Studi komparaasi hukum Islam dan hukum positif terhadap pemegang hak preferen dalam proses kepailitan di Indonesia.

STUDI KOMPARASI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
TERHADAP PEMEGANG HAK PREFEREN DALAM PROSES
KEPAILITAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Oleh
Moh. Nizar
NIM. C02212027

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah
Surabaya

2017

ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian pustaka tentang Studi Komparasi Hukum
Islam Dan Hukum Positif Terhadap Pemegang Hak Preferen Dalam Proses

Kepailitan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana
perspektif hukum Islam terhadap pemegang hak preferen dalam kepailitan di
Indonesia, bagaimana perspektif hukum positif terhadap pemegang hak preferen
dalam proses kepailitan di Indonesia dan bagaimana persamaan dan perbedaan
pemegang hak preferen dalam kepailitandi Indonesia perspektif hukum Islam dan
hukum positif.
Pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut
adalah pendekatan kualitatif. Metode penelitian dalam penelitian ini
menggunakan jenis penelitian yang sifatnya library research (penelitian pustaka).
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Dengan cara melakukan pembacaan, kajian text (text reading), menelaah sumber
kepustakaan dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif
komparatif .
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dalam hukum Islam pemegang hak
preferen (istimewa) dalam kepailitan ialah seorang pedagang (kreditur) yang
mendapati barangnya masih utuh pada pembeli yang pailit, ia mempunyai hak
untuk mengambil barang tersebut dari pada kreditur lain. Dalam hukum positif
pemegang hak preferen ialah kreditur yang oleh Undang-undang diberikan hak
mendahului dari kreditur-kreditur yang lain karena sifat piutangnya. Persamaan
hukum Islam dan hukum positif terhadap pemegang hak preferen dalam

kepailitan di Indonesia ialah hukum Islam dan hukum positif memberikan hak
kepada kreditur untuk didahulukan dalam pelunasan utang, hanya saja berbeda
istilah. Perbedaan hukum Islam dan hukum positif terhadap pemegang hak
preferen dalam kepailitan di Indonesia ialah dasar peraturan pailit (tafli@s) dalam
hukum Islam kepailitan terbatas pada perorangan sedangkan dalam hukum postif
tidak hanya terbatas pada orang perorangan saja, tetapi juga mencakup badan
hukum, seperti yayasan, perusahaan, atau lembaga. Dalam hukum Islam istilah
hak preferen diartikan sebagai hak pedagang (kreditur) untuk mengambil barang
dari orang yang jatuh pailit, dalam hukum Islam terdapat kaidah fiqh
mendahulukan perkara yang lebih penting dari yang penting dan yang lebih
bermanfaat dari yang bermanfaat. Sedangkan dalam dalam hukum positif yang
diberi hak perferen oleh Undang-undang antara lain, pekerja yang perusahaannya
dinyatakan paiit, utang pajak dan hak Tanggungan.
Berdasarkan hasil penelitian pustaka ini, maka penulis dapat memberikan
saran kepada regulator/yang membuat peraturan khusunya Undang-undang
tentang kepailitan supaya melakukan perubahan (revisi) terhadap Undangundang kepailitan supaya lebih tegas dalam menentukan kreditur yang memiliki
hak preferen untuk menghindari sengketa atau perselisihan antara kreditur yang
satu dengan yang lain.

v


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ..........................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN .........................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING. ..................................................................

iii

PENGESAHAN. ..............................................................................................

iv


ABSTRAK. ......................................................................................................

v

KATA PENGANTAR. ....................................................................................

vi

DAFTAR ISI. ...................................................................................................

viii

DAFTAR TRANSLITERASI. ........................................................................

xi

MOTTO. ..........................................................................................................

xiii


HALAMAN PERSEMBAHAN. .....................................................................

xiv

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN. ........................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah...........................................................

1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ............................................

8


C. Rumusan Masalah ....................................................................

9

D. Tujuan Penelitian. ....................................................................

9

E. Kegunaan Penelitian. ...............................................................

10

F. Kajian Pustaka .........................................................................

10

G. Definisi Operasional. ................................................................

13


H. Metode Penelitian. ...................................................................

14

I. Sistematika Pembahasan. .........................................................

18

PAILIT DAN HAK PREFEREN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF ..............................................................

20

A. Pailit dalam Hukum Islam ......................................................

20

1. Pengertian Pailit dalam Hukum Islam ..............................


20

2. Dasar Hukum pailit (Tafli@s) .............................................

23

3. Ketentuan Hukum tentang pailit (Tafli@s) ........................

24

4. Pendapat Ulama tentang Pailit (Tafli@s) . ..........................

24

viii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

B. Hak Preferen (Istimewa) dalam perkara kepailitan di Indonesia
menurut Hukum Islam ............................................................


27

C. Pailit menurut Hukum Positif.................................................

31

1. Pengertian Pailit menurut Pakar Hukum. ...........................

31

2. Dasar Hukum Pailit.............................................................

33

D. Hak Preferen dalam Kepailitan di Indonesia menurut
Hukum Positif (KUHPerdata dan Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang) . .............................................................


33

1. Pengertian Hak Preferen. ..................................................

35

2. Sifat-sifat dan keistimewaan Hak Preferen dibandingkan
hak lainnya. .......................................................................

35

3. Tingkatan-tingkatan piutang yang didahulukan .............

42

4. Kedudukan

Kreditur

dalam


Penjaminan

Hak

Tanggungan.......................................................................
5. Kedudukan
BAB III

Kreditur

pemegang

Hak

51

Tanggungan

apabila debitur pailit ........................................................

52

DESKRIPSI KEPAILITAN DI INDONESIA. .............................

54

A. Kepailitan di Indonesia. .........................................................

54

1. Syarat untuk dapat mengajukan pailit. ............................

54

2. Pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit. ..........

54

3. Syarat yuridis pengajuan pailit. .......................................

55

B. Langkah-langkah dalam proses kepailitan di Indonesia. .......

55

C. Daftar nama perusahaan/pengusaha yang dinyatakan
BAB IV

pailit di Indonesia. ..................................................................

56

ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
TERHADAP PEMEGANG HAK PREFEREN DALAM
PROSES KEPAILITAN DI INDONESIA. ..................................

75

A. Analisis Hukum Islam Terhadap pemegang Hak Preferen
dalam Proses kepailitan di Indonesia ....................................

75

ix

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

B. Analisis Hukum Positif Terhadap pemegang Hak Preferen
dalam Proses kepailitan di Indonesia ....................................

82

C. Persamaan dan Perbedaan antara Hukum Islam dan Hukum
Positif terhadap pemegang hak Preferen dalam Kepailitan
di Indonesia. ...........................................................................

87

1. Persamaan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap
pemegang hak Preferen dalam Kepailitan di Indonesia. ..

87

2. Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap
pemegang hak Preferen dalam Kepailitan di Indonesia. ..

88

PENUTUP. ....................................................................................

90

A. Kesimpulan. ...........................................................................

90

B. Saran. .....................................................................................

91

DAFTAR PUSTAKA . ....................................................................................

92

BAB V

x

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan di dunia dalam keadaan saling membutuhkan
dan saling melengkapi, tidak mungkin bagi siapapun untuk memenuhi
seluruh kebutuhannya dengan sendiri tanpa bantuan dan andil orang lain.1
Menurut Ahmad Azhar Basyir, disadari atau tidak untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya, manusia selalu berhubungan satu sama lain.
Menurutnya hubungan manusia sebagai makhluk sosial ini dalam Islam
disebut Muamalah.2
Muamalah

ialah

kegiatan

yang

mengatur

hal-hal

yang

berhubungan dengan tata cara hidup sesama manusia untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.3 Kebutuhan finansial masing-masing individu
ataupun perusahan berbeda-beda dilihat dari tingkat perkembangan
individu atau perusahaan. Seringkali perusahaan melakukan peminjaman
modal yang digunakan untuk mengembangkan bisnis. Dalam melakukan
pelunasan pembayaran utang terkadang perusahaan mengalami kendala
atau hambatan, sehingga berpengaruh pada keuangan perusahaan. Tidak
jarang perusahaan akhirnya mengalami bangkrut atau pailit karena tidak

1

Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi ; Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam
(Bogor : Darul Ilmi Publishing, 20012), 1.
2
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Muamalat (Yogyakarta : UII Press, 2000), 11.
3
Hendi Suhendi, Fikih Muamalah (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), 1.

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

mampu membayar utang-utangnya kepada kreditur baik itu Bank atau
lembaga keuangan yang lainnya.
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu
untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari
para krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan
karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitur
yang telah mengalami kemunduran. Kepailitan merupakan putusan
Pengadilan Niaga yang meletakkan seluruh harta dari seorang debitur
pailit dalam status sita umum (public attachment) untuk kemudian oleh
kurator yang diangkat untuk melakukan pengurusan dan pemberesan
harta pailit tersebut akan dijual dan hasilnya akan dibagikan kepada
seluruh kreditur berdasarkan dari masing-masing tingkatan hak yang
dimilikinya.4
Proses kepailitan pada umumnya adalah proses yang panjang dan
melelahkan. Di satu sisi akan banyak pihak (kreditur) yang terlibat dalam
proses tersebut, karena pihak debitur yang dipailitkan pasti memiliki
utang lebih dari satu, sedang di sisi lain

belum tentu harta pailit

mencukupi, apalagi dapat memenuhi semua tagihan yang ditujukan pada
debitur. Masing-masing kreditur akan berusaha untuk secepatnya
mendapatkan pembayaran atas piutang mereka masing-masing. Para
kreditur tentunya tidak ingin dirugikan yang disebabkan oleh kepailitan
yang dialami debitur. Kondisi tersebutlah yang melatar belakangi lahirnya
4

Penjelasan Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

aturan-aturan yang mengikat di dalam proses kepailitan, yang mengatur
pembagian harta pailit di bawah kendali kurator disertai pengawasan
hakim pengawas.5
Penggolongan kreditur dalam kepailitan di Indonesia ditentukan
berdasarkan Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) juncto Undang-Undang No. 28 Tahun
2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan; dan Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU).
Istilah Kreditur juga sering kali menimbulkan multitafsir. Apalagi
Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tidak memberikan definisi yang detail
terhadap kreditur. Secara umum, ada 3 (tiga) macam kreditur yang
dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu kreditur
separatis, kreditur preferen, kreditur

konkuren, diantara 3 macam

kreditur tersebut yang penulis bahas ialah kreditur preferen.
Pengertian kreditur preferen menurut hukum positif yaitu kreditur
yang oleh Undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya,
mendapatkan pelunasan terlebih dahulu.6 Kreditur preferen merupakan
kreditur yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak uang oleh
undang-undang diberikan kepada seorang yang berpiutang sehingga
tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata
5
6

Penjelasan UU No. 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU.
Ibid, 65.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

berdasarkan sifat piutangnya.7 Menurut KUH Perdata, ada dua jenis hak
istimewa, yaitu hak istimewa khusus yang diatur dalam pasal 1139
KUHPer dan hak istimewa umum yang diatur dalam pasal 1149 KUHPer.
Hak istimewa khusus berarti hak istimewa yang menyangkut benda-benda
tertentu, sedang hak istimewa umum menyangkut seluruh benda. Sesuai
KUH Perdata hak istimewa khusus lebih didahulukan atas hak istimewa
umum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1138 KUH Perdata.
Meskipun memiliki keistimewaan dibanding hak-hak yang dimiliki
orang yang berpiutang pada umumnya, posisi pemegang hak istimewa
pada dasarnya masih berada di bawah pemegang hak gadai atau hipotek
sehubungan dengan benda-benda yang dijaminkan.
Menurut Hukum Perdata (positif) kreditur yang diberikan hak
preferen (didahulukan) pelunasannya dalam kepailitan di Indonesia yaitu:
1. Pemegang jaminan gadai berdasarkan pasal 1150 KUH perdata.
2. Pemegang jaminan hipotik berdasarkan pasal 1133-1134 ayat 2 KUH
perdata.
3. Pemegang hak tanggungan berdasarkan pasal 1 ayat 1 UndangUndang Hak Tanggungan (UUHT).
4. Pemegang jaminan fidusia berdasarkan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 27
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
5. Utang pajak berdasarkan Pasal 19 ayat (6) Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan
7

Pasal 1134 KUH Perdata.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
6. Upah buruh yang belum terbayar berdasarkan

Pasal 95 ayat 4

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Contoh kasus sengketa kepailitan PT Metro Batavia (pengelola
maskapai Batavia Air) pada tahun 2013 setelah sekitar 150 pekerja
perusahaan itu berunjuk rasa di depan Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat
pada tanggal 14 Maret. Para pekerja meminta kurator dan hakim
pengawas mendahulukan upah buruh

daripada utang pajak. Buruh

berdalih hak mereka dilindungi dua Undang-Undang sekaligus, yaitu UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU). Sedangkan utang pajak hanya diatur dalam UU Kepailitan dan
PKPU. 8
Selain berebut posisi, karyawan juga merasa terancam atas
jumlah tagihan yang diajukan Direktorat Pajak ke PT Metro Batavia
sebanyak Rp. 309 miliar. Angka tersebut adalah pajak yag tidak dibayar
perusahaan sejak 2010. Hal ini menimbulkan kecurigaan karyawan karena
pajak 2010 baru ditagih pada 2013.

8

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt514ee167707bb/buruh-minta-didahulukan-daripajak-dalam-kepailitan diakses pada tanggal 17 Mei 2017 pukul 16.25 WIB.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

Dengan adanya tingkatan-tingkatan kreditur yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dapat memberikan potensi adanya salah
satu pihak yang dirugikan, karena pihak yang berada di tingkatan paling
bawah akan mendapatkan pembagian dana hasil penjualan aset harta
milik debitur pailit tidak sesuai dengan porsinya. Hal ini dimungkinkan
karena kurator baru akan memberikan bagian kepada kreditur konkuren
setelah menyelesaikan pembagian dana hasil penjualan aset harta debitur
pailit kepada kreditur yang tingkatannya lebih tinggi dalam hal ini
kreditur separatis dan kreditur preferen.
Berbeda dengan Hukum Islam, hak preferen (yang didahulukan
pelunasannya) dalam kepailitan menurut hukum Islam yaitu hak yang
dimiliki oleh pedagang yang mendapati barangnya masih utuh pada
pembeli yang telah bangkrut. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw. :

‫ي‬
ُ َ َ َ ُ ُ ‫صلى ال ُ َلَْ َ َ ل َ َ َا إيذَ َْْلَ َ ا ُ ُ َْ َ َ َ ا‬
َ ‫َ ْ َي ُ َ ََْْ َ ْ الي‬
‫يي‬

‫ي يي‬
َ َ َ ُ َْ ‫َْل‬

Abu Hurairah ra. berkata aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"Jika seorang (pedagang) bangkrut, kemudian pemiilik modal
mengetahui barangnya masih ada padanya, maka dia berhak atas
barang tersebut." 9

9

Abu al-Wahd Muhammad Ibn Muhammad Ibn Rushd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah alMuqtasid, jilid 3 (Beirut : Dar al-Jil, 1409 H/ 1989), 331-351.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

Rasulullah Saw. mengatakan ‚barang siapa yang meninggal dunia
dan mempunyai barang milik orang lain sedangkan ia belum menerima
pembayarannya sedikitpun maka pemilik barang lebih berhak dari orang
lain. Jika ia pernah mengambil, maka haknya sama dengan kreditur lain.‛
Apabila penjual mendapatkan barang dagangannya pada pembeli
yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak mendapatkan dan
mengambilnya dari semua kreditur yang mempunyai piutang bila didapati
banyak kreditur yang mempunyai piutang.10 Sebagaimana sabda Nabi
Saw. ‚Siapa yang mendapatkan hartanya‛ mencakup semua orang yang
mempunyai harta yang berbeda dari orang lain melalui jalur hutang atau
jual beli walaupun banyak didapati hadits-hadits yang jelas menggunakan
kata jual-beli.11
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti
merasa tertarik untuk mengkaji dan mengadakan penelitian dengan
mengangkat permasalahan mengenai ‚Studi Komparasi Hukum Islam dan
Hukum Positif terhadap pemegang hak preferen dalam proses kepailitan
di Indonesia‛.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan kemungkinankemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian

10

Ibid.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih lima mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali
(Jakarta : Lentera, 2000), 700.

11

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi sebanyak mungkin yang
dapat diduga sebagai masalah.12
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diidentifikasi
masalah-masalah sebagai berikut :
1. Syarat-syarat dalam mengajukan permohonan pailit
2. Akibat hukum terhadap perusahaan yang dipailitkan oleh pengadilan
3. Ketentuan hukum Islam dan hukum Positif tentang kepailitan
4. Hak istimewa (hak mendahulu) yang dimiliki oleh Kreditur dalam
kepailitan
5. Kedudukan negara atas utang pajak sebagai pemegang hak preferen
6. Hak pekerja (buruh) dalam proses kepailitan
7. Persamaan dan perbedaan pemegang hak preferen dalam proses
kepailitan perspektif hukum Islam dan hukum positif
Dari beberapa masalah yang mungkin dapat dikaji tersebut, maka
untuk memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini, penulis
membatasai pada masalah-masalah berikut ini :
1. Hak istimewa (hak mendahulu) yang dimiliki oleh Kreditur dalam
kepailitan
2. Persamaan dan perbedaan pemegang hak preferen dalam kepailitan
perspektif hukum Islam dan hukum positif

12

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Uin Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk
Teknis Penulisan Skripsi Edisi Revisi (Surabaya : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2014), 8.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

C. Rumusan Masalah
Setelah penulis paparkan latar belakang, identifikasi, dan batasan
masalah, maka untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini,
penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap pemegang hak preferen
dalam kepailitan di Indonesia?
2. Bagaimana perspektif hukum positif terhadap pemegang hak
preferendalam proses kepailitan di Indonesia?
3. Bagaimana Persamaan dan perbedaan pemegang hak preferen dalam
kepailitandi Indonesia perspektif hukum Islam dan hukum positif?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian yang peneliti lakukan ini
adalah :
1. Untuk mendeskripsikan perspektif hukum Islam terhadap
pemegang hak preferen dalam proses kepailitan di Indonesia.
2. Untuk mendeskripsikan perspektif hukum Positif

terhadap

pemegang hak preferen dalam proses kepailitan di Indonesia.
3. Untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan pemegang hak
preferen dalam proses kepailitan di Indonesia perspektif hukum
Islam dan hukum positif .

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

E. Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih keilmuan
dalam bidang muamalah. Agar penelitian ini benar-benar berguna untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan
dari penelitian ini.
Adapun kegunaan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kegunaan secara Teoretis
Hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian hukum
yang terkait dengan kepailitan, khusunya pemegang hak preferen
dalam kepailitan di Indonesia dalam pandangan Hukum Islam dan
Hukum Positif.
2. Kegunaan secara praktis
Implementasi penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi
agar dapat memberi solusi terhadap para pelaku usaha baik perusahaan
maupun masyarakat yang dalam hal ini pemberi piutang (kreditur) dan
penerima utang (debitur), ataupun lembaga yang berkepentingan dalam
perkara kepailitan di Indonesia.

F. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang diteliti

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

sehingga tidak terjadi pengulangan atau bahkan duplikasi kajian atau
penelitian yang sudah ada.13
Kemudian, dari hasil pengamatan penulis tentang kajian-kajian
sebelumnya, penulis temukan beberapa kajian diantaranya :
1. Skripsi yang ditulis oleh Nur Azizah yang berjudul ‚Tinjauan Hukum
Islam terhadap penyelesaian pembiayaan Mudarabah pada nasabah
yang telah pailit di PT. BNI Syariah Cabang Ngagel Surabaya‛.
Skripsi ini menjelaskan tentang analisis hukum Islam terhadap
penyelesaian pembiayaan Mudarabah yang telah pailit di PT. BNI
Syari’ah Cabang Ngagel. Hasil penelitian ini bahwa penyelesaian
pembiayaan mudarabah pada nasabah yang telah pailit di PT. BNI
Syari’ah yang berujung pada pelelangan atau penjualan barang
jaminan dengan cara mengambil standart antara harga barang yang
ditentukan oleh pemerintah dengan harga barang jaminan itu pada
harga pasar. Menurut Hukum Islam, penyelesaian pembiayaan
mudarabah pada nasabah yang telah pailit dengan penjualan barang
jaminan ini tidak diperbolehkan karena tidak sesuai dengan hukum
Islam. 14
2. Skripsi yang ditulis oleh Moh. Junaidi yang berjudul ‚Tinjauan Islam
Terhadap Pailit Setelah Diadakan Pembayaran Hutang‛. Skripsi ini
menjelaskan tentang akibat perikatan berupa pembayaran hutang
terhadap seorang yang telah dijatuhi pailit. Hasil penelitian ini bahwa,
13
14

Ibid.
http://digilib.uinsby.ac.id/id/eprint/915 diakses tanggal 28 Februari 2017 pukul 20.00 wib

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

perdamaian pailit yang dinilai sebagai natuurlijke verbintenis adalah
penagihan sisa hutang seorang pailit yang telah diberikan pembayaran
sebagian dari hutang- hutang. Sedangkan dalam tinjauan hukum Islam
bahwa orang yang pailit sesudah diadakan pembayaran hutang tidak
boleh ditagih kembali hutang- hutangnya.15
3. Skripsi yang ditulis oleh Syukron yang berjudul ‚Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Pailit Karena Utang (Studi Kasus Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan)‛. Skripsi ini mengkaji
tentang utang yang ada dalam kepailitan, serta pembuktian utang,
sanksi terhadap yang mengelak membayar utang, bentuk-bentuk utang
dalam kepailitan dan jumlah utang menurut tinjauan hukum Islam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa segi perbedaan dalam hukum
kepailitan nasional utang masih mengandung riba serta bentuk utang
dalam hukum Islam lebih sempit ketimbang hutang menurut hukum
kepailitan. Kemudian dalam hukum Islam jumlah utang dalam
kepailitan harus lebih banyak, berbeda dengan hukum kepailitan
nasional yang tidak mengenal batasan jumlah utang dalam pengajuan
kepailitan baik itu dari kreditur maupaun debitur. Dalam pembagiaan
utang terhadap kreditur, menurut hukum Islam mendapat bagian
sesuai dengan jumlah piutangnya berbeda dengan hukum kepailitan
nasional, ada sebuah batasan ketika tidak mempunyai jumlah utang

15

http://digilib.uinsby.ac.id/id/eprint/14748 diakses tanggal 28 Februari 2017 pukul 21.00 wib

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

yang telah ditentukan, maka mereka tidak memperoleh hak suara
sebagai kreditur.16
Skripsi di atas lebih menekankan pada utang yang ada dalam
kepailitan, serta pembuktian utang, sanksi terhadap yang mengelak
membayar utang, bentuk-bentuk utang dalam kepailitan dan jumlah utang
menurut tinjauan hukum Islam. Sedangkan yang akan peneliti lakukan ini
lebih menekankan pada pemegang hak preferen dalam proses kepailitan di
Indonesia menurut hukum Islam dan hukum positif.

G. Definisi Operasional
Definisi operasional disini memuat beberapa penjelasan tentang
pengertian yang bersifat operasional, yaitu memuat masing-masing
variabel yang digunakan dalam penelitian yang kemudian didefinisikan
secara jelas dan mengandung spesifikasi mengenai variabel yang
digunakan dalam penelitian ini. Beberapa istilah dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. Studi Komparasi : Penelitian ini bermaksud untuk membandingkan
antara dua hukum yang berbeda yang telah lama diterapkan, yaitu
Hukum Islam dan Hukum Positif dalam masalah Kepailitan yaitu
Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata.
16

http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/20273diakses tanggal 28 Februari 2017 pukul 22.00 wib

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

2. Hukum Islam

: Hukum yang bersumber dari al-Quran, hadits,

ijma’, qiyas, dan pendapat ulama. Yang dalam hal ini membahas
tentang kepailitan (tafli@s).
3. Hukum Positif

: Hukum atau aturan yang berlaku pada suatu

negara. Dalam penelitian ini yang dimaksud adalah Undang-Undang
yang ada kaitannya dengan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dalam hukum yang berlaku di Indonesia.
4. Hak Preferen : Hak mendahului yang dimiliki kreditur atas bendabenda tertentu yang dijaminkan pada kreditur tersebut. Atas hasil
penjualan benda-benda tersebut, kreditur berhak mendapatkan
pelunasan utang debitur terlebih dahulu.17
5. Kepailitan : Sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas.18

H. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan jenis
penelitian yang sifatnya library research (penelitian pustaka). Dengan cara
melakukan kegiatan membaca, mengkaji, menelaah sumber kepustakaan,
yaitu berupa data-data primer dan data sekunder yang relevan dengan
pembahasan skripsi ini.19

17

Jono, Hukum Kepailitan (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), 5.
Ibid, 2.
19
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,2008), 25.
18

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

Dalam hal ini peneliti membandingkan antara hukum Islam
dengan hukum positif tentang pemegang hak preferen dalam proses
kepailitan, berikut rangkaian metode dalam penelitian ini :
1. Data-data yang dikumpulkan
Data merupakan kumpulan dari keterangan atau informasi yang
benar dan nyata.20 Adapun data yang peneliti kumpulkan sebagai
berikut :
a. Data mengenai pemegang hak preferen dalam proses kepailitan
yang terdapat dalam al-quran dan hadits dan menurut para
fuqaha’.
b.

Data mengenai pemegang hak preferen dalam proses kepailitan
yang diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber data,
yaitu :21
a. Sumber Data Primer
Sumber Data Primer dalam penelitian ini yaitu alquran ,
hadits, pendapat para ulama’ tentang pailit dan Undang – Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.

20

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), 211.
21
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan , 27.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

b. Sumber Data Sekunder
Sumber data ini diambil dari dokumen dan bahan pustaka
yang ada hubungannya dengan penelitian ini, antara lain :
1) Minhajul Muslim: Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim,
Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri.
2) Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Juz 3, Ibnu
Rusyd.
3) Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah), Muhammad Yazid.
4) Pajak Menurut Syariah, Gusfahmi.
5) Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, C.S.T.
Kansil.
6) Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,

Hukum Kepailitan,Hadi Subhan.
7) Buku Ajar Hukum Dagang, Andi Sri Rezky Wulandari.
8) Hukum Dagang, Farida Hasyim Jakarta.22
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari
membaca dan mencatat data dari kitab-kitab dan buku-buku yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengelolaan Data
Tahapan dalam pengelolaan data pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :
22

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

a. Organizing yaitu suatu proses, yang sistematis dalam pengumpulan,
pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.23
b. Editing yaitu kegiatan pengeditan akan kebenaran dan ketepatan data
tersebut,24 serta memeriksa kembali semua data-data yang diperoleh
dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang
meliputi kesesuaian dan keselarasan satu dengan yang lainnya,
keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan. Teknik
ini digunakan peneliti untuk memeriksa kelengkapan data-data yang
sudah diperoleh.25
c. Coding yaitu kegiatan mengklarifikasi dan memeriksa data yang
relevan dengan tema penelitian agar lebih fungsional.26
d. Analyzing, yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil
editing dan organizing data yang diperoleh dari sumber-sumber
penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnya, sehingga
diperoleh kesimpulan.
5. Teknik Analisis Data
Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan selanjutnya akan
dibahas yang kemudian dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu dengan
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dengan metode ini.

23

Sony Sumarsosno, Metode Riset Sumber Daya Manusia(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 89.
Ibid, 97.
25
Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta : Bumi aksara, 1997), 153.
24

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

Dan digunakan juga metode komparasi, yaitu metode yang
digunakan untuk menganalisis data yang berbeda dengan jalan
membandingkan antara sumber data yaitu hukum Islam dengan hukum
positif yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengenai pemegang hak
preferen dalam proses kepailitan, untuk kemudian diambil suatu hukum
yang seharusnya diterapkan dalam melaksanakan kegiatan muamalah.

I. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis agar mempermudah
pembahasan dalam penelitian ini. Adapun sistematika pembahasannya
sebagai berikut :
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang memaparkan latar
belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, kajian pustaka,

definisi

operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua merupakan Landasan Teori mengenai kepailitan dalam
hukum Islam yang menjelaskan pengertian pailit (taflis), dasar hukum,
pendapat para fuqaha dan ulama mengenai pailit, hak preferen dalam
kepailitan menurut hukum Islam.
Bab ketiga merupakan landasan teori mengenai kepailitan dalam
hukum positif yang menjelaskan pengertian pailit, dasar hukum, pendapat

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

para pakar hukum mengenai pailit, hak preferen dalam kepailitan menurut
hukum positif.
Bab keempat merupakan analisis hukum Islam tentang pemegang
hak preferen dalam proses kepailitan di Indonesia dan analisis hukum
positif tentang pemegang hak preferen dalam proses kepailitan di
Indonesia, persamaan dan perbedaan pemegang hak preferen dalam proses
kepailitan di Indonesia perspektif hukum Islam dan hukum positif .
Bab kelima merupakan penutup yang memuat hasil akhir dari
penelitian yaitu berupa kesimpulan yang menjawab rumusan masalah
serta memberikan saran.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
PAILIT DAN HAK PREFEREN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF

A. Pailit dalam Hukum Islam
1. Pengertian Pailit menurut Hukum Islam
Dalam Hukum Islam istilah pailit biasa disebut dengan tafli@s . Secara
etimologi tafli@s berarti pailit (muflis) atau jatuh miskin. Dalam bahasa fiqih,
kata yang digunakan untuk pailit adalah ifla@s berarti tidak memiliki harta/

fulu@s. At- tafli@s (kepailitan) diambil dari kata al-fals jamaknya fulu@s. Al-fals
adalah jenis uang yang paling sedikit (uang recehan) yang terbuat dari
tembaga. Fulu@s biasanya dikesankan sebagai harta seseorang yang paling
buruk dan mata uang yang paling kecil. Secara terminologi, tafli@s

ialah

hutang seseorang yang menghabiskan seluruh hartanya hingga tidak ada yang
tersisa sedikitpun baginya karena digunakan untuk membayar hutanghutangnya. Para ulama fiqih mendefiniskan tafli@s yaitu keputusan hakim yang
melarang seseorang bertindak hukum atas hartanya.1
Sedangkan orang yang pailit dalam Islam

disebut dengan muflis.

Dalam bahasa Indonesia, orang yang tidak memiliki harta disebut pailit atau
bangkrut. Dalam istilah Islam, kata muflis menunjukkan kepada dua keadaan,
yaitu bersifat ukhrawi dan duniawi. Bersifat ukhrawi sebagaimana hadis Nabi
Saw. Dari Abu Hurairah ra. :
1

Abu Bakar Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim (Solo : Pustaka Arafah, Edisi
Revisi, 2005), 23.

20

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

ِ ِ
ِ
ْ َ َ ُ ‫ َتَ ْد ُ َ َ ْ ُ ْف ُ قَ ُو ْ ُ ْف‬: ‫ق َ َا‬
ٍ ََ ٍ ‫ِ ُ ِ ِْ َو ْ ِ ِ ِص َ ٍ ِص‬
ْ َ
َ َ َ َ َ َ َ َْ َ

‫وا ِ ص‬
َ ُ َ َ َََْ َ ُ ْ َِ ْ َ
ِ‫ََ َ َا إِ ْ ْف‬
ِ
َ َ َ ََ ُ َ َ َ ْ َ
ُ

‫ا َ َذ َََُ ْ طَى‬
َ َ ‫َ َِْ قَ ْد َ َ َ َ َذ َ قَ َذ َ َ َذ َ َ َ َ َ َا َ َذ َ َ َف َ َ َ َ َذ‬
َ َ‫ض‬
ِ
ِِ
ِ
ِِ
ِ
‫ضى َ ََْ ِ ُ ِ َذ‬
َ ْ َُ ْ َ َ ََْ‫َ َذ ْ َ َ َ ت َ َ َذ ْ َ َ َ ت َِ ْ َ َ ْ َ َ َ تُ ُ ق‬


ِ ُِ ُ ِ ََْ ْ َ ُِ‫ِ ْ َ طَ َ ُ ْ َط‬
َ

Artinya : Dari Abu Hurairah ra. Berkata, Rasulullah Saw. berkata :
‚Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?‛. Para sahabat
menjawab : ‚Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak
mempunyai dirham maupun harta benda. Tetapi Nabi Saw. Berkata:
‚Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada
hari kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika
di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan
harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka
orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah
habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan
kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka.2
Sedangkan keadaan muflis yang bersifat duniawi, yaitu orang yang
jumlah hutangnya melebihi jumlah harta yang ada (di tangannya).
Dinamakan demikian, karena dia menjadi orang yang hanya memiliki fulu@s
(uang pecahan atau recehan) stelah sebelumnya memiliki dirham dan dinar.
Ini mengisyaratkan bahwa ia tidak lagi memiliki harta selain yang paling
rendah nilainya. Atau karena dia terhalang dan membelanjakan hartanya,
kecuali uang pecahan (uang receh) yang disebut fulu@s untuk membelanjakan

2

Abu Khusain Muslim, Sahih Muslim, juz IV (Beirut : Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, tt), 45.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

sesuatu yang tak berharga. Atau orang yang kondisinya berubah menjadi
tidak memiliki uang sepeser pun.3
M. Ali Hasan memaknai tafli@s

sebagai ketidakmampuan pihak

penghutang atau debitur (bisa orang, badan hukum, perseroan) yang terbukti
berdasarkan ketetapan pengadilan, bahwa debitur telah berhenti membayar
hutangnya (tidak mampu melunasi hutang) yang mengakibatkan penyitaan
umum atas harta kekayaannya, sehingga debitur tidak berhak lagi mengurus
hartanya.4 Dengan demikian tafli@s adalah seseorang yang menghabiskan
seluruh hartanya hingga tidak ada yang tersisa sedikitpun baginya karena
digunakan untuk membayar hutang-hutangnya.
Namun, untuk menentukan seseorang itu tafli@s , maka harus
berdasarkan putusan pengadilan/ hakim. Oleh karena itu, tafli@s

sering

dimaknai keputusan hakim yang melarang seseorang bertindak atas hartanya.
Berdasarkan keputusan hakim tersebut, muflis dilarang untuk mengelola
hartanya.5 Dengan demikian, apabila seseorang dalam kehidupannya sebagai
pedagang yang banyak meminjam modal dari orang lain, ternyata
perdagangan yang ia lakukan tidak lancar, sehingga seluruh barang
dagangannya habis, maka atas permintaan orang-orang yang meminjami
pedagang ini modal dagang, kepada hakim pedagang ini boleh dinyatakan
sebagai orang yang jatuh pailit. Sehingga segala bentuk tindakan hukumnya

3

Abu Humaid Arif Syarifuddin, ‚Jika Seseorang Tertimpa Pailit‛, Majalah As-Sunnah, Edisi
09/Tahun IX/1426 H/2005 M.
4
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat) (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), 196.
5
Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

terhadap sisa harta yang ia miliki boleh dicegah. Maksud dari pencegahan
tindakan hukum orang yang pailit ini adalah demi menjamin utangnya yang
cukup banyak pada orang lain.6

2. Dasar Hukum Tafli@s.
Dalam al-Quran tidak ada ayat yang secara khusus menjelaskan
tentang tafli@s (pailit). Hanya saja al-Quran mengisyaratkan bahwa orang
yang banyak hutang sangat besar kemungkinan untuk tidak bisa
mengembalikan harta-hartanya. Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam
surat al-baqarah ayat 280 yang berbunyi :

ِ
ِ ِ
ِ
َ ‫صدقَُ ْو َ ٌَْ َ ُ ْ ْ ُ ُْ ْ تََ ْ َ ُ ْو‬
َ َ‫َ ْ َ َ ذُ ُ ْ ٍَ َََ ٌَ َ َ ْ َ ٍَ َ َ ْ ت‬
Artinya :‛Dan Jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.‛ 7
Dalam beberapa riwayat hadits, ditemukan penjelasan tentang
seseorang yang jatuh ke keadaan taflis (pailit). Seperti hadits-hadits berikut
ini:

ِ
ِ
ُ َ َ ِ ْ ‫ص ى ُ ََْ َ َ َ َ َ ََى ُ َ ذ‬
َ ِ

َ ْ َِ ْ َ ٍ ِ َ ِ ْ ٍ َ َ ُ ِْ ْ َ
. ِ َْ َ َ َ ٍ ْ َ ِ ُ َ َ َ

Artinya : ‚Dari Ibnu Kaab bin Malik, dari ayahnya r.a bahwa
sesungguhnya Rasulullah Saw. menahan barang kepunyaan Mu’adh
6

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid 3,Terjemahan Imam Ghozali Said dan A. Zaidun ( Jakarta
: Pustaka Imani, 1995), 330.
7
Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemahan (Bandung : CV Haekal Media Center, 2007), 67.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

dan beliau menjualnya untuk melunasi hutangnya yang menjadi
bebannya.‛8

ِ ‫ا‬
ِ ِِ ِِ ِ
‫ا‬
َ َ َ ْ َ ‫ْ َََ َ َ ََ ُ ْو َا‬
. َِ‫َ َْ ِ َ ْ ٌ ََ َْ ْت‬

ِ
ِ
ِ
ِ ِ
ْ َ ‫َ ََ ْ ُد ِا َ ُ َ ْف ِ ُ َ ْف ْ ُ َ ََْ َ َض‬
ِ
ِ
ِ
َ ِ َ‫َ ُ َ ُغ‬
ْ ََ ‫ض‬
ُ َ َ َ ْ َ َ , ََْ َ ِْ ‫صَ َ قَد‬

Artinya: ‚……..Amma ba’du, wahai sekalian manusia sesungguhnya
Usafi’ adalah Usafi’ dari Juhainah. Ia telah merelakan agama dan
kejujurannya untuk dikatakan bahwa ia mendahulukan semua
kebutuhan dan bahwa ia telah berhutang tanpa melunasinya sehingga
menjadi dua periuk atasnya. Maka barang siapa mempunyai hutang
atasnya, hendaknya dating kepada kami.‛9
3. Ketentuan hukum tentang pailit (Tafli@s ).

Muflis (orang yang bangkrut), dalam arti bahasa, adalah orang yang
tidak punya harta dan pekerjaan yang bisa menutupi kebutuhannya.
Sedangkan dalam peristilahan para ulama mazhab adalah orang yang
dilarang oleh hakim (untuk membelanjakan hartanya) karena dia terlilit
hutang yang menghabiskan seluruh hartanya dan bahkan masih kurang,
dimana bila seluruh harta yang dimilikinya dibagikan kepada para pemilik
piutang pasti tidak mencukupi.10

4. Pendapat Ulama tentang pailit.
Menurut Ulama mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, apabila hakim
berpendapat, bahwa debitur dalam keadaan sakit (bukan dibuat-buat) maka
kreditur tidak boleh menuntutnya dan mengawasi terus menerus, dia harus
8

Ali Ibnu Umar ad-Daruqutni, Sunan al-Dar al-Qutni, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 125.
Malik bin Anas, Muwatto’, Jilid 2 (Beirut : al-Kutub,tt),70.
10
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali
(Jakarta : Lentera, 2000), 210.

9

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

diberi kebebasan untuk mencari rizki sampai dia berkelapangan untuk
melunasi hutangnya. Sedangkan Ulama mazhab Hanafi berpendapat apabila
ternyata tidak ada lagi harta untuk membayar hutang kepada kreditur, maka
kreditur dibebaskan.11
Imam

Syafi’i,

Imam

Malik,

Abu

Yusuf

dan

Muhammad

membolehkan penjualan harta debitur atas permintaan krediturnya. AlSyaukani juga membolehkan menyita harta orang yang bangkrut (pailit)
untuk membayar hutangnya, sekalipun harta tersebut tidak memadai untuk
membayar hutangnya secara keseluruhan. Pendapat ini disandarkan pada
kisah Muaz bin Jabbal.12
Jumhur fuqoha yang berpendirian tentang adanya pengampuan
terhadap orang yang yang pailit mengatakan, bahwa sebelum ada keputusan
tentang kepailitannya, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang
sama dengan orang lain.13
Jumhur Ulama berpendapat bahwa seseorang dapat dinyatakan pailit
setelah mendapat putusan hakim, dengan demikian segala tindakan debitur
terhadap hartanya, masih dapat dibenarkan. Oleh sebab itu para Ulama yang
mendapat pengaduan harus sesegera mungkin mengambil suatu keputusan,
agar debitur tidak leluasa melakukan aktivitasnya.14

11

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali,
702.
12
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Cet. 1 (Jakarta: Logos, 1999), 191.
13
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 337.
14
M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam ( Fiqh Muamalah), 197.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

Mengenai keadaan orang pailit sesudah pailit maka Imam Malik
berpendapat bahwa orang tersebut tidak boleh mengadakan penjualan,
pembelian, pengambilan ataupun pemberian. Begitu pula ia tidak boleh
mengaku berhutang atas tanggungan, baik kepada orang dekat maupun orang
jauh, tetapi menurut salah satu riwayat, dikecualikan jika untuk seorang dari
mereka dengan saksi. Sedangkan menurut riwayat yang lain, ia boleh
mengeluarkan pengakuan (berhutang) terhadap seseorang yang diketahui
mempunyai tagihan atasnya.15
Para Ulama mazhab sepakat bahwa seorang muflis tidak dilarang
menggunakan hartanya, sebesar apapun hartanya kecuali sesudah adanya
larangan dari hakim. Jika dia menggunakan seluruh hartanya sebelum adanya
larangan hakim, maka tindakannya dianggap berlaku. Para kreditur tidak
berhak untuk melarangnya, sepanjang hal tersebut tidak dimaksudkan untuk
melarikan diri dari hutang atau menggelapkan hak-hak orang lain yang ada
pada dirinya, khususnya bila tidak ada harapan untuk bertambahnya
penghasilan berdasar kenyataan yang ada.16
Harta yang bisa ditagih oleh penjual (kreditur) dari orang pailit
(debitur) tergantung pada macam dan kadar barangnya. Barang atau benda
yang diperjualbelikan dan telah tiada, maka piutangnya menjadi tanggungan
orang yang pailit. Apabila barang itu masih ada dan belum musnah, maka
dalam hal ini fuqoha’ Amshor berselisih pendapat :

15

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid 3, 338.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali,
706.
16

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

Imam Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat

bahwa

bagaimanapun juga pemilik barang lebih berhak atas barang tersebut, kecuali
jika ia meninggalkannya dan memilih pembagian piutang. Sedangkan
menurut Ulama Hanafiyah barang siapa yang bangkrut (hakim sudah
menyatakan kebangkrutannya) sedang ia mempunyai barang milik orang lain
dengan jelas, maka orang yang memiliki harta seperti hutang yang artinya
tidak mempunyai hak atas harta itu dibanding orang-orang yang hutang
lainnya. Apabila bangkrut sebelum memiliki harta tanpa izin penjual maka ia
wajib mengembalikannya dan menahannya dengan harga dalam keadaan
belum dimiliki.17

B. Hak Preferen (istimewa) dalam perkara kepailitan di Indonesia menurut Hukum
Islam.
Dalam hukum Islam kreditur yang diberikan hak berupa hak preferen
ialah seorang pedagang yang menjual barang dagangannya kepada pembeli
dengan cara memberikan utang kepada pembeli atau mengangsur barang
tersebut, kemudian pembeli tersebut dalam keadaan bangkrut dan pedagang
(kreditur) tersebut menemukan barangnya masih utuh pada pembeli yang telah
bangkrut, serta ia (kreditur) belum menerima pembayarannya sedikitpun dari
pembeli.18

17

Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami Wa Adilatahu, Juz 5 (Dar al-Fikr, 1984), 475.
Http://alhushein.blogspot.com/2012/01/hukum-kepailitan-tafli>s-dalam-Islam.html
tanggal 20 Juni 2017 pukul 10.00 wib.

18

diak