d pu 0809515 chapter1
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai tuntutan yang semakin
berat, terutama dalam mempersiapkan sumber daya manusia agar mampu
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek). Perubahan-perubahan tersebut tidak hanya
menyentuh perubahan fisik sebagai akibat implementasi dari kemajuan iptek,
akan tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai dan moral
dalam kehidupan masyarakat.
Djahiri (1999:2) mengemukakan bahwa “besarnya dampak globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang
tidak disertai pembinaan nilai-nilai moral dapat menjurus kepada terjadinya
dehumanisasi”. Pembinaan nilai-nilai moral merupakan esensi dari usaha pendidikan, seperti yang tercantum pada Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional selanjutnya disingkat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Republik
Indonesia menggariskan bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
(2)
2
Sementara itu, fungsi dan tujuan pendidikan nasional seperti yang
termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 berbunyi
seperti berikut:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab” .
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut sangat jelas bahwa
sasaran utamanya adalah pembentukan watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat dalam mencerdaskan dan berkembangnya potensi peserta didik
yang memiliki kualitas prima dalam menghadapi persaingan global dengan
semangat sportifitas, beretika dan berbudi luhur serta bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Konsep yang sempurna dengan menyatukan kehidupan
jasmani dan rohani serta menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan kebebasan
individu. Konsep tersebut perlu menjadi fokus dalam proses pembelajaran yang
dilaksanakan di kelas agar peserta didik memiliki kompetensi yang
diamanatkan oleh Uudang-Undang pendidikan tersesbut.
Berkaitan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas,
UNESCO mengemukakan empat pilar pendidikan, yakni: (1) Learning to
know (belajar untuk mengetahui); (2) Learning to do (belajar untuk
melakukan/berbuat); (3) Learning to be (belajar untuk menjadi), dan (4)
(3)
3
pilar tersebut,aspek learning to live together sejalan dengan nilai-nilai
kebersamaan, fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Istilah “learning to live together” yang dalam penelitian ini disepadankan dengan makna sikap kebersamaan karena tujuan utamanya
adalah membangun sikap saling memahami, menghargai, menghormati dan
toleransi terhadap orang lain, seperti memahami dan menghargai perbedaan
keyakinan, budaya dan nilai-nilai tradisi orang lain. Konsep ini diharapkan
mampu menghindari konflik dan tindakan kekerasan pada umat manusia, dan
selanjutnya dapat menciptakan perdamaian.
Pemahaman yang lebih mendalam tentang pilar ini bahwa perbedaan
(differences) dan keragaman (diversity) lebih sebagai peluang (opportunities)
daripada ancaman (threat). Sebagaimana yang tercantum pada The United
Nations Convention on the Rights of the Child (CRC) dikemukakan:
“Learning to live together is an intercultural and interfaith programme for ethics education, designed to contribute to the realization of the right of the child to full and healthy physical, mental, spiritual, moral and social development, and to education”. (http://www.ethiceducationforchildren.org.)
Nilai-nilai sikap kebersamaan, antara lain: respek (respect), empati
(empathy), keadilan (justice), dan kebaikan hati (kindness). Nilai-nilai sikap
kebersamaan ini semestinya tertanam pada para peserta didik sehingga tercipta
hubungan mesra dan harmonis baik antara warga sekolah maupun warga
sekolah dengan masyarakat serta lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain,
(4)
4
hubungan yang harmonis dengan orang lain, termasuk dengan orang lain yang
berbeda dengan dirinya baik atas dasar etnis, budaya, maupun
agama/keyakinan.
Suatu kenyataan yang sulit dibantah adalah bahwa dalam beberapa
tahun belakangan ini sering terjadi konflik baik atas dasar etnis maupun agama.
Konflik etnis terjadi antara lain di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan
Batam. Sementara konflik yang melibatkan agama terjadi di Poso dan Ambon.
Konflik tersebut terjadi dapat disebabkan minimnya pemahaman,
penghormatan dan toleransi antar kelompok yang berbeda secara keyakinan
dan etnis.
Dari sudut pandang pendidikan umum, banyaknya konflik yang terjadi
di berbagai belahan bumi Indonesia menunjukkan kegagalan pendidikan.
Menurut Tu Wei-Ming (dalam Harison & Huntington, 2000:263) pendidikan
seyogianya menjadi:
“… the civil religion of society. The primary purpose of education is character building. Intent on the cultivation of full person, school should teach the art of accumulating “social capital” through communication. In addition to the acquisition of knowledge and skills, schooling must be congenial to the development of cultural competence and the appreciation of spiritual values”.
Jadi, pendidikan menjadi “roh”nya masyarakat dan tujuan utama pendidikan
adalah membangun manusia berpribadi utuh. Pendidikan dalam kaitan ini harus
(5)
5
kepercayaan, kesediaan dan kemampuan bekerjasama, kemampuan
berkoordinasi, toleransi, kebiasaan berkontribusi pada sesama, dan bersahabat,
melalui proses pembelajaran yang dilakukan guru di sekolah, di samping
menyiapkan peserta didik menguasai pengetahuan dan ketrampilan. Pernyataan
Tu Wei-Ming di atas sekaligus juga mengokohkan arti penting pendidikan
umum sebagai pendidikan yang tujuannya, “menjadikan individu manusia yang manusiawi, bernalar intelektual, emosional, sosial, spiritual seutuhnya
(Sumaatmadja, 2002:115)”, memupuk, menyirami, menyiangi, menumbuh -kembangkan kebajikan-kebajikan intelektual di dalam pribadi seseorang
(Hutchins, 2003:133). Dengan kata lain, dalam perspektif pendidikan umum,
pendidikan semestinya menjadikan manusia yang manusiawi (humanizing),
berdaya (empowering), dan beradab (civilizing).
Tindakan antisipatif terhadap terjadinya konflik ke depan dapat
dilakukan melalui berbagai kegiatan di sekolah. Misalnya kegiatan proses
pembelajaran di kelas dimana guru berperan untuk membina perilaku peserta
didik. Pembinaan yang terus menerus dilaksanakan akan menyadarkan bahwa
sikap kebersamaan adalah perilaku yang sangat penting dalam menuju
kehidupan yang damai dan harmonis.
Sikap kebersamaan mengajarkan kita untuk saling menghargai,
menghormati, bertanggung jawab dan bersikap toleransi. Bangsa Indonesia
(6)
6
membutuhkan sikap saling menghargai, menghormati dan toleransi. Oleh
karenanya, pemahaman bangsa akan sikap kebersamaan tersebut bukan hanya
pada tataran wacana saja melainkan sudah pada tataran pengimplementasian
pada perlakuan sehari-hari. Dengan kata lain, sikap kebersamaan tersebut
sudah nampak pada aspek kehidupan dan perilaku seseorang.
Sifat toleransi pada aspek sikap kebersamaan pada kehidupan sosial
budaya masyarakat Indonesia yang plural perlu dikembangkan dan
ditumbuhkan secara maksimal. Hal ini penting agar masyarakat yang majemuk
ini tidak saling menyerang karena adanya perbedaan budaya dan keyakinan.
Sebagai contoh, kasus tawuran antar pelajar yang disebabkan adanya salah
pengertian yang berkaitan dengan persoalan sederhana, seperti percintaan
antara seorang pelajar pria dan seorang pelajar putri. Sifat cemburu atau karena
ceweknya diganggu oleh pria lain maka sifat cemburu muncul, dan ini dapat
berakibat pertengkaran dan berujung pada perkelahian masal antar pelajar.
Sifat solidaritas yang ditunjukkan kelompok secara berlebihan akan
memunculkan sikap kebersamaan yang destruktif karena pemahaman yang
selalu memenangkan kelompok sendiri meskipun mereka adalah pihak yang
bersalah. Kasus tawuran seperti itu semestinya tidak terjadi apabila para pelajar
tersebut memahami nilai-nilai persahabatan, saling menghargai dan toleransi
terhadap perbedaan pendapat, pandangan dan sosial budaya.
Contoh lain pada kasus yang sering kali terjadi adalah perselisihan
(7)
7
misalnya saling ejek yang berlebihan sehingga membuat salah seorang siswa
marah atau saling ejek ketika pertandingan antar kelas sehingga yang kalah
merasa “terhina” (menurut catatan guru BK di SMAN 2). Sesungguhnya kasus ini tidak sepatutnya terjadi apabila ada sikap toleransi dan permasalahan
tersebut dapat diselesaikan secara masyawarah dan bersahabat. Persoalan
tersebut mungkin sangat sederhana namun itu dapat menjadi cerminan
rendahnya kualitas sikap kebersamaan. Rendahnya kualitas sikap kebersamaan
pada peserta didik dapat disebabkan kurangnya mereka mendapatkan
pencerahan tentang hidup bersama dengan saling menghormati dan menghargai
serta bersikap toleran terhadap sesama.
Dalam kontek yang lebih kecil adalah lingkungan sekolah. Sekolah
merupakan representasi dari kelompok kecil masyarakat karena para peserta
didik adalah manusia yang memiliki perbedaan secara sosial budaya,
agama/keyakinan, etnis dan keinginan. Perbedaan yang ada tersebut dapat
menjadi sumber konflik antar peserta didik apabila tidak dikelola dengan baik.
Dalam hal ini kehadiran sikap toleransi pada masing-masing peserta didik
dapat menjadi solusi untuk menciptakan suasana sekolah yang harmonis dan
damai.
Sikap toleransi, saling menghargai dan saling menghormati sangat
dibutuhkan pada proses pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran yang
menghendaki adanya proses pembelajaran yang kreatif, perdebatan dan
(8)
8
guru di sekolah. Dalam perdebatan dan ide-ide tersebut akan muncul
perbedaan, namun perbedaan tersebut bukan menjadi ancaman bagi proses
pembelajaran melainkan memperkaya dan memperluas wawasan peserta didik
akan suatu konsep dan makna pendidikan tersebut. Dengan demikian, sikap
toleransi, saling menghargai dan menghormati perlu ditumbuhkembangkan
agar para peserta didik memiliki perilaku yang sesuai dengan tujuan
pendidikan dan norma yang berlaku di masyarakat.
Toleransi dalam konteks ini dapat diartikan sebagai sikap, perilaku
atau perbuatan yang menerima, mengakui dan/atau mengenal segala perbedaan
yang eksis dalam berbagai kelompok yang majemuk/plural (Walzer, 1999).
Dengan demikian sikap toleransi haruslah mampu diciptakan dan
diaktualisasikan dalam segala dimensi kehidupan, yaitu dalam kehidupan
berpolitik, sosial, budaya, agama dan ekonomi. Dalam lingkup yang lebih khas,
yaitu sekolah, toleransi perlu disosialisasikan dan ditanamkan serta
diaktualisasikan secara kontinu terhadap peserta didik agar kelak mereka hidup
dalam lingkungan masyarakat akan mampu mengimplementasikannya. Sikap
toleransi harus mengakar atau membumi (down to earth) di lingkungan sekolah
secara khusus.
Secara umum, dunia fana ini terus berkonflik yang mengatasnamakan
perbedaan pandangan, agama/keyakinan dan sosial budaya. Sebagaimana yang
telah dikemukakan pada bagian yang terdahulu bahwa perbedaan tersebut
(9)
9
toleransi. Pertanyaan kita akan mengarah kepada cara untuk mengatasi atau
setidak-tidaknya mengeliminir sikap negatif seseorang. Dalam konteks ini
solusi yang menjadi alternatif penyelesaian sikap negatif tersebut adalah
hadirnya nilai-nilai cinta pada setiap umat manusia. Umat manusia harus
memiliki nilai-nilai cinta, seperti kasih sayang, peduli, persahabatan dan
empati.
Dalam konteks pembelajaran, nilai-nilai kebersamaan belum menjadi
perhatian utama guru ketika berinteraksi dengan peserta didik pada proses
pembelajaran di kelas. Guru lebih memfokuskan pembelajaran pada pokok
bahasan atau materi ajar yang tercantum pada buku teks. Hasil studi
pendahuluan, peneliti menemukan bahwa guru lebih mengutamakan
penyelesaian materi ajar daripada melakukan pengembangan atau inovasi
proses pembelajaran yang membahas nilai-nilai kebersamaan tersebut. Bahkan
guru merasakan jam pelajaran yang tersedia masih kurang untuk
menyelesaikan seluruh pokok bahasan yang semestinya diajarkan kepada
peserta didik.
Pendidikan nilai moral, termasuk di dalamnya nilai-nilai sikap
kebersamaan, di sekolah masih dikotomi karena pendidikan nilai moral masih
dianggap tanggung jawab guru agama dan PKN. Sedangkan pembinaan
perilaku peserta didik merupakan tanggung jawab guru bimbingan dan
konseling (BK). Kondisi seperti ini telah menyebabkan pendidikan nilai moral
(10)
10
persahabatan, peduli dan empati belum nampak sepenuhnya dalam perilaku
peserta didik.
Kenyataan lain yang menyebabkan belum berkembangnya sikap
kebersamaan secara maksimal pada peserta didik di lingkungan sekolah karena
peserta didik masih bersikap individualistis dan kelompok yaitu masih
mementingkan tugas individu dan kelompoknya. Dengan kata lain, seorang
peserta didik lebih fokus pada dirinya dan kelompoknya (temannya) daripada
pesrta didik lainnya. Misalnya, ketika waktu istirahat peserta didik berkumpul
atau makan bersama kelompoknya atau dengan teman sekelas.
Kondisi kehidupan di sekolah yang cukup kondusif dan tenang karena
tidak terjadi tindakan destruktif, seperti perkelahian masal antar siswa,
menyebabkan guru kurang memperhatikan pendidikan nilai. Hubungan yang
harmonis antara peserta didik di sekolah juga menjadi indikator bahwa sikap
kerbersamaan sudah terbina dengan baik. Namun hubungan yang harmonis
tersebut masih terjadi terbatas pada kelompok siswa, seperti teman sekelas,
teman olah raga dan teman belajar. Sebagai akibat model hubungan tersebut,
peristiwa pertengkaran yang menjurus pada perkelahian siswa masih terjadi.
Menurut guru bimbingan dan konseling (BK), peristiwa-peristiwa yang terjadi
antara peserta didik hanya terbatas pada peristiwa kecil saja, misalnya
pertengkaran antar peserta didik karena masalah cewek, saling mengolok,
bergurau dan pertandingan olahraga antar kelas yang kemudian menimbulkan
(11)
11
didik masih bersifat semu dan perlunya diciptakan hubungan harmonis yang
menyeluruh. Dengan demikian, guru harus mensosialisasikan sikap
kebersamaan secara terus menerus.
Demikian pula pada pembelajaran Bahasa Inggris, guru belum secara
maksimal menanamkan nilai-nilai sikap kebersamaan pada peserta didik. Hal
ini disebabkan model pembelajaran yang diterapkan guru belum berbasiskan
nilai-nilai. Guru lebih terfokus pada materi pelajaran (content based) dan
textbook sehingga kurang menyentuh nilai-nilai kebersamaan. Misalnya guru
menggunakan metode ceramah, tanya jawa dan latihan secara individu lebih
dominan sehingga tidak menimbulkan interaksi sosial antar siswa. Di samping
itu guru mengeluhkan waktu tidak cukup untuk mengajarkan seluruh materi
pelajaran berakibat guru kurang kreatif dan inovatif dalam mengembangkan
instruksionalnya. Akibat pemahaman tersebut, pembelajaran dan
pengembangan instruksional yang mengandung nilai-nilai kebersamaan masih
sangat minim.
Krisis nilai-nilai kebersamaan pada peserta didik pada hakekatnya
bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah tetapi juga harus menjadi
tanggung jawab pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Semua pihak
harus berupaya mencari akar permasalahan daripada sifat ketidak harmonisan
tersebut, tidak adanya sifat toleransi, saling menghargai dan menghormati pada
peserta didik. Sebab krisis nilai kebersamaan dapat memunculkan krisis yang
(12)
12
Sesungguhnya nilai-nilai kebersamaan telah menjadi esensi tujuan
pendidikan pada SMA Negeri 2 Pontianak karena visi dan misi sekolah telah
mengemukakannya secara jelas dan konkrit mengenai pembentukan akhlak
yang mulia, disiplin, dan berwawasan teknologi dan informasi yang
berlandaskan iman dan taqwa. Demikian pula, pada setiap kesempatan
berkomunikasi dengan peserta didik, guru selalu mengingatkan para peserta
didik untuk selalu menciptakan kondisi yang rukun, harmonis dan saling
menghargai. Melalui proses berkomunikasi tersebut, kebersamaan antar
peserta didik akan lebih terwujud dalam perilaku atau tindakan mereka.
Suatu kenyataan bahwa sikap kebersamaan yang hadir di lingkungan
sekolah masih belum membumi (down to earth) karena kehidupan di sekolah
belum pada kondisi yang mengkhawatirkan. Peserta didik lebih disibukkan
dengan kegiatan akademiknya sehingga peristiwa yang kontra-produktif atau
melawan aturan sekolah sangat jarang terjadi. Kondisi sekolah yang tenang,
aman dan damai tersebut membuat guru kurang memperhatikan tentang
nilai-nilai hidup bersama. Perhatian guru hanya terfokus pada kehidupan di sekolah
saja kurang tepat karena peserta didik adalah bagian dari masyarakat secara
umum, dan akan hidup dilingkungan masyarakat. Oleh karenanya pembinaan
sikap kebersamaan tersebut harus mengacu terhadap pembinaan perilaku
untuk bekal hidup di masyarakat.
Upaya ke arah pembentukan sikap kebersamaan melalui proses
(13)
13
pembelajaran melalui diskusi kelompok memungkinkan peserta didik untuk
belajar menghargai dan menghormati pendapat orang lain. Demikian pula,
kegiatan seperti study tour, ekstra kurikuler dan keagamaan akan membentuk
sifat toleransi, gotong royong, saling menghormati dan menghargai antar
individu (peserta didik) yang berbeda latar belakang status sosial, suku,
agama dan budaya. Pada konteks sekolah, kegiatan perayaan keagamaan
seringkali dirayakan dengan melibatkan seluruh warga sekolah ke dalam
kepanitiaan. Misalnya kegiatan idulfitri (lebaran) dan natalan di laksanakan di
sekolah yang melibatkan seluruh peserta didik. Peserta didik dilibatkan untuk
menjadi panitia yang bertugas mengurus makanan/snack sementara pemeluk
agama melakukan ibadah atau ritual keagamaan tersebut.
Untuk membangun sikap kebersamaan sebagaimana dikemukakan di
atas, guru perlu menanamkan nilai cinta pada peserta didik. Sifat toleransi,
peduli, belas kasih dan empati merupakan elemen-elemen nilai cinta yang
mampu menciptakan sikap kebersamaan dan sebaliknya elemen-elemen
tersebut harus mampu diwujudkan dalam perilaku seseorang. Dengan kata
lain, sikap kebersamaan harus mencerminkan kehadiran nilai-nilai cinta pada
perilaku seseorang. Menurut Tillman (2004:134) bahwa cinta adalah belas
kasih murni yang memotivasi pelayanan tanpa pamrih demi kebaikan bagi
orang lain, dan selanjutnya dikatakan cinta bukan sekedar perasaan emosi
atau nafsu saja, melainkan sesuatu yang lebih mendalam dan lebih mendasar
(14)
14
Kekuatan cinta dalam menyatukan perasaan dan emosi seseorang
dengan orang lain merupakan bentuk penerimaan seseorang terhadap orang
lain tanpa ada keinginan atau maksud tertentu. Sebagaimana yang
diungkapkan Lewis (2000:52) bahwa “Love is the emotion of strong affection and personal attachment” (cinta adalah emosi dari kasih sayang dan atribut seseorang yang kuat) atau dalam kontek filsafat “Love is a virtue representing all of human kindness, compassion and affection” (cinta adalah kebajikan yang mewakili seluruh kebaikan, belas kasih dan kasih sayang manusia).
Dengan demikian, cinta sebagai emosi dan kebajikan memiliki kekuatan yang
mampu menjadikan seseorang untuk dapat menerima perbedaan yang ada.
Chibber (2006) dan Jumsai (2003) mengemukakan nilai kemanusiaan
(human values) terdiri dari 5 (lima) kelompok, yakni: (1) kebenaran (truth),
(2) cinta (love), (3) perdamaian (peace), (4) perilaku yang benar (right
conduct), dan (5) tanpa kekerasan (non-violence). Komponen-komponen nilai
dari masing-masing kelompok nilai kemanusiaan seperti pada tabel berikut
ini:
Tabel 1.1: Beberapa Indikator Nilai-Nilai Kemanusiaan (Human Valves)
Truth (kebenraran) Love (Cinta kasih)
Peace (kedamaian)
Right Conduct (prilaku yang benar)
Non-Violence (tanpa kekerasan) Accuracy (akurasi) Curiosity (keingintahuan) Fairness (Keadilan) Fearlessness (keberanian) Honesty (kejujuran) Humility (kerendahan hati) Acceptance (Penerimaan) Affection (Kasih sayang) Care (Peduli) Compassion (Belas kasih) Attention (Perhatian) Calm (Ketenangan) Concentration (Konsentrasi) Contentment (Kepuasan) Dignity
Care of self (Peduli diri sendiri) Diet (Diet) Hygiene (Kebersihan) Modesty (Kesederhanaan) Self-reliance Benevolence (Kebajikan) Co-operation (Kerjasama) Forbearance (Kesabaran) Forgiveness (Maaf) Good manners
(15)
15 Integrity (integritas) Justice (keadilan) Optimism (optimis) Confessing (penyerahan diri) Dedication (Dedikasi) Devotion (Pengabdian) Empathy (Empati) Forbearance (Kesabaran) Forgiveness (Maaf) Friendship (Persahabatan) (Kemuliaan) Discipline (Disiplin) Equality (Kesamaan) Gratitude (Kesyukuran) Happiness (Kebahagiaan) Harmony (Harmoni) (Kemandirian) Care of Possessions
(Peduli milik sendiri) Good behavior (Perilaku baik) Politeness Kesopanan Courage ( Keberanian) (Prilaku baik) Loyality (Loyalitas) Morality (Moralitas) Brotherhood (Persaudaraan) Sisterhood (Persaudaraan) Citizenship (Kewarga-negaraan) Source: Sri Sathya Values Education (Chibber,2006, http://jhv.sagepub.com)
Dalam penelitian ini, nilai-nilai cinta yang akan menjadi fokus dan
rujukan pada pembahasan selanjutnya. Butir-butir nilai cinta yang terdapat
pada tabel 1.1 antara lain: acceptance, affection, care, compassion, empathy
dan friendship akan menjadi acuan untuk membentuk sikap kebersamaan.
Menjadi acuan berarti butir-butir tersebut akan dimasukkan atau dijelaskan
oleh guru dalam proses pembelajaran. Misalnya, peserta didik mampu
menunjukkan perilaku yang dapat menerima pendapat yang berbeda
(toleransi), mau membantu orang lain (peduli), berbagi kesenangan (kasih
sayang), dan memahami keresahan orang lain (empati). Perilaku yang
menunjukkan nilai-nilai cinta akan mengarahkan peserta didik untuk
memiliki sifat sikap kebersamaan. Integrasi nilai cinta pada pembelajaran
bahasa Inggris adalah upaya menyisipkan (insert) nilai-nilai cinta pada proses
pembelajaran di kelas. Proses integrasi tersebut membutuhkan kemampuan
guru dalam menyampaikan materi sehingga nilai-nilai cinta tersebut
(16)
16
kemampuan berkomunikasi yang menarik dan santun. Guru sebagai model
dan contoh akan ditiru dan diteladani oleh peserta didik (muridnya).
Pada proses pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran Bahasa
Inggris, nilai cinta harus menjadi unsur yang diintegrasikan agar peserta didik
memiliki pemahaman akan makna yang lebih mendalam. Nilai cinta bukan
hanya sekedar „penghias” dalam proses pembelajaran melainkan menjadi inti
dari pembelajaran itu sendiri. Untuk mencapai pemahaman nilai cinta dalam
proses pembelajaran maka nilai-nilai cinta harus dirancang pada program
pengajaran guru. Dengan kata lain, program pengajaran yang dilakukan oleh
guru harus memuat nilai-nilai cinta dengan mengintegrasikannya pada
komponen pembelajaran, termasuk diintegrasikan pada silabus dan RPP.
Pengintegrasian nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa akan menjadi
fondasi bagi pembentukan sikap kebersamaan pada peserta didik.
B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan umum di atas, peneliti merumuskan
masalah-masalah yang lebih spesifik dengan pertanyaan yang lebih operasional sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah program sekolah dalam mengintegrasikan nilai-nilai cinta
pada pembelajaran bahasa sebagai upaya pembentukan sikap kebersamaan
(17)
17
2. Bagaimanakah proses mengintegrasikan Nilai-nilai Cinta pada
pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap kebersamaan di
SMA Negeri 2 Pontianak?
3. Bagaimanakah Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada
pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan Sikap Kebersamaan di
SMA Negeri 2 Pontianak?
4. Bagaimanakah efektivitas Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai
Cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan Sikap
Kebersamaan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melahirkan
Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta (Love Values) pada
Pembelajaran Bahasa sebagai upaya Pembentukan Sikap Kebersamaan (To
Live Together). Secara spesifik, tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui gambaran program sekolah dalam pembinaan integrasi
Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa;
2) Untuk mengetahui gambaran proses integrasi Nilai-nilai Cinta pada
pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap kebersamaan;
3) Untuk mengetahui pengembangan model integrasi Nilai-nilai Cinta pada
(18)
18
4) Untuk mengetahui efektivitas pengembangan model integrasi nilai-nilai
cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap
kebersamaan.
D. Asumsi Penelitian
Pendidikan nilai telah dilaksanakan pada SMA Negeri 2 Pontianak.
Asumsi tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa sekolah memasang
stiker-stiker yang memuat kata-kata bijak atau pesan-pesan nilai moral pada
tiang-tiang sekolah. Dengan pengembangan model integrasi nilai-nilai cinta dalam
pembelajaran bahasa, sikap kebersamaan dapat ditanamkan ke dalam pribadi
siswa sebagai pendidikan akhlak. Asumsi ini merujuk pada pernyataan
McConnell (1952:12) yaitu “bahwa pendidikan umum menekankan kepada kebiasaan belajar” dan pernyataan Phoenix (1964:276) sebagai berikut: “a major goal of general education in school should be to establish habits of study that will lead one to continue general learning regularly, after completing his formal education”.
Pendidikan umum memiliki potensi untuk mengembangkan nilai-nlai
cinta pada siswa. Pengembangan sikap tersebut dapat dicapai karena
pendidikan umum merupakan pendidikan untuk semua peserta didik dan
mengembangkan seluruh kemampuan individu. Asumsi ini didasarkan pada
(19)
19
“General education represents learning which all pupils must acquire. General education is that aspect of the school program that educate all pupils for the duties of citizenship, the obligation of family life, the maintenance of good health, the enjoyment of beauty, the establishment of good human relationships and the fulfillment of ethical values”.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian dan pengembangan
(Research and Development). Menurut Borg and Gall (1979:781-782) bahwa
“research & development is a powerful strategy for improving practice. It is a process used to develop and validate educational products” (penelitian dan pengembangan adalah suatu strategi yang kuat/ampuh untuk meningkatkan
praktek dan merupakan proses yang digunakan untuk mengembangkan dan
memvalidasi hasil pendidikan). Mengingat karakteristik masalah yang
berkaitan dengan berbagai aspek dan memerlukan pendalaman serta kajian
yang mendalam dan terfokus, maka paradigma yang digunakan adalah
naturalistik dengan pendekatan kualitatif dan multi metode (Dahlan, 2002:8).
Tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan peneliti disesuaikan dengan
rancangan research and development (R & D), yaitu: (1) Tahapan Study
Pendahuluan, (2) Tahapan Study Pengembangan, dan (3) Tahap Study
Evaluasi, dan hasilnya adalah Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada
Pembelajaran Bahasa. Tahapan-tahapan penelitian dengan rancangan R & D
(20)
20 F. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sekolah lanjut atas (SLTA) di lingkungan
Kota Pontianak yang difokuskan pada SMAN 2 Pontianak. Pemilihan lokasi
tersebut didasarkan pada beberapa faktor, yakni (1) SMAN 2 adalah SMA
yang menduduki ranking ke 2 dalam hal prestasi, (2) SMAN 2 telah
ditetapkan sebagai RSBI, (3) guru sebagai sampel sudah memenuhi
persyaratan, yaitu guru yang mengajar sudah mencapai 15 tahun ke atas, (4)
guru sudah ada yang lulus sertifikasi, dan (5) guru laki-laki dan perempuan
(1)
Integrity (integritas) Justice (keadilan) Optimism (optimis) Confessing (penyerahan diri) Dedication (Dedikasi) Devotion (Pengabdian) Empathy (Empati) Forbearance (Kesabaran) Forgiveness (Maaf) Friendship (Persahabatan) (Kemuliaan) Discipline (Disiplin) Equality (Kesamaan) Gratitude (Kesyukuran) Happiness (Kebahagiaan) Harmony (Harmoni) (Kemandirian) Care of Possessions
(Peduli milik sendiri) Good behavior (Perilaku baik) Politeness Kesopanan Courage (Keberanian) (Prilaku baik) Loyality (Loyalitas) Morality (Moralitas) Brotherhood (Persaudaraan) Sisterhood (Persaudaraan) Citizenship (Kewarga-negaraan) Source: Sri Sathya Values Education (Chibber,2006, http://jhv.sagepub.com)
Dalam penelitian ini, nilai-nilai cinta yang akan menjadi fokus dan rujukan pada pembahasan selanjutnya. Butir-butir nilai cinta yang terdapat pada tabel 1.1 antara lain: acceptance, affection, care, compassion, empathy
dan friendship akan menjadi acuan untuk membentuk sikap kebersamaan. Menjadi acuan berarti butir-butir tersebut akan dimasukkan atau dijelaskan oleh guru dalam proses pembelajaran. Misalnya, peserta didik mampu menunjukkan perilaku yang dapat menerima pendapat yang berbeda (toleransi), mau membantu orang lain (peduli), berbagi kesenangan (kasih sayang), dan memahami keresahan orang lain (empati). Perilaku yang menunjukkan nilai-nilai cinta akan mengarahkan peserta didik untuk memiliki sifat sikap kebersamaan. Integrasi nilai cinta pada pembelajaran bahasa Inggris adalah upaya menyisipkan (insert) nilai-nilai cinta pada proses pembelajaran di kelas. Proses integrasi tersebut membutuhkan kemampuan guru dalam menyampaikan materi sehingga nilai-nilai cinta tersebut sungguh-sungguh hadir. Kemampuan guru tersebut, antara lain, menyangkut
(2)
kemampuan berkomunikasi yang menarik dan santun. Guru sebagai model dan contoh akan ditiru dan diteladani oleh peserta didik (muridnya).
Pada proses pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran Bahasa Inggris, nilai cinta harus menjadi unsur yang diintegrasikan agar peserta didik memiliki pemahaman akan makna yang lebih mendalam. Nilai cinta bukan hanya sekedar „penghias” dalam proses pembelajaran melainkan menjadi inti dari pembelajaran itu sendiri. Untuk mencapai pemahaman nilai cinta dalam proses pembelajaran maka nilai-nilai cinta harus dirancang pada program pengajaran guru. Dengan kata lain, program pengajaran yang dilakukan oleh guru harus memuat nilai-nilai cinta dengan mengintegrasikannya pada komponen pembelajaran, termasuk diintegrasikan pada silabus dan RPP. Pengintegrasian nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa akan menjadi fondasi bagi pembentukan sikap kebersamaan pada peserta didik.
B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan umum di atas, peneliti merumuskan masalah-masalah yang lebih spesifik dengan pertanyaan yang lebih operasional sebagai berikut:
1. Bagaimanakah program sekolah dalam mengintegrasikan nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa sebagai upaya pembentukan sikap kebersamaan pada SMAN 2 Pontianak?
(3)
2. Bagaimanakah proses mengintegrasikan Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap kebersamaan di SMA Negeri 2 Pontianak?
3. Bagaimanakah Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan Sikap Kebersamaan di SMA Negeri 2 Pontianak?
4. Bagaimanakah efektivitas Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan Sikap Kebersamaan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melahirkan Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta (Love Values) pada Pembelajaran Bahasa sebagai upaya Pembentukan Sikap Kebersamaan (To Live Together). Secara spesifik, tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui gambaran program sekolah dalam pembinaan integrasi Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa;
2) Untuk mengetahui gambaran proses integrasi Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap kebersamaan; 3) Untuk mengetahui pengembangan model integrasi Nilai-nilai Cinta pada
(4)
4) Untuk mengetahui efektivitas pengembangan model integrasi nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap kebersamaan.
D. Asumsi Penelitian
Pendidikan nilai telah dilaksanakan pada SMA Negeri 2 Pontianak. Asumsi tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa sekolah memasang stiker-stiker yang memuat kata-kata bijak atau pesan-pesan nilai moral pada tiang-tiang sekolah. Dengan pengembangan model integrasi nilai-nilai cinta dalam pembelajaran bahasa, sikap kebersamaan dapat ditanamkan ke dalam pribadi siswa sebagai pendidikan akhlak. Asumsi ini merujuk pada pernyataan McConnell (1952:12) yaitu “bahwa pendidikan umum menekankan kepada kebiasaan belajar” dan pernyataan Phoenix (1964:276) sebagai berikut: “a major goal of general education in school should be to establish habits of study that will lead one to continue general learning regularly, after completing his formal education”.
Pendidikan umum memiliki potensi untuk mengembangkan nilai-nlai cinta pada siswa. Pengembangan sikap tersebut dapat dicapai karena pendidikan umum merupakan pendidikan untuk semua peserta didik dan mengembangkan seluruh kemampuan individu. Asumsi ini didasarkan pada pernyataan Saylor (1963:229) sebagai berikut:
(5)
“General education represents learning which all pupils must acquire. General education is that aspect of the school program that educate all pupils for the duties of citizenship, the obligation of family life, the maintenance of good health, the enjoyment of beauty, the establishment of good human relationships and the fulfillment of ethical values”.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian dan pengembangan
(Research and Development). Menurut Borg and Gall (1979:781-782) bahwa
“research & development is a powerful strategy for improving practice. It is a process used to develop and validate educational products” (penelitian dan
pengembangan adalah suatu strategi yang kuat/ampuh untuk meningkatkan praktek dan merupakan proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi hasil pendidikan). Mengingat karakteristik masalah yang berkaitan dengan berbagai aspek dan memerlukan pendalaman serta kajian yang mendalam dan terfokus, maka paradigma yang digunakan adalah naturalistik dengan pendekatan kualitatif dan multi metode (Dahlan, 2002:8).
Tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan peneliti disesuaikan dengan rancangan research and development (R & D), yaitu: (1) Tahapan Study Pendahuluan, (2) Tahapan Study Pengembangan, dan (3) Tahap Study Evaluasi, dan hasilnya adalah Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada Pembelajaran Bahasa. Tahapan-tahapan penelitian dengan rancangan R & D dijelaskan lebih mendetil pada bab III pada penelitian ini.
(6)
F. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sekolah lanjut atas (SLTA) di lingkungan Kota Pontianak yang difokuskan pada SMAN 2 Pontianak. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada beberapa faktor, yakni (1) SMAN 2 adalah SMA yang menduduki ranking ke 2 dalam hal prestasi, (2) SMAN 2 telah ditetapkan sebagai RSBI, (3) guru sebagai sampel sudah memenuhi persyaratan, yaitu guru yang mengajar sudah mencapai 15 tahun ke atas, (4) guru sudah ada yang lulus sertifikasi, dan (5) guru laki-laki dan perempuan tersedia (Hasil Studi Pendahuluan, 10 Februari 2010).