TUGAS INDIVIDU MATA KULIAH pengantar pen

TUGAS INDIVIDU MATA KULIAH
PENGANTAR PENDIDIKAN

JUDUL :
PERMASALAHAN PENDIDIKAN
DI DAERAH PERBATASAN
OLEH
I PT. GD. CAESAR RENDDY W.

NIM. 141102103

JURUSAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2014

/TA:2014

2

PERMASALAHAN PENDIDIKAN

DI DAERAH PERBATASAN

JURUSAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2014

1

BAB. 1 PEMAPARAN MASALAH
Rumitnya masalah pengelolaan daerah perbatasan di negeri ini bisa diatasi
secara maksimal. Satu dari sekian masalah tersebut terkait dengan aspek
pendidikan.
Hingga kini, akses pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia masih belum
mudah dan merata. Hal itu terbukti adanya kesenjangan antara realitas dan
idealitas pelayanan pendidikan untuk semua. Kemudahan dan kemerataan dalam
mengakses pendidikan masih terjadi ketidakseimbangan antara kota dan desa.
Bahkan juga masyarakat di wilayah pedalaman, terutama perbatasan dengan
negara lain. Komposisinya juga masih selalu lebih bagus, lebih baik dan lebih
banyak dirasakan masyarakat di kawasan perkotaan, ketimbang perdesaan dan

perbatasan.
Sebagaimana diberitakan banyak media di negeri ini, masih ada saja
sebagian dari kita yang belum menikmati pendidikan. Utamanya realitas dalam
mengakses pendidikan bagi warga yang tinggal di perbatasan. Hal itu bukan saja
pada aspek kuantitas, tetapi juga kualitas mutunya. Dalam konteks inilah, model
pendidikan alternatif perlu terus dicari, dibuat dan dipraktikkan untuk
memberikan jaminan pelayanan pendidikan yang berkualitas, terjangkau, dan
mampu menjawab kebutuhan sekaligus permasalahan sosial, ekonomi dan
budaya, khususnya di wilayah perbatasan.
Tentu, hal ini merupakan bagian dari harapan, peluang sekaligus tantangan
bagi semua pihak di negeri ini. Dimafhumi bahwa pemerintah memang
seharusnya lebih memperhatikan pendidikan rakyat bagi semua, termasuk di
wilayah tapal batas. Bila kita perhatikan, hingga hari ini pemerintah sebetulnya
sudah berusaha, namun dapat dikatakan belum terlalu berhasil. Mungkin saja
karena belum memiliki kebijakan khusus yang dianggap tepat sasaran untuk
meningkatkan pendidikan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan
tersebut.
Meski dalam konstitusi ditegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap
warga negara, di mana pemerintah berkewajiban memenuhi pendidikan
berkualitas bagi setiap warga negara tanpa memandang etnis, agama, golongan


2

dan letak geografis, namun faktanya perubahan ke arah yang lebih baik akses
pendidikan bagi masyarakat perbatasan belum terjadi secara menggembirakan.
BAB. 2 KRITIK
Bila terus dibiarkan keadaan nyata seperti ini terus berlarut dan berlanjut,
tentu semua pihak khawatir bila terjadi gejolak sosial politik di kemudian apalagi
dengan mulai di berlakukannya Kurikulum 2013. Pasalnya terpenuhi atau
tidaknya kebutuhan dan keinginan sebagian masyarakat, bisa saja berpengaruh
pada aman, nyaman dan damainya suatu masyarakat dan bangsa itu sendiri serta
perkembangan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bangsa
Indonesia.
Selain itu, ada satu masalah lagi yang kurang di perhatikan pemerintah
yaitu menganai kesejahteraan penganjar pengajar di daerah perbatasan yang
menyangkut kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan rohani. Kalau kita
bandingkan dengan negara tetangga seperti malaysai, mereka memberikan
jaminan yang lebih baik dan menjanjikan kepada para gurunya demi
pembangunan pendidikan yang berkualitas.


BAB. 3 SARAN DAN SOLUSI
Solusi yang dapat kita lakukan untuk menyikapi masalah di atas adalah
dengan mengadakan Pendidikan Alternatif. Baik-buruknya realitas pendidikan di
perbatasan di Indonesia hari ini dan esok adalah tanggung jawab kita semua.
Negara tentu yang paling terdepan dalam memberikan berbagai solusi alternatif,
lalu diikuti masyarakat dan dukungan media massa di negeri ini.
Secara tekstual, bunyi aturan perundangan kebijakan pendidikan termaktub
dalam UU Sisdiknas Nomor 20/ 2003 Pasal 1 ayat (1) bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.

3

Dari idealisme payung hukum dan kebijakan politik pendidikan tersebut,
rasanya cukup jelas dan tegas bila kita ada kemauan pasti ada jalan. Aturan
tersebut juga memberikan optimisme dan peluang penting untuk membuat
berbagai sekolah model atau model pendidikan alternatif bagi masyarakat di

perbatasan yang perlu dikedepankan tanpa ada unsur kepentingan pribadi, partai
dan kelompok tertentu.
Bila dianalisis, beberapa persoalan, masalah sekaligus kebutuhan
mendasar terkait pendidikan alternatif-solutif yang ideal bagi masyarakat di
perbatasan, yakni menyangkut masalah perbaikan infrastruktur, penyediaan gurudosen inspiratif yang bermutu dan didukung sarana-prasarana serta jumlah
lembaga pendidikan berkualitas mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan hidup (propoor and
social life), kebutuhan pasar atau dunia kerja (pro-job and market) dan kebutuhan
bangsa ini ke depan (progrowth and future generations).
Secara lebih praktis, kita bisa mengambil inspirasi beberapa visi, orientasi
dan basis model pendidikan alternatif. Pertama, perlunya alternatif model
pendidikan berbasis kearifan sosial dan lingkungan hidup. Contoh riilnya adalah
model pendekatan Sekolah Hijau di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yang
kini diinisiasi dan dipraktikkan Wahana Visi Indonesia bersama pemkab.
Sambas bisa menjadi salah satu solusi alternatif untuk mengatasi tantangan
sekaligus peluang bagi masyarakat perbatasan untuk lebih kreatif, inovatif dan
produktif dalam melihat persoalan di sekitarnya. Model ini tentu sangat pro
terhadap lingkungan hidup, karena gerakan penghijauan dibudayakan sejak usia
sekolah. Bahwa implementasi konsep Sekolah Hijau yang diadopsi tiga sekolah
dasar, yakni SDN 07 Sasak, SDN 01 Aruk dan SDN 03 Sajingan sejak tahun 2011,

kini sudah menghasilkan perubahan positif di lingkungan sekolah dan sekitarnya.
Kedua, perlunya alternatif model pendidikan multikultural berbasis sosialteknologi. Indonesia adalah bangsa yang majemuk sekaligus ramah dengan
teknologi. Prinsip Bineka Tunggal Ika tentu bisa diterjemahkan melalui simbol
dan perilaku yang menghormati sekaligus menghargai keragaman, juga tidak
gagap pada teknologi. Hal ini juga perlu dipraktikkan sejak usia sekolah. Visi dan

4

orientasinya tidak lain adalah untuk menciptakan hidup rukun dan damai
sekaligus melek teknologi informasi.
Model pendidikan alternatif ini dipraktikkan di Sekolah Qaryah Thayyibah
di Salatiga Jawa Tengah. Dampaknya luar biasa bagi masyarakat, karena sekolah
tersebut gratis namun memberikan pelayanan pendidikan yang luar biasa. Ketiga,
model sekolah berbasis keahlian (hard and soft skills). Di kawasan perbatasan,
jumlah sekolah berbasis keterampilan dan keahlian tergolong sedikit. Karena itu,
sekolah nonkeahlian perlu mengambil peran sejak dini dengan memberikan
praktik pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan dunia kerja.
Hal ini tentu lebih ideal bila kita ambil contoh sekolah menengah kejuruan
(SMK) yang betul-betul “bisa” dan “cocok” dengan dunia kerja dan bisnis.
Keempat, model sekolah pendidikan berbasis entrepreneurship. Bila dibanding

negara lain, Indonesia hari ini masih tergolong “miskin” pengusaha alias
entrepreneur. Oleh karena itu, sekolah atau dunia pendidikan perlu ambil peran
dan tanggung jawab dalam memproduksi pengusaha, bukan pekerja.
Daerah perbatasan tentu sangat potensial dalam memberikan pengaruh
positif bagi semua. Catatannya tentu dari sekarang dunia pendidikan harus
merespons dengan baik. Model alternatif ini kini mulai dipraktikkan di pesantren
berbasis entrepreneurship seperti di Ponpes Sunan Drajat Lamongan, Jawa Timur.
Santri/muridnya selain belajar, juga berdagang. Lulusannya diharapkan siap
menjadi pengusaha, bukan melulu pegawai atau pekerja. Mungkin masih ada
model lain yang dapat dikembangkan dan dipraktikkan untuk anak bangsa ini.
Namun dari keempat tipe model pendidikan alternatif tersebut, tentu
setidaknya bisa dijadikan inspirasi bagi siapa saja yang menaruh kepedulian dan
perhatian dalam mengelola pendidikan di negeri ini, khususnya di area perbatasan
selai itu juga kita sebagai calon teknolog pembelajaran harus mampu
mengembangkan model pendidikan alternatif ataupun pendidikan formal yang
dapat digunakan di seluruh Indonesia bahkan sampai ke pelosok-pelosok negeri
ataupun sampai ke perbatasan negara kita dengan negara lain selain itu kita juga
bisa memberikan pelatihan-pelatihan kepada tenaga pengajar di daerah-daerah
perbatasan tersebut dengan harapan mereka dapat menjadi tenaga pengajar yang
professional dan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan jaman.


5

Harapannya, diskriminasi dalam praktik pelayanan dan pengelolaan pendidikan
tidak terjadi, sehingga pendidikan untuk semua bukan janji semata, namun benarbenar menjadi bukti nyata.

6

DAFTAR SUMBER :
Mahfud, Ch. 2014. “Daerah Perbatasan dan Solusi Model Pendidikan Alternatif”.
tersedia pada : http://www.koran-sindo.com/node/418871. di akses
pada : 10 September 2014
Akuntono, Id. 2011. “Beginilah Nasib Pendidikan di Perbatasan...”. tersedia
pada
:http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/25/14551062/Beginilah.
Nasib.Pendidikan.di.Perbatasan. diakses pada : 10 September 2014