Jurnal Pendidikan Kristiani | Makalah Dan Jurnal Gratis

Opini
Pendidikan
Kristiani: Konsep dan Aplikasinya

Pendidikan Kristiani:
Konsep dan Aplikasinya

Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe*)

Abstrak
onsep pendidikan pada umumnya dan termasuk konsep pendidikan
Kristen perlu dirumuskan kembali sesuai dengan perkembangan
konsep pendidikan itu sendiri, serta tuntutan masyarakat. Bagaimana
pendidikan Kristen dapat berperan aktif dalam masyarakat yang
majemuk tanpa harus mengabaikan nilai-nilai Kristen yang diembannya
menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.

K

Kata kunci : Pendidikan kristiani, Lembaga Pendidikan Kristen, kesaksian


Abstract
Education concept in general, including the Christian education concept, needs
to be redefined in the line of the development of education concept itself and
the need of society. How should Christian educational institutions be able to
perform their tasks within the plural societies as in Indonesia without
compromising their Christian identity and values, are interesting to be discussed
further.

Apa yang Dimaksud dengan Pendidikan Kristiani?
Merumuskan apa yang dimaksud dengan pendidikan kristiani bukanlah hal
sederhana, lebih-lebih pada masa kini. Pada waktu lalu agaknya masih lebih
“mudah”. Saya masih ingat ketika untuk pertama kali saya memasuki Sekolah
Dasar (dahulu: Sekolah Rakyat), saya tidak kesulitan mengingatnya karena
sekolah yang saya masuki adalah sekolah milik gereja. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pendidikan kristiani adalah pendidikan yang
diselenggarakan oleh gereja, yang di dalamnya prinsip-prinsip kristiani
diterapkan. Hal itu secara sangat jelas terlihat dalam penyampaian matapelajaran. Hampir setiap hari diberikan Pengetahuan Alkitab (dalam istilah
waktu itu: “Hikayat Suci”). Setiap pagi guru menyampaikan pengajaran ini
*) Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia


36

Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005

Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya

dengan cara yang sangat menarik. Berbagai ceritera-ceritera Alkitab disajikan.
Tidak dapat disangkal, bahwa berkat pengajaran Alkitab seperti itu,
pengetahuan saya terhadap isi Alkitab menjadi kuat. Biasanya sebelum
kegiatan-kegiatan dimulai, diawali dengan kebaktian pagi, dan setelah kegiatan
selesai diakhiri dengan kebaktian penutup.
Sekolah ini, yang memang dibangun oleh Zending (Lembaga Pekabaran
Injil dari Negeri Belanda) mempunyai tujuan tidak hanya mencerdaskan murid (meskipun mata pelajaran yang diberikan sangat terbatas), tetapi juga
untuk menjadikan mereka Kristen. Memang berkat sekolah-sekolah seperti
ini, gereja bertumbuh dan berkembang. Boleh dikatakan hampir semua yang
mengikuti pendidikan ini kemudian menjadi anggota gereja. Konsep yang
melatarbelakangi pendidikan ini, sekolah adalah alat pekabaran Injil.
Di Negeri Belanda ada yang disebut “School met de Bijbel”. Kelihatannya,
dalam derajat tertentu, konsep sekolah macam ini ditiru juga di Indonesia.
Inilah sekolah yang menerapkan secara sengaja prinsip-prinsip Alkitab. Tentu

saja dalam perkembangan kemudian, cara ini mulai digugat. Apakah benar
cara ini masih relevan untuk dipertahankan? Atau, dengan mengingat
perkembangan yang begitu cepat, dan Negeri Belanda berada dalam proses
sekularisasi yang begitu cepat, sebaiknya ditinggalkan saja? Diskusi ini belum
selesai sampai sekarang.

Sekolah Sebagai Alat Pekabaran Injil?
Pertanyaan ini perlu diajukan kembali, bukan saja karena perkembangan
pemikiran yang ada sekarang ini mengenai pekabaran Injil, tetapi juga
mengingat kemajemukan masyarakat, yang di dalamnya sebuah sekolah Kristen
berada. Sejauh yang saya tahu, sekolah-sekolah Katolik misalnya tidak lagi
merumuskan keberadaan sekolah-sekolah mereka untuk mengkatolikkan
seseorang, tetapi untuk menjadikan seseorang itu sebagai manusia. Jadi,
sekolah bertujuan memanusiakan manusia. Agaknya pemahaman seperti ini
telah juga terdapat di dalam pengelolaan sekolah-sekolah Kristen.
Bahwa sekolah Kristen dianggap sebagai alat pekabaran Injil memang
tidak dapat disangkal. Mungkin juga dituntut oleh zamannya, terutama dalam
wilayah-wilayah yang dulunya disebut lapangan pekabaran Injil (zendingsveld).
Secara teologis, terlihat di sini bahwa diakonia disubordinasikan kepada
pemberitaan (kesaksian/marturia ). Dalam perkembangan kemudian,

kelihatannya hal ini sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Apa yang disebut
diakonia tidak perlu lagi ditempatkan di bawah marturia, karena diakonia itu
sendiri adalah pemberitaan. Artinya, tanpa mengatakan sesuatupun, kinerja
dari lembaga-lembaga itu sendiri telah merupakan pemberitaan. Apabila knierja
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005

37

Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya

sebuah lembaga pendidikan Kristen baik, maka ia akan merupakan pemberitaan
baik. Sebaliknya kalau buruk, ia juga merupakan pemberitaan buruk.
Dalam masyarakat majemuk Indonesia, yang di dalamnya sebagian besar
murid-muridnya bukan beragama Kristen, kemungkinan pemikiran kedua ini
sangat dianjurkan. Beberapa orang alumni dari sekolah-sekolah Kristen (yang
tidak beragama Kristen) memberikan kesaksian bahwa ketertarikan mereka
kepada sekolah-sekolah Kristen adalah karena disiplinnya yang sangat tinggi.
Orang-orang ini tetap menganut agama mereka semula. Mereka tidak beralih
menjadi Kristen. Namun mereka mengaku bahwa mereka sangat menikmati
pendidikan di dalam sekolah-sekolah Kristen yang bukan saja disiplinnya tinggi,

tetapi juga persekutuannya kuat. Malah mereka bisa menceriterakan, bahwa
ketika dalam pendidikan dulu mereka biasanya menyandang peranan-peranan
tertentu dari tokoh-tokoh Alkitab apabila ada perayaan Natal. Mereka bahkan
masih bisa menyanyikan nyanyian-nyanyian kristiani dengan sangat baik.
Dengan ilustrasi ini, saya mau mengatakan bahwa penyelenggaraan
pendidikan yang baik, yang membuat orang cerdas dan berdisiplin tinggi,
serta menguatkan persekutuan sudah merupakan kesaksian yang baik. Semua
proses belajar-mengajarpun seperti itu telah merupakan pekabaran yang
berbuah. Maka mestinya, secara verbalistis pengajaran agama tidak ada,
peniadaan itu tidak perlu menjadi pesoalan serius.

Undang Undang Sisdiknas
Ketika kita ramai-ramai menolak diundangkannya RUU Sisdiknas pada waktu
lalu, pertanyaannya adalah apanya yang ditolak? Pada waktu itu ada sebuah
pasal yang mengatur bahwa setiap anak mesti memperoleh pendidikan agama
dari pendidik (guru) yang seagama dengan si peserta didik. Selain itu,
berkenaan dengan sarana, ada tuntutan untuk membangun sarana-sarana
ibadah di dalam lembaga-lembaga pendidikan Kristen. Banyak orang
berpendapat, bahwa ketentuan seperti ini mencederai keunikan dari sebuah
pendidikan yang tidak diselenggarakan negara. Menurut hemat saya,

keberatan-keberatan seperti itu dapat dipahami. Namun, titik-beratnya
bukanlah di situ. Tititk berat penolakan adalah, bahwa RUU itu cenderung
memperlihatkan campur-tangan negara yang tidak proporsional dalam urusanurusan lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat. Dengan seperti
itu, masyarakat cenderung terpasung kaki-tangan untuk melakukan berbagai
eksperimen dalam proses pendidikan. Selain itu, RUU itu sendiri mesti secara
jelas mendorong proses pendidikan, bukan proses beragama. Kalau
perjuangan seperti itu yang dikemukakan, RUU itu akan didukung, bukan saja
oleh orang-orang Kristen, tetapi juga oleh semua orang yang merasa perlu

38

Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005

Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya

menonjolkan peranan masyarakat dalam proses pendidikan. Sayang sekali,
bahwa berbagai unjuk-rasa telah menempatkan Kristen dan Islam dalam posisi
berhadap-hadapan. Di bebarapa tempat lalu ada semacam fatwa untuk tidak
memasukkan anak-anak muslim ke dalam sekolah-sekolah Kristen.
Mamasukkan anak-anak muslim ke dalam sekolah-sekolah Kristen dianggap

haram hukumnya.
Kita memang menyayangkan ketelanjuran-ketelanjuran seperti ini. Kita
berharap, sikap-sikap reaksi berlebihan seperti itu tidak akan terjadi lagi di
masa-masa mendatang. Tentu saja tetap merupakan tugas kita untuk terus
memantau dan menyikapi berbagai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
yang dijabarkan dari UU Sisdiknas tersebut. Agaknya kita masih bisa
berperanan, dalam kerjasama dengan saudara-saudara lain untuk
memperbaiki begitu banyak komponen dalam UU Sisdiknas itu.

Kinerja Sangat Penting
Apabila sebuah sekolah (lembaga pendidikan) Kristen memperbaiki kinerjanya,
maka pasti ia akan dicari. Orang akan berminat memasukinya. Tetapi kalau
kinerja buruk, sudah pasti akan ditinggalkan. Di Nusa Tenggara Timur, pernah
sekolah-sekolah Kristen menduduki tempat utama. Sayang sekali, akhir-akhir
ini peranan itu tidak lagi demikian. Bahkan lepas dari tangan. Di Pulau Alor
misalnya, pernah ada sekolah Kristen yang persentasi kelulusannya 0%. Di
Pulau Sumba, karena demikian buruknya pelayanan, sekolah-sekolah Kristen
dianjurkan untuk dinegerikan saja1. Ini lalu memicu diskusi yang tidak habishabisnya. Di Pulau Timor, keadaannya serupa. Bangunan-bangunan sekolahsekolah Kristenlah yang paling buruk. Kelihatannya gereja lebih mementingkan
membangun gedung-gedung gereja, daripada membangun gedung-gedung
sekolah. Dalam suatu percakapan dengan gereja dan lembaga-lembaga

pendidikan Kristen di Kupang saya pernah mengatakan: “… sibuk saja dengan
membangun monumen-monumen mati, dan melalaikan monumen-monumen
hidup. Akan tiba saatnya, ketika gedung-gedung gereja yang megah dan besar
itu selesai dibangun, lalu kosong melompong, karena kita melalaikan
pembangunan manusianya.”
Tentu saja yang saya maksudkan barulah mengenai keadaan fisik lembagalembaga pendidikan Kristen. Secara lebih mendalam kita mesti berbicara
mengenai isi dan suasana lembaga-lembaga tersebut. Pertanyaan mendasar
adalah, bagaimanakah isi sebuah lembaga pendidikan Kristen? Apakah ia unik
dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya? Dalam garis-garis
besarnya tentu saja tidak terlampau unik, sebab dalam hal kurikulum misalnya,
pasti akan diikuti kurikulum dasar yang ditetapkan negara mesti diterapkan di
mana-mana. Namun demikian, sesuatu yang unik mesti ada. Keunikan itu
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005

39

Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya

tidak saja terletak pada adanya matapelajaran agama Kristen (Hikayat Suci),
tetapi pada semua matapelajaran yang di dalamnya nilai-nilai kristiani tidak

diabaikan, bahkan bertolak dari nilai-nilai itu. Dapatkah misalnya, dalam sebuah
pelajaran biologi kita menemukan kebesaran Allah di dalamnya, meskipun
kita tidak harus menyebut nama Allah? Dapatkah dalam pelajaran matematika,
kita menemukan betapa Allah adalah seorang Matematikus Agung, yang
menempatkan alam semesta ini pada tempatnya yang tertentu, walaupun
tidak perlu nama Allah diucapkan? Dalam pelajaran sejarah, dapatkah kita
menemukan peranan Allah sebagai Tuhan sejarah, yang memimpin sejarah
sampai pada tujuannya? Maka bagaimana menyampaikan mata-pelajaran
seperti itu membutuhkan pergumulan yang tidak ringan. Tidak cukup kita hanya
berpegang pada garis-garis besar pelajaran yang telah ditetapkan. Setiap
pengajar harus mampu mengelaborasi pelajarannya dengan sebaik-baiknya
dengan memperdalam berbagai ilmu-ilmu lainnya, walaupun ilmu-ilmu itu
tidak harus seluruhnya diajarkan.
Selain isi mata-mata pelajaran, suasana sekolah sangat menentukan.
Apakah suasana sekolah adalah suasana kristiani? Yang dimasudkan bukan
saja bahwa ada doa, nyanyian puji-pujian dan sebagainya, tetapi terutama
berbagai hal yang berkaitan dengan penampilan etika dan moral. Bagaimana
dengan administrasi sekolah Kristen? Apakah lebih baik dari sekolah-sekolah
lainnya? Kalau di sekolah lain ada kecenderungan untuk menambah
(mengangkat) nilai rapor secara tidak patut, apakah juga dalam sekolahsekolah Kristen hal itu terjadi? Apakah relasi guru dan murid sungguh-sungguh

memperlihatkan relasi pastoral, sehingga yang terjadi adalah percakapanpercakapan pastoral dan bukan sekadar menghukum apabila ada murid yang
melanggar aturan?
Yang tidak kalah pentingnya adalah, apakah biaya pemeliharaan (gaji)
guru-guru cukup memadai, sehingga guru-guru sungguh mampu
berkonsentrasi dengan pekerjaan mereka? Kalau kepada guru-guru dituntut
untuk bekerja sungguh-sungguh, maka gaji mereka juga mesti diperbaiki.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat ditambahkan dengan mudahnya.
Pendeknya, penampilan sebuah sekolah Kristen mesti berbeda, bukan terutama
karena ada pengajaran agama Kristen di dalamnya, atau ada papan nama
berlabel Kristen, tetapi karena seluruh isi dan penampilannya memancarkan
nilai-nilai kristiani.

Tantangan yang Makin Berat
Menghadapi berbagai tantangan-tantangan di dalam masyarakat yang
berubah cepat, J.W.D. Smith, seorang ahli pendidikan di Inggris menegaskan,

40

Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005


Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya

bahwa pendidikan moral dan pendidikan agama memang perlu, namun tidak
bisa diisolasikan dari pola-pola kehidupan di dalam ruang kelas. Wawasan
yang dewasa, simpati yang mendalam adalah media, melalui hal ini
perkembangan kepribadian dimajukan. Ini semua merupakan media moral
dan agama yang sangat penting khususnya dalam tahun-tahun pertama
pendidikan. Tentu saja Smith berbicara mengenai pendidikan di Inggris, yang
mayoritas (nominal) penduduknya dianggap beragama Kristen, dan dengan
sendirinya pendidikan juga merupakan pendidikan kristiani. Tantangantantangan itu sangat berat sebab Inggris sedang berada dalam proses
sekularisasi, yang dalam banyak hal, langsung atau tidak langsung menafikan
ajaran-ajaran agama.
Bagaimana dengan di negeri kita? Walaupun negeri kita disebut negeri
yang religius, namun tantangannya tidak kalah beratnya. Justru karena disebut
beragama itu, lalu masalah-masalah yang dihadapi menjadi lebih berat. Kita
sebut misalnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan narkoba dan
pornografi yang telah telah menjadi persoalan besar, karena juga telah
memasuki lembaga-lembaga pendidikan. Kita membaca di surat-surat kabar,
bahwa ada oknum kepala sekolah yang melakukan pelecehan seksual terhadap
murid-muridnya. Ada juga murid-murid laki-laki memperkosa murid-murid
perempuan. Ini sangat menggelisahkan sebab yang melakukannya justru
masih di bawah umur. Konon kabarnya mereka terpengaruh oleh VCD porno
yang tersebar di mana-mana.
Bagaimana menanggulangi semua persoalan itu? Dapatkah pengajaran
agama saja yang menyelesaikannya? Menurut saya, tidak memadai. Tidak
cukup dengan memajukan pendidikan agama, lalu masalahnya selesai. Di
belakang dari berbagai persoalan yang kasat-mata, masih banyak faktor-faktor
lain yang ikut mempengaruhi. Ini mesti ditemukan. Bagaimana menerjemahkan
ini dalam pendidikan? Itu berarti, bahwa berbagai ilmu lain mesti dikonsultasi
apabila kita sungguh-sunguh mau menyelesaikan persoalan yang ada di dalam
masyarakat, dan yang secara khusus juga mengenai lembaga-lembaga
pendidikan kita. Selain itu berbagai lembaga lain di luar lembaga pendidikan
mesti diajak untuk ikut menanggulangi. Maka tindakan-tindakan yang diambil
oleh lembaga-lembaga pendidikan kristiani bukanlah sekadar tindakan yang
bersifat moralistis, tetapi yang memperkembangkan pemahaman dan
penghayatan moralitas yang menyeluruh dan dewasa. Sikap moralistis
cenderung sempit dan mengarah ke dalam, ke diri sendiri (self-oriented),
dan kadang-kadang bisa membawa kepada fanatisme buta dan
kecenderungan mencari kambing hitam dengan mempersalahkan pihak lain.
Memperkembangkan kedewasaan moralitas senantiasa berorientasi ke luar,
kepada masyarakat, dan bersifat membangun.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005

41

Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya

Kalau lembaga-lembaga pendidikan kristiani benar-benar mau menjadi
teladan di dalam penyelenggaraan pendidikan, sikap dan perilaku yang lebih
dewasa dalam menghadapi berbagai persoalan-pesoalan sosial itu mesti
diperlihatkan.

Daftar Pustaka
J.W.D.Smith. (1969). Religious education in a secular setting. London: SCM
Press
Homrighausen, Dr. E,G dan Enklaar, Dr. I.H. (1996). Pendidikan agama Kristen.
Jakarta: BPK Gunung Mulia
Cully, Iris V. (1995). Dinamika pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
_______
1

Catatan pribadi penulis berdasarkan kunjungan ke daerah-daerah di Indonesia

42

Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005