛ

ز

ﻦ ﻣ ﻢ ﻠ ﺴ ﳌ

ا

ﻰ ﻠ ﻋ ﺎ ﻤ ﻴ ﻓ

و ، ق

ﺪ ﺼ ﺘ ﻟ

او ل

ﺬ ﺒ ﻟ

ا

ﻰ ﻠ ﻋ ﺚ ﺣ ﻦ ﻣ

،

ﺔ ﻔ ﻳﺮ ﺸ ﻟ

ا

.ت ا د

ﺎ ﺒ ﻌ ﻟ

ا ف و

ﺮ ﻌ ﻣ ﻮ ﻫ ﺎ ﳑ ﻚ ﻟ

ا ذ

و ،

ﺔ ﻔ ﻠ ﺘ ﺨ ﳌ

ا ت ار

ﺎ ﻔ ﻜ ﻟ

او

ﺮ ﻄ ﻔ ﻟ

ا ة

ﺎ ﻛ ﺰ ﻛ

)

۲

(

ت ا د ا

ﺮ ﻳ ﻹ ﻢ ﻈ ﻨ ﻣ ﺔ ﻳ

د

ﺎ ﳌ

ا ت

ﻼ ﻣ ﺎ ﻌ ﳌ

ا ل

ﻮ ﺻ ﻷ ﻊ ﻣ ﺎ ﺟ

م

ﺎ ﻈ ﻧ

ء

ﺎ ﺸ ﻧ

إ

ﻮ ﻫ

و ، م

ﺎ ﻋ ﺪ ﺼ ﻗ

و

ﺎ ﺎ ﻘ ﻔ ﻧ

و

ﺔ ﻟ

و

ﺪ ﻟ

ا

ا

ﺬ ﻫ

و . ت او

ﺮ ﺜ ﻟ

ا

ﻊ ﻳ

ز

ﻮ ﺗ

و ل و ا

ﺪ ﺘ ﻟ

او ج

ﺎ ﺘ ﻧ ﻹ

ا

ﺪ ﻋ

ا

ﻮ ﻘ ﻟ ﻢ ﻜ

،

إ

ﺔ ﺟ ﺎ ﺣ

ﺖ ﺴ ﻟ

و ،

ﻦ ﻫ

ا

ﺮ ﻟ

ا

ﺎ ﻨ ﺜ

ع

ﻮ ﺿ ﻮ ﻣ

و ،

ﺎ ﻧ ﺪ ﻴ ﺼ ﻗ ﺖ ﻴ ﺑ ﻮ ﻫ

م

ﺎ ﻌ ﻟ

ا

ﺪ ﺼ ﻘ ﻟ

ا

ﻦ ﻣ ﺎ

أ

ﻰ ﻠ ﻋ ﻻ

و ،

ﺔ ﻤ ﻠ ﺴ ﻣ

و

ﻢ ﻠ ﺴ ﻣ ﻞ ﻛ ﻰ ﻠ ﻋ

ة

ﺎ ﻛ ﺰ ﻟ

ا ض

ﺮ ﻔ ﻟ ﺔ ﺘ ﺒ ﺜ ﳌ

ا ص

ﻮ ﺼ ﻨ ﻟ

ا ق

ﻮ ﺳ

.

ﻪ ﻴ ﻓ

ف

ﻼ ﺧ ﻻ

و

ﺚ ﻳ ﺪ ﳊ

ا و ن أ

ﺮ ﻘ ﻟ

ا د ر او

ﻚ ﻟ ﺬ ﻓ ﻦ ﻳ ﺪ ﻟ

ا ن

ﺎ ﻛ

ر أ

Oleh karena tujuan zakat yang tidak saja terkait dengan pembentukan sikap pribadi melainkan juga berhubungan dengan perbaikan kondisi masyarakat, sehingga Allah SWT memerintahkan pengelolaan zakat dilakukan oleh suatu kepanitian khusus. Dan zakat itu sendiri harus secara pro aktif diambil dari


(14)

mereka yang memiliki kewajiban zakat. Perintah itu tersurat di dalam Al Qur’an (Al Taubah: 103):

ْ

ُ َ ٌ

ﻦ ﻜ

َ

َ

َ

َ

ﺗﻼ

َ

َ

ن ِإ ْ

ﱠ ﻢ ﻬ

ِ

ْ

َ

َ

ﱢﻞ

َ

َو

َ

ِ

ْ

ﻬ ﻴ ﱢﻛ

ِ

َ

ُـ

َو ْ

ﻢ ﻫ

ُ

ﺮ ﱢﻬ

ُ

َ

ُ

ً

َ

ﻗ ﺪ

َ

َ

ْ

ِ ِ ا

َ

ْ

َأ ْ

ﻦ ﻣ

ِ

ْ

ﺬ ﺧ

ُ

ٌ

ﻢ ﻴ

ِ

ﻠﻋ

َ

ٌ

ﻊ ﻴ

ِ

َ ُ

ﻪ ﱠﻠ ﻟ

ا َو

“Ambillah dari harta mereka shadaqah (zakat, untuk) menyucikan mereka (harta) mereka dan menyucikan (jiwa) mereka”

Kalimat

ْ

ﺬ ﺧ

ُ

(ambillah!) menunjukkan bahwa zakat bukanlah sekedar

kewajiban yang bersifat personal, tetapi di dalam zakat ada kewajiban komunal, dalam hal ini menjadi kewajiban pemimpin masyarakat untuk mengambil zakat dari umat. Adalah Nabi kata Sayyid Quthub (tt.: v.3: 1708) yang sedang memimpin dan membina umatnya, tidaklah proaktif melakukan pengambilan zakat kecuali setelah turunnya perintah itu dari Allah SWT.

ﺎ ﻣ ﺎ ﻈ ﻧ ﺊ ﺸ ﻨ ﻳ

و

ﺔ ﻣ

ا

ﺮ ﻳ

و

ﺔ ﻛ ﺮ ﺣ

د

ﻮ ﻘ ﻳ ﻮ ﻫ

و

ﻢ ﻠ ﺳ

و

ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﷲ

ا

ﻲ ﻠ ﺻ ﷲ

ا ل

ﻮ ﺳ

ر ن

ﺎ ﻛ

ن او

ﺬ ﺧ ﻻ

ا ي ار

ﺪ ﻗ ﻢ

ْ

ﺎ ﺷ

ﻪ ﺑ

ر

ﻦ ﻣ ﺮ ﻣ

ا

ﻪ ﻴ ﺗ

ْ

ﺎ ﻳ ﺣ ﻢ ﻫ ﺮ ﻣ

ا م

ﺰ ﳊ ﺎ ﺑ

Berlandaskan pada ayat di atas pula, para alim ulama menyepakti adanya keajiban bagi negara untuk mengadakan Bait Mal al Zakat, untuk mengurus persoalan zakat. (al Mashri, R. Y. 1999: 48; dan Al Mubarak, M. 1989: 88). Dengan kalimat yang legih tegas, Al-Qardhawi (1986: v.1:80) mengatakan bahwa ayat itu merupakan dalil yang menunjukkan kewajiban zakat melalui panitia zakat atau Amilin.

Terkait dengan peran pemimpin atau negara dalam pemanfaatan zakat, Muhammad Hashim Kamali (1994: 11) menyebutkan bahwa:


(15)

Islam proposes a welfare state as is evident from the overall emphasis in the Qur`an and Sunna on helping the helpless, the needy and the poor. As a pilla or the faith, zakat is prescribed in the Qur`an with the specific purposes of ensuring necessary social assistance. Satisfaction of the basic requirements of those who are in need. Muslims, or other, is one of the main purposes for which state revenues, whether from zakat or other taxes and charities, are to be expanded. The Prophet himself as head of state clearly indicated that the state is committed to this purpose.

Kedudukan zakat di dalam syari’at Islam adalah sebagai suatu kewajiban individu setiap Muslim. Bahkan, menunaikan zakat adalah menjadi salah satu dari tanda kesempurnannya sebagai Muslim. Aspek kehujahan zakat sebagai salah satu rukun Islam, kata Iman Al Shan’ani (2002: v.2:247) disepakati oleh sekalian umat Islam: ﺔ ﻣ ﻻ

ا ع

ﺎ ﺎ ﺑ ﺔ ﺴ ﻤ ﳋ

ا م

ﻼ ﺳ ﻻ

ا ن

ﺎ ﻛ

ر ا

ﺪ ﺣ

ا

ﻲ ﻫ

و

Karena kedudukannya secara hukum itu, secara teoritik seharusnya zakat dapat dihimpun dari umat Islam secara optimal. Namun demikian, realitas pengelolaan zakat menunjukkan bahwa potensi zakat di Indonesia yang berjumlah sebesar Rp 6,5 trilyun, menurut Institut Manajemen Zakat (2006), ternyata baru tergali sebesar 2,3 % saja, meskipun pada Tahun 2007 jumlah penerimaan ZIS seluruh Badan/Lembaga Amil Zakat mencapai senilai Rp. 1,2 triliun dari perkiraan potensi jumlah penerimaan hasil kajian sebesar Rp 8 triliun (Surya Online, 29 August 2008)

Potensi ekonomi umat ini sesungguhnya sedemikian besar, dan bahwa zakat seharusnva memiliki signifikansi dengan pemberdayaan kaum dhu‘afa, karena fakta sosio-demografis menunjukkan bahwa masyarakat Islam adalah kelompok mayoritas di negeri Indonesia ini. Berdasarkan hal-hal demikian itu, secara teoritis, pengumpulan zakat seharusnya dapat dilakukan secara optimal


(16)

sehingga dana zakat dapat terkumpul secara maksimal. Namun fakta sebagaimana disebutkan di atas menunjukkan bahwa perolehan zakat yang diterima lembaga Amil Zakat, secara umum masih sangat rendah.

Salah satu faktor penyebab rendahnya penerimaan zakat adalah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat masih rendah. Dan hal ini diakibatkan oleh rendahnya kompetensi dan profesionalisme SDM pengelola (Bakar, I. A. 2004). Akan tetapi sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa zakat bukan semata-mata urusan mu‘amalah, tetapi juga-- dan ini yang merupakan substansi dasarnya yaitu sebagai-- ibadah mahdhah, sehingga karenanya, rendahnya fundraising zakat, menjadi indikator akan rendahnya kualitas keimanan yang terwujud dalam masih rendahnya kualitas kedermawanan atau tingginya sifat bakhil pada masyarakat, karena iman sejatinya membimbing manusia untuk terikat dengan kemaslahatan orang lain, sehingga terpanggil untuk menjaga dan membantu saudaranya dari tekanan kemiskinan, yang diwujudkan melalui penunaian zakatnya (Ridha, R. tt. Vol. 1: 293).

Krisis ekonomi sejak 1997, sampai saat ini belum menunjukan kepulihan berarti, bahkan krisis global yang sedang melanda seluruh dunia saat ini sebagai imbas dari gagalnya kredit perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat, dikhawatirkan akan berdampak pada kondisi ekonomi negara-negara di dunia termasuk perekonomian Indonesia, terutama masalah kemiskinan yang masih menjadi permasalahan terbesar bangsa ini. Sampai saat ini, pemulihan ekonomi berjalan lambat, sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah, angka pencari kerja meningkat dari tahun ke tahun. Namun, pertambahan kesempatan kerja tidak


(17)

meningkat dengan signifikan. Sehingga angka pengangguran dan juga kemiskinan terus bertambah secara signifikan dan meluas, sementara upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah hampir tidak memberikan dampak pengurangan terhadap proporsi rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Indonesia menurut sensus tahun 2000 yang berpenduduk sebesar 206,2 juta, di bulan Maret 2008 jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sebesar 34,96 juta orang atau 15,42% dari total penduduk Indonesia. Berarti secara matematis penduduk Indonesia pada Maret 2008 sebesar 226,7 juta jiwa. Angkatan kerja per Februari 2008 sebesar 111,48 juta jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang bekerja sebesar 102,05 juta jiwa, dan 86,1% penduduk Indonesia beragama Islam.

Tabel 1.1 Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin menurut Daerah, Periode Maret 2006-2007

Daerah Bulan/

Tahun Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln) Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin Makana n Bukan Makanan Total

Perkotaan Maret 2006 126.163 48.127 174.290 14.49 13.47

Maret 2007 132.258 55.683 187.941 13.56 12.52

Perdesaan Maret 2006 102.900 27.677 130.584 24.81 21.81

Maret 2007 116.265 30.572 146.837 23.61 20.37

Kota+Desa Maret 2006 114.125 37.872 151.997 39.30 17.75

Maret 2007 123.992 42.704 166.696 37.17 16.58

Sumber: Republika, September 2007

Kondisi ini sesungguhnya merupakan salah satu potret dari kemiskinan struktural. Artinya, kemiskinan yang ada tidak hanya disebabkan oleh lemahnya etos kerja, melainkan terutama disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kemiskinan model ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mendorong


(18)

mengalirnya kekayaan yang dimiliki oleh kelompok the have (kaya) kepada the poor (miskin) dalam bentuk kepedulian sosial masyarakatnya, sehingga mampu menggerakkan sektor riil yang secara otomatis dapat mengatasi kemiskinan.

Rendahnya hasil perolehan zakat yang menjadi indikator tingginya sifat bakhil berhubungan dengan rendahnya mekanisme implementasi pendidikan nilai zakat. Keberhasilan mekanisme implementasi pendidikan nilai berupa pembinaan kesadaran berzakat, diharapkan akan memicu masyarakatnya menunaikan zakat, dan sekaligus memicu mustahiq penerima zakat untuk mengolah bagian yang diterima untuk mengentaskan kemiskinannya, sebagai salah satu indikasi meningkatnya kepedulian sosial masyarakat.

Dari sekalian uraian yang telah dipaparkan di muka, dapatlah disarikan bahwa tingkat kepedulian sosial masyarakat kini masih sangat rendah. Hal ini terbukti dari masih rendahnya perolehan zakat oleh lembaga amil zakat. Dan rendahnya tingkat kepedulian sosial masyarakat ini disebabkan oleh upaya pembinaan kesadaran berzakat yang dilakukan oleh lembaga amil zakat belaum berjalan secara efektif.

Berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, adalah menarik dan sekaligus urgen dilakukan penelitian untuk menemukan mekanisme pembinaan kesadaran berzakat yang mampu mendorong mengalirnya kekayaan dari muzakki kepada mustahiq, yang menjadi indikator akan meningkatnya kepedulian sosial.


(19)

Telah diuraikan pada latar belakang di atas bahwa di dalam mengeluarkan zakat terkandung banyak nilai, dua di antaranya adalah nilai peningkatan (sejalan dengan makna zakat sebagai numuw) dan nilai kedermawanan karena zakat menghilangkan sifat bahil. Berdasarkan hal itu, dapat dinyatakan bahwa rendahnya pelaku zakat (muzakki) seperti yang terjadi dewasa ini, salah satu penyebab dominannya adalah karena belum efektifnya implementasi pembinaan nilai zakat.

Demikian pula mengenai mustahiq selaku penerima zakat. Mustahiq mestinya terpicu untuk menggunakan bagian zakat yang diterimanya untuk memberdayakan dirinya, dan keberdayaannya secara ekonomi yang distimulasi atau dimodali dari zakat mestinya memicu sikap kedermawanan. Oleh karenanya, kenyataan banyaknya mustahiq yang konsumtif minded, dan sangat sedikitnya di antara mereka yang memiliki motivasi untuk maju disebabkan oleh karena nilai zakat belum terimplementasikan secara tepat di dalam pembinaan nilai zakat.

Penelitian ini akan menfokuskan bahasannya pada implementasi pembinaan kesadaran berzakat dalam upaya meningkatkan kepedulian sosial. Dengan fokus ini, dikaji dan disistematisasi nilai zakat dengan mengacu kepada ajaran Islam, baik yang bersumber dari al Qur’an maupun al-Hadits, terutama yang berkaitan dengan teori pemanfaatan zakat sebagai materi pembinaan. Dari sini diteliti dan dirumuskan cara-cara pembinaan nilai zakat yang dapat meningkatkan kepedulian sosial masyarakat. Berdasarkan rumusan cara pembinaan kesadaran berzakat ini selanjutnya dikaji secara mendalam upaya


(20)

pembinaan kesadaran berzakat yang diterapkan di lembaga Rumah Zakat Indonesia.

Masalah yang menjadi nuqthah al intilaq (titik berangkat) dari penelitian ini adalah asumsi bahwa umat yang aghniya tidak membayar zakat (ke lembaga amil zakat) disebabkan cara-cara pemanfatan zakat yang tidak menyentuh kesadaran mereka untuk berzakat. Dari asumsi itu, muncullah pertanyaan yang menjadi kunci penelitian ini, yaitu pola pembinaan kesadaran berzakat seperti apa yang bisa membuat aghniya terpicu untuk berzakat dengan menitipkan zakatnya pada lembaga amil zakat.

Dari pengamatan terhadap amil zakat yang ada diketahui belum adanya rumusan dalam bentuk pola pembinaan kesadaran berzakat yang menjadi pijakan amil zakat dalam mengimplementasikan pembinaan nilai sebagai upaya penyadaran umat untuk berzakat.

Berangkat dari asumsi dan pertanyaan kunci di atas, maka masalah pokok penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Seperti apa pola pembinaan kesadaran berzakat yang dilakukan lembaga Rumah Zakat Indonesia?

2. Bagaimana nilai-nilai pembelajaran sosial yang terkandung dalam pembinaan kesadaran berzakat yang dilakukan Rumah Zakat Indonesia?

3. Bagaimana wujud kepedulian sosial masyarakat yang terbentuk dari implikasi positif pembinaan kesadaran berzakat yang dilakukan oleh Rumah Zakat Indonesia?


(21)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini bermaksud melahirkan model implementasi pendidikan nilai zakat yang dapat meningkatkan kepedulian sosial masyarakat yang diwujudkan dengan tingginya kesadaran untuk berzakat. Untuk sampai kepada maksud tersebut, pendalaman materi diarahkan kepada tujuan-tujuan penelitian sebagai berikut:

a. Mengetahui pola pembinaan yang dilakukan lembaga Rumah Zakat Indonesia baik yang ditujukan kepada pihak muzakki dan maupun pihak mustahiq. b. Menemukan nilai-nilai pembelajaran sosial yang terkandung dalam

pembinaan kesadaran berzakat yang dilakukan Rumah Zakat Indonesia dalam menumbuhkan kepedulian sosial masyarakat.

c. Mempelajari adanya kepedulian sosial masyarakat yang terbentuk dari implikasi positif pembinaan kesadaran berzakat yang dilakukan oleh Rumah Zakat Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:


(22)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya temuan empiris dalam kajian pembinaan nilai zakat, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan pola pembinaan kjesadaran berzakat dalam meningkatkan kepedulian sosial.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi pihak-pihak yang kompeten dengan kajian pembinaan nilai zakat.

Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi lembaga amil zakat dalam merumuskan kebijakan dan program-programnya yang dapat memicu kesadaran umat untuk berzakat.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang ingin mengetahui lebih jauh tentang pengembangan pola pembinaan kesadaran berzakat dalam meningkatkan meningkatkan kepedulian sosial umat.

D. Metode dan Teknik Penelitian

Metode adalah cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan teknik atau alat-alat tertentu. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang sedang berlangsung dengan menganalisis fakta-fakta secara sistematis dan akurat. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat- sifat populasi atau daerah tertentu.


(23)

Dalam pelaksanaan penelitian, penulis menggunakan teknik observasi dalam usaha pencarian data-data di lapangan yang berhubungan dengan penelitian. Di samping itu, digunakan pula teknik interview yang terarah pada suatu masalah tertentu untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penulisan ini secara lisan, serta alat bantu kuesioner yang ditujukan kepada muzakki dan mustahiq.

Adapun pendekatannya adalah kualitatif, yaitu penelitian yang bukan mengutamakan kuantifikasi, menggunakan pendekatan konstruktivis, naturalistik, pendekatan interpretatif, post-positivits atau post-modern perspective dengan penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empirik (Sudjana, 2003: 8).

E. Lokasi Penelitian

Salah satu lembaga zakat yang berupaya untuk menjadi jembatan harmoni antara para muzakki dan mustahik, menyambungkan empati dalam simpul pelayanan kesejahteraan fakir miskin hingga pemberdayaannya adalah Rumah Zakat Indonesia (RZI).

Rumah Zakat Indonesia adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan pada pengelolaan zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf secara profesional dengan menitikberatkan pembinaan dan pemberdayaan sosial melalui program-programnya yang terpadu. Rumah Zakat Indonesia kini telah menjadi salah satu lembaga amil zakat yang berskala nasional, yang hadir di 44 jaringan kantor di 38 kota besar dari Banda Aceh NAD hingga Jayapura, Papua. Dengan


(24)

dukungan teknologi informasi, kini semua kantor (pusat-regional-cabang-kantor kas) telah terkoneksi secara online. Membuat pengelolaan lembaga lebih terintegrasi, transparan dan memberikan pelayanannya secara cepat cepat. Rumah Zakat Indonesia telah memiliki basis masa yang relatif luas, dengan menerapkan manajemen moderen di dalam tata penyelenggaraannya. Lembaga Rumah Zakat Indonesia telah pula melakukan upaya pembinaan masyarakat untuk berzakat, sesuai dengan misinya yaitu membangun kemandirian masyarakat melalui pemberdayaan secara produktif.

Berdasarkan pertimbangan itu, penelitian tentang Pembinaan Kesadaran Berzakat Dalam Meningkatkan Kepedulian Sosial ini dilakukan dengan sifat studi kasus dengan mengambil lokasi di Rumah Zakat Indonesia. Melalui pemilihan lokasi penelitian pada lembaga Rumah Zakat Indonesia ini, diharapkan sasaran penelitian dapat diperoleh dalam bentuk upaya penerapan pola pembinaan kesadaran berzakat dalam meningkatkan kepeduloian sosial masyarakat.

Penelitian tentang Pembinaan Kesadaran Berzakat pada Rumah Zakat Indonesia ini juga dilakukan dengan pertimbangan bahwa Rumah Zakat Indonesia telah mengembangkan sebuah model pembinaan nilai zakat, dengan menitikberatkan pada pembinaan dan pemberdayaan sosial melalui 4 rumpun program yaitu program pendidikan (EduCare), kesehatan (HealthCare), pemberdayaan ekonomi (EcoCare) dan kepemudaan (YouthCare). Dalam pengembangan keempat rumpun programnya Rumah Zakat Indonesia mengembangkan program pendampingan dan pemberdayaan intensif berbasis komunitas yang disebut Integrated Community Development (ICD) baik per


(25)

kecamatan maupun kelurahan. Untuk setiap ICD dikelola oleh satu orang atau lebih Mustahik Relation Officer (MRO) yang tinggal di tengah-tengah masyarakat yang dibinanya sehingga pemantauan dan keberlangsungan program lebih terjaga.

Berdasarkan pertimbangan itulah, peneliti memilih Rumah Zakat Indonesia sebagai objek studi kasus dalam penelitian mengenai sosialisasi nilai zakat sebagai wujud pembinaan kesadaran berzakat dalam upaya meningkatkan kepedulian sosial.


(1)

Indonesia.

Masalah yang menjadi nuqthah al intilaq (titik berangkat) dari penelitian ini adalah asumsi bahwa umat yang aghniya tidak membayar zakat (ke lembaga amil zakat) disebabkan cara-cara pemanfatan zakat yang tidak menyentuh kesadaran mereka untuk berzakat. Dari asumsi itu, muncullah pertanyaan yang menjadi kunci penelitian ini, yaitu pola pembinaan kesadaran berzakat seperti apa yang bisa membuat aghniya terpicu untuk berzakat dengan menitipkan zakatnya pada lembaga amil zakat.

Dari pengamatan terhadap amil zakat yang ada diketahui belum adanya rumusan dalam bentuk pola pembinaan kesadaran berzakat yang menjadi pijakan amil zakat dalam mengimplementasikan pembinaan nilai sebagai upaya penyadaran umat untuk berzakat.

Berangkat dari asumsi dan pertanyaan kunci di atas, maka masalah pokok penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Seperti apa pola pembinaan kesadaran berzakat yang dilakukan lembaga Rumah Zakat Indonesia?

2. Bagaimana nilai-nilai pembelajaran sosial yang terkandung dalam pembinaan kesadaran berzakat yang dilakukan Rumah Zakat Indonesia?

3. Bagaimana wujud kepedulian sosial masyarakat yang terbentuk dari implikasi positif pembinaan kesadaran berzakat yang dilakukan oleh Rumah Zakat Indonesia?


(2)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini bermaksud melahirkan model implementasi pendidikan nilai zakat yang dapat meningkatkan kepedulian sosial masyarakat yang diwujudkan dengan tingginya kesadaran untuk berzakat. Untuk sampai kepada maksud tersebut, pendalaman materi diarahkan kepada tujuan-tujuan penelitian sebagai berikut:

a. Mengetahui pola pembinaan yang dilakukan lembaga Rumah Zakat Indonesia baik yang ditujukan kepada pihak muzakki dan maupun pihak mustahiq. b. Menemukan nilai-nilai pembelajaran sosial yang terkandung dalam

pembinaan kesadaran berzakat yang dilakukan Rumah Zakat Indonesia dalam menumbuhkan kepedulian sosial masyarakat.

c. Mempelajari adanya kepedulian sosial masyarakat yang terbentuk dari implikasi positif pembinaan kesadaran berzakat yang dilakukan oleh Rumah Zakat Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:


(3)

kajian pembinaan nilai zakat, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan pola pembinaan kjesadaran berzakat dalam meningkatkan kepedulian sosial.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi pihak-pihak yang kompeten dengan kajian pembinaan nilai zakat.

Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi lembaga amil zakat dalam merumuskan kebijakan dan program-programnya yang dapat memicu kesadaran umat untuk berzakat.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang ingin mengetahui lebih jauh tentang pengembangan pola pembinaan kesadaran berzakat dalam meningkatkan meningkatkan kepedulian sosial umat.

D. Metode dan Teknik Penelitian

Metode adalah cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan teknik atau alat-alat tertentu. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang sedang berlangsung dengan menganalisis fakta-fakta secara sistematis dan akurat. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat- sifat populasi atau daerah tertentu.


(4)

Dalam pelaksanaan penelitian, penulis menggunakan teknik observasi dalam usaha pencarian data-data di lapangan yang berhubungan dengan penelitian. Di samping itu, digunakan pula teknik interview yang terarah pada suatu masalah tertentu untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penulisan ini secara lisan, serta alat bantu kuesioner yang ditujukan kepada muzakki dan mustahiq.

Adapun pendekatannya adalah kualitatif, yaitu penelitian yang bukan mengutamakan kuantifikasi, menggunakan pendekatan konstruktivis, naturalistik, pendekatan interpretatif, post-positivits atau post-modern perspective dengan penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empirik (Sudjana, 2003: 8).

E. Lokasi Penelitian

Salah satu lembaga zakat yang berupaya untuk menjadi jembatan harmoni antara para muzakki dan mustahik, menyambungkan empati dalam simpul pelayanan kesejahteraan fakir miskin hingga pemberdayaannya adalah Rumah Zakat Indonesia (RZI).

Rumah Zakat Indonesia adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan pada pengelolaan zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf secara profesional dengan menitikberatkan pembinaan dan pemberdayaan sosial melalui program-programnya yang terpadu. Rumah Zakat Indonesia kini telah menjadi salah satu lembaga amil zakat yang berskala nasional, yang hadir di 44 jaringan kantor di 38 kota besar dari Banda Aceh NAD hingga Jayapura, Papua. Dengan


(5)

kas) telah terkoneksi secara online. Membuat pengelolaan lembaga lebih terintegrasi, transparan dan memberikan pelayanannya secara cepat cepat. Rumah Zakat Indonesia telah memiliki basis masa yang relatif luas, dengan menerapkan manajemen moderen di dalam tata penyelenggaraannya. Lembaga Rumah Zakat Indonesia telah pula melakukan upaya pembinaan masyarakat untuk berzakat, sesuai dengan misinya yaitu membangun kemandirian masyarakat melalui pemberdayaan secara produktif.

Berdasarkan pertimbangan itu, penelitian tentang Pembinaan Kesadaran Berzakat Dalam Meningkatkan Kepedulian Sosial ini dilakukan dengan sifat studi kasus dengan mengambil lokasi di Rumah Zakat Indonesia. Melalui pemilihan lokasi penelitian pada lembaga Rumah Zakat Indonesia ini, diharapkan sasaran penelitian dapat diperoleh dalam bentuk upaya penerapan pola pembinaan kesadaran berzakat dalam meningkatkan kepeduloian sosial masyarakat.

Penelitian tentang Pembinaan Kesadaran Berzakat pada Rumah Zakat Indonesia ini juga dilakukan dengan pertimbangan bahwa Rumah Zakat Indonesia telah mengembangkan sebuah model pembinaan nilai zakat, dengan menitikberatkan pada pembinaan dan pemberdayaan sosial melalui 4 rumpun program yaitu program pendidikan (EduCare), kesehatan (HealthCare), pemberdayaan ekonomi (EcoCare) dan kepemudaan (YouthCare). Dalam pengembangan keempat rumpun programnya Rumah Zakat Indonesia mengembangkan program pendampingan dan pemberdayaan intensif berbasis komunitas yang disebut Integrated Community Development (ICD) baik per


(6)

kecamatan maupun kelurahan. Untuk setiap ICD dikelola oleh satu orang atau lebih Mustahik Relation Officer (MRO) yang tinggal di tengah-tengah masyarakat yang dibinanya sehingga pemantauan dan keberlangsungan program lebih terjaga.

Berdasarkan pertimbangan itulah, peneliti memilih Rumah Zakat Indonesia sebagai objek studi kasus dalam penelitian mengenai sosialisasi nilai zakat sebagai wujud pembinaan kesadaran berzakat dalam upaya meningkatkan kepedulian sosial.