Korelasi Skor Child Pugh Dengan Kadar Glukosa Darah Pada Penderita Sirosis Hati

(1)

KORELASI SKOR CHILD PUGH DENGAN

KADAR GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA SIROSIS HATI

PENELITIAN POTONG LINTANG DI BAGIAN /SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS H ADAM MALIK MEDAN

FEBRUARI 2008 – NOVEMBER 2008

TESIS

OLEH

JANNUS SITORUS

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H ADAM MALIK/ RSUD DR PIRNGADI


(2)

DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DIDEPAN SIDANG LENGKAP DEWAN PENILAI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAN DITERIMA SEBAGAL SALAH SATU SYARAT UNTUK MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG PENYAKIT DALAM

PEMBIMBING TESIS

Dr. Betthin Marpaung, SpPD KGEH Dr. Dharma Lindarto, SpPD KEMD

Disahkan oleh

KEPALA DEPARTEMEN KETUA PROGRAM STUDI PPDS ILMU PENYAKIT DALAM ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU FAKULTAS KEDOKTERAN USU


(3)

DEWAN PENILAI

1. Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD KGH 2. Dr. Mabel Sihombing, SpPD KGEH

3. Dr. Refli Hasan, SpPD SpJP 4. Dr. Josia Ginting, SpPD KPTI 5. Dr. Dairion Gatot, SpPD


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkat dan kasihNya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul: “KORELASI SKOR CHILD PUGH DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA SIROSIS HATI”, yang berlangsung sejak Februari 2008 hingga November 2008. Tulisan ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan dokter spesialis dibidang Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr Salli Rossefi Nasution SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan dan Prof. Dr. Lukman Hakim Zein SpPD-KGEH, selaku Kepala Divisi Gastroentero-Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan dimana penulis memulai pendidikan pada Januari 2004, yang telah memberikan kemudahan dan perhatian yang besar terhadap pendidikan penulis.

2. Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr Zulhelmi Bustami SpPD-KGH dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr Dharma Lindarto SpPD-KEMD dengan sungguh-sungguh telah membantu dan membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa.


(5)

3. Khusus untuk karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Betthin Marpaung SpPD KGEH selaku pembimbing I dan Dr. Dharma Lindarto SpPD KEMD sebagai pembimbing II yang penulis rasakan benar-benar dengan tulus membantu dan membimbing penulis menyelesaikan penelitian dan karya tulis ini, hanya doa yang dapat penulis berikan kiranya berkat berlimpah dari Yang Maha Kuasa selalu beserta beliau dan keluarga. 4. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUD Dr Pirngadi/

RSUP H. Adam Malik Medan, Prof Dr Harun Rasyid Lubis SpPD-KGH, Prof Dr T Renardi Haroen SpPD-KKV, MPH, Prof Dr Bachtiar Fanani Lubis SpPD-KHOM, Prof Dr Habibah Hanum SpPD-Kpsi, Prof Dr Sutomo Kasiman SpPD-KKV, Prof Dr Azhar Tanjung KP-KAI-SpMK, Prof Dr Pengarapen Tarigan KGEH, Prof Dr OK Moehad Sjah KR, Prof Dr Lukman Hakim Zain SpPD-KGEH, Prof Dr M Yusuf Nasution SpPD-KGH, Prof Dr Azmi S Kar SpPD-KHOM, Prof Dr Gontar A Siregar SpPD-KGEH, Prof Dr Harris Hasan SpPD-SpJP(K), Dr Nur Aisyah KEMD, Dr A Adin St Bagindo KKV, Dr Lufti Latief SpPD-KKV, Dr Syafii Piliang SpPD-KEMD, Dr T Bachtiar Panjaitan SpPD, Dr Betthin Marpaung SpPD-KGEH, Dr Sri M Sutadi SpPD-KGEH, Dr Mabel Sihombing SpPD-KGEH, Dr Salli R Nasution SpPD-KGH, Dr Abdurrahim Rasyid Lubis KGH, Dr Abiran Nababan KGEH, Dr Juwita Sembiring SpPD-KGEH, Dr Alwinsyah Abidin SpPD-KP, Dr Dharma Lindarto SpPD-KEMD, Dr Umar Zein SpPD-KPTI-DTM&H-MHA, Dr Josia Ginting SpPD-KPTI, Dr Refli Hasan SpJP, Dr R Tunggul Ch Sukendar KGH, Dr EN Keliat SpPD-KP, Dr Blondina Marpaung SpPD-KR, Dr Leonardo B Dairi SpPD-KGEH yang


(6)

merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.

5. Dr Armon Rahimi, SpPD, Dr Heriyanto Yoesoef SpPD, Dr Daud Ginting SpPD, Dr Tambar Kembaren SpPD, Dr Saut Marpaung SpPD, Dr Mardianto SpPD, Dr Zuhrial SpPD, Dr Dasril Efendi SpPD, Dr Rustam Efendi YS SpPD, Dr Ilhamd SpPD, Dr Calvin Damanik SpPD, Dr Zainal Safri SpPD, Dr Rahmat Isnanta SpPD, Dr Santi Safril SpPD, Dr Dairion Gatot SpPD, Dr Jerahim Tarigan SpPD, Dr Endang Sembiring SpPD, Dr Abraham SpPD, Dr Soegiarto Gani SpPD, Dr Savita Handayani SpPD, Dr Franciscus Ginting SpPD, Dr Syafrizal Nasution SpPD, Dr Deske SpPD sebagai dokter kepala ruangan/ senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

6. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr Pirngadi Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.

7. Kepada Direktur Rumah Sakit Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal dr. Sakdiah Lubis, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama ditugaskan sebagai Konsultan Penyakit Dalam RS Panyabungan dalam rangka pendidikan ini.

8. Kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Utara, Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan menerima saya, sehingga dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.


(7)

9. Para pasien yang telah dengan ikhlas menjadi “guru” sehingga memungkinkan saya mencapai gelar dokter spesialis dibidang Ilmu Penyakit Dalam.

10. Kepada Drs Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.

11. Para sejawat PPDS-Interna, perawat serta paramedis dan seluruh karyawan/karyawati di lingkungan SMF/Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr Pirngadi / RSUP H Adam Malik Medan atas segala kerjasamanya yang baik selama ini.

12. Buat teman-temanku yang penuh kesetiakawanan dan kebersamaan memberi bantuan, dorongan dan pengorbanan selama menjalani pendidikan sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat.

Kepada kedua orang tua saya, Ayahanda Samo Sitorus dan Ibunda Toman Butar-butar yang saya kasihi dan sayangi, tiada kata-kata yang paling tepat untuk mengungkapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas segala jasa-jasa ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan. Demikian juga kepada Bapak dan Ibu Mertua, Junias Sitanggang dan Tormauli Sinurat, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga dan sebagian amanahmu sudah penulis selesaikan serta yang dengan ikhlas memberikan “bahunya” sebagai tempat sandaran penulis disaat suka duka, serta memberi dorongan dan semangat kepada penulis dalam menyelesai pendidikan ini.

Kepada istriku tercinta Liburiah Sitanggang, tiada kata yang paling tepat selain terima kasih Tuhan atas istri yang Engkau karuniakan bagiku, selalu menjadi


(8)

pendorong dan teman paling setia dalam suka maupun duka, selalu mendengarkan dan memberikan solusi yang baik dalam berbagai masalah yang dihadapi penulis.

Sebenarnya masih banyak lagi kata ucapan terima kasih yang ingin penulis sampaikan buat berbagai pihak yang tidaklah mungkin disebutkan satu persatu, pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus secara menyeluruh.

Medan, Februari 2009 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... vi

Lampiran ... ix

Daftar Tabel dan Gambar ... x

Daftar Singkatan ... xii

Abstrak ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepatogenous diabetes ... 4

2.2 Skor Child Pugh ... 12

2.3 Serum bilirubin ... 12

2.4 Serum albumin ... 13

2.5 Waktu protrombin ... 14

2.6 TTGO ... 15

2.7 Glucometer ... 16

2.8 Retinopati diabetik ... 18

BAB III PENELITIAN SENDIRI 3.1 Latar belakang ... 21

3.2 Perumusan masalah ... 24


(10)

3.4 Tujuan penelitian ... 24

3.5 Manfaat penelitian ... 24

3.6 Kerangka konsepsional ... 25

3.7 Bahan dan cara 3.7.1 Desain penelitian ... 25

3.7.2 Waktu dan tempat peneltian ... 25

3.7.3 Populasi terjangkau ... 25

3.7.4 Kriteria inklusi ... 26

3.7.5 Kriteria eksklusi ... 26

3.7.6 Besar sampel ... 26

3.7.7 Cara penelitian ... 27

3.7.8 Analisa data ... 28

3.7.9 Defenisi operasional ... 29

3.7.10 Kerangka operasional ... 30

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil penelitian 4.1.1 Karakteristik dasar penderita sirosis hati ... 31

4.1.2 Gambaran gangguan metabolisma glukosa pada penderita sirosis hati ... 33

4.1.3 Korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah ... 34

4.1.4 Korelasi antara kadar glukosa darah dengan bilirubin, albumin dan waktu protrombin ... 37


(11)

4.2 Pembahasan ... 38 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 41. BAB VI DAFTAR PUSTAKA ... 42


(12)

LAMPIRAN

1. Master Tabel ... 47

2. Lembaran penjelasan kepada calon subjek penelitian ... 48

3. Formulir Persetujuan Subjek Penjelasan ... 49

4. Profil Peserta Studi ... 50

5. Persetujuan Komite Etik Kedokteran ... 51


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Skor Child Pugh ... 12

Tabel 2. Nilai TTGO dari plasma vena atau kapiler ... 16

Tabel 3. Stadium retinopati diabetik ... 20

DAFTAR TABEL Tabel 1. Rerata umur penderita sirosis hati ... 31

Tabel 2. Karakteristik demografi dan klinis penderita sirosis hati ... 32

Tabel 3. Rerata nilai laboratorium penderita sirosis hati ... 33

Tabel 4. Rerata variabel laboratorium berdasarkan gangguan metabolisma glukosa ... 34

Tabel 5. Rerata variabel laboratorium berdasarkan Child Pugh ... 35

Tabel 6. Korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah ... 36

Tabel 7. Korelasi antara kadar glukosa darah dengan bilirubin, albumin dan waktu protrombin... 37

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Mekanisme terjadinya DM pada hepatitis C ... 5

Gambar 2. Hubungan IL-6 dengan Child Pugh ... 6

Gambar 3. Korelasi keparahan sirosis hati dengan resistin ... 7


(14)

Gambar 5. Kumulatif angka survival pada penderita sirosis hati ... 11 Gambar 6. Glucometer ... 17 Gambar 7. Analisa Error grid glucometer ... 18 Gambar 8. Retinopati diabetik nonproliferatif dan proliferatif ... 20

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patogenese terjadinya DM pada hepatitis C ... 8 Gambar 2. Prevalensi gangguan metabolisma glukosa

berdasarkan kriteria Child Pugh ... 33 Gambar 3. Korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah 36


(15)

DAFTAR SINGKATAN

CP : Child Pugh

DM : Diabetes Melitus

TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral

KGD : Kadar glukosa darah

OR : Odds Ratio

Cl : Confidence interval

GAD : Glutamic Acid Dehidrogenase HCV : Hepatitis C Virus

TNF- : Tumor necrosis factor-g

IL : Interleukin

WHO : Word Health Organization ADA : American Diabetes Association HCV : Hepatitis C Virus

IRS : Insulin Receptor Substrate

Th : T helper

Glut 4 : Glucose transporter 4

TNFR : Tumor necrose factor receptor HGP : Hepatic Glucose Production HOMA : Homeostatic Model Assesment


(16)

Abstrak

Korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah pada penderita sirosis hati Latar belakang

Gangguan metabolisma glukosa sering dijumpai pada sirosis hati ditandai dengan terganggunya kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa saat dilakukan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Pada banyak kasus, diabetes kelihatannya sering terjadi pada sirosis hati dan ini disebut hepatogenous diabetes. Klasifikasi Child Pugh merupakan model yang sering digunakan untuk menilai keparahan pasien sirosis hati. Metode

Ada 36 pasien sirosis hati yang memenuhi syarat ikut dalam studi cross sectional ini. Skor Child Pugh dinilai untuk setiap pasien. Kemudian dilakukan penilaian toleransi glukosa dengan melakukan TTGO dengan meminum 75 gram glukosa sesuai dengan kriteria World Health Organization (WHO). Kadar glukosa darah semua pasien diperiksa melalui darah kapiler dengan alat glucometer. Korelasi skor Child Pugh dan kadar glukosa darah dinilai dengan analisa Pearson.

Hasil

Diabetes melitus (DM) dijumpai pada 15 subjek (42%), intoleransi glukosa pada 14 subjek (39%) dan toleransi glukosa normal pada 7 subjek (19%). Dengan analisa Pearson didapati bahwa skor Child Pugh berkorelasi dengan kadar glukosa darah puasa (r=0,67 p=0,000) dan 2 jam beban glukosa darah (r=0,73 p=0,000).

Kesimpulan

Skor Child Pugh berkorelasi positif bermakna dengan kadar glukosa darah

Key words : Sirosis hati, skor Child Pugh, hepatogenous diabetes, glucometer, kadar


(17)

Abstract

Correlation between Child Pugh score and blood glucose level in liver cirrhosis patients Background

Alterations in carbohydrate metabolism are frequently observed in liver cirrhosis, both in fasting plasma glucose and 2 hours postload plasma glucose during Oral Glucose Tolerance Test (OGTT). In plenty of cases, diabetes seems to occur frequently in cirrhosis, and it is called hepatogenous diabetes. The Child Pugh classification is the most widely used model to determined severity in patients with liver cirrhosis.

Methods

Thirty-six patients with liver cirrhosis were enrolled in this cross-sectionally study. The Child Pugh score was calculated from each patient. In all cases, glucose tolerance was diagnosed by a 75 gram OGTT according to World Health Organization (WHO) criteria. And patients underwent venous plasma glucose with glucometer testing of capillary blood. The correlation of Child Pugh score with glucose blood level was investigated using Pearson analysis.

Results

Diabetes mellitus (DM) was diagnosed in 15 subjects (42%), glucose intolerance in 14 subjects (39%) and normal glucose tolerance in 7 subjects (19%). Pearsons analysis showed that Child Pugh score were correlated with fasting glucose (r=0,67 p=0,000) and 2 hours postload glucose (r=0,73 p=0,000).

Conclusions

Child Pugh score has a significance correlation with blood glucose level

Key words : Liver cirrhotic, Child Pugh score, hepatogenous diabetes, glucometer, blood glucose level


(18)

BAB I PENDAHULUAN

Skor Child Pugh merupakan suatu skor untuk menilai cadangan fungsi hati pada penderita sirosis hati, yang dipublikasikan oleh Child (1964).

Pada awalnya skor ini direncanakan untuk menstratifikasi pasien yang masuk kedalam kelompok resiko sebelum menjalani operasi pemintasan. Dan sekarang ini digunakan sebagai kriteria baku menilai keparahan penyakit hati, prognosa sirosis hati dan pembuatan daftar pasien yang akan menjalani transplantasi hati (Child Pugh B).

Variabel penting yang digunakan, ada 5 jenis yaitu kadar serum bilirubin, serum albumin, ascites, gangguan neurologis dan status nutrisi. Kemudian Pugh dkk (1973) memodifikasi kriteria Child, dimana variabel status nutrisi pada kriteria sebelumnya digantikan dengan waktu protrombin. Untuk kadar albumin, Pugh memberikan batasan terendah 2,8 mg/dL dimana pada kriteria Child batasan terendahnya 3 mg/dL.

Selanjutnya kriteria tersebut dikenal dengan modifikasi Child Pugh (CP). Kelima variabel masing-masing diberi skor 1, 2 dan 3 berturut-turut sehingga jumlah skor antara 5-15 dan jumlah skor ini dibagi menjadi 3 kelompok yaitu A, B dan C, yakni CP A dengan skor 5-6, CP B dengan skor 7-9 dan CP C dengan skor total 10-15.1,2

Sirosis hati adalah merupakan penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya kegagalan hepatoseluler dan hipertensi portal. Pada keadaan ini sering dijumpai gangguan metabolisma glukosa, dapat berupa intoleransi glukosa dengan angka kejadian 60-80% dan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 berkisar 15-30%. DM pada penderita sirosis hati dikenal dengan hepatogenous diabetes.3,4


(19)

Banyak studi telah melaporkan angka kejadian DM pada penderita sirosis hati. Holstein dkk (2002), menyatakan bahwa dari 52 orang penderita sirosis hati terdapat 25% penderita sirosis hati dengan intoleransi glukosa dan 71% dengan DM.5 Alavian dkk (2004), mendapatkan dari 41 orang penderita sirosis hati terdapat 54% penderita sirosis hati yang DM.6 Lecube dkk (2006), melaporkan prevalensi DM pada penderita sirosis oleh karena virus hepatits C berkisar 19,6%-50%.

Patogenese terjadinya DM pada penderita sirosis hati sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti, tetapi diduga hal ini terjadi melalui proses autoimun, kerusakan langsung di sel pankreas dan peranan proinflamasi sitokin.7

Adanya DM pada penderita sirosis hati ternyata lebih memperburuk angka survivalnya dibandingkan dengan penderita sirosis hati yang kadar glukosanya normal. Kwon dkk (2004), melaporkan bahwa pada penderita sirosis hati virus B dan C dengan hiperglikemia memiliki angka survival yang lebih rendah dibandingkan yang normoglikemia.8 Nishida dkk (2006), mendapatkan bahwa survival 5 tahun pada penderita hepatogenous diabetes lebih rendah dibandingkan dengan penderita sirosis hati yang glukosa normal. Kematian yang terjadi disebabkan oleh koma hepatik, infeksi dan perdarahan varises. Ini berarti penderita hepatogenous diabetes lebih berkemungkinan untuk terjadi koma hepatik, infeksi dan perdarahan varises dibandingkan yang tidak diabetes.9 Diaz J dkk (2006), mendapatkan infeksi lebih sering terjadi pada hepatogenous diabetes dibandingkan yang tidak diabetes (OR=5,90, 95% Cl: 2,47-14,18).10

Untuk menilai adanya intoleransi glukosa yang terjadi dapat dilakukan dengan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Tes ini dilakukan menurut cara World


(20)

Health Organization (WHO) 1999 dengan melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, ½ jam, 1 jam, 1½ jam dan 2 jam setelah beban glukosa 75 gram. Pengambilan sampel darah dapat berasal dari vena ataupun dari kapiler.11,12,13

Letiexhe dkk (1993), dengan Tes Toleransi Glukosa Intravena didapatkan bahwa pada penderita sirosis hati memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (p<0,05).14

Beberapa studi mencoba menghubungkan antara kriteria Child Pugh dengan kadar glukosa darah pada penderita sirosis hati. Holstein dkk (2002), mendapatkan bahwa pada Child Pugh A memiliki kadar glukosa darah yang lebih rendah dibandingkan Child Pugh B dan C walaupun secara statistik tidak ada perbedaan bermakna.5 Alavian dkk (2004), mendapatkan bahwa 9,6 kali lebih mungkin untuk kejadian DM pada skor Child Pugh yang lebih tinggi (OR = 9,6, 95% Cl: 1,0 – 88,4).6

Dari data tersebut maka kami ingin menilai apakah ada korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah pada penderita sirosis hati.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hepatogenous diabetes

Pada sirosis hati sering dijumpai gangguan metabolisma glukosa dimana angka kejadian intoleransi glukosa 60-80% dan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sekitar 15-30%. Hepatogenous diabetes merupakan istilah adanya DM pada penderita sirosis hati.3,4

Patogenese DM pada penderita sirosis hati sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti, tetapi diduga terjadinya diabetes melalui proses autoimun, kerusakan langsung di sel pancreas dan proinflamasi sitokin.

Pada proses autoimun ternyata terjadi fenomena molecular mimicry yang mengakibatkan kerusakan pada sel pankreas akibat reaksi autoantigen dan autoantibodi. Hal ini disebabkan karena virus hepatitis C dapat membentuk asam amino yang homolog dengan GAD (Glutamic Acid Dehidrogenase) sehingga merangsang terbentuknya GAD antibodi di sel pancreas. Mason dkk (1999), mendeteksi GAD autoantibodi pada 2 dari 25 penderita hepatogenous diabetes.

Selain itu juga ternyata virus hepatitis C ini dapat juga secara langsung menyebabkan kerusakan pada sel pankreas. Laskus dkk (1998), menemukan adanya HCV RNA di sel acinar pankreas dan sel epitel duktus pankreas. Masini dkk (2005), mendapatkan adanya HVC pada sel pankreas dan menimbulkan perubahan morfologi pada pankreas dan menurunkan sekresi insulinnya. Tetapi adanya proses autoimune dan kerusakan langsung pada sel pankreas ini tidak membuat menurunnya fungsi sel


(22)

Peranan proinflamasi sitokin pada penderita sirosis hati kaitannya dengan resistensi insulin belumlah sepenuhnya dimengerti. Lecube dkk (2006), menyebutkan bahwa protein HCV core menginduksi terjadinya respon imun yang dimediasi sel limfosit Th1 dan steatosis hati. Limfosit mensekresikan interferon sebagai predominan sitokinin, yang dapat meningkatkan produksi TNF- oleh makrofag. Aktivasi TNF- ini melalui reseptor TNFR1 dan TNFR2 mengakibatkan terjadinya resistensi insulin dimana terjadi hambatan pada proses fosforilasi pada Insulin Receptor Substrate (IRS-1) yang bertanggung jawab untuk translokasi Glut-4 (Glucose Transporter 4) di hati sehingga terjadi gangguan uptake glukosa sedangkan sisi lain aktivasi TNF- juga berperan pada proses terjadinya fibrosis hati (gambar 1).7,15

Gambar 1. Mekanisme terjadinya DM pada hepatitis C dikutip dari 7

Tilg dkk (1992) dan Streetz dkk (2003), menyatakan bahwa selain peningkatan TNF didapati juga peningkatan interleukin (IL) dan resistin pada penderita sirosis hati.16,17 Elsing dkk (2007), mendapatkan adanya perbedaan rerata IL-6 antara


(23)

penderita sirosis hati Child Pugh A dengan Child Pugh C (p<0,01) dan antara penderita sirosis hati Child Pugh B dengan Child Pugh C (p<0,05). IL-6 ini merupakan salah satu sitokin yang dijumpai pada penderita sirosis dengan hipertensi portal (gambar 2).18

Data : mean±SD, a.p<0,05 b.p<0,01 vs class C

Gambar 2. Hubungan IL-6 dengan Child Pugh dikutip dari 18

Sedangkan Yagmur dkk (2006) dan Kakizaki dkk (2008), mendapatkan adanya korelasi peningkatan resistin dengan tingkat keparahan penderita sirosis hati yang dinilai dengan skor Child Pugh (r=0,391 dan p=0,001). Ini berarti bahwa resistin lebih tinggi dijumpai pada penderita sirosis hati dengan Child Pugh C dibandingkan Child Pugh B dan A (gambar 3). Resistin ini merupakan polipeptida dengan ukuran 12,5 kDa yang dihasilkan sel adiposit yang memiliki kemampuan untuk menurunkan sensitivitas insulin di reseptor hati dan otot.19,20


(24)

Gambar 3. Korelasi keparahan sirosis hati dengan resistin dikutip dari 19

Akibat sitokin ini, mengakibatkan adanya gangguan transport glukosa maka terjadi gangguan uptake glukosa di reseptor sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia post prandial) dan terjadinya penurunan sensitivitas insulin. Keadaan ini akan merangsang pengeluaran insulin dari sel pankreas sehingga terjadi keadaan hiperinsulinemia. Tetapi studi lainnya mendapatkan hal yang berbeda, bahwa pada penderita sirosis hati tidak dijumpai over produksi insulin.9 Letiexhe dkk (1993), menyatakan hiperinsulinemia pada sirosis hati bukanlah disebabkan karena hipersekresi pankreas tetapi karena menurunnya klirens insulin hepatik.14 Greco dkk (2002), mendapatkan bahwa hiperinsulinemia terjadi paling tidak pada penderita sirosis hati Child Pugh B.21

Hiperinsulinemia ini akan mengakibatkan fenomena down regulation dimana meningkatnya kadar insulin menyebabkan jumlah reseptor insulin berkurang. Hal ini mengakibatkan kemampuan insulin menjadi berkurang (menurunnya sensitivitas dan


(25)

respon insulin). Cavalio dkk (1985), menyebutkan menurunnya sensitivitas insulin dengan defek reseptor dan respon insulin yang menurun dengan defek post reseptor.22

Adanya defek pada insulin mengakibatkan insulin tidak mampu bekerja dengan baik di reseptor insulin. Hal ini disebut dengan resistensi insulin.7,9

Di sisi lain, perubahan struktur hati yang mengalami fibrosis, adanya nodul disertai resistensi insulin yang terjadi menyebabkan kegagalan reseptor di hati, otot dan lemak untuk mengkontrol hepatic glucose production (HGP). Petersen dkk (1999) dan Changani (2001), menyatakan bahwa pada penderita sirosis hati terjadi penurunan glikogenolisis, peningkatan glukoneogenesis dan hormon kontra insulin.23,24 Secara keseluruhan patogenesa hepatogenous diabetes disederhanakan seperti gambar 1.

Sirosis hati auto imune molecular mimicry Diabetes melitus extracelluler matrix CTGF kerusakan pankreas efek langsung Resistensi insulin -defek reseptor -defek post reseptor sitokin

TNF , IL resistin

Hiperglikemia -glukoneogenesis -glikogenolisis

-hormon kontra insulin Hiperinsulinemia - klirens insulin hepatik

kematian

survival

hambatan fosforilasi IRS-1

terganggu Glut 2 dan 4

jangka panjang

Gambar 1. Patogenese hepatogenous diabetes

Resistensi insulin yang terjadi ini dapat dipastikan dengan melakukan pemeriksaan yang dikenal Euglycemic hyperinsulinemic clamp method. Caranya adalah


(26)

lalu pada lengan yang lain diberi infus insulin (insulin drips) dan kadar glukosa darah dipertahankan konstan. Semakin banyak jumlah insulin yang diberikan untuk mempertahankan kadar glukosa darah tetap konstan berarti semakin rendah sensitivitas terhadap insulin atau semakin berat resistensi insulin. Namun pemeriksaan ini sulit dikerjakan dan biayanya mahal maka kini ada cara lain yang dikenal Homeostatic Model Assesment (HOMA) dengan cara mengukur kadar glukosa darah dan insulin puasa kemudian dimasukkan ke rumus : HOMA = insulin puasa (µU/ml)x KGD puasa (mmol/L)/22,5 dengan nilai normal di USA 2,7±0,1. Semakin tinggi nilai HOMA semakin berat resistensi insulin yang terjadi dan semakin menurun sensitivitas dan respon insulin.25

Kakizaki dkk (2008), menyatakan bahwa pada penderita sirosis hati dijumpai nilai HOMA yang lebih tinggi dibandingkan kontrol sehat (4,44±8,2 versus 1,23±0,70 dengan p<0,05).20 Yagmur dkk (2006), mendapatkan bahwa indeks HOMA berkorelasi negatif dengan tingkat keparahan pada penderita sirosis hati. Ini berarti bahwa semakin berat keparahan penyakit hatinya ternyata sensitivitas insulin semakin rendah (gambar 4).19

Dari hal tersebut diatas, maka semakin tinggi tingkat keparahan sirosis hati maka kemungkinan didapati kadar glukosa darah yang semakin meningkat. Holstein dkk (2002), mendapatkan bahwa pada Child Pugh A memiliki kadar glukosa darah yang lebih rendah dibandingkan Child Pugh B dan C walaupun secara statistik tidak ada perbedaan bermakna.5 Alavian dkk (2004) mendapatkan bahwa 9,6 kali lebih mungkin untuk kejadian DM pada skor Child Pugh yang lebih tinggi (OR = 9,6, 95% Cl: 1,0 – 88,4).6


(27)

Gambar 4. Hubungan indeks HOMA dengan Child Pugh dikutip dari 19

Dan adanya diabetes ini ternyata meningkatkan kejadian resiko infeksi dan kematian pada jangka panjang. Pada jangka pendek dan menengah, kematian biasanya disebabkan oleh penyakit hati dan komplikasinya.9 Diaz dkk (2006), mendapatkan bahwa infeksi saluran kemih, pneumoni, selulitis dan spontaneus bakterial peritonitis merupakan infeksi yang terbanyak pada penderita hepatogenous diabetes di Peru.10

Komplikasi yang terjadi lebih sering dijumpai pada hepatogenous diabetes dibandingkan dengan penderita sirosis hati yang tidak diabetes, yang akhirnya menurunkan angka survival pada jangka panjang.9 Kwon dkk (2004), melaporkan bahwa pada penderita sirosis hati virus B dan C dengan hiperglikemia memiliki angka survival yang lebih rendah dibandingkan yang normoglikemi.8 Nishida dkk (2006), mendapatkan bahwa survival 5 tahun pada penderita hepatogenous diabetes lebih rendah dibandingkan dengan normal glukosa dengan kematian terbanyak disebabkan oleh koma hepatik, infeksi dan perdarahan varises (gambar 5).9


(28)

Oleh sebab itu, perlu dilakukan usaha untuk mengatasi diabetes yang terjadi pada penderita sirosis hati. Prinsip penatalaksanaan hepatogenous diabetes ini sama dengan penatalaksanaan DM yang sebenarnya hanya yang perlu diingat adalah bahwa pada hepatogenous diabetes telah terjadi kerusakan hati sehingga perlu dihindari obat-obat yang bersifat hepatotoksik. Obat-obat-obat sulfonilurea, repaglinide, biguanide dan thiazolidine dimetabolisma di hati oleh sebab itu pilihan terbaik dengan menggunakan insulin.26

Gambar 5. Kumulatif angka survival pada penderita sirosis hati dikutip dari 9

Namun memang tidak ada tes spesifik yang dapat membedakan antara hepatogenous diabetes dengan diabetes dulu baru kemudian menderita sirosis hati. Holstein dkk (2002), menyatakan bahwa pada hepatogenous diabetes tidak ada riwayat keluarga diabetes dan jarang timbul komplikasi makro serta mikro angiopati. Dan American Diabetes Association (ADA) dan World Health Organization (WHO) tidak mencatat sebagai tipe DM yang tersendiri untuk hepatogenous diabetes ini.11,26,27


(29)

2.2 Skor Child Pugh

Pada tahun 1964, Child dan Turcotte mempublikasikan tentang kriteria empiris yang mereka temukan untuk menilai cadangan fungsi hati pada penderita sirosis hati. Variabel penting yang mereka ajukan ada 5 jenis yaitu kadar serum bilirubin, serum albumin, ascites, gangguan neurologis dan status nutrisi. Kemudian pada tahun 1973, Pugh dkk memodifikasi kriteria Child, dimana variabel status nutrisi pada kriteria sebelumnya digantikan dengan waktu protrombin. Untuk kadar albumin, Pugh memberikan batasan terendah 2,8 mg/dL dimana pada kriteria Child batasan terendahnya 3 mg/dL. Selanjutnya kriteria tersebut dikenal dengan modifikasi Child Pugh. Kelima variabel masing-masing dibagi menjadi 3 kelompok yaitu A, B dan C, yang diberi skor 1, 2 dan 3 secara berturut-turut, sehingga berdasarkan nilai total dari kriteria ini dapat diklasifikasikan dalam 3 tingkatan yakni tingkat Child Pugh A dengan skor 5-6, tingkat Child Pugh B dengan skor 7-9 dan Child Pugh C dengan skor total 10-15 (tabel 1).1,2

Tabel 1. Skor Child Pugh dikutip dari 1

Skor 1 2 3

Serum bilirubin (mg/dL) < 2 2 – 3 > 3

Serum albumin (mg/dL) > 3,5 2,8 – 3,5 < 2,8

Ascites tidak ada mudah sulit

dikontrol dikontrol

Gangguan neurologi tidak ada minimal koma

lanjut

Waktu protrombin (detik) < 4 4 – 6 >6

≠: selisih waktu protrombin dengan kontrol (detik)


(30)

Sampai saat ini kriteria yang dipakai sebagai parameter dalam upaya menentukan prognostik sirosis hati adalah skor modifikasi Child Pugh. Kriteria ini juga dapat dipakai untuk menilai keberhasilan terapi konservatif.2

Prognosis sirosis hati berdasarkan skor kriteria Child Pugh yang dihubungkan dengan angka mortalitas terhadap tindakan operasi adalah Child Pugh A 10-15%, Child Pugh B ± 30% dan Child Pugh C > 60%.1,2

2.3 Serum bilirubin

Bilirubin adalah suatu pigmen kuning dengan struktur tetrapirol yang tidak larut dalam air, berasal dari destruksi sel darah merah (75%), katabolisma protein hem (22%) dan inaktivasi eritropoesis sum-sum tulang (3%). Bilirubin yang tidak terkonyugasi, di hati akan mengalami konyugasi dengan enzim glukoronil transferase. Selanjutnya bilirubin terkonyugasi akan dikonversi menjadi urobilinogen di colon dan sebagian direabsorpsi dan diekskresikan ginjal dalam bentuk urobilinogen dan dikeluarkan bersama dengan feses sebagai sterkobilin.

Pemeriksaan bilirubin ini dapat dengan menggunakan metode van den Bergh assay, dimana dapat ditentukan tingkat bilirubin total dalam serum dan jumlah bilirubin terkonyugasi ataupun tak terkonyugasi. Pada sirosis hati akan dijumpai peningkatan produksi bilirubin.1,28

2.4 Serum albumin

Albumin merupakan protein plasma terbanyak dalam tubuh manusia. Kadarnya berkisar antara 3,5-5,5 g/dL dan merupakan 60% dari seluruh protein plasma. Kadar


(31)

albumin darah merupakan hasil kecepatan sintesis hati dikurangi kecepatan degradasi dan distribusi albumin kedalam ruang intra dan ekstra vaskuler.

Sintesa albumin terutama dihati yaitu sebanyak 9-12 g/hari pada orang dewasa normal dan merupakan 25% dari total protein yang hati setiap hari. Katabolisma albumin terjadi di sel hati, dimana sebanyak ± 15% albumin yang sudah tua usianya akan diurai kembali menjadi berbagai komponen asam amino yang kemudian siap digunakan untuk berbagai sintesis protein yang dibutuhkan tubuh. Sisanya sebanyak 40-60% di sel otot dan kulit. Distribusi albumin terjadi di dalam pembuluh darah maupun di luar pembuluh darah (cairan intertitial). Pada sirosis hati akan dijumpai rendahnya produksi albumin.1,29

2.5 Waktu protrombin

Protrombin (faktor II), faktor VII, IX dan X merupakan faktor koagulasi yang dihasilkan oleh hati dimana dalam pembentukannya memerlukan vitamin K. Vitamin K ini pun dihasilkan di hati. Adapun peranan vitamin K pada tahap karboksilasi gugus gamma glutamil.

Waktu protrombin pertama kali diperkenalkan oleh Quick tahun 1935 dimana prinsip pemeriksaan ini, mengukur lamanya waktu yang dibutuhkan dalam detik untuk pembentukan fibrin dari plasma sitrat, setelah penambahan tromboplastin jaringan dan ion kalsium dalam jumlah optimal. Hasil pemeriksaan waktu protrombin tergantung dari beberapa hal seperti pengambilan bahan, penanganan bahan pemeriksaan, macam reagen yang dipakai dan teknik pemeriksaan. Waktu protrombin merupakan ukuran sintesis sel hati dan pada sirosis hati akan dijumpai pemanjangan waktu protrombin. 1,2


(32)

2.6 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

Pada tahun 1960, TTGO termasuk salah satu pemeriksaan rutin dalam membantu menegakkan diagnosa DM. Tetapi kemudian Marvin dkk (1975), menyebutkan bahwa TTGO bukan merupakan rutin karena panjangnya langkah menegakkan diagnosa DM dan ini menjadi kontroversi selama 35 tahun saat itu. Dan akhirnya tahun 1997, American Diabetes Association (ADA) mengeluarkan TTGO dari pemeriksaan rutin untuk penegakkan diagnosa DM.

Tetapi kemudian timbul pertanyaan, kadar glukosa darah berapa dapat memprediksikan peningkatan resiko terjadinya diabetes. Kemudian Qiano dkk, mempublikasikan kembali pemeriksaan TTGO untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dan WHO pada tahun 1999, kemudian merekomendasikan kembali TTGO sebagai pemeriksaan skreening untuk intoleransi glukosa dengan meminum 75 gram glukosa dengan 250 ml air dan kemudian dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah vena puasa, ½ jam, 1 jam, 1½ jam dan 2 jam beban glukosa.

Tetapi tahun 2002, World Health Organization (WHO) merekomendasikan bahwa pada TTGO merupakan pemeriksaan kadar glukosa darah cukup hanya dengan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah beban glukosa.11,12 Schianca dkk (2003), menyatakan bahwa pada TTGO, kadar glukosa darah puasa menggambarkan sensitivitas insulin dan kadar glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa menggambarkan sekresi insulin.30 Sampel darah dapat menggunakan darah dari vena atau kapiler. Bila menggunakan darah kapiler maka kadar glukosa darah dapat diperiksa dengan glucometer.31,32


(33)

Penggunaan glucometer dengan sampel darah kapiler telah banyak dilakukan karena mudah melakukan, tidak menyakitkan bagi penderita dan biayanya lebih murah dibandingkan plasma vena serta memiliki keakuratan yang cukup baik. Rolka dkk (2001), mendapatkan bahwa kadar glukosa darah kapiler yang diukur dengan alat glucometer ternyata memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas 90% untuk menegakkan kriteria sesuai kriteria WHO 2002.33

Beberapa studi telah mencoba membandingkan antara hasil kadar glukosa kapiler dengan plasma vena (tabel 2). Hasil kadar glukosa darah dapat dinyatakan dengan mg/dl atau mmol/l. Konversi mmol/l ke mg/dl dikalikan 18 dan konversi mg/dl ke mmol/l dibagi 18 atau kali 0,055.31,32

Tabel 2. Nilai TTGO dari plasma vena atau kapiler dikutip dari 31

Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) Plasma vena Kapiler

mmol/l mg/dl mmol/l mg/dl

KGD puasa

- DM ≥7,0 ≥126 ≥7,0 ≥126

- Glukosa Darah Puasa Terganggu ≥6,0 ≥110 ≥6,0 ≥110

(GDPT)

KGD 2 jam beban glukosa

- DM ≥11,0 ≥200 ≥12,2 ≥220

- Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) ≥7,8 ≥140 ≥8,9 ≥160

2.7 Glucometer

Glucometer merupakan alat untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler (gambar 6). Alat ini pertama kali diperkenalkan tahun 1980 di Amerika Utara dimana saat itu ada 2 jenis yakni glucometer (Bayer) dan Accu-Chek meter (Roche).


(34)

Pembacaan nilai kadar glukosa darah dilakukan dari perubahan warna yang terjadi pada strip. Kemudian seiring perkembangan teknologi ditemukan berbagai alat yang semakin kecil, pembacaan nilai kadar glukosa darah secara digital dan harga yang semakin murah untuk strip yang digunakan.31,32

Gambar 6. Glucometer dikutip dari 32

Volume darah yang dibutuhkan ± 0,3-10 µl dari ujung jari, dengan pembacaan dalam satuan mg/dl atau mmol/l tergantung alat yang digunakan.

Glucometer ini menggunakan metode electrochemical dimana pada strip terdapat elektroda enzim mengandung glucose oxidase. Elektroda ini akan mengukur kadar konsentrasi glukosa darah yang melaluinya.

Beberapa penelitian telah menilai keakuratan pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler dengan menggunakan glucometer. Pemeriksaan ini ternyata cukup baik dengan sensitivitas 70% dan spesifisitas 90%.32 Weitgasser dkk (2007), mendapatkan bahwa glucometer memiliki keakuratan yang cukup baik, dimana pada analisa error grid berada pada zona A (gambar 7). Pada zona A merupakan daerah klinis yang akurat, zona B ada deviasi > 20%, zone C tidak diperlukan kemungkinan over koreksi, zone D daerah gagal untuk deteksi dan pengobatan dan zone E pengobatan yang salah.34


(35)

Gambar 7. Analisa Error grid glucometer dikutip dari 34

Dan beberapa studi telah menggunakan glucometer untuk pemeriksaan kadar glukosa darah sebagai salah satu cara pemeriksaan kadar glukosa darah. Shah dkk (2005), menggunakan glucometer untuk monitoring kadar glukosa darah pada penderita DM yang menerima transplantasi ginjal.35 Gupta dkk (2006), melakukan skrening DM gestational untuk grup resiko tinggi dengan pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler.36 Vinita dkk (2006), menggunakan glucometer untuk skrening DM gestational.37

2.8 Retinopati diabetik

Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik mikroangiopati dari DM tipe 2 yang sering mengganggu arteri kapiler retina, arteriole dan vena. Kerusakan pada barier inner blood retina dan oklusi mikrovaskuler.

Retinopati diabetik merupakan penyebab utama kebutaan. Lamanya penderita menderita DM meningkatkan angka kejadian retinopati diabetik. Di negara berkembang,


(36)

12% kasus ini timbul setiap tahunnya. Pada penderita DM tipe 1, kurang lebih dalam 14 tahun akan terjadi sekitar 12,7% gangguan penglihatan dan 2,4% menjadi buta.38,39

Pada hepatogenous diabetes kejadian retinopati diabetik dapat juga terjadi tetapi lebih jarang dibandingkan pada DM tipe 2. Fujiwara dkk (2005), mendapatkan bahwa kejadian komplikasi retinopati diabetik dan kardiovaskuler lebih rendah pada hepatogenous diabetes dibandingkan DM tipe 2 (p<0,05 dan p<0,01).40

Makular edema diabetik merupakan salah satu manifestasi retinopati diabetik dan berperan penyebab kebutaan pada DM tipe 2. Terjadinya makular edema diabetik biasanya lebih dari 10 tahun semenjak DM terjadi.

Hiperglikemia kronik memegang peranan patogenesis terjadinya retinopati diabetik disertai adanya hipertensi dan hiperlipidemia. Dijumpainya perubahan komposisi struktur dan seluler mikrovaskular dengan peningkatkan permeabilitas vaskular dan selanjutnya barier blood retina akan rusak dan mengakibatkan akumulasi cairan ekstraseluler di makula. Perisit yang merupakan komposisi seluler esensial yang berperanan pada perfusi kapiler retina akan rusak sehingga mengganggu hemodinamik retina termasuk autoregulasi aliran darah retina dan akhirnya menimbulkan pembentukan formasi mikroaneurisma. Dan selanjutnya terjadi penebalan membran basalis kapiler dan peningkatan deposisi komponen matrik ekstraseluler. Darah dari vena baru akan masuk ke vitreous.38,39 Adapun gambaran funduskopinya dapat kita lihat pada gambar 839


(37)

retinopati diabetik nonproliferatif retinopati diabetik proliferatif

Gambar 8. Retinopati diabetik nonproliferatif dan proliferatif dikutip dari 39

Stadium retinopati diabetik dibedakan atas beberapa stadium no apparent retinopathy, mild, moderate dan severe nonproliferative diabetic retinopathy (tabel 3).38


(38)

BAB III

PENELITIAN SENDIRI

3.1. Latar Belakang

Sirosis hati merupakan penyakit utama di negara-negara Asia yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Kejadian di Indonesia menunjukkan bahwa pria lebih banyak dari wanita (2,4-5:1), dimana kelompok terbanyak didapati pada dekade kelima. Sedangkan angka kejadian sirosis hati dari hasil otopsi sekitar 2,4% di negara Barat.

Penyebab terbanyak sirosis hati di Asia Tenggara adalah virus hepatitis B dan C. Di Indonesia, para penderita sirosis hati memiliki prevalensi virus hepatitis B 21,2-46,9% dan virus hepatitis C 38,7-73,9%.1,2

Pada sirosis hati sering dijumpai gangguan metabolisma glukosa dimana sekitar 60-80% terjadi intoleransi glukosa dan dalam 5 tahun kemudian 15-30% diantaranya dapat menjadi Diabetes Melitus (DM) tipe 2. Dan Nauryn (1906), pertama kali menyebutkannya dengan hepatogenous diabetes, sebagai istilah DM yang terjadi pada penderita sirosis hati.3,4

Patogenese hepatogenous diabetes sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti, tetapi diduga berkaitan dengan proses autoimune, kerusakan langsung pada sel pankreas dan peranan proinflamasi sitokin yang mengakibatkan keadaan hiperglikemia post prandial dan hiperinsulinemia.7 Dengan melakukan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) akan dijumpai peningkatan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa.11,12,13


(39)

Pada beberapa studi juga didapatkan bahwa hepatogenous diabetes ternyata memiliki harapan hidup yang lebih rendah dibandingkan penderita sirosis hati yang glukosa normal dalam pengamatan jangka panjang. Kwon dkk (2004), melaporkan bahwa pada penderita sirosis hati viral B dan C dengan hiperglikemia memiliki angka harapan hidup yang lebih rendah dibandingkan penderita sirosis hati yang normoglikemia.8 Nishida dkk (2006), mendapatkan bahwa angka harapan hidup 5 tahun pada penderita hepatogenous diabetes sekitar 56,6% sedangkan bila penderita sirosis hati yang glukosa normal sekitar 94,7%. Kematian penderita hepatogenous diabetes pada studi ini disebabkan oleh koma hepatik, infeksi dan perdarahan varises.9 Ini berarti penderita hepatogenous diabetes lebih berkemungkinan untuk lebih sering terjadi koma hepatik, infeksi dan perdarahan varises dibandingkan penderita sirosis hati yang normal glukosa.5 Diaz dkk (2006), mendapatkan infeksi lebih sering terjadi pada hepatogenous diabetes dibandingkan penderita sirosis yang tidak diabetes (OR=5,90, 95% Cl: 2,47-14,18).10 Oleh karena itu untuk meningkatkan angka harapan hidup pada hepatogenous diabetes diperlukan juga penatalaksanaan terhadap diabetesnya melengkapi penatalaksanaan utama lainnya pada penderita sirosis hati.26

Untuk menilai adanya intoleransi glukosa yang terjadi dapat dilakukan dengan pemeriksaan TTGO. Tes ini dilakukan menurut cara World Health Organization (WHO) 1999 dengan melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah vena puasa, ½ jam, 1 jam, 1½ jam dan 2 jam setelah beban glukosa 75 gram. Tetapi pengambilan sampel darah yang berasal dari vena menyakitkan bagi penderita, lebih mahal dan lebih sulit dilakukan maka sampel darah dari kapiler dapat dilakukan. Bila menggunakan dari sampel darah kapiler maka pemeriksaannya dilakukan dengan alat glucometer.11,12,13


(40)

Indeks untuk menilai keparahan penyakit hati yang sering digunakan adalah kriteria Child Pugh. Kriteria ini telah menjadi dasar indeks keparahan penyakit hati sejak formulasinya digunakan untuk menghitung stratifikasi resiko pasien yang akan menjalani operasi pemintasan dan saat ini digunakan sebagai prognostik pada penderita sirosis hati. Kriteria ini terdiri dari 5 parameter yang dinilai dimana masing-masing diberi skor dan jumlah skor dibedakan atas gradasi A, B dan C dimana gradasi C menunjukkan tingkat keparahan yang lebih berat. Ini berarti bahwa penderita sirosis hati dengan Child Pugh C memiliki mortalitas yang lebih besar dibandingkan penderita sirosis hati dengan Child Pugh A dan B.1,2

Saat ini, beberapa studi mencoba menghubungkan antara kriteria Child Pugh dengan kadar glukosa darah pada penderita sirosis hati. Holstein dkk (2002), mendapatkan bahwa pada Child Pugh A ternyata memiliki kadar glukosa darah yang lebih rendah dibandingkan Child Pugh B dan C walaupun secara statistik tidak ada perbedaan bermakna.5 Alavian dkk (2004), mendapatkan 9,6 kali lebih mungkin untuk kejadian DM pada skor Child Pugh yang lebih tinggi (OR = 9,6, 95% Cl: 1,0 – 88,4).6 Nishida dkk (2006), menganjurkan TTGO dapat dilakukan turut sebagai pemeriksaan rutin pada penderita sirosis hati untuk penatalaksanaan yang menyeluruh sehingga lebih dapat meningkatkan angka harapan hidupnya.9

Dari data tersebut maka kami hanya ingin menilai apakah ada korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah penderita sirosis hati yang sepengetahuan kami belum pernah dilakukan.


(41)

3. 2. Perumusan masalah

Apakah ada korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah pada penderita sirosis hati

3. 3. Hipotesa

Ada korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah pada penderita sirosis hati

3. 4. Tujuan penelitian

Untuk mengetahui korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah pada penderita sirosis hati

3. 5. Manfaat penelitian

- Dengan penelitian ini diharapkan kadar glukosa darah yang diperiksa dengan TTGO dapat turut digunakan sebagai salah satu parameter lain untuk menilai keparahan penyakit hati bersama dengan kriteria Child Pugh

- TTGO turut sebagai pemeriksaan rutin pada penderita sirosis hati

- Sebagai data dasar bagaimana gambaran gangguan metabolisma glukosa pada penderita sirosis hati


(42)

3. 6. Kerangka konsepsional

Sirosis hati

TTGO

(kadar glukosa darah)

auto imune molecular mimicry Diabetes melitus Skor kriteria Child Pugh ? extraseluler matrix CTGF Kerusakan pankreas efek langsung Resistensi insulin -defek reseptor -defek post reseptor

sitokin TNF , IL,

resistin

Hiperglikemia -glukoneogenesis -glikogenolisis -horman kontra insulin

Hiperinsulinemia - klirens insulin hepatik

3. 7. BAHAN DAN CARA 3.7.1 Desain penelitian

Penelitian ini dilakukan secara studi potong lintang

3.7.2 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Februari s/d November 2008 di RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD Pirngadi Medan.

3.7.3 Populasi terjangkau

Penderita sirosis hati yang rawat jalan poliklinik ataupun rawat inap di Departemen Penyakit Dalam RS H. Adam Malik/RS Dr. Pirngadi Medan


(43)

3.7.4 Kriteria inklusi :

- Penderita sirosis hati

- Bersedia ikut dalam penelitian (informed consent)

3.7.5 Kriteria eksklusi

- Penderita DM sebelumnya - Riwayat keluarga DM - KGD sewaktu ≥ 200 mg/dl - Penderita retinopati diabetik

- Penderita memakai OAD atau insulin atau kortikosteroid

3.7.6 Besar sampel

Untuk menentukan besar sampel digunakan rumus41,42 : N = Z 2P.Q

d2

dimana Z = nilai baku normal berdasarkan = 0,05 Z = 1,96 P = proporsi penderita sirosis hati diasumsikan 70% 0,70 d = presisi (besarnya penyimpangan yang dapat ditolerir), 15% Q = (1-P) = (1,0-0,70) =0,30

N = (1,96)2 x 0,70 x 0,30 = 36 (0,15)2


(44)

3.7.7 Cara penelitian

Setiap penderita sirosis hati yang datang berobat jalan di poliklinik Gastroenterohepatologi Penyakit Dalam, maupun yang dirawat inap, dianamnesis serta dilakukan pemeriksaan fisik, laboratorium (bilirubin, albumin, waktu protrombin, SPE, viral marker), ultrasonografi abdomen atas dan funduskopi. Pemeriksaan funduskopi dilakukan di poliklinik mata. Setelah memenuhi kriteria penelitian, diberikan penjelasan kepada pasien ataupun keluarga dekat yang mewakilinya untuk mengisi formulir (informed consent), kemudian dinilai skor Child Pughnya dan penderita sirosis hati tersebut dikelompokkan berdasarkan Child Pugh A, Child Pugh B dan Child Pugh C.

Kadar glukosa darah penderita sirosis hati dinilai dengan melakukan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Tes ini dilakukan menurut cara WHO tahun 1999, dengan cara sebagai berikut :

-3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa

-berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan -minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan, kemudian diperiksa

kadar glukosa darah puasa dari kapiler dengan glucometer

-diberikan glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit

-berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar glukosa darah ½ jam, 1 jam, 1½ jam dan 2 jam setelah beban glukosa dari kapiler dengan glucometer


(45)

Berdasarkan hasil kadar glukosa darah puasa, ½ jam, 1 jam, 1½ jam dan 2 jam beban glukosa tersebut, penderita sirosis dikelompokkan pada kelompok Diabetes Melitus, intoleransi glukosa dan glukosa normal.

3.7.8 Analisa data

Semua data yang diperlukan dimasukkan kedalam tabel induk dengan menggunakan bantuan program komputer. Kemudian data diolah dan dianalisis dengan bantuan program SPSS 11,5. Data deskriptif disajikan dalam bentuk teks, tabel dan gambar untuk dianalisis. Hasil penelitian dituangkan berupa rerata, simpang baku.

Untuk menilai perbedaan rerata bilirubin, albumin dan waktu protrombin pada kelompok penderita sirosis hati DM, intoleransi glukosa dan glukosa normal digunakan uji Anova jika data terdistribusi normal dan uji Kruskal Wallis jika data tidak terdistribusi normal. Dan untuk menilai perbedaan rerata albumin ada pada kelompok mana diantara ke-3 kelompok penderita sirosis hati berdasarkan gangguan metabolisma glukosa digunakan uji Post Hoc dengan Least Significant Difference test.

Untuk menilai perbedaan rerata kadar glukosa darah puasa, ½ jam, 1 jam, 1½ jam dan 2 jam beban glukosa pada kelompok penderita sirosis Child Pugh A, Child Pugh B dan Child Pugh C digunakan uji Anova jika data terdistribusi normal dan uji Kruskal Wallis jika data tidak terdistribusi normal. Dan untuk menilai perbedaan rerata kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa ada pada


(46)

kelompok mana diantara ke-3 kelompok penderita sirosis hati berdasarkan Child Pugh digunakan uji Post Hoc dengan Least Significant Difference test.

Untuk mengetahui korelasi antara skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah puasa, ½ jam, 1 jam, 1½ jam dan 2 jam digunakan uji Pearson.

Untuk mengetahui korelasi antara kadar glukosa darah puasa, ½ jam, 1 jam, 1½ jam dan 2 jam dengan bilirubin, albumin dan waktu protrombin digunakan uji Pearson.

Hasil analisis dianggap bermakna apabila p < 0,05.41,42

3.7.9. Defenisi operasional

a. Sirosis hati :

diagnosis penyakit hati ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan ultrasonografi abdomen atas.

b. Kadar glukosa darah dinilai dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dimana diperoleh nilai kadar glukosa darah puasa, ½ jam, 1 jam, 1½ jam dan 2 jam beban glukosa.

c. Diabetes Melitus (DM) bila hasil TTGO : - KGD puasa ≥126 mg/dL atau

- KGD 2 jam beban glukosa ≥ 220 mg/dL d. Intoleransi glukosa (IG) bila hasil TTGO :

- KGD puasa 110-125 mg/dL dan


(47)

e. Glukosa normal (GN) bila hasil TTGO : - KGD puasa <110 mg/dL dan

- KGD 2 jam beban glukosa <160 mg/dL f. Skor Child Pugh :

skor untuk menilai keparahan penyakit hati pada penderita sirosis hati (tabel 1) dimana bila : - Child Pugh A : skor 5 - 6

- Child Pugh B : skor 7 - 9 - Child Pugh C : skor 10 - 15

3.10 Kerangka operasional

Penderita sirosis hati

TTGO :

kadar glukosa darah kapiler puasa, 1/2 jam, 1 jam, 1 ½ jam dan 2 jam beban glukosa

Skor Child Pugh

-CP A -CP B -CP C

- pemeriksaan klinis - darah rutin - albumin - bilirubin

- waktu protrombin - ascites

- ggn neurologi - viral marker - USG abdomen - funduskopi ?? kriteria inklusi kriteria eksklusi -DM

-Intoleransi Glukosa -Glukosa Normal


(48)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil penelitian

4.1.1. Karateristik dasar penderita sirosis hati

Kami melakukan penelitian terhadap 36 orang subjek di unit Rawat Jalan dan Rawat Inap RSUP H. Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan, Departemen Penyakit Dalam FK USU. Subjek penelitian adalah penderita sirosis hati yang diambil datanya dari Februari 2008 sampai dengan November 2008.

Kisaran usia subjek peneltian berada diantara 28 – 71 tahun dengan rerata usia 51,17±10,96 tahun (tabel 1).

Tabel 1. Rerata umur penderita sirosis hati

Parameter Rerata ± SB Kisaran

Umur (tahun) 51,17 ± 10,96 28 - 71

Ket : SB = Simpang Baku

Dari seluruh subjek penelitian ada 24 orang (67%) berjenis kelamin laki-laki dan 12 orang (33%) wanita. Etiologi sirosis hati terbanyak penderita dengan petanda virus HbsAg positif (72%). Ada 12 orang (33%) penderita sirosis hati dengan riwayat ensefalopati dan 24 orang (61%) dengan ascites. Dan dengan menilai Child Pugh ada 16 orang (44%) penderita sirosis dengan Child Pugh B dan dengan TTGO ada 15 orang (42%) penderita sirosis hati dengan DM (tabel 2).


(49)

Tabel 2. Karakteristik demografi dan klinis penderita sirosis hati

Parameter Jumlah (n)

Persentase (%)

Jenis Kelamin : - laki-laki - wanita 24 12 67 33 Etiologi :

- HbsAg (+) - Anti HCV (+) - Alkohol 26 7 3 72 20 8 Ascites :

- tidak ada - ada

14 22

39 61 Ensefalopati :

- tidak ada - ada

24 12

67 33 Gangguan metabolisma glukosa

- Glukosa normal - Intoleransi glukosa - Diabetes Melitus (DM)

7 14 15 19 39 42 Child Pugh (CP)

- CP A - CP B - CP C

8 16 12 22 44 34

Rerata nilai variabel laboratorium dan simpang baku seluruh subjek penelitian diperlihatkan pada tabel 3.


(50)

Tabel 3. Rerata nilai laboratorium penderita sirosis hati

Parameter Rerata ± SB Kisaran

Bilirubin total (mg/dl) 2,99 ± 2,52 0,79 - 11,59

Albumin (mg/dl) 3,13 ± 0,90 1,65 - 5,24

Waktu protrombin (det) 18,04 ± 4,68 12 – 36,10

KGD puasa (mg/dl) 135,69 ± 58,01 90 - 292

KGD ½ jam (mg/dl) 198,42 ± 55,20 120 - 350

KGD 1 jam (mg/dl) 198,50 ± 38,56 133 - 292

KGD 1½ jam (mg/dl) 193,72 ± 47,03 127 - 357

KGD 2 jam (mg/dl) 191,69 ± 48,77 132 - 320

Ket : SB = Simpang Baku

4.1.2. Gambaran gangguan metabolisma glukosa pada penderita sirosis hati

Child Pugh C B A N o f C a s e 10 8 6 4 2 0 Gangguan glukosa Normal IG DM 2 6 3 9 9 1 6

Gambar 2. Prevalensi gangguan metabolisma glukosa berdasarkan Child Pugh

Setelah dilakukan TTGO, diperoleh nilai kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa masing-masing penderita sirosis, dianalisis dan didapatkan bahwa dari


(51)

36 orang subjek penelitian, ada 29 orang (81%) penderita sirosis hati mengalami gangguan metabolisma glukosa dimana 15 orang (42%) penderita sirosis hati DM, 14 orang (39%) penderita sirosis hati intoleransi glukosa sedangkan 7 orang (18%) penderita sirosis hati glukosa normal (gambar 2).

Studi kami ini juga menunjukkan adanya perbedaan rerata bermakna variabel albumin antara ke-3 kelompok penderita sirosis hati berdasarkan gangguan metabolisma glukosa (tabel 4).

Tabel 4. Rerata variabel laboratorium berdasarkan gangguan metabolisma glukosa Parameter Glukosa

Normal (n=7)

Intoleransi Glukosa

(n=14)

DM

(n=15)

Billirubin total (mg/dl) 1,67±0,21 3,02±3,22* 3,58±2,24**

Albumin (mg/dl) 4,17±0,88 3,06±0,90 2,70±0,43

Waktu protrombin (det) 15,34±2,15 17,18±3,03 20,10±5,94 Ket : Rerata±SB, *p=0,003 **p=0,000 banding Glukosa Normal

Dengan analisis Post Hoc, ternyata didapati bahwa perbedaan rerata albumin ada antara kelompok penderita sirosis hati DM dengan glukosa normal (p=0,000), antara penderita sirosis hati intoleransi glukosa dengan glukosa normal (p=0,003) sedangkan antara penderita sirosis hati DM dengan intoleransi glukosa tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna (p=0,192).


(52)

4.1.3 Korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah

Pada penelitian ini juga dijumpai adanya perbedaan rerata kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa antara ke-3 kelompok penderita sirosis hati berdasarkan Child Pugh (tabel 5).

Tabel 5. Rerata variabel laboratorium berdasarkan Child Pugh

Parameter CP A

(n=8)

CP B (n=16)

CP C (n=12) KGD puasa (mg/dl) 98,88±2,74 116,13±22,04* 186,33±75,50**a KGD ½ jam beban (mg/dl) 217,63±31,91 187,75±45,95 199,83±75,71 KGD 1 jam beban (mg/dl) 199,25±30,26 203,81±44,07 186,75±41,30 KGD 1½ jam beban (mg/dl) 181,38±44,96 206,00±51,62 185,58±41,41 KGD 2 jam beban (mg/dl) 145,13±13,90 180,50±35,44† 237,67±40,84††b Ket : Rerata ± SB, *p=0,000 **p=0,003 banding CP A, a p=0,008 banding CP B

†p=0,032 ††p=0,000 banding CP A, b p=0,001 banding CP B

Dengan analisis Post Hoc, ternyata didapati bahwa perbedaan rerata kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa ada antara kelompok penderita sirosis hati Child Pugh A dengan Child Pugh B (p=0,000 dan p=0,032), antara penderita sirosis hati Child Pugh A dengan Child Pugh C (p=0,003 dan p=0,000) dan antara penderita sirosis hati Child Pugh B dengan Child Pugh C (p=0,008 dan p=0,001).

Dilakukan uji korelasi dan didapati bahwa ada korelasi positif antara skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah puasa (r=0,671 dengan p=0,000) dan 2 jam beban glukosa (r=0,730 dengan p=0,000) sedangkan antara skor Child Pugh dengan kadar


(53)

glukosa darah ½ jam, 1 jam dan 1½ jam beban glukosa berkorelasi tetapi tidak bermakna secara statistik (tabel 6).

Tabel 6. Korelasi antara Skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah KGD

puasa

KGD ½ jam

KGD 1 jam

KGD 1½ jam

KGD 2 jam Skor CP r= 0,671

p=0,000

r= 0,028 p=0,873

r=-0,097 p=0,574

r=-0,072 p=0,676

r=0,730 p=0,000

Ket : r : kekuatan korelasi, p= tingkat kemaknaan, bermakna p<0,05

Gambar 3. Korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah A. kadar glukosa darah puasa (r=0,67 , p=0,000)

B. kadar glukosa darah 2 jam beban glukosa (r=0,73, p=0,000)

Pada gambar 3 ini, terlihat bahwa semakin tinggi skor Child Pugh maka semakin tinggi dengan kadar glukosa darah puasa dan kadar glukosa darah 2 jam beban


(54)

4.1.4 Korelasi antara kadar glukosa darah dengan bilirubin, albumin dan waktu protrombin

Untuk mengetahui korelasi antara kadar glukosa darah dengan bilirubin, albumin dan waktu protrombin dilakukan uji korelasi (tabel 7).

Tabel 7. Korelasi antara kadar glukosa darah dengan bilirubin, albumin dan waktu protrombin Parameter KGD puasa KGD ½ jam KGD 1 jam KGD 1½ jam KGD 2 jam Billirubin total(mg/dl) r=0,374

p=0,025 r=-0,060 p=0,729 r=-0,273 p=0,108 r=-0,229 p=0,179 r=0,455 p=0,005

Albumin (mg/dl) r=-0,374 p=0,025 r=0,282 p=0,095 r=0,078 p=0,649 r=-0,122 p=0,478 r=-0,539 p=0,001

Waktu protrombin (det) r=0,462 p=0,005 r=-0,099 p=0,565 r=-0,098 p=0,568 r=-0,055 p=0,752 r=0,338 p=0,044

Ket : r : kekuatan korelasi, p= tingkat kemaknaan, bermakna p<0,05

Dari tabel 10 ini, dapat dilihat bahwa kadar glukosa darah puasa berkorelasi positif bermakna dengan bilirubin dan waktu protrombin (r=0,374 , p=0,025 dan r=0,462 p=0,005). Dan kadar glukosa darah 2 jam beban glukosa berkorelasi positif bermakna dengan bilirubin dan waktu protrombin (r=0,455 , p=0,005 dan r=0,338 , p=0,044). Sedangkan kadar glukosa darah puasa dan kadar glukosa darah 2 jam beban glukosa berkorelasi negatif bermakna dengan albumin (r=-0,374, p=0,025 dan r=-0,539 , p=0,001). Sedangkan kadar glukosa darah ½ jam, 1 jam dan 1½ jam berkorelasi dengan bilirubin, albumin dan waktu protrombin tetapi tidak bermakna secara statistik.


(55)

4.2. Pembahasan

Sirosis hati paling sering dijumpai pada usia dekade kelima dimana perbandingan jenis kelamin pria dan wanita berkisar antara 2,5-4:1 dengan etilogi tersering virus hepatitis C.1,2 Studi kami memperlihatkan hal yang sama dimana penderita sirosis hati dijumpai pada usia rerata 51,17±10,97 dimana perbandingan pria dan wanita 2:1 dengan etiologi terbanyak oleh karena virus hepatitis B.

Pada sirosis hati sering dijumpai intoleransi glukosa dengan angka kejadian 60-80% dan diabetes sekitar 15-30%.3,4 Diabetes yang terjadi pada penderita sirosis hati dikenal dengan hepatogenous diabetes. Studi ini kami mendapatkan hal yang tidak berbeda dimana angka kejadian diabetes sekitar 42 % dan intoleransi glukosa sekitar 39%. Ini menunjukkan bahwa sebahagian besar penderita sirosis hati (81%) telah terjadi gangguan fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisma glukosa dimana terjadi peningkatan proses glukoneogenesis dan penurunan proses glikogenolisis.22,23

Pada hepatogenous diabetes dijumpai penurunan rerata albumin, peningkatan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa. Holstein dkk (2002), mendapatkan bahwa ada perbedaan rerata albumin antara penderita sirosis hati yang diabetes dengan intoleransi glukosa (p<0,0001). Yagmur dkk (2006), mendapatkan adanya korelasi negatif (r=-0,477) antara albumin dengan tingkat keparahan penderita sirosis hati (Child Pugh). Studi kami mendapatkan adanya perbedaan rerata albumin antara kelompok penderita sirosis hati diabetes dengan glukosa normal (p<0,000) dan antara penderita sirosis hati intoleransi glukosa dengan glukosa normal (p<0,003).

Untuk menilai kadar glukosa ini dapat dilakukan dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Walaupun sekitar pada tahun 1975, ada kontroversi karena pada awalnya


(56)

termasuk pemeriksaan rutin untuk menegakkan DM tetapi saat ini tidak lagi merupakan penilaian rutin tetapi untuk skrening intoleransi glukosa. WHO tahun 1999 merekomendasi 75 gram glukosa dalam 250 ml air dan yang diperiksa kadar glukosa darah puasa, ½ jam, 1 jam, 1½ jam dan 2 jam beban glukosa. Pengambilan sampel dari darah plasma vena. Tetapi kemudian pada tahun 2002, WHO merekomendasi pemeriksaan kadar glukosa darah dengan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa saja serta pengambilan sampel darah dapat dari vena atau kapiler. Pengambilan darah kapiler lebih disukai dari pada darah vena karena tidak terlalu menyakitkan bagi penderita, lebih murah dan mudah. Pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler dengan menggunakan alat glucometer memiliki ketepatan yang cukup akurat.11,12 Weitgasser dkk (2007), menyatakan glucometer memiliki keakuratan yang cukup baik. Dan saat ini, banyak studi telah menggunakan alat glucometer untuk pemeriksaan kadar glukosa darah diantaranya Shah dkk (2005), Gupta dkk (2006) serta Vinita dkk (2006).37,38,39 Studi kami juga menggunakan cara TTGO sesuai WHO 1999 dengan sampel darah kapiler yang diperiksa dengan alat glucometer.

Beberapa studi mencoba mencari hubungan antara skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah. Holstein dkk (2002), mendapatkan bahwa pada Child Pugh A memiliki kadar glukosa darah yang lebih rendah dibandingkan Child Pugh B dan C walaupun secara statistik tidak ada perbedaan bermakna.5 Alavian dkk (2004), mendapatkan bahwa 9,6 kali lebih mungkin untuk kejadian diabetes pada skor Child Pugh yang lebih tinggi (OR = 9,6, 95% Cl: 1,0 – 88,4).6 Studi kami ini mendapatkan bahwa ada perbedaan rerata kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa antara penderita sirosis hati berdasarkan Child Pugh. Kami juga mendapatkan bahwa


(57)

ada korelasi positif bermakna antara skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah puasa (r=0,671 , p=0,000) dan kadar glukosa darah 2 jam beban glukosa (r=0,730 , p=0,000). Ini berarti semakin tinggi nilai skor Child Pugh semakin tinggi kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa. Kami juga mendapatkan adanya korelasi positif bermakna antara kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa dengan bilirubin dan waktu protrombin. Didapat juga adanya korelasi negatif bermakna antara kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa dengan albumin.

Keterbatasan studi ini, bahwa merupakan studi potong lintang dengan pengukuran variabel hanya dilakukan satu kali, sehingga hasilnya tidak dapat dipakai untuk menilai perkembangan dan mortalitas subjek selanjutnya, tidak ada alat ukur standar untuk membedakan apakah penderita ini merupakan murni hepatogenous diabetes atau diabetes dulu baru kemudian menderita sirosis hati serta penilaian funduskopi tidak dilakukan oleh dokter spesialis mata yang sama di poliklinik mata. Untuk melengkapi penelitian ini perlu dilakukan penelitian serupa yang menggunakan rancangan kohort yang lebih baik.


(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

5.1.1 Skor Child Pugh berkorelasi positif bermakna dengan kadar glukosa darah pada penderita sirosis hati

5.2.2 Kadar glukosa darah puasa dan 2 jam beban glukosa berkorelasi positif bermakna dengan bilirubin dan waktu protrombin serta berkorelasi negatif bermakna dengan albumin

5.2 Saran

5.2.1. Hasil penelitian ini menunjukkan perlunya untuk pemeriksaan kadar glukosa darah yang diperiksa dengan TTGO sebagai pemeriksaan rutin pada penderita sirosis hati

5.2.2. Perlu untuk dilakukan penelitian yang melibatkan subjek lebih banyak dan dengan rancangan serta cara yang lebih baik untuk memperoleh bukti adanya korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah dan mortalitas pada penderita sirosis hati


(59)

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta. Balai Penerbit FK UI. 2007: 443-51

2. Sherlock S, Dooley J. Anatomy and function. In: Disease of the liver and biliary system. 10th Ed. Blackwell scine. Nalden 1997: 1-16

3. Petrides AS, Stanley T, Matthews DE, Vogt C, Bush AJ, Lambeth H. Insulin Resistance in Cirrhosis: Prolonged Reduction of Hyperinsulinemia Normalizes Insulin Sensitivity. Hepatology 1996; 28: 141-9

4. Perseghin G, Mazzaferro V, Sereni LP, Regalia E, Benedini S, Bazzigaluppi E, et al. Contribution of reduced insulin sensitivity and secretion to the phatogenesis of hepatogenous diabetes; Effect of the Liver Transplantion. Hepatology 2000; 31 (3): 684-703

5. Holstein A. Hinze S, Thiesen E, Plaschke A, Egberts EH. Hepatogenous Diabetes in Liver Cirrhosis. Clinical implications of hepatogenous diabetes in liver cirrhosis. Journal of Gastroentrology and Hepatology 2002; 17: 677-81

6. Alavian SM, Hajarizadeh B, Nematizadeh F, Larijani B. Prevalance and determinants of diabetes mellitus among Iranian patients with chronic liver disease. BMC Endocrine Disorder 2004; 4 (4); 1-7

7. Lecube A, Hernandez C, Genesca J, Simo R. Glucose abnormalities in patients with hepatitis C virus infection. Diabetes Care 2006; 29 (5): 1140-9


(60)

8. Kwon SY, Kim SS, Kwon OS, Kwon KA, Chung MG, Park DK, et al. Prognostic significance of glycaemic control in patients with HBV and HCV related cirrhosis and diabetes mellitus. Diabetic Medicine 2004; 22: 1530-35

9. Nishida T, Tsuji S, Tsujii M, Aritmisu S, Haruna Y, Imano E, et al. Oral glucose tolerance test predicts prognosis of patients with liver cirrhosis. American Journal of Gastroenterology 2006; 101: 70-5

10. Diaz J, Monge E, Roman R, Ulloa V. Diabetes as a risk factor for infection in cirrhosis. American Journal of Gastroenterology 2008; 248: 1-2

11. World Health Organization. Laboratory Diagnosis and Monitoring of Diabetes Mellitus 2002

12. Genuth S, Alberti KG, Bennett P, Buse J, DeFronzo R, Katin R, et al. Follow up report on the diagnosis of diabetes mellitus. Diabetes Care 2003; 26: 3160-7

13. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2006 14. Letiexhe MR, Schreen AJ, Gerard PL, Basten BH, Pirotte J, Belaiche J, et al. Insulin

secreation, clearance and action on glucose metabolism in cirrhosis patients. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 1993; 1263-6

15. Gomez MR. Insulin resistance and hepatitis C. World J Gastroenterol 2006; 12 (44): 7075-80

16. Tilg H, Wilmer A, Vogel W. Serum levels of cytokines in chronic liver disease (abstract). Gastroenterology 1992: 103; 264-74

17. Streetz KL, Tacke F, Leifeld L. Interleukin 6/gp 130-dependent pathways are protective during chronic liver diseases (abstract). Hepatology 2003: 38; 218-29


(61)

18. Elsing C, Harenberg S, Stremmel W, Herrman T. Serum levels of soluable fas, nitric oxide and cytokines in acute decompensated cirrhotic patients. World J Gastroenterol 2007: 13 (3): 421-25

19. Yagmur E, Trautwein C, Gressner AM, Tacke F. Resistin serum levels are associated with insulin resistance, disease severity, clinical complication and prognosis in patients with chronic liver disease. American Journal of Gatroenterology 2006: 101; 1244-52

20. Kakizaki S, Sohara N, Yamazaki Y, Horiguchi N, Kanda D, Kabeya K, et al. Elevated plasma resistin concentration in patients with liver cirrhosis. Journal of Gastroenterology and Hepatology 2008: 23; 73-7

21. Greco AV, Mingrone G, Mari A, Capristo E, Manco M, Gasbarrini G. Mechanism of hyperinsulinemia in Child’s disease grade B liver cirrhosis investigated in free living conditions. Gut 2002: 51; 870-75

22. Cavalio P, Cassader M, Bozzo C, Bruno A, Nuccio P, Daliomo AM, et al. Mechanism of insulin resitance in human liver cirrhosis Evidance of a combined receptor and postreceptor defect. J. Clin. Invest 1985: 75; 1659-65

23. Peterson KF, Krssak M, Navarro V, Chandramouli V, Hundal R, Schumann WC, et al. Contributions of net hepatic glycogenolysis and gluconeogenesis to glucose production in cirrhosis. Endocrinol Metab 1999: 39; E529-35

24. Changani KK, Jalan R, Cox IJ, Korpela MA, Bhakoo K, Robinson SDT, et al. Evidance for altered hepatic gluconeogenesis in patients with cirrhosis using in vivo 31 phosphorus magnetic resonance spectroscopy. Gut 2001: 49; 557-64


(62)

25. Karam JH, German MS. Pancreatic Hormone and Diabetes Mellitus. In: Greenspan FS, Gardner DG. Basic and clinical endocrinology. 7th ed New York : Mc Graw Hill 2004. p658-46

26. MCNeely M. Case study : Diabetes in patient with cirrhosis. Clinical Diabetes 2004: 22 (1); 42-3

27. Tolman K, Dalpiaz A, Fonseca V, Tan MH. Spectrum of liver disease in type 2 diabetes and management of patients wity diabetes and liver disease. Diabetes Care 2007: 30 (3); 734-43

28. Amirudin R. Fisiologi dan biokimia hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta. Balai Penerbit FK UI. 2007: 415-9

29. Pemberian albumin pada sirosis hati. Konsensus FKUI-PPHI 4 Juli 2003; 1-2

30. Schianca GP, Rossi A, Sainaghi PP, Maduli E, Bartoli E. The significance of impaired fasting glucose versus impaired glucose tolerance. Diabetes Care 2003; 26 (5); 1333-7

31. Diabetes Guidelines Health-care Europe Type 2. Available from : http://www. .staff.ncl.ac.uk/philip.home/t2dgch1a.htm. Cited et November 2007

32. Glucosemeter. Available from : http://www.en.wikipedia.org/wiki/Glucose-meter. Cited et November 2007

33. Rolka DB, Narayan KMV, Thompson TJ, Goldman D, Lindenmayer J, Alich K, et al. Performance of recommended screening test for undiagnosed diabetes and dysglycemia. Diabetes Care 2001: 24 (11); 1899-903


(63)

34. Weitgasser R, Hofmann M, Gappmayer B, Garstenauer C. New, small, fast acting blood glucose meters-an analytic laboratory evaluation. Swiss Med Wkly 2007: 137; 636-40

35. Shah A, Kendall G, Demme RA, Taylor J, Bozorgzadeh A, Orloff M, et al. Home glucometer monitoring markedly improves diagnosis of post renal transplant diabetes mellitus in renal transplant recipients. Clinical Transplantation 2007: 80 (6); 775-81

36. Gupta A, Gupta YV, Kumar S, Kotwal R. Screening of gestational diabetes mellitus with glucose challenge test in high risk group. JK science 2006: 8 (2); 89-91

37. Vinita D, Vaishali J, Anjoo A, Amita P, Sushma P, Agarwal CG. Glucometer screening of gestational diabetes. The journal of obstetrics and gynecology of India 2006: 56 (6); 499-501

38. Ciulla TA, Amador AG, Zinman B. Diabetic retinopathy and diabetic macular edema. Diabetes Care 2003: 26 (9); 2653-64

39. Watkins. ABC of diabetes Retinopathy. BMJ 2003: 326; 924-6

40. Fujiwara F, Ishii M, Taneichi H, Miura M, Toshihiro, Takebe N, et al. Low inciden of vascular complications in patients with diabetes mellitus associated with liver cirrhosis as compared wity type 2 diabetes mellitus. Tohoku J Exp. Med 2005: 205; 327-34

41. Dahla MS. Statistika untuk kedokteran dan kesehatan. Arkans Jakarta 2005: 1-29 42. Dahla MS. Besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Arkans


(64)

LAMPIRAN I MASTER TABEL

LAMPIRAN 1

MASTER TABEL PASIEN PENELITIAN

KORELASI SKOR CHILD PUGH DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA

Selisih KGD KGD KGD NO Umur SEX HB PLT KGD ad SGPT Bil Alb PT

PT Etiologi Ascites HE puasa

1/2 jam

1 jam

1 30 Lk 11.4 340,000 85 55 1.36 2.92 17.3 2,90 Hep B + + 131 129 219 2 64 Pr 11.5 94,000 95 45 1.82 3.5 18.8 4,4 Hep B + - 102 166 206 3 58 Lk 11.6 144,000 95 110 2.57 3.99 14.7 0,3 Hep C - - 102 198 176 4 58 Lk 7 193,000 178 48 1.58 3.08 16.3 1,9 Hep B + + 192 222 262 5 42 Lk 8.5 64,000 102 81 8.04 2.47 36.1 21,7 Hep C - - 236 132 196 6 66 Lk 7.9 74,000 189 85 1.37 2.47 17 2,6 Hep C + - 102 141 274 7 47 Lk 13.8 174,000 121 52 1.82 4.32 13.6 0,10 Hep B - - 100 254 232 8 55 Pr 12.7 62,000 132 58 1.44 5.24 14.2 2,00 Hep B - - 98 201 189 9 37 Lk 12 250,000 168 51 1.59 4 16.2 2,70 Hep B - - 100 268 255 10 42 Lk 10.3 102,000 62 54 2.01 3.3 16.9 2,50 Hep B - - 109 129 174 11 35 Lk 11.1 107,000 154 84 5.38 2.97 25 0,60 Hep C + + 292 350 202 12 58 Lk 11.4 100,000 134 43 8.85 3.26 20.2 5,80 Hep B + + 90 124 130 13 40 Lk 10.9 68,000 145 54 4.51 2.04 28.8 12,4 Hep B - - 206 120 150 14 43 Pr 5.9 79,000 178 88 3.55 2.68 16 1,60 Hep C + - 283 267 253 15 56 Lk 9.5 50,000 165 57 1.63 2.46 24.1 9,70 Hep B + + 120 203 198 16 62 Pr 8 45,000 167 83 5.47 2.3 16.8 4,1 Hep C + + 215 257 234 17 50 Pr 9.8 74,000 81 57 7.44 2.7 17 4,10 Hep B + + 159 286 133 18 52 Lk 4.1 69,000 123 51 0.85 1.65 21.6 7,2 Hep B + + 100 216 202 19 60 Pr 5.3 64,000 95 59 1.85 4.25 18.2 4,4 Hep B - - 101 189 176 20 46 Lk 13.6 91,000 98 115 1.7 4 16.2 2,70 Hep B - - 98 178 167 21 50 Lk 8.6 147,000 172 53 1.23 2.84 16 1,60 Alkohol + - 98 187 150 22 59 Pr 9.6 116,000 137 52 3.88 3.33 15.3 0,9 Hep B + - 110 207 234 23 48 Pr 7.8 67,500 109 57 1.06 3.16 18.3 3,9 Hep B + + 123 211 207 24 45 Lk 11.3 57,900 165 95 2.58 3.83 20.6 6,20 Hep B + - 113 252 200 25 43 Lk 16.6 78,000 124 188 1.95 4.95 12 0,80 Hep B - - 93 221 198 26 51 Pr 15.5 106,000 143 56 1.5 4.81 17.9 5,50 Hep B - - 99 232 201 27 46 Lk 6.75 63,700 190 53 0.79 2.02 17.9 3,5 Alkohol + + 120 138 145 28 71 Pr 10.2 112,000 178 102 3.8 2.42 19.5 5,10 Hep B + - 283 152 190 29 69 Lk 11.8 151,000 96 50 0.83 3.06 12.8 1,6 Hep B + - 103 162 175 30 28 Lk 13 104,000 132 124 0.98 3.65 20 5,60 Hep B + - 115 234 201 31 48 Lk 9.68 96,600 145 50 2.77 3.73 22.9 8,50 Hep B - - 112 245 201 32 66 Lk 6.7 286,000 76 89 2.11 2.5 14.7 1,5 Hep C - - 111 214 164 33 71 Lk 11.3 168,000 152 55 1.86 2.36 14.2 1,2 Alkohol - - 115 241 292 34 49 Lk 11.2 70,000 120 92 4.3 2.2 16.5 3,10 Hep B + - 129 138 220 35 53 Pr 13.1 283,000 116 58 1.76 2.4 14 1,00 Hep B + + 102 126 157 36 44 Pr 9.1 90,000 108 99 11.59 1.9 14 1,0 Hep B + + 123 153 133


(65)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Selamat pagi/siang Bapak/Ibu, pada hari ini saya dr Jannus Sitorus, akan melakukan penelitian yang berjudul “Korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah pada penderita sirosis hati”. Kriteria Child Pugh merupakan kriteria standar sebagai petanda keparahan pada penderita sirosis hati dimana kriteria dibedakan atas Child Pugh A, B dan C yang masing-masing memiliki skor. Child Pugh C tingkat keparahannya yang paling berat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai korelasi skor Child Pugh ini dengan kadar glukosa darah dimana diduga gradasi semakin tinggi maka kadar glukosa darah semakin tinggi pada penderita sirosis hati.

Bapak/Ibu akan diambil darah untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium darah, USG abdomen dan ditentukan ada tidaknya ascites dan gangguan neurologi untuk menentukan skor Child Pugh. Pengambilan darah dilakukan oleh orang ahli sehingga tidk menimbulkan resiko saat pengambilannya serta USG abdomen dilakukan oleh operator yang ahli. Untuk Tes Toleransi Glukosa Oral, sampel darah yang diambil dari darah kapiler dari ujung jari tangan dan dinilai dengan alat glucometer.

Setelah hasil didapati maka nanti diambil suatu kesimpulan bagaimana korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah pada penderita sirosis hati.

Bila masih terdapat pertanyaan, maka Bapak/Ibu dapat menghubungi saya. Nama : dr. Jannus Sitorus

Alamat : Jl. Vanili Raya No. 94 Medan Telepon : (061) 77610732

Peneliti


(66)

LAMPIRAN 3

LEMBAR PERSETUJUAN SUBJEK PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : ... Alamat : ... Umur : ... Jenis Kelamin : ...

setelah mendengar penjelasan dari peneliti tentang kebaikan dan keburukan prosedur penelitian ini menyatakan setuju ikut dalam penelitian tentang korelasi skor Child Pugh dengan kadar glukosa darah pada penderita sirosis hati.

Demikianlah lembar persetujuan subjek penelitian ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Medan, ... 2008

...


(67)

LAMPIRAN 4

PROFIL PESERTA STUDI

I. ANAMNESIS PRIBADI

Nama : ... Alamat : ... Jenis Kelamin : ... Pekerjaan : ... Suku : ... Status : ...

II. PEMERIKSAAN FISIK

Liver Stigmata : - spider nevi ( ) - eritema palma ( ) - kolateral vein ( ) - ascites ( )

- splenomegali ( ) - hematemesis ( ) - melena ( )

Gangguan neurologi ( )

III. USG ABDOMEN

...

IV. LABORATORIUM

Darah Lengkap : ... ... T. protein : mg/dl, Albumin : mg/dl Globulin : mg/dl Bil. total : mg/dl, bil. direct : mg/dl, ALP : U/L, SGOT : U /L, SGPT : U/L, Hbs Ag ( ), anti HCV ( ) Masa Protrombin : detik TTGO : KGD puasa : mg/dl, KGD ½ jam beban : mg/dl

KGD 1 jam beban : mg/dl, KGD 1 ½ jam beban : mg/dl KGD 2 jam beban : mg/dl


(1)

LAMPIRAN 6

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Jannus Sitorus

NIP : 140354245

Pangkat /Golongan : Penata / IIIc

Tempat/ tgl lahir : Madiun, 08 Desember 1969

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Vanili Raya No. 94 Medan

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD ST Antonius Medan : Ijazah tahun 1983

2. SMP P Cahaya Medan : Ijazah tahun 1986

3. SMA Negeri 1 Medan : Ijazah tahun 1989

4. Fak.Kedokteran USU Medan : Ijazah tahun 1996

III. PENGALAMAN KERJA

1. Kepala Puskesmas Enggano 1997-1998

2. Kepala Puskesmas Pondok Kopi 1998-2000

3. Kepala Puskesmas Lubuk Pinang 2000-2003


(2)

IV. KEANGGOTAAN PROFESI

1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

2. Persatuan Ahli Penyakit Dalam (PAPDI)

V. KARYA ILMIAH DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM.

1. Jannus Sitorus, Josia Ginting, Umar Zein. Antiretroviral side effects among HIV AIDS patients in Adam Malik Hospital. PDPAI Jakarta 26-28 November 2005 2. Jannus Sitorus, Haris Hasan, Refli Hasan. Percutaneous Coronary

Intervension in Diabetic Patients. 11th NCIHA, 15th ASMIHA Medan, 19-22 April 2006

VII. PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH.

1. Panitia dan peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan V 2004. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU. Medan, 4-6 Maret 2004.

2. Peserta simposium Putting Patients First : A New Paradigm in Treatment of Erectile Dysfunction. Medan, 14 Maret 2004.

3. Peserta simposium overactive bladder : Exposing The Hidden Problem.Medan, 20 Maret 2004.

4. Peserta simposium Infections Update 2004. “Strategi Pengenalan Infeksi Menuju Indonesia Sehat 2010”. Medan, 24 Juli 2004.

5. Panitia dan peserta Gastroentero-Hepatologi Update 2004. Medan, 17-18 September 2004.


(3)

6. Panitia dan peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan VI Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU “Dengan Penyegaran Ilmu Penyakit Dalam kita meningkatkan Pelayanan Kesehatan yang Lebih Profesional”. Medan, 3-5 Maret 2005.

7. Panitia dan peserta Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Ilmu Penyakit Dalam. “Awareness of Emerging and Reemerging Infectious Diseases”. Medan, 4-6 Maret 2005.

8. Peserta simposium The 3rd New Trend Cardiovascular Management. Medan, 6 -8 Juni 2005.

9. Panitia dan Peserta Workshop USG. Gastroentero-Hepatologi Update III. Medan, 5 Agustus 2005.

10. Pembicara free oral presentation pada Perhimpunan Dokter Peduli AIDS

Indonesia 2005 Jakarta, 26-28 November 2005.

11. Peserta pada Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia 2005 Jakarta, 26-28 November 2005.

12. Peserta Seminar Peranan VCT dan CST dalam Penanganan Kasus HIV/AIDS

(Peringatan Hari Aids Sedunia 1 Desember 2005). Medan, 3 Desember 2005. 13. Panitia dan Peserta Gastroentero-Hepatologi Update III 2005. Medan,

14. Peserta Lounching Symposium Olmetec, experience the zone. Medan 14

Januari 2006.

15. Panitia dan Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VII 2006 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU. Medan, 2-4 Maret 2006.


(4)

17. Pembicara free oral presentation 15th Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association. “Better Understanding in The Management of Cardiovascular Disease”. Medan, 19-20 April 2006.

18. Peserta Simposium IDI Cabang Medan dan Singapore Medicine “ Partnership in Healthcare : A Continual Sharing Relationship”. Medan, 13 Mei 2006.

19. Panitia dan Peserta workshop “ Management of Chronic Hepatitis C in Daily Practice”. Medan, 10 Juni 2006.

20. Peserta 13th National Congress of the Indonesian Society of Internal Medicine (KOPAPDI XIII). Palembang, 6-9 Juli 2006.

21. Panitia dan peserta Kongres Nasional PETRI XII, PERPARI VIII, PKWI IX, Simposium Infections Update III 2006 PETRI-PERPARI-PKWI Cabang SUMUT. Medan, 28-29 Juli 2006.

22. Peserta Workshop USG pada Simposium Gastroentero-Hepatologi Update IV. Medan 7 September 2006.

23. Panitia dan peserta simposium Gastroentero-Hepatologi Update IV. Medan 8-9 September 2006.

24. Peserta simposium Integrated Clinical Management of Patients at High Risk of Vascular Events, Departemen Neurologi FK USU – RS H.Adam Malik Medan. Medan, 25 Nopember 2006.

25. Peserta Workshop ECG in Daily Practice. Medan, 14 April 2007. 26. Peserta Road Show PAPDI 2007. Medan 14 April 2007.


(5)

28. Peserta simposium Meningkatkan Peran Trombosis-Hemostasis Dalam Multi Disiplin Ilmu Kedokteran. Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia Cabang Medan –Sumatera Utara. Medan, 1-2 Mei 2007.

29. Peserta The 3rd Simposium on Critical Care and Emergency Medicine. Medan, 4-5 Mei 2007.

30. Peserta simposium Diabetes, The Vitamin dan Mineral Antioxidans

Connection. Medan, 26 Mei 2007.

31. Peserta simposium “ Current Issues in the Management of Gastritis and

Gastropathy”. PPHI, PEGI, PGI Divisi Gastroentero-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik. Medan, 9 Juni 2007.

32. Peserta simposium The 4th New Trend in Cardiovascular Management.

Medan, 15-16 Juni 2007.

33. Peserta simposium “New hope for smokers” Ikatan dokter Indonesia Wilayah Sumatera Utara. Medan, 1 September 2007.

34. Peserta Workshop Hepatitis & Simposium Gastroentero-Hepatologi update V 2007. Medan, 9-10 Nopember 2007.

35. Peserta simposium “New Paradigm in Maintenance Fluid Therapy” Medan, 17 Nopember 2007.

36. Panitia dan peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VIII 2007 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU. Medan, 8-10 Maret 2007.

37. Peserta simposium Road Show 2008 Eli Lilly Insulin Training for Excellence Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB


(6)

38. Peserta Workshop “Hemostasis & Thrombosis Dan Penatalaksanaan Demam Dengue” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 14 April 2008.

39. Peserta simposium “How to Choose an Appropriate OAD” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 15 April 2008.

40. Peserta simposium “New Era in Therapeutic Options” Pertemuan Ilmiah

Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 17-19 April 2008.

41. Peserta The 4th Symposium on Critical Care and Emergency Medicine.

Medan, 9-10 Mei 2008.

42. Peserta Workshop Disfungsi Tiroid Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

(PERKENI) Cabang Medan. Medan, 24-25 Mei 2008.

43. Peserta simposium “Fucoidan, Nature’s Way for Faster Peptic Ulcer Healing”. Medan, 14 Juni 2008.

44. Peserta simposium ” Symposium of Venous Thromboembolism”. Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia Cabang Medan/ Sumatera Utara. Medan, 26 Juli 2008