Sistem Kekerabatan dan Hukum Adat Suku S

KHODIJAH

Sistem Kekerabatan dan Hukum Adat Suku Sasak
Oleh: Mustapa Kamal

A. Sistem Kekerabatan Adat Suku Sasak
Dalam sistem kemasyarakatan suku sasak terdapat beberapa pengertian pokok antara
lain : Pelapisan Sosial, Pemerintahan, Organisasi Sosial, dan Sistem Kekerabatan.
 Pelapisan Sosial
Suku Sasak juga mengenal sistem pelapisan sosial yang didasarkan pada keturunan,
yakni keturunan bangsawan dan orang kebanyakan. Tingkat-tingkat kebangsawanan paling
atas adalah pewangsa raden dengan gelar raden untuk pria dan denda untuk wanita. Lapisan
menengah dinamakan tri wangsa dengan gelar lalu untuk pria dan baiq untuk wanita.
Lapisan ketiga adalah jajar karang dengan gelar log untuk pria dan le untuk wanita. Pada
masa lalu, bangsawan ini umumnya memegang kekuasaan sebagai kepala kampung (dasan),
kepala desa, atau distrik. Pada masa sekarang, pelapisan sosial tersebut cenderung bergeser.
Dasar pelapisan sosial tersebut menjadi lebih baik apabila keseluruhannya menjadi satu
kesatuan. Kekuasaan akan dipandang menjadi lebih tinggi dengan ditunjang oleh faktor
ekonomi yang kuat.
Di daerah lombok secara umum terdapat 3 macam lapisan sosial masyarakat :
1. Golongan Ningrat

2. Golongan Pruangse
3. Golongan Bulu Ketujur ( Masyarakat Biasa )
Masing-masing lapisan sosial masyarakat di kenal dengan Kasta yang mempunyai kriteria
tersendiri :
1. Golongan Ningrat
Golongan ini dapat diketahui dari sebutan kebangsawanannya. Sebutan keningratan ini
merupakan nama depan dari seseorang dari golongan ini. Nama depan keningratan ini
adalah ” lalu ” untuk orang-orang ningrat pria yang belum menikah. Sedangkan apabila
merka telah menikah maka nama keningratannya adalah ” mamiq “. Untuk wanita ningrat
nama depannya adalah ” lale”, bagi mereka yang belum menikah, sedangkan yang telah
menikah disebut ” mamiq lale”.
2. Golongan Pruangse
Kriteria khusus yang dimiliki oleh golongan ini adalah sebutan “ bape “, untuk kaum
laki-laki pruangse yang telah menikah. Sedangkan untuk kaum pruangse yang belum
menikah tak memiliki sebutan lain kecuali nama kecil mereka, Misalnya seorang dari
golongan ini lahir dengan nama si ” A ” maka ayah dari golongan pruangse ini
disebut/dipanggil ” Bape A “, sedangkan ibunya dipanggil ” Inaq A “. Disinilah
perbedaan golongan ningrat dan pruangse.
3. Golongan Bulu Ketujur


Khomunitas Diskusi Jasmerah

KHODIJAH
Golongan ini adalah masyarakat biasa yang konon dahulu adalah hulubalang sang raja
yang pernah berkuasa di Lombok. Kriteria khusus golongan ini adalah sebutan ” amaq ”
bagi kaum laki-laki yang telah menikah, sedangkan perempuan adalah ” inaq “.
Di Lombok, nama kecil akan hilang atau tidak dipakai sebagai nama panggilan kalau
mereka telah berketurunan. Nama mereka selanjutnya adalah tergantung pada anak sulungnya
mereka. Seperti contoh di atas untuk lebih jelasnya contoh lainnya adalah bila si B lahir
sebagai cucu, maka mamiq A dan Inaq A akan dipanggil Papuk B. panggilan ini berlaku untuk
golongan Pruangse dan Bulu Ketujur. Meraka dari golongan Ningrat Mamiq A dan Mamiq
lale A akan dipanggil Niniq A.


Sistem Pemerintahan
Dalam sistem pemerintahan, dikenal adanya pimpinan tradisional dan pimpinan formal.

Unsur-unsur yang terdapat dalam pimpinan tradisional terdiri atas:
 Keliang (kepala kampung), yang merupakan pimpinan utama yang mencakup seluruh
aspek pemerintahan, adat, agama, irigasi, dan keamanan.

 Jeroah, merupakan wakil dari kepala kampung yang berkewajiban menjalankan segala
tugas kepala kampung, bila berhalangan.
 Pemangku/Mangku, merupakan pimpinan dalam bidang keagamaan.
 Pekasih, yang mengatur masalah irigasi.
 Pekemit, yang bertugas dalam bidang keamanan.
Sedangkan pimpinan teratas dalam sistem kepemimpinan formal di pegang oleh kepala
desa. Di beberapa desa dibentuk rukun tetangga (RT) yang dikepalai oleh ketua RT, dibantu oleh
sekertaris dan bendahara.


Sistem Kekerabatan
Keluarga terkecil yang terdiri dari ayah, Ibu, dan anak-anak, bagi orang Sasak merupakan

sebagian yang sangat diperhatikan. Mereka tinggal dalam satu ruamh tangga yang disebut bale
(rumah). Anak yang membangun rumah tangga (suami-istri) untuk sementara waktu akan
bersama keluarga besarnya sampai pada akhirnya dianggap mampu untuk berdiri sendiri. Dan
jika telah berdiri sendiri, maka dia akan menjadi keluarga baru yang bertanggung jawab terhadap
kelangsungannya. Hubungan-hubungan garis keturunan terbentuk atas dasar pertalian darah
(semeton kuni) dan perkawinan. Hubungan keluarga dari semeton kuni merupakan hubungan
kekerabatan dalam arti biologis yang dijalin atau dasar satu sumber darah, yaitu dari orang tua

yang sama. Sedangkan hubungan hubungan kekerabatan dengan perkawinan merupakan
hubungan dalam arti sosiologis yang terjadi karena adanya perkawinan.
Sistem kekerabatan suku sasak terdiri dari :
1) Keluarga inti

Khomunitas Diskusi Jasmerah

KHODIJAH
Terdiri dari seorang ayah ,seorang ibu dan seorang anak
2) Keluarga luas
Keluarga ini terdiri ayah, ibu, anak, kakak, adik, paman, bibi, menantu, mertua, kakek,
nenek, sepupu.
3) Keluarga Besar
Terdiri dari :
1.
2.
3.
4.

Ego

Inaq dan Amaq (Orang tua dari Ego)
Papuq Nina dan Papuq Mama (Orang tua inaq dan amaq atau papuq dari ego)
Baloq ( Orang tua dari Papuq Nina dan Papuq Mama, papuq dari inaq dan amaq, dan

merupakan Baloq dari ego )
5. Tata ( Orang tua dari Baloq, Papuq dari Papuq Nina dan Papuq Mama, Baloq dari inaq
dan amaq, dan merupakan Tata dari ego )
6. Toker (Orang tua dari Tata, papuq dari Baloq, Baloq dari Papuq Nina dan Papuq Mama,
Tata dari inaq dan amaq, dan merupakan Toker dari ego )
7. Goneng (Orang tua dari Toker, papuq dari Tata, Baloq dari Baloq, Tata dari Papuq Nina
dan Papuq Mama, Toker dari inaq dan amaq, dan merupakan Goneng dari ego )
8. Kleoq (Orang tua dari Goneng, papuq dari Toker, baloq dari Tata, tata dari Baloq, Toker
dari Papuq Nina dan Papuq Mama, Goneng dari inaq dan amaq, dan merupakan Kleoq
dari ego ).
Sistem kekerabatan masyarakat Sasak, pada dasarnya memiliki pola patrilineal, yakni
mengikuti garis keturunan dari ayah. Juga masih dikenal adanya sistem strata masyarakat antara
keturunan bangsawan atau masyarakat biasa. Strata ini sering juga disebut sebagai pelapisan
sosial resmi atau dasar dan samar. Pada umumnya tingkatan kebangsawanan yang di Lombok
disebut wangsa , dibagi dalam tiga bagian besar:



Tingkat pertama yang paling tinggi adalah pewangsa Raden. Gelar panggilan bagi pria



dari kelas ini adalah raden dan wanitanya disebut denda.
Tingkat kedua yang sering disebut triwangsa, memakai gelar Lalu untuk pria dan Baiq



untuk wanita
Tingkat ketiga adalah tingkat yang disebut jajar karang, panggilannya adalah log untuk
pria dan le untuk wanita
Ketiga tingkat ini tidak merata di Lombok, misalnya di Bayan dan Anyar, hanya ada

golongan pertama dan ketiga saja, Di Sembalun, atau Dasan Agung, Sekitar Lading-lading
tingkat pertama dan kedua tidak ada tetapi luput dianggap lapisan lebih tinggi sedikit dari jajar
karang.
Pelapisan Sosial Samar; dasar pelapisan sosial samar, adalah :
1. Kekuasaan, artinya mereka yang memegang kepemimpinan atau kuasa dalam pemerintahan

2. Kekayaan, mereka yang tergolong kaya di kampung. Pada umumnya orang kaya disini
adalah bangsawan
3. Kepandaian/pendidikan. Mereka yang memiliki kepandaian jarang dijumpai dalam
masyarakat, misalnya dalam pengobatan, agama, atau mereka yang menjadi pengawal,
karena memiliki latar belakang pendidikan
Secara umum wilayah yang awalnya didominasi oleh bangsawan diikuti masyarakat
biasa, baik sebagai penggarap tanah atau penyakap sebagai pemelihara kuda atau pekatik, dsb.

Khomunitas Diskusi Jasmerah

KHODIJAH
Saat ini sistem ini hampir hilang, tetapi dalam kenyataannya masih terdapat keluarga yang
dulunya merupakan pelayan bangsawan sampai saat ini masih menunjukkan kesetiaannya dalam
acara-acara khusus.
Hubungan antara kaum bangsawan dengan masyarakat biasa mengalami pergeseran yang
cukup kuat, yakni pada awalnya sangat terasa perbedaan antara kedua golongan ini akan tetapi
saat ini sudah sangat mengalami pergeseran yakni sudah kurang dirasakan, setidaknya tidak
seketat dulu. Meskipun demikian masyarakat biasa atau yang termasuk dalam golongan
jajar karang di Desa Puyung menilai bahwa hubungan antara kaum bangsawan dengan
masyarakat luar (biasa) sampai sekarang masih terasa ada sekat. Masyarakat yang termasuk

dalam kelompok bangsawan ini, selalu diperlakukan secara khusus, terutama dalam berbagai
acara yang melibatkan masyarakat banyak, misalnya maulid, acara pengantenan, acara khitanan
dll. Perlakuan khusus diberikan dalam bentuk cara penyambutan, tempat duduk, dan bahan
sajian yang diberikan.
Dengan berkembangnya, ajaran Islam yang menekankan adanya persamaan antar
manusia, maka beberapa kelompok bangsawan sendiri mulai menghindarkan strata tersebut,
meskipun masih menggunakan gelar Lalu dan Baiq.
B. Tradisi dan Hukum Perkawinan Suku Sasak
Sistem perkawinan yang dianut oleh suku Sasak lebih mengarah ke sistem indogami.
Bahkan di beberapa tempat, terutama pada masa lampau, sistem indogami dilaksanakan secara
ketat yang kemudian melahirkan kawin paksa dan pengusiran (istilah sasaknya bolang) terhadap
“terutama” anak gadis. Walaupun kecenderungannya indogami namun sistem eksogami tidak
diharamkan oleh adat. Adat perkawinan suku sasak, telah mengalami distorsi disana sini. Hal ini
akibat pengaruh nilai-nilai baru, baik yang berasal dari agama Islam maupun dari nilai-nilai
barat.
a. Adat sebelum perkawinan
 Pembatasan jodoh
Maksud dari pembatasan jodoh adalah mencarikan jodoh. Di sini orang tualah yang
berperan penting untuk menentukan jodoh yang terbaik buat anaknya, Di dalam pembatasan
jodoh ini adalah adat sasak lebih mendominasi melakukan perkawinan dalam kerabat sendiri

lebih baik jika di bandingkan dengan perkawinan dengan orang kerabat luar.Mereka
menginginkan kawin dengan minasa sekali, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Apabila
seorang wanita kawin dengan anak menasanya,

baik menasa sekali maupun menasa dua

perkawinanan dinamakan dengan bero toaq nina atau basa mengina.
Cara memilih jodoh, ada 2 cara memilih jodoh yang lazim dikalangan suku bangsa sasak
antara lain :
1. Kemeleq mesaq artinya atas dasar kemauan sendiri dari kedua belah pihak yang kawin
yang dilakukan dengan cara melarikan tetapi sebelum acara melarikan, terlebih dahulu
antara gadis dan pemuda telah terjalin suatu hubungan cinta yang disebut dengan
meleang atau kemelean yang pada puncaknya kedua belah pihak menyetujui suatu
perkawinan. Para pemuda dan gadis bertemu pada beberapa kesempatan yang dijadikan

Khomunitas Diskusi Jasmerah

KHODIJAH
kesempatan berkenalan pada waktu potong padi. Perkenalan pertama akan berlanjut pada
kunjungan kerumah gadis pada waktu malam yang bertujuan mendapatkan kesempatan

berbicara sambil merencanakan perkawinan di sebut midang. Di sini akan di buat
rencana-rencana tanpa di ikuti pembicaraan orang tua kemudian pihak laki-laki
memberitahukan pada orang tuanya tentang pernikahannya dengan si gadis,
pemberitahuan ini bukan bermaksud meminta persetujuan dari orang tua melainkan
menyangkut penyediaan biaya perkawinan kelak.
2. Suka lokaq atau kemauan orang tua. Dengan cara ini di maksudkan bahwa orang tua dari
kedua belah pihak atau dari salah satu pihak aja yang aktif sedangkan baik pemuda
maupun gadis hanya bersikap pasif saja. Pekawinan suka lokaq seringkali tidak di awali
dengan masa meleang atau kemelean bahkan antara pemuda dan gadis kemungkinan
belum saling kenal mengenal satu dengan yang lain. Kebanyakan dengan cara ini
seringkali berakhir dengan perceraian karena lemahnya dasar ikatan yang di miliki suatu
perkawinan.
Cara memilih jodoh di atas , semakin tidak mendapat tempat. Generasi sasak melukiskan
suka lokaq tersebut sebagai kawin paksa. Pemuda-pemuda sasak menginginkan perkawinan yang
di dasarkan kepada kebebasan menentukan sendiri pilihan masing-masing tanpa dikotori oleh
intervensi siapa pun termasuk orang tua dan keluarga.

 Bentuk-bentuk perkawinan
Suku bangsa sasak mengenal beberapa bentuk perkawinan, yang terbagi menjadi 4 yakni:
1.


Lari bersama atau memaling atau merarik
Adat sasak pada dasarnya adalah setia mengikuti terselenggaranya lembaga perkawinan

dengan melarikan, ikatan perkawinan tersebut dinamakan merarik. Perkawinan ini di lakukan
tanpa persetujuan dari orang tua kedua belah pihak. Melarikan dimaksudkan sebagai permulaan
dari tindakan pelaksanaan perkawinan. Setelah si gadis di bawa lari dan disuruh tinggal di bale
penyeboqan yang tujuannya melanjutkan proses ikatan perkawinan agar si gadis benar-benar
menjadi istri dari pemuda yang membawa tersebut.
2. Memagah
Memagah atau memagel adalah bentuk perkawinan dengan cara melarikan tetapi dengan
cara paksa serta dilakukan pada siang hari. Seorang pemuda dengan di bantu oleh beberapa
temannya secara paksa membawa lari gadis ketika gadis tersebut terlepas dari pengawasan
oaring tuanya.
3.

Nyerah hukum
Yang merupakan memempon artinya terjun dari atas. Bahwa pelaksanaan adat dan

upacara perkawinan yang di serahkan pada keluarga pihak gadis yang semua pelaksanaan
pernikahan biayanya dari pihak laki-laki yang barasal dari suku lain atau suku bangsa sasak
yang agak berlainan aji atau adatnya.
4.

Kawin gantung atau kawin tadong

Khomunitas Diskusi Jasmerah

KHODIJAH
Maksud di sisni adalah perkawinan yang di tunda atau di gantung untuk beberapa lama
sampai salah seorang atau kedua anak yang kawin menjadi dewasa. Perkawinan gantung ini di
lakukan seperti biasa yakni upacara perkawinan dan ketentuan hukum islam seperti wali atau
maskawin semuanya di laksanakan. Hanya yang di tunda adalah hidup bersama suami istri
hingga mereka dewasa.
b. Upacara-upacara sebelum perkawinan
Di bawah ini akan di uraikan adat pemuda dan pemudi sebelum sampai keputusan untuk
melangsungkan perkawinan yaitu:
1. Meleang atau bekemelean
Acara ini di lakukan oleh para pemuda datang kerumah si gadis selepas pukul 17.3023.00 malam. Para pemuda yang mengunjungi rumah gadis duduk bersila di berugaq, si gadis
duduk dalam jarak beberapa meter dari pemuda yang midang.
Midang akan berakhir dengan lahirnya kesepakatan di antara kedua belah pihak untuk
melangsungkan perkawinan. Pada waktu meleang di berikan suatu pemberian dari laki-laki
kepada sigadis seperti pakaian, sabun, uang atau bahkan selembar sapu tangan saja. Pemberian
tersebut dilakukan dibawah tangan bahkan melalui seorang subandar

dilombok pemberian

tersebut akan di kembalikan kepada pihak yang memberikannya apabila sigadis kawin dengan
laki-laki lain dan suaminyalah yang membayarnya karena di anggap bertanggung jawab atas
gagalnya perkawinana dengan orang yang mula-mula memberikan pelamar tersebut.
2. Merarik atau memaling
Apabila seorang gadis sudah terangan untuk kawin dengan pemuda yang mencintainya,
langkah berikutnya adalah penentuan waktu untuk lari bersama (merarik). Membawa lari gadis
yang sudah menyetujui suatu perkawian di sebut memaling yang di laksanakan pada waktu
malam 6.30-7.30) faktor penyebab terjadinya perkawinan Merarik pada masyarakat Suku sasak
di lombok antara lain: Merupakan suatu kebiasaan yang sudah ditetapkan dan diatur dalam
hukum adat Suku Sasak .
a) Mengurangi terjadinya konflik diantara para pihak
dapat menghindari perpecahan dalam keluarga akibat pilihan tidak sesuai dengan keinginan
orang tua dan bebas memilih pasangan yang diinginkan
b) Pelaksanaan kawin merarik
pada masyarakat Suku Sasak di Lombok yaitu lari bersama antara laki-laki dan perempuan
yang saling mencintai atas keinginan bersama yang merupakan awal dari prosesi adat
c) Akibat dari perkawinan merarik
menurut hukum adat Suku Sasak apabila terjadi penyimpangan maka akan diambil tindakan
hukum oleh ketua adat yang berupa pembayaran denda
d) Cara penyelesaian
penyelesaian secara adat yang ditempuh masyarakat adat Suku Sasak apabila salah satu pihak
membatalkan perkawinan (Merarik) yang telah disepakati terlebih dahulu akan diselesaikan
melalui “Gundern” (musyawarah adat) yang diikuti dengan pembayaran denda dan sanksi
adat.
3. Mesejati
Masejati maksudnya adalah dari pihak laki-laki mengutus beberapa orang tokoh
masyarakat setempat atau tokoh adat untuk meleporkan kepeda kepala desa atau keliang/kepala

Khomunitas Diskusi Jasmerah

KHODIJAH
dusun untuk mempermaklumkan perkawinan tersebut tentang jati diri calon pengantin laki-laki
dan selanjutnya melaporkan kepada pihak keluarga perempuan.
4. Selabar
Merupakan hari yang telah di tentukan untuk melaksanakan selabar .Upacara
dimaksudkan untuk membicarakan jumlah ajikrama sebagai upaya untuk dapat melangsungkan
akad nikah atau berbagai upacara lainnya menjelang akad nikah. Ajikrama adalah sejumlah
pembayaran yang telah ditetapkan oleh adat.
5. Sorong serah
Merupakan upacara khusus untuk membayar ajikrama yang sudah di sepakati pada waktu
melakukan selabar. Upacara sorong serah adalah upacara yang paling penting dalam adat
perkawinan suku sasak. Di mana pihak dari mempelai pria mempersiapkan sebuah rombongan
yang akan pergi kerumah calon pengantin wanita berupa uang dan barang, setelah tiba disana
akan dijelaskan maksud kedatangan calon pengantin dengan menggunakan kalimat-kalimat yang
resmi.
6. Nyongkolan
Merupakan upacara mengunjungi rumah orang tua calon pengantin wanita oleh kedua
calon pengantin dengan diiringi oleh keluarga, kerabat, kenalan dan alat musik suku sasak dalam
suasana penuh kemeriahan. Tujuannya adalah untuk menampakkan dirinya secara resmi
dihadapan orang tuanya bahkan juga kepada seluruh masyarakat sambil meminta maaf serta
memberi hormat pada kedua orang tua calon pengantin wanita tetapi sebelum dilakukan
nyongkol terlebih dahulu kedua calon mempelai dipiyas(di hias) dengan menggunakan pakaian
adat. Kedua calon pengantin yang sudah siap dengan pakaian adatnya langsung menuju rumah
calon pengantin wanita, kedua calon pengantin langsung diarak keliling kampung hingga sampai
di rumah orang tua pengantin wanita kemudian menyalami kedua orang tuanya. Pertemuan ini
adalah perpisahan bagi pengantin wanita yang sering diwarnai denagn tetesan air mata. Upacara
nyongkol sebenarnya sama dengan upacara persandingan pengantin. Karena upacara ini juga
bertujuan memperlihatkan kedua pengantin yang kawin kepada umum.
c. Upacara pelaksanaan perkawinan
Adat perkawinan sasak, upacara pelaksanaan perkawinan disebut ngawinang atau
nikahang. Upacara ngawinang di lakukan di masjid kampung. Upacara pernikahan di pimpin
oleh kepala kantor urusan agama dengan mengikuti tata cara islam yang umum yakni
pembicaraan khotbah nikah dan ijab Kabul yang di lakukan langsung oleh orang tua si calon
pengantin wanita di hadapkan calon pengantin laki-laki.
d. Adat setelah perkawinan
Adat menetap sesudah kawin
Apabila keluarga baru terbentuk maka keluarga tersebut tidak langsung menemppati
rumah sendiri. Ada 3 kemungkinan yang umum dalam hal menetap sesudah kawin antara lain:
a) Bale mesaq (rumah sendiri)

Khomunitas Diskusi Jasmerah

KHODIJAH
Bale mesaq merupakan rumah yang dibangun oleh suami sejak sebelum perkawinan.
Rumah tersebut biasanya dibangun disamping rumah orang tua. Menempati rumah mesaq
dipandang sebagi yang paling terhormat didalam adat menetap sesudah perkawinan
dalam adat sasak.
b) Nyodok (numpang)
Nyodok merupakan numpang tinggal di rumah pihak wanita.Ini seringkali terjadi apabila
perkawinan tidak didahului dengan persiapan perumahan. Dalam masa numpang ini baik
sipengantin dan orang tuanya sudah mulai mengumpulkan bahan-bahan bangunan dan
apabila telah cukup barulah di bangun rumah untuk kedua pengantin.
c) Nurut nine (tinggal di rumah keluarga istri)
Nurut nine artinya ikut istri. Si suami baik atas kemauannya sendiri atau kemauan istrinya
tinggal dirumah ayah istrinya.
C. Pengaturan dan Ketentuan Pewarisan dalam Suku Sasak
Hukum waris adat dalam suku ini adalah bahwa telah terjadi pluralisasi dalam hukum
waris di daerah ini. Di dalam Suku Sasak berlaku hukum adat sasak sendiri, hukum Islam, dan
hukum waris yang ditetapkan oleh pengadilan negeri.
Hukum waris adat Sasak, mengharuskan wanita Sasak tidak mempunyai hak untuk
mewarisi harta orang tuanya. Dalam sebuah struktur masyarakat hukum adat genealogis, terdapat
tiga macam dasar pertalian keturunan yaitu: Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal),
Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal) dan Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak
(parental). Hukum Adat Sasak, Suku Sasak menarik garis keturunan dari pihak laki-laki
(patrilineal). Pada kaum bangsawan Suku Sasak, perempuan diberi gelar Baiq dan kaum lakilakinya mendapat gelar Lalu. Namun pada masyarakat lapisan bawah baik perempuan maupun
laki-laki tidak mempunyai gelar, namun kaum perempuannya dipanggil Inaq dan laki-laki
dipanggil Amaq.
Masyarakat yang tidak mempunyai lapisan bangsawan contohnya adalah Desa Sade yang
seluruh penduduknya adalah bagian bawah dari masyarakat. Desa Sade adalah suatu desa yang
masih tradisional. Masyarakat Desa Sade sebagian besar beragama Islam. Walaupun beragama
Islam, mereka tetap tunduk pada Hukum Adat Sasak Tradisional. Menurut Hukum Adat di desa
ini wanita tidak menerima warisan dari orang tuanya yang telah meninggal dunia. Pada dasarnya
masyarakat Sasak Desa Sade menganut sistem patrilineal, bahwa garis keturunan ditarik dari
pihak laki-laki atau bapak. Anak perempuan dianggap keluar dari keluarganya dan pindah
menjadi keluarga suaminya, karena ia mengikuti suaminya setelah mereka kawin.
Jika wanita Sasak di Desa Sade menikah, ia tinggal pada keluarga suaminya. Untuk itu ia
boleh membawa barang-barang perhiasan dari emas atau perak berbentuk cincin dijarinya,
giwang atau anting-anting, kalung di lehernya dan gelang yang dipakai pada tangannya. Ia tidak
akan mendapatkan tanah atau rumah. Tanah dan rumah hanya untuk anak laki-laki.
Dalam masyarakat Desa Sade, perkawinan antar keluarga, misalnya, antar saudara misan
atau saudara sepupu menjadi kebiasaan untuk mempertahankan garis keturunan. Pekerjaan di
desa ini adalah bertani yang hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari. Disamping itu para wanita

Khomunitas Diskusi Jasmerah

KHODIJAH
melakukan pekerjaan menenun, misalnya membuat sarung, selendang dan penutup leher untuk
dijual, dengan alat tenun yang amat sederhana. Wanita-wanitanya mebuat benang dari kapas
yang ditanam di sawah mereka bersama-sama dengan tanaman padi. Sebagian besar dari mereka
telah membeli benang berbagai warna di pasar. Pihak laki-laki mengerjakan sawah mereka. Hasil
padi tidak untuk dijual tetapi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wanita di Desa Sade, harus
kawin dengan lelaki di desa tersebut. Bila ia kawin dengan laki-laki luar desa, wanita itu harus
keluar dari desa tersebut.
Wanita menenun sarung di Dusun Sade. Begitu juga pihak pria yang kawin dengan
wanita luar desa, ia harus meninggalkan Desa Sade. Belum ada sengketa waris yang dibawa ke
pengadilan sampai saat ini dari desa tersebut.
Wanita dalam masyarakat Sasak tunduk dalam tiga sistem hukum dalam hal waris.
Hukum tersebut adalah hukum adat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Hukum Islam
yang bersumber pada Al-Quran dan Hadist karena mayoritas Suku Sasak beragama Islam, dan
hukum negara yang bersumber pada putusan hakim Pengadilan Negeri dan dikuatkan oleh
Pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
Sebagian besar masyarakat Sasak mengikuti hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran
dan Hadist. Karena mayoritas Suku Sasak beragama Islam, banyak masyarakat Sasak yang
menggunakan hukum Islam untuk membagi warisan. Hal ini pernah dijelaskan oleh Van den
Berg dan Salmon Keyzer dalam teorinya Receptio in Complexu yang mengungkapkan bahwa
adat-istiadat dan hukum adat suatu golongan hukum masyarakat adalah receptio (penerimaan)
seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Hukum adat suatu golongan
masyarakat adalah penerimaan secara bulat dari hukum agama yang dianut oleh golongan
masyarakat itu. Dalam hal ini, Suku Sasak secara mayoritas beragama Islam dan menggunakan
hukum Islam untuk membagi warisannya.
Dasar penggunaan hukum waris Islam bersumber pada Surat An-Nisa ayat 11 Dalam
bahasa Sasak, bagian wanita dikatakan sebagai “sepersonan” yaitu barang yang dijunjung di atas
kepala perempuan. Bagian laki-laki adalah “sepelembah” atau dua pikulan yang diletakkan di
atas bahu. Maka dikatakan dalam bahasa daerah sasak bagian laki-laki dan wanita adalah
“Sapelembah sepersonan”yaitu dua berbanding satu. Wanita menjunjung satu bakul di
kepalanya, sedangkan laki-laki membawa pikulan di bahunya yang terdiri dari dua bakul
keranjang.
Anak laki-laki mendapatkan dua bagian warisan dan perempuan satu bagian mengikuti
sepelembah sepersonan. Jika tidak ada anak laki-laki maka semua warisan tersebut jatuh pada
anak perempuan. Jika anak perempuan lebih dari satu orang, harta warisan dibagi sama diantara
mereka. Bila anak perempuan hanya satu-satunya semua harta warisan jatuh kepada anak
perempuan satu-satunya tersebut. Untuk membagi warisan, masyarakat menyerahkan segala
urusan pembagiannya pada Tuan Guru, Pemimpin Agama Islam di desa di Sasak. Namun tidak
jarang pula sengketa waris diselesaikan oleh Pengadilan Agama dan diselesaikan dengan Hukum
Islam.
Walaupun sebagian besar masyarakat sasak beragama Islam, penyelesaian sengketa
warisan tidak selalu diselesaikan oleh Pengadilan Agama, namun juga ada beberapa masyarakat
yang mencari keadilan ke Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung telah melakukan perubahan
Khomunitas Diskusi Jasmerah

KHODIJAH
terhadap hak wanita Sasak untuk mewaris dengan putusannya dalam kasus Inaq Rasini vs Amaq
Atimah. Mahkamah Agung memutuskan sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung
terhadap anak perempuan di Tapanuli (Sumatera Utara), anak perempuan dijadikan ahli waris
agar adil.
Perkembangan Hukum Adat Suku Sasak, sejak tahun 1951 di daerah pulau Lombok,
khususnya di daerah Kecamatan Masbagik (Lombok Timur) telah terjadi pergeseran nilai dalam
Hukum Waris Adat khususnya tentang kedudukan anak dan wanita. Jika menurut hukum adat
yang lama, anak wanita bukan ahli waris serta tidak berhak untuk mewaris barang-barang tidak
bergerak seperti tanah, maka kini dalam perkembangannya sudah diakui dimana kedudukan
wanita sebagai ahli waris dan berhak pula memperoleh harta warisan peninggalan orang tuanya
bersama-sama dengan saudara laki-lakinya.
Keadaan di atas mau tidak mau harus ditafsirkan bahwa telah terjadi pergeseran pola pikir
di kalangan warga suku ini ke arah kemajuan (modernisasi). Dari realita-realita yang terjadi
dalam masyarakat, maka secara filosofis dapat dibaca bahwa persamaan status hak dan
kedudukan antara anak laki-laki dengan anak wanita selama ini telah berjalan. Anak wanita tidak
lagi sebagai selalu berada di belakang keutamaan anak laki-laki. Tetapi keduanya mempunyai
harkat dan martabat yang sama.
Dari segi yuridis dapat dipertimbangkan antara lain, masyarakat adat suku Sasak telah
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat
tersebut ternyata diikuti pula oleh perkembangan akan kebutuhan hukum. Artinya bahwa dalam
masyarakat tersebut telah mengalami pergeseran nilai-nilai sosial khususnya nilai-nilai
hukumnya. Dalam kasus ini pergeseran tersebut telah terjadi dalam kedudukan wanita. Jika
sebelumnya wanita dianggap berkedudukan di bawah kaum laki-laki karena sistem kekerabatan
yang bersifat patrilinial.
Situasi dan kondisi saat ini telah berubah dan sangat berbeda. Dalam realita di tengahtengah masyarakat adat dalam suku ini telah timbul nilai-nilai hukum baru yang selaras dan
sejalan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dirasakan tidak adil lagi jika
anak wanita dianggap sebagai bukan ahli waris. Anak wanita sekarang sudah diakui sebagai ahli
waris. Oleh karena itu, kensekuensi logisnya, wanita harus mendapatkan bagian sebagai ahli
waris dari orang tuanya yang telah meninggal.
Bertitik tolak dari persamaan harkat dan martabat, serta persamaan hak dan kedudukan
setiap warga negara dihadapan hukum sesuai dengan Pancasila dan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dan mengingat pula keadilan umum, dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, maka di dalam kasus ini Pengadilan sependapat dan layak untuk berpedoman
kepada yurisprudensi tetap Mahkamah Agung yang berlaku untuk seluruh Indonesia tanggal 11
Nopember 1961, No.179 K/Sip/1961. Intinya bahwa “Anak perempuan dan anak laki-laki dari
seorang peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian
anak laki-laki sama dengan anak perempuan”.
SUMBER
http://wisnu.blog.uns.ac.id/2011/05/15/pluralisme-hukum-waris-adat-suku-sasak/
http://shumarny.wordpress.com/2013/10/06/adat-suku-sasak-lombok/
http://marketermataram.blogspot.com/2013/10/masyarakat-hukum-adat-suku-sasak-di.html

Khomunitas Diskusi Jasmerah

KHODIJAH
http://www.pemda.lotim.go.id/ akses 2

Januari 2015. BPS Kabupaten Lotim, Indek

Pembangunan Daerah dan Manusia Kabupaten Lombok Timur Tahun 2012,

Khomunitas Diskusi Jasmerah