Jurnal Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan Dan Sejarahnya Di Indonesia | Makalah Dan Jurnal Gratis

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN DAN
SEJARAHNYA DI INDONESIA
Dasim Budimansyah *)
ABSTRACT
In accordance with the historical development of citizenship education in the
world, it can be traced that major identities which human beings can experience in
their capacities as socio-political creatures were found in the feudal, monarchical,
tyrannical, national and citizenship systems respectively. Each of them was rooted
in a basic relationship and involves the individual in having the status, a feeling
about the relationship, and competence to behave appropriately in that context.
Different from the three above, the national and citizenship system shows that
people identify themselves with the nation and it means that they are recognizing
their status as members of a cultural group, whatever the given definition. The civic
identity is preserved in the rights warranted by the state and the duties performed
by the citizens individually, who are all autonomous people, equal in status.
Meanwhile, the history of citizenship education in Indonesia has been started
legally by the emergence of Civics subject in 1962. This subject contains the material

about Indonesia governmental system based on UUD 1945, the learning experience
selected from history, geography, economics and politic disciplines, speeches of the
first Indonesia president, Soekarno, human rights declaration and knowledge about
United Nations. In its later development, this subject experiences some changes,
either its terminology or vision and mission, so that it creates an images that there
is an inconsistence of citizenship education in Indonesia. In this context, Indonesian
people still have to learn much from other nations, such as United State of America
in order to be able to formulate the consensus about vision, mission and program of
the more coherent and consistent citizenship education.
Key words: citizenship, civics, citizenship education, and history of civic
education in Indonesia.

*)Dr.

Dasim Budimansyah, M.Si. adalah Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan SPs (Sekolah Pascasarjana) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di
Bandung. Lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada 16 Maret 1962. Menyelesaikan pendidikan
Sarjana (Drs.) di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS IKIP Bandung tahun 1987;
pendidikan Magister (M.Si.) bidang Sosiologi-Antropologi UNPAD (Universitas Padjadjaran)
Bandung tahun 1994; dan program Doktor (Dr.) pada universitas yang sama tahun 2001,

dengan menulis disertasi mengenai “Industri Rakyat dan Pemberdayaan Diri pada Masyarakat
Pedesaan: Suatu Kajian tentang Pengaruh Faktor Religio-Kultural sebagai Pelecut Kemajuan
Usaha”. Buku yang ditulisnya, antara lain, Civic Eduction: Landasan, Konteks, Bahan Ajar dan
Kultur Kelas (Bandung: SPs UPI, 2007). Penulis dapat dihubungi dengan alamat: Program
Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI, Jl.Dr. Setiabudi No.229 Bandung 40154, Jawa
Barat. E-mail: budimansyah@upi.edu

107

DASIM BUDIMANSYAH,
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarahnya di Indonesia

Pengantar
Tampaknya tidak ada satu pun makhluk ciptaan Tuhan di muka bumi
ini, selain manusia, yang memiliki identitas sangat lengkap. Selain sebagai
insan Tuhan, manusia juga adalah insan sosial dan insan politik. Sebagai
insan Tuhan, manusia adalah khalifah di muka bumi yang memiliki
kewajiban untuk beribadah kepada Tuhan dan senantiasa memelihara dan
memakmurkan bumi beserta isinya. Sebagai makhluk sosial, manusia adalah
individu yang selalu berkawan dan bekerja sama dengan sesamanya dalam

upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sebagai insan politik,
manusia adalah warga negara, yakni anggota suatu komunitas politik.
Sebagaimana ditegaskan oleh M.S. Branson (1998) bahwa anggota suatu
komunitas politik adalah warga negara, karena kewarganegaraan dalam
demokrasi adalah keanggotaan dalam lembaga politik. Keanggotaan di sini
mengandung makna partisipasi, tapi bukan sekedar partisipasi semata.
Partisipasi warga negara dalam masyarakat demokratis harus didasarkan
pada pengetahuan, refleksi kritis dan pemahaman, serta penerimaan akan
hak-hak dan tanggung jawab.
Di lain pihak, sebagaimana yang selama ini dipahami, bahwa ethos
demokrasi sesungguhnya tidaklah diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami.
Hal itu ditegaskan oleh Alexis de Toqueville bahwa setiap generasi adalah
masyarakat baru yang harus memperoleh pengetahuan, mempelajari
keahlian, dan mengembangkan karakter – baik watak publik maupun privat
– yang sejalan dengan demokrasi konstitusional. Sikap mental ini harus
dipelihara dan dipupuk melalui perkataan dan pengajaran serta kekuatan
keteladanan. Demokrasi bukanlah “mesin yang akan berfungsi dengan
sendirinya”, tetapi harus selalu secara sadar direproduksi dari satu generasi
ke generasi berikutnya (dalam Branson, 1998:2). Oleh karena itu pendidikan
kewarganegaraan seharusnya menjadi perhatian utama, karena tidak ada

tugas yang lebih penting selain dari pengembangan warga negara yang
bertanggung jawab, efektif dan terdidik. Demokrasi dipelihara oleh warga
negara yang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan karakter yang
dibutuhkan. Tanpa adanya komitmen yang benar dari warga negara
terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka masyarakat yang
terbuka dan bebas tak mungkin terwujud.
Tulisan ini akan menguraikan sejarah pendidikan kewarganegaraan
sebagai suatu perkembangan pemikiran dalam mewujudkan masyarakat dan
negara-bangsa demokratis yang konstitusional. Pada awal uraian akan
dijelaskan lima identitas utama yang mungkin dialami oleh setiap orang
dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial-politik. Kelima bentuk identitas
utama tersebut ada pada sistem feodal, kerajaan, tirani, nasional, dan
kewarganegaraan.
Uraian
dilanjutkan
pada
pola-pola
sejarah
kewarganegaraan menurut pandangan sejumlah tokoh seperti: (1) T.H.
Marshal yang memperkenalkan tiga bentuk hak kewarganegaraan, yaitu hak

sipil, hak politik, dan hak sosial; (2) J.G.A. Pocock dengan hipotesis tentang

108

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)

dwikarya dalam sejarah kewarganegaraan di zaman Yunani dan Romawi;
dan (3) Peter Riesenberg dengan teori utamanya yang menegaskan ada dua
fase dalam sejarah kewarganegaraan, dengan satu periode transisi kira-kira
seratus tahun di akhir abad ke-18.
Mengenai perkembangan pendidikan kewarganegaraan akan diuraikan
pengalaman Amerika Serikat, sebuah negara yang secara historisepistemologis dapat dicatat sebagai negara perintis kegiatan akademis dan
kurikuler dalam pengembangan konsep dan paradigma citizenship
education.
Uraian
diakhiri
oleh
perkembangan
pendidikan

kewarganehgaraan di Indonesia, sejak secara material tercantum dalam
Kurikulum SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah
Atas) tahun 1957 terdapat mata pelajaran tata negara dan tata hukum
yang di dalamnya dibahas konsep kewarganegaraan, khususnya mengenai
status legal warga negara dan syarat-syarat kewarganegaraan, serta
secara formal munculnya mata pelajaran civics dalam kurikulum SMA
tahun 1962.

Identitas Manusia sebagai Makhluk Sosial-Politik
Kewarganegaraan (citizenship) adalah bentuk identitas sosial-politik.
Meskipun hanya merupakan salah satu dari beberapa bentuk identitas
sosial-politik, kewarganegaraan memiliki tingkat keselarasan yang teruji di
berbagai waktu selama two-and-three-quarter millennia (dua dan tiga
perempat milenium) sepanjang riwayatnya hingga sekarang. Ada kalanya
kewarganegaraan berjalan selaras dengan bentuk identitas sosial-politik
lainnya, tetapi terkadang bertentangan satu sama lain. Kadangkala menjadi
bentuk identitas yang menonjol, tetapi tidak menutup kemungkinan lebih
rendah dari bentuk lainnya. Kadang-kadang berbeda dari yang lainnya,
tetapi terkadang dianggap sebagai salah satu bentuk identitas sosial-politik
(Heater, 2004:1).

Kita dapat membedakan lima bentuk identitas utama yang mungkin
dialami oleh setiap orang dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial-politik.
Kelima bentuk identitas utama tersebut ada pada sistem feodal, kerajaan,
tirani, nasional, dan kewarganegaraan secara berurutan (Heater, 2004:1).
Masing-masing sistem berakar pada satu hubungan dasar dan melibatkan
individu yang memiliki kedudukan dan pandangan mengenai pemahaman
tersebut, serta kemampuan untuk berperilaku sebaik-baiknya dalam konteks
itu. Selain dari keinginan dan wewenang untuk mengusulkan sistem yang
berlaku bagi semua bentuk identitas ini, kita dapat melihat perbedaanperbedaan penting di antara sistem-sistem tersebut.
Yang dimaksud dengan “sistem feodal” di sini adalah hubungan yang
bersifat hierarki. Artinya, bahwa status hubungan tersebut ditentukan
berdasarkan keterikatan antara budak atau anak buah dan sang tuan, dalam
hal ini yaitu raja. Pandangan yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam
sistem ini terbentuk akibat dari sifat timbal-balik hubungan tersebut, yaitu

109

DASIM BUDIMANSYAH,
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarahnya di Indonesia


pelayanan olehnya (budak atau anak buah) dari bawah dan perlindungan
olehnya (raja) dari atas, yang merupakan satu pola piramida yang
sederhana. Oleh karena itu, wewenang yang diperlukan dalam hal ini
bergantung pada lingkungan hidup orang tersebut.
Di dalam “sistem kerajaan”, raja sebagai penguasa tunggal memiliki
kedudukan
atas
warganya,
sehingga
dia
dikultuskan
dalam
pemerintahannya. Rakyatnya diharapkan menunjukkan semangat kesetiaan
terhadap Raja atau orang kerajaan yang dianggap sebagai lambang negara.
Kesanggupan yang diharapkan dari warga, paling tidak, adalah kepatuhan
bersifat pasif karena hal itulah yang dibutuhkan pada dasarnya.
“Sistem tirani”, yang oleh kita ditujukan untuk semua bentuk
pemerintahan yang otoriter termasuk kediktatoran dan totaliterisme, adalah
penjelasan menyimpang tentang pemerintahan dalam satu tangan. Dalam
hal ini, kedudukan orang jauh lebih rendah karena diakibatkan dari tujuan

yang kuat akan dukungan terhadap rezim diktator. Pandangan politiknya
adalah pendapat yang dihidupkan oleh seorang diktator tersebut, dan satusatunya kemampuan yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk terlibat
dalam pengerahan dukungan terhadap sang diktator tersebut.
Sementara itu “sistem nasional” berkenaan dengan harapan bahwa
rakyat akan setia pada negara-bangsa, dalam artian bahwa mereka
mengakui kedudukan mereka sebagai anggota dari satu kelompok budaya
(apapun definisinya). Pandangan yang berhubungan dengan bentuk
identitas ini berkenaan dengan cinta tanah air dan kesadaran akan tradisi
bangsa. Oleh sebab itu, kebijakan tentang apa yang telah dilakukan dan
masih dilakukan agar negara dan bangsa itu “maju” adalah bentuk
wewenang yang diharapkan dari sistem ini.
Akhirnya kita sampai pada topik “sistem kewarganegaraan”, dalam hal
ini mendefinisikan hubungan individu bukan dengan individu lain (seperti
halnya yang terjadi pada sistem feodal, kerajaan, dan tirani) atau dengan
satu kelompok (seperti halnya dengan sistem kebangsaan), tetapi pada
dasarnya menunjukkan hubungan antara individu dengan gagasan
mengenai negara. Identitas kewarganegaraan dilindungi dalam bentuk hakhak yang dijamin oleh negara dan kewajiban yang dilaksanakan oleh warga
negara secara individu, yang semuanya merupakan orang-orang mandiri,
tidak membedakan mereka satu sama lain. Warga negara yang baik adalah
warga negara yang menjunjung tinggi kesetiaan pada negara dan memiliki

rasa tanggung jawab dalam melaksanakan kewajibannya. Maka dari itu
mereka, dalam hal ini warga negara, memerlukan kecakapan yang sesuai
dengan keterlibatan mereka sebagai warga negara.
Gagasan-gagasan tentang otonomi, persamaan kedudukan dan
keikutsertaan sebagai warga negara dalam urusan-urusan pemerintahan,
melepaskan kewarganegaraan secara teoritis dari bentuk-bentuk identitas
sosial-politik yang berkenaan dengan sistem feodal, kerajaan dan tirani.
Struktur hierarki feodalisme dan harapan-harapan akan terbentuknya sikap

110

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)

patuh dari ketiga sistem yang berbeda ini nampaknya akan membuat ketiga
sistem tersebut bertentangan dengan kewarganegaraan yang sebenarnya.
Dalam hal sistem feodalisme, sebenarnya kewarganegaraan dapat
ditafsirkan sebagai emansipasi dari status yang terikat. Meskipun demikian,
kewarganegaraan dalam bentuknya — kemungkinan dalam bentuk yang
lemah atau cacat — dihubungkan dengan sistem pemerintahan, baik

kerajaan maupun tirani.
Tabel 1
Perbedaan-perbedaan antar Identitas Sosial-Politik
Sistem
Feodal
Kerajaan
Tirani
Nasional

Bidang
Berbasis
hubungan

Individu

Konsep

Ikatan timbal-balik
Kesetiaan
Pusat sistem

Wilayah negara

Kewarganegaraan

Agama/ideologi
Idealisasi
Hak dan kewajiban pada
negara

Identitas yang terutama sangat berkaitan dengan negara adalah faham
kebangsaan. Sesungguhnya, kira-kira dari tahun 1800 sampai 2000 secara
praksisnya bentuk-bentuk identitas tersebut digabungkan menjadi satu
gagasan yang menjadi pegangan bahwa warga negara dan bangsa harus
coterminous atau bersifat mencakup segala kalangan (Heater, 2004:3). Cara
lain dalam menginterpretasikan perbedaan-perbedaan yang baru saja
diuraikan adalah dengan memperhatikan pola-pola yang dapat dibentuk
dengan melekatkan rasa cinta pada orang, rasa cinta pada tanah air dan rasa
cinta pada satu konsep abstrak (lihat tabel 1 di atas).

Pola-pola Sejarah Kewarganegaraan di Dunia
Tingkat-tingkat generalisasi yang tinggi ini tidak memungkinkan untuk
memberi kesan bahwa semuanya bersifat sesederhana itu. Kewarganegaraan
tentu saja tidak sesederhana dalam teori dan prakteknya. Tentu saja, usahausaha untuk menerangkan bentuk identitas ini telah menghasilkan banyak
pola yang berbeda, baik dalam isinya maupun perkembangan sejarahnya.
Satu survei singkat dari beberapa interpretasi sejarah ini akan menunjukkan
bagaimana tiap interpretasi yang ada menjelaskan apa yang menjadi pokok
persoalan kita.
Beberapa
sarjana
telah
membedakan
pola-pola
sejarah
kewarganegaraan tersebut dengan berkonsentrasi pada pemilihan bahan
yang terbatas. Yang paling terkenal dan berpengaruh dari bahan-bahan ini
adalah karya T.H. Marshall & T. Bottomore yang berjudul Citizenship and
Social Class (1992). Dalam ceramah-ceramahnya yang disampaikan pada
tahun 1941, T.H. Marshall & T. Bottomore mengenalkan tiga bentuk hak
kewarganegaraan, yaitu hak sipil (misalnya persamaan di mata hukum); hak
111

DASIM BUDIMANSYAH,
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarahnya di Indonesia

politik (misalnya hak suara); dan hak sosial (misalnya keadaan sejahtera),
yang dinyatakan berkembang secara historis pada urutan itu. Rincian dari
analisis itu telah menjadi sasaran kritikan, terutama karena mengambil data
hanya dari pengalaman tokoh-tokoh kebangsaan Inggris. Meskipun
menggunakan syarat-syarat tertentu sesudahnya untuk meninjau maksud
ceramah-ceramah T.H. Marshal & T. Bottomore yang terbatas dengan cara
yang lebih luas, gagasan utama dari isi hak-hak kewarganegaraan tripartit
tetaplah dapat digunakan (Marshall & Bottomore, 1992).
Beberapa dekade yang lalu, J.G.A. Pocock (1995) mengajukan hipotesis
tentang dwikarya dalam sejarah kewarganegaraan di zaman Yunani dan
Romawi. Bagi orang-orang Yunani, Aristoteles yang terkenal itu
menganggap warga negara bersifat alamiah. Maksudnya, manusia adalah
zoon politicon atau makhluk politik. Bagi orang-orang Romawi, sebaliknya,
manusia adalah entitas hukum. Maksudnya, sebagai warga negara dia
memiliki kaitan hukum dengan negara. Seperti yang dijabarkan oleh J.G.A.
Pocock berikut ini:
Kemajuan yurisprudensi mengubah konsep “warga negara” dari zoon politicon
menjadi legalis homo, dan dari civis atau polites [masing-masing dalam bahasa Latin
dan Yunani untuk sebutan “warga negara”] menjadi bourgeois atau burger. Lebih
lanjut muncul semacam penyamaan istilah citizen dengan subject (yang keduanya
memiliki arti “warga negara”), karena dalam menetapkannya sebagai anggota
masyarakat yang sama di mata hukum, penyamaan itu menegaskan bahwa dia adalah,
dalam artian yang lebih dari satu, subjek dari undang-undang yang menegaskan
persamaannya dan dari para penguasa dan hakim yang diberi wewenang untuk
menegakkan undang-undang tersebut (Pocock, 1995:38).

Peter Riesenberg, dalam karyanya yang berjudul Citizenship in the
Western Tradition: Plato to Rousseau (1992), memberikan dua pola untuk
kepentingan pembaca, yang sangat berbeda dari karya J.G.A. Pocock. Teori
utamanya adalah bahwa ada dua fase dalam sejarah kewarganegaraan,
dengan satu periode transisi kira-kira seratus tahun di akhir abad ke-18.
Menurut Peter Riesenberg, “kewarganegaraan pertama” bercirikan kepada:
[...] dunia yang mendalam (masyarakat skala kecil) dan kekuatan-kekuatan yang
menjaga kesatuannya […] jika sebagian besar orang sadar secara historis dan moral
tinggal dalam komunitas-komunitas seperti itu dan memiliki gagasan-gagasan yang
sangat serupa tentang apa yang harus dilakukan warga negara yang baik dan
bagaimana mengembangkannya, dari generasi ke generasi (Reisenberg, 1992:xv).

Poros yang membawa dunia Barat menuju “kewarganegaraan kedua”,
menurut Peter Riesenberg, adalah masa akhir revolusi abad ke-18.
Kewarganegaraan yang bijak dan paling lama dipakai secara perlahan
digantikan oleh kewarganegaraan yang lebih inklusif, demokratis, nasional
dan terpusat pada pentingnya kesetiaan. Pandangan Peter Riesenberg yang
lain adalah sifat dasar yang berubah-ubah dari kewarganegaraan pertama

112

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)

sebagai komitmen terhadap cita-cita yang berkembang atau menyusut, atau,
seperti yang dia menyatakannya, sebagai:
[...] rangkaian “momen-momen penting” yang diikuti oleh kemunduran: masa
pemerintahan Solon, awal terbentuknya Republik Romawi, masa-masa awal komunal
abad pertengahan, mungkin bahkan masa-masa kelahiran Republik Amerika. Pada
masa-masa seperti itu, kewarganegaraan benar-benar dapat berjalan (Reisenberg,
1992:xxiii).

Meskipun Peter Reisenberg mengusahakan pola kewarganegaraan
pertama dan kewarganegaraan yang kedua, sebagian besar peneliti lainnya
yang mengamati pokok persoalan tersebut memperlihatkan dualitas yang
agak berbeda, yaitu perbedaan antara apa yang diistilahkan dengan civic
republican (istilah untuk kewarganegaraan berdasarkan pemerintahan
republik) dan tradisi “liberal”. Jenis pemikiran civic republican (penganut
faham humanis zaman Yunani dan Romawi) tentang kewarganegaraan telah
menguraikan bahwa bentuk paling baik untuk satu negara adalah
berdasarkan dua faham. Pertama, penduduk yang terdiri atas orang-orang
yang berakhlak secara politik dan cara pemerintahan yang adil — dalam hal
ini negara harus berbentuk “republik” dalam hal jalannya pemerintahan
secara konstitusional, bukan jalannya pemerintahan secara sewenangwenang, dan bukan pula pemerintahan yang dijalankan secara tirani. Kedua,
elemen perilaku kewarganegaraan yang baik dan bentuk negara republik
sangat diperlukan sehingga muncul istilah civic republican. Sekumpulan
masyarakat terbuka tidak mungkin berada dibawah pemerintahan tirani;
pemerintahan “republik” tidaklah mungkin tanpa dukungan dan partisipasi
aktif dari warga negaranya. Maka dari itu, kewarganegaraan melibatkan
terutama tugas dan nilai kewarganegaraan (Heater, 2004:5).
Sebagai alternatif, yakni pandangan liberal, berkembang di abad ke-17
hingga abad ke-18, dan menjadi benar-benar semakin kuat di abad ke-19
hingga abad ke-20. Jenis pemikiran ini menyatakan bahwa negara ada untuk
kepentingan warga negaranya, dan memang memiliki kewajiban untuk
menjamin agar mereka memiliki dan memperoleh hak-hak khusus. Apabila
kita menggunakan tritunggal bentuk kewarganegaraan yang diusung oleh
T.H. Marshall & T. Bottomore (1992), harus kita perhatikan bahwa jika yang
dimaksudkan oleh para penulis dan politikus abad ke-18 dan ke-19 adalah
hak-hak, maka yang mereka maksud adalah hak-hak sipil dan politik,
meskipun hak-hak sosial muncul pertama secara tentatif dalam Revolusi
Prancis.

Pendidikan Kewarganegaraan: Konteks Amerika Serikat
Setiap masyarakat di belahan bumi manapun sangat mendambakan
generasi mudanya dipersiapkan untuk menjadi warga negara yang baik dan
dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan negaranya. Keinginan
tersebut lebih tepat disebut sebagai perhatian yang terus tumbuh, terutama

113

DASIM BUDIMANSYAH,
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarahnya di Indonesia

dalam masyarakat demokratis. Banyak sekali bukti yang menunjukkan
bahwa tak satupun negara, termasuk Indonesia, telah mencapai tingkat
pemahaman dan penerimaan terhadap hak-hak dan tanggung jawab di
antara keseluruhan warga negara untuk menyokong kehidupan demokrasi
konstitusional. Untuk maksud itu dikembangkanlah citizenship education
atau pendidikan kewarganegaraan.
Secara historis-epistemologis, Amerika Serikat dapat dicatat sebagai
negara perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam pengembangan
konsep dan paradigma citizenship education. Untuk pertama kalinya,
yakni pada pertengahan tahun 1880-an, di Amerika Serikat mulai
diperkenalkan mata pelajaran Civics sebagai mata pelajaran di sekolah yang
berisikan materi mengenai pemerintahan (Kerr, 1999b). Seorang ahli bernama
Chresore (1886), pada waktu itu mengartikan Civics sebagai the science of
citizenship atau ilmu kewarganegaraan, yang isinya mempelajari hubungan
antar individu dan antara individu dengan negara. Selanjutnya pada tahun
1900-an, berkembang mata pelajaran Civics yang diisi dengan materi
mengenai struktur pemerintahan negara bagian dan federal.
Berikutnya, Dunn (1915) mengembangkan gagasan New Civics yang
menitikberatkan pada community living atau kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, sampai tahun 1920-an istilah Civics telah digunakan
untuk menunjukkan bidang pengajaran yang lebih khusus, yakni
vocational civics, community civics dan economic civics atau
kewarganegaraan
yang
berkenaan
dengan
mata
pencaharian,
kemasyarakatan dan perkenomian. Di antara tujuan dari mata pelajaran
Civics pada tahun 1900-an itu adalah pengembangan social skills and
civic competence atau keterampilan sosial dan kompetensi
waganegara, serta ideas of good character atau ide-ide tentang karakter
atau watak yang baik (Hahn, 1998; Bahmueller & Patrick, 1999; dan Kerr,
1999a).
Selain istilah Civics, pada tahun 1900-an juga mulai diperkenalkan
istilah Citizenship Education, yang digunakan untuk menunjukkan
suatu bentuk character education (pendidikan watak atau karakter), serta
teaching personal ethics and virtues (pendidikan etika dan kebajikan).
Lebih jauh S.E. Dimond (1953) mengelaborasi pandangannya mengenai
citizenship, yang menurut pendapatnya konsep itu merupakan suatu
pengertian yang mempunyai dua makna. Di satu pihak ide itu berkenaan
dengan peran dan fungsi warga negara dalam kegiatan politik; dan di
lain pihak hal itu berkenaan dengan apa yang disebut dengan
desirable personal qualities atau kualitas pribadi yang didambakan
dari warga negara, sebagaimana dicerminkan dalam kegiatannya seharihari. Selanjutnya R.E. Gross & J.E. Zeleny (1958) mengaitkan
penggunaan istilah Civics dan Citizenship Education itu sebagai berikut:
Civics pada dasarnya berkenaan dengan pembahasan mengenai pemerintahan
demokrasi dalam teori dan praktek, sedangkan Citizenship Education

114

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)

berkenaan dengan keterlibatan dan partisipasi warga negara dalam masyarakat.
Kedua aspek ini biasanya diajarkan dalam satu mata pelajaran. Di situ kita
melihat penggunaan istilah Civics dan Citizenship Education secara bertukarpakai (interchangeably), untuk menunjukkan suatu studi mengenai
pemerintahan yang diberikan di sekolah (Gross & Zeleny, 1958).

Masih pada tahun 1900-an, muncul istilah civic education sebagai
istilah baru, yang juga digunakan secara bertukar-pakai dengan istilah
citizenship education. Menurut Mahoney (dalam Somantri, 1972:8)
bahwa civic education itu merupakan suatu proses pendidikan yang
mencakup proses pembelajaran semua mata pelajaran, kegiatan siswa,
proses administrasi, dan pembinaan dalam upaya mengembangkan
perilaku warga negara yang baik. Di lain pihak, J. Allen (1960:11) melihat
citizenship education itu lebih luas lagi, yakni sebagai produk dari
keseluruhan program pendidikan persekolahan, dimana mata
pelajaran civics merupakan unsur yang paling utama dalam upaya
mengembangkan warga negara yang baik. Sejalan dengan pendapat tersebut
The National Council for the Social Studies (NCSS) menekankan bahwa
citizenship education sesungguhnya mencakup “all positive influence
coming from formal and informal education” atau segala macam dampak yang
datang baik dari pendidikan formal maupun informal (NCSS, 1972:9).
Dari uraian tersebut tampak bahwa istilah civics dan civic education
ternyata lebih cenderung digunakan dalam makna yang serupa untuk mata
pelajaran di sekolah yang memiliki tujuan utama mengembangkan siswa
sebagai warga negara yang cerdas dan baik (Chreshore, 1886; Allen, 1960; dan
Somantri, 1972). Adapun citizenship education lebih cenderung digunakan
dalam visi yang lebih luas untuk menunjukkan in structional effects
dan nurtu rant effects dari keseluruhan proses pendi dikan
terhada p pembentukan karakter individu sebagai warga negara
yang cerdas dan baik (D imon, 1953; Gross & Zeleny, 19 58; Allen,
1960;NC SS, 1972; Somantri, 1972; Cogan & Derricott, 1998).
Sementara itu menurut J.J. Cogan (1999:3) bahwa perkembangan
pemikiran lebih maju mengenai civic education dapat ditelusur balik ke
perkembangannya di Amerika Serikat pada tahun 1916, pada saat mana The
National Education Association membentuk The Commission on the
Reorganization of Secondary Education yang mendapat tugas untuk
mengkaji secara komprehensif kurikulum sekolah lanjutan dan memberikan
rekomendasi untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu
kelompok kajian yang dibentuk, yakni The Civics Study Group, mengkaji
bagaimana kekuatan dan kelemahan civics yang sebelum tahun 1916 diajarkan
melalui kurikulum sejarah, yang pada era itu memang disiplin sejarah
menjadi komponen utama social studies.
Kelompok kajian tersebut mengemukakan dua rekomendasi perubahan yang
oleh J.J. Cogan (1999:3) dikemukakan pokok-pokoknya sebagai berikut.
Pertama, mengusulkan pengembangan Community Civics sebagai mata

115

DASIM BUDIMANSYAH,
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarahnya di Indonesia

pelajaran baru untuk kelas sembilan, yang berfungsi sebagai bekal bagi
siswa yang memasuki dunia kerja setelah kelas sembilan (sama dengan
Kelas III SMP di Indonesia). Kedua, di kelas 12, sebagai kelas akhir di
High School, diusulkan adanya mata pelajaran mengenai Problems of
Democracy. Kedua mata pelajaran itu dirancang untuk menyiapkan para
pemuda melalui pengembangan keterampilan yang sungguh diperlukan
untuk mengkaji civic problems atau masalah-masalah kewarganegaraan
dan isu-isu yang berkembang, sebagai upaya untuk memenuhi
pelaksanaan peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara yang
hidup dalam masyarakat yang demokratis. Tujuan utama dari mata
pelajaran tersebut adalah “to develop participatory citizenship
(mengembangkan warga negara yang partisipatif), sekalipun dalam
prakteknya tujuan tersebut ternyata tidak dapat dicapai sepenuhnya.
Yang tampak hanyalah pengetahuan tentang isi yang masih tetap
bersifat problematik (Cogan, 1999).
Menyimak perkembangan pemikiran tentang civics dan civics education
itu, Udin S. Winataputra – atas dasar kajiannya secara teoritik – merumuskan
pengertian civics dan civics/citizenship education sebagai berikut:
a. Civics is the study of government taught in the schools. It is an area of learning
dealing with how democratic government has been and should be carried out, and
how the citizen should carry out his-duties and rights purposefully with full
responsibility.
b. Civic/Citizenship education can be defined in two ways. Firstly, in the first sense,
Civic Education is an area of learning, primarily intended to develop knowledge,
attitudes, and skills so the students become “good” citizens, with learning
experiences carefully selected and organised around the basic concepts of political
science. Secondly, in another sense, Civic Education is a by-product of variety of
areas of learning undertaken in and out-of formal school settings as well as a
by-product of a complex network of human interactions in daily activities
concerned with the development of civic responsibility (Winataputra,
1978).

Dalam hal ini Udin S. Winataputra melihat civics atau kewarganegaraan
sebagai suatu studi tentang pemerintahan yang dilaksanakan di sekolah,
yang merupakan mata pelajaran tentang bagaimana pemerintahan demokrasi
dilaksanakan dan dikembangkan, serta bagaimana warga negara seyogyanya
melaksanakan hak dan kewajibannya secara sadar dan penuh rasa tanggung
jawab. Adapun civic education/citizenship education merupakan program
pembelajaran yang memiliki tujuan utama mengembangkan pengetahuan,
sikap dan keterampilan sehingga siswa menjadi warga negara yang baik,
melalui pengalaman belajar yang dipilih dan diorganisasikan atas dasar konsepkonsep ilmu politik. Dalam pengertian lain, civic education juga dinilai sebagai
nurturant effects (dampak pengiring) dari berbagai mata pelajaran, baik di dalam
maupun di luar sekolah, dan sebagai dampak pengiring dari interaksi antar
manusia dalam kehidupan sehari-hari yang berkenaan dengan
pengembangan tanggung jawab warga negara. Di situ civics dilihat
116

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)

sebagai kajian akademis yang bersifat impersonal; sedangkan civic
education/citizendhip
education
dilihat
sebagai
program
pendidikan yang bersifat personal-pedagogis. Di dalam praktek, civics
jelas merupakan konten utama dari civic education. Atau secara
metaporis, civics dapat dianggap sebagai muatannya; sedangkan civic
education sebagai wahana atau kendaraannya.
Sementara itu J.J. Cogan (1999) mencoba menjernihkan dan sekaligus
mempertegas pengertian civic education versus citizenship education
yang sebelumnya, baik oleh Muhammad Numan Somantri (1972)
maupun Udin S. Winataputra (1978), dianggap sama. Civic Education,
bagi J.J. Cogan (1999:4) adalah “reffers generally to the kinds of course
work taking place within the context of the formalized schooling
structure”, seperti mata pelajaran Civics di kelas 9 dan Problems of
Democracy di kelas 12. Dalam posisi ini, civic education diperlakukan
sebagai “the foundational course work in school designed to prepare
young citizens for an active role in their communities in their adult
lives”. Maksudnya adalah bahwa civic education ini merupakan mata
pelajaran dasar yang dirancang untuk mempersiapkan para pemuda
warga negara untuk dapat melakukan peran aktif dalam masyarakat
kelak setelah mereka dewasa. Adapun citizenship education atau education
for citizenship dipandang sebagai istilah generik yang mencakup pengalaman
belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan
keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan
dalam media. Oleh karena itu J.J. Cogan (1999:5) berkesimpulan bahwa
“education for citizenship is the larger overarching concept here while civic
education is but one part, albeit a very important part, of one's development as
citizen”. Dengan kata lain, citizenship education atau education for
citizenship itu merupakan suatu konsep yang lebih luas dimana civic
education termasuk bagian penting di dalamnya.

Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Perkembangan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia mulai dari
secara formal munculnya mata pelajaran civics dalam kurikulum SMA
(Sekolah Menengah Atas) tahun 1962. Mata pelajaran ini berisikan
materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 (Dept. P&K, 1962). Pada saat itu, kewarganegaraan pada
dasarnya berisikan pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari
disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi dan politik, serta pidato-pidato
Presiden Soekarno, deklarasi Hak Asasi Manusia, dan pengetahuan tentang
Perserikatan Bangsa-bangsa (Somantri, 1969:7).
Istilah Civics secara formal tidak dijumpai dalam Kurikulum 1946 dan
Kurikulum 1957. Namun secara material dalam Kurikulum SMP (Sekolah
Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) tahun 1957
terdapat mata pelajaran “Tata Negara dan Tata Hukum” yang di

117

DASIM BUDIMANSYAH,
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarahnya di Indonesia

dalamnya dibahas konsep kewarganegaraan, khususnya mengenai status
legal warga negara dan syarat-syarat kewarganegaraan (Somantri, 2001).
Adapun dalam Kurikulum 1946 terdapat mata pelajaran “Pengetahuan
Umum” yang di dalamnya memasukkan pengetahuan mengenai
pemerintahan.
Di dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969, istilah civics dan pendidikan
kewargaan negara digunakan secara bertukar-pakai. Misalnya dalam
Kurikulum SD (Sekolah Dasar) tahun 1968 digunakan istilah
“pendidikan kewargaan negara” yang digunakan sebagai nama mata
pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi
Indonesia, dan civics (yang diterjemahkan sebagai “pengetahuan
kewargaan negara”). Di dalam Kurikulum SMP 1968 digunakan
istilah “pendidikan kewargaan negara” yang berisikan sejarah
Indonesia dan Konstitusi, termasuk UUD (Undang-Undang Dasar)
tahun 1945. Sedangkan di dalam Kurikulum SMA 1968, mata pelajaran
“kewargaan negara” berisikan materi terutama yang berkenaan dengan UUD
1945. Sementara itu di dalam Kurikulum SPG (Sekolah Pendidikan Guru)
tahun 1969, mata pelajaran “pendidikan kewargaan negara” terutama
berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan
dan Hak Asasi Manusia (Dept. P&K, 1968a; 1968b; 1968c; dan 1969).
Di dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
digunakan beberapa istilah, yakni Pendidikan Kewargaan Negara, Studi Sosial,
serta Civics dan Hukum. Untuk SD 8 tahun pada PPSP digunakan istilah
“Pendidikan Kewargaan Negara” yang merupakan mata pelajaran IPS
(Ilmu Pengetahuan Sosial) terpadu atau identik dengan integrated
social studies di Amerika Serikat. Di sini istilah “pendidikan
kewargaan negara” kelihatannya diartikan sama dengan pendidikan IPS.
Di Sekolah Menengah 4 tahun PPSP digunakan istilah studi sosial
sebagai pengajaran IPS yang terpadu untuk semua kelas dan pengajaran IPS
yang terpisah-pisah dalam bentuk pengajaran geografi, sejarah, dan
ekonomi sebagai program major pada jurusan IPS. Selain itu juga terdapat
mata pelajaran “Pendidikan Kewargaan Negara” sebagai mata pelajaran inti
yang harus ditempuh oleh semua siswa, sedangkan mata pelajaran “Civics
dan Hukum” diberikan sebagai mata pelajaran mayor pada Jurusan IPS
(PPSP IKIP Bandung, 1973a dan 1973b).
Selanjutnya dalam Kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewargaan
Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan
materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). Perubahan ini sejalan dengan misi pendidikan
yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat) No.II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan mata
pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata
pelajaran PMP ini terus dipertahankan, baik istilah maupun isinya sampai
dengan berlakunya Kurikulum 1984, yang pada dasarnya merupakan

118

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)

penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud, 1975a, 1975b, 1975c,
dan 1976).
Dengan berlakunya Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum di
semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (pasal 39), Kurikulum Pendidikan
Dasar dan Menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan
tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran “Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan” (PPKn).
Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994
mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butirbutir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan
sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral
meluas atau spiral of concept development (Taba, 1967). Pendekatan ini
mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap
jenjang pendidikan dan kelas, serta catur wulan dalam setiap kelas.
Sementara itu menurut Kurikulum tahun 1994, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) diartikan sebagai:
[...] mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Nilai
luhur dan moral tersebut diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku
kehidupan sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Depdiknas, 1993).

Dari pengertian ini dapat ditangkap dengan jelas bahwa mata pelajaran
PPKn termasuk kategori ke dalam social studies tradisi citizenship
transmission dengan nilai dan moral yang bersumber dari budaya
Indonesia sebagai muatannya, yang pada gilirannya diharapkan akan
dapat diwujudkan dalam perilaku sehari-hari dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebagaimana juga dapat dibaca di dalam tujuannya, lebih
jauh dinyatakan bahwa mata pelajaran PPKn di SD bertujuan untuk:
Menanamkan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan kepada
nilai-nilai Pancasila, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, dan
memberikan bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di SLTP atau
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (Depdiknas, 1993).

Dari rumusan tujuan tersebut tersimpul konsep articulation, dalam
pengertian bahwa materi yang diberikan di jenjang pendidikan yang lebih
rendah secara sinambung dikembangkan di jenjang pendidikan berikutnya
(Tyler, 1975). Selain itu jika dilihat dari fungsinya, mata pelajaran PPKn
tersebut memiliki tiga misi besar. Pertama, misi conservation education,
yakni mengembangkan dan melestarikan nilai luhur Pancasila. Kedua, misi
social and moral development, yakni mengembangkan dan membina siswa
yang sadar akan hak dan kewajiban, taat pada peraturan yang berlaku, serta
119

DASIM BUDIMANSYAH,
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarahnya di Indonesia

berbudi pekerti luhur. Dan ketiga, misi socio-civic development, yakni
membina siswa agar memahami dan menyadari hubungan antar sesama
anggota keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Ketiga misi tersebut tampak sekali bahwa mata pelajaran PPKn lebih
mencerminkan tradisi citizenship transmission yang ditopang oleh filsafat
pendidikan perenialism yang menekankan pada pendidikan untuk
melestarikan accepted and tested values, dan essentialism yang
menekankan pada pengembangan essential values (Brameld, 1965). Misi
PPKn tersebut memang diwujudkan dalam bentuk organisasi curriculum
content and learning experiences yang berpijak dan bermuara pada
jabaran nilai-nilai Pancasila seperti:
[...] kerapihan, kasih sayang, kebanggaan, ketertiban, tolong-menolong,
keyakinan, berterus terang, kepuasan hati, keyakinan, tenggang rasa, rela
berkorban, ketekunan, keserasian, percaya diri, kebebasan, kedisiplinan,
ketaatan, persamaan hak dan kewajiban, keteguhan hati, tata-krama,
keindahan, lapang dada, persatuan dan kesatuan, serta kebijaksanaan
(Depdiknas, 1993).

Namun demikian di dalam praksis pembelajarannya ternyata misi
PPKn untuk pendidikan nilai dan moral tersebut tergelincir menjadi
pembelajaran pengetahuan tentang nilai dan moral (Puskur, 1998).
Hak ini juga disebabkan oleh proses pembelajaran yang lebih terpusat
pada guru dan pendidikan nilai yang lebih terperangkap oleh proses
value inculcation (CICED, 1999). Dari situ dapat disimpulkan bahwa
PPKn yang ada selama ini secara konseptual masih belum koheren, dalam
pengertian tidak tercapai kesinambungan dan keutuhan antara konsepsi
tujuan dengan instrumentasi dan praksis pedagogisnya. Salah satu
penyebabnya adalah mungkin karena masih dominan penerapan
konsep dan prinsip faculty psychology yang menekankan pada proses
latihan memorisasi guna mematangkan potensi fungsi-fungsi dalam
pikiran secara terpisah. Sementara itu konsep dan prinsip field
psychology yang menekankan pada proses tilikan (insight) yang bersifat
holistik, yang akan melahirkan proses belajar yang lebih bermakna
(meaningful) seperti proses pemecahan masalah dan inquiry, justru
kurang mendapat perhatian (Budimansyah ed., 2006).
Sementara itu untuk mengimbangi dinamika perkembangan masyarakat
dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang
demikian cepat, sejak tahun 2004 dilakukan pembaruan kurikulum
persekolahan. Apa saja perubahan yang paling esensial dari Kurikulum 1994
ke Kurikulum 2004 itu? Pembelajaran berdasarkan Kurikulum 1994 lebih
mengarahkan peserta didik untuk menguasai materi pengetahuan. Materi
pengetahuan diberikan kepada peserta didik sesuai dengan tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Metode belajar di kelas yang utama

120

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)

digunakan adalah ceramah dan tanya-jawab. Guru dalam posisi lebih banyak
berceramah, sementara siswa mendengarkan, mencatat dan bertanya.
Selebihnya, diberi tugas mengerjakan soal-soal yang disebut PR (pekerjaan
rumah). Evaluasi yang dilakukan masih menggunakan metode tes klasikal
(secara kelas). Di sekolah dasar hingga sekolah menengah, pertanyaanpertanyaan disusun dalam bentuk tes pilihan ganda dan sebagiannya lagi
esei atau tes bentuk uraian. Untuk menjawab soal-soal tersebut, peserta
didik belajar dengan jalan menghafal materi pelajaran yang telah
disampaikan guru di kelas. Untuk menghafal materi tersebut, tak jarang
malam sebelum ujian peserta didik kurang tidur untuk mempersiapkan diri
mengikuti ujian. Dengan jalan menghafal, maka peserta didik dapat lebih
berpeluang mendapatkan nilai yang tinggi. Buku-buku yang dibeli dan
dikumpulkan siswa banyak yang merupakan kumpulan soal-soal. Banyak
buku-buku kumpulan soal yang dipelajari oleh peserta didik. Karena itu, tak
heran jika berkembang lembaga bimbingan belajar di berbagai kota.
Lembaga tersebut melatih peserta didik menjawab soal-soal (Budimansyah,
2002).
Pola pembelajaran seperti di atas tentu dapat menghasilkan peserta
didik yang mampu mengerjakan soal-soal dan menjawab pertanyaanpertanyaan. Tetapi, pemilikan pengetahuan seperti itu belum mampu
mengembangkan kompetensi peserta didik. Akibatnya, banyak lulusan
pendidikan tidak memiliki kompetensi. Banyak di antara mereka tidak
memiliki kesiapan dan kematangan ketika memasuki lapangan kerja.
Mereka tidak memiliki sikap, pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk bekerja. Sekalipun pernah dilakukan upaya perbaikan,
misalnya dengan mengeluarkan Garis-garis Besar Program Pengajaran
(GBPP) tahun 1999, namun tetap saja bahwa pembelajaran berdasarkan
Kurikulum 1994 lebih berorientasi pada kemampuan akademik dan kurang
mengembangkan kompetensi peserta didik. Untuk mengatasi keterbatasan
Kurikulum 1994, maka dilakukanlah penyempurnaan ke arah kurilulum
yang lebih mengutamakan pencapaian kompetensi siswa, yakni suatu desain
kurikulum yang dikembangkan berdasarkan seperangkat kompetensi
tertentu yang pada mulanya dikenal sebagai Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). KBK diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang
menekankan pada kemampuan melakukan tugas-tugas dengan standar
performansi tertentu sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik
berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu (Mulyasa,
2003).
Mengacu kepada pengertian tersebut, dan juga untuk merespons
terhadap keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) No.25/2000, maka salah
satu kegiatan yang perlu dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini
Departemen Pendidikan Nasional, adalah menyusun standar nasional untuk
seluruh mata pelajaran, yang mencakup komponen-komponen: (1) standar
kompetensi; (2) kompetensi dasar; (3) materi pokok; dan (4) indikator

121

DASIM BUDIMANSYAH,
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarahnya di Indonesia

pencapaian. Standar kompetensi diartikan sebagai kebulatan pengetahuan,
keterampilan dan sikap, serta tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai
dalam mempelajari suatu mata pelajaran. Cakupan standar kompetensi
meliputi standar isi (content standard) dan standar penampilan
(performance standard). Sedangkan kompetensi dasar, yang merupakan
jabaran dari standar kompetensi, adalah pengetahuan, keterampilan dan
sikap minimal yang harus dikuasai dan dapat diperagakan oleh siswa pada
masing-masing standar kompetensi. Materi pokok, atau materi
pembelajaran, yaitu pokok suatu bahan kajian yang dapat berupa bidang
ajar, isi, proses, keterampilan, serta konteks keilmuan suatu mata pelajaran.
Adapun indikator pencapaian adalah kemampuan-kemampuan yang lebih
spesifik yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai ketuntasan
belajar (Depdiknas, 2003).
Selanjutnya pengembangan Kurikulum 2004, yang ciri paradigmanya
adalah berbasis kompetensi, akan mencakup pengembangan silabus dan
sistem penilaian. Silabus merupakan acuan untuk merencanakan dan
melaksanakan program pembelajaran, sedangkan sistem penilaian
mencakup jenis tagihan, seperti ulangan atau tugas-tugas yang harus
dikerjakan oleh peserta didik. Bentuk instrumen terkait dengan jawaban
yang harus dilakukan oleh siswa, seperti bentuk pilihan ganda atau soal
uraian. Pengembangan Kurikulum 2004 harus berkaitan dengan tuntutan
standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar, dan aktivitas untuk
mengembangkan dan menguasai kompetensi seefektif mungkin. Proses
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi juga menggunakan asumsi
bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan
keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu.
Oleh karenanya pengembangan Kurikulum 2004 perlu memperhatikan
prinsip-prinsip berikut:
1) Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented).
2) Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.
3) Bertolak dari Kompetensi Lulusan.
4) Memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum yang berdiferensiasi.
5) Mengembangkan aspek belajar secara utuh dan menyeluruh (holistik).
6) Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (matery learning) (Depdiknas, 2003).

Pada saat Kurikulum 2004 disosialisasikan di sekolah-sekolah, yang
dikenal dengan sebutan kegiatan filoting, Peraturan Pemerintah tentang
Standar Nasional Pendidikan (PP-SNP) diterbitkan. PP-SNP tersebut
mengamanatkan bahwa yang berwenang menyusun kurikulum adalah
satuan pendidikan yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Sementara dalam Kurikulum 2004, kurikulum masih disusun oleh
pemerintah. Jika hal ini dibiarkan berarti kita melanggar aturan. Maka
dilakukanlah perubahan berkelanjutan yang dilakukan oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP). Dengan menggunakan bahan dasar Kurikulum

122

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)

2004, BSNP mengembangkan Standar Isi (Peraturan Menteri Nomor 22
Tahun 2006) dan Standar Kompetensi Lulusan (Peraturan Menteri Nomor
23 Tahun 2006). Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan itu
merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam menyusun KTSP.
Dalam konteks penyusunan Standar Isi dan Standar Kompetensi
Lulusan ini PPKn diubah lagi namanya menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn). Dalam dokumen tersebut ditegaskan bahwa
Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan
mata
pelajaran
yang
memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan
mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban untuk menjadi warga negara
Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh
Pancasila dan UUD 1945. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
(1)

Berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan.
(2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas
dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.
(3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan
bangsa-bangsa lainnya.
(4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung
atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
(Budimansyah ed., 2006).

Dalam penyusunan Standar Isi juga dijelaskan tentang ruang lingkup
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang meliputi aspek-aspek
sebagai berikut:
(1)

(2)

(3)
(4)

(5)
(6)

Persatuan dan Kesatuan Bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta
lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara,
Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan
jaminan keadilan.
Norma, Hukum dan Peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga,
Tata-tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan
daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem
hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.
Hak Asasi Manusia, meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban
anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, serta
Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
Kebutuhan Warga Negara, meliputi: Hidup gotong-royong, Harga diri sebagai
warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan
pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, dan Persamaan
kedudukan warga negara.
Konstitusi Negara, meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang
pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, dan
Hubungan dasar negara dengan konstitusi.
Kekuasaan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,
Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokr