Globalisasi dan Politik Identitas doc

Adhe Nuansa Wibisono
Kajian Terorisme FISIP UI
NPM : 1206299023

Review II
Teori Hubungan Internasional
Sumber Utama : Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘ Globalisation and the politics of

identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘ Critical Theories,
International Relations and the Anti Globalisation Movement ’, (New York : Routledge,
2005)
Tulisan ini merupakan critical review dari artikel Bice Maiguashca, ‘Globalisation and the politics of

identity’, (2005) hal 117-136. Maiguashca pada artikel ini menjelaskan konsep identitas politik dalam
globalisasi. Pada artikel ini Maiguascha akan melihat empat perspektif yang akan dirangkum menjadi
dua pada artikel ini yaitu konsep ‘identitas kolektif’ menurut Scholte dan ‘politik pengakuan’ menurut
Linklater. Pada artikel ini kita akan melihat bagaimana proses identitas terbentuk, selain itu penulisan
ini juga ditujukan untuk merangkum dan membandingkan teori yang sama dari beberapa penulis
berbeda. Kemudian akan dilakukan analisa dan menarik suatu kesimpulan.

Rangkuman

Pada artikel ini Bice Maiguashca mencoba menjelaskan akan masalah
identitas pada globalisasi, ia melihat bahwa identitas-identitas di bawah negara
muncul dan mengemuka pada saat era keterbukaan globalisasi hadir. Kehadiran
kelompok ethno-religius, feminisme, indigenous people yang semakin massif dalam
menujukkan aspirasi akan identitas politik yang mereka perjuangkan. Hal ini
menjadi menarik ketika terjadi pertemuan antara globalisasi, negara-bangsa, dan
kelompok identitas. Globalisasi mengakibatkan semakin pudarnya batas-batas
wilayah dalam konteks negara-bangsa, tetapi mengapa dengan hadirnya globalisasi
kemunculan dari kelompok identitas ini semakin menguat? Apakah dengan hadirnya
globalisasi juga ikut mendorong akan penguatan kedasaran politik dalam kelompokkelompok ini, kesadaran yang mendorong akan pentingnya identitas politik. Bice
Maiguascha mencoba untuk melihat pendapat Scholte mengenai ‘identitas kolektif’
dan pendapat Linklater mengenai ‘politik pengakuan’.
1

Scholte Dan Politik ‘Identitas Kolektif’
Argumen utama Scholte bahwa globalisasi menghasilkan tantangan yang
mendasar atas konsep dan praktik ‘state sovereignty’ kedaulatan negara, terutama
sistem negara yang dipahami oleh kaum realist (Scholte 1996; 2000b). Produksi
global, keuangan, komunikasi dan ancaman seperti kerusakan lingkungan, dapat
melemahkan kemampuan negara untuk melakukan kontrol atas apa yang terjadi di

wilayahnya sendiri. Bersamaan dengan penurunan kedaulatan negara, globalisasi
telah memunculkan identitas politik alternatif yang merefleksikan pola baru dari
identifikasi diri yang lain, yaitu apa yang disebut dengan politik identitas (Scholte
1996 : 39; 2000b: 86, 107). Globalisasi telah memfasilitasi kemunculan dari ‘politik
identitas’ yang sejak tahun 1960-an telah melemahkan posisi dari negara-bangsa
sebagai struktur sosial utama di masyarakat dan juga ikut meningkatkan munculnya
beragam framework alternatif akan struktur sosial. Pada prosesnya, bangunan dari
identitas kolektif bergerak untuk menjadi semakin multidimensi dan tidak pasti.
Scholte melihat identitas kolektif menjadi ‘penanda’ bagi sejumlah gerakan sosial. 1
Untuk menemukan kedekatan interaksi pada saat teknologi globalisasi telah
membuka

ruang

keterbatasan

akan

jarak,


benda,

tempat,

gagasan

yang

nampaknya tidak mencapai sasaran (Scholte 1996 : 55). Dalam perspektif ini,
mobilisasi akan identitas kultural dilihat sebagai upaya untuk mendekatkan
seseorang secara personal dan kultural kepada komunitasnya. Mungkin saja
perspektif ini ada benarnya, gerakan indigenous people juga berupaya untuk
melakukan perlawanan terhadap relasi kekuasaan yang mengancam eksistensi
keberadaan mereka, dengan persenjataan yang tidak berimbang, baik melalui
dominasi dan kekerasan seperti genosida budaya (Maiguashca 1994). 2
Scholte mencoba menjelaskan bahwa globalisasi memberikan kesempatan
kepada kelompok-kelompok identitas untuk menemukan akar identitasnya. Melalui
teknologi informasi yang membuka keterbatasan akses, kelompok identitas
1


Bice Maiguashca,
Maiguashca, ‘Critical
2005), hal 118-119
2
Bice Maiguashca,
Maiguashca, ‘Critical
2005), hal 118-119

Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’ , dalam Catherine Eschle and Bice
Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement ’, (New York : Routledge,
Chapter 7 ‘ Globalisation and the politics of identity’ , dalam Catherine Eschle and Bice
Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement ’, (New York : Routledge,

2

menemukan ruang konsolidasi, ruang pertemuan yang selama ini mungkin dibatasi
oleh kontrol dan pengawasan negara. Dengan adanya ruang pertemuan ini maka
penguatan identitas-identitas kolektif menjadi memungkinkan dan penguatan basis
massa dari kelompok identitas menjadi eksis. Kehadiran kelompok identitas ini
kemudian memberikan saluran alternatif politik bagi gerakan sosial di tengah

melemahnya peran negara dalam era keterbukaan globalisasi ini.

Linklater Dan ‘Politik Pengakuan’
Menurut Linklater masalah yang utama pada teori kritis dalam hubungan
internasional adalah : teori kritis dalam hubungan internasional perlu untuk
memahami

keterkaitan

antara

pengecualian pada tingkatan

kemudian teori kritis seharusnya fokus pada

yang

berbeda,

kedaulatan negara sebagai bentuk


yang bermasalah dari komunitas politik (Linklater 1994 : 129). Negara menurut
Linklater, berada pada titik problematis sejak awal berdirinya, karena negara
dimaksudkan sebagai sistem penyertaan dan pengecualian. Negara memisahkan
warganegara, warga domestik, dari yang dianggap sebagai non-warganeraga, pihak
luar, yang pada akhirnya cara pandang ini membangun batas diantara manusia
yang memiliki identitas kebangsaan yang berbeda. Cara pandang ini juga
digunakan sebagai alat marjinalisasi terhadap ‘ internal other’, yaitu kelompokkelompok minoritas yang hidup di bawah batas-batas negara tetapi dibatasi dalam
partisipasi dan identitas politik.3
Linklater kemudian memberikan formulasi atas permasalahan ini, yaitu
memberikan kebebasan dan keistimewaan kepada tiga sumber utama identitas :

pertama, perbedaan dan keragaman budaya, kedua, afiliasi nasional dan ketiga,
logika universal akan kemanusiaan. Linklater menjelaskan identitas

sebagai

ekspresi dari ikatan sosial kolektif, sebagai representasi dari pengalaman bersama
sejumlah manusia pada kelompok tertentu (Linklater 1996a : 96; 1998 : 180). Lebih
jauh ia mencoba untuk menjelaskan identitas pada istilah kultural dan universal.

Pada titik ini gerakan ‘indigenous people’

3

dan gerakan perempuan, yang

Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’ , dalam Catherine Eschle and Bice
Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement ’, (New York : Routledge,
2005), hal 120

3

dicontohkan sebagai ‘politik pengakuan’ – dilihat sebagai upaya perjuangan akan
perlindungan keragaman budaya.4
Tiga asumsi yang dinyatakan Linklater terkait sifat dari politik pengecualian
dan hubungannya terhadap identitas. Pertama, Linklater percaya bahwa praktik
pengecualian pada dasarnya berkembang sebagai

respon dari keberadaan


perbedaan (differences). Pendapat ini dimunculkan ketika ia menjelaskan, bahwa
‘politik pengakuan menuntut adanya ekspresi sensitivitas kepada perbedaan dan
kemungkinan-kemungkinan baru untuk memperluas berbagai perbedaan pendapat
terkait komunitas politik’ (Linklater 1998 : 187). Kedua, Linklater mengasumsikan
bahwa perbedaan budaya menimbulkan tantangan terbesar bagi struktur dunia
post-Westphalian. Ketiga, dengan memisahkan marjinalisasi budaya di luar dari
praktik-praktik pengecualian, ia nampaknya tidak mengakui alur kompleks dimana
relasi kekuasaan meliputi jender, kelas, ras dan seksualitas yang menghasilkan
dinamika layaknya ragam identitas yang termarjinalkan.5
Bahan Pembanding
Chipkin (2007) menjelaskan politik nasionalisme itu mengakar dari cara
pandang ‘politik kepemilikan’. Kemudian nasionalisme menundukkan segala bentuk
lain dari identitas. Dari cara pandang ini kita dapat melihat bahwa identitas
dibentuk melalui komitmen politik dari satu bentuk komunitas dibandingkan pada
kebebasan untuk mengikuti keinginan manusia untuk mengkonsolidasi satu
identitas. Ruang selalu menjadi perhatian para peneliti antropologis dikarenakan
objek-objek studi penelitian mereka selalu terkait dengan faktor ruang (Lefebvre,
1991; Moore, 1986) dan ini kemudian menjadi dasar bagi beberapa argumen.
Dougan (2004 : 33) berpendapat bahwa konsep-konsep dasar mengenai ruang
memberikan penjelasan-penjelasan kunci mengenai batas (boundaries). Kemudian

pembahasan mengenai batas ini akan mengantarkan kita pada pengertian akan

4

Bice Maiguashca,
Maiguashca, ‘Critical
2005), hal 121
5
Bice Maiguashca,
Maiguashca, ‘Critical
2005), hal 121

Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’ , dalam Catherine Eschle and Bice
Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement ’, (New York : Routledge,
Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’ , dalam Catherine Eschle and Bice
Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement ’, (New York : Routledge,

4

identitas. Dari perpektif ini pembahasan identitas dikaitkan dengan simbol-simbol

yang telah mengakar pada budaya dan batas-batas wilayah.6
Erikson (1950) yang melakukan pendekatan atas penanda identitas melalui
kedekatan antara identitas dengan keamanan. Identitas dilihat sebagai mekanisme
pengendalian kecemasan melalui penguatan rasa kepercayaan, prediktabilitas dan
kontrol sebagai reaksi terhadap perubahan yang menganggu dengan cara
membangun kembali identitas yang telah ada atau membangun sebuah identitas
baru (Kinnvall, 2004). Kemudian Giddens berpendapat bahwa identitas diri terdiri
dari pengembangan atas perasaan yang konsisten akan keberlanjutan biografis
dimana individu mampu mempertahankan narasi tentang pertanyaan diri akan
melakukan, bertindak dan menjadi.7
Berkaitan dengan ini Giddens menekankan akan keamanan ontologis dan
kecemasan eksistensial untuk memahami hubungan global-lokal sebagai diskursus
psikologi akan dominasi dan perlawanan. Kemudian Sigel (1989) menyebutkan
bahwa,”terdapat satu dorongan yang kuat pada manusia untuk mempertahankan
perasaan identitas seseorang, keberlanjutan yang menimbulkan rasa takut untuk
mengalami perubahan terlalu cepat atau mengalami perubahan karena paksaan
pihak luar” (hal 459). Globalisasi telah membuat proses ini terlihat menjadi lebih
sulit untuk memikirkannya dalam bentuk identitas tunggal, terintegrasi dan
harmonis sebagaimana individu secara terus menerus menyesuaikan tindakan
mereka dengan orang lain. Individu mencari


akan satu identitas yang tetap

walaupun belum tentu identitas yang dimaksud itu ada. Maka dari itu kita harus
memahami bahwa identitas tidak bersifat tetap, sebagai sesuatu yang telah ada,
tetapi dilihat sebagai proses menjadi. Seperti yang dinyatakan Hall (1992), “ Jika
kita merasa kita memiliki identitas bersatu dari lahir hingga kematian kita, ini
disebabkan karena kita membentuk narasi nyaman itu atau ‘narasi tentang diri’
tentang diri kita” (hal 227).8

6

Vivian Besem Ojong and Mpilo Pearl Sithole, ‘The Substance of Identity: Territoriality, Culture, Roots and the
Politics of Belonging’, dalam ‘The African Anthropologist’, (Vol. 14, Nos. 1&2, 2007), hal 92
7
Catarina Kinnvall, ‘Globalization and Religious Nationalism: Self, Identity, and the Search for Ontological Security’,
dalam ‘International Society of Political Psychology’, Vol. 25, No. 5, (Malden : Blackwell, 2004), hal 746
8
Catarina Kinnvall, ‘Globalization and Religious Nationalism: Self, Identity, and the Search for Ontological Security’,
dalam ‘International Society of Political Psychology’, Vol. 25, No. 5, (Malden : Blackwell, 2004), hal 748

5

Analisa
Pada awalnya Globalisasi dinilai telah membantu munculnya ‘politik identitas’
yang juga ikut menggeser peran dari kedaulatan negara sebagai struktur sosial
utama di masyarakat. Gerakan sosial kemudian muncul sebagai respon dari
keterbukaan globalisasi dan memungkinkan munculnya ragam framework alternatif
akan struktur sosial di masyarakat (Scholte : 1996). Tetapi kehadiran gerakan sosial
ini bisa saja tidak hanya dilihat dari bergersernya peran kedaulatan negara tetapi
sebagai konsekuensi dari kebijakan negara. Linklater (1998) mencoba menjelaskan
akan adanya upaya negara untuk melakukan pemisahan antar individu melalui
batas-batas negara, warganegara domestik, warganegara asing kemudian juga
terjadi cara pandang terhadap kelompok minoritas yang dianggap sebagai ‘ internal

other’, minoritas yang berbeda yang dimarjinalkan. Jika Scholte melihat kondisi ini
sebagai awal munculnya kelompok minoritas untuk memunculkan suatu ‘politik
identitas’ di dalam negara, maka Linklater bergerak lebih jauh dengan berbicara
tentang ‘politik pengakuan’ yang menuntut adanya ekspresi sensitivitas kepada
perbedaan dan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memperluas berbagai
perbedaan pendapat terkait komunitas politik’ (Linklater 1998 : 187) 9
Dari sisi lain, Chipkin (2007) menjelaskan politik nasionalisme itu mengakar
dari cara pandang ‘politik kepemilikan’. Kemudian nasionalisme menundukkan
segala bentuk lain dari identitas. Dari cara pandang ini kita dapat melihat bahwa
identitas

dibentuk

dibandingkan

pada

melalui

komitmen

kebebasan

politik

untuk

dari

mengikuti

satu

bentuk

keinginan

komunitas

manusia

untuk

mengkonsolidasi satu identitas. Pada pemikiran Chipkin ini kita dapat memahami
bagaimana negara mengkonstruk cara pandang akan identitas, bahwa identitas
nasionalisme dibangun untuk mempersatukan dan menundukkan identitas lainnya,
baik ethnis, agama, kesukuan, gender, ideologi politik, dan indigenous people. Dari
titik ini pulalah kita dapat melihat negara menggunakan identitas sebagai
mekanisme

pengendalian

kecemasan

melalui

penguatan

rasa

kepercayaan,

prediktabilitas dan kontrol sebagai reaksi terhadap perubahan yang menganggu

9

Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’ , dalam Catherine Eschle and Bice
Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement ’, (New York : Routledge,
2005), hal 121

6

dengan cara membangun kembali identitas yang telah ada atau membangun
sebuah identitas baru (Kinnvall, 2004)
Pertanyaannya sekarang, apakah identitas memang mampu direkonstruksi
oleh negara seperti yang disebutkan oleh Chipkin, ataukah kelompok identitas akan
memberikan respon melalui hadirnya era keterbukaan globalisasi dan kemudian
memunculkan adanya ‘politik identitas’ ala Scholte dan ‘politik pengakuan’ ala
Linklater yang kemudian menghilangkan diskriminasi dan marjinalisasi negara
terhadap kelompok minoritas? Menarik jika kita mendengar pendapat Giddens
bahwa identitas diri terdiri dari pengembangan atas perasaan yang konsisten akan
keberlanjutan biografis dimana individu mampu mempertahankan narasi tentang
pertanyaan diri untuk melakukan, beritindak dan menjadi. Giddens menganggap
individu mampu mempertahankan identitas yang dipilihnya sebagai satu upaya
mempertahankan

sensitivitas

kolektif.10

Upaya

mempertahankan

sensitivitas

kolektif ini kemudian diungkap Sigel (1989) sebagai “terdapat satu dorongan yang
kuat

pada

manusia

untuk

mempertahankan

perasaan

identitas

seseorang,

keberlanjutan yang menimbulkan rasa takut untuk mengalami perubahan terlalu
cepat atau mengalami perubahan karena paksaan pihak luar”. Individu akan
berupaya untuk mempertahankan identitas politik dan berusaha untuk melindungi
identitas dari upaya rekonstruksi pihak eksternal.
Kesimpulan
Identitas politik menjadi arena pertemuan antara kelompok minoritas dengan
negara, negara berupaya untuk melakukan rekonstruksi identitas kolektif menjadi
identitas nasionalisme yang berpusat kepada negara. Upaya penyeragaman
identitas oleh negara ini kemudian dapat menjadi tindakan-tindakan diskriminasi
dan marjinalisasi kepada kelompok minoritas. Kondisi ini memunculkan ‘politik
identitas’ dan ‘politik pengakuan’ sebagai respon dari tindakan-tindakan negara.
Kelompok minoritas terus berupaya untuk mempertahankan sensitivitas kolektif
yang diwujudkan melalui identitas politik. Upaya mempertahankan identitas politik
ini akan menjadi semaki kuat apabila negara semakin menguatkan upayanya untuk
melakukan penyeragaman identitas. Kehadiran globalisasi yang membuka akses
10

Catarina Kinnvall, ‘Globalization and Religious Nationalism: Self, Identity, and the Search for Ontological Security’,
dalam ‘International Society of Political Psychology’, Vol. 25, No. 5, (Malden : Blackwell, 2004), hal 746

7

informasi dan menggeser batas-batas kedaulatan negara kemudian menjadi
peluang bagi kelompok minoritas untuk terus bertahan dan menyuarakan identitas
politiknya.
Referensi
Burchill, Scott, Andrew Linklater, ‘Theories Of International Relations, Fourth Edition, (New
York : Palgrave Macmillan)
Maiguashca, Bice, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’ , dalam Catherine Eschle
and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement ’,
(New York : Routledge, 2005)
Ojong, Vivian Besem, Mpilo Pearl Sithole, ‘The Substance of Identity: Territoriality, Culture,

Roots and the Politics of Belonging’, dalam ‘The African Anthropologist’, (Vol. 14, Nos. 1&2, 2007)
Kinnvall, Catarina, ‘Globalization and Religious Nationalism: Self, Identity, and the Search for

Ontological Security’, dalam ‘International Society of Political Psychology’, Vol. 25, No. 5, (Malden :
Blackwell, 2004)
Viotti, Paul R., Mark V. Kauppi, ‘International Relations Theory, Fourth Edition, (New York :
Pearson, 2010)

8