Hubungan Skor Child Pugh dengan Komplikasi Pada Penderita Sirosis Hati pada Januari – Desember 2014 di RSUP Haji Adam Malik Medan
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sirosi Hati
2.1.1. Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang di tandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi
akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit
jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim
hati.(Nurdjanah, 2009)
Tabel 2.1 Etiologi Sirosis Hati (Starr, dan Raines 2011)
Perdarahan
Genetik/Kongenital
Virus : Hepatitis B (15%)
Sirosis Biliary Primer
Hepatitis C (47%)
Schistomiasis
Hemocromatosis
Nonalkoholik Fatty Liver Disease
Autoimun type (1,2,3)
Wilson Disease
Sarkoidosis
Gagal Jantung Kongestif
Toxik : Alcohol 18%
Penyakit Venooklusif
Methotrexate
2.1.2. Patofisiologi
Penyakit hati kronis terkait dengan kematian hepatosit, sebagaimana
dibuktikan oleh kadar serum transaminase yang meningkat, menghasilkan
peradangan diikuti oleh fibrosis. Sebagai hepatosit yang hilang, sehingga hati
kehilangan
kemampuan
untuk
memetabolisme
bilirubin
(yang
dapat
mengakibatkan tingkat bilirubin serum meningkat) dan untuk mensintesis protein,
seperti faktor pembekuan (mengakibatkan INR tinggi) dan transaminase (yang
kemudian dapat muncul di normal atau tingkat rendah). tekanan mulai dibangun
Universitas Sumatera Utara
6
dalam sistem portal, sehingga penyerapan trombosit limpa dan terjadi
pengembangan varises esophagus.(Starr, dan Raines, 2011)
2.1.3. Gambaran Klinik
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang
berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis dekompensata yang
ditandai dengan gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata
merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat terlihat
perbedaannya secara klinis . hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan
biopsi hati.( Nurdjanah, 2009 )
Gambaran klinik :
1. Sirosis tanpa kegagalan hati dan hipertensi portal. sirosis hati ini mungkin
tanpa gejala apapun, tapi di temukan secara kebetulan pada hasil biopsi
atau pada pemeriksaan laparoskopi.
2. Sirosis hati dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Pada
penderita ini sudah ada tanda-tanda kegagalan faal hati, misalnya adanya
ikterus, perubahan sirkulasi darah, kelainan laboratorium pada hasil tes
faal hati. Juga ditemukan tanda-tanda hipertensi portal, misalnya asites,
splenomegali, venektasi di perut
Biasanya penderita berobat dengan keluhan utama perut membesar.
Kemungkinan di susul dengan kaki membengkak. Pada umumnya penderita
dengan sirosis hati timbulnya asites terlebih dahulu daripada terjadinya edema di
kaki. Banyak penderita yang juga mengeluh badan lemah, nafsu makan berkurang,
perut lekas kenyang. Beberapa di antaranya ada mengeluh mata menjadi kuning.(
Sujono, 2002 )
Tanda dan gejala penyakit hati klinis sering disorot dalam menilai pasien
dengan penyakit hati, tetapi ini adalah nilai yang sedikit dalam mendeteksi awal,
tahap precirrhotic fibrosis hati. Sebaliknya, sejumlah fitur klinis dapat digunakan
untuk menilai apakah sirosis dengan hipertensi portal dapat hadir. Tanda-tanda
sirosis termasuk spider angiomata, distensi vena dinding perut, asites,
splenomegali, atrofi otot, kontraktur Dupuytren (terutama dengan etanol terkait
Universitas Sumatera Utara
7
sirosis), ginekomastia testis atrofi (pada laki-laki), dan palmar eritema. Namun,
penting untuk menekankan bahwa bahkan pada pasien dengan sirosis histologis,
dan pada mereka dengan hipertensi portal, tanda-tanda fisik mungkin tidak
hadir.(Rockey dan Friedman, 2006)
2.1.4. Diagnosis
Pemeriksaan fisik pasien dengan sirosis dapat mengungkapkan berbagai
temuan yang harus mengarah pada sasaran. Banyak pasien telah memiliki
pemeriksaan serologi atau tes radiografi. Kebanyakan pasien dengan sirosis cukup
parah untuk menyebabkan asites memiliki
stigma tambahan pada pemeriksaan
fisik sirosis.(Heidelbaugh dan Sherbondy, 2006)
Tabel 2.2 Temuan Umum Pemeriksaan Fisik pada Pasien dengan
Sirosis.(Heidelbaugh dan Sherbondy, 2006)
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Kaput medusa
Asites
Asterixis
Clubbing finger dan osteoatropi hipertrofik
Gejala konstitusional, termasuk anoreksia, kelelahan kelemahan, dan
penurunan berat badan
Kontraktur Dupuytren
Fetor Hepaticus---a sweet, bau nafas tajam
Gynecomastia
Hepatomegaly
Jaundice
Kayser-Fleischer ring—brown-green ring of copper pada kornea,
patognomonik untuk penyakit Wilson
Perubahan kuku
Palmar erythema
Sclera ikterus
Vascular spider (telangiectasias spider, spider angiomata)
Splenomegaly
Testicular atrophy
Evaluasi laboratorium, hitung darah lengkap (CBC) dengan trombosit, dan
tes waktu protrombin. Standar umum tes panel hati termasuk serum enzim
transaminase aspartat (AST), alanin transaminase (ALT), alkaline phosphatase,
Universitas Sumatera Utara
8
dan G-Glutamyltransferase, total serum bilirubin direk dan bilirubin indirek dan
serum albumin. tes skrining dianggap
hemat biaya untuk mengidentifikasi
metabolik atau drug-induced, tapi seperti fungsi hati lainnya tes itu adalah
penggunaan terbatas dalam memprediksi tingkat peradangan dan tidak ada
gunanya dalam memperkirakan keparahan fibrosis. Satu Studi menemukan bahwa
jumlah trombosit kurang dari 160 Kg per mm3 memiliki sensitivitas 80 persen
untuk mendeteksi sirosis pada pasien dengan hepatitis kronis.(Heidelbaugh dan
Sherbondy, 2006)
Ultrasonografi, computerized tomography (CT) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI)
tidak sensitif untuk mendeteksi sirosis, dan diagnosis akhir masih mengandalkan
histologi. Namun spesifisitas tinggi ketika penyebab yang jelas hadir dan
pencitraan inhomogeous pada tekstur dan permukaan hati, vena sentral hati jernih,
lobus kaudatus membesar, splenomegali atau vena kolateral. Namun, etiologi lain
seperti trombosis vena portal, penyakit parasit atau keganasan hematologi perlu
dikeluarkan, dan temuan radiografi yang normal tidak mengesampingkan sirosis
kompensata. Peran utama radiografi adalah untuk deteksi dan kuantitatif
komplikasi sirosis, yaitu, asites, hipertensi vena portal, dan hepatik enchepalopaty.
Selain itu ada pemeriksaan lain yaitu biopsy hati. Biopsi dianggap sebagai standar
emas untuk mendiagnosis sirosis.(Schuppan dan Afdhal, 2008)
2.1.5. Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi di tujukan
mengurangi progresi penyakit, menhindari bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Apabila tidak ada koma
hepatik di berikan diet yang mengandung protein 1g/kg BB dan kalori sebanyak
2000-3000 kkl per hari. Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata
ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien di tujukan
untuk menghilangkan etiologi, diantaranya; alhokol dan bahan-bahan lain yang
toksik dan dapat mencederai hati di hentikan penggunaannya. Pemberian
Universitas Sumatera Utara
9
asetamonofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik.(Nurdjanah,
2009)
Pengobatan sirosis dekompensata. Asites ; tirah baring dan diawali diet
rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 g atau 90 mmol per hari. Diet rendah
garam di kombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian
spironolakton dengan dosisi 100-200 mg sekali sehari. Ensefalopati Hepatik ;
laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin bisa
digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet protein dik
kurangi sampai 0,5g/kg BB per hari, terutama di berikan yang kaya asam amino
rantai cabang.
Varises Esophagus ; sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa di berikan obat
penyekat beta (ptopranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat
somatostatin atau oktreotit, di teruskan dengan indakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi. Peritonitis Bacterial Spontan ; diberikan antibiotika seperti sefotaksim
IV, amoksilin, atau aminoglikosida. Sindrom Hepatorenal ; mengatasi perubahan
sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air. Transplantasi hati;
terapi defenitif pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum di lakukan
trnasplantasi,
ada
beberapa
kriteria
yang
harus
di
penuhi
resipien
dahulu.(Nurdjanah, 2009)
2.2. Komplikasi
2.2.1. Asites
Asites merupakan sebuah akumulasi dari dekompensasi cairan peritoneal
biasa yang di amati pada sirosis serikat. Penyebabnya adalah multi-faktorial, tapi
paling signifikan melibatkan volume dan pengaturan disregulasi pada hipertensi
portal. Diagnosis pasien asites di anggap rasi bintang yang di berikan dari temuan
klinis dan laboratorium, dan akhirnya di konfirmasi dengan wawasan dan dengan
tampilan serta prosedur parasintesis.(Moore dan Aithal, 2006)
Para penderita sirosis dengan asites berada pada risiko tinggi komplikasi
lain dari sirosis. Oleh karena itu tindakan preventif harus dilakukan untuk
mengurangi morbiditas dan meningkatkan kelangsungan hidup.(Gines, dkk 2004)
Universitas Sumatera Utara
10
Patogenesis
Pada sirosis, sumber utama asites di sinusoidal hepatik. Oleh karena
tekanan sinusoidal yang meningkat merupakan mekanisme awal yang menentukan
kebocoran pada asites ke ruang peritoneal. Peningkatan tekanan sinusoidal yang
merupakan hasil dari pemblokkan pada pengeluaran aliran vena hepatik serta
nodul regeneratif skunder dan fibrosis. Hal penting lainnya adalah pathogenesis
dari asites pada sirosis yaitu retensi cairan dan natrium yang mungkinkan untuk
melakukan
pengisian volume intravaskular dan pembentukan asites. Untuk
keadaan tersebut juga membutuhkan gradien dari tekanan portal minimal 12
mmHg, dimana sebuah gradien pada ambang tekanan portal adalah 10 mmHg atau
lebih yang telah di definisikan sebagai
tanda klinis yang signifikan dengan
peningkatan tekanan portal karena dapat memprediksi komplikasi yaitu asites
pada sirosis.(Gines, 2004)
Gambar 2.1. The peripheral arterial vasodilatation hypothesis
for ascites formation in cirrhosis
Sumber : (gines, 2004)
Universitas Sumatera Utara
11
2.2.2 Hepatik ensepalopati
Hepatik ensepalopati merupakan sindrom neuropsikiatrik kompleks yang di
tandai dengan ganguan kognitif, kejiwaan, dan gangguan motorik akibat gagal
hati kronis, yang dalam banyak kasus di masyarakat disebabkan oleh
penyalahgunaan alkohol berat. Gagal hati kronis berkembang dan meningkat
keparahannya, saat pasien mulai mengalami gangguan tidur, perubahan suasanan
hati kepribadian, dan rentang perhatian yang pendek.(Butterworth, 2003)
Patofisiologi
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap HE pada pasien dengan gangguan
hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh
(asupan protein yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan varises esofagus, dan
konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa, (hiponatremia, hipokalemia,
asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi
(pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain), dan lain-lain seperti
pembedahan dan alkohol. Faktor tersering yang mencetuskan HE pada sirosis hati
adalah infek
Terjadinya HE didasari pada akumulasi berbagai tikdin dalam peredaran
darah yang melewati sawar darah otak ammonia merupakan molekul toksik
terhadap sel yang diyakini
berperan penting dalam terjadinya HE karena
kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati. Berbagai studi lai juga
mengemukakan faktor pencetus lain penyebab HE seperti pada gambar
berikut.(Hasan dan Araminta, 2014)
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.2 Patofisiologi Ensefalopati Hepatik
Sumber : (frederick, 2011)
2.2.3. Varises Esofagus
Sirosis merupakan tahap akhir dari penyakit hati kronis, adalah penyebab
paling umum dari hipertensi portal. Tekanan vena portal merupakan hasil dari
resistensi pembuluh darah dan aliran darah portal yang buruk. Pada sirosis
keduanya dapat terjadi baik resistensi pembuluh darah dan aliran portal yang
meningkat.(Dite, 2008)
Hal tersebut berkembang sebagai akibat dari peningkatan resistensi vaskular di
prehepatik dan intrahepatik. Peningkatan aliran darah portal juga dapat
berkontribusi, itu merupakan penyebab dominan dari hipertensi portal pada sirosis
hati melalui hepatik sinusoidal. Varises gastroesopahangeal adalah manifestasi
klinis yang berkaitan dengan resiko tinggi dari perdarahan gastrointestinal bagian
atas dan resiko kematian yang tinggi.(Hilzenrat dan Sherker, 2012)
2.2.4. Sindrom Hepatorenal
Tanda khas HRS adalah terjadinya vasokonstriksi ginjal, walaupun
berbagai mekanisme dianggap mungkin berperan dalam timbulnya HRS.
Universitas Sumatera Utara
13
Karakteristik pola hemodinamik pasien HRS antara lain: peningkatan curah
jantung (cardiac output), penurunan resistensi vaskuler sistemik, dan peningkatan
resistensi vaskuler renal. Menurut studi Doppler pada arteri brachial, serebri
media, dan femoralis menunjukkan bahwa resistensi ekstrarenal meningkat pada
pasien HRS, sementara sirkulasi splanchnic yang bertanggung jawab untuk
vasodilatasi arteri dan resistensi vaskuler sistemik total menurun. Patofisiologi
sindrom hepatorenal pada pasien sirosis dan ascites, dan efek ini makin besar pada
HRS. Dua teori utama yang berusaha menjelaskan mekanisme tersebut adalah
teori vasodilatasi arteri dan teori reflex hepatorenal. Teori pertama mengenai
retensi air dan natrium pada sirosis merupakan hipotesis paling rasional. Menurut
teori ini, pada fase awal saat hipertensi portal dan sirosis masih terkompensasi,
gangguan pengisian arteri menyebabkan penurunan volume darah arteri dan
menyebabkan aktivasi sistem vasokonstriktor endogen. Dilatasi pembuluh darah
splanchnic pada pasien hipertensi portal dan sirosis yang terkompensasi dapat
dimediasi oleh beberapa faktor, terutama oleh pelepasan vasodilator lokal seperti
NO (nitric oxide). Pada fase ini, perfusi renal masih dapat dipertahankan atau
mendekati batas normal karena sistem vasodilator menghambat sistem
vasokonstriktor ginjal. Lalu terjadi aktivasi RAAS dan SNS yang menyebabkan
sekresi hormon anti-diuretik, selanjutnya terjadi kekacauan sirkulasi. Hal ini
mengakibatkan vasokonstriksi bukan hanya di pembuluh darah renal, tetapi juga
di pembuluh darah otak, otot, dan ekstremitas. Namun, sirkulasi splanchnic tetap
resisten terhadap efek ini karena produksi terusmenerus vasodilator lokal, yaitu
NO, sehingga masih terjadi penurunan resistensi vaskuler sistemik total.
Jika penyakit hati makin berat dapat mengakibatkan terjadinya level kritis
kurangnya pengisian pembuluh darah. Sistem vasodilator ginjal tidak dapat lagi
mengatasi aktivasi maksimal vasokonstriktor eksogen dan/ atau vasokonstriktor
intra-renal, menyebabkan tidak terkontrolnya vasokonstriksi renal. Studi yang
mendukung hipotesis ini adalah bahwa pemberian vasokonstriktor splanchnic
dikombinasi volume expanders menghasilkan perbaikan tekanan arteri, RPF, dan
GFR. Teori alternatif lain adalah vasokonstriksi ginjal pada HRS tidak
berhubungan dengan hemodinamik sistemik, tetapi karena defi siensi sintesis
Universitas Sumatera Utara
14
faktor vasodilator atau reflex hepatorenal yang mengakibatkan vasokonstriksi
ginjal. Teori vasodilatasi sampai sekarang dianggap lebih menjelaskan timbulnya
HRS (Gambar 2.3) keparahan sirosis, yang hasilnya menunjukkan vasodilatasi
pada sirkulasi splanchnic dan vasokonstriksi. pada sirosis sampai sekarang masih
belum diketahui secara jelas.(Pratama, 2011)
Gambar 2.3 Patofisiologi Sindrom Hepatorenal
Sumber : (Wadei, dkk, 2006)
Konsep
terjadinya
HRS
pernah
diteliti
menggunakan
Doppler
ultrasonography atau plethysmography pada pasien dengan berbagai derajat SI
pada area lain, misalnya pada ginjal dan hati, sementara aliran darah pada otot dan
kulit dilaporkan bervariasi.
Beberapa studi lain juga menunjukkan adanya
Universitas Sumatera Utara
15
hubungan dengan system reninangiotensin-aldosteron (renin-angiotensinaldosterone
system /RAAS), saraf simpatis (SNS), dan fungsi prostaglandin pada ginjal.
Aktivitas sistem RAAS dan SNS meningkat Pada HRS, gambaran histologi ginjal
terlihat normal, dan ginjal sering kembali ke fungsi normal setelah transplantasi
hati. Hal ini menjadikan HRS merupakan kelainan patofisiologi unik yang
memberikan
kemungkinan
untuk
dipelajari
hubungan
antara
sistem
vasokonstriktor dan vasodilator pada sirkulasi renal. Faktor pencetus juga
mempengaruhi timbulnya HRS, dan faktor pencetus ini dapat lebih dari satu pada
seorang pasien (Gambar 2.4). Faktor pencetus yang teridentifikasi di antaranya
infeksi bakteri, paracentesis volume besar tanpa infus albumin, perdarahan saluran
cerna, acute alcoholic hepatitis.(Pratama, 2015)
Gambar 2.4 Hubungan Faktor Pencetus dengan Timbulnya Sindrom Hepatorenal
Sumber : (Wadei, 2006)
2.2.5. Spontaneus Bakterial Peritonitis
Peritonitis bakteri spontan (SBP) didefinisikan sebagai infeksi cairan asites
yang disebabkan oleh organisme bakteri enterik pada pasien dengan sirosis.
Bakteri patogen yang dapat dilihat di SBP termasuk, Klebsiella Pneumoniae,
Universitas Sumatera Utara
16
Pseudomonas Aeruginosa, Enterobacter Cloacae, Citrobacter Freundii, dan
Enterococcus Faecalis. Faktor penting dalam patogenesis SBP dihipotesiskan
sebagai translokasi bakteri, suatu proses dimana bakteri enterik melintasi lumen
usus dan menginfeksi mesenterika serta kelenjar getah bening dan kemudian
melakukan perjalanan melalui sirkulasi darah dan cairan asites. Mekanisme
tertentu bertepatan dengan adanya bukti bahwa patogen utama adalah bakteri
gram negatif yang merupakan bakteri enterik berasal dari usus. Tiga mekanisme
utama diperkirakan berkontribusi untuk translocation bakteri, perubahan dari
pertahanan lokal, pertubuhan bakteri di dalam usus yang berlebihan, dan
gangguan pada usus.(Horinek dan Fish, 2009)
2.3. Child Pugh
Skor Child-Pugh atau sering disebut juga skor Child-Turcotte-Pugh
digunakan untuk menilai prognosis pasien dengan penyakit hepar kronik terutama
sirosis
hepatis.
Meskipun
pada
awalnya
skor
ini
hanya
digunakan
untukmemprediksi mortalitas pasien selama menjalani pembedahan, saat ini skor
child-pugh digunakan untuk menilai prognosis
yang diperlukan untuk
transplantasi hepar serta staging secara klinis pada sirosis hepatis. Skor ChildPugh A menunjukkan sirosis hepatis kompensata, sedangkan B menunjukkan
sirosis hepatis dekompensata.(Setiawati, 2009)
Tabel 2.3 Skor Child-Pugh
Proposal of a Child-Turcotte-Pugh Scoring System
1 point
2 point
3 point
3
Bilirubin
(mg/dL)
Albumin (g/dL)
PT prolong (sec)
Ascites
>3.5
35
30-35
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sirosi Hati
2.1.1. Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang di tandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi
akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit
jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim
hati.(Nurdjanah, 2009)
Tabel 2.1 Etiologi Sirosis Hati (Starr, dan Raines 2011)
Perdarahan
Genetik/Kongenital
Virus : Hepatitis B (15%)
Sirosis Biliary Primer
Hepatitis C (47%)
Schistomiasis
Hemocromatosis
Nonalkoholik Fatty Liver Disease
Autoimun type (1,2,3)
Wilson Disease
Sarkoidosis
Gagal Jantung Kongestif
Toxik : Alcohol 18%
Penyakit Venooklusif
Methotrexate
2.1.2. Patofisiologi
Penyakit hati kronis terkait dengan kematian hepatosit, sebagaimana
dibuktikan oleh kadar serum transaminase yang meningkat, menghasilkan
peradangan diikuti oleh fibrosis. Sebagai hepatosit yang hilang, sehingga hati
kehilangan
kemampuan
untuk
memetabolisme
bilirubin
(yang
dapat
mengakibatkan tingkat bilirubin serum meningkat) dan untuk mensintesis protein,
seperti faktor pembekuan (mengakibatkan INR tinggi) dan transaminase (yang
kemudian dapat muncul di normal atau tingkat rendah). tekanan mulai dibangun
Universitas Sumatera Utara
6
dalam sistem portal, sehingga penyerapan trombosit limpa dan terjadi
pengembangan varises esophagus.(Starr, dan Raines, 2011)
2.1.3. Gambaran Klinik
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang
berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis dekompensata yang
ditandai dengan gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata
merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat terlihat
perbedaannya secara klinis . hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan
biopsi hati.( Nurdjanah, 2009 )
Gambaran klinik :
1. Sirosis tanpa kegagalan hati dan hipertensi portal. sirosis hati ini mungkin
tanpa gejala apapun, tapi di temukan secara kebetulan pada hasil biopsi
atau pada pemeriksaan laparoskopi.
2. Sirosis hati dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Pada
penderita ini sudah ada tanda-tanda kegagalan faal hati, misalnya adanya
ikterus, perubahan sirkulasi darah, kelainan laboratorium pada hasil tes
faal hati. Juga ditemukan tanda-tanda hipertensi portal, misalnya asites,
splenomegali, venektasi di perut
Biasanya penderita berobat dengan keluhan utama perut membesar.
Kemungkinan di susul dengan kaki membengkak. Pada umumnya penderita
dengan sirosis hati timbulnya asites terlebih dahulu daripada terjadinya edema di
kaki. Banyak penderita yang juga mengeluh badan lemah, nafsu makan berkurang,
perut lekas kenyang. Beberapa di antaranya ada mengeluh mata menjadi kuning.(
Sujono, 2002 )
Tanda dan gejala penyakit hati klinis sering disorot dalam menilai pasien
dengan penyakit hati, tetapi ini adalah nilai yang sedikit dalam mendeteksi awal,
tahap precirrhotic fibrosis hati. Sebaliknya, sejumlah fitur klinis dapat digunakan
untuk menilai apakah sirosis dengan hipertensi portal dapat hadir. Tanda-tanda
sirosis termasuk spider angiomata, distensi vena dinding perut, asites,
splenomegali, atrofi otot, kontraktur Dupuytren (terutama dengan etanol terkait
Universitas Sumatera Utara
7
sirosis), ginekomastia testis atrofi (pada laki-laki), dan palmar eritema. Namun,
penting untuk menekankan bahwa bahkan pada pasien dengan sirosis histologis,
dan pada mereka dengan hipertensi portal, tanda-tanda fisik mungkin tidak
hadir.(Rockey dan Friedman, 2006)
2.1.4. Diagnosis
Pemeriksaan fisik pasien dengan sirosis dapat mengungkapkan berbagai
temuan yang harus mengarah pada sasaran. Banyak pasien telah memiliki
pemeriksaan serologi atau tes radiografi. Kebanyakan pasien dengan sirosis cukup
parah untuk menyebabkan asites memiliki
stigma tambahan pada pemeriksaan
fisik sirosis.(Heidelbaugh dan Sherbondy, 2006)
Tabel 2.2 Temuan Umum Pemeriksaan Fisik pada Pasien dengan
Sirosis.(Heidelbaugh dan Sherbondy, 2006)
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Kaput medusa
Asites
Asterixis
Clubbing finger dan osteoatropi hipertrofik
Gejala konstitusional, termasuk anoreksia, kelelahan kelemahan, dan
penurunan berat badan
Kontraktur Dupuytren
Fetor Hepaticus---a sweet, bau nafas tajam
Gynecomastia
Hepatomegaly
Jaundice
Kayser-Fleischer ring—brown-green ring of copper pada kornea,
patognomonik untuk penyakit Wilson
Perubahan kuku
Palmar erythema
Sclera ikterus
Vascular spider (telangiectasias spider, spider angiomata)
Splenomegaly
Testicular atrophy
Evaluasi laboratorium, hitung darah lengkap (CBC) dengan trombosit, dan
tes waktu protrombin. Standar umum tes panel hati termasuk serum enzim
transaminase aspartat (AST), alanin transaminase (ALT), alkaline phosphatase,
Universitas Sumatera Utara
8
dan G-Glutamyltransferase, total serum bilirubin direk dan bilirubin indirek dan
serum albumin. tes skrining dianggap
hemat biaya untuk mengidentifikasi
metabolik atau drug-induced, tapi seperti fungsi hati lainnya tes itu adalah
penggunaan terbatas dalam memprediksi tingkat peradangan dan tidak ada
gunanya dalam memperkirakan keparahan fibrosis. Satu Studi menemukan bahwa
jumlah trombosit kurang dari 160 Kg per mm3 memiliki sensitivitas 80 persen
untuk mendeteksi sirosis pada pasien dengan hepatitis kronis.(Heidelbaugh dan
Sherbondy, 2006)
Ultrasonografi, computerized tomography (CT) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI)
tidak sensitif untuk mendeteksi sirosis, dan diagnosis akhir masih mengandalkan
histologi. Namun spesifisitas tinggi ketika penyebab yang jelas hadir dan
pencitraan inhomogeous pada tekstur dan permukaan hati, vena sentral hati jernih,
lobus kaudatus membesar, splenomegali atau vena kolateral. Namun, etiologi lain
seperti trombosis vena portal, penyakit parasit atau keganasan hematologi perlu
dikeluarkan, dan temuan radiografi yang normal tidak mengesampingkan sirosis
kompensata. Peran utama radiografi adalah untuk deteksi dan kuantitatif
komplikasi sirosis, yaitu, asites, hipertensi vena portal, dan hepatik enchepalopaty.
Selain itu ada pemeriksaan lain yaitu biopsy hati. Biopsi dianggap sebagai standar
emas untuk mendiagnosis sirosis.(Schuppan dan Afdhal, 2008)
2.1.5. Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi di tujukan
mengurangi progresi penyakit, menhindari bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Apabila tidak ada koma
hepatik di berikan diet yang mengandung protein 1g/kg BB dan kalori sebanyak
2000-3000 kkl per hari. Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata
ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien di tujukan
untuk menghilangkan etiologi, diantaranya; alhokol dan bahan-bahan lain yang
toksik dan dapat mencederai hati di hentikan penggunaannya. Pemberian
Universitas Sumatera Utara
9
asetamonofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik.(Nurdjanah,
2009)
Pengobatan sirosis dekompensata. Asites ; tirah baring dan diawali diet
rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 g atau 90 mmol per hari. Diet rendah
garam di kombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian
spironolakton dengan dosisi 100-200 mg sekali sehari. Ensefalopati Hepatik ;
laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin bisa
digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet protein dik
kurangi sampai 0,5g/kg BB per hari, terutama di berikan yang kaya asam amino
rantai cabang.
Varises Esophagus ; sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa di berikan obat
penyekat beta (ptopranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat
somatostatin atau oktreotit, di teruskan dengan indakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi. Peritonitis Bacterial Spontan ; diberikan antibiotika seperti sefotaksim
IV, amoksilin, atau aminoglikosida. Sindrom Hepatorenal ; mengatasi perubahan
sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air. Transplantasi hati;
terapi defenitif pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum di lakukan
trnasplantasi,
ada
beberapa
kriteria
yang
harus
di
penuhi
resipien
dahulu.(Nurdjanah, 2009)
2.2. Komplikasi
2.2.1. Asites
Asites merupakan sebuah akumulasi dari dekompensasi cairan peritoneal
biasa yang di amati pada sirosis serikat. Penyebabnya adalah multi-faktorial, tapi
paling signifikan melibatkan volume dan pengaturan disregulasi pada hipertensi
portal. Diagnosis pasien asites di anggap rasi bintang yang di berikan dari temuan
klinis dan laboratorium, dan akhirnya di konfirmasi dengan wawasan dan dengan
tampilan serta prosedur parasintesis.(Moore dan Aithal, 2006)
Para penderita sirosis dengan asites berada pada risiko tinggi komplikasi
lain dari sirosis. Oleh karena itu tindakan preventif harus dilakukan untuk
mengurangi morbiditas dan meningkatkan kelangsungan hidup.(Gines, dkk 2004)
Universitas Sumatera Utara
10
Patogenesis
Pada sirosis, sumber utama asites di sinusoidal hepatik. Oleh karena
tekanan sinusoidal yang meningkat merupakan mekanisme awal yang menentukan
kebocoran pada asites ke ruang peritoneal. Peningkatan tekanan sinusoidal yang
merupakan hasil dari pemblokkan pada pengeluaran aliran vena hepatik serta
nodul regeneratif skunder dan fibrosis. Hal penting lainnya adalah pathogenesis
dari asites pada sirosis yaitu retensi cairan dan natrium yang mungkinkan untuk
melakukan
pengisian volume intravaskular dan pembentukan asites. Untuk
keadaan tersebut juga membutuhkan gradien dari tekanan portal minimal 12
mmHg, dimana sebuah gradien pada ambang tekanan portal adalah 10 mmHg atau
lebih yang telah di definisikan sebagai
tanda klinis yang signifikan dengan
peningkatan tekanan portal karena dapat memprediksi komplikasi yaitu asites
pada sirosis.(Gines, 2004)
Gambar 2.1. The peripheral arterial vasodilatation hypothesis
for ascites formation in cirrhosis
Sumber : (gines, 2004)
Universitas Sumatera Utara
11
2.2.2 Hepatik ensepalopati
Hepatik ensepalopati merupakan sindrom neuropsikiatrik kompleks yang di
tandai dengan ganguan kognitif, kejiwaan, dan gangguan motorik akibat gagal
hati kronis, yang dalam banyak kasus di masyarakat disebabkan oleh
penyalahgunaan alkohol berat. Gagal hati kronis berkembang dan meningkat
keparahannya, saat pasien mulai mengalami gangguan tidur, perubahan suasanan
hati kepribadian, dan rentang perhatian yang pendek.(Butterworth, 2003)
Patofisiologi
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap HE pada pasien dengan gangguan
hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh
(asupan protein yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan varises esofagus, dan
konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa, (hiponatremia, hipokalemia,
asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi
(pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain), dan lain-lain seperti
pembedahan dan alkohol. Faktor tersering yang mencetuskan HE pada sirosis hati
adalah infek
Terjadinya HE didasari pada akumulasi berbagai tikdin dalam peredaran
darah yang melewati sawar darah otak ammonia merupakan molekul toksik
terhadap sel yang diyakini
berperan penting dalam terjadinya HE karena
kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati. Berbagai studi lai juga
mengemukakan faktor pencetus lain penyebab HE seperti pada gambar
berikut.(Hasan dan Araminta, 2014)
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.2 Patofisiologi Ensefalopati Hepatik
Sumber : (frederick, 2011)
2.2.3. Varises Esofagus
Sirosis merupakan tahap akhir dari penyakit hati kronis, adalah penyebab
paling umum dari hipertensi portal. Tekanan vena portal merupakan hasil dari
resistensi pembuluh darah dan aliran darah portal yang buruk. Pada sirosis
keduanya dapat terjadi baik resistensi pembuluh darah dan aliran portal yang
meningkat.(Dite, 2008)
Hal tersebut berkembang sebagai akibat dari peningkatan resistensi vaskular di
prehepatik dan intrahepatik. Peningkatan aliran darah portal juga dapat
berkontribusi, itu merupakan penyebab dominan dari hipertensi portal pada sirosis
hati melalui hepatik sinusoidal. Varises gastroesopahangeal adalah manifestasi
klinis yang berkaitan dengan resiko tinggi dari perdarahan gastrointestinal bagian
atas dan resiko kematian yang tinggi.(Hilzenrat dan Sherker, 2012)
2.2.4. Sindrom Hepatorenal
Tanda khas HRS adalah terjadinya vasokonstriksi ginjal, walaupun
berbagai mekanisme dianggap mungkin berperan dalam timbulnya HRS.
Universitas Sumatera Utara
13
Karakteristik pola hemodinamik pasien HRS antara lain: peningkatan curah
jantung (cardiac output), penurunan resistensi vaskuler sistemik, dan peningkatan
resistensi vaskuler renal. Menurut studi Doppler pada arteri brachial, serebri
media, dan femoralis menunjukkan bahwa resistensi ekstrarenal meningkat pada
pasien HRS, sementara sirkulasi splanchnic yang bertanggung jawab untuk
vasodilatasi arteri dan resistensi vaskuler sistemik total menurun. Patofisiologi
sindrom hepatorenal pada pasien sirosis dan ascites, dan efek ini makin besar pada
HRS. Dua teori utama yang berusaha menjelaskan mekanisme tersebut adalah
teori vasodilatasi arteri dan teori reflex hepatorenal. Teori pertama mengenai
retensi air dan natrium pada sirosis merupakan hipotesis paling rasional. Menurut
teori ini, pada fase awal saat hipertensi portal dan sirosis masih terkompensasi,
gangguan pengisian arteri menyebabkan penurunan volume darah arteri dan
menyebabkan aktivasi sistem vasokonstriktor endogen. Dilatasi pembuluh darah
splanchnic pada pasien hipertensi portal dan sirosis yang terkompensasi dapat
dimediasi oleh beberapa faktor, terutama oleh pelepasan vasodilator lokal seperti
NO (nitric oxide). Pada fase ini, perfusi renal masih dapat dipertahankan atau
mendekati batas normal karena sistem vasodilator menghambat sistem
vasokonstriktor ginjal. Lalu terjadi aktivasi RAAS dan SNS yang menyebabkan
sekresi hormon anti-diuretik, selanjutnya terjadi kekacauan sirkulasi. Hal ini
mengakibatkan vasokonstriksi bukan hanya di pembuluh darah renal, tetapi juga
di pembuluh darah otak, otot, dan ekstremitas. Namun, sirkulasi splanchnic tetap
resisten terhadap efek ini karena produksi terusmenerus vasodilator lokal, yaitu
NO, sehingga masih terjadi penurunan resistensi vaskuler sistemik total.
Jika penyakit hati makin berat dapat mengakibatkan terjadinya level kritis
kurangnya pengisian pembuluh darah. Sistem vasodilator ginjal tidak dapat lagi
mengatasi aktivasi maksimal vasokonstriktor eksogen dan/ atau vasokonstriktor
intra-renal, menyebabkan tidak terkontrolnya vasokonstriksi renal. Studi yang
mendukung hipotesis ini adalah bahwa pemberian vasokonstriktor splanchnic
dikombinasi volume expanders menghasilkan perbaikan tekanan arteri, RPF, dan
GFR. Teori alternatif lain adalah vasokonstriksi ginjal pada HRS tidak
berhubungan dengan hemodinamik sistemik, tetapi karena defi siensi sintesis
Universitas Sumatera Utara
14
faktor vasodilator atau reflex hepatorenal yang mengakibatkan vasokonstriksi
ginjal. Teori vasodilatasi sampai sekarang dianggap lebih menjelaskan timbulnya
HRS (Gambar 2.3) keparahan sirosis, yang hasilnya menunjukkan vasodilatasi
pada sirkulasi splanchnic dan vasokonstriksi. pada sirosis sampai sekarang masih
belum diketahui secara jelas.(Pratama, 2011)
Gambar 2.3 Patofisiologi Sindrom Hepatorenal
Sumber : (Wadei, dkk, 2006)
Konsep
terjadinya
HRS
pernah
diteliti
menggunakan
Doppler
ultrasonography atau plethysmography pada pasien dengan berbagai derajat SI
pada area lain, misalnya pada ginjal dan hati, sementara aliran darah pada otot dan
kulit dilaporkan bervariasi.
Beberapa studi lain juga menunjukkan adanya
Universitas Sumatera Utara
15
hubungan dengan system reninangiotensin-aldosteron (renin-angiotensinaldosterone
system /RAAS), saraf simpatis (SNS), dan fungsi prostaglandin pada ginjal.
Aktivitas sistem RAAS dan SNS meningkat Pada HRS, gambaran histologi ginjal
terlihat normal, dan ginjal sering kembali ke fungsi normal setelah transplantasi
hati. Hal ini menjadikan HRS merupakan kelainan patofisiologi unik yang
memberikan
kemungkinan
untuk
dipelajari
hubungan
antara
sistem
vasokonstriktor dan vasodilator pada sirkulasi renal. Faktor pencetus juga
mempengaruhi timbulnya HRS, dan faktor pencetus ini dapat lebih dari satu pada
seorang pasien (Gambar 2.4). Faktor pencetus yang teridentifikasi di antaranya
infeksi bakteri, paracentesis volume besar tanpa infus albumin, perdarahan saluran
cerna, acute alcoholic hepatitis.(Pratama, 2015)
Gambar 2.4 Hubungan Faktor Pencetus dengan Timbulnya Sindrom Hepatorenal
Sumber : (Wadei, 2006)
2.2.5. Spontaneus Bakterial Peritonitis
Peritonitis bakteri spontan (SBP) didefinisikan sebagai infeksi cairan asites
yang disebabkan oleh organisme bakteri enterik pada pasien dengan sirosis.
Bakteri patogen yang dapat dilihat di SBP termasuk, Klebsiella Pneumoniae,
Universitas Sumatera Utara
16
Pseudomonas Aeruginosa, Enterobacter Cloacae, Citrobacter Freundii, dan
Enterococcus Faecalis. Faktor penting dalam patogenesis SBP dihipotesiskan
sebagai translokasi bakteri, suatu proses dimana bakteri enterik melintasi lumen
usus dan menginfeksi mesenterika serta kelenjar getah bening dan kemudian
melakukan perjalanan melalui sirkulasi darah dan cairan asites. Mekanisme
tertentu bertepatan dengan adanya bukti bahwa patogen utama adalah bakteri
gram negatif yang merupakan bakteri enterik berasal dari usus. Tiga mekanisme
utama diperkirakan berkontribusi untuk translocation bakteri, perubahan dari
pertahanan lokal, pertubuhan bakteri di dalam usus yang berlebihan, dan
gangguan pada usus.(Horinek dan Fish, 2009)
2.3. Child Pugh
Skor Child-Pugh atau sering disebut juga skor Child-Turcotte-Pugh
digunakan untuk menilai prognosis pasien dengan penyakit hepar kronik terutama
sirosis
hepatis.
Meskipun
pada
awalnya
skor
ini
hanya
digunakan
untukmemprediksi mortalitas pasien selama menjalani pembedahan, saat ini skor
child-pugh digunakan untuk menilai prognosis
yang diperlukan untuk
transplantasi hepar serta staging secara klinis pada sirosis hepatis. Skor ChildPugh A menunjukkan sirosis hepatis kompensata, sedangkan B menunjukkan
sirosis hepatis dekompensata.(Setiawati, 2009)
Tabel 2.3 Skor Child-Pugh
Proposal of a Child-Turcotte-Pugh Scoring System
1 point
2 point
3 point
3
Bilirubin
(mg/dL)
Albumin (g/dL)
PT prolong (sec)
Ascites
>3.5
35
30-35