Guru Antara Profesi dan Profetik

Guru: Antara Profesi dan Profetik
Oleh: Fikri Mahzumi
Semakin banyak kasus yang terjadi dalam dunia penddikan dewasa ini
mengantarkan pada refleksi apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan ini relevan
untuk mengurai carut marut proses edukasi di Indonesia yang multi problematik.
Tidak hanya persoalan sistem, kurikulum atau kelembagaan di dalam dunia
pendidikan, tapi juga subyek di dalamnya yakni guru dan siswa. Kenakalan,
dekadensi moral, kriminalitas dan sederet kasus mencoreng predikat subyek siswa.
Tidak berhenti disini, pendidik pun terseret pada arus problematika komunitas
terpelajar ini. Selain kompetensi dan profesionalitas, masih ada pertanyaanpertanyaan mendasar yang tertuju pada guru sehingga menjadi tertuduh sebagai
bagian dari soal-soal yang harus dijawab. Sejumput dari potret tidak sedap itu
adalah kekerasan yang melibatkan guru dan berujung di meja hijau.
Kasus kekerasan yang melibatkan guru sering menjadi trend berita yang mencuat
akhir-akhir ini. Dan kebanyakan dari berita tersebut menyudutkan pihak guru
sebagai tertuduh dan dipersalahkan. Ada yang mengistilahkan dengan kriminalisasi
guru, ada juga yang menyebut sebagai oknum guru atau sebagainya. Tapi, publik
mencerna bahwa ada yang salah dengan figur guru secara umum. Harapan yang
semestinya, guru adalah sosok yang didengar dan diteladani (jawa: digugu lan ditiruakronim dari guru) mulai dipertanyakan dan digugat. Memang kelihatan tidak adil
apabila beberapa individu yang berbuat kemudian menciderai profesi mulia ini dan
itulah fakta yang terjadi.
Kekerasan di dunia pendidikan jadi sorotan dan amatan publik didukung oleh

regulasi yang menentang tindak kekerasan terhadap anak, seperti dalam UU
Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2003 Bab 54 “Guru dan siapapun lainnya di
sekolah dilarang memberikan hukuman fisik kepada anak-anak” ditambah dengan
keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan Konvensi PBB untuk hak-hak anak
dimana pada artikel ke-37 jelas dinyatakan “negara menjamin tak seorang anakpun
boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya.” Sehingga kasus kekerasan
baik fisik dan psikis oleh guru kepada siswa menjadi perhatian serius semua pihak
berkepentingan juga publik. Setiap kasus yang terendus menjadi headline di media
massa. Tidak memandang lembaga, label institusi agama pun dalam pengawasan.
Untuk mengawali uraian ini, dalam PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru
menyebutkan bahwa istilah guru dijelaskan sebagai “pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” Sebagaimana termaktub dalam
ketentuan umum. Jika dicerna secara seksama ada kata kerja operasional yang harus
melekat pada diri setiap guru yang bergaris bawah. Selanjutnya, pada bab berikut
dijabarkan tentang kompetensi yang harus dimiliki seorang guru meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.


Tawaran Ideal
Jika penjelasan dari Peraturan Pemerintah diatas digabungkan akan mengantarkan
pada pengertian bahwa guru adalah individu yang melekat dalam dirinya tugas dan
kewajiban. Belum lagi jika ditambah penjabaran dari kompetensi melalui indikatorindikator yang secara sepesifik dipahami guru merupakan sosok sempurna tanpa
cela dan patut dijadikan profil panutan oleh siswa. Tapi, pertanyaan klise muncul
“adakah manusia tanpa salah dan kekurangan”, tentu jawabannya pasti “tidak”.
Guru adalah bagian dari manusia yang sudah dipastikan sebagai subyek yang tidak
bisa terhindar dari salah. Dan yang fundamental dari dasar hukum tentang guru di
atas bahwa titik beratnya ada pada aspek pekerjaan dan cernderung normatif saja.
Tidak mengurai aspek keteladanan yang mestinya lebih utama.
Jika titik tekan pemahaman tentang profil guru hanya pada aspek profesi, maka bisa
dipastikan kegagalan pendidikan akan terjadi. Tanda-tanda ini semakin tampak,
penddikan hanya memperioritaskan kongnitif, bukan afektif dan intelektual, bukan
moral. Pendidik dan didukung oleh common sense hanya perduli pada hasil belajar
yang diterjemahkan ke dalam angka, hal-hal administratif dan materil. Padahal jauh
hari, Ki Hajar Dewantara seorang pioner dunia pendidikan Indonesia telah
berupaya membagun rel dengan konsep “Tringa”, perwujudan integratif dari proses
dasar yang meliputi; ngerti (mengetahui), ngeroso (merasa) dan ngelakoni
(melakukan). Dalam belajar tiga aspek ini memiliki intensitas yang sama, tidak berat
sebelah atau dalam bahasa Ki Hajar “seimbang”.

Serupa dengan konsep diatas, Benjamin S. Bloom mengembangkan tiga aspek dasar
pembelajaran yakni kongnitif, afektif dan psikomotorik yang dikenal dengan istilah
“Teori Domein”. Lalu mari melacak apa yang dikenalkan Islam tentang pendidikan
dari ayat al-Quran yang berurutan tentang ajaran hikmah Lukman kepada anaknya,
pertama “jangan menyekutukan Allah” (QS. Lukman: 13), ini merupakan ranah ngerti
(kognitif). Ilmu mengantarkan pemiliknya untuk mengerti dan memahami sesuatu
yang ia pelajari. Pada konteks ini Lukman mengajarkan tauhid tentang Allah
sebagai dasar pengetahuan asasi yang memuat didalamnya prinsip-prinsip
kebenaran yang diyakini, bahwa Allah tidak serupa dengan apapun yang Ia
ciptakan, maka jangan dibandingkan apalagi disejajarkan.
Pada ayat berikut dalam surat yang sama, prinsip kedua yang diajarkan Lukman
“jangan khawatirkan hidupmu” (QS. Lukman: 16), aspek ngeroso (afektif) lebih dekat
dengan apa yang tersirat dari pemahaman ayat tersebut. Jika seorang sudah
berilmu, maka ia tidak lagi risau dengan probabilitas yang melingkupi
kehidupannya, melainkan perasaan yakin akan dihantar oleh pengetahuan dan
pemahaman yang telah dipercaya kebenarannya. Ilmu itu yang mengantarkan pada
sikap optimis bahwa Allahlah yang menjamin kebutuhan ciptaan-Nya. Maka upaya
dan usaha adalah luaran dari keyakinan tersebut.
Selanjutnya termaktub pada ayat berikutnya, Lukman mengajarkan “jalankan syariat
dan ber-etiketlah” (QS. Lukman: 17-19). Ajaran ini titik tekannya pada ranah ngelakoni

(psikomotorik), artinya selain mengetahui, merasakan ada aspek utama selanjutnya
yakni pembuktian praktis dari ilmu dan rasa. Ini dibuktikan dengan perbuatan taat

menjalankan syariat dan berakhlak sebagaimana ditunjukkan Allah dari dalil-dalil
yang dipesankan dari ayat-Nya. Dari tiga ajaran hikmah yang dijelaskan dalam alQuran yang dinisbatkan kepada proses edukasi Lukman kepada anak-anaknya, bisa
dipastikan Islam punya konsep yang lebih dulu tentang pendidikan yang baik dan
ideal bagi umat manusia.
Jibril Jadi Guru
Dari tiga aspek dasariah yang mestinya melekat erat menjadi satu kesatuan dalam
proses mendidik ngerti, ngeroso dan nglakoni. Guru harus dapat melengkapi tiga
kebutuhan asasi dari murid, santri, siswa dan apapun sebutan lain dari pembelajar
tersebut. Untuk dapat memenuhi kebutuhan itu, guru harus sudah melewati tiga
standar yang telah disebutkan tadi, ini yang dimaksud dengan profesional. Bukan
semata profesi dalam arti kerja, tugas dan tindak formal untuk mendapatkan hak
imbalan (gaji, honor atau bisyaroh), melainkan tanggung jawab penuh terhadap
pemenuhan kebutuhan asasi edukasi yang dimaksud.
Sosok Jibril pun menjadi pendidik yang mencerminkan profil ideal dari seorang
guru, sebagaimana yang diriwayatkan dalam banyak hadis. Diantaranya hadis yang
menjelaskan proses pembelajaran Jibril kepada Nabi tentang wudlu dan solat,
meskipun singkat proses mendidik yang digambarkan telah memenuhi tiga prinsip

dasar edukasi. Pertama transfer pengetahuan solat, objektifikasi solat dan terakhir
tindak solat, pun demikian dengan wudlu atau beberapa riwayat hadis tentang
pengalaman pembelajaran yang terjadi antara Jibril dan Nabi.
Perhatikan pada riwayat hadis lain yang populer dan menjadi potret proses edukasi
(taklim) antara Jibril dan Nabi tentang islam, iman dan ihsan sebagai berikut:
“ Dari Umar bin Khattab ra., berkata: sewaktu kita duduk bersama rasulullah saw.
pada suatu hari, tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang mengenakan pakaian sangat
putih dan bersih, berambut hitam pekat, tidak disadari saat datang dan tidak
seorangpun di antara kita yang mengenalnya. Sehingga ia duduk sangat dekat
dengan Nabi, sampai-sampai dua lutut keduanya bertemu dan saling menempel,
lalu ia meletakkan telapak tangannya di atas paha Nabi. Dan berkata: wahai
Muhammad, beritahu aku tentang Islam! Rasulullah menjawab, islam itu jika kamu
bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya,
kamu juga bersalat, berzakat, berpuasa ramadlan, dan berhaji kalau kamu sudah
mampu. Ia menimpali, benar. Ini mengherankan kami, kata Umar. Ia bertanya dan
juga membenarkan. Lalu berkata, beritahu aku tentang Iman! Rasulullah menjawab,
berimanlah kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para utusan, hari akhir, dan
takdir baik atau buruk. Lantas ia berucap, benar. Ia meneruskan, beritahu aku
tentang ihsan! Nabi pun menjawab, Sembahlah Allah seolah kau sedang
memandang-Nya, jikalau kau tidak dapat mencapai hal itu, maka ketahuilah Allah

pasti selalu memandangmu. Ia melanjutkan, beritahu aku tentang kiamat! Nabi
menjawab, Penanya lebih tahu daripada yang ditanya. Beritahu aku tentang tandatanda kiamat! Nabi berkata, jika seorang ibu melahirkan tuannya, dan jika banyak
pengembala fakir yang tak beralas kaki dan telanjang berlomba mempertinggi
bangunan tempat tinggal mereka. Ia lantas pergi dalam sekejap, kata Umar. Nabi

kemudian bertanya padaku, apakah kau tahu siapa penanya tadi? Aku menjawab,
Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu. Nabi meneruskan, ia adalah Jibril yang datang
untuk mengajarkan agama kepada kalian”. (HR. Muslim dan Abu Daud)
Dari riwayat hadis di atas, proses mendidik yang dituntunkan oleh Jibril dan Nabi
memiliki aspek pembangun yang menarik dan perlu untuk digarisbawahi.
Keakraban antar pendidik dan pembelajar terjadi, konsep ini sekarang dikenal
dengan “pembelajaran ramah” dalam prinsip asah, asih dan asuh. Konsep ini
memiliki indikator metodis, variatif, komunikatif, interaktif, evaluatif dan umpan
balik. Kentara sekali ikatan yang kuat dari hadis tersebut antara Jibril dan nabi tidak
hanya sebatas transfer ilmu, tapi juga secara fisik dan emosional terjadi interaksi
yang intens. Inilah yang penting jadi catatan untuk model guru di Indonesia nirkekerasan.
Profesi dan Profetik Imbang
Tuntutan terhadap profesionalitas guru memang tetap harus jadi sorotan, supaya
kualitas pendidikan Indonesia secara keseluruhan semakin meningkat dan berdaya
saing dengan negara-negara lain. Indikator profesionalitas harus semakin rinci,

sehingga tidak ada peluang bagi pendidik untuk menghindar dari standar
kompetensi dan kapabelitas yang dituntut. Pun demikian dengan hak guru yang
juga harus ditingkatkan menyangkut kesejahteraan dan penopang untuk aktifitas
peningkatan profesionalitas.
Swisher dan Page (2005) memberi definisi profesionalisme adalah “keyakinan yang
telah dihayati...meliputi kewajiban, atribut, interaksi, sikap, nilai dan teladan”. Jika
merujuk pada Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah pada bab akhir, yang mengurai ideidenya terkait pendidikan, titik tekan untuk mengukur profesionalitas adalah
keahlian dan keteladanan. Sebagaimana yang tergambar bahwa ukuran atau
indikasi pendidik profesional jika ia dari sisi teori telah mendapat pengakuan dari
masyarakat dalam bidang tertentu, menjadi ahli. Dan tidak berhenti pada teori ia
juga sampai pada tataran praktis, bisa diteladani dari sikap yang tampak
daripadanya.
Dari dasar ini kemudian, profesional dipastikan penting dan jadi acuan proses
edukasi untuk guru. Selain, profesionalitas berikutnya adalah mendidik dengan hati
dengan meniru profil Nabi Muhammad saw. yang menjadi guru sepanjang zaman
bagi para sahabat, keluarga dan umatnya sampai saat ini, diistilahkan profetik.
Sudah nyata dan tak terbantahkan sosok Nabi, sebagaimana termaktub dalam alQuran dan tersirat dari hadis adalah teladan yang telah mendidik umatnya dengan
hati. Para Nabi Allah memiliki sifat pendidik; fathanah (kapabel), amanah (integritas),
shidiq (jujur) dan tabligh (komunikatif). Dari sifat-sifat itulah terbangun kesadaran
profetik, dalam al-Quran diistilahkan dengan uswah hasanah (QS. Al-Ahzab: 21).

Maka, tidaklah seseorang diteladani dan dijadikan panutan jika pada dirinya tidak
ditemukan keteladanan dari sifat dan perilakunya.
Muhammad Abdul Ghofar mengutip pandangan al-Hakim at-Tirmidzi di
(www.dralsherif.net) yang menjelaskan bahwa uswah hasanah adalah menjadikan

para Nabi sebagai model untuk dianut dan diikuti ucapan dan tindakannya. Jika
dikaitkan dengan role model guru ideal yang mampu menghayati dan
menyeimbangkan antara profesi dan profetik, maka pastinya meneladani apa yang
telah diajarkan oleh Nabi dalam melakukan edukasi, maka pendidikan di Indonesia
tidak akan semakin terpuruk pada masa mendatang. Secara sadar tanggung jawab
pendidikan bukan hanya dibebankan hanya kepada pendidik, semua pihak
memiliki peran dan fungsinya, keluarga, pemerintah dan publik juga harus hadir
mensukseskan cita-cita pendidikan, untuk mengantarkan anak-anak bangsa menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur,
cerdas dan terampil serta sehat jasmani maupun rohani sebagaimana dicita-citakan
Ki Hajar dan tertuang dalam cita-cita pendidikan nasional.
Memang gerakan ke arah ideal demikian tidak mudah, sejak diawali berdirinya
Taman Siswa yang didirikanya pada 3 Juli 1922, sudah 94 tahun saat ini pendidikan
di Indonesia masih dalam kondisi yang belum mapan. Tapi, tidak ada yang lebih
baik dari sikap optimis untuk menggantungkan sebuah harapan yang dicita-citakan

oleh bangsa ini. Guru harus bisa menahan diri dalam proses pembelajaran untuk
tidak bersikap diluar kewajaran, apalagi muncul kekerasan baik fisik dan metal.
Karena pada dasarnya siswa adalah anak-anak bangsa yang akan melanjutkan
estafet berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Pun pemerintah, harus semakin berbenah untuk urusan pendidikan. Tidak hanya
menuntut pendidik dan peserta didik untuk mencapai target formal dan
administratif tapi mengenyampingkan kualitas dan makna intrinsik pendidikan
yang menyenangkan dan membahagiakan. Tidak membuat kebijakan yang
menyebabkan kondisi tertekan secara mental bagi guru dan siswa. Sebagaimana
yang dikaryakan oleh Ibnu Khladun di Muqaddimah dapat disimpulkan melalui
adagium “bangsa yang maju adalah bangsa yang perduli pendidikan”. Selain pendidik
dan pemerintah, keluarga dan publik adalah tonggak utama dari proses edukasi.
Jika lingkungan (keluarga dan masyarakat) terbentuk dan berdampak positif,
sebagaimana amanah Allah, “jagalah diri dan keluarga kalian” (QS. Al-Tahrim: 6),
tentu menjaga dimaksud adalah membentengi dari aspek-aspek negatif yang
berdampak buruk, bahasa yang dipakai “nar” (neraka) dengan berlandas pada
syariat Allah. (fm/03/06/2016 11:02)