Ruang Untuk Masyarakat Lokal Tradisional
Ruang Untuk Masyarakat Lokal Tradisional ( Masyarakat Adat ) yang
Semakin Terpinggirkan
Oleh : H. Maman Djumantri
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari “Indigenous Environmental Knowlwdge for Use of
and Managing Natural Resources: A Case Study on Baduy, Aru, and Balinese’s Subak
Tribe Communities”, (BUTARU edisi Januari-Febuari 2011). Kedua tulisan tersebut
menunjukkan terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous environmental
knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem serta kaitannya dengan sustainable
exploitation of tropical natural resources (khususnya sumberdaya alam yang terbaharukan)
yang dilakukan oleh beberapa masyarakat lokal/tradsional/masyarakat- adat (tribe
communities) di Indonesia dengan mengambil contoh pada Baduy Tribe (Banten),
Aruese Tribe (Maluku Tenggara), dan Balinese’s Subak Tribe (Bali). Pengetahuan aslilokal ini merupakan bagian dari upaya untuk melestarikan dan mengelola sumberdaya
alam, sehingga dengan instrument tersebut masyarakat yang bersangkutan dapat bertahan
hidup di kawasan tersebut.
PERGESERAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
Secara
generic
dapat
dikatakan
bahwa
“pembangunan adalah
proses
pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan untuk
memenuhi kebutuhan manusia agar hidup
sejahtera lahir dan batin”. Terlepas dari
bagaimana proses dan cara melaksanakannya,
tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan
sosial (lahir maupun batin) bagi seluruh
rakyat Indonesia. Jika pembangunan ditujukan
untuk seluruh rakyat (bangsa) Indonesia, seyogyanya menyertakan juga lapisan masyarakat
tradisional
atau
masyarakat
adat
yang
tersebar, terpencil dan marjinal. Pembangunan
nasional dilaksanakan secara menyeluruh
wilayah” yakni suatu pendekatan yang tidak
sektoral, tidak melalui beberapa bidang yang pada
tataran
implementasinya
partial,
yang
bersifat
integrated
and
comprehensive/holistic; negara mendelegasikan kewenangan dan tanggung-jawab dan (ii)
pendekatan pembangunan berkelanjutan yang pengelolaannya kepada kementrian/badan
sebagai unsur bermakna pembangunan untuk memenuhi kebutuhan Pemerintahan. Dalam
perjalanan kehidupan bernegara masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan
kebutuhan terjadi penyelewengan tafsir dari “hak menguasai negara” generasi di masa
mendatang. Kedua pendekatan ini yang berpengaruh pada munculnya egoisme sektoral.
di Indonesia diakomodasikan di dalam kaidah-kaidah Pembangunan berjalan sendiri-
sendiri, tidak terjadi penataan ruang dan lingkungan. keterpaduan perencanaan,
sinkronisasi program, dan koordinasi pelaksanaan pembangunan; terjadi overlapping
kegiatan dan duplikasi pendanaan pembangunan. Ujung - ujungnya terjadi konflik
kepentingan sektoral dalam pengelolaan (khususnya pemanfaatan) sumberdaya alam.
Kini tinggal masyarakat yang menderita. Selanjutnya masing- masing sektor menyusun
kebijakan sekoral hanya untuk kepentingan sektornya sendiri. Hal ini sebenarnya tidak
perlu terjadi bila semua pihak memahami dan menyadari arti “kebijakan” itu sendiri
yakni seperangkat ketetapan yang disepakati bersama untuk (dalam) mengatur suatu
urusan atau persoalan demi terwujudnya tujuan pembangunan (William Dun, 2003; Riant
Nugroho D, 2007). Dengan berkembangnya paradigma baru pembangunan, Nampaknya
perlu direnungkan dan ditinjau kembali mulai disadari bahwa pembangunan yang terlalu
sektoral dan mengenai kebijakan pembangunan dan pendekatannya, sentralistis pada
akhirnya akan merugikan pembangunan dengan mengakomodasikan paradigma baru
tersebut. itu sendiri. Untuk menyempurnakan pendekatan sektoral, Perlukah dilakukan
redefinisi pembangunan dan kini diterima dua pendekatan kesisteman: (i) “pendekatan
kebijakannya. Perlu direnungkan dan ditinjau kembali mengenai kebijakan pembangunan
dan pendekatannya, dengan mengakomodasikan paradigma baru.
INDIGENOUS (ENVIRONMENTAL) KNOWLEDGE DARI MASYARAKAT
TRADISIONAL MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA
ALAM
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan
dan pengelolaan sumberdaya alam tropika dan
kelestarian
alam/lingkungan,
masyarakat
adat/ tradisional ini dengan pengetahuan lokalnya
(indigenus
knowledge),
dengan kekuatan
memegang
hukum
adatnya,
kemampuan
spiritualnya, dan religi yang dianutnya, ternyata
lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya.
Namun, bagaimana nasibnya dengan adanya
kekuatan-kekuatan/faktor
penekan
yang mempengaruhinya untuk mengubah cara
hidup dan pengetahuan lokalnya? Mari kita simak
masyarakat-masyarakat adat/ tradisional: Baduy,
Banten (BUTARU 1st edisi Jan-Feb 2011, p. 28-30),
Aru
(Maluku
Tenggara),
dan
Subak
(Bali). Masyarakat
adat dengan
pengetahuan lokalnya,
ternyata lebih
arif
dibandingkan masyarakat lainnya.
Masyarakat Lokal Tradisional/Masyarakat Adat Aru
(Maluku Tenggara)
untuk mengisi toko-toko obat dan restoran-restoran
internasional
di
Singapura, Masyarakat
lokal
tradisional (masyarakat adat) di Kepulauan Aru
(Maluku
Tenggara) berperadaban
ecocentrism,
tercermin dalam eksploitasi sumberdaya pesisir
dan laut sebagai mata-pencaharian utamanya dengan
memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal pada
sebuah ekosistem pesisir dan kepulauan. Pada
Musim Timur (Mei-Oktober) mereka bekerja di
kebun membuat kanji dari sagu, berburu rusa dan
babi hutan di savanna atau di hutan, dan
mengumpulkan beberapa jenis moluska, kepiting dan
Sea-cucumber (Tripang). Pada Musim Barat (November- April) lebih terfokus pada
sumberdaya laut seperti mengumpulkan Tripang di pantai berpasir yang sedang pasang,
kadang memancing Hiu. Tripang sejenis binatang laut yang lezat, kaya protein dan kalori,
jelly-nya dapat menjadi kosmetik, obat penyakit dalam, supplemen drink, sehingga
banyak saudagar/pedagang dari dalam dan luar negeri yang datang berkulak Tripang
untuk mengisi toko-toko obat dan restoran-restoran internasional di Singapura, Malaysia,
Taiwan, Cina, Jepang, dan Korea. Melalui para pedagang/saudagar inilah diintroduksikan
unsur- unsur budaya modern materialistis kepada masyarakat lokal Aru sehingga
budaya mereka bergeser ke luxury goods consumptive..
Akan terjadi degradasi mutu lingkungan akibat penggunaan teknologi dari pihak-pihak
yang mau mencari keuntungan terhadap komunitas lokal Aru. Tripang Kepulauan Aru,
Sulawesi Tenggara Dalam kegiatan mengumpulkan Tripang mereka tidak meng-gunakan
alat apapun tetapi memanfaatkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
mengenai kehidupan Tripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi,
pada cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya. Melalui pengetahuan lokal
inilah komunitas lokal Aru mengorganisasikan kekuatannya mengelola sumberdaya alam
yang satu ini secara lestari. Sebagai contoh: Di Musim Barat saat pasang naik merupakan
saat yang tepat untuk “memanen”Tripang; tetapi dibatasi dari November sampai Maret
saja karena Tripang (khususnya Tripang Putih dan Tripang Matahui) berproduksi pada
bulan April. Apabila suhu perairan menurun dan permukaan air terang Tripang
menampakkan diri sehingga para pemungut Tripang lebih suka menyelam di malam hari
apalagi saat bulan purnama; memang Tripang ini binatang yang romantic. omunitas lokal
Aru sangat kuat memegang kepercayaan yang dianutnya yang berhubungan erat dengan
mitologi. Hal ini menjadi instrument tangguh dalam menjaga kelestarian alam dan
keberlanjutan. Berikut ilustrasinya:
-
Alam dan seisinya merupakan milik leluhurnya (ancestors), yang
senantiasa memantau agar penggunaan sumberdaya alam sehemat mungkin,
sekedar untuk hidup (self-sufficient), dan memikirkan mereka yg akan hidup. Hal
-
-
-
-
-
-
-
ini dapat dipahami bahwa dengan kebijakan demikian maka tidak akan terjadi
over exploitation.
Di kalangan masyarakat Aru terdapat “Kepala Adat” sebagai mediator
dalam melakukan dialog antara Sang Leluhur dengan anak-cucunya. Karena itu
setiap akan melakukan kegiatan, didahului dengan upacara dialog.
Hasil dialog berupa kesepakatan-kesepakatan yang harus ditaati; misalnya
untuk jenis (species) tertentu hanya boleh diambil pada saat-saat tertentu, hanya
boleh mengambil Tripang yang berukuran besar saja; dan ada masa larangan
(restriction) untuk mengambil Tripang (dikenal dengan Sasi Tripang), selama ± 3
(tiga) tahun, dan sebagainya. Hal ini mengandung pengertian untuk memberi
kesempatan alam melakukan regenerasi.
Sang
Leluhur
akan
murka
bila
kesepakatan
dilanggar,
yang
dimanifestasikan dalam bentuk bencana alam. Mengandung makna bahwa apabila
alam terganggu keseimbangannya, maka alam akan mencari titik keseimbangan
baru. Dalam hubungnnya dengan menjaga keharmonisan antara warga masyarakat
dengan lingkugan hidup, dijumpai adanya sistem pengelolaan sumberdaya alam
secara tradisional. Dapat dilihat antara lain:
Ada pembagian tugas di antara warga, misalnya: laki - laki dewasa melakukan
kegiatan hunting, menyelam, dan berkebun; wanita dewasa melakukan kegiatan
rumah- tangga, membuat kanji dari sagu, memungut Tripang di pantai berpasir,
dan pengolahan Tripang pasca panen; anak perempuan membantu kegiatan
ibunya sebagai proses belajar; anak laki-laki mengamati kegiatan ayahnya
sebagai proses belajar. Transfer of knowledge dilakukan secara learning by doing.
Dahulu kala ada tradisi yang unik yang berkaitan dengan penyatuan dengan alam,
misalnya: (i) Bayi laki-laki yang baru dilahirlkan dilempar ke dalam laut, setelah
beberapa menit sang ayah terjun, menyelam mencari anaknya dan
dibawanya pulang; (ii) Anak laki-laki yang memasuki usia akil-balig dibuang ke
dalam hutan tanpa diberi bekal, apabila ia dapat pulang dengan selamat maka ia
disambut dan diakui sebagai laki-laki dewasa.
Apabila hasil perolehan Tripang melebihi kebutuhan untuk dikonsumsi sekeluarga,
maka kelebihannya diawetkan dengan teknologi ramah lingkungan (tanpa zat
pengawet). Tripang hasil pengawetan dapat ditukar (barter) dengan kebutuhan
rumah tangga yang lain.
Ada upaya untuk membudidayakan Tripang dengan cara membangun tambaktambak. Sayang sekali, peradaban ecocentrism ini telah bergeser dengan
masuknya faktor2 exogenous. Terutama sekali dibawa oleh saudagar2/pedagang2
dari Taiwan, Cina, Korea, Jepang, Malaysia, dan Singapura yang prosesnya
sudah berjalan ratusan tahun. Masyarakat tradisional Aru diimimg- imingi
produk-produk teknologi yang harus “dibayar” dengan Tripang.
Akhirnya Tripang menjadi sebuah komoditas ekonomi. Harga dipermainkan terus, namun
transaksi berjalan terus, dan Tripang dikuras terus. Kapan stopnya? Apakah harus
menunggu sampai masyarakat tradisional Aru jatuh miskin dan terjadi degradasi mutu
lingkungan akibat penggunaan teknologi dari pihak-pihak yang mau mencari keuntungan
(misalnya pencurian sumberdaya laut dengan kapal selam asing). Kalau sudah sampai
situasi-kondisi seperti ini, seyogyanya segera ada campur tangan (intervensi) Pemerintah,
misalnya ditetapkan Kepulauan Aru sebagai cagar alam, cagar budaya, kawasan
perlindungan, kawasan konservasi, menetapkan Tripang sebagai binatang yang dilindungi,
dan sebagainya. Yang terjadi sekarang malah Pemerintah menetapkan Kepulauan Aru
sebagai kawasan cadangan (?) Ini berarti kebijakan keberpihakan Pemerintah kepada
kapitalis.
Masyarakat Lokal Tradisional/Masyarakat Adat Subak-Bali (Pulau Bali)
Sawah Terasering dengan sistem Subak Masyarakat tradisional Bali sangat
mempercayai adanya kekuatan magis dan kekuatan spiritual yang dijadikan basis pada
religinya. Alam telah memanjakan Bali dengan kondisi idealnya untuk
pengembangan pertanian. Gunung berapi yang masih sering aktif menjadikan tanah
berkesuburan tinggi. Curahan air hujan dan sejumlah mata air dari pegunungan
menyuplai air ke beberapa kawasan pertanian di Pulau Bali. Dan sepanjang musim
kemarau, disebabkan oleh angin musim tenggara, matahari menyinari dalam
beberapa bulan dalam setahun. Di pulau ini kawasan produktif pertanian
tradisional cukup tersebar dan luas. Penanaman padi sawah merupakan kunci dari
kegiatan pertanian di Bali dengan konsentrasi sawah beririgasi dijumpai di bagian
selatan Bali. Pada daerah yang terairi dengan baik penanaman padi dirotasikan
dengan tanaman palawija penghasil uang (cash crop) seperti kacang tanah,
kedelai, bawang, cabe, dan sayuran; di daerah kering ditanami jagung, ketela, dan
ubi. Masyarakat tradisional (masyarakat adat) Bali mempunyai suatu sistem
indigenious irigasi yang dikendalikan oleh suatu organisasi dari kelompok
masyarakat perdesaan yang disebut Subak yang mempertahankan agar padi tetap
terairi dengan baik dan kaya akan nutrisi dari abu vulkanik yang juga dapat
meningkatkan kesuburan. Siap Upacara Ritual di Pura Subak
Religi, Kepercayaan, Norma, dan Budaya
Masyarakat tradisional/adat Bali menyembah
Dewa Brahmana (pencipta), Wisnu (pemelihara),
dan Shiwa (perusak, penghancur), sebagai
manifestasi dari sifat Tuhan yang maha kuasa
(Sanghyang Widhi Wasa). Konsep tiga aspek ini
dikenal dengan Trimurti. Dimungkinkan juga
menyembah Dewa-Dewa lainnya seperti Ganeça,
Saraswati, Bhatari Sri, dan umumnya terlihat
satu tempat ibadah digunakan untuk pemujaan
kepada banyak dewa dan kekuatan spiritual,
itulah uniknya masyarakat ini. Pada dasarnya
aktivitas manusia dapat dikelompokkan ke
dalam tiga interaksi yakni antara manusia
dengan manusia, manusia dengan alam,
dan manusia dengan Tuhannya. Hal ini
diartikulasikan
dalam pengaturan
pola
pemanfaatan ruang (space-used, zoning?) yang
dikenal
dengan
konsep
Tri
Hita
Karana. Masyarakat tradisional/adat Bali sangat mempercayai adanya kekuatan magis
dan kekuatan spiritual dan hal-hal tersebut banyak dijadikan basis pada religinya.
Mereka
percaya
bahwa kekuatan
spiritual
kebaikan
bersemayam
di
pegunungan, sedangkan lautan merupakan habitat dedemit, roh-jahat, dsb. Hampir di
semua desa sedikitnya mempunyai tiga pura: (i) Pura Puseh (temple of origin) yang
menghadap ke pegunungan, dan didedikasikan bagi para pendiri desa; (ii) Pura
Desa, normalnya terletak di tengah-tengah permukiman, dan didedikasikan bagi
kesejahteraan di dalam desanya; (iii) Pura Dalem, searah dengan laut, dan didedikasikan
bagi the spirits of the dead. Dalam kehidupannya masyarakat tradisional/ adat Bali
banyak melakukan upacara ritual keagamaan yang secara garis besar dapat
dikelompokkan ke dalam lima jenis upacara (panca yadnya): (i) manusa yadnya (upacaraupacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dari kelahiran hingga kematian); (ii)
putra yadnya (upacara2 yang berkaitan dengan upaya menjaga hubungan anata para
leluhur dengan yang masih hidup); (iii) dewa yadnya (upacara penyembahan kepada para
dewa yang menjaga/melindungi dunia); (iv) resi yadnya (upacara-upacara yang berkaitan
dengan priest ordination); dan (v) buta yadnya (upacara untuk melindungi diri dari nafsu
buruk atau nafsu jahat). Meskipun berasal dari India, agama masyarakat tradisional/ adat
Bali ini sangat unik, merupakan blending dari Hindu, Buddha, dan kepercayaankepercayaan indigenous Jawa- kuno, dengan adat-istiadat yang sangat berbeda dari
bentuk- bentuk tradisional Hinduism yang dipraktekan di India saat ini. Dalam
menjalankan norma dan etika kehidupannya masyarakat
Hindu Bali mengenal sistem strata yang dikenal dengan “kasta” (Brahmana, Ksatriya,
Weisya, dan Sudra); namun yang kita lihat sekarang sistem itu semakin longgar dan tidak
tertutup hubungan satu sama lain, dan pekerjaan atau jabatan tidak diatur oleh sistem
kasta. Dalam kenyataannya, hanya sesuatu yang merefleksikan sistem kasta, yakni bahasa
yang mempunyai tiga tingkatan: (i) bahasa halus (kromo-inggil), bahasa sedang
(moderat), dan (iii) bahasa pasaran (bahasa gaul). 95% masyarakat Bali menganut Hindu
Darma dan setiap hari berbicara lemah-lembut satu sama lain. Masyarakat kelas
menengah berbicara tegas, lugas, terkadang kasar; kadang kepada yang lebih tinggi
kelasnyapun demikian. Bahasa kasta Ksatriya digunakan ketika berbicara dengan kelas
yang lebih tinggi seperti brahmana atau pendeta/pemuka agama; tetapi hampir semua
kata-kata yang digunakan oleh kelas bawah dan menengah adalah sama, sedangkan
kelas atas menggunakan bahasa campuran antara bahasa kelas menengah, bahasa JawaKuno, dan bahasa Kawi (berasal dari bahasa Sansekerta).
Kelompok Masyarakat Tradisional / Masyarakat Adat di Pulau Bali
Dalam komunitas masyarakat Bali banyak terbentuk organisasi atau kelompokkelompok masyarakat pada berbagai aspek seperti perdesaan, pertanian, kesenian, dsb.
Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pelayanan fasilitas seperti sekolah, klinik,
rumah sakit, jalan, dan sebagainya; sedangkan aspek-asepek lainnya dalam kehidupan
berada di tangan 2 (dua) traditional committee yang berkiprah mengembalikannya ke
akar budaya masyarakat Bali. Organisasi kelompok masyarakat jenis pertama adalah
Banjar yang menata selururuh aktivitas desa termasuk upacara perkawinan, dan upacara
kematian (ngaben), sesuai dengan sifat-sifat yang dikenal dengan istilah gotong-royong.
Hampir seluruh desa sedikitnya memiliki satu Banjar dan semua laki-laki yang telah
menikah diharuskan bergabung. Satu Banjar rata-rata beranggotakan 50–100 keluarga
dan setiap Banjar mempunyai Bale-Banjar yakni tempat pertemuan regular. Di tempat
inilah kelompok drama dan orchestra gamelan tradisional Bali berlatih. Masyarakat
tradisional Subak
secara
lebih
arif mengorganisasikan
seluruh kekuatannya
dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya pertanian padi sawah.
Organisasi kelompok masyarakat jenis kedua adalah
Subak, yang memusatkan perhatiannya pada produksi
padi sawah dan mengorganisasikan sistem irigasi yang
kompleks. Kelompok kerjasama Subak berada di luar
lembaga-lembaga formal di desa, di bawah juridiksi
kelompok yang lebih besar, lebih dari satu
Subak, tergantung dari pola-pola drainase setempat.
Tugas-tugas teknik yang lebih penting di bawah
penanganan
Subak
yakni
pembangunan
dan
pemeliharaan kanal, terowongan, saluran air, dam, dan
pintu air. Padi merupakan makanan pokok masyarakat Bali yang dipersonifikasikan
sebagai Dewi Bhatari Sri. Padi juga merupakan kekuatan sosial utama. Tahaptahap dalam kegiatan pertanian padi sawah menentukan ritme dari pekrjaan
musiman sebagaimana ditunjukkan oleh kelompok pekerja antara laki-laki dengan
wanita di dalam satu komunitas. Masyarakat tradisional/adat Bali sangat
menghargai varietas padi lokal dan tidak menyukai pemupukan secara kimiawi (Urea,
NPK, TSP), demikian juga penyemprotan hama-penyakit tanamannya (Endrin,
Dieldrin, DDT, Malathion), yang diekspresikan dalam mitologi dan bebagai upacara
ritual yang melukiskan siklus hidup Dewi Bhatari Sri – dari mulai menanam benih hingga
memanen bulir padi. Maka padi merepresentasikan budaya masyarakat tradisional/adat
Bali dalam dual sense yakni budaya dan kultus, lebih khusus lagi, dalam pekerjaan
(bertani) dan ibadah.
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dalam
kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam tropika
dan kelestarian alam/ lingkungan, masyarakat adat/tradisional Subak ini
dengan indigenous environmental knowledge yang dimilikinya secara turun-temurun,
dengan kekuatan memegang hukum adatnya, dengan kemampuan cosmological
spiritualnya, dengan kuatnya religi yang dianutnya, mereka secara lebih arif
mengorganisasikan seluruh kekuatannya itu melakukan pengelolaan sumberdaya alam
dan sumberdaya pertanian padi sawah. Bukti sejarah mengindikasikan bahwa sejak abad
ke-11, semua petani yang lahannya terairi dari saluran irigasi yang sama menjadi satu
kelompok kerjasama irigasi atau termasuk di dalam satu Subak. Ini merupakan sebuah
lembaga adat (lembaga tradisional) yang mengatur pembangunan dan pemeliharaan
bangunan pengairan, dan suplai air irigasi yang didistribusikan secara adil. Peraturan
demikian sangat esensial untuk mengefisienkan penanaman padi-sawah di Bali, di mana
air mengalir melalui jurang yang sangat dalam dan menyebrangi teras-teras dalam
perjalanannya dari gunung ke laut. Setiap orang yang memiliki lahan pertanian padi atau
sawah bergabung pada Subak setempat, yang selanjutnya menjamin setiap anggotanya
mendapatkan air irigasi yang didistribusikan secara adil. Secara tradisi kepala Subak
memiliki sawah pada bagian yang paling bawah dari bukit/pegunungan, sehingga air
harus mengalir melalui sawah-sawah yang lain sebelum mencapai sawah miliknya. Subak
bertanggung-jawab terhadap koordinasi kegiatan penanaman benih dan pemindahan bibit
untuk mencapai kondisi di mana tanaman tumbuh secara optimal; demikian juga
bertanggung jawab dalam upacara persembahan dan perayaan di pura subak.
Seluruh
anggota
diundang
untuk Masyarakat
tradisional Bali
percaya
bahwa kelangsungan hidup komunitasnya juga bergantung dari integritas terhadap
budayanya. berpartisipasi pada kegiatan2 tersebut khususnya pada upacara persembahan
kepada Dewi Bhatari Sri. Pertanian padi sawah dengan sistem Subak disakralkan
karena mereka percaya pada eksistensi dewi-padi (Dewi Bhatari Sri; Sanghyang Sri)
yang senantiasa memberi kemakmuran selama manusia masih loyal kepadanya. Untuk
menjaga hubungan dengannya, setiap tahap kegiatan pertanian, sebelumnya diadakan
upacara ritual untuk memohon izin dengan menyampaikan persembahan; karena itu
melaksanakan pekerjaan di sawah dipertimbangkan sebagai bagian dari kewajiban
masyarakat tradisional/adat Bali dan diwajibkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan
(hukum adat). Untuk melindungi norma, kepercayaan, dan budayanya dari kekuatan
exogenous, beberapa aturan dan larangan pada aspek sosial dan budaya ditekankan dan
dilegalkan dalam ketetapan hukum adat. Untuk menegakkan hukum adatnya terdapat
mekanisme pengendalian yang disebut “Karma” (consequences). Mereka percaya bahwa
ia akan mengalami hal-hal yang buruk apabila melakukan perbuatan buruk,
dan sebaliknya. Mekanisme pengendalian lainnya yakni kontrol sosial berupa eksekusi
hukuman (punishment) bagi yang melakukan pelanggaran; eksekusi dilakukan oleh
Ketua Subak dan/atau Kelian Banjar.
Pergeseran budaya tradisional/adat dari ecocentrism ke anthropocentrism
Beraneka ragam budaya asing yang anthropocentrism telah hidup berdampingan bersama
budaya tradisional /adat Bali at least sejak 100 tahun yang silam. Hal ini dapat
mengancam tererosinya nilai-nilai luhur budaya tradisional (adat) Bali. Secara kasat mata
(tangible) semua pihak mengetahui bahwa cara hidup masyarakat tradisional/adat Bali
telah bergeser sebagai dampak dari penggunaan produk- produk budaya materialistist
anthropocentrism. Berdasarkan alasan tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa
budaya masyarakat tradisional/ adat Bali sedang mengalami pergeseran dari budaya
ecocentrism ke budaya anthropocentrism.
PEMBAHASAN
Success story tentang pengelolaan sumberdaya air dengan sistem Subak sudah tidak
diragukan lagi sehingga Pemerintah pernah mengangkatnya menjadi sebuah model
yang diaplikasikan ke seluruh wilayah Indonesia. Namun ternyata tidak berhasil. Hal ini
dapat dimengerti bila diingat bahwa terbentuknya sebuah pengetahuan setempat
(indigenous knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem (sumberdaya alam)
merupakan hasil penggabungan dan akumulasi dari: transfer of knowledge yang turuntemurun, pengalaman empiris, pengenalan dan pemahaman ekosistem setempat,
kemampuan cosmological spiritual, kekuatan religious, kemampuan menginterpretasikan
mitologi yang dipercayainya, kemampuan mengimplementasikan falsafah hidupnya,
sensitifitas bahasa alam/lingkungan, penghargaan pada etika lingkungan, kepatuhan
memegang hukum adat, dan integritas budaya tradisional setempat, dan faktorfaktor indigenous lainnya yang prosesnya berjalan sangat lama.
Di samping pengetahuan lokal (indigenenous knowledge), faktor lain yang menyebabkan
keberhasilan sistem Subak ini adalah karena kebijakan Pemerintah Daerah pada
bidang administrasi publik. Pemda berhasil mengintegrasikan sistem pemerintahan
tradisional (non-formal) ke dalam sistem pemerintahan fomal. Adanya pengakuan Pemda
terhadap eksistensi non-formal leader sangat penting di dalam sistem kemasyarakatan
tradsional (masyarakat adat). Kepatuhan kepada non-formal leader lebih
bersifat kepatuhan yang tulus (genuine compliance) yang dibangun atas kesadaran,
sedangkan kepada pemimpin formal biasanya hanya kepatuhan formal, atau kepatuhan
dengan enggan (grudding compliance), tidak mematuhi, atau mungkin apatis.
(apathy). Salah satu akibat langsung dari adanya dualisme antara budaya ecocentrism
dengan budaya anthro-pocentrism adalah yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang
dan pengelolaan sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat dualistik dalam kebijakan
pembangunan di mana terjadi ulur- tarik antara pemanfaatan kawasan budidaya dan
sumberdaya alam untuk kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan kawasan dan
lingkungan (sumberdaya alam) untuk ekologi (kelestarian lingkungan). Sejalan dengan
konsep/ pendekatan pembangunan berkelanjutan (economically viable, socially
acceptable, dan environmentally sound), hendaknya Pemerintah berhati-hati dalam
merumuskan kebijakan pembangunan agar dualisme antara budaya anthropocentrisme
dengan budaya ecocentrism tidak bersifat kontroversial dan antagonistist, melainkan
bersifat simbiosis, complementary, dan interdependency.
KESIMPULAN
Salah satu kelebihan dari masyarakat lokal/tradisional/ adat yaitu mempunyai
pengetahuan lokal atau indigenous (environmental) knowledge: suatu pengetahuan
bagaimana melestarikan alam/lingkungan dan mengelola sumberdaya alam secara
berkelanjutan berdasarkan: pengenalan, pemamahan, dan transfer pengetahuan ekologi
setempat secara turun-temurun; kemampuan cosmological spiritual; kekuatan religious;
kemampuan
menginterpretasikan
mitologi yang
dipercayainya;
kemampuan
mengimplementasikan falsafah hidup; sensitifitas bahasa alam; penghargaan pada etika
lingkungan; kepatuhan memegang hukum adat; integritas budaya tradisional setempat;
dan faktor2 indigenous lainnya; yang proses internalisasinya berjalan sangat
lama. Indigenous environmental knowledge mempunyai karakteristik dan ciri-ciri sebagai
berikut:
- Terbentuk, tumbuh, dan berkembang pada ekosistem setempat, dan pada
masyarakat tradisional/adat dengan budaya ecocentrism, dan adat-istiadat
setempat.
- Tidak dapat diterapkan pada ekosistem lain dan tidak dapat diterapakan secara
umum (general), hanya berlaku spesifik pada masyarakat dan ekosistem yang
bersangkutan.
- Sebagai instrument/tools yang ampuh dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
pelestarian alam/lingukngan.
- Memanfaatkan sifat-sifat alam (hukum alam), tidak memerlukan peralatan yang
canggih.
- Sulit dibuktikan atau dijabarkan dengan metoda ilmiah.
Masyarakat lokal/tradisional/adat menghadapi ancaman dari“kekuatan-kekuatan/faktorfaktor penekan” yang berpola- pikir (cara pandang) anthropocentrism yang
berupaya terus mempengaruhi mereka untuk mengubah cara hidup dan pengetahuan
lokalnya
(indigenous
knowledge-nya). Nilai2
luhur
budaya
masyarakat
lokal/tradisional/adat yang ecocentrism semakin terdesak, bergeser ke arah
budaya hedonis materialistis yang anthopocentrism. Proses ini dimungkinkan terjadi
melalui introduksi pengetahuan dan teknologi penciptaan luxury good consumption
sebagai salah satu unsur budaya matrialist hedonist anthropocentrism. Salah satu akibat
langsung dari adanya dualisme antara faham ecocentrism dengan faham
anthropocentrism adalah yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dan
pengelolaan sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat dualistik dalam kebijakan
pembangunan sehingga terjadi ulur-tarik antara pemanfaatan kawasan budidaya dan
sumberdaya alam untuk kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan kawasan dan
lingkungan (sumberdaya alam) untuk ekologi (kelestarian lingkungan).
Lebih jauh, agar dualisme antara anthropocentrisme dengan ecocentrism tidak bersifat
kontroversial dan antagonistist, melainkan bersifat simbiosis, complementary,
dan interdependency, maka Pemerintah hendaknya lebih berpihak kepada masyarakat
serta berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar tidak terjadi
malpolicy. Apabila Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah akan memanfaatkan
indigenous environmental knowledge sebagai instrument/tools dalam pelestarian
alam/lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan maka
disarankan untuk: (i) Mengidentifikasi masyarakat lokal/tradisional/adat serta
mendeliniasi ekosistem sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan
lingkungan/ ekologi;
(ii)
Memberikan
ruang
gerak
dan
kesempatan
untuk mengorganisasikan kemampuannya dalam pelestarian alam/lingkungan dan
pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan; (iii) Mengintegrasikan
pemerintahan non-formal ke dalam pemerintahan formal; (iv) Tidak mengintervensi
tetapi memfasilitasi; (v) Menjamin tidak ada “kekuatan-kekuatan/faktor-penekan” yang
berpola-pikir anthropocentrism yang berupaya terus mempengaruhi mereka untuk
mengubah cara hidup dan indigenous knowledge-nya; dan (vi) Menjamin tidak
terkontaminasinya budaya
adat/tradisional
ecocentrism
dari
unsur-unsur
budaya anthropocentrism.
Semakin Terpinggirkan
Oleh : H. Maman Djumantri
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari “Indigenous Environmental Knowlwdge for Use of
and Managing Natural Resources: A Case Study on Baduy, Aru, and Balinese’s Subak
Tribe Communities”, (BUTARU edisi Januari-Febuari 2011). Kedua tulisan tersebut
menunjukkan terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous environmental
knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem serta kaitannya dengan sustainable
exploitation of tropical natural resources (khususnya sumberdaya alam yang terbaharukan)
yang dilakukan oleh beberapa masyarakat lokal/tradsional/masyarakat- adat (tribe
communities) di Indonesia dengan mengambil contoh pada Baduy Tribe (Banten),
Aruese Tribe (Maluku Tenggara), dan Balinese’s Subak Tribe (Bali). Pengetahuan aslilokal ini merupakan bagian dari upaya untuk melestarikan dan mengelola sumberdaya
alam, sehingga dengan instrument tersebut masyarakat yang bersangkutan dapat bertahan
hidup di kawasan tersebut.
PERGESERAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
Secara
generic
dapat
dikatakan
bahwa
“pembangunan adalah
proses
pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan untuk
memenuhi kebutuhan manusia agar hidup
sejahtera lahir dan batin”. Terlepas dari
bagaimana proses dan cara melaksanakannya,
tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan
sosial (lahir maupun batin) bagi seluruh
rakyat Indonesia. Jika pembangunan ditujukan
untuk seluruh rakyat (bangsa) Indonesia, seyogyanya menyertakan juga lapisan masyarakat
tradisional
atau
masyarakat
adat
yang
tersebar, terpencil dan marjinal. Pembangunan
nasional dilaksanakan secara menyeluruh
wilayah” yakni suatu pendekatan yang tidak
sektoral, tidak melalui beberapa bidang yang pada
tataran
implementasinya
partial,
yang
bersifat
integrated
and
comprehensive/holistic; negara mendelegasikan kewenangan dan tanggung-jawab dan (ii)
pendekatan pembangunan berkelanjutan yang pengelolaannya kepada kementrian/badan
sebagai unsur bermakna pembangunan untuk memenuhi kebutuhan Pemerintahan. Dalam
perjalanan kehidupan bernegara masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan
kebutuhan terjadi penyelewengan tafsir dari “hak menguasai negara” generasi di masa
mendatang. Kedua pendekatan ini yang berpengaruh pada munculnya egoisme sektoral.
di Indonesia diakomodasikan di dalam kaidah-kaidah Pembangunan berjalan sendiri-
sendiri, tidak terjadi penataan ruang dan lingkungan. keterpaduan perencanaan,
sinkronisasi program, dan koordinasi pelaksanaan pembangunan; terjadi overlapping
kegiatan dan duplikasi pendanaan pembangunan. Ujung - ujungnya terjadi konflik
kepentingan sektoral dalam pengelolaan (khususnya pemanfaatan) sumberdaya alam.
Kini tinggal masyarakat yang menderita. Selanjutnya masing- masing sektor menyusun
kebijakan sekoral hanya untuk kepentingan sektornya sendiri. Hal ini sebenarnya tidak
perlu terjadi bila semua pihak memahami dan menyadari arti “kebijakan” itu sendiri
yakni seperangkat ketetapan yang disepakati bersama untuk (dalam) mengatur suatu
urusan atau persoalan demi terwujudnya tujuan pembangunan (William Dun, 2003; Riant
Nugroho D, 2007). Dengan berkembangnya paradigma baru pembangunan, Nampaknya
perlu direnungkan dan ditinjau kembali mulai disadari bahwa pembangunan yang terlalu
sektoral dan mengenai kebijakan pembangunan dan pendekatannya, sentralistis pada
akhirnya akan merugikan pembangunan dengan mengakomodasikan paradigma baru
tersebut. itu sendiri. Untuk menyempurnakan pendekatan sektoral, Perlukah dilakukan
redefinisi pembangunan dan kini diterima dua pendekatan kesisteman: (i) “pendekatan
kebijakannya. Perlu direnungkan dan ditinjau kembali mengenai kebijakan pembangunan
dan pendekatannya, dengan mengakomodasikan paradigma baru.
INDIGENOUS (ENVIRONMENTAL) KNOWLEDGE DARI MASYARAKAT
TRADISIONAL MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA
ALAM
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan
dan pengelolaan sumberdaya alam tropika dan
kelestarian
alam/lingkungan,
masyarakat
adat/ tradisional ini dengan pengetahuan lokalnya
(indigenus
knowledge),
dengan kekuatan
memegang
hukum
adatnya,
kemampuan
spiritualnya, dan religi yang dianutnya, ternyata
lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya.
Namun, bagaimana nasibnya dengan adanya
kekuatan-kekuatan/faktor
penekan
yang mempengaruhinya untuk mengubah cara
hidup dan pengetahuan lokalnya? Mari kita simak
masyarakat-masyarakat adat/ tradisional: Baduy,
Banten (BUTARU 1st edisi Jan-Feb 2011, p. 28-30),
Aru
(Maluku
Tenggara),
dan
Subak
(Bali). Masyarakat
adat dengan
pengetahuan lokalnya,
ternyata lebih
arif
dibandingkan masyarakat lainnya.
Masyarakat Lokal Tradisional/Masyarakat Adat Aru
(Maluku Tenggara)
untuk mengisi toko-toko obat dan restoran-restoran
internasional
di
Singapura, Masyarakat
lokal
tradisional (masyarakat adat) di Kepulauan Aru
(Maluku
Tenggara) berperadaban
ecocentrism,
tercermin dalam eksploitasi sumberdaya pesisir
dan laut sebagai mata-pencaharian utamanya dengan
memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal pada
sebuah ekosistem pesisir dan kepulauan. Pada
Musim Timur (Mei-Oktober) mereka bekerja di
kebun membuat kanji dari sagu, berburu rusa dan
babi hutan di savanna atau di hutan, dan
mengumpulkan beberapa jenis moluska, kepiting dan
Sea-cucumber (Tripang). Pada Musim Barat (November- April) lebih terfokus pada
sumberdaya laut seperti mengumpulkan Tripang di pantai berpasir yang sedang pasang,
kadang memancing Hiu. Tripang sejenis binatang laut yang lezat, kaya protein dan kalori,
jelly-nya dapat menjadi kosmetik, obat penyakit dalam, supplemen drink, sehingga
banyak saudagar/pedagang dari dalam dan luar negeri yang datang berkulak Tripang
untuk mengisi toko-toko obat dan restoran-restoran internasional di Singapura, Malaysia,
Taiwan, Cina, Jepang, dan Korea. Melalui para pedagang/saudagar inilah diintroduksikan
unsur- unsur budaya modern materialistis kepada masyarakat lokal Aru sehingga
budaya mereka bergeser ke luxury goods consumptive..
Akan terjadi degradasi mutu lingkungan akibat penggunaan teknologi dari pihak-pihak
yang mau mencari keuntungan terhadap komunitas lokal Aru. Tripang Kepulauan Aru,
Sulawesi Tenggara Dalam kegiatan mengumpulkan Tripang mereka tidak meng-gunakan
alat apapun tetapi memanfaatkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
mengenai kehidupan Tripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi,
pada cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya. Melalui pengetahuan lokal
inilah komunitas lokal Aru mengorganisasikan kekuatannya mengelola sumberdaya alam
yang satu ini secara lestari. Sebagai contoh: Di Musim Barat saat pasang naik merupakan
saat yang tepat untuk “memanen”Tripang; tetapi dibatasi dari November sampai Maret
saja karena Tripang (khususnya Tripang Putih dan Tripang Matahui) berproduksi pada
bulan April. Apabila suhu perairan menurun dan permukaan air terang Tripang
menampakkan diri sehingga para pemungut Tripang lebih suka menyelam di malam hari
apalagi saat bulan purnama; memang Tripang ini binatang yang romantic. omunitas lokal
Aru sangat kuat memegang kepercayaan yang dianutnya yang berhubungan erat dengan
mitologi. Hal ini menjadi instrument tangguh dalam menjaga kelestarian alam dan
keberlanjutan. Berikut ilustrasinya:
-
Alam dan seisinya merupakan milik leluhurnya (ancestors), yang
senantiasa memantau agar penggunaan sumberdaya alam sehemat mungkin,
sekedar untuk hidup (self-sufficient), dan memikirkan mereka yg akan hidup. Hal
-
-
-
-
-
-
-
ini dapat dipahami bahwa dengan kebijakan demikian maka tidak akan terjadi
over exploitation.
Di kalangan masyarakat Aru terdapat “Kepala Adat” sebagai mediator
dalam melakukan dialog antara Sang Leluhur dengan anak-cucunya. Karena itu
setiap akan melakukan kegiatan, didahului dengan upacara dialog.
Hasil dialog berupa kesepakatan-kesepakatan yang harus ditaati; misalnya
untuk jenis (species) tertentu hanya boleh diambil pada saat-saat tertentu, hanya
boleh mengambil Tripang yang berukuran besar saja; dan ada masa larangan
(restriction) untuk mengambil Tripang (dikenal dengan Sasi Tripang), selama ± 3
(tiga) tahun, dan sebagainya. Hal ini mengandung pengertian untuk memberi
kesempatan alam melakukan regenerasi.
Sang
Leluhur
akan
murka
bila
kesepakatan
dilanggar,
yang
dimanifestasikan dalam bentuk bencana alam. Mengandung makna bahwa apabila
alam terganggu keseimbangannya, maka alam akan mencari titik keseimbangan
baru. Dalam hubungnnya dengan menjaga keharmonisan antara warga masyarakat
dengan lingkugan hidup, dijumpai adanya sistem pengelolaan sumberdaya alam
secara tradisional. Dapat dilihat antara lain:
Ada pembagian tugas di antara warga, misalnya: laki - laki dewasa melakukan
kegiatan hunting, menyelam, dan berkebun; wanita dewasa melakukan kegiatan
rumah- tangga, membuat kanji dari sagu, memungut Tripang di pantai berpasir,
dan pengolahan Tripang pasca panen; anak perempuan membantu kegiatan
ibunya sebagai proses belajar; anak laki-laki mengamati kegiatan ayahnya
sebagai proses belajar. Transfer of knowledge dilakukan secara learning by doing.
Dahulu kala ada tradisi yang unik yang berkaitan dengan penyatuan dengan alam,
misalnya: (i) Bayi laki-laki yang baru dilahirlkan dilempar ke dalam laut, setelah
beberapa menit sang ayah terjun, menyelam mencari anaknya dan
dibawanya pulang; (ii) Anak laki-laki yang memasuki usia akil-balig dibuang ke
dalam hutan tanpa diberi bekal, apabila ia dapat pulang dengan selamat maka ia
disambut dan diakui sebagai laki-laki dewasa.
Apabila hasil perolehan Tripang melebihi kebutuhan untuk dikonsumsi sekeluarga,
maka kelebihannya diawetkan dengan teknologi ramah lingkungan (tanpa zat
pengawet). Tripang hasil pengawetan dapat ditukar (barter) dengan kebutuhan
rumah tangga yang lain.
Ada upaya untuk membudidayakan Tripang dengan cara membangun tambaktambak. Sayang sekali, peradaban ecocentrism ini telah bergeser dengan
masuknya faktor2 exogenous. Terutama sekali dibawa oleh saudagar2/pedagang2
dari Taiwan, Cina, Korea, Jepang, Malaysia, dan Singapura yang prosesnya
sudah berjalan ratusan tahun. Masyarakat tradisional Aru diimimg- imingi
produk-produk teknologi yang harus “dibayar” dengan Tripang.
Akhirnya Tripang menjadi sebuah komoditas ekonomi. Harga dipermainkan terus, namun
transaksi berjalan terus, dan Tripang dikuras terus. Kapan stopnya? Apakah harus
menunggu sampai masyarakat tradisional Aru jatuh miskin dan terjadi degradasi mutu
lingkungan akibat penggunaan teknologi dari pihak-pihak yang mau mencari keuntungan
(misalnya pencurian sumberdaya laut dengan kapal selam asing). Kalau sudah sampai
situasi-kondisi seperti ini, seyogyanya segera ada campur tangan (intervensi) Pemerintah,
misalnya ditetapkan Kepulauan Aru sebagai cagar alam, cagar budaya, kawasan
perlindungan, kawasan konservasi, menetapkan Tripang sebagai binatang yang dilindungi,
dan sebagainya. Yang terjadi sekarang malah Pemerintah menetapkan Kepulauan Aru
sebagai kawasan cadangan (?) Ini berarti kebijakan keberpihakan Pemerintah kepada
kapitalis.
Masyarakat Lokal Tradisional/Masyarakat Adat Subak-Bali (Pulau Bali)
Sawah Terasering dengan sistem Subak Masyarakat tradisional Bali sangat
mempercayai adanya kekuatan magis dan kekuatan spiritual yang dijadikan basis pada
religinya. Alam telah memanjakan Bali dengan kondisi idealnya untuk
pengembangan pertanian. Gunung berapi yang masih sering aktif menjadikan tanah
berkesuburan tinggi. Curahan air hujan dan sejumlah mata air dari pegunungan
menyuplai air ke beberapa kawasan pertanian di Pulau Bali. Dan sepanjang musim
kemarau, disebabkan oleh angin musim tenggara, matahari menyinari dalam
beberapa bulan dalam setahun. Di pulau ini kawasan produktif pertanian
tradisional cukup tersebar dan luas. Penanaman padi sawah merupakan kunci dari
kegiatan pertanian di Bali dengan konsentrasi sawah beririgasi dijumpai di bagian
selatan Bali. Pada daerah yang terairi dengan baik penanaman padi dirotasikan
dengan tanaman palawija penghasil uang (cash crop) seperti kacang tanah,
kedelai, bawang, cabe, dan sayuran; di daerah kering ditanami jagung, ketela, dan
ubi. Masyarakat tradisional (masyarakat adat) Bali mempunyai suatu sistem
indigenious irigasi yang dikendalikan oleh suatu organisasi dari kelompok
masyarakat perdesaan yang disebut Subak yang mempertahankan agar padi tetap
terairi dengan baik dan kaya akan nutrisi dari abu vulkanik yang juga dapat
meningkatkan kesuburan. Siap Upacara Ritual di Pura Subak
Religi, Kepercayaan, Norma, dan Budaya
Masyarakat tradisional/adat Bali menyembah
Dewa Brahmana (pencipta), Wisnu (pemelihara),
dan Shiwa (perusak, penghancur), sebagai
manifestasi dari sifat Tuhan yang maha kuasa
(Sanghyang Widhi Wasa). Konsep tiga aspek ini
dikenal dengan Trimurti. Dimungkinkan juga
menyembah Dewa-Dewa lainnya seperti Ganeça,
Saraswati, Bhatari Sri, dan umumnya terlihat
satu tempat ibadah digunakan untuk pemujaan
kepada banyak dewa dan kekuatan spiritual,
itulah uniknya masyarakat ini. Pada dasarnya
aktivitas manusia dapat dikelompokkan ke
dalam tiga interaksi yakni antara manusia
dengan manusia, manusia dengan alam,
dan manusia dengan Tuhannya. Hal ini
diartikulasikan
dalam pengaturan
pola
pemanfaatan ruang (space-used, zoning?) yang
dikenal
dengan
konsep
Tri
Hita
Karana. Masyarakat tradisional/adat Bali sangat mempercayai adanya kekuatan magis
dan kekuatan spiritual dan hal-hal tersebut banyak dijadikan basis pada religinya.
Mereka
percaya
bahwa kekuatan
spiritual
kebaikan
bersemayam
di
pegunungan, sedangkan lautan merupakan habitat dedemit, roh-jahat, dsb. Hampir di
semua desa sedikitnya mempunyai tiga pura: (i) Pura Puseh (temple of origin) yang
menghadap ke pegunungan, dan didedikasikan bagi para pendiri desa; (ii) Pura
Desa, normalnya terletak di tengah-tengah permukiman, dan didedikasikan bagi
kesejahteraan di dalam desanya; (iii) Pura Dalem, searah dengan laut, dan didedikasikan
bagi the spirits of the dead. Dalam kehidupannya masyarakat tradisional/ adat Bali
banyak melakukan upacara ritual keagamaan yang secara garis besar dapat
dikelompokkan ke dalam lima jenis upacara (panca yadnya): (i) manusa yadnya (upacaraupacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dari kelahiran hingga kematian); (ii)
putra yadnya (upacara2 yang berkaitan dengan upaya menjaga hubungan anata para
leluhur dengan yang masih hidup); (iii) dewa yadnya (upacara penyembahan kepada para
dewa yang menjaga/melindungi dunia); (iv) resi yadnya (upacara-upacara yang berkaitan
dengan priest ordination); dan (v) buta yadnya (upacara untuk melindungi diri dari nafsu
buruk atau nafsu jahat). Meskipun berasal dari India, agama masyarakat tradisional/ adat
Bali ini sangat unik, merupakan blending dari Hindu, Buddha, dan kepercayaankepercayaan indigenous Jawa- kuno, dengan adat-istiadat yang sangat berbeda dari
bentuk- bentuk tradisional Hinduism yang dipraktekan di India saat ini. Dalam
menjalankan norma dan etika kehidupannya masyarakat
Hindu Bali mengenal sistem strata yang dikenal dengan “kasta” (Brahmana, Ksatriya,
Weisya, dan Sudra); namun yang kita lihat sekarang sistem itu semakin longgar dan tidak
tertutup hubungan satu sama lain, dan pekerjaan atau jabatan tidak diatur oleh sistem
kasta. Dalam kenyataannya, hanya sesuatu yang merefleksikan sistem kasta, yakni bahasa
yang mempunyai tiga tingkatan: (i) bahasa halus (kromo-inggil), bahasa sedang
(moderat), dan (iii) bahasa pasaran (bahasa gaul). 95% masyarakat Bali menganut Hindu
Darma dan setiap hari berbicara lemah-lembut satu sama lain. Masyarakat kelas
menengah berbicara tegas, lugas, terkadang kasar; kadang kepada yang lebih tinggi
kelasnyapun demikian. Bahasa kasta Ksatriya digunakan ketika berbicara dengan kelas
yang lebih tinggi seperti brahmana atau pendeta/pemuka agama; tetapi hampir semua
kata-kata yang digunakan oleh kelas bawah dan menengah adalah sama, sedangkan
kelas atas menggunakan bahasa campuran antara bahasa kelas menengah, bahasa JawaKuno, dan bahasa Kawi (berasal dari bahasa Sansekerta).
Kelompok Masyarakat Tradisional / Masyarakat Adat di Pulau Bali
Dalam komunitas masyarakat Bali banyak terbentuk organisasi atau kelompokkelompok masyarakat pada berbagai aspek seperti perdesaan, pertanian, kesenian, dsb.
Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pelayanan fasilitas seperti sekolah, klinik,
rumah sakit, jalan, dan sebagainya; sedangkan aspek-asepek lainnya dalam kehidupan
berada di tangan 2 (dua) traditional committee yang berkiprah mengembalikannya ke
akar budaya masyarakat Bali. Organisasi kelompok masyarakat jenis pertama adalah
Banjar yang menata selururuh aktivitas desa termasuk upacara perkawinan, dan upacara
kematian (ngaben), sesuai dengan sifat-sifat yang dikenal dengan istilah gotong-royong.
Hampir seluruh desa sedikitnya memiliki satu Banjar dan semua laki-laki yang telah
menikah diharuskan bergabung. Satu Banjar rata-rata beranggotakan 50–100 keluarga
dan setiap Banjar mempunyai Bale-Banjar yakni tempat pertemuan regular. Di tempat
inilah kelompok drama dan orchestra gamelan tradisional Bali berlatih. Masyarakat
tradisional Subak
secara
lebih
arif mengorganisasikan
seluruh kekuatannya
dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya pertanian padi sawah.
Organisasi kelompok masyarakat jenis kedua adalah
Subak, yang memusatkan perhatiannya pada produksi
padi sawah dan mengorganisasikan sistem irigasi yang
kompleks. Kelompok kerjasama Subak berada di luar
lembaga-lembaga formal di desa, di bawah juridiksi
kelompok yang lebih besar, lebih dari satu
Subak, tergantung dari pola-pola drainase setempat.
Tugas-tugas teknik yang lebih penting di bawah
penanganan
Subak
yakni
pembangunan
dan
pemeliharaan kanal, terowongan, saluran air, dam, dan
pintu air. Padi merupakan makanan pokok masyarakat Bali yang dipersonifikasikan
sebagai Dewi Bhatari Sri. Padi juga merupakan kekuatan sosial utama. Tahaptahap dalam kegiatan pertanian padi sawah menentukan ritme dari pekrjaan
musiman sebagaimana ditunjukkan oleh kelompok pekerja antara laki-laki dengan
wanita di dalam satu komunitas. Masyarakat tradisional/adat Bali sangat
menghargai varietas padi lokal dan tidak menyukai pemupukan secara kimiawi (Urea,
NPK, TSP), demikian juga penyemprotan hama-penyakit tanamannya (Endrin,
Dieldrin, DDT, Malathion), yang diekspresikan dalam mitologi dan bebagai upacara
ritual yang melukiskan siklus hidup Dewi Bhatari Sri – dari mulai menanam benih hingga
memanen bulir padi. Maka padi merepresentasikan budaya masyarakat tradisional/adat
Bali dalam dual sense yakni budaya dan kultus, lebih khusus lagi, dalam pekerjaan
(bertani) dan ibadah.
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dalam
kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam tropika
dan kelestarian alam/ lingkungan, masyarakat adat/tradisional Subak ini
dengan indigenous environmental knowledge yang dimilikinya secara turun-temurun,
dengan kekuatan memegang hukum adatnya, dengan kemampuan cosmological
spiritualnya, dengan kuatnya religi yang dianutnya, mereka secara lebih arif
mengorganisasikan seluruh kekuatannya itu melakukan pengelolaan sumberdaya alam
dan sumberdaya pertanian padi sawah. Bukti sejarah mengindikasikan bahwa sejak abad
ke-11, semua petani yang lahannya terairi dari saluran irigasi yang sama menjadi satu
kelompok kerjasama irigasi atau termasuk di dalam satu Subak. Ini merupakan sebuah
lembaga adat (lembaga tradisional) yang mengatur pembangunan dan pemeliharaan
bangunan pengairan, dan suplai air irigasi yang didistribusikan secara adil. Peraturan
demikian sangat esensial untuk mengefisienkan penanaman padi-sawah di Bali, di mana
air mengalir melalui jurang yang sangat dalam dan menyebrangi teras-teras dalam
perjalanannya dari gunung ke laut. Setiap orang yang memiliki lahan pertanian padi atau
sawah bergabung pada Subak setempat, yang selanjutnya menjamin setiap anggotanya
mendapatkan air irigasi yang didistribusikan secara adil. Secara tradisi kepala Subak
memiliki sawah pada bagian yang paling bawah dari bukit/pegunungan, sehingga air
harus mengalir melalui sawah-sawah yang lain sebelum mencapai sawah miliknya. Subak
bertanggung-jawab terhadap koordinasi kegiatan penanaman benih dan pemindahan bibit
untuk mencapai kondisi di mana tanaman tumbuh secara optimal; demikian juga
bertanggung jawab dalam upacara persembahan dan perayaan di pura subak.
Seluruh
anggota
diundang
untuk Masyarakat
tradisional Bali
percaya
bahwa kelangsungan hidup komunitasnya juga bergantung dari integritas terhadap
budayanya. berpartisipasi pada kegiatan2 tersebut khususnya pada upacara persembahan
kepada Dewi Bhatari Sri. Pertanian padi sawah dengan sistem Subak disakralkan
karena mereka percaya pada eksistensi dewi-padi (Dewi Bhatari Sri; Sanghyang Sri)
yang senantiasa memberi kemakmuran selama manusia masih loyal kepadanya. Untuk
menjaga hubungan dengannya, setiap tahap kegiatan pertanian, sebelumnya diadakan
upacara ritual untuk memohon izin dengan menyampaikan persembahan; karena itu
melaksanakan pekerjaan di sawah dipertimbangkan sebagai bagian dari kewajiban
masyarakat tradisional/adat Bali dan diwajibkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan
(hukum adat). Untuk melindungi norma, kepercayaan, dan budayanya dari kekuatan
exogenous, beberapa aturan dan larangan pada aspek sosial dan budaya ditekankan dan
dilegalkan dalam ketetapan hukum adat. Untuk menegakkan hukum adatnya terdapat
mekanisme pengendalian yang disebut “Karma” (consequences). Mereka percaya bahwa
ia akan mengalami hal-hal yang buruk apabila melakukan perbuatan buruk,
dan sebaliknya. Mekanisme pengendalian lainnya yakni kontrol sosial berupa eksekusi
hukuman (punishment) bagi yang melakukan pelanggaran; eksekusi dilakukan oleh
Ketua Subak dan/atau Kelian Banjar.
Pergeseran budaya tradisional/adat dari ecocentrism ke anthropocentrism
Beraneka ragam budaya asing yang anthropocentrism telah hidup berdampingan bersama
budaya tradisional /adat Bali at least sejak 100 tahun yang silam. Hal ini dapat
mengancam tererosinya nilai-nilai luhur budaya tradisional (adat) Bali. Secara kasat mata
(tangible) semua pihak mengetahui bahwa cara hidup masyarakat tradisional/adat Bali
telah bergeser sebagai dampak dari penggunaan produk- produk budaya materialistist
anthropocentrism. Berdasarkan alasan tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa
budaya masyarakat tradisional/ adat Bali sedang mengalami pergeseran dari budaya
ecocentrism ke budaya anthropocentrism.
PEMBAHASAN
Success story tentang pengelolaan sumberdaya air dengan sistem Subak sudah tidak
diragukan lagi sehingga Pemerintah pernah mengangkatnya menjadi sebuah model
yang diaplikasikan ke seluruh wilayah Indonesia. Namun ternyata tidak berhasil. Hal ini
dapat dimengerti bila diingat bahwa terbentuknya sebuah pengetahuan setempat
(indigenous knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem (sumberdaya alam)
merupakan hasil penggabungan dan akumulasi dari: transfer of knowledge yang turuntemurun, pengalaman empiris, pengenalan dan pemahaman ekosistem setempat,
kemampuan cosmological spiritual, kekuatan religious, kemampuan menginterpretasikan
mitologi yang dipercayainya, kemampuan mengimplementasikan falsafah hidupnya,
sensitifitas bahasa alam/lingkungan, penghargaan pada etika lingkungan, kepatuhan
memegang hukum adat, dan integritas budaya tradisional setempat, dan faktorfaktor indigenous lainnya yang prosesnya berjalan sangat lama.
Di samping pengetahuan lokal (indigenenous knowledge), faktor lain yang menyebabkan
keberhasilan sistem Subak ini adalah karena kebijakan Pemerintah Daerah pada
bidang administrasi publik. Pemda berhasil mengintegrasikan sistem pemerintahan
tradisional (non-formal) ke dalam sistem pemerintahan fomal. Adanya pengakuan Pemda
terhadap eksistensi non-formal leader sangat penting di dalam sistem kemasyarakatan
tradsional (masyarakat adat). Kepatuhan kepada non-formal leader lebih
bersifat kepatuhan yang tulus (genuine compliance) yang dibangun atas kesadaran,
sedangkan kepada pemimpin formal biasanya hanya kepatuhan formal, atau kepatuhan
dengan enggan (grudding compliance), tidak mematuhi, atau mungkin apatis.
(apathy). Salah satu akibat langsung dari adanya dualisme antara budaya ecocentrism
dengan budaya anthro-pocentrism adalah yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang
dan pengelolaan sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat dualistik dalam kebijakan
pembangunan di mana terjadi ulur- tarik antara pemanfaatan kawasan budidaya dan
sumberdaya alam untuk kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan kawasan dan
lingkungan (sumberdaya alam) untuk ekologi (kelestarian lingkungan). Sejalan dengan
konsep/ pendekatan pembangunan berkelanjutan (economically viable, socially
acceptable, dan environmentally sound), hendaknya Pemerintah berhati-hati dalam
merumuskan kebijakan pembangunan agar dualisme antara budaya anthropocentrisme
dengan budaya ecocentrism tidak bersifat kontroversial dan antagonistist, melainkan
bersifat simbiosis, complementary, dan interdependency.
KESIMPULAN
Salah satu kelebihan dari masyarakat lokal/tradisional/ adat yaitu mempunyai
pengetahuan lokal atau indigenous (environmental) knowledge: suatu pengetahuan
bagaimana melestarikan alam/lingkungan dan mengelola sumberdaya alam secara
berkelanjutan berdasarkan: pengenalan, pemamahan, dan transfer pengetahuan ekologi
setempat secara turun-temurun; kemampuan cosmological spiritual; kekuatan religious;
kemampuan
menginterpretasikan
mitologi yang
dipercayainya;
kemampuan
mengimplementasikan falsafah hidup; sensitifitas bahasa alam; penghargaan pada etika
lingkungan; kepatuhan memegang hukum adat; integritas budaya tradisional setempat;
dan faktor2 indigenous lainnya; yang proses internalisasinya berjalan sangat
lama. Indigenous environmental knowledge mempunyai karakteristik dan ciri-ciri sebagai
berikut:
- Terbentuk, tumbuh, dan berkembang pada ekosistem setempat, dan pada
masyarakat tradisional/adat dengan budaya ecocentrism, dan adat-istiadat
setempat.
- Tidak dapat diterapkan pada ekosistem lain dan tidak dapat diterapakan secara
umum (general), hanya berlaku spesifik pada masyarakat dan ekosistem yang
bersangkutan.
- Sebagai instrument/tools yang ampuh dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
pelestarian alam/lingukngan.
- Memanfaatkan sifat-sifat alam (hukum alam), tidak memerlukan peralatan yang
canggih.
- Sulit dibuktikan atau dijabarkan dengan metoda ilmiah.
Masyarakat lokal/tradisional/adat menghadapi ancaman dari“kekuatan-kekuatan/faktorfaktor penekan” yang berpola- pikir (cara pandang) anthropocentrism yang
berupaya terus mempengaruhi mereka untuk mengubah cara hidup dan pengetahuan
lokalnya
(indigenous
knowledge-nya). Nilai2
luhur
budaya
masyarakat
lokal/tradisional/adat yang ecocentrism semakin terdesak, bergeser ke arah
budaya hedonis materialistis yang anthopocentrism. Proses ini dimungkinkan terjadi
melalui introduksi pengetahuan dan teknologi penciptaan luxury good consumption
sebagai salah satu unsur budaya matrialist hedonist anthropocentrism. Salah satu akibat
langsung dari adanya dualisme antara faham ecocentrism dengan faham
anthropocentrism adalah yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dan
pengelolaan sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat dualistik dalam kebijakan
pembangunan sehingga terjadi ulur-tarik antara pemanfaatan kawasan budidaya dan
sumberdaya alam untuk kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan kawasan dan
lingkungan (sumberdaya alam) untuk ekologi (kelestarian lingkungan).
Lebih jauh, agar dualisme antara anthropocentrisme dengan ecocentrism tidak bersifat
kontroversial dan antagonistist, melainkan bersifat simbiosis, complementary,
dan interdependency, maka Pemerintah hendaknya lebih berpihak kepada masyarakat
serta berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar tidak terjadi
malpolicy. Apabila Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah akan memanfaatkan
indigenous environmental knowledge sebagai instrument/tools dalam pelestarian
alam/lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan maka
disarankan untuk: (i) Mengidentifikasi masyarakat lokal/tradisional/adat serta
mendeliniasi ekosistem sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan
lingkungan/ ekologi;
(ii)
Memberikan
ruang
gerak
dan
kesempatan
untuk mengorganisasikan kemampuannya dalam pelestarian alam/lingkungan dan
pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan; (iii) Mengintegrasikan
pemerintahan non-formal ke dalam pemerintahan formal; (iv) Tidak mengintervensi
tetapi memfasilitasi; (v) Menjamin tidak ada “kekuatan-kekuatan/faktor-penekan” yang
berpola-pikir anthropocentrism yang berupaya terus mempengaruhi mereka untuk
mengubah cara hidup dan indigenous knowledge-nya; dan (vi) Menjamin tidak
terkontaminasinya budaya
adat/tradisional
ecocentrism
dari
unsur-unsur
budaya anthropocentrism.