Index of /ProdukHukum/kehutanan

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

UPAYA PENINGKATAN KUALITAS KAYU HUTAN RAKYAT
SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI
Oleh:
Mohammad Muslich dan Krisdianto 1)

ABSTRAK
Perkembangan system agroforestry hutan rakyat telah mampu berperan dalam
pengembangan ekonomi pedesaan dan fungsi lingkungsn lainnya, seperti pencegahan erosi dan banjir,
peningkatan kesuburan lahan konservasi sumber air. Kayu dari hutan rakyat yang berawal untuk
konsumsi sendiri, perlahan telah mampu menjadi alternatif asokan bahan baku bagi industri
pengolahan kayu. Kualitas kayu dari hutan rakyat relatif lebih rendah dari kayu hutan alam,
sehingga perlu perlakuan lanjutan dalam pengolahan kayunya. Perbaikan kualitas kayu rakyat dapat
dilakukan melalui pemilihan bibit yang baik, perawatan tanaman dan perlakuan kayunya.
Peningkatan kualitas kayu rakyat dapat dilakukan melalui pengawetan, pengeringan dan
peningkatan berat jenis disesuaikan kebutuhan bahan bakunya.
Kata kunci:Hutan rakyat, kayu, kualitas, industri

I.


PENDAHULUAN
Pengembangan hutan rakyat berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi

pedesaan. Masyarakat pedesaan yang memiliki pekarangan, tegalan, kebun, sawah dan
sebagainya, umumnya mengandalkan penanaman padi dan palawija serta jenis tanaman
pertanian lainnya sebagai penghasil utama. Dalam perkembangannya diusahakan
kombinasi jenis tanaman yang meliputi tanaman pangan, buah-buahan dan tanaman
tahunan, serta tanaman kehutanan yang kemudian dikenal dengan istilah agroforestry.
Perkembangan system agroforestry ini dinilai mampu meningkatkan fungsi ekonomi,
ekologi dan social (Nair, 1993).
________________________
1)

Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor

110

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

Penerapan sistem agroforestry telah berkembang di masyarakat dengan variasi

jenis tanaman berbeda-beda di setiap daerah. Masyarakat di Jawa Barat dan Jawa Tengah
misalnya,

banyak mengusahakan

jenis

sengon/jeunjing

(Paraserianthes falcataria)

(Haeruman et al., 1986; Wahyuningsih, 1993). Sedangkan masyarakat di Gunung Kidul
dan Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, banyak mengembangkan jenis jati
(Tectona grandis) (Hardjanto, 2001). Di bangkalan, Madura, masyarakat mengusahakan
jenis Acacia auriculiformis (Widjayanto, 1992).
Pengusahaan kayu rakyat dalam bentuk agroforestry telah berlangsung sejak
puluhan tahun lalu, terutama di Jawa. Pada awalnya kayu dari hutan rakyat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan sendiri sebagai kayu bakar (90%) dan pertukangan (70%)
dan belum menjadi komoditi komersial (IPB, 1976; UGM, 1977). Namun dalam
perkembangannya kayu rakyat mampu memenuhi kebutuhan industri pertukangan

maupun mebel serta perkapalan baik di tingkat industri kecil, menengah maupun
industri padat modal. Dalam kondisi demikian, kayu rakyat telah menjadi alternatif
pasokan bahan baku bagi industri pengolahan kayu.
Salah satu permasalahan dalam pengelolaan hutan rakyat adalah masyarakat
belum melakukan intensifikasi hutan rakyat. Dalam hal ini, petani belum menggunakan
bibit unggul dalam penanaman areal hutan rakyatnya. Selain itu, penanamannyapun tidak
memperhatikan jarak tanam dan cenderung tidak dirawat secara khusus. Dalam kondisi
demikian, kualitas batang yang dihasilkan cenderung kurang baik. Tulisan ini akan
mendiskusikan upaya peningkatan kualitas kayu dari hutan rakyat agar dapat digunakan
sebagai sumber alternatif untuk bahan baku industri pengolahan kayu. Pada bagian
pertama didiskusikan tentang pengertian kayu rakyat, dilanjutkan dengan potensi hutan
rakyat, kualitas kayu rakyat dan bagian akhir tentang upaya peningkatan upaya
peningkatan kualitas kayunya.

II. PENGERTIAN KAYU RAKYAT
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pengusahaan hutan rakyat telah
berlangsung lama dan merupakan sistem agroforestry yang mampu meningkatkan
ekonomi pedesaan. Difinisi hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki rakyat dengan luas
minimal 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman lainnya lebih dari 50% atau pada tanaman
tahun pertama minimal sebanyak 500 tanaman per-hektar (Anonim, 2005). Hutan rakyat


111

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

dapat dikembangkan pada lahan milik perorangan atau lahan yang dibebani hak-hak
lainnya di luar kawasan hutan yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan hutan rakyat.

Gambar 1. Pohon jati di antara tanaman lada hitam di Kalimantan Timur
Saat ini, hutan rakyat telah mampu memberi manfaat sosial ekonomi seperti
dalam menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui
perdagangan kayu yang ditimbulkan dan dampak lingkungan lainnya, seperti pencegahan
erosi dan banjir, peningkatan kesuburan lahan dan konservasi sumber air.
Karakteristik pengelolaan hutan rakyat di Indonesia sebagian besar masih
bersifat individual yaitu oleh keluarga, organisasi petani, tidak mempunyai manajemen
formal, tidak responsif, subsisten dan dipandang sebagai tabungan bagi keluarga pemilik
hutan rakyat. Karakteristik seperti ini di dalam perkembangan ke depan kurang memiliki
daya saing dan tidak memiliki posisi daya tawar yang tinggi dengan pedagang maupun
industri. Namun demikian kita harus yakin pada semua pihak bahwa sistem hutan rakyat
mampu secara seimbang menjaga fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan dari hutan

tersebut. Di samping itu masyarakat mempunyai cara tersendiri dalam mengelola dan
memanfaatkan kekayaan yang ada di dalam sistem hutan rakyat mereka.
Agar hutan rakyat lebih memberikan manfaat maka strategi pengelolaan hutan
rakyat yang seringkali merupakan pengelolaan yang bersifat individual perlu
mendapatkan pengarahan secara intensif agar dapat lebih dikembangkan. Mengingat
hutan rakyat dapat berada pada berbagai kawasan fungsi, tingkat kekritisan lahan,
pemasaran, teknik silvilkultur, kondisi sosial ekonomi dan penanganan paska panen
seperti pengelolaan hasil. Diharapkan hasil dari hutan rakyat tetap dapat dirasakan

112

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

manfaatnya oleh masyarakat sebagai investasi dan penghasilan tambahan yang dapat
diandalkan.
Keterlibatan pemerintah terhadap hutan rakyat sudah dimulai sejak tahun 1970an dengan adanya program sengonisasi, program penghijauan, program hutan rakyat
daerah transmigrasi dan sebagainya. Lebih lanjut peran pemerintah dalam
mengembangkan hutan rakyat adalah adanya instansi Dinas Perhutanan dan Konservasi
Tanah yang merupakan pelimpahan tugas dan wewenang pengembangan hutan rakyat
dari Departemen Kehutanan kepada Pemerintahan Dati II. Namun demikian, sampai

saat ini kegiatan lembaga ini terfokus pada penyediaan bibit kepada petani. Selain itu, di
beberapa daerah dijumpai juga penyebarluasan informasi dalam teknik budidaya dan
kerjasama penyediaan bibit, seperti misalnya kerjasama Perum Perhutani dengan
Pemerintah Daerah Gunung Kidul dalam pemberian pohon jati plus untuk menunjang
pengadaan bibit jati di Kabupaten Gunung Kidul.

II.

POTENSI KAYU DARI HUTAN RAKYAT
Data potensi dan luas hutan rakyat diperkirakan mencapai 39.416.557,5 m3

dengan luas 1.568.415,6 ha (Wardana, 2005) dengan rincian seperti pada table 1.
Sedangkan data potensi hutan rakyat berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai
39.564.003 m3 dengan luas 1.560.229 ha. Jumlah pohon mencapai 226.080.019 dengan
jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.485.993 atau potensi produksi sekitar 19.621.480
m3 (MKI, 2005). Perkiraan stok produksi kayu hutan rakyat dibandingkan dengan hutan
tanaman dan hutan alam adalah 3.284.700 m3/tahun, 6.534.800 m3/tahun dan
31.448.900 m3/tahun.
Tabel 1. Potensi dan luas hutan rakyat di Indonesia
No.

1.
2.
3.
4.
5.

Jenis Hutan Rakyat
Hutan Rakyat Swadaya
Hutan Rakyat Subsidi
Hutan Rakyat melalui KUHR
Hutan Rakyat DAK DR 40%
Hutan Rakyat Kegiatan GNRHL
Jumlah :

Luas (Ha)
966.722,3
131.090,5
41.785,9
18.917.9
409.899,0

1.568.415,6

Potensi (m3)
33.650.443,1
4.935.417,5
744.129,9
86.567,0
0,0
39.416.557,5

113

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui secara
formal oleh pemerintah maupun tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat).
Di dalam hutan rakyat ditanam aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa beraneka
ragam. Untuk hasil kayu misalnya sengon, jati, akasia, mahoni, surian, sungkai,
sonokeling dan lain-lainnya. Sedangkan yang hasil utamanya berupa getah antara lain
kemenyan, pinus dan dammar. Sementara itu yang hasil utamanya berupa buah antara

lain kemiri, durian, tengkawang dan sebagainya.
Pada tahun 2003, Biro Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Departemen
Kehutanan telah melakukan pandataan potensi hutan rakyat di Indonesia (Anonim,
2004). Sensus tersebut mencakup 22 jenis tanaman kehutanan, namun data potensi
hutan rakyat hanya mencakup 10 jenis, yaitu: akasia, bamboo, cendana, jati, mahoni,
pinus, sengon, rotan, sonokeling dan sungkai. Pemilihan kesepuluh jenis tanaman
kehutanan tersebut berdasarkan distribusi penyebarannya hamper merata di seluruh
Indonesia. Selain itu, jenis –jenis tersebut dianggap merupakan komoditi unggulan
nasional (Anonim, 2004). Sensus tersebut telah dilakukan di seluruh wilayah Indonesia
kecuali propinsi Nanggroe Aceh Darusallam. Jumlah pohon dan prosentase siap panen
dari 8 jenis pohon di beberapa daerah dirampilkan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah pohon dan % siap panen pada 8 jenis pohon di beberapa daerah

Jenis pohon

Jumlah
kebun rakyat

Akasia
1.200.000

Cendana
73.400
Jati
3.050.000
Mahoni
2.310.000
Pinus
156.000
Sengon
2.320.000
Sonokeling
204.000
Sungkai
22.300
Sumber: BPS, Desember 2004

Jumlah dan % siap panen
Jumlah
Siap panen
(%)

32.020.000
37,69
66.330
30,01
79.710.000
23,14
45.260.000
20,98
5.820.000
46,73
59.830.000
41,13
2.350.000
31,56
1.010.000
37,72

Konsentrasi lokasi
Jawa
NTT, Selsel, Jateng, DIY
Jawa
Jawa
Jawa, Sumut, Sulsel
Jawa
Jateng, DIY, Jatim
Kalimantan, Sumsel, Sulsel

Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi tanaman hutan rakyart adalah di Pulau
Jawa. Seluruh jenis tanaman hutan rakyat yang disensus ada di Pulau Jawa, sedangkan
beberapa jenis tersebar di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Data lengkap mengenal
potensi hutan rakyat ditampilkan dalam Lampiran 1.

114

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

Hasil pembahasan Rakernis Departemen Kehutanan tahun 2005 menyebutkan
bahwa hutan rakyat sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai pemasok kayu. Luas
hutan rakyat Indonesia diperkirakan akan mencapai 1.279.581 ha dengan potensi
tegakan 42.965.520 m3 (Tabel 3). Prediksi ini cukup beralasan mengingat ketersediaan
lahan milik masyarakat masih cukup luas, dan adanya kecenderungan meningkatkan
variasi jenis tanaman.
Tabel 3. Luas dan potensi hutan rakyat tahun 2005
Potensi
No.
Propinsi
Luas (ha)
pengembangan HR
(ha)
1. Jawa Barat dan Banten
79.156
4.457.327
389.715
2. Jawa Tengah
198.890
12.557.702
316.319
3. Jawa Timur
93.661
4.978.836
232.684
4. DIY
29.139
1.447.826
52.612
5. DKI Jakarta
1.673
6. NAD
11.140
38.544
138.298
7. Sumatera Utara
84.927
1.777.683
217.615
8. Sumatera Barat
41.947
67.927
362.190
9. Riau
14.863
1.757.875
1.110.429
10. Jambi
11.272
8.893
1.256.339
11. Sumatera Selatan
55.544
1.472.345
2.671.863
12. Bengkulu
1.750
pm
148.583
13. Lampung
10.558
pm
480.976
14. Bali
13.498
362.295
74.300
15. NTT
150.800
3.190.614
71.523
16. NTB
52.035
1.014.595
71.651
17. Kalimantan Selatan
136.363
3.885.764
369.822
18. Kalimantan Timur
9.174
pm
128.335
19. Kalimantan Tengah
13.459
pm
339
20. Kalimantan Barat
4.519
pm
341.399
21. Sulut dan Gorontalo
27.939
112.339
142.382
22. Sulawesi Tengah
27.939
112.339
142.382
23. Sulawesi Selatan
150.810
5.393.209
680.992
24. Sulawesi Tenggara
20.725
pm
30.284
25. Maluku
3.658
pm
2.943
26. Papua
36.010
pm
Jumlah
1.279.581
42.965.520
9.371.996
Sumber: Rakernis Departemen Kehutanan 2005 (dalam Tampubolon, 2006)
Potensi tegakan
(m3)

115

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

III.

KUALITAS KAYU RAKYAT
Seperti telah disebutkan sebelumnya, kayu rakyat mempunyai kualitas batang

lebih rendah dari kayu dari hutan alam. Jenis kayu rakyat umumnya merupakan jenis
cepat tumbuh dan tidak dirawat seperti dalam hutan tanaman. Selain itu, umur masak
tebangnyapun bervariasi bergantung dari kebutuhan masyarakat pemilik hutan rakyat.
Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, misalnya kebutuhan biaya anak sekolah atau
hajadan, kayu rakyat dapat ditebang dan dijadikan sumber penghasilan untuk menutupi
kebutuhan tersebut. Pemilik kayu rakyat kurang peduli dengan umur pohon dan kualitas
batang yang dihasilkan. Pada saat krisis moneter, misalnya sebagian besar hutan rakyat di
Jawa ditebang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari sisi ekonomi hal
tersebut baik, karena masyarakat mempunyai tabungan yang dapat digunakan dalam
kondisi krisis. Namun kualitas batang yang ditebang relatif rendah, karena umumnya
yang ditebang adalah pohon yang masih muda.
Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka batang kayu rakyat umumnya
merupakan kayu muda (juvenile), berdiameter kecil dan banyak cabang. Kayu rakyat yang
muda menghasilkan kayu dengan berat jenis rendah. Selain itu, kayu muda menyebabkan
kayu tersebut kurang awet secara alami sehingga mudah diserang oleh organisme
perusak kayu. Diameter kecil kayu rakyat mengakibatkan rendemen penggergajian dolok
kayu rakyat relatif kecil. Banyaknya percabangan mengakibatkan timbulnya mata kayu
dalam papan gergajian.
Hal ini berbeda dengan kualitas batang kayu dari hutan alam. Umur kayu yang
berasal dari hutan alam umumnya sudah tua, dapat mencapai lebih dari 100 tahun. Salah
satu ciri kayu hutan alam adalah selama pertumbuhannya tidak ada campur tangan
manusia, pohon tumbuh berdesakan secara alami sehingga mengakibatkan adanya
persaingan yang ketat dalam mendapatkan sinar matahari dan hara. Pertumbuhan
demikian akan menjadi lambat yang menyebabkan pohon tersebut mempunyai berat
jenis atau kerapatan yang tinggi. Keadaan sebaliknya terjadi pada hutan rakyat, yang
selama pertumbuhannya banyak diatur oleh manusia dari pemilihan lokasi, penanaman
sampai penebangan.
Seperti yang diuraikan di depan umur pohon yang relatif lebih muda
dibandingkan dengan pohon yang berasal dari hutan alam, umumnya akan diperoleh
kayu yang berat jenisnya rendah. Dengan demikian kualitas kayu hutan rakyat akan

116

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

berbeda dengan kayu yang berasal dari hutan alam. Kualitas kayu yang dimaksudkan
adalah sifat karakteristik kayu yang nantinya akan berpengaruh terhadap produk yang
dihasilkan dari kayu tersebut. Sifat karakteristik yang penting untuk suatu produk
tentunya akan berbeda untuk produk yang lain. Ladrach (1986) menyatakan bahwa
kualitas kayu bervariasi dengan jenis kayu, provenance, umur pohon, tempat tumbuh
atau ketinggian lokasi dari permukaan laut.

Gambar 2. Penebangan kayu jati rakyat berdiameter kecil
Brazier (1986) berpendapat bahwa kayu yang berasal dari hutan tanaman patut
diduga akan berbeda dengan kayu yang berasal dari hutan alam. Hal ini disebabkan
karena pertumbuhannya yang lebih cepat dan biasanya hutan tanaman termasuk hutan
rakyat yang biasa ditebang pada umur 20-40 tahun jauh lebih muda dari kayu yang
berasal dari hutan alam. Oleh karena itu kayu hutan rakyat umumnya akan lebih ringan,
teksturnya lebih kasar, lebih banyak mengandung mata kayu yang ukurannya lebih besar,
seratnya tidak teratur serta mengandung lebih banyak kayu remaja (juvenile wood). Senft
(1986) juga menyatakan bahwa kayu dari hutan tanaman yang tumbuh lebih cepat dan

117

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

berdaur pendek mengandung lebih banyak kayu remaja. Kayu remaja memiliki sifat
lingkar tumbuh relatif lebih lebar pada tahun awal, kerapatan rendah dengan sel yang
lebih pendek dan mengandung lignin dengan kadar yang lebih tinggi, penyusutan
longitudinal lebih besar dan lebih banyak arah serat sepiral serta kekuatannya lebih
rendah. Pohon yang makin cepat pertumbuhannya pada periode awal, akan makin
banyak volume kayu remajanya dan bila ditebang pada umur yang masih muda maka
seluruhnya akan terdiri dari kayu remaja (Kininmonth, 1986).

Gambar 3. Percabangan pada kayu jati rakyat
Secara umum berat jenis kayu merupakan faktor utama yang menentukan
kekuatan mekanis kayu. Kayu yang mempunyai berat jenis tinggi lebih disukai untuk
bangunan konstruksi yang mengutamakan kekuatan. Sebaliknya kayu yang berat jenisnya
rendah lebih disukai untuk penggunaan yang mengutamakan kestabilan dimensi.
Sedangkan kayu dengan berat jenis medium sering lebih disukai untuk bahan pulp dan

118

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

kertas. Pada umumnya dengan bertambah umur pohon akan bertambah pula kayu
terasnya. Kayu yang masih muda mempunyai bagian teras yang sedikit, kadar ekstraktif
yang rendah, keawetannya juga rendah (Harris, 1986). Kayu teras mempunyai keawetan
alami lebih tinggi dibandingkan dengan kayu gubal. Di samping itu kayu teras
mempunyai corak warna alami yang gelap dan menarik misalnya pada jati, eboni,
sonokeling dan lain sebagainya. Kayu hutan rakyat yang umumnya mempunyai mata
kayu yang banyak akan menentukan kualitasnya, terutama pada kayu bulat yang digergaji
menjadi berbagai sortimen dan yang dikupas menjadi venir. Secara umum telah
diketahui bahwa adanya mata kayu akan menurunkan kekuatan dan serat kayu tidak
lurus sehingga akan mempengaruhi dalam penampilan. Arah serat kayu yang tidak lurus
akan menurunkan kualitas sifat pemesinan dan kestabilan dimensi.

IV. PENINGKATAN KUALITAS KAYU RAKYAT
Peningkatan kualitas kayunya dapat dilakukan dalam 3 aspek, yaitu pemilihan
bibit, perawatan tanaman dan perlakuan kayu. Aspek pertama, pemilihan bibit dapat
dilakukan dengan memasok bibit dari kebun benih terpilih atau pohon plus yang
bersertifikat. Mengingat kayu rakyat diusahakan oleh masyarakat dengan penghasilan
rendah, maka penyediaan bibit dengan kualitas bagus dapat dilakukan melalui kerjasama
antara lembaga pemerintah tingkat desa dengan instansi terkait dalam program
pembinaan petani hutan rakyat. Sebagai contoh misalnya kerjasama antara Pemda
Gunung Kidul dengan Perum Perhutani dalam penyediaan pohon plus jati untuk
memasok bibit jati kepada masyarakat. Dalam pemasokan bibit kualitas bagus sebaiknya
disertai dengan pembinaan cara menanam dan memelihara tanaman rakyat, sehingga
kualitas tanaman dapat terjaga.
Aspek kedua, perawatan tanaman adalah hal-hal yang perlu dilakukan pada saat
tanaman tumbuh. Perawatan tanaman di dalamnya termasuk penjarangan, pembersihan
cabang (pruning) dan pemupukan. Dalam hal penyampaian informasi perawatan tanaman,
dapat dilakukan melalui program pembinaan aparat desa kepada petani hutan rakyat.
Aspek ketiga, perlakuan kayu rakyat setelah dipanen. Dalam perlakuan kayu
untuk meningkatkan mutu, berbagai perlakuan telah dikembangkan seperti pengawetan,
pengeringan dan peningkatan berat jenis (densifikasi). Setiap perlakuan tidak selalu cocok
untuk berbagai jenis kayu, sehingga diperlukan data yang akurat mengenai sifat dan

119

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

karakteristik kayunya. Beberapa hasil penelitian mengenai perlakuan kayu yang telah
dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan ditampilkan pada Tabel
4.
Seperti telah diketahui kayu adalah bahan lignoselulose yang mudah diserang
oleh organisme perusak kayu. Untuk menjaga agar mutu kayu tetap baik dan dapat
berumur lebih panjang, dapat dilakukan dengan proses pengawetan. Proses pengawetan
adalah memberikan bahan kimia beracun kepada kayu agar kayu tersebut tidak terserang
organisme perusak. Pengawetan kayu dapat bersifat sementara (propilactic treatment) dan
permanen.
Pengawetan yang bersifat sementara bertujuan untuk mencegah serangan jamur
pewarna dan kumbang ambrosia. Beberapa jenis kayu hutan rakyat seperti pinus, kemiri,
pulai, dan gemelina khususnya dalam bentuk dolok yang baru ditebang dan papan
gergajian yang masih basah, mudah sekali diserang jemur pewarna dan kumbang
ambrosia. Jamur pewarna yang termasuk dalan kelas Ascomycetes dari genus Ceratocytis
dan Diplodia, dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Penampakan pada barang
jadi yang berwarna kotor, mutunya akan menurun meskipun kekuatan mekanis kayu
tidak berubah. Jamur pewarna yang sering kita jumpai yaitu jamur biru (blue stain),
menyerang kayu yang masih segar. Jamur ini mula-mula tumbuh di permukaan kayu,
kemudian menembus ke dalam dan menimbulkan warna kebiruan sampai kehitamhitaman. Serangan ini dimulai pada ujung dolok kayu atau pada permukaan kayu yang
kulitnya terkelupas.
Di samping serangan jamur pewarna, dolok yang masih segar dapat diserang juga
oleh kumbang ambrosia. Kumbang ini digolongkan dalam famili Platypodidae dan
Scolytidae yang membuat lubang gerek dalam kayu dan hidup dari jenis jamur yang
ditumbuhkan pada lubang gereknya. Pada umumnya serangan kumbang ambrosia
memerlukan kadar air kayu di atas 40% dan kayu yang kadar airnya di bawah 25% tidak
diserang lagi (Martawijaya, 1988). Serangan kumbang ambrosia berupa lubang-lubang
bulat kecil dengan diameter 0,5–2,0 mm. Dinding lubang gerek ditumbuhi jamur yang
merupakan makanan serangga tersebut. Pertumbuhan jamur ini menimbulkan warna
kehitam-hitaman pada dinding lubang gerek sehingga barang jadi akan menurun
mutunya. Untuk mencegah terjadinya cacat kayu karena serangan jamur pewarna dan
kumbang ambrosia dapat digunakan pestisida. Pencegahan dilakukan pada dolok dengan
penyemprotan atau pencelupan pada kayu gergajian.

120

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

Tabel 4. Peningkatan kualitas kayu pada beberapa kayu hutan rakyat
No.

Jenis kayu
Ramin

1.
Ramin
2.

3.

4.

Kayu batu,
keranji dan
tapos
Pinus,
mangium

9.

10.
11.

12.

13.

Hasil
Masa protek sampai 4 minggu
(Marawijaya et al. (1988)

Rentan kumbang
ambrosia

Masa protek sampai 4 minggu
(Martawijaya et al. (1988)

Perbaikan sifat
fisis mekanis

Meningkatkan sifat fisis dan
mekanis (Hadjib dan Sumarni,
2000)
Sifat mekanik pinus naik 100%
dan mangium 60%, tahan
terhadap rayap (Hadjib dan
Sumarni, 2000)
Meningkatkan stabilisasi dimensi
kayu karri dan jarrah (Balfas,
1993)
Lebih tahan serangan rayap tanah
(Hadi dan Sumarni, 1996)
Meningkatkan sifat fisis mekanis
dan lebih tahan terhadap rayap
(Sumarni dan Utama, 1989)
Meningkatkan sifat fisis mekanis
dan lebih tahan terhadap
penggerek di laut (Muslich dan
Hadjib, 1990)
Keempat kayu yang dipasang di
laut selama 6 bulan sudah hancur,
sedangkan yang perlakuan masih
utuh (Muslich, lempang dan
Rulliay, 1999)
Dibuat pada tahun 1965 sampai
2006 di Cimanggu oleh
Martawijaya
Dibuat pada tahun 1995 dan 1996
sampai 2006 di Makassar
(Muslich, 1996)
Dipasang tahun 1995 sampai
2006 masih utuh di Malili, Tanah
Toraja dan Borisalo Sulawesi
Selatan (Muslich, 1995)

Perbaikan sifat
fisis mekanis

Acetilasi:
Acetate anhidrida

Stabilisasi dimensi

Flakeboard
kayu karet
Karet

Acetilasi:
Acetate anhidrida
Polimerisasi:
Monomer polystiren,
metal metakrilat
Polimerisasi:
Monomer stiren dan
metal metakrilat

Rentan rayap

Karet, pinus,
mahoni, leda,
gmelina,
cempaka

Pengawetan:
Vakum tekan, bahan
pengawet CCB

Perbaikan kelas
awet

Rumah dari
kayu jeunjing

Pengawetan:
Vakum tekan, bahan
pengawet CCA
Pengawetan:
Rendaman dingin,
bahan pengawet CCB
Pengawetan:
Rendaman panas
dingin dan vakum
tekan, bahan pengaet
CCB
Shed drying

Perbaikan kelas
awet

7.

8.

Masalah
Rentan blue stain

Karri, jarrah
5.
6.

Perlakuan
Disemprot :
NaPCP 6%, NaPCP
(6%),
Dichlofluanid,Tributiti
n acetate
Disemprot:
decamethrin (0,025%),
cypermethrin (0,05%),
cyhalothrin (0,05%),
permethrin (0,3%)
Impregnasi:
Minyak laka dan
minyak jarak
Impregnasi:
Furfural alcohol
dengan katalis ZnCl2

Jeunjing,
dammar, jati
HTI

Rumah dari
kayu kemiri
dan pinus
Pal batas
hutan dari
randu, pinus
gemelina
Mangium

Perbaikan sifat
kuat dan awet
Perbaikan kelas
kuat dan awet

Perbaikan kelas
awet
Perbaikan kelas
awet

Mudah retak

Tanpa cacat dan warna lebih
mengkilat (Basri, 2005)

121

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

Pengawetan kayu secara permanent adalah upaya untuk memasukkan bahan
pengawet ke dalam kayu, agar kayu tidak diserang oleh organisme perusak sehingga
umur pakai kayu menjadi lebih panjang. Pengawetan kayu hanya memperbaiki mutu sifat
keawetannya saja dan tidak dapat memperbaiki sifat keteguhan ataupun kekerasannya.
Pengawetan kayu dapat dilakukan dengan banyak cara, mulai dari cara yang sederhana
sampai dengan cara yang sempurna. Masing-masing cara mempunyai tujuan yang sama
yaitu untuk memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu yang bayaknya dan
kedalamannya sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan (Findlay, 1985; Hunt dan
Garrat, 1953 dan Wilkinson, 1978).
Bahan pengawet yang dapat dipakai adalah bahan pengawet yang mengandung
bahan aktif yang dapat mencegah salah satu atau beberapa organisme perusak. Jenisjenis bahan pengawet tersebut harus memiliki nama dagang dan sudah terdaftar dan
diizinkan penggunaannya oleh menteri Pertanian atau komisi pestisida. Formulasi bahan
pengawet dapat berupa serbuk, pasta ataupun cairan siap pakai dan dapat dilarutkan
dalam air atau pelarut organik. Jenis kayu yang mempunyai kelas awet rendah, bila
diawetkan dengan benar dapat bertahan sampai umur pakai di atas 25 tahun. Sebagai
contoh, rumah sengon yang dibangun pada tahun 1965 di Cimanggu yang diawetkan
dengan CCA dengan metode vakum tekan, sampai sekarang masih utuh. Selain sengon,
pada tahun 1994 dan 1995, rumah dari kayu kemiri dan kayu pinus yang dibangun di
Makassar dengan terlebih dahulu diawetkan dengan CCB, dengan metode rendaman
dingin sampai sekarang masih layak huni. Selain rumah, pal batas dari kayu randu,
gemelina dan pinus di Sulawesi Selatan dari tahun 1994 sampai sekarang masih utuh.
Masalah yang sering dihadapi pada dolok kayu yang baru ditebang juga mudah
menjadi retak dan pecah, sehingga akan mengurangi mutu dan persediaan bahan baku.
Hal ini dapat dilakukan dengan menutup bagian bontos, untuk mencegah penguapan air
kayu yang terlalu cepat dan tidak seimbang, sambil menunggu proses penyiapan dalam
penggerjaan selanjutnya. Dolok kayu pinus, pulai, kemiri dan lainya yang sudah ditutup
pada bagian bontosnya tidak mengalami retak-retak (Kasmodjo, 2000). Sebaliknya jika
tidak dilakukan penutupan bontos, dalam jangka waktu 3 hari sudah mengalami retakretak. Penutupan bontos selain untuk mencegah retak dan pecah juga dapat mengurangi
serangan jamur dan organisme perusak lainnya. Kasmodjo (2000) menyatakan bahwa
bahan yang baik digunakan untuk menutup bagian bontos yaitu flinkote (warna biru),

122

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

preservax atau glotex. Perlakuan penutupan dapat dilakukan dengan cara pelaburan,
penguasan atau penyemprotan.
Hal yang penting lainnya dalam peningkatan kualitas kayu adalah pengeringan
kayu. Kayu merupakan bahan hygroskopis, dimana kayu sangat peka terhadap kondisi
kelembaban udara di sekitarnya. Untuk mempertinggi kestabilan dimensi agar kayu tidak
lagi mengalami penyusutan atau pengembangan yang berarti perlu pengeringan.
Kembang susut kayu dapat terjadi pada kayu selama dalam pemakaian akibat adanya
perbedaan suhu dan kelembaban yang menyolok. Kayu yang sudah dikeringkan hanya
kemungkinan kecil akan mengalami retak, pecah ataupun cacat lainnya.
Pengeringan kayu juga dapat berfungsi untuk menghindari serangan bubuk kayu
basah dan jamur biru serta membuat warna yang lebih cerah terutama pada jenis-jenis
kayu tertentu. Pengeringan harus dilakukan sedini mungkin, dimulai sejak kayu keluar
dari penggergajian. Kayu segar yang dikeringkan sampai kadar 25% tidak lagi mendapat
serangan kumbang ambrosia, sedangkan pada kadar air kayu yang mencapai 18% jamur
biru tidak dapat berkembang dengan baik. Basri (2005) mengeringkan kayu mangium
(Acacia mangium Wild.) dengan metode shed drying dapat menghasilkan kayu kering
tanpa cacat dan warnanya lebih mengkilap meskipun memerlukan waktu agak lama.
Pengeringan kayu juga diperlukan untuk mempermudah dalam proses pengolahan
selanjutnya. Kayu yang sudah dikeringkan akan mudah dalam pengerjaan dengan alat
mesin, direkat dan finishing. Demikian juga kayu yang sudah kering lebih mudah
diawetkan dengan menggunakan bahan pengawet larut minyak ataupun larut air dan
akan lebih cepat berfiksasi.
Selain pengawetan dan pengeringan, terdapat proses peningkatan berat jenis
kayu atau dikenal dengan istilah “densifikasi”. Seperti telah diketahui, berat jenis adalah
salah satu parameter penting dalam kualitas kayu terutama sifat mekanisnya. Semakin
tinggi berat jenis kayu, semakin kuat kayu tersebut. Secara teori proses densifikasi dapat
dibagi dua yaitu secara mekanis dan menggunakan bahan kimia/polymerisasi. Secara
mekanis kayu dengan berat jenis rendah dikukus terlebih dahulu untuk kemudian
ditekan/dipress dengan pemberian beban tertentu. Pemberian panas selama pengukusan
mempunyai tujuan melunakkan ikatan sel-sel kayu untuk kemudian ditekan dan
mengurangi ruang udara antar sel-sel kayu untuk kemudian ditekan dan mengurangi
ruang udara antar sel kayu (Krisdianto dan Balfas, 2005).

123

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

Secara kimia, peningkatan mutu kayu dapat dilakukan dengan modifikasi sifat
kayu yaitu yaitu perlakuan kayu yang diberi bahan kimia, bertujuan untuk meningkatkan
kekerasan dan sifat mekanis, juga ketahanan terhadap api, kelembaban dan kerusakan
(USDA, 1987). Modifikasi sifat kayu dapat dilakukan secara fisik maupun kimia atau
kombinasi keduanya. Modifikasi sifat kayu meliputi impregnasi bahan kimia, dengan
bantuan panas dan tekanan atau kombinasi keduanya (Hadjib dan Sumarni, 2000).
Beberapa cara untuk memodifikasi sifat kayu antara lain dengan impregnasi, furfurilasi,
asetilasi dan polimerisasi. Impregnasi adalah penyimpanan dan pengendapan bahan
kimia ke dalam struktur kosong pada kayu, dinding sel atau bereaksinya bahan kimia
dengan komponen dinding sel tanpa merusak struktur kayu (Kollmann et al., 1975).
Tujuan impregnasi pada umumnya untuk meningkatkan resistensi terhadap biodegradasi
dan fotodegradasi, memperbaiki stabilitas dimensi, memperbaiki sifat-sifat kekuatan
lainnya serta untuk meningkatkan daya tahan terhadap api. Hal tersebut tergantung dari
jenis dan bahan kimia yang dipakai (Rowell, 1984).
Peningkatan mutu kayu dengan mengimpregnasikan bahan tertentu seperti
lilin/paraffin, minyak laka, minyak jarak, minyak kemiri atau gondorukem. Impregnasi
minyak laka dan minyak jarak dapat meningkatkan sifat fisis meknis pada kayu batu
(Parinarium corymbosum Miq.), keranji (Dialium indum L.) dan tapos (Elateriospermum tapos
Bl.) (Hadjib dan Sumarni, 2000). Sedangkan furfurilasi merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan mutu kayu dengan mengimpregnasi bahan furfural yang mampu
menimbulkan reaksi silang dengan gugus hidroksil di dalam dinding sel (Hadjib dan
Sumarni, 2000). Furfulasi dapat meningkatkan keteguhan kayu, ketahanan kayu terhadap
serangan jamur dan serangga (Golstein dan Dreher, 1961 dalam Balfas dan Sumarni,
1995). Pada kayu pinus (Pinus merkusi Jungh. Et de Vr.) dan mangium (Acasia mangium
Willd.) yang diimpregnasi dengan furfural alcohol menggunakan katalis larutan 5%
ZnCl2 dengan pelarut air, menunjukkan kenaikkan sifat mekanik kayu pinus sampai
100% dan mangium sampai 60% (Hadjib dan Sumarni, 2000). Kayu yang terfurfurilasi
akan tahan terhadap serangan rayap kayu kering dan rayap tanah (Hadjib dan Sumarni,
2000).
Stabilisasi dimensi juga dapat dilakukan dengan cara asetilasi, Balfas (1993)
melakukan acetilisasi pada kayu karri (Eucalyptus diversicolor) dan jarrah (Eucalyptus
marginata) dengan menggunakan asetat anhidrida dan xylene (25% : 75%) menunjukkan
bahwa perlakuan asetilasi dapat meningkatkan stabilitas dimensi kedua jenis kayu

124

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

tersebut. Hadi dan Sumarni (1996) juga telah membuktikan bahwa flakeboard yang
dibuat dari kayu karet yang diasetilasi, lebih tahan terhadap serangan rayap tanah
dibandingkan dengan flakeboard tanpa perlakuan. Sedangkan polimerisasi merupakan
modifikasi yang dibuat dengan mengimpregnasi bahan plastik ke dalam sel-sel kayu,
yang dapat dilakukan dengan bantuan radiasi atau pemanasan. Polimerisasi lebih dikenal
sebagai kayu plastik atau WPC (wood Polymer Composite). Polimerisasi radiasi
mempunyai keuntungan dapat menghasilkan kayu plastik yang lebih homogen, tidak
diperlukan katalis dan dapat menurunkan pencemaran udara di sekitar pembuatan. Akan
tetapi investasi awal dari pembuatan kayu plastik dengan irradiator sangat tinggi. Kayu
karet yang dibuat kayu plastik dari bahan monomer polystiren, polyester stiren atau metil
metakrilat, ternyata mampu meningkatkan mutu kayu seperti sifat fisis mekanis,
ketahanan terhadap rayap (Sumarni dan Utama, 1989). Muslich dan Hadjib (1990)
membuat kayu plastik dari jeunjing (Parasrianthes falcataria), damar (Agathis loranthifolia)
dan jati HTI (Tectona grandis) melalui proses polimerisasi radiasi dengan monomer stiren
dan metil metakrilat (MMA) pada dosis iradiasi 20 dan 40 kGy. Setelah direndam selama
6 bulan di laut ternyata lebih tahan terhadap serangan penggerek kayu di laut atau marine
borers.
Dengan demikian kayu hutan rakyat yang telah ditingkatkan kualitasnya akan
dapat digunakan secara luas dan efisien. Penggunaan kayu secara luas dan efisien
merupakan diversifikasi dalam penggunaan kayu. Efisiensi dan diversifikasi dalam
penggunaan kayu akan memberikan dampak yang positif terhadap kelestarian dan
kelangsungan fungsi hutan.

V.

KESIMPULAN

1. Hutan rakyat telah mampu berperan dalam pengembangan ekonomi pedesaan dan
fungsi lingkungan lainnya, seperti pencegahan erosi dan banjir, peningkatan
kesuburan lahan dan konservasi sumber air.
2. Kayu rakyat telah mampu menjadi alternatif pasokan bahan baku bagi industri
pengolahan kayu.
3. Kualitas kayu rakyat lebih rendah dari kayu hutan alam, sehingga perlu perlakuan
lanjutan dalam pengolahan kayunya.

125

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

4. Perbaikan kualitas kayu rakyat dapat dilakukan melalui pemilihan bibit yang baik,
perawatan tanaman dan perlakuan kayunya.
5. Perlakuan terhadap kayu rakyat berupa pengawetan, pengeringan dan peningkatan
berat jenis disesuaikan kebutuhan bahan bakunya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1976. Studi pendahuluan penyebaran dan konsumsi kayu di Pulau Jawa dan
Bali (Wilayah II). Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor.
_______, 1977. Feasibility study design wood centre Wilayah I. Fakultas Kehutanan,
UGM, Yogyakarta.
_______. 2004. Potensi hutan rakyat Indonesia 2003. Laporan kerjasama Pusat
inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan
Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik . Jakarta.
_______. 2005. Hutan rakyat Indonesia. Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi III: 32.
Jakarta.
Balfas, J. 1993. Stabilitas Dimensi Pada Kayu Tanaman Karri (Eucalyptus diversicolor) dan
Jarrah (E. marginata). Bag. I: Asetilasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol.
11:3 (89-91). Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor.
Basri, E. 2005.
Brazier, J.D. 1986. Growth features and structural wood performance. Procedeengs 18th
IUFRO World Congress, Division 5 Forest Products, Ljubljana.
Clouston, J.G. 1968. Status and technology of polymer containing fibrous materials in
the eastern hemisphere. Proceeding of Panel Conf. Bangkok. 217-230.
Departemen Kehutanan dan BPS. 2004. Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003. Pusat
Inventarisasi dan Statistik, Departemen Kehutanan dan Direktorat Statistik
Pertanian. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Findlay, W.P.K. 1985. Preservation of Timber in the Tropic. Martinus Nijhoff/Dr W.
Junk Publishers, Dordreht.
Hadjib, N. dan G. Sumarni. 2000. Modifikasi Sifat Kayu Untuk Meningkatkan Mutu
Kayu. Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu, 24 Februari 2000. Bogor.

126

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

Haeruman, H. Hardjanto, E. Suhendang, dan S. Basuni. 1986. Penyusunan sistem
monitoring hutan rakyat di Jawa Barat. Laporan penelitian. Institut
Pertanian Bogor.
Hardjanto. 2001. Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter Terhadap Usaha Kehutanan
Masyarakat di Jawa. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Harris, J.M. 1981. Effect of rapid growth on wood processing. Proceedings 17th IUFRO
World Congress, Division 5 Forest Products, Kyoto.
Hunt, G.M. and Garrat. 1953. Wood Preservation. Mc.Graw-Hill Book Company, New
York.
Kasmodjo. 2000. Usaha Meningkatkan Kualitas Bahan Patung dan Ukiran. Prosiding
Diskusi Panel Pakar, P3HH dan Sosek, Bogor.
Kininmonth, J.A. 1986. Wood from fast-grown, short-rotation trees. Proceedings 18th
IUFRO World Congress, Division 5 Forest Products, Ljubljana.
Krisdianto dan J. Balfas. 2005. Anatomical changes of Kekabu wood (Bombax ceiba L.)
Due to mechanical densification. Journal of Forestry Research 2(1): 27-36.
Forestry Research and Development Agency, Jakarta.
Ladrach, W.E. 1986. Wood from fast-grown, short-rotation trees. Proceedings 18th
IUFRO World Congress, Division 5 Forest Products, Ljubljana.
Martawijaya, A. 1997. Protection of Freshout Logs Againts Ambrosia Beetle Attack In
Kalimantan. Eight Wortd Forestry Congress, Jakarta.
__________, 1988. Proteksi kayu ramin terhadap kumbang ambrosia dan blue stain.
Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu Hutan Tanaman Industri. Vol. 1. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor.
……………, 1994. Pedoman Teknis Pengawetan Kayu Untuk Kerajinan. Pusat Litbang
Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor.
Martawijaya, A. dan Barly, 1991. Petunjuk Teknis Pengawetan Kayu Bangunan
Perumahan

dan

Gedung.

Badan

Penelitian

dan

Pengembangan

Kehutanan, Jakarta.
Muslich, M. 1996. Penelitian rumah percobaan 3 unit. Laporan Hasil Penelitian Balai
Penelitian Kehutanan Ujung Pandang (tidak dipublikasikan).
__________, Kajian pengawetan jenis-jenis kayu Sulawesi. Laporan Hasil Penelitian
Balai Penelitian Ujung Pandang (tidak dipublikasikan).

127

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

Muslich, M. dan N. Hadjib. 1990. The Preservation of Marine Borer by Wood
Polymerisation. IUFRO Symposium. Rutorua, New Zealand.
Nair, P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Dordrecht, The Netherland
Kluwer Academic Publishers and ICRAF.
Panshin, A.J. and C. de Zeeuw. 1980. Texbook of Wood Technology. 14th ed. McGrwHill Book Co.
Wilkinson, J.G. 1979. Industrial Timber Preservation. Associated Business press.
London.
Senft, J.F., M.J. Quanci, dan B.A. Bendtsen. 1986. Property profile of 60-year old
Douglas-fir. Proc. o a Cooperative Technical Workshop of Juvenile Wood.
Forest Product Research Society, Madison, USA. Pp 17 – 28.
Sumarni, G. dan M. Utama. 1989. Peningkatan Ketahanan Kayu terhadap Serangan
Bubuk Kayu Kering Heterobostrichus aequalis Watt. Melalui Polimerisasi
Radiasi. Risalah Simposium IV Aplikasi Isotop dan Radiasi, BATAN,
Jakarta.
Tampubolon, A.P., Partama, P. dan E. Suryadi. 2006. Peranan Badan Litbang
Kehutanan dalam mendukung program hutan rakyat dan hutan
kemasyarakatan. Makalah pada Pelatihan dan Pengembangan Hutan
Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Nganjuk.
USDA, 1987. Wood Handbook: Wood as An Engineering Materials. Forest Prod. Lab.
Forest Servive, U.S. Departement of Agriculture USA, Washington DC.
Wahyuningsih, L. 1993. Peranan hutan rakyat sengon (Paraserianthes falcataria (L.)
Nielsen) terhadap pendapatan masyarakat di kabupaten Wonosobo, Jawa
Tengah. Skripsi S-1, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (tidak
dipublikasikan).
Widjayanto, W. 1992. Metode pengaturan hasil hutan rakyat Acacia auriculiformis A.Cunn.
studi kasus di Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan Madura. Skripsi S1, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).
Wilkinson, J.G. 1979. Industrial Timber Preservation. Associated Business press.
London.

128

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 110-129

Lampiran 1. Populasi pohon yang diusahakan rumah tangga menurut Propinsi dan jenis tanaman 2003
Propinsi
1. Sumatera Utara
2. Sumatera Barat
3. Riau
4. Jambi
5. Sumatera Selatan
6. Bengkulu
7. Lampung
8. Banka Belitung
9. DKI Jakarta
10. Jawa Barat
11. Jawa Tengah
12. DI Yogyakarta
13. Jawa Timur
14. Banten
15. Bali
16. NTB
17. NTT
18. Kalimantan Barat
19. Kalimantan Tengah
20. Kalimantan Selatan
21. Kalimantan Timur
22. Sulawesi Utara
23. Sulawesi Tengah
24. Sulawesi Selatan
25. Sulawesi Tenggara
26. Gorontalo
27. Maluku
28. Maluku Utara
29. Papua
Jumlah

Akasia
39.000
114.292
323.872
424.298
1.157.695
2.619
607.920
5.590
2.947.865
3.868.056
2.484.430
3.631.956
778.380
56.763
17.609
178.084
702.853
18.749
46.765
520.120
4.416
135
116.429
1.664
54
19.498
230
594
18.069.936

Bambu
634.802
49.061
60.657
57.907
376.885
82.260
243.529
10.526
16.844
8.233.079
4.217.897
409.836
3.705.984
1.390.535
574.955
335.628
477.571
383.564
71.049
325.540
47.537
136.714
22.489
717.338
38.942
26.208
117.265
31.116
43.954
22.839.672

Cendana
590
318
2
25
6
131
210
3.706
988
11
287
11
19.220
105
18
302
1
4.868
25
10
351
31.185

Jati
507.606
176.121
67.458
85.006
206.928
1.713.680
2.592.907
13.995.039
5.793.811
9.786.603
508.651
315.626
2.060.801
3.947.384
285.037
129.115
297.014
144.839
140.250
2.450.118
1.048.300
348.219
266.479
33.790
36.591
46.957.617

Jumlah pohon (batang)
Mahoni
Pinus
171.436 1.095.569
52.401
43.532
2.833
1.308
3.243
386
95.719
2.648
12.510
84
235.283
7.725
322
3
7.333.856
501.298
11.059.839
745.326
1.545.256
3.817
2.601.540
780.051
1.462.234
45.690
38.950
6.514
85.445
946
1.310.949
2.184
1.535
572
4.118
261
15.617
9.108
37.636
5.915
60.193
7.661
4.584
1.016
49.561
671.158
10.823
1.491
14.241
260
1.046
34
298
382
502
26.211.853 3.935.056

Rotan
17.564
159.457
1.471
3.967
19.105
8.333
626
177
20.616
352
2.433
144.735
13.265.448
1.290.618
2.190.159
19.306
21.935
10.431
1.242
3.362
117
6.998
17.188.452

Sengon
22.994
3.168
278.519
533.231
711.233
55.445
1.054.627
77.703
11.099.868
10.970.906
214.650
3.579.536
2.836.823
535.653
23.799
54.018
45.382
358.103
182.640
1.189.415
4.301
94.922
52.706
148.825
250
4.081
49.876
185
34.182.859

Sonokeling
1.825
1.199
959
1.229
7.126
5.783
83.458
3.142
174
126.789
806.935
683.306
373.136
17.932
19.183
152.820
2.956
562
21.439
994
8.924
1.041
1.167
6.004
16.065
16
8.447
40
2.352.651

129

Sungkai
970
34.772
37.752
4.354
84.236
3.944
8.454
11.385
26.322
422
727
52.701
110
646
10.871
43.558
100.467
72.853
116
86.611
1.600
392
135
583.398