Pembuatan Magnet Berbasis Bafe12o19 – Sio2 Dan Karakterisasinya

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terminologi Kemagnetan Material
Material yang diletakkan dalam medan magnet eksternal H akan terpolarisasi
magnetik atau termagnetisasi M, yakni proses pensejajaran dipol magnet yang
dikarenakan medan magnet dari luar. Magnetisasi juga didefinisikan sebagai
momen magnet per unit volume. Hubungan antara magnetisasi M dengan medan
magnet luar H dituliskan sebagai,
� = ��

(2.1)

dimana χ adalah suseptibilitas magnetik yang didefinisikan sebagi magnetisasi
yang terjadi per satuan medan magnet luar. Suseptibilitas dijadikan sebagai
parameter kualitas material magnetik dan dasar penggolongan sifat magnetik
dalam suatu material.
Pada media isotrop, M dan H mempunyai arah yang sama dengan satuan
yang sama yaitu ampere per meter (Am-1) sementara χ adalah besaran skalar yang
tidak berdimensi. Apabila M dalam gram molekul, maka suseptibilitas magnetnya

juga dalam suseptibilitas molar yang dilambangkan χm. Besar dan lambang
suseptibilitas akan bergantung tipe material magnetiknya (Puri dan Babbar, 1997).
Parameter lain yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas material
magnetik, yaitu permeabilitas magnetik absolut μ, yang dinyatakan sebagai,
� = ��

(2.2)

dimana B adalah induksi medan magnet yang ditimbulkan akibat adanya medan
magnet Hdalam medium. Kuantitas terukur dalam Tesla (T).

Jika�0 adalah permeabilitas ruang hampa dan besarnya 4� × 10−7 H/m dan

�r adalah permeabilitas relatif medium yang diberikan oleh persamaan,
� = �0 �r

(2.3)

� = �0 �r �


(2.4)

� = �0 (1 + �)�

(2.5)

� = �0 (� + �)

(2.6)

� = �0 �

(2.7)

Maka persamaan 2.2 akan menjadi,

Besarnya �� dapat dinyatakan sebagai �r = 1 + � sehingga persamaan 2.4 dapat
pula dinyatakan,

Jika persamaan 2.1 disubtitusi ke persamaan 2.5 maka akan diperoleh,


Pada ruang hampa, � = 0, � = 0, � = �0 , dan �r = 1 maka akan diperoleh
sebagai,

(Barsoum, M.W., 2003).

2.2. Klasifikasi Sifat Kemagnetan Material
Dipol magnetik material akan memberikan respon yang beragam terhadap
pengaruh medan magnet eksternal. Berdasarkan respon momen magnetik terhadap
pengaruh medan magnet eksternal, material magnetik digolongkan atas beberapa
jenis, yaitu : diamagnetik, paramagnetik, ferrimagnetik, ferromagnetik dan
antiferromagnetik.
2.2.1. Diamagnetik
Material diamagnetik merupakan material dengan resultan medan magnet
atomik masing-masing atom atau molekulnya adalah nol, tetapi medan magnet
akibat orbit dan spin elektronnya tidak nol. Material ini tidak mempunyai momen
dipol magnet permanen. Momen magnet dari material diamagnetik selalu
berlawanan arah dengan medan magnet eksternal yang diberikan.

H=0


H

Gambar 2.1. Arah domain magnetik pada material diamagnetik sebelum dan
sesudah diberi medan magnet eksternal
Suatu material dapat bersifat magnet apabila susunan atom dalam bahan
tersebut mempunyai spin elektron yang tidak berpasangan. Dalam material
diamagnetik hampir semua spin elektron berpasangan, sehingga resultan medan
magnet atomik dari masing-masing atom atau molekul adalah nol. Permeabilitas
bahan ini adalah µ < µ 0 dengan suseptibilitas magnetik bahan χ m < 0 (orde 10-5)

(Halliday et al. 1989).
2.2.2. Paramagnetik
Material paramagnetik merupakan material yang memiliki susebtibilitas

magnetik χ m > 0 dengan nilai yang sangat kecil. Dipol magnetik pada material
paramagnetik terorientasi sembarang. Jika material tersebut diberikan medan
magnet eksternal maka dipol magnetik dalam bahan tersebut sulit disejajarkan
sehingga dibutuhkan medan magnet yang sangat besar untuk menyelaraskan dipol


magnetik pada orientasi tertentu. Sementara efek paramagnetik dalam material
juga akan hilang ketika medan magnet yang diterapkan pada material tersebut
dihilangkan. Nilai suspetibilitas bahan paramagnetik bernilai positif, berada pada
rentang 10-5 sampai 10-3 m3/kg dan bergantung pada suhu (Halliday et al. 1989).
H=0

H

Gambar 2.2. Arah domain magnetik pada material paramagnetik sebelum dan
sesudah diberi medan magnet eksternal

2.2.3. Ferromagnetik
Material ferromagnetik merupakan material dengan dipol magnetik
cenderung paralel satu sama lain dari setiap atom penyusun material tersebut,
meski tidak sedang berada di bawah pengaruh medan magnet ekternal.
Permeabilitas

bahannya

µ >> µ 0 dengan


suseptibilitas

bahan

χ m >> 0 .

Keteraturan dipol magnetik yang terdapat pada ferromagnetik disebut dengan
magnetisasi spontan. Magnetisasi spontan terjadi di bawah suhu kritis tertentu
yang disebut dengan suhu Curie. Di atas suhu Currie, fluktuasi termal dapat
merusak keteraturan orientasi momen magnetik sehingga material ferromagnetik
akan berubah sifat kemagnetannya. Pada keadaan di atas suhu Curie bahan
ferromagnetik akan bersifat seperti bahan paramagnetik (Halliday et al. 1989).
H=0

Gambar 2.3. Arah domain magnetik pada ferromagnetik
2.2.4. Antiferromagnetik
Material antiferromagnetik memiliki dipol magnetik yang cenderung
antiparalel (kebalikan dari ferromagnetik). Suatu material akan menunjukkan sifat
ini bila memiliki minimal dua subkekisi dengan arah magnetisasi antiparalel. Jika

material ini diberikan medan magnet eksternal maka akan timbul magnetisasi
yang sangat kecil dengan koersivitas material akan naik seiring dengan
bartambahnya suhu. Magnetisasi dapat mancapai maksimum pada suhu kritis
(suhu Nell). Di atas suhu Nell, magnetisasi mengalami penurunan.
H=0

Gambar 2.4. Arah domain magnetik pada antiferromagnetik

2.2.5. Ferrimagnetik
Material ferrimagnetik memiliki susunan dipol magnetik mirip dengan
antiferromagnetik di mana momen magnetik yang berdekatan arahnya antiparalel,
tetapi magnetisasinya tidak nol. Hal ini disebabkan karena dua subkekisi dalam
bahan ferrimagnetik memiliki perbedaan magnitudo. Sifat ferrimagnetik terdapat
dalam material seperti ferrit yang komponen utamanya ialah oksida logam.
H=0

Gambar 2.5. Arah domain magnetik pada ferrimagnetik
Materialmagnet yang paling banyak dikenal mengandung besi metalik.
Beberapa unsur lain juga memperlihatkan sifat magnetik dan tidak semua magnet
berwujud logam. Teknologi modern juga memanfaatkan metalik, magnet

keramikdan magnet komposit. Teknologi muthakir ini juga memanfaatkan
elemen-elemen lain untuk meningkatkan kemampuan atau sifat-sifat magnetiknya
(Vlack, 2004).
Magnet merupakan material yang sangat penting untuk beragam aplikasi
teknologi canggih, berfungsi sebagai komponen pengubah energi gerak menjadi
listrik dan sebaliknya. Peningkatan efisiensi energi seperti pada sistem generator
listrik, sistem penggerak listrik/motor listrik, otomatisasi industri dan lainnya
sangat ditentukan oleh sifat material magnet tersebut (Sardjonoet al. 2012).
2.3. Sifat Intrinsik Kemagnetan Fasa Magnetik
2.3.1. Domain Magnetik Dan Kurva Histerisis
Domain magnet adalah wilayah di dalam material magnetik di mana dipol
magnetik dalam wilayah tersebut memiliki orientasi yang seragam. Domaindomain magnetik dipisahkan oleh dinding domain. Domain-domain magnetik,

ketika tidak terpengaruh oleh medan magnet eksternal akan memiliki arah
orientasi random dengan magnetisasi yang bernilai nol.
Material magnetik ketika dipengaruhi medan magnet eksternal, domaindomain magnetik akan membesar dan dinding-dinding domain makin menyempit,
sehingga magnetisasinya tak lagi bernilai nol. Dengan melakukan sederetan
proses magnetisasi, yaitu penurunan medan magnet luar menjadi nol dan
meneruskannya pada arah yang bertentangan, serta meningkatkan besar medan
magnet luar pada arah tersebut dan menurunkannya kembali ke nol kemudian

membalikkan arah seperti semula, maka magnetisasi atau polarisasi dari magnet
permanen terlihat membentuk suatu loop (Manaf, 2013). Loop ini disebut sebagai
kurva histerisis (hysteresis loop)seperti terlihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6. Kurva histerisis pada ferromagnetik (Coey, 2010)
Beberapa istilah pada kurva histerisis yang banyak dipakai sebagai acuan
pengukuran magnetik antara lain koersivitas (�c ), magnetisasi saturasi (�s ), dan

magnetisasi remanen (�r ). Koersivitas merupakan besarnya medan magnet yang

dibutuhkan untuk menurunkan magnetisasi pada material yang termagnetisasi

hingga magnetisasi kembali nol. Magnetisasi saturasi merupakan besarnya
magnetisasi maksimum yang dicapai pada saat seluruh momen magnetiknya

selaras. Sementara magnetisasi remanen adalah magnetisasi residu dalam material
setelah medan magnet diturunkan hingga sama dengan nol.
Kurva histerisis merupakan acuan dalam mengidentifikasi sifat magnet
suatu material magnetik. Dari kurva histerisis kita dapat membedakan antara
material soft magnetic dan hard magneticberdasarkan kekuatan medan koersifnya,

dimana soft magnetic memiliki medan koersif yang lemah, sedangkan hard
magnetic memiliki medan koersif yang kuat. Hal ini ditunjukkan pada gambar 2.7.
(a)

(b)
B
Br

B
Br

Hc

Hc
H

H

Gambar 2.7. Kurva histerisis (Smallman and Bishop, 2000)
Gambar 2.7 menunjukkan kurva histerisis untuk soft magnetic materials

pada gambar (a) dan hard magnetic materials pada gambar (b). H adalah medan
magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan berkekuatan B dalam
material. Setelah medan H ditiadakan, dalam specimen tersisa magnetisme
residual Br, yang disebut residual remanen dan diperlukan medan magnet Hc yang
disebut gaya koersif, yang harus diterapkan dalam arah berlawanan untuk
meniadakannya.
Soft magnetic materials mudah dimagnetisasi serta mudah pula mengalami
demagnetisasi, seperti tampak pada Gambar 2.7 (a) nilai H yang rendah sudah
memadai untuk menginduksi medan B yang kuat dalam logam dan diperlukan
medan Hcyang kecil untuk menghilangkannya. Soft magnetic materials dapat
mengalami magnetisasi dan tertarik ke magnet lain, namun sifat magnetiknya

hanya akan bertahan apabila magnet berada dalam suatu medan magnetik. Soft
magnetic materials tidak mengalami magnetisasi yang permanen.
Perbedaan antara magnet permanen atau magnet keras dengan magnet
lunak jelas terlihat pada loop histerisis seperti pada Gambar 2.7. Magnet keras
menarik material lain yang mengalami magnetisasi menuju dirinya. Magnet jenis
ini dapat mempertahankan kemagnetannya dalam waktu yang sangat lama. Ketika
suatu material magnetik dimasukkan ke dalam suatu medan magnetik, H, garis –
garis gaya yang berdekatan dihimpun dalam meterial tersebut sehingga
meningkatkan densitas fluks. Atau dengan istilah yang lebih teknis, terjadi
peningkatan induksi magnetik, B. Tentu saja, besarnya induksi bergantung pada
medan magnetik dan pada jenis material. Namun, peningkatan induksi yang
terjadi tidak linear tetapi mengikuti hubungan B–H yang melonjak ke level yang
lebih tinggi dan kemudian bertahan mendekati konstan di dalam medan magnetik
yang tetap lebih kuat.
Kurva histerisis dari suatu magnet permanen memperlihatkan perbedaan
yang sangat mencolok. Ketika medan magnetik dihilangkan, sebagian besar
induksi dipertahankan agar menghasilkan induksi remanen, Br. Medan terbalik,
disebut medan koersif, -Hc, diperlukan sebelum induksi turun menjadi nol. Sama
dengan loop lengkap dari suatu magnet lunak, loop lengkap suatu magnet
permanen mempunyai simetri 180°.
Karena hasilkali antara medan magnetik (A/m) dan induksi (V.s/m2) adalah
energi persatuan volume, daerah terintegrasi di dalam loop histerisis adalah energi
yang diperlukan untuk menyelesaikan satu siklus magnetisasi dari 0 ke +H ke –H
ke 0. Energi yang diperlukan magnet lunak sangat kecil, sedangkan magnet keras
memerlukan energi yang cukup besar dan pada kondisi ruang demagnetisasi tidak
akan terjadi. Magnetisasinya adalah magnetisasi yang permanen. Untuk itu,
magnet keras (hard magnetic) dapat juga disebut sebagai magnet permanen.
Beberapa sifat dari magnet permanen dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Sifat beberapa magnet keras

Material Magnetik

Remanensi
Br
(V.s/m2)

Medan Koersif
-Hc
(kA/m)

Baja karbon-biasa
1,0
Alnico V
1,2
Feroxdur (BaFe12O19)
0,4
RE – Co *
1,0
Nd2Fe14B
* Tanah jarang – kobalt, khususnya samarium
Sumber: Vlack, 2004

4
55
150
700
1600

Hasil Kali
Demagnetisasi
Maksimum
(BH)maks (kJ/m3)
1
34
20
200

Kepermanenan magnet dapat ditandai dari medan koersif, -Hc, yang
diperlukan untuk mengembalikan induksi ke nol. Suatu nilai sebesar -Hc = 1000
A/m sering digunakan untuk memisahkan magnet lunak dan magnet keras
(permanen). (BH)maks merupakan satu ukuran yang lebih baik, karena hasil-kali ini
menunjukkan hambatan energi kritis yang harus dilampaui agar demagnetisasi
bisa terjadi (Vlack, 2004).
Berdasarkan teknik pembuatannya,magnet permanen dibedakan atas dua
macam, yaitu magnet permanen isotropi dan magnet permanen anisotropi.Proses
pembentukkan

magnet

permanen

magnetpartikel-partikelyangmasih

isotropi

acak,

menghasilkan

sedangkan

pada

arahdomain
anisotropi

pembentukannya dilakukan dalam medan magnet sehingga arah domain
magnetpartikel-partikelnya mengarah pada satu arah tertentu seperti ditunjukkan
pada gambar 2.8. Magnet permanen isotropi memilikisifat magnet (remanensi
magnet) yang lebih kecil dibandingkan denganmagnet permanen anisotropi.

Gambar 2.8. Arah partikel pada magnet (a) isotropi dan (b) anisotropi

(Masno et al. 2006)
2.3.2. Polarisasi Total Fasa Magnetik
Polarisasi total Js atau magnetisasi total Ms dari suatu fasa didefinisikan
sebagai jumlah total momen magnet atom-atom yang terdapat di dalam fasa
magnetik perunit volume sebagaimana didefinisikan melalui persamaan berikut.

dengan :

−1
�s = ∑�=�
�=1 �� . �

(2.8)

Ms

= jumlah total momen magnet atom-atom yang terdapat di dalam fasa
magnetik perunit volume (A.m-1),

μi

= momen magnet per atom i (Bohr magneton),

1 μB = 9,273 x 10-24 J.T-1
V

= volume sel satuan fasa dan

n

= jumlah jenis atom pada sel satuan fasa.

Sedangkan Js mengambil bentuk seperti persamaan (2.2) dan memiliki satuan
Tesla (T).

dengan :

�s = �� �s

(2.9)

μo = permeabilitas udara (1 μo = 4 � x 10-7 H.m-1) dan

Js = polarisasi total (Tesla).

2.3.3. Medan Anisotropi (Anisotropy Field) Fasa Magnetik
Anisotropi magnet dapat muncul dari berbagai sebab seperti bentuk
magnet, struktur kristal, efek stress dan lain sebaginya. Kebanyakan material
feromagnetik memiliki anistropi kristal yang disebut magnetocrystalline
anisotropy, dimana kristal memiliki arah magnetisasi yang disukai dan disebut
sebagai arah mudah. Bila magnetisasi dilakukan searah dengan sumbu mudah ini,
maka keadaan jenuh dapat tercapai pada medan magnet luar yang relatif kecil.
Sebaliknya, bila magnetisasi dilakukan searah sumbu keras, keadaan saturasi
dapat dicapai pada aplikasi medan magnet yang relatif tinggi. Oleh karena itu,
untuk menimbulkan sifat anisotropi, magnet dibuat agar memiliki arah yang

disukai tersebut (preferred direction). Pada keadaan stabil, arah momen magnet
atau magnetisasi kristal adalah sama dengan arah sumbu mudah. Pada konfigurasi
keadaan stabil ini energi total dalam magnet adalah minimum. Sumbu kristal yang
lain disebut sumbu keras, dimana pemagnetan pada arah ini meningkatkan energi
kristal karena diperlukan suatu energi untuk mengubah arah vektor magnetisasi
yang tadinya searah dengan sumbu mudah. Energi yang diperlukan untuk
mengarahkan arah momen magnet menjauhi sumbu mudahnya disebut
magnetocrystalline energy atau anisotropy energy(EA).
2.3.4. Produk Energi Maksimum (BH)max
(BH)max merupakan sifat yang paling utama dari suatu magnet permanen
yang menunjukkan energi persatuan volume magnet yang dipertahankan di dalam
magnet. Besaran ini diturunkan dari kurva kuadran ke-II (kurva demagnetisasi)
dari loophisterisis sehingga diperoleh kurva (BH), yaitu perkalian antara B dan H
sebagai fungsi H. Jadi, kurva (BH) sebagai fungsi Htersebut tidak lain adalah
tempat kedudukan titik-titik luasan di bawah kurva demagnetiasi. Secara
skematik, penentuan kurva (BH) dari kurva demagnetisasi ditunjukkan pada
gambar 2.9.

Gambar 2.9. Penentuan nilai (BH)max dari kuadran ke-II loop histerisis
(Manaf, 2013)

Nilai intrisnik (BH)max dapat dihitung secara mudah dengan menggunakan
persamaan produk energi (BH) yang dinyatakan seperti persamaan berikut ini.

�� = �� �2 + ��

(2.10)

Persamaan (2.10) adalah persamaan kuadrat, sehingga plot antara kurva
(BH) dan H mengambil bentuk parabola seperti ditunjukkan pada gambar 2.9.
Nilai maksimum dari kurva (BH) tersebut ditentukan oleh syarat �(��)/�� = 0
atau

�(��)

dengan :

��

= 2�� � + � = 0

(2.11)

μo = permeabilitas udara (1 μo = 4 � x 10-7 H.m-1),

H = medan magnet luar (Oe), dan
J = polarisasi (Tesla).
Sehingga diperoleh persamaan

dengan :

�c = −�s /2��

(2.12)

Hc = medan magnet demagnetisasi kritis (Oe), dan
Js = polarisasi total (Tesla).
Jadi, dengan mensubstitusikan H pada persamaan (2.11) dengan H = Hc dari
persamaan (2.12), maka diperoleh persaman sebagai berikut.

(��)max =
dengan :

�� 2

4��

(2.13)

(BH)max = nilai energi produk maksimum dari suatu magnet (J.m-3).
2.3.5. Temperatur Curie Fasa Magnetik
Temperatur Curie Tc dapat didefinisikan sebagai temperatur kritis dimana
terjadi perubahan dari keteraturan feromagnetik menjadi paramagnetik. Dengan
kata lain, di atas Tc, material memiliki magnetisasi yang terlalu rendah bagi
magnet. Dengan demikian Tc juga merepresentasikan kekuatan interaksi

pertukaran antar spin-spin elektron atom. Suatu magnet diharapkan memiliki
ketahanan yang baik terhadap temperatur, terutama pada aplikasi-aplikasi
dinamik, seperti motor dan generator. Dalam kasus ini perubahan temperatur
diharapkan tidak mengurangi sedikitpun magnetisasi magnet agar unjuk kerja
magnet tetap tinggi. Hal ini mungkin dapat terjadi apabila magnet tersebut
memiliki Tc yang tinggi (Manaf, 2013).
2.4. Magnet Komposit
Magnet komposit terdiri dari dua atau lebih bahan berbeda yang digabung
atau dicampur secara makroskopis. Pada umumnya magnet komposit ini dibuat
dengan pencampuran serbuk bahan magnet dengan pengikat bahan bukan magnet,
seperti semen portland, polimer, dengan komposisi yang diinginkan didalam alat
pencampur (Karokaroet al. 2002).
Karakteristik dari masing-masing bahan pembuat magnet inilah yang akan
menentukan karakteristik dari magnet komposit, seperti sifat kekerasan, kekuatan
serta sifat mekanik yang lainnya. Sedangkan jumlah elemen serbuk magnet
didalam komposit akan sangat menentukan kekuatan medan magnet dari magnet
komposit, karena banyak sedikitnya bahan pengikatnya akan mempengaruhi sifat
magnet (Lih Jiun Yuet al. 2012).
Pada magnet komposit, sifat-sifat struktur bahan pembentuknya masih
terlihat jelas. Magnet komposit dapat dibuat menjadi rigid atau elastis, tergantung
pada bahan campuran yang digunakan. Apabila bahan campuran yang digunakan
pada magnet komposit bersifat elastis seperti karet alam, maka akan didapatkan
magnet komposit yang bersifat elastis(Sudirmanet al. 2002).Pada dasarnya
magnet komposit yang memiliki sifat elastis mempunyai kelebihan dalam sifat
mekaniknya,yakni memiliki kekuatan tarik yang tinggi, sedangkanmagnet
komposit yang bersifat rigid mempunyai kelebihan dalam sifat mekaniknya yang
tidak mudah pecah. Dengan kata lain, keunggulan yang dimiliki oleh magnet
komposit adalah pengabungan dari sifat-sifat unggul masing-masing bahan
pembentuknya (Hadi, 2000).

2.5. Barium Heksaferit (BaFe12O19)
Barium heksaferit (BaFe12O19) telah dikenal sebagai material magnetik
permanen yang memiliki struktur heksagonal yang sesuai dengan space group P
63/mmc (Smith, 1959). Barium heksaferit secara teoritis memiliki anisotropi
kristalin magnet yang cukup besar, koersivitas tinggi (6700 Oe), temperatur Curie
tinggi (450oC), magnetisasi saturasi yang relatif besar (78 emu/g), kestabilan
kimiawi yg baik dan tahan korosi (Tang et al. 2005).Barium heksaferit memiliki
parameter kisi a = 5,8920 Å dan c = 23,1830 Å. Struktur kristal barium heksaferit
diperlihatkan pada gambar 2.10.

(a)

(b)

Gambar 2.10. (a) perspektif dari unit sel BaFe12O19 tipe M
dan (b) polyhedra dari unit sel BaFe12O19 tipe M (Robert C. Pullar, 2012)
Material magnet oksida BaFe12O19 merupakan jenis magnet keramik yang
banyak dijumpai di samping material magnet SrO.6Fe2O3. Seperti pada jenis
oksida lainnya, material magnet tersebut memiliki sifat mekanik yang sangat kuat
dantidak mudahterkorosi(Snoek, 1947). Sebagai magnet permanen, material
BaFe12O19 memilikisifat kemagnetan dengan tingkat kestabilan tinggi terhadap
pengaruh medan magnet luar pada suhu diatas 300oC sehingga sangat cocok
dipergunakan dalam peralatan teknologi pada jangkauan yang cukup luas.

Barium heksaferit dapat disintesa dengan beberapa metode seperti
kristalisasi gas, presipitasi hidrotermal, sol-gel, aerosol, copresipitasi dan
pemaduan mekanik. Diantara metoda-metodatersebut, pemaduan/gerus mekanik
merupakan metodepaling ekonomis karena ketersediaan bahan baku secara
komersial yang relatif murah. Selain itu, penanganan material untuk proses
pemaduan mekanik relatif sederhana sehingga produksi dalam skala besar dapat
diimplementasikan dengan mudah.
Barium heksaferit merupakan oksidakeramik yang paling banyak
dimanfaatkan secara komersial. Kurva histerisis magnet permanen jenis ini
memiliki koersivitas yang relatif tidak besar sehingga senyawa tersebut juga
berpeluang cukup baik untuk aplikasi media penyimpan data (magnetic
recording) dan magneto optic materials (Nowosielskiat al, 2007).
2.6. Silika
Silika adalah senyawa kimia dengan rumus molekul SiO2 (silicon dioxside)
yang dapat diperoleh dari silika mineral, nabati dan sintesis kristal. Silika mineral
adalah senyawa yang banyak ditemui dalam bahan tambang/galian yang berupa
mineral seperti pasir kuarsa, granit dan fledsfar yang mengandung kristal-kristal
silika (SiO2) (Della et al, 2002; Bragmann and Goncalves, 2006). Selain terbentuk
secara alami, silika dengan struktur kristal tridimit dapat diperoleh dengan cara
memanaskan pasir kuarsa pada suhu 870°C dan bila pemanasan dilakukan pada
suhu 1470°C dapat diperoleh silika dengan struktur kristobalit (Cotton and
Wilkinson, 1989). Silika juga dapat dibentuk dengan mereaksikan silikon dengan
oksigen atau udara pada suhu tinggi (Iler, 1979).
Pada umumnya silika adalah dalam bentuk amorf terhidrat, namun bila
pembakaran berlangsung terus menerus pada suhu diatas 650°C maka tingkat
kristalinitasnya akan cenderung naik dengan terbentuknya fasa kuarsa, kristobalit
dan tridimit (Hara, 1986). Bentuk struktur kuarsa, kristobalit dan tridimit yang
merupakan jenis kristal utama silika memiliki stabilitas dan kerapatan yang
berbeda (Brindley and Brown, 1980). Struktur kristal kuarsa, kristobalit dan
tridimit memiliki nilai densitas masing-masing sebesar 2,65×103 kg/m3, 2,27×103

kg/m3 dan 2,23×103 kg/m3 (Smallman and Bishop, 2000).Karakteristik silika
diperlihatkan dalam tabel 2.2.
Tabel 2.2. Karakteristik silika (Surdia dan Saito, 2000)
Nama lain
Rumus molekul
Berat jenis (g/cm3)
Bentuk
Daya larut dalam air
Titik cair (oC)
Titik didih (oC)
Kekerasan (kg/mm2)
Kekuatan tekuk (MPa)
Kekuatan tarik (MPa)
Modulus elastisitas (Gpa)
Resistivitas (Ωm)
Koordinasi geometri
Struktur kristal

Silikon Dioksida
SiO2
2,6
Padat
Tidak larut
1610
2230
650
70
110
73 – 75
˃ 1014
Tetrahedral
Kristobalit, Tridimit, Kuarsa

Silika terbentuk melalui ikatan kovalen yang kuat serta memiliki struktur
dengan empat atom oksigen terikat pada posisi sudut tetrahedral di sekitar atom
pusat yaitu atom silikon. Gambar 2.11 memperlihatkan struktur silika tetrahedral.

Gambar 2.11. Struktur silika tetrahedral (Anne Egger, 2006)
Berdasarkan perlakuan termal, pada suhu < 570°C terbentuk low quartz,
untuk suhu 570 - 870°C terbentuk high quartz yang mengalami perubahan
struktur menjadi kristobalit dan tridimit, sedangkan pada suhu 870 – 1470°C
terbentuk high tridymite, pada suhu˃ 1470°C terbentuk

high crystobalite dan

pada suhu 1723°C terbentuk silika cair. Silika dapat ditemukan di alam dalam
bentuk kuarsa dan memiliki 7 bentuk kristal serta memiliki tiga bentuk kristal
utama, yaitu kristobalit, tridimit dan kuarsa seperti diperlihatkan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3. Bentuk kristal utama silika (Smallman and Bishop, 2000)
Betuk
Kristobalit

Rentang Stabilitas (oC)
1470-1723

Tridimit

870-1470

Kuarsa

˂870

Modifikasi
β-(kubik)
α-(tetragonal)
γ-?
β-(heksagonal)
α-(ortorombik)
β-(heksagonal)
α-(trigonal)

Silika adalah keramik yang tahan terhadap temperatur tinggi yang banyak
digunakan dalam industri baja dan gelas (Smallman and Bishop, 2000). Diketahui
bahwa satuan struktur primer silika adalah tetrahedron SiO4, di mana satu atom
silika dikelilingi oleh empat atom oksigen (seperti terlihat pada Gambar 2.11).
Gaya-gaya yang mengikat struktur tetrahedral ini berasal dari ikatan ionik dan
kovalen sehingga ikatan tetrahedral ini kuat. Pada silika murni tidak terdapat ion
logam dan setiap atom oksigen merupakan atom penghubung antara dua atom
silikon (Vlack and Lawrench, 2004).
2.7. Polivinil Alkohol
Polivinil alkohol (PVA) merupakan suatu material yang dibuat melalui
proses alkoholisis dari polivinil asetat (PVAc). Polivinil alkohol memiliki sifat
tidak berwarna, padatan termoplastik yang tidak larut pada sebagian besar pelarut
organik dan minyak, tetapi larut dalam air bila jumlah dari gugus hidroksil dari
polimer tersebut cukup tinggi (Harper & Petrie, 2003). Polivinil alkohol memiliki
permeabilitas uap air terendah dari semua polimer komersial tetapi sensitivitas
airnya telah membatasi penggunaannya (Beswick & Dunn, 2002). Wujud dari
PVA berupa serbuk berwarna putih dan memiliki densitas 1,200×103– 1,302×103
kg/m3 serta dapat larut dalam air pada suhu 80 oC (Sheftel, 2000). Secara
komersial, PVA adalah plastik yang paling penting dalam pembuatan film yang
dapat larut dalam air. Hal ini ditandai dengan kemampuannya dalam pembentukan
film, pengemulsi dan sifat adesifnya. Polivinil alkohol memiliki kekuatan tarik
yang tinggi, fleksibilitas yang baik dan sifat penghalang oksigen yang baik (Ogur,
2005). Struktur kimia dari polivinil alkohol disajikan pada gambar 2.12.

H
C

H

H

C
OH

Gambar 2.12. Struktur kimia polivinil alkohol
(Liang et al. 2009)
Aplikasi dari polivinil alkohol sudah meliputi banyak bidang. Hodgkins &
Taylor (2000) melaporkan polivinil alkohol banyak diaplikasikan dalam bidang
kesehatan (biomedical), bahan pembuat deterjen, lem dan film. Selain itu polivinil
alkohol juga banyak digunakan dalam pengolahan tekstil pada pembuatan nilon
dan dalam pembuatan serat sebagai bahan baku untuk produksi serat polivinil
alkohol. Polivinil alkohol dalam industri pangan sangat banyak digunakan sebagai
bahan pelapis karena sifatnya kedap terhadap uap air. Polivinil alkohol mampu
menjaga komponen aktif dan bahan lainnya yang terkandung di dalam bahan dari
kontak dengan oksigen (Ogur, 2005). Karakter fisik dari polivinil alkohol
disajikan pada tabel 2.4.
Tabel 2.4. Karakteristik fisik polivinil alkohol
Karakteristik
Densitas (g/cm3)
Titik leleh (oC)
Titik didih (oC)
Suhu penguraian (oC)
Sumber : Ogur, 2005

Nilai
1,19-1,31
180-240
228
180

2.8. Proses Kalsinasi
Proses kalsinasi adalah proses pembakaran tahap awal yang merupakan
reaksi dekomposisi secara endothermic dan berfungsi untuk melepaskan gas-gas
dalam bentuk karbonat atau hidroksida sehingga menghasilkan serbuk dalam
bentuk oksida dengan kemurnian yang tinggi.

Kalsinasi dilakukan pada suhu tinggi dan suhunya tergantung pada jenis
bahannya. Kalsinasi diperlukan sebagai penyiapan serbuk keramik untuk diproses
lebih lanjut dan juga untuk mendapatkan ukuran partikel yang optimum serta
menguraikan senyawa-senyawa dalam bentuk garam atau dihidrat menjadi oksida
dan membentuk fase kristal.
Peristiwa yang terjadi selama proses kalsinasi berlangsung antara lain
(James S.R,1988 ) :
a. Pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) berlangsung sekitar suhu 100oC
hingga 300oC.
b. Pelepasan gas-gas, seperti : CO2 berlangsung sekitar suhu 600oC dan pada
tahap ini disertai terjadinya pengurangan berat yang cukup berarti.
c. Pada suhu lebih tinggi, ±800oC struktur kristalnya sudah terbentuk, di mana
pada kondisi ini ikatan antar partikel serbuk belum kuat dan mudah lepas.
2.9. Metalurgi Serbuk
Metalurgi serbuk adalah metode yang terus dikembangkan dari proses
manufaktur yang dapat mencapai bentuk komponen akhir dengan mencampurkan
serbuk secara bersamaan dan dikompaksi dalam cetakan dan selanjutnya disinter
di dalam furnace (tungku pemanas).
Langkah-langkah yang harus dilalui dalam metalurgi serbuk, antara lain :
1.Pencampuran (mixing)
2.Penekanan (kompaksi)
3.Pemanasan (sintering)
2.9.1. Pencampuran (Mixing)
Pencampuran serbuk dari beberapa material berbeda bertujuan untuk
memberikan sifat fisik dan mekanik yang lebih baik. Pada pencampuran, perlu
ditambahkan binder untuk meningkatkan green strenght seperti wax atau polimer
termoplastik. Ada 2 macam pencampuran, yaitu :
1. Pencampuran basah (wet mixing), yaitu proses pencampuaran di mana serbuk
matrik dan filler dicampur terlebih dahulu dengan pelarut polar. Metode ini

dipakai apabila material (matrik dan filler) yang digunakan mudah mengalami
oksidasi. Tujuan pemberian pelarut polar adalah untuk mempermudah proses
pencampuaran material yang digunakan dan untuk melapisi permukaan
material supaya tidak berhubungan dengan udara luar sehingga mencegah
terjadinya oksidasi pada material yang digunakan.
2. Pencampuran kering (dry mixing), yaitu proses pencampuran yang dilakukan
tanpa menggunakan pelarut. Metode ini dipakai apabila material yang
digunakan tidak mudah mengalami oksidasi.
2.9.2. Penekanan (Kompaksi)
Kompaksi merupakan proses pemadatan serbuk menjadi sampel dengan
bentuk tertentu sesuai dengan cetakannya.Ada 2 macam metode kompaksi, yaitu:
1. Cold compressing, yaitu kompaksipada temperatur kamar. Metode ini dipakai
apabila bahan yang digunakan mudah teroksidasi, seperti Al.
2. Hot compressing, yaitu kompaksi pada temperatur di atas temperatur kamar.
2.9.3. Sintering
Proses sintering adalah suatu proses pemadatan sekumpulan serbuk pada
suhu di bawah titik leburnya sehingga selama proses sintering terjadi pengurangan
pori, penyusutan dan perubahan ukuran butir (William, 1991).
Pengurangan pori dan pertumbuhan butir selama proses sintering terjadi
akibat proses difusi di antara butir. Jenis proses difusi akan memberikan efek
terhadap perubahan sifat-sifat fisis, yaitu perubahan densitas, pengurangan pori
dan ukuran butir. Umumnya peningkatan densitas, pengurangan pori dan
penyusutan disebabkan karena adanya difusi volume dan difusi batas butir
(Randall, 1991).
Benda setelah mengalami proses sintering akan mengalami perubahan
mikrostruktur sehingga sifat-sifat fisis maupun kemagnetannya akan ikut
mengalami perubahan pula. Jelas bahwa suhu sintering memberikan pengaruh
yang besar terhadap perubahan sifat fisis maupun sifat magnet. Jika suhu sintering
semakin tinggi maka kerapatan atau kepadatannya akan semakin meningkat akibat

adanya proses difusi selama proses sintering (Ristic, 1989). Skema representasi
dari tahap sintering dan jenis proses sinter ditunjukkan pada gambar 2.13.

Gambar 2.13. Skema representasi tahap sintering dan jenis proses sinter
(McClomand Clark, 1998)
2.10. KarakterisasiMaterial
Untuk mengetahui sifat-sifat dan kemampuan suatu material maka perlu
dilakukan pengujian dan analisis. Beberapa jenis pengujian dan analisis yang
dibahasuntuk keperluan penelitian ini antara lain: pengujian sifat fisis (densitas
dan porositas), analisa struktur kristal dengan menggunakan alat uji XRD, analisa
mikrostrukturdengan menggunakan SEMdan untuk karakterisasi sifat kemagnetan
menggunakan gaussmeter dan permagraph.
2.10.1. Densitas
Densitas (ρ) adalah suatu ukuran massa (m) persatuan volume (V)
suatumaterial

dalam

satuan

gram/cm3.

Beberapa

faktor

yang

mempengaruhidensitas adalah ukuran dan berat atom suatu elemen, kuatnya
pengepakan

atom

dalammikrostruktur.

dalam

struktur

kristal

dan

besarnya

porositas

Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material. Pengukuran
densitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah true density dan bulk
density.True density merupakan kerapatan bahan padat sebenarnya dan tidak
termasuk volume pori-pori terbuka maupun tertutup. True densityyang tak lain
adalah densitas serbuk ditentukan secara piknometris dengan persamaan :

dengan :

�� =

(�1 −�0 )

(�3 −�0 )−(�2 −�1 )

�����

(2.16)

�s = densitas serbuk bahan sampel (kg/m3),

m0 = massa piknometer kosong (kg),

m1 = massa (piknometer + serbuk bahan sampel) (kg),
m2 = massa (piknometer + serbuk bahan sampel + air) (kg),
m3 = massa (air + piknometer) (kg) dan

�air = massa jenis air (kg/m3)
Pengujian

bulk

density

menggunakan

metode

Archimedesdengan

mengukur massa kering sampel dan massa basahnya. Densitas sampel
dapatdihitung menggunakan persamaan :

dengan :

�=

��

�� −��

� ����

(2.17)

� = densitas sampel (kg/m3),

mk = massa kering sampel (kg),

mb = massa basah sampel (kg) dan

�air = massa jenis air (kg/m3)

2.10.2. Porositas

Porositas dapat didefenisikan sebagai perbandingan antara jumlah volume
lubang-lubang kosong yang dimiliki oleh zat padat (volume kosong) dengan
jumlah dari volume zat padat yang ditempati oleh zat padat. Porositas pada suatu
material dinyatakan dalam persen (%) rongga fraksi volume dari suatu rongga
yang ada di dalam material tersebut. Besarnya porositas pada suatu material

bervariasi mulai dari 0 % sampai dengan 90 % tergantung dari jenis dan aplikasi
material tersebut. Ada dua jenis porositas yaitu porositas terbuka dan porositas
tertutup. Porositas yang tertutup pada umumnya sulit untuk ditentukan karena pori
tersebut merupakan rongga yang terjebak di dalam padatan dan serta tidak ada
akses ke permukaan luar, sedangkan pori terbuka masih ada akses ke permukaan
luar, walaupun ronga tersebut ada ditengah-tengah padatan. Porositas suatu bahan
pada umumnya dinyatakan sebagai porositas terbuka atau apparent porosity dan
dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

dengan :

�=

�� −��
��

� 100 %

(2.18)

P = porositas (%),
mk = massa kering sampel (kg) dan
mb = massa basah sampel (kg)
2.10.3. X-Ray Diffraction(XRD)
X-ray diffractometer (XRD) merupakan alat untuk mengidentifikasi
struktur kristal dan fasa dalam suatu bahan dengan memanfaatkan radiasi
gelombang elektromagnetik sinar-X. XRD dilengkapi beberapa komponen
penting seperti: tabung sinar-X, monokromator, detektor dan beberapa alat optik
lain.
Sinar-X dihasilkan pada suatu tabung sinar katode dengan pemanasan
kawat pijar untuk menghasilkan elektron-elektron, kemudian elektron-elektron
tersebut dipercepat terhadap suatu target dengan memberikan suatu voltasetertentu
dan menembak target dengan elektron. Ketika elektron-elektron mempunyai
energi yang cukupuntuk mengeluarkan elektron-elektron dalam target, spektrum
karakteristik sinar-X dihasilkan.Spektrum ini terdiri atas beberapa komponenkomponen dan yang paling umum adalah Kα dan Kβ. Kαterdiri dariKα1 danKα2.Kα1
mempunyai panjang gelombang sedikit lebih pendek dari Kα2. Panjang gelombang
yang spesifik merupakan karakteristik dari bahan target (Cu, Fe, Mo, Cr). Kertas
perak atau kristal monokromator akan menyaring dan menghasilkan sinar-X

monokromatik yang diperlukan untuk difraksi. Tembaga adalah bahan sasaran
yang paling umum untuk difraksi kristal tunggal, dengan radiasi CuKα = 1,5406
Å. Saat sampel dan detektor diputar, intensitas Sinar-X pantul itu direkam. Ketika
geometri dari peristiwa sinar-X tersebut memenuhi persamaan Bragg, interferensi
konstruktif terjadi dan suatu puncak di dalam intensitas terjadi. Detektor akan
merekam sinyal penyinaran ini dan mengkonversi sinyal itu menjadi suatu arus
yang akan dikeluarkan pada layar komputer. Bagan XRD ditunjukkan pada
gambar 2.14.

Gambar 2.14. Diagram X-ray diffractometer (Waseda et al. 2011)
Fenomena difraksi sudah dikenal pada ilmu optik. Standar pengujian di
laboratorium fisika adalah untuk menentukan jarak antara dua gelombang dengan
mengetahui panjang gelombang sinar, dengan mengukur sudut berkas sinar yang
terdifraksi. Pengujian ini merupakan aplikasi langsung dari pemakaian sinar-X
untuk menentukan jarak antara kristal dan jarak antara atom dalam kristal.
Gambar

2.15menunjukkan

suatu

berkas

sinar-X

dengan

panjang

gelombang λ, jatuh pada sudut θ pada sekumpulan bidang atom berjarak d. Sinar
yang dipantulkan dengan sudut θ hanya dapat terlihat jika berkas dari setiap

bidang yang berdekatan saling menguatkan. Oleh sebab itu, jarak tambahan satu
berkas dihamburkan dari setiap bidang yang berdekatan dan menempuh jarak
sesuai dengan perbedan kisi, yaitu sebesar nλ. Sebagai contoh, berkas ke dua yang
ditunjukkan gambar 2.15 harus menempuh jarak lebih jauh dari berkas pertama
sebesar PO + OQ. Syarat pemantulan dan saling menguatkan dinyatakan oleh :
nλ = PO + OQ = 2 ON sin θ = 2 d sin θ

(2.14)

Persamaan (2.14) disebut dengan hukum Braggdan harga sudut kritis θ untuk
memenuhi hukum ini dikenal sebagai sudut Bragg(Smallman and Bishop, 2000).

Sinar Datang

Sinar Difraksi

d

Gambar 2.15. Difraksi bidang atom (Smallman and Bishop, 2000)
Untuk mengetahui fasa dan struktur material yang diamati dapat dilakukan
dengan cara membandingkan nilai d yang terukur dengan nilai d pada data
standar. Data standar dapat diperoleh melalui Joint Committee on Powder
Diffraction Standards (JCPDS) atau dengan Hanawalt File.
2.10.4. Scanning Electron Microscope (SEM)
Scanning

Electron

Microscope

(SEM)

digunakan

untuk

analisis

mikrostruktur material dengan tujuan untuk mengetahui bentuk maupun ukuran
dari butir-butir serta mengetahui interaksi satu butir dengan butir yang lainnya
serta lapisan yang terbentuk di antara butir yang disebut batas butir (grain
boundary). Skema peralatan SEM diperlihatkan pada gambar 2.16.

Gambar 2.16. Skema alat Scanning Electron Microscopy (SEM)
(Griffin and Reissen, 1991)
2.10.5. Permagraph
Permagraph merupakan salah satu alat ukur sifat magnet dari berbagai
kelompok seperti alnico, ferit atau dari logam tanah jarang. Sifat magnet yang
akan diukur oleh permagraph diantaranya adalah koersifitas Hc, nilai produk
energi maksimum (BHmax) dan remanensi Br. Untuk permagraph C memiliki
perlengkapan dalam pengukuran kurva histerisis bahan permanen magnet seperti :
elektronik EF 4-1F, elektromagnet EP 2/E (kuat medan magnet sampai dengan
1800 kA/m = 2.2 Tesla), komputer dan printer.
Hasil yang dapat diperoleh dari permagraph C : otomatis mengukur kurva
histerisis magnet permanen (B-H curve), dapat menentukan kuantitas magnet
seperti koersifitas, remanensi, nilai produk energi maksimum, pengukuran dengan
surrounding coils untuk menentukan nilai rata-rata magnetik dan pengukuran
distribusi kuat medan magnet permanen dengan pole coils.