LAPAN

Wpm.4/O p.1 | Ja o u a si - N a seu 20 1 5

ISSN 2303-2707

Diterbitkan oleh
Pusat Sains Antariksa (Pussainsa)
LAPAN
Pelindung
Kepala LAPAN
Deputi Bidang Sains, Pengkajian
dan Informasi Kedirgantaraan
Penanggung Jawab
Kepala Pusat Sains Antariksa
Redaktur
Anwar Santoso, M.Si.
Editor
Fitri Nuraeni, M.Si.
Drs. Jiyo, M.Si

3 Perbandingan Interaksi
Matahari - Bumi dengan

Interaksi Matahari dengan
Planet lain

daftar isi
Cuaca Antariksa

17 Aktivitas Matahari
7 Penentuan Profil Kerapatan
Elektron Ionosfer menggunakan 18 Aktivitas Geomagnet
Teknik Okultasi GPS
20 Koneksitas Jaringan ALELapan dan Indeks T
9 Sistem Pengamatan Geomagnet
Regional
di Balai Produksi dan Pengujian
Roket (BPPR) Pameungpeuk
22 Review Cuaca Antariksa
12 Informasi Ionosfer dari Jaringan 24 Profil LPD Sumedang
International GNSS Service (Bagian26 Warta Lapan
5)
27 Kalender Astronomi : Jan. 13 Sistem Informasi Siaga Cuaca

Maret 2015
Antariksa
28 Teka Teki Silang Berhadiah
15 Manajemen Data Sains
Antariksa
ISSN 2303-2707

Kontributor
Drs. A. Gunawan Admiranto
Dr. Buldan Muslim
R. Kesumaningrum, M.Si
Rizal Suryana
Visca Wellyanita
Sri Ekawati

Siti Maryam
Santi Sulistiani, S.Si.
Setyanto Cahyo P.
Cucu Eman H.
Annis Siradj Mardiani,A.Md

Varuliantor Dear, S.T.
Irvan Fajar Syidik, S.T.
Neneng Destiani
Penata Letak
Endah Oktaviani, S.Ds.
Sekretariat
Jaja Sudrajat
Sudirman Sujana
Alamat
Jl. Dr. Djundjunan No.133
Bandung 40173
Telepon: (022) 6012 602 / 6038 005
Fax: (022) 6014 998 / 6038 005
HP: 0813 2121 0002

Untuk pemesanan Buletin
Cuaca Antariksa
Kirim faks permohonan
langganan Buletin Cuaca
Antariksa ke :


(022) 6038 005

Buletin Cuaca Antariksa (BCA) Vol.
4 No. 1 edisi Januari-Maret 2015 ini telah
hadir di hadapan Anda. Dalam
kesempatan ini, Redaksi mengucapkan
“Selamat Natal 2014” dan “Selamat
Menyongsong Tahun Baru 2015”. Dalam
rangka menyongsong tahun baru, kami
hadir dengan semangat baru dalam
memberikan berbagai informasi cuaca
antariksa dan dampaknya di lingkungan
bumi kepada para pembaca yang
budiman.
Dampak dan pengaruh cuaca
antariksa terhadap aktivitas kehidupan di
Bumi, masih menjadi pembahasan
menarik dalam edisi Buletin Cuaca
Antariksa kali ini. Dengan semburan

energi dan partikel-partikelnya, matahari
mampu menciptakan kondisi yang tidak
menentu dan berdampak buruk bagi
teknologi modern. Pada edisi ini
dipaparkan review kondisi cuaca
antariksa 3 bulan yang sudah berlalu dan
estimasi 3 bulan yang akan datang.
Pusat Sains Antariksa, yang memiliki
kompetensi dan tugas di bidang sains
antariksa tentu harus menjawab
tantangan untuk melakukan mitigasi
terhadap dampak cuaca antariksa yang
merugikan. Penelitian dan
pengembangan dilakukan di bidang
matahari, lingkungan antariksa,
geomagnet dan magnet antariksa, serta
ionosfer dan telekomunikasi, dengan
didukung oleh bidang teknologi
pengamatan yang terintegrasi dalam
program cuaca antariksa. Pemantauan


cuaca antariksa dilakukan oleh Pusat Sains
Antariksa LAPAN sejak tahun 2009.
Pemantauan dilakukan secara terus
menerus dan terintegrasi untuk
menghasilkan informasi cuaca antariksa
dalam suatu sistem yang diberi nama
Sistem Pemantauan dan Informasi Cuaca
Antariksa (SPICA) yang telah
diluncurkan pada tanggal 27 Januari 2014
dan diresmikan oleh Kepala LAPAN.
Beberapa artikel lain seperti
Perbandingan Interaksi Matahari-Bumi
Dengan Matahari-Planet Lain, Penentuan
Profil Kerapatan Elektron Ionosfer
Menggunakan Teknik Okultasi GPS,
Informasi Ionosfer Dari Jaringan
International Gnss Service, Sistem
Pengamatan Geomagnet di Balai
Produksi dan Pengujian Roket

Pameungpeuk, Manajemen Data Sains
Antariksa, Aktivitas Cuaca Antariksa dan
Sistem Informasi Siaga Cuaca Antariksa.
Beberapa agenda fenomena antariksa
dapat dilihat pada Kalender Astronomi
serta beberapa kejadian yang berasal dari
langit dapat dilihat pada Galeri Antariksa.
Semua informasi tersebut dikemas
dengan gaya bahasa ilmiah populer
sehingga Pembaca bisa mudah memahami
fenomena cuaca antariksa dan
dampaknya. Akhir kata, selamat
membaca semoga mendapat pencerahan
dan pengayaan pengetahuan.
Salam
Bandung, Desember 2014
Redaksi

Perbandingan
Interaksi Matahari-Bumi dengan

Interaksi Matahari dengan Planet Lain
Oleh :

A. Gunawan Admiranto
Bidang Matahari dan Antariksa

Sebagai pusat tata surya, matahari
memberikan pengaruh yang cukup
besar bagi seluruh anggota tata
surya. Pancaran partikel dan radiasi
yang datang dari matahari
menghasilkan dampak berbedabeda bagi setiap planet anggota tata
surya ini, tergantung pada kondisi
sik planet dan atmosfernya,
terutama medan magnetnya.
Artikel ini mencoba meninjau
dampak pancaran radiasi partikel
dan gelombang elektromagnetik
yang datang dari matahari terhadap
planet-planet anggota tata surya dan

akan dibandingkan dengan yang
terjadi di bumi. Di sini akan
ditunjukkan bagaimana radiasi
matahari itu memberikan dampak
yang bermacam-macam pada
masing-masing planet, dan hal ini
akan dilihat dalam kaitannya dengan
yang berlangsung di bumi dalam
rangka
Angin surya
Secara terus-menerus matahari
melemparkan materinya dalam
bentuk partikel-partikel bermuatan
ke ruang angkasa dan aliran ini
diberi nama angin surya. Setiap
detiknya matahari kehilangan massa
satu juta ton yang dibawa oleh angin

surya ini. Kecepatan angin surya
tidak selalu tetap, saat matahari aktif

kecepatan akan lebih tinggi
dibandingkan dengan saat matahari
tidak aktif, dan kecepatannya saat
mencapai daerah di dekat bumi
adalah sekitar 400 km/detik.
Ekor komet menjadi bukti dari
adanya pancaran angin surya yang
datang dari matahari. Terlihat bahwa
komet ini memiliki ekor seperti
layang-layang yang tertiup angin,
dan memiliki dua ekor, yaitu ekor
debu yang berwarna putih dan ekor
ion yang berwarna biru seperti pada
gambar 1. Ekor debu muncul karena
tumbukan komet dengan partikelpartikel di ruang antar planet,
sedangkan ekor ion muncul karena
tumbukan komet dengan partikelpartikel angin surya. Bila jauh dari
matahari ekor komet akan pendek
sekali, atau tidak ada, sedangkan saat
berada di dekat matahari ekornya

menjadi sangat panjang.
Angin surya itu sendiri
merupakan pancaran partikelpartikel energi tinggi yang terdiri
atas proton, netron, dan elektron
dan bergerak dengan kecepatan 300800 km/detik. Tekanan termal yang
tinggi di korona matahari mengatasi

gaya gravitasi dan mengakibatkan
pengembangan korona. Kemudian
karena ada perbedaan tekanan yang
sangat tinggi antara tekanan angin
surya dan tekanan di daerah ruang
antar bintang (mencapai 10 orde
magnitudo) terjadilah angin surya
ini.
Angin surya terbagi menjadi dua
komponen, yaitu komponen lambat
dan komponen cepat. Angin surya
lambat memiliki kecepatan sekitar
400 km/detik dengan temperatur
sekitar 1,4-1,6x106 K dan
komposisi yang mirip dengan
komposisi korona matahari. Angin
surya cepat memiliki kecepatan
sekitar 750 km/detik dengan
komposisi yang mirip dengan

Gambar 1 : Dua ekor komet yang
muncul ketika komet bergerak
mendekati matahari. Yang berwarna
biru adalah ekor ion akibat hembusan
angin surya, dan yang berwarna putih
adalah ekor debu akibat tumbukan
komet dengan partikel-partikel yang
terdapat di ruang antar planet.
(Sumber Gambar : http://bdaugherty.
tripod.com/ gcseAstronomy/comets.html)

Buletin Cuaca Antariksa
Januari - Maret 2015

3

komposisi fotosfer matahari. Angin
surya lambat memiliki kerapatan
yang lebih besar daripada angin
surya cepat dan variasi kerapatannya
lebih besar.
Angin surya lambat berasal dari
daerah yang terletak di daerah
ekuator matahari yang dikenal
dengan nama streamer belt.
Sedangkan angin surya cepat datang
dari daerah-daerah lubang korona
yang merupakan daerah dengan
garis-garis gaya medan magnet
terbuka yang kemudian bisa
menghasilkan streamer. Karena
kecepatannya cukup tinggi maka
angin surya ini kemudian bisa
bergerak cukup jauh di ruang antar
planet dan bisa mencapai bumi.
Angin surya ini terbawa oleh
garis-garis gaya medan magnet
matahari yang menjulur ke luar, dan
karena matahari ini berputar maka
aliran angin surya ini akan berputar
juga sehingga pola pancaran angin
surya akan mirip dengan alat
penyiram halaman rumput yang
berputar. Selain itu, karena sumbu
medan magnet matahari tidak
berimpit dengan sumbu rotasinya,
maka pancaran angin surya ini tidak
berada pada satu bidang dan
menghasilkan sebuah efek yang

disebut efek rok balerina seperti yang
disajikan pada gambar 2, dan
akibatnya kadang-kadang orbit
bumi berada di bawah dan kadangkadang di atas pancaran angin surya
ini.
Seperti sudah diuraikan di atas,
secara terus menerus matahari
memancarkan partikel-partikel ke
angkasa luar dalam bentuk angin
surya, seperti yang disajikan pada
gambar 3. Angin surya yang sampai
ke bumi berinteraksi dengan medan
magnet bumi sehingga medan ini
berbentuk seperti komet dan disebut
magnetosfer. Bentuk seperti komet
ini terjadi karena hembusan angin
surya pada bagian yang menghadap
matahari (bagian siang)
memampatkan magnetosfer
sehingga magnetosfer ini hanya ada
sampai pada jarak 10 jari-jari bumi
(63.700 km). Sebaliknya pada
bagian yang membelakangi
matahari (bagian malam) magnetosfer ini meluas sampai pada jarak
1000 jari-jari bumi (6.370.000 km).
Magnetosfer bumi merupakan
perisai bumi terhadap pancaran
partikel-partikel dari matahari yang
bisa membahayakan kehidupan
makhluk di bumi. Partikel-partikel
yang datang ke arah bumi ditangkap

oleh magnetosfer bumi dan
terkungkung dalam medan ini.
Daerah tempat terkungkungnya
partikel-partikel oleh medan
magnet bumi dinamakan sabuk
radiasi van Allen, mengikuti nama
seorang peneliti dari Amerika
Serikat yang banyak melakukan
penelitian tentang magnetosfer
bumi.
Bila di matahari terjadi peristiwa
pelontaran massa korona, berarti
berlangsunglah peningkatan
pancaran partikel-partikel energi
tinggi dari angkasa matahari yang
dipancarkan dalam bentuk angin
surya. Bila partikel-partikel ini
sampai di bumi akan berinteraksi
dengan magnetosfer bumi dan
menimbulkan peristiwa badai
medan magnet bumi dan aurora.
Skema magnetosfer bumi dapat
dilihat pada gambar 4.
Aurora adalah lengkungan
lembaran cahaya berwarna-warni
yang selalu bergerak-gerak di langit,
seperti yang disajikan pada gambar
5. Peristiwa ini sudah lama diamati
manusia, dan sudah banyak juga
orang yang berusaha menjelaskan
apa sebenarnya aurora ini.
Aristoteles pada abad ke empat
sebelum Masehi menyebut aurora

Gambar 2 : Efek rok balerina pada
pancaran angin surya. Pada satu ketika
orbit bumi bisa berada di bawah aliran
angin surya, tetapi pada kesempatan
lain berada di atas pancaran angin surya
ini. (Sumber : http://en.wikipedia.org/
wiki/Solar_wind)

Gambar 3 : Gambaran skematis
interaksi radiasi dan pancaran partikel
dari matahari dengan medan magnet
bumi

Gambar 4 : Skema magnetosfer bumi

4

Buletin Cuaca Antariksa
Januari - Maret 2015

sebagai "chasmata", atau letusan
yang terjadi di langit. Seorang ahli
matematika sekaligus juga astronom
dari Prancis yang bernama P.
Gassendi pada awal abad 17
menyebutnya aurora borealis atau
cahaya utara karena ia mengira
bahwa peristiwa ini hanya terjadi di
belahan bumi utara saja. Ternyata
aurora tidak hanya terdapat di utara
saja, sebab seorang penjelajah bangsa
Inggris bernama James Cook
mengamati peristiwa ini yang
berlangsung di belahan langit
selatan. Ia lalu menamakannya
aurora australis atau cahaya selatan.
Sekarang sudah diketahui bahwa
aurora adalah peristiwa yang terjadi
di atmosfer bumi, yang terjadi pada
ketinggian antara 100 sampai 1000
km dari permukaan bumi. Tetapi
mengapa aurora tidak pernah
diamati di daerah ekuator?
Suatu partikel bermuatan yang
bergerak dalam medan magnet akan
sulit sekali untuk bisa menembus
garis-garis gaya medan magnet itu.
Partikel ini hanya bisa bergerak
searah garis gaya medan magnet
yang bersangkutan. Garis-garis gaya
medan magnet bumi berawal di
kutub-kutub bumi sehingga
partikel-partikel bermuatan yang
jatuh di daerah kutub akan bergerak
searah garis gaya medan. Akibatnya

partikel-partikel ini akan mudah
masuk ke dalam atmosfer bumi.
Me s k i p u n d e m i k i a n , y a n g
menghasilkan aurora dan badai
medan magnet bumi bukanlah
partikel-partikel dari peristiwa
pelontaran massa korona itu sendiri,
melainkan dari arus listrik yang
dihasilkan oleh partikel-partikel itu
saat memasuki magnetosfer bumi.
Dalam hal ini, para ahli
mendapatkan bahwa peristiwa badai
medan magnet bumi dan aurora
akan terjadi jika arah medan magnet
yang dibawa oleh pelontaran massa
korona ini adalah ke selatan. Medan
magnet yang terbawa oleh
pelontaran massa korona
menyambung dengan medan
magnet bumi yang menghadap
matahari (bagian siang) dan melalui
garis-garis gaya medan magnet inilah
energi magnet dihantarkan ke dalam
magnetosfer.
Sebagian dari partikel-partikel ini
mengikuti arah medan magnet dan
sebagian lagi masuk ke lapisan
i o n o s f e r. A t o m - a t o m d a n
molekul-molekul nitrogen dan
oksigen yang banyak terdapat di
atmosfer mengalami ionisasi. Di sini
molekul-molekul udara terbakar
dan dipancarkanlah cahaya dengan
warna-warna tertentu sesuai dengan
jenis atom/molekul yang mengalami

ionisasi. Dalam arah barat timur
panjang aurora bisa mencapai ribuan
kilometer, tetapi dalam arah utara
selatan tebalnya tidak sampai satu
kilometer sehingga memberikan
penampakan seperti tirai. Bentuk
aurora yang tidak selalu tetap
(seperti tirai yang bergerak-gerak)
bukan disebabkan oleh aliran
atmosfer, tetapi akibat adanya
perubahan medan magnet pada
daerah tempat aurora terbentuk. Hal
ini persis seperti pada tabung sinar
katoda di pesawat televisi.
Perubahan medan magnet yang
dialami elektron setelah elektron
ditembakkan memberikan gambar
yang terus bergerak waktu kita lihat
di layar kaca. Dalam hal aurora, layar
kacanya adalah udara, dan
elektron-elektronnya adalah partikel
yang masuk menembus udara.
Peristiwa interaksi antara
partikel-partikel yang datang dari
matahari dengan planet-planet
anggota tata surya tidak terbatas
pada bumi saja. Planet-planet lain
seperti Merkurius, Venus, Mars,
Jupiter, Saturnus, Uranus, dan
Neptunus juga mengalami interaksi
semacam ini secara berbeda dengan
yang dialami bumi, tergantung pada
kondisi sik dan proses-proses yang
berlangsung di permukaan dan
atmosfer planet tersebut.

Gambar 5 : Aurora yang muncul setelah terjadinya flare Hari Bastille pada tanggal 14 Juli 2000
Buletin Cuaca Antariksa
Januari - Maret 2015

5

1. Merkurius
Planet ini adalah planet yang
terdekat jaraknya dari matahari.
Oleh sebab itu, proses yang diminan
yang berlangsung di atmosfernya
adalah angin surya. Selain itu,
kedekatannya dengan matahari
membuat magnetosfer Merkurius
sangat didominasi medan magnet
matahari, meskipun bagian inti
Merkurius yang berupa logam
berukuran cukup besar relatif
terhadap ukuran planet tersebut
secara keseluruhan.
Pengukuran kuat medan magnet
Merkurius yang dilakukan oleh
wahana ruang angkasa Mariner 10
menunjukkan bahwa kuat medan
magnet Merkurius ini hanya 1,1%
kuat medan magnet Bumi. Ini
karena inti Merkurius sudah
memadat dan dingin sehingga tidak
planet ini tidak bisa lagi
membangkitkan medan magnet
yang cukup kuat. Selain itu, hal lain
yang cukup berperan adalah bahwa
Merkurius memiliki laju rotasi yang
lambat yang membuatnya semakin
tidak bisa membangkitkan medan
magnet yang kuat, sekuat bumi.

6

Buletin Cuaca Antariksa
Januari - Maret 2015

2. Venus
Planet ini adalah planet yang agak
unik karena diselubungi awan yang
sangat tebal sehingga permukaannya
tidak bisa diamati menggunakan
teleskop. Venus tidak memiliki
medan magnet yang dibangkitkan
oleh oleh intinya yang disebabkan
oleh rotasinya yang lembat (satu hari
Venus sama dengan 243 hari bumi)
dan tiadanya konveksi di daerah
selubung Venus. Oleh sebab itu,
medan magnet yang ada di planet ini
merupakan medan magnet yang
muncul akibat induksi antara medan
magnet ruang antar planet yang
dibawa oleh angin surya dengan ionion yang terdapat atmosfer atas
Venus ini. Akibatnya magnetosfer
yang ditimbulkannya tidak sebesar
dan semeluas magnetosfer bumi.

3. Mars
Mars adalah sebuah planet yang
kecil dan kering. Selain itu, di Mars
atmosfernya sangat tipis sehingga
tidak ada efek rumah kaca yang bisa
menghangatkan permukaan planet
ini. Mars juga tidak memiliki
vulkanisme seperti yang berlangsung
di bumi sekarang ini.
Mars yang seperti sekarang ini
disebabkan oleh ukurannya yang
kecil yang membuat proses
pemadatan dan pendinginannya
menjadi lebih cepat sehingga bagian
inti yang tersusun dari besi dan nikel
tidak bisa berada dalam keadaan cair
yang memungkinkannya menjadi
penghantar listrik. Oleh sebab itu,
planet ini tidak lagi memiliki medan
magnet, dan menurut para ahli
medan magnet Mars sudah lenyap 4
miliar tahun yang lalu.
Tiadanya medan magnet Mars
membuatnya angin surya yang
datang dari matahari berinteraksi
dengan ionosfer Mars dan
membentuk magnetosfer dengan
cara seperti yang berlangsung di
Venus. Hal ini mengakibatkan
magnetosfer Mars menjadi sangat
kecil bisa dibandingkan dengan
Bumi. 
Sumber Gambar :
http://www.mieliestronk.com/
http://www.solarviews.com/
http://www.citypress.co.za/

Penentuan Profil
Kerapatan Elektron Ionosfer
Menggunakan Teknik Okultasi Gps
Oleh :

Buldan Muslim

Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
http://www.custodiandc.com/

Indonesia yang sebagian besar
berupa lautan membutuhkan teknik
pengukuran pro l kerapatan
elektron di atas Indonesia untuk
melengkapi ionosonda yang tidak
dapat menjangkau seluruh wiayah
Indonesia. Salah satu metode
penentua pro l kerapatan elektron
adalah menggunakan teknik
okultasi GPS.
Ok u l t a s i a d a l a h p e r i s t i w a
tertutupnya benda langit oleh benda
lain yang terletak antara pengamatan
dan benda langit tersebut. Salah satu
contoh peristiwa okultasi adalah
ketika terjadi gerhana matahari.
Matahari tertutup sementara oleh
adanya bulan yang terletak di antara
bumi dan matahari. Okultasi pada
peristiwa gerhana matahari adalah
tertutupnya cahaya dalam panjang
gelombang tampak yang dapat
dilihat oleh mata manusia. Okultasi
saat gerhana matahari akan berakhir
jika posisi bulan sudah tidak segaris
dengan matahari dan bumi.
Istilah okultasi saat ini sudah
meluas sampai pada okultasi radio
dari sinyal satelit. Okultasi radio
terjadi pada gelombang radio yang
dipancarkan dari satelit pada saat
lintasannya melalui ionosfer dan
atmosfer. Adanya atmosfer dan
ionosfer yang terletak antara satelit

dan penerima sinyal akan
menghalangi sinyal radio yang
diterima di receiver yang terletak
dalam satu garis lurus antara satelit
dan penerima sinyal radio. Sinyal
radio justru akan diterima di lokasi
yang tidak segaris dengan arah
propagasi sinyal satelit karena
adanya pembiasan sinyal radio oleh
ionosfer.
Jika okultasi benda angkasa
tergantung pada ukuran benda
langit, maka pada okultasi sinyal
radio oleh atmosfer dan ionosfer
tergantung pada karakteristik
atmosfer dan ionosfer. Oleh karena

itu, teknik okultasi berkembang
menjadi teknik penginderaan jauh
karena dengan diketahuinya efek
propagasi sinyal radio ketika melalui
atmosfer dan ionosfer, maka
kerapatan lapisan-lapisan tersebut
dapat diestimasi
Efek atmosfer pada okultasi
sinyal satelit Global Positioning
System (GPS) tergantung pada
kerapatan, temperatur, tekanan, dan
kelembaban atmosfer. Efek ionosfer
pada okultasi sinyal satelit GPS
tergantung pada kerapatan ionosfer
dan frekuensi yang digunakan.

Gambar 1 : Pengamatan ionosfer dengan teknik okultasi GPS
(http://www.ips.gov.au/IPSHosted/STSP/meetings/aip/lizabeth/image1.jpg)

Buletin Cuaca Antariksa
Januari - Maret 2015

7

Salah satu data GPS yang dapat
digunakan untuk penentuan
kerapatan elektron ionosfer
menggunakan teknik okultasi
adalah data GPS yang diterima di
satelit orbit rendah (satelit LEO)
yang terletak sekitar 600 800 km
dari bumi kita. Elizabeth Essex dari
Latrobe University menjelaskan
bahwa teknik okultasi GPS dengan
satelit orbit rendah FEDSAT1
dapat digunakan untuk mengamati
lapisan-lapisan ionosfer bagian
bawah (bottomside ionosphere) dan
ionosfer bagian atas (topside
ionosphere) serta plasmaphere, seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.
Ketika melewati ionosfer, sinyal
GPS mengalami perubahan
kecepatan, dan pembelokan arah
s i n y a l . Pe r u b a h a n k e c e p a t a n
propagasi sinyal GPS terjadi dalam
bentuk percepatan untuk kecepatan
fase gelombang pembawa dan
perlambatan untuk kecepatan grup
gelombang yang dibawa oleh sinyal
GPS.
Perubahan kecepatan sinyal GPS
ketika melalui ionosfer tergantung
pada frekuensi yang digunakan
sehingga memungkinkan untuk
mendapatkan jumlah total elektron
yang dilalui oleh sinyal GPS dari
satelit sampai receiver yang biasa
disingkat dengan Slant Total Electron
Content (STEC).
Fernandez menerangkan dalam
disertasi Doktornya yang berjudul
Contributions to the 3D ionospheric
sounding with GPS data pada tahun
2004 bahwa penentuan kerapatan
elektron ionosfer dapat dilakukan
berdasarkan 2 tipe data. Pertama,
pembelokan arah propagasi yang
diukur dari sudut bending dan yang
kedua dari data STEC. Untuk cara

8

Buletin Cuaca Antariksa
Januari - Maret 2015

kedua diasumsikan bahwa sudut
bending di ionosfer relatif kecil
sehingga bisa diabaikan. Dengan
cara ini lintasan sinyal dari satelit
GPS ke penerima di satelit orbit
rendah dapat dianggap lurus
sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 2.
Dari data STEC yang
ditentukan dari data GPS yang
diterima di satelit LEO, data posisi
satelit LEO yang dihitung dari data
GPS di satelit LEO, dan data satelit
GPS yang dihitung dari data
navigasi GPS maka dapat
ditentukan kerapatan elektron pada
ketinggian p dari pusat bumi
menggunakan teknik inversi Abel.
Krankowski seorang peneliti dari
Polandia dalam makalahnya yang
berjudul Ionospheric electron density
o b s e r v e d b y F O R M O S A T3/COSMIC over the European region
and validated by ionosonda data yang
terbit di Journal of Geodesy edisi

Mei 2011 telah membandingkan
hasil estimasi kerapatan elektron dari
teknik okultasi dengan hasil
pengamatan ionosonda di tiga
stasiun seperti ditunjukkan pada
Gambar 3 di bawah ini.
Krankowski juga menyimpulkan
bahwa validasi keandalan dari
pengamatan ionosfer dengan
okultasi GPS menggunaan satelit
Constellation Observing System for
Meteorology, Ionosphere and Climate
(COSMIC) adalah pekerjaan berat
yang membutuhkan analisis dan
statistik generalisasi dari sejumlah
besar data. Namun dari validasi
dengan sejumlah ionosonda terlihat
bahwa teknik ini sudah tampak
sangat menjanjikan untuk
menyediakan pro l yang akurat dari
kerapatan elektron ionosfer dengan
resolusi vertikal tinggi pada skala
global.

Gambar 2 : Geometri lintasan sinyal GPS dengan mengabaikan sudut bending
(Fernandez, 2004)

Gambar 3 : Perbandingan profil kerapatan elektron yang diestimasi dengan teknik
okultasi GPS dengan pengamatan ionosonda.

Dari pro l kerapatan elektron,
parameter kerapatan maksimum
lapisan F2 (NmF2) dapat
diturunkan, sehingga parameter
frekuensi kritis lapisan F2 (foF2)
dapat diperoleh. Berdasarkan hasil
penelitian oleh Xinan Yue dari
University Corporation for
Atmospheric Research, di Boulder,
yang telah diterbitkan di
Proceedings of the 16th International
Technical Meeting of the ION
Satellite Division pada tahun 2013,
diketahui bahwa akurasi estimasi
NmF2 rata-rata sekitar 15 %
untuk daerah lintang rendah dan
tengah serta tinggi. Validasi foF2
dari teknik okultasi GPS di satelit
COSMIC dengan pengamatan
ionosonda menunjukkan bahwa
korelasi antara kedua pengamatan
sekitar 0,9 dan kesalahannya
sekitar 0,6 MHz.
Berdasarkan hasil-hasil
penelitian tersebut kita ketahui
bahwa untuk wilayah Indonesia
teknik okultasi GPS tidak hanya
sangat menjanjikan tetapi lebih
dari itu akan menghasilkan
pengamatan ionosfer dengan
resolusi spasial yang tinggi yang
tidak mungkin diperoleh hanya
dengan beberapa ionosonda. Selain
itu, data foF2 COSMIC yang
diturunkan berdasarkan teknik
okultasi GPS dapat digunakan
untuk validasi model foF2 yang
telah dikembangkan Lapan seperti
model sederhana ionosfer lintang
rendah Indonesia (MSILRI) dan
model ionosfer lainnya. 

SISTEM
PENGAMATAN GEOMAGNET
DI PAMEUNGPEUK
Oleh :

Cucu Eman Haryanto dan Setyanto C. Pranoto
Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa

Pe m a n t a u a n t e r h a d a p
aktivitas geomagnet di Lapan
dilakukan dalam rangka
penelitian cuaca antariksa.
Untuk mendukung penelitian
tersebut maka dioperasikan
magnetometer di beberapa
tempat di Indonesia, salah satu
diantaranya di Balai Produksi
dan Pengujian Roket (BPPR)
Pameungpeuk. Pengamatan
aktivitas geomagnet di BPPR
Pameungpeuk telah dilakukan
sejak Januari 2013 hingga saat
ini dengan lokasi pengamatan
berada di koordinat Lat : S
07 38,968 dan Long: E
107 41,591. Adapun
instrumen yang digunakan di
stasiun ini adalah
magnetometer MAGSON.
Magnetometer ini melakukan
perekaman tiga komponen
medan magnet bumi yaitu:
komponen H (arah utaraselatan), komponen D (arah
timur-barat), dan komponen
Z (arah vertikal) dengan
sampling 1-256 data tiap detik.
Selain untuk mengetahui
variabilitas medan magnet
permukaan pengukuran,
medan magnet ini juga
digunakan untuk menganalisis
pulsa magnet seperti Pi2, Pc1

Pc2 Pc3 dan Pc5 (setelah
melalui tahapan pengolahan
data) serta penelitian yang
berkaitan dengan interaksi
medan magnet Bumi dengan
Matahari, Ionosfer dan
lingkungan antariksa.
Fluxgate Magnetometer
Magson
Magnetometer MAGSON
merupakan sebuah alat ukur
digital bertipe fluxgate
magnetometer yang memiliki
presisi tinggi dan rendah noise
seperti ditunjukkan pada Tabel
1. Selain dilengkapi dengan
sensor medan magnet yang
ringan dan berukuran kecil
bertipe ring core , instrumen
ini juga memiliki beberapa
tur yang terintegrasi
diantaranya: dapat digunakan
untuk multi sensor, memiliki
koneksi jaringan TCP / IP dan
penerima GPS.
Instalasi Peralatan
Untuk mengetahui lokasi
penempatan magnetometer
dengan noise lingkungan yang
rendah maka dilakukan
pengukuran di lokasi yang
telah direncanakan.
Pengukuran dilakukan dengan
dua cara yaitu dengan stasioner

http://www.solarham.net/
Buletin Cuaca Antariksa
Januari - Maret 2015

9

untuk melihat variasi medan Tabel 1 : Fitur MAGSON - Digital Fluxgate Magnetometer
magnetnya dan kedua dilakukan
No
Fitur
Fitur
No
dengan mobile untuk kemudian
6 Kontrol magnetometer dan output
1 Pengukuran 3 atau 6 komponen
medan magnet (rentang pengukuran
data melalui layar sentuh, layanan
dilakukan pembuatan plot peta
±
65000
nT)
jaringan dan antarmuka serial.
anomali medan magnet di lokasi
Perekaman data pada SD Card
Pengukuran
elektronik
dan
suhu
7
2
tersebut. Gambar 2 menunjukkan
dengan tingkat sampling yang
sensor
lokasi magnetometer dimana
berbeda (ASCII atau format data
3 Pengukuran kemiringan (2 sumbu
pengukuran dilakukan pada 44
biner)
: 1 Hz, 10 Hz dan 50 Hz
masing-masing sensor)-Opsional.
lokasi. Lingkaran yang terdapat pada
8 Akses data dan perekaman data
4 Pengukuran sudut rotary encodergambar tersebut menunjukan titik
dilakukan secara simultan
Opsional.
pengukuran dengan jarak antaa tiap
9 Sinkronisasi waktu dan penentuan
5 Kontrol magnetometer dan output
posisi dengan penerima GPS
lokasi sejauh 5 meter. Pada Gambar
data melalui layar sentuh, layanan
1 tersebut kontur dengan warna biru
10 Kontrol suhu - Opsional
jaringan dan antarmuka serial.
merupakan daerah dengan
gangguan medan magnet yang H a l i n i d i l a k u k a n u n t u k akuisisi MAGSON menyimpan
rendah dan merupakan area yang memudahkan perawatan, terutama data medan magnet ke dalam
baik untuk penempatan sensor.
pada saat proses kalibrasi sensor. compact- ash. Perangkat lunak
I n s t a l a s i m a g n e t o m e t e r Ilustrasi dari perubahan tersebut yang diinstal pada embedded PC
MAGSON di BPPR Pameungpeuk dapat dilihat pada Gambar 3.
mengunduh data tersebut melalui
telah dilakukan pada bulan Januari
Instalasi Magson juga meliputi FTP dan selanjutnya dikirimkan ke
2013, namun pada bulan Juni 2013 instalasi perangkat lunak yang server di Bandung melalui jaringan
sensornya mengalami kerusakan berfungsi untuk mengirimkan secara i n t e r n e t . D a n G a m b a r 5
akibat terendam air rembesan. Pada realtime data medan magnet dari m e n u n j u k a n
Komponen
saat itu sensor disimpan dalam stasiun Pameungpeuk ke server data pengamat medan magnet dan
rumah sensor berupa lubang di Bandung melalui internet via t r a n s f e r d a t a d i B P P R
sedalam kurang lebih 1 meter. Pada G P R S . Blok diagram Sistem Pameungpeuk. Panel atas bagian kiri
instalasi kedua dilakukan beberapa Pengamat Geomagnet dan Transfer menunjukan sensor beserta rumah
p e r u b a h a n d i a n t a r a n y a ; ( 1 ) Data di stasiun Pameungpeuk sensor dalam keadaan terbuka, panel
mengubah ketinggian dudukan ditunjukan pada Gambar 4. Sistem atas bagian kanan menunjukan data
sensor dan, (2) mengubah ukuran
penutup rumah sensor menjadi
sedikit lebih tipis dari sebelumnya.

y

x

Gambar 1 : Titik lokasi
magnetometer untuk menentukan
anomali medan magnet

10

Buletin Cuaca Antariksa
Januari - Maret 2015

Gambar 2 : titik penempatan magnetometer untuk mengetahui lokasi
anomali medan magnet lokal di BPPR Pamengpeuk.

loger beserta rumahnya. Sensor dan
data loger dihubungkan oleh kabel
yang panjangnya 20 meter. Sumber
listrik untuk sensor dan data loger
diperoleh dari baterai 60A dengan
tegangan 12V. Charging baterai
tersebut menggunakan panel surya
yang ditunjukan pada panel bawah
bagian kiri. Sedangkan panel bawah
bagian kanan menunjukan
embedded PC yang dilengkapi oleh
sistem transfer data. Embeded PC

dan data loger dihubungkan melalui
switch hub dengan menggunakan
kabel LAN. Panjang kabel dari data
loger ke switch hub adalah 50 meter
sedangkan dari embedded PC adalah
1 meter.
Variasi Data Medan Magnet Di
BPPR Pameungpeuk
Gambar 6 menunjukkan variasi
harian komponen H, D, dan Z hasil
pengamatan tanggal 1 Mei 2013,
serta di erensiasinya. Dilihat dari

gra k tersebut diketahui nilai
di erensiasinya kurang dari 0,8 nT
yang menggambarkan bahwa data
pengamatan di BPPR Pameungpeuk
memiliki level noise yang relatif
rendah sehingga dapat digunakan
untuk penelititan geomagnet dan
cuaca antariksa. 

Gambar 3 : Perubahan Konstruksi Rumah sensor.

Gambar 4 : Blok diagram sistem pengamatan geomagnet Pameungpeuk.

(a)

Gambar 5 : Komponen pengamat
medan magnet dan transfer data di
Pameungpeuk

(b)

Gambar 6 : variasi harian medan magnet bumi (a), dan differensiasinya (b) hasil pengamatan di
BPPR Pameungpeuk 1 Mei 2013.

Buletin Cuaca Antariksa
Januari - Maret 2015

11

Informasi Ionosfer dari
Jaringan International GNSS Service
Oleh :

Sri Ekawati

Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi

Informasi yang cukup penting
dari hasil pengolahan data jaringan
International GNSS Service (IGS)
bagian (5) atau bagian terakhir ini
adalah data lintang dan bujur. Dari
data tersebut kita dapat mengetahui
dimana tepatnya pengukuran
ionosfer tersebut bila diproyeksikan
diatas permukaan bumi. Seperti
yang telah dibahas pada bagian (3)
dan (4), data hasil pengolahan
menjadi le *.CMN dengan format
ASCII pada kolom 6 adalah Lintang
(IPP, Ionospheric Pierce Point) dan
pada kolom 7 adalah bujur (IPP).
Apakah IPP itu ? dan seberapa
pentingkah informasi tersebut ?
Ionospheric Pierce Point (IPP)
Titik potong ionosfer atau IPP
adalah titik perpotongan antara garis
lurus, yang menghubungkan
penerima ke satelit GNSS/GPS,
dengan garis lurus dari titik pusat
bumi ke titik ionosfer 350 km dari
p e r m u k a a n b u m i . Ga m b a r - 1
menunjukkan ilustrasi konsep IPP.
Jarak penerima ke satelit
GNSS/GPS adalah sekitar 22.000

Gambar-1. Ilustrasi konsep Ionospheric
Pierce Point (IPP)

12

Buletin Cuaca Antariksa
Januari - Maret 2015

Tabel 1 : Contoh data posisi koordinat pengukuran ionosfer tanggal 10 April 2014

Julian Date Waktu
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8
2456757.8

5.01667
5.1
5.18333
5.26667
5.03333
5.11667
5.2
5.28333
5
5.08333
5.16667
5.25
5.33333
5.225
5.30833
5.25

PRN Azimut Elevasi Lintang Bujur STEC VTEC

S4

83.68
85.44
87.22
88.72
83.53
86.39
89
91.39
83.9
83.4
83.07
82.4
81.66
63.85
65.32
96.94

0.06
0.06
0.05
0.06
0.02
0.01
0.01
0.02
0.01
0.02
0.03
0.03
0.02
0.07
0.07
0.05

14
14
14
14
16
16
16
16
22
22
22
22
22
27
27
32

45.42
47.89
50.42
53.02
229.35
232.78
236.66
240.99
150.69
152.28
153.51
154.45
155.16
193.04
191.5
321.93

30.16
31.1
32.04
32.95
55.29
57.07
58.71
60.2
65.2
62.77
60.33
57.89
55.47
30.51
32.15
30.88

-3.12
-3.37
-3.62
-3.87
-7.82
-7.64
-7.48
-7.31
-7.68
-7.84
-8
-8.16
-8.33
-11.1
-10.87
-2.81

110.26
110.29
110.31
110.33
105.29
105.31
105.34
105.36
107.53
107.56
107.61
107.66
107.71
105.76
105.94
103.97

122.69
123.34
124.02
124.29
83.3
85.17
86.85
88.41
76.83
77.69
78.89
79.88
80.93
87.43
87.05
143.68

Gambar-2. Variasi TEC terhadap waktu dan Lintang

kilometer dan titik temu ionosfer di
sekitar 350 kilometer. Gambar-1
merupakan ilustrasi saja dan bukan
gambaran sebenarnya karena
perbandingan jarak antara penerima
GNSS/GPS ke titik IPP dengan
jarak penerima ke satelit
GNSS/GPS mencapai 1 : 63.
Pemilihan ketinggian ionosfer di
titik ~350 km diatas permukaan
bumi telah dijelaskan di artikel
bagian (3). Dengan konsep ini maka

Index S4 terhadap Posisi Koordinat Pengukuran

Latitude (Lintang Selatan)

Bagian (5)

Longitude (Bujur Timur)

Gambar-3 Variasi Indeks S4 terhadap
posisi koordinat pengukuran

penentuan lokasi tempat
pengukuran ionosfer tersebut dapat
diketahui. Bahkan dengan adanya
koordinat posisi diatas permukaan
bumi, pemetaan ionosfer, baik itu
pemetaan sintilasi ataupun Total
Electron Content (TEC), dapat
dengan mudah dilakukan.
Posisi koordinat pengukuran
ionosfer
File *.CMN berformat ASCII
yang diperoleh dari jaringan IGS
(telah dijelaskan pada bagian (3) dan
(4)) menyediakan informasi
koordinat (lintang dan bujur)
pengukuran ionosfer seperti yang
ditunjukkan Tabel-1. Ada 32 satelit
(PRN) yang berputar melewati
penerima GNSS/GPS di bumi
secara bergantian sehingga pada
suatu waktu terdapat 4 11 sinyal

Sistem Informasi Siaga

Cuaca Antariksa
Oleh :

Siti Maryam

Bidang Teknologi Pengamatan

Cuaca antariksa adalah
perubahan kondisi di matahari dan
antariksa. Untuk memudahkan
pemahaman, istilah dalam cuaca
antariksa dianalogikan dengan cuaca
di bumi. Bila di bumi ada angin,
maka di antariksa ada angin surya.
Bila di bumi ada badai, maka di
antariksa ada badai matahari, badai
geomagnet, dan badai ionosfer. Bila
di bumi ada hujan, maka di antariksa
juga ada istilah hujan meteor. Tidak
seperti cuaca di permukaan yang
dampaknya bisa langsung dirasakan
oleh manusia dan makhluk hidup
lainnya yang ada di permukaan
bumi, maka dampak cuaca antariksa

satelit yang diterima oleh suatu
penerima GNSS/GPS. Tabel-1
merupakan contoh data posisi dari
konsep IPP yang telah dibahas
sebelumnya. Sebagai ilustrasi contoh
pada kasus satelit PRN 14 memiliki
posisi dengan sudut elevasi 30,16
dan sudut azimuth 45,42 dan
dengan konsep IPP dapat di proyeksikan ke permukaan bumi di
koordinat -3.12 LS dan 110,26 BT.
Variasi TEC terhadap waktu
dan lintang
Gambar-2 menunjukkan
perubahan nilai TEC terhadap
waktu dan lintang. Pada bagian ini
akan dibahas TEC terhadap posisi
lintang karena pembahasan TEC
terhadap waktu telah dijelaskan pada
bagian (1), (3) dan (4). Nilai TEC
tinggi terlihat setiap puncak-puncak

pengukuran berwarna hijau berada
di daerah sekitar -5 LS. Nilai TEC
rendah terlihat berwarna biru yaitu
berada di daerah -14 LS. Informasi
posisi tersebut dapat menjelaskan
area/titik distribusi dengan
kerapatan elektron yang tinggi
atapun rendah.
Gambar-3 menunjukkan
cakupan pengukuran ionosfer oleh
satelit GNSS/GPS. Selain itu, pada
gambar tersebut juga diberikan
informasi mengenai lokasi
terjadinya fenomena sintilasi
ionosfer sedang (0,25