T1 712013050 Full text

Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari
terhadap Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah

TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi
sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang
Teologi (S.Si.Teol)

Program Studi Teologi

Oleh:
Anggrayni Eka Putri Tresna Bunga
712013050

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017

KATA PENGANTAR
Segala ungkapan syukur penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena

melalui berkat dan kasih karunia-Nya yang melimpah, Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Campur tangan-Nya yang
begitu besar telah nyata dalam penyertaannya di setiap langkah perjuangan
penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
Pertama, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Ayah, Ibu, dan Reyksi,
untuk setiap doa, kepercayaan dan motivasi yang selalu menjadi penyemangat
terbesar. Salam penuh cinta untuk kalian.
Kedua, terima kasih dan salam hormat kepada kedua dosen pembimbing,
Bapak Dr. David Samiyono dan Bapak Pdt. Dr. Jacob Daan Engel, atas bimbingan
dan pengarahan yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas
Akhir ini dengan baik.
Ketiga, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada jemaat GKPB Pniel
Blimbingsari yang sangat ramah dan membantu penulis dalam mencari data untuk
menyelesaikan Tugas Akhir ini. Kiranya Tuhan selalu menyertai kehidupan iman
bapak dan ibu sekalian.
Keempat, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk wali study, Bapak Dr.
Tony Tampake, yang telah menjadi orang tua yang selalu mengarahkan,
membimbing, dan memperhatikan penulis ditanah perantauan selama masa
perkuliahan ini.

Kelima, terima kasih dan hormat bagi seluruh dosen Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana, atas seluruh ilmu dan pengalaman yang telah
dibagikan untuk membuka wawasan berpikir penulis selama proses perkuliahan.
Terkhusus untuk Bapak Prof. Pdt. John A. Titaley dan Pdt. Yusak B. Setyawan,
Ph.D, yang selalu menginspirasi saya dalam memaknai kehidupan.
Keenam, terima kasih untuk seluruh staff tata usaha Fakultas Teologi
Universitas Satya Wacana (Ibu Budi, Mas Adi, Mas Eko, Mbak Liana) yang
sangat membantu penulis dalam mengurus administrasi.

vi

Ketujuh, salam penuh cinta kepada Vocal Group Lentera Kasih yang telah
menjadi keluarga baru dalam mengembangkan potensi bermusik dan membuat
masa-masa perkuliahan penulis menjadi lebih berwarna.
Kedelapan, salam penuh cinta untuk Neny Woza dan Beatrix yang selalu
menemani dan memberikan semangat untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Kesembilan, salam penuh kasih untuk Edgar Funay yang selalu menemani,
memberikan semangat dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan Tugas
Akhir ini. Kiranya Tuhan memberkati setiap langkah perjalanan ini.
Kesepuluh, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Mohon maaf oleh
karena keterbatasannya, penulis tidak dapat disebutkan satu persatu. Kiranya
berkat Tuhan selalu melimpah.
Akhir kata penulis berharap agar Tugas Akhir ini dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan pengetahuan bagi sivitas akademika dan pihak-pihak
yang membutuhkan. Tuhan memberkati.

Salatiga, 12 September 2017

Penulis

vii

DAFTAR ISI
Judul .........................................................................................................................

i

Lembar Pengesahan ................................................................................................


ii

Pernyataan Tidak Plagiat .......................................................................................

iii

Pernyataan Persetujuan Akses ..............................................................................

iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi ........................................................................

v

Kata Pengantar .......................................................................................................

vi-vii

Daftar Isi ..................................................................................................................


viii

Motto ........................................................................................................................

ix

Abstrak .....................................................................................................................

x

I. Pendahuluan
Latar Belakang ....................................................................................................

1-4

Metode Penelitian ..............................................................................................

4-5

Sistematika Penulisan ........................................................................................


5-6

II. Musik Tradisional sebagai Kebudayaan
Kebudayaan ........................................................................................................

6-9

Unsur-unsur Kebudayaan ...................................................................................

9

Fungsi Kebudayaan ............................................................................................

10-11

Gamelan sebagai Musik Tradisional ..................................................................

11-13


Penggunaan Musik di Gereja .............................................................................

13-15

III. Gereja Kristen Protestan di Bali – di Blimbingsari
Letak Geografis dan Profil GKPB Pniel Blimbingsari ......................................

15-18

Penggunaan Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari ..........................................

18-22

Kontroversi Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah ................

22-25

IV. Gamelan dalam Tradisi Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel”
Blimbingsari ......................................................................................................


25-35

V. Penutup
Kesimpulan ........................................................................................................

35-36

Saran ...................................................................................................................

36-37

Daftar Pustaka .........................................................................................................

38-39

viii

MOTTO
DREAM


BELIEVE

SEE IT

AND MAKE IT HAPPEN

ix

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis pemahaman
jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan gamelan sebagai musik
pengiring ibadah. Gamelan merupakan alat musik tradisional masyarakat Bali
yang seringkali digunakan dalam upacara sakral umat Hindu. Oleh karena itu,
ketika gamelan digunakan di dalam ibadah Kristen dengan tujuan kontekstualisasi
gereja dengan budaya setempat, terjadi kontroversi di kalangan jemaat GKPB
Pniel Blimbingsari. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Data diambil menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, seperti
observasi dan wawancara. Data yang telah didapat kemudian dianalisa
menggunakan teori kebudayaan dan musik tradisional. Pada akhirnya penulis
menemukan bahwa gamelan merupakan salah satu sarana bagi GKPB Pniel

Blimbingsari untuk mengakrabkan diri dengan masyarakat setempat. Melalui
gamelan sebagai budaya Bali jemaat ingin mengungkapkan bahwa meskipun
beragama Kristen, mereka bukanlah persekutuan yang eksklusif dan juga
merupakan orang Bali yang menghargai budaya Bali. Alasan beberapa jemaat
tidak setuju dengan penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah adalah
karena sebagian jemaat yang dulunya berlatarbelakang agama Hindu beranggapan
bahwa berani berkomitmen mengikut Kristus berarti harus meninggalkan
kehidupan yang lama dan hidup baru bersama Kristus, termasuk meninggalkan
budaya umat Hindu. Maka dari itu, GKPB Pniel Blimbingsari terus melakukan
pendekatan dengan cara menggunakan gamelan secara berkala di ibadah-ibadah
tertentu serta melakukan perkaderan terhadap generasi muda, sehingga jemaat
semakin lama mulai menyadari bahwa orang Kristen juga harus bertumbuh
bersama dengan masyarakat.

Kata kunci: gamelan, kebudayaan, kontekstualisasi.

x

I.
1.


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Musik adalah ekspresi seni yang berpangkal pada tubuh. Musik terdiri atas

suatu peredaran atau feedback atau arus balik dari menyembunyikan,
mendengarkan, dan menyembunyikan kembali. Membuat musik sama artinya
dengan berdialog dengan tubuh. Setiap manusia tentunya akan sadar, jika mereka
sedang mempelajari suatu aliran musik tertentu, pastilah gerakan yang dilakukan
saat itu bukanlah gerakan tubuhnya sehari-hari.1
Musik berfungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan ekspresi emosional,
kenikmatan estetis, hiburan, komunikasi, representasi simbolis, respon fisik,
memperkuat norma-norma sosial, pengesahan institusi-institusi sosial dan ritual,
sumbangan pada pelestarian dan stabilitas kebudayaan, dan sumbangan pada
integritas masyarakat. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa musik sangat
berkaitan dengan kehidupan manusia sebagai sarana untuk mengekspresikan
perasaan manusia, baik itu ekspresi sedih, senang, kecewa, bahagia, maka
penyajian musik yang tepat dapat menyentuh emosional manusia.2
Melihat kenyataan bahwa musik tidak dapat lepas dari kehidupan manusia,
maka tidak jarang musik juga dilibatkan dalam suatu kegiatan ibadah, dengan
kata lain, pada saat ini musik merupakan bagian integral dalam kegiatan ibadah
yang dilakukan oleh manusia, bahkan dalam tata ibadah gereja saat ini musik
memainkan peranan yang sangat penting karena didalamnya musik juga
merupakan suatu sarana yang dipakai untuk dapat mengekspresikan iman kepada
Tuhan.
Dalam konteks budaya, musik dapat memiliki ciri khas, corak, dan
warnanya tersendiri, tergantung kebutuhan sejarah dan lingkungan di mana
musik itu hidup. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa musik
itu bersifat kontekstual. Musik bukan saja merupakan suatu hal yang bersifat
universal tetapi juga bersifat lokal karena terkait dengan konteksnya.3
1

Shin Nakagawa, Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2000), 42-43.
2
Alan P. Merriam, The Anthropology of Music (Northwestern: University Press, 1964),
222-226.
3
Aristarchus Sukarto, “Kontekstualisasi Musik Gerejawi: Suatu Pertimbangan Teologis
dan Kultura,” Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, edisi Musik Gerejawi, No. 48 (1994): 119.

1

Demikian halnya dengan musik gereja, di mana pada saat ini beberapa gereja
telah melakukan usaha kontekstualisasi musik gereja dengan budaya atau
lingkungan setempat, meskipun hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan. Hal ini
terjadi karena pada kenyataannya banyak gereja telah merasa nyaman
menggunakan musik kontemporer sebagai musik pengiring ibadahnya, yang
menyebabkan situasi di mana gereja dianggap kurang mengenal dan tidak mau
berbaur dengan budaya yang ada. Ironisnya, ketika ada usaha dari gereja untuk
mengkontekstualkan diri dengan budaya yang ada, contohnya dengan
menggunakan musik tradisional sebagai musik pengiring ibadah, banyak anggota
jemaat yang pada akhirnya kurang bisa menikmati dan menghayati ibadah,
dikarenakan tidak terbiasa dengan iringan musik tradisional yang digunakan.
Padahal, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa
kontekstualisasi musik gereja itu dilakukan sebagai upaya mengkontekstualkan
gereja itu sendiri, supaya gereja tidak menjadi bagian yang asing bagi
lingkungannya.
Salah satu contoh usaha mengkontekstualisasikan musik tradisional dalam
ibadah adalah dengan menggunakan iringan gamelan sebagai musik pengiring
ibadah. Kontekstualisasi musik tradisional dengan menggunakan gamelan ini
sebelumnya telah diteliti oleh Kurniawan, salah seorang mahasiswa Teologi,
Universitas Kristen Satya Wacana, yang meneliti penggunaan gamelan dalam
konteks GKJ (Gereja Kristen Jawa).
Usaha kontekstualisasi musik gereja ini juga dilakukan oleh jemaat GKPB
(Gereja Kristen Protestan di Bali), yang terletak di sebuah desa kecil bernama
Blimbingsari, di bagian barat Pulau Bali. Menjadi gereja yang berdiri ditengah
mayoritas masyarakat dan kebudayaan Hindu, GKPB Pniel Blimbingsari juga
memperlihatkan usahanya dalam mengkontekstualkan diri dengan kebudayaan
setempat. Hal ini menjadi nyata ketika dalam kegiatan ibadahnya, gereja ini
menggunakan alat musik tradisional, yaitu gamelan sebagai sarana pengiring
ibadah.
Dalam tradisi Bali, gamelan biasanya digunakan untuk mengiringi orang
yang sedang menari, digunakan untuk konser gamelan, sebagai hiburan, sebagai
sarana pendidikan moral, sebagai pengiring drama gong Bali dan sebagai sarana

2

spiritual keagamaan.4
Dalam seni ritual keagamaan, musik gamelan adalah bagian yang integral
demi menciptakan aura mistis dalam ritual tersebut. Secara garis besar, ritualritual ini memiliki ciri-ciri khas tersendiri, yaitu diperlukan tempat pertunjukkan
yang terpilih yang terkadang dianggap sakral. Diperlukan pemilihan hari serta
saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap sakral. Diperlukan pemain yang
terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri
secara spiritual. Diperlukan seperangkat sesaji yang terkadang sangat banyak
jenis dan macamnya. Terakhir, lebih mementingkan penampilan secara estetis
dan memerlukan busana yang khas.5
Fungsi gamelan yang terakhir, yaitu sebagai sarana seni ritual keagamaan
inilah yang masih sangat kental terlihat di lingkungan GKPB, khususnya di
GKPB Pniel Blimbingsari, yaitu ibadah dilaksanakan dengan dipakainya gamelan
sebagai musik pengiring jalannya ibadah, tetapi disesuaikan dengan konteks
kekristenan.
Dalam perkembangannya, GKPB Pniel Blimbingsari berusaha untuk tetap
mempertahankan budaya, agar budaya itu tidak lenyap diterpa arus modernisasi
yang ada karena budaya juga merupakan suatu hal yang sangat berharga dan
mencerminkan identitasnya sebagai umat Kristiani yang bersuku Bali. Upaya
untuk tetap menjaga budaya Bali khususnya mempertahankan dan tetap
menggunakan gamelan ini terlihat dari banyaknya anggota jemaat, mulai dari
para generasi tua sampai anak-anak Sekolah Minggu, yang bisa memainkan
gamelan tersebut. Bagi mereka yang menikmati jenis musik gamelan ini merasa
bahwa ketika gamelan digunakan untuk mengiringi ibadah, maka hal itu mampu
memberikan nuansa baru pada saat ibadah berlangsung.
Akan

tetapi,

seperti

yang

telah

diuraikan

sebelumnya,

upaya

kontekstualisasi dalam hal musik gereja bukanlah merupakan hal yang mudah
untuk dilakukan. Permasalahan mulai muncul ketika terjadi pro dan kontra
diantara jemaat, dikarenakan tidak semua anggota jemaat bisa menerima jika
jalannya ibadah diiringi oleh musik tradisional, yaitu gamelan itu sendiri.
4

I Wayan Senen, Perempuan Dalam Seni Pertunjukan di Bali (Yogyakarta: BP ISI,

2005), 96.
5

I Nyoman Sukerna, Gamelan Jegog Bali (Semarang: Intra Pustaka Utama, 2003), 36.

3

Fenomena ini tampak karena ada pengakuan dari beberapa jemaat di GKPB Pniel
Blimbingsari yang lebih menyukai ibadah jika diiringi oleh musik populer yang
bersifat kontemporer, yaitu musik yang muncul pada zaman ini, yang menjadi
populer di kalangan masyarakat umum dan mudah untuk diterima serta dihayati.
Beberapa jemaat ini menganggap penggunaan gamelan sebagai musik pengiring
ibadah terkesan mistik karena gamelan sering digunakan dalam upacara sakral
agama Hindu.6
Perbedaan pendapat ini jelas menjadi sebuah permasalahan yang serius di
dalam gereja, karena pada akhirnya akan ada jemaat yang kurang bisa bahkan
tidak bisa menghayati ibadah hanya karena merasa tidak nyaman dengan alunan
musik tradisional yang digunakan, sehingga kegiatan ibadah tidak membawa
pertumbuhan iman bagi jemaat. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian
sehubungan dengan latar belakang ini adalah, “Bagaimana pemahaman jemaat
GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan gamelan sebagai musik
pengiring ibadah?” dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan
menganalisis pemahaman jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan
gamelan sebagai musik pengiring ibadah.
2.

Metode Penelitian
Dalam penelitian kali ini, penulis melakukan jenis penelitian lapangan

dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pengertian bahwa
penelitian ini akan dilakukan dengan cara mendeskripsikan permasalahan yang
ada untuk kemudian di analisa menggunakan beberapa teknik pengumpulan
data. Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu
metode observasi, dan metode wawancara.
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca
indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. 7 Dalam penelitian
yang dimaksud pengamatan tidak hanya sekedar melihat saja melainkan juga
perlu keaktifan untuk meresapi, mencermati, memaknai dan akhirnya mencatat.
6

Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Jemaat sekaligus Perkebel (Kepala
Desa) Blimbingsari, 28 Agustus 2016, 12.00 WITA.
7
Burhan Bungsin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 115.

4

Jadi, dalam metode observasi alat yang digunakan dapat berupa pedoman
observasi, catatan, check list, maupun alat-alat perekam lainnya.8 Sehubungan
dengan itu, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teknik pengumpulan
data dalam bentuk observasi langsung ke tempat penelitian untuk mengetahui
secara langsung situasi dan kondisi di tempat penelitian.
Wawancara adalah proses tanya jawab secara tatap muka yang dilaksanakan
oleh pewawancara dengan orang yang diwawancarai untuk memperoleh
informasi yang dibutuhkan. Namun perlu diingat bahwa wawancara bukan
sekedar upaya tanya jawab untuk memperoleh informasi saja melainkan juga
untuk memperoleh kesan langsung dari responden, memancing jawaban
responden, menilai kebenaran jawaban yang diberikan. 9 Penulis juga
menggunakan teknik wawancara untuk mengetahui pemahaman jemaat terhadap
permasalahan yang akan dianalisa di dalam penelitian ini. Adapun informan
yang akan diwawancarai adalah pendeta, majelis, dan beberapa warga dewasa
(warga SIDI) di GKPB Pniel Blimbingsari. Alasan penulis memilih GKPB Pniel
Blimbingsari sebagai lokasi penelitian adalah karena gereja ini merupakan salah
satu gereja yang masih menggunakan gamelan sebagai musik pengiring ibadah.
Iringan gamelan biasanya digunakan dalam prosesi ibadah Minggu di minggu I,
di mana ibadah tersebut menggunakan bahasa daerah, bahasa Bali. Selain itu,
terdapat juga kontroversi karena berbagai alasan diantara jemaat akibat
penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah.
3.

Sistematika Penulisan
Penulis akan membagi tulisan ini ke dalam 5 bab, yakni sebagai berikut:
Bagian satu adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian
dua adalah landasan teori tentang musik tradisional dalam ibadah yang meliputi
pemahaman tentang gamelan dan peran gamelan dalam ibadah. Selain itu akan
disajikan juga teori tentang kebudayaan. Bagian tiga adalah temuan hasil
penelitian di lapangan yang meliputi deskripsi dan pemahaman jemaat. Bagian

8

B. Sandjaja dan Albertus Heriyanto, Panduan Penelitian (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2006), 143.
9
Sandjaja dan Heriyanto, Panduan Penelitian, 147.

5

empat adalah pembahasan dan analisa hasil penelitian di lapangan dengan teori
kebudayaan dan musik tradisional. Bagian kelima adalah penutup yang meliputi
kesimpulan berupa temuan yang di dapat melalui pengolahan data hasil
penelitian dan saran kontribusi untuk penelitian selanjutnya.
II. MUSIK TRADISIONAL SEBAGAI KEBUDAYAAN
1.

Kebudayaan
Kebudayaan merupakan fenomena yang menyangkut keseharian dari orang-

orang yang menetap disuatu tempat. Ada banyak ahli dan teori yang mencoba
mendeskripsikan apa itu kebudayaan. Menurut ilmu antropologi, kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.10
Hal itu berarti hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya
sedikit dari tindakan manusia dalam rangka kehidupan manusia yang tidak perlu
dibiasakan dengan belajar.11 Setiap jejak manusia dapat dijadikan kebudayaan.
Jika lebih dikembangkan lagi seluruh ide, pemikiran yang timbul dari pemikiran
manusia dapat menjadi karya dalam kehidupan ini dan dapat menunjuang
kehidupan yang lebih baik pada manusia itu sendiri.12 Maka dari itu, dapat
dikatakan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari unsur-unsuk kebudayaan
dikarenakan berbagai tindakan, baik yang menghasilkan suatu karya baru atau
menggunakan karya yang lama.
Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk
jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Oleh karena itu, kebudayaan
dapat diartikan sebagai, “hal-hal yang bersangkutan dengan akal.” Ada pendapat
lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budiitu.13 Melalui pengertian ini dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan wujud
dari setiap rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola dan dijadikan
sebagai sebuah identitas dalam kelompok-kelompok tertentu. Manusia dan

10

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1979), 193.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 194.
12
Ridayani Simanjuntak, “Esensi Pendidikan Tarian Serampang Dua Belas,” dalam
Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal, ed.
Bungsran Antonius Simanjuntak (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 168.
13
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 195.
11

6

kebudayaan itu juga dapat dikatakan saling terkait satu sama lain. Tanpa manusia,
kebudayaan itu tidak akan lahir, begitu juga tanpa kebudayaan manusia akan
terlihat seperti mati.
J.J. Honigmann membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu ideas,
activities, dan artifacts. Ketiga gejala kebudayaan ini selaras dengan pendirian
Koentjaraningrat yang berpendapat bahwa ada tiga wujud kebudayaan. Wujud
pertama yang selaras dengan ideas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya. Wujud pertama juga sering dikatakan sebagai wujud ideal dari
kebudayaan. Dalam hal yang pertama ingin menjelaskan bahwa ide maupun
gagasan itu tidak dapat dilihat maupun diraba, namun harus diaplikasikan dan
dituangkan dalam tulisan-tulisan yang berkualitas dan dijadikan buku-buku yang
bermanfaat bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luas. Ide-ide dan
gagasan-gagasan ini pada akhirnya akan membentuk suatu sistem budaya atau
cultural system, yang pada saat ini sering disebut dengan adat istiadat.14
Manusia merupakan homo socius atau makhluk yang selalu berkawan. Pola
hidup demikian dapat membentuk sebuah relasi sosial yang menjadikan manusia
hidup secara berkelompok.15 Akan tetapi, nyatanya pola hidup berkelompok tidak
dapat sepenuhnya menjamin bahwa kehidupan manusia akan berjalan damai tanpa
adanya kekacauan. Hal ini dikarenakan meskipun manusia merupakan homo
socius, disatu sisi pada dasarnya manusia adalah makhluk yang rasional, penuh
perhitungan, berpusat pada diri sendiri (selfish), dan individualis.16 Sifat seperti
ini seringkali menjadikan manusia sebagai makhluk yang selalu ingin bersaing
dalam hal apapun dan pada akhirnya menjadi penyebab kekacauan di dalam
sebuah kelompok masyarakat. Maka dari itu, diperlukan sebuah sistem, atau
norma-norma, atau peraturan untuk mengatur pola hidup masyarakat yang pada
saat ini tertuang dalam adat istiadat. Oleh karena itu, di dalam perbedaan
sekalipun adat istiadat yang terbentuk dari ide-ide dan gagasan-gagasan, yang
telah disepakati bersama di dalam masyarakat pada akhirnya akan mempersatukan
14

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 200-201.
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan: Proses Realisasi Manusia
(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 72.
16
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius,
2013), 54.
15

7

segala perbedaan yang ada. Kesatuan ini pada akhirnya akan membentuk rasa
aman dan damai yang sudah seharusnya dilestarikan sebagai media pembelajaran
bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luas.
Wujud kedua adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kedua ini juga
disebut dengan sistem sosial atau social system. Sistem sosial ini terdiri atas
aktivitas-aktivitas manusia seperti berinteraksi, bersosialisasi, serta bergaul
dengan manusia yang lain, menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan nilai-nilai
yang telah disepakati dan adat tata kelakukan. Aktivitas manusia ini tidak abstrak,
tetapi konkret, dapat dilihat dengan cara difoto, didokumentasikan, diobservasi.17
Proses terbentuknya suatu masyarakat adalah apabila ada sekelompok orang yang
bermukim disatu wilayah, yang hidup bersama dan mendukung nilai-nilai, dan
cara berlaku atau kebudayaan yang dimiliki bersama dalam hidup kelompok
tersebut. Manusia yang hidup berkelompok atau masyarakat ini hidup bersama
dengan menganut nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman bagi
masyarakat bersangkutan, yang diabstraksikan dan dinamakan kebudayaan. Hal
ini menandakan bahwa, masyarakat yaitu orang-orang yang hidup berkelompok,
tidak pernah terpisah dari nilai-nilainya.18 Nilai-nilai kebudayaan inilah yang pada
akhirnya membentuk suatu sistem sosial di dalam masyarakat. Sistem sosial inilah
yang menjadi pedoman agar manusia bisa hidup berdampingan satu sama lain,
karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan relasi
dengan sesamanya.
Wujud kebudayaan ketiga adalah kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya manusia. Wujud ketiga ini disebut juga sebagai kebudayaan fisik dan tidak
memerlukan banyak penjelasan, karena berupa keseluruhan dari hasil fisik dan
aktivitas, perbuatan, dan karya manusia itu sendiri.19 Kebudayaan fisik ini sangat
mudah dijumpai disekitar kita, dalam rupa benda-benda yang memperlengkapi
aktivitas manusia sehari-hari. Salah satu benda hasil karya manusia yang
merupakan wujud fisik dari kebudayaan adalah alat-alat musik, misalnya gamelan.

17

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 201-202.
T. O. Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2016), xviii-xix.
19
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 202.
18

8

Dalam kebudayaan Bali, gamelan merupakan wujud fisik yang digunakan sebagai
musik pengiring berbagai macam kegiatan, terutama sebagai sarana spiritual
untuk membangun suasana ibadah sehingga orang-orang dapat lebih menghayati
jalannya ibadah tersebut.
Ketiga wujud kebudayaan yang terurai diatas, dalam kehidupan manusia
berkaitan satu dengan yang lainnya. Kebudayaan ideal dan adat istiadat dapat
mengatur dan memberikan arah kepada tindakan aktivitas manusia sehingga
menghasilkan kebudayaan fisik yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia
itu sendiri. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup
tertentu yang lama-kelamaan semakin menjauhkan manusia dari lingkungan
alamiahnya sehingga mempengaruhi pola perbuatan dan cara berpikir manusia.20
2.

Unsur-unsur Kebudayaan
Keseluruhan tindakan masyarakat luas yang berpola itu dapat diperinci ke

dalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar dengan hal tersebut suatu kebudayaan
yang luas itu pun dapat pula diperinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus. Ada
tujuh unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditemui pada semua bangsa di dunia ini.
Ketujuh unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,
sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem
religi, dan kesenian.21 Ketujuh unsur-unsur ini saling berkaitan satu dengan yang
lainnya. Misalnya saja dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan sarana penyalur
kepercayaan, nilai, estetika, dan norma, termasuk seni dan religi, bahkan unsurunsur lain pun dapat melebur di dalamnya. Keterkaitan ketujuh unsur-unsur ini
dapat menjadi suatu tatanan yang mengatur pola hidup masyarakat yang
multikultur.
3.

Fungsi Kebudayaan
Kebudayaan memiliki fungsi yang sangat besar bagi kehidupan manusia dan

masyarakat. Dikatakan demikian karena kebutuhan-kebutuhan masyarakat
sebagian besar dipenuhi melalui kebudayaan yang bersumber dari pada
masyarakat itu sendiri, meskipun seringkali hasil dari kebudayaan itu juga terbatas
20
21

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 202.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 217-218.

9

dalam memenuhi kebutuhan manusia. Maka dari itu, secara fungsional,
keberadaan kebudayaan dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
Pertama, fungsi kebudayaan untuk melindungi diri terhadap alam, di mana
hasil karya dari manusia, menimbulkan teknologi atau kebudayaan fisik yang
mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap
lingkungan alamnya.22 Pemanfaatan kebudayaan yang baik dapat menjadikan
manusia lebih bisa untuk menghadapi tantangan-tantangan alam di sekitarnya.
Kedua, fungsi kebudayaan untuk mengatur hubungan antar manusia.
Khususnya dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan disebut sebagai
suatu struktur normatif atau design for living, yaitu garis-garis atau petunjukpetunjuk dalam hidup. Artinya kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang
perilaku mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang. 23 Garis-garis
pokok atau petunjuk hidup ini diwujudkan dalam suatu sistem budaya atau adat
istiadat yang telah disepakati bersama dalam suatu masyarakat tertentu. Nilai-nilai
yang tertuang dalam adat istiadat inilah yang menjadi pedoman untuk mengatur
hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat.
Ketiga, fungsi kebudayaan sebagai wadah segenap perasaan manusia. Apabila
manusia sudah dapat mempertahankan diri dan menyesuaikan diri dengan alam,
dan juga jikalau manusia telah mampu hidup dengan manusia lain dalam suasana
damai, maka timbullah keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu dalam
menyatakan perasaan dan keinginannya kepada orang lain. Dalam menyatakan
perasaan dan keinginannya, manusia mewujudkannya dalam suatu karya. Salah
satu contohnya adalah kesenian yang dapat berwujud seni suara, seni musik, seni
tari, seni lukis, seni ukir, dan lain sebagainya.24 Gamelan adalah salah satu hasil
karya manusia yang berwujud karya seni musik, dengan kata lain gamelan
merupakan wujud dari fungsi kebudayaan untuk menyatakan perasaan manusia
melalui sebuah karya seni.
Setiap daerah dan setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan yang
berberbeda-beda. Maka dari itu, nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri juga
berbeda disatu tempat dengan tempat yang lainnya, tergantung dimana
22

Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya (Salatiga:Widya Sari Press, 2005), 41-42.
Widiarto, Pengantar Antropologi, 42-46.
24
Widiarto, Pengantar Antropologi, 46-47.
23

10

kebudayaan itu tumbuh. Mentaati kebudayaan, melestarikan kebudayaan, dan
pemanfaatan kebudayaan dengan cara bijak sudah seharusnya dilakukan oleh
kelompok masyarakat, sehingga kebudayaan tersebut dapat menjadi sarana untuk
mengatur kehidupan masyarakat menuju kehidupannya yang damai. Gamelan
merupakan salah satu kebudayaan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tertentu,
misalnya masyarakat Bali
4.

Gamelan sebagai Musik Tradisional
Musik adalah seni pengungkapan gagasan melalui bunyi, yang unsur

dasarnya berupa melodi, irama, dan harmoni, dengan unsur pendukung berupa
gagasan, sifat, dan warna bunyi. Dalam penyajiannya, musik seringkali juga
berpadu dengan unsur-unsur lain, seperti bahasa, gerak, ataupun warna.25 Hal ini
menandakan bahwa musik mempunyai peranan di dalam aktivitas manusia,
seperti dalam pekerjaan, dalam bidang tari, atau dalam bidang permainan. Musik,
seperti juga bahasa, merupakan aktivitas manusia yang menggunakan elemen
dasar suara. Perbedaannya terletak pada tujuan dan pengaturannya.
Di Indonesia, musik berkembang sesuai dengan tradisi yang ada di
masyarakat tertentu dan diwariskan secara turun-temurun. Musik tersebut dikenal
dengan musik tradisional. Musik tradisional berasal dari luapan makna emosi
masyarakat, sejarah, dan kehidupan masyarakat yang terdiri dari fungsi, bentuk,
sejarah dan ciri khas daerah tertentu.26 Musik tradisional mempunyai ciri dan sifat
yang dapat membedakan dari mana musik tradisional itu berasal.27 Oleh karena
itu, dapat dikatakan, bahwa musik tradisional dalam banyak hal digunakan untuk
keperluan hidup suatu komunitas yang kemudian menyebabkan musik tradisional
identik dengan identitas suatu daerah.
Secara umum musik tradisional memiliki beberapa ciri-ciri: 1) Ide musik
tidak disampaikan melalui tulisan berupa notasi atau partitur, tetapi secara lisan
oleh penciptanya. 2) Diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya secara lisan, sehingga tetap dikenal oleh masyarakatnya. 3)
25

M. Soeharto, Kamus Musik (Jakarta: Gramedia, 1992), 86.
Philip V. Bohlman, The Study of Folk Music in The Modern World (Bloomington:
Indiana University Press, 1988), 16.
27
Sila Widhyatama, Sejarah Musik dan Apresiasi Seni (Jakarta: Balai Pustaka, 2012), 3536.
26

11

Syair lagu berbahasa daerah. Selain itu, alunan melodi dan iramanya juga
menunjukkan ciri khas kedaerahan. 4) Iring-iringan lagu menggunakan alat musik
khas daerah.28 Kesenian tradisional pada umumnya tidak diketahui pasti kapan
dan siapa penciptanya. Hal ini dikarenakan kesenian tradisional atau kesenian
rakyat bukan merupakan hasil kreativitas individu, tetapi secara anonim bersama
kreatifitas masyarakat yang mendukungnya.29 Sampai saat ini nyatanya musik
tradisional dapat terus hidup di dalam hati masyarakat karena secara tidak
langsung tradisi yang diwariskan secaea turun-temurun tersebut lama-kelaman
menjadi sebuah ciri khas dan jati diri daerah di mana musik tradisional itu
berkembang, dengan kata lain, suatu musik tradisional di dalamnya terdapat
gambaran mentalitas, prinsip-prinsip ekspresif, dan nilai-nilai estetik suatu jenis
masyarakat.
Dalam perkembangannya musik tradisional juga dibagi atas musik
instrumental dan musik vokal. Musik instrumental bersumber dari alat-alat musik
yang digunakan untuk menghasilkan bunyi. Musik instrumental dibedakan
berdasarkan cara penggunaannya, alat musik tiup (seruling, terompet, flute, dan
lainnya), alat musik tabuh (gamelan, tifa, rebana, drum, kolintang, dan lainnya),
alat musik petik (gitar, kecapi, harpa, dan lainnya). Sementara itu, musik vokal
bersumber pada suara manusia.30 Dalam kenyataannya kedua jenis musik ini
seringkali digunakan secara bersama-sama.
Dibeberapa wilayah di Indonesia perkembangan seni tradisional sangat dijaga
kelestariannya, bahkan dalam berbagai kegiatan kedaerahan seni musik tradisional
menjadi sarana pilihan, baik itu untuk hiburan ataupun sarana spiritual.
Gamelan, merupakan salah satu alat musik tradisional yang bersifat
instrumental, yang seringkali digunakan dalam setiap kegiatan kedaerahan,
khususnya Jawa dan Bali. Gamelan adalah suatu bentuk pernyataan musikal yang
bersifat majemuk dan mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi serta maju.31
Gamelan berasal dari kata “gamel”, yang dalam bahasa Jawa dan Bali berarti
28

Maryanto, Dwi Wahyu Candra Dewi, dan Syahlan Mattiro, Tinjauan Etnomusikologi:
Musik Kuriding Suku Dayak Bakumpai (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), 19.
29
Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta:Sinar Harapan, 1981), 60.
30
M. Th. Mawene, Gereja yang Bernyanyi (Yogyakarta: Andi, 2004), 1-2.
31
Ensiklopedi Musik Indonesia: Seri F-J (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985) 22.

12

“pukul”.32 Jadi, gamelan merupakan suatu aktifitas menabuh yang dilakukan oleh
beberapa orang, yang kemudian menjadi nama suatu alat musik ansambel.
Berbeda dari masyarakat Jawa, masyarakat Bali menyebut gamelan dengan
gambelan. Terdapat kurang lebih 26 perangkat gamelan di Bali, di mana
perangkat satu dengan yang lain memiliki fungsi, ricikan (tangguhan), pendukung,
maupun repertoar gending (nyanyian) yang berbeda-beda. Gamelan Bali biasanya
lebih menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong.33 Sama halnya
dengan kebudayaan musik ditempat lain, gamelan Bali juga memiliki sejarah yang
panjang hingga perkembangannya sampai saat ini. Gamelan pn memiliki makna
yang mendalam bagi masyarakat Bali, karena tidak hanya digunakan sebagai
sarana hiburan semata, melainkan juga sebagai sarana spiritual untuk mengiringi
ritus-ritus keagamaan.
5.

Penggunaan Musik di Gereja
Sejak awal hadirnya sejarah musik, musik memang dipergunakan sebagai

sarana pemujaan karena musik dianggap berasal dari dewa-dewi.34 Seiring
dengan berjalannya waktu, lahirnya kekristenan dan musik pun menjadi bagian
yang integral dalam kehidupan kekristenan. Istilah musik liturgi atau musik
gereja atau

musica sacra digunakan sebagai penggambaran terhadap

berkembangnya musik dalam suasana kekristenan, serta menjadi salah satu
unsur dan bentuk ungkapan liturgi gereja. Oleh karena itu, istilah musik gereja
sering dipahami sebagai keseluruhan jenis musik yang digunakan dalam liturgi,
sedangkan nyanyian liturgi menunjuk pada hasil atau apa yang dinyanyikan
dalam rangka musik gereja.35
Liturgi yang merupakan perayaan iman gereja senantiasa tidak dapat lepas
dari unsur musik. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan gereja perdana yang
sudah mengenal musik, yaitu musik yang berakar pada ibadat Yahudi. Dalam
Perjanjian Baru, kita mencatat bahwa Yesus dan para murid menyanyikan kidung
32

Pono Banoe, Kamus Musik (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 158.
Pande Made Sukerta, Gending-gending Gong Gede: Sebuah Analisa Bentuk (Jakarta:
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2002), 1.
34
David Samiyono, Materi Kuliah Pengantar Kedalam Sejarah Musik Gereja (Salatiga:
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2006), ii.
35
E. Martasudjita dan J. Kristanto, Panduan Memilih Nyanyian Liturgi (Yogyakarta:
Kanisius, 2011), 14.
33

13

Hallel (Mat 26:30; Mrk 14:26). Umat beriman juga bernyanyi dalam ibadat
mereka. Maka penulis surat Efesus dan Kolose berkata, “… dan berkata-katalah
seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani.
Bernyanyilah dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati” (Ef 5:19; Kol
:16).36
Sejarah gereja selanjutnya mencatat bahwa gereja tidak pernah lepas dari
musik. Nyanyian Gregorian yang dikumpulkan oleh Paus Gregorius Agung pada
abad 8 merupakan contoh klasik jenis musik nyanyian yang bertahan hingga hari
ini.37 Musik gereja mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Dikarenakan
belum ada notasi, maka sampai dengan abad ke-10 musik gereja sama dengan
musik Gregorian, yang diteruskan secara lisan dan improvisasi. Musik Gregorian
sering disebut sebagai musik monofon, yaitu suatu jenis musik yang terdiri dari
suatu suara saja, tanpa iringan apapun.38 Oleh karena itu, tidak heran jika pada
zaman ini musik Gregorian yang seharusnya dibawakan dengan satu suara,
dinyanyikan dengan beberapa suara oleh paduan suara dan terkadang teks asli dari
Kitab Suci juga diganti atau disisipi dengan naskah tambahan.39
Tidak hanya musik nyanyian yang mampu berkembang dan bertahan hingga
saat ini. Alat-alat musik yang digunakan pun juga terus berkembang dalam sejarah
musik. Meskipun pada mulanya gereja sangat berhati-hati dengan alat musik,
namun perlahan gereja mulai menerima penggunaan alat-alat musik itu dalam
liturgi, sejauh alat musik tersebut dapat mendukung liturgi.
Gamelan merupakan salah satu contoh alat musik tradisional yang pada saat
ini sering digunakan sebagai musik pengiring ibadah, khususnya beberapa gereja
di Bali. Bagi jemaat Bali, mengkontekstualisasikan diri dengan seni tradisional
setempat merupakan sarana penaburan kebenaran firman Tuhan, dilingkungan
masyarakat Bali dan juga dilingkungan masyarakat lain. Penggunaan gamelan pun
disesuaikan dengan kebutuhan dan nyanyian liturgi, karena tujuan dari sebuah
musik ibadah adalah kemuliaan Allah dan pengudusan orang beriman. Maka dari

36

Martasudjita dan Kristanto, Panduan Memilih, 11-12.
Martasudjita dan Kristanto, Panduan Memilih, 13
38
Karl Edmund Prier, Sejarah Musik: Jilid 1 (Yogyakarta: Pustaka Musik Liturgi, 1991)
37

86.
39

A. Hauken, Ensiklopedi Gereja: Jilid V (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005),

269.

14

itu sebuah musik gereja harus dapat menolong jemaat untuk membuka diri dalam
pembaharuan iman.
Pada saat ini ada dua jenis musik yang sering digunakan dalam kegiatan
ibadah di gereja, yaitu musik modern dan musik tradisional. Musik modern
dikenal dengan nama musik populer yang dipengaruhi oleh gaya musik Barat.
Musik modern ini biasa dimainkan menggunakan alat musik Barat, misalnya
piano, gitar, bass, drum, dan sebagainya.
Jenis musik kedua adalah musik tradisional. Biasanya musik yang digunakan
merupakan ciri khas daerah di mana gereja itu berada. Alat-alat musik yang
berkembang dan digunakan sebagai sarana pendukung liturgi saat ini pun
disesuaikan dengan tradisi setempat, sehingga muncullah suatu kontektualisasi
terhadap penggunaan alat musik tradisional sebagai musik pengiring ibadah.
Dalam kajian penelitian ini akan menggunakan musik tradisional sebagai alat
analisa penelitian. Maka dari itu, judul dari penelitian ini adalah, “Pemahaman
Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai Musik
Pengiring Ibadah.”
II. GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI BALI – DI BLIMBINGSARI
1.

Letak Geografis dan Profil GKPB Pniel Blimbingsari
Secara geografis, Desa Blimbingsari terletak di Kecamatan Melaya,

Kabupaten Jembrana. Di sebelah timur, Desa Blimbingsari berbatasan dengan
Desa Ekasari dan Desa Palasari, di sebelah utara dan barat berbatasan dengan
Taman Nasional Bali Barat, dan di sebelah selatan berbatasan dengan dusun
Pangkung Tanah dan Desa Melaya.
Penamaan Blimbingsari mempunyai sejarah yang sederhana, meskipun
sejarah terbentuknya desa itu sendiri tidak dapat dikatakan sederhana. Sejarah
Blimbingsari dapat dituturkan secara singkat, berawal dari pembaptisan 12 orang
Bali oleh Pdt. Dr. Jeffrey di Tukad Yeh Poh, Untal-untal, Dalung. Lahirnya gereja
Bali ini adalah berkat panggilan Tuhan kepada Pdt. Tsang To Hang dari Christian
and Missionary Alliance (C&MA), yang menyerahkan seluruh hidupnya
memenangkan Kerajaan Allah meskipun jalan yang dilalui sangat beresiko. Hal
ini terjadi karena Pdt. Tsang To Hang yang berasal dari aliran fundamentalis

15

menyatakan bahwa menjadi orang Kristen harus lahir baru, mengikuti apa yang
dari sorga dan menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan dewa-dewa
yang dianggap kafir. Orang Kristen harus menolak segala bentuk persembahan
maupun kerja gotong-royong di Pura desa, Pura keluarga, kuburan, maupun
sawah-sawah yang berhubungan dengan agama Hindu.40
Akibatnya timbul perlawanan dari saudara yang beragama Hindu, yang
mengakibatkan kekacauan di manapun kekristenan itu berada. Orang Kristen Bali
dibuang (maselong) atau dikucilkan, tidak diajak berbicara, dibuang dari keluarga,
tidak boleh menguburkan di kuburan Hindu, tidak boleh mendapat air untuk
sawah-sawah karena menurut kepercayaan Hindu, air adalah milik Dewi sri. Isi
lumbung mereka diambil, dicemooh, dicaci maki, dan banyak kesulitan lain yang
dihadapi oleh orang Kristen Bali. Akibatnya pemerintah Belanda pada saat itu
memutuskan untuk mengucilkan orang Kristen Bali ke alas (hutan) angker di
wilayah Bali Barat dengan tujuan agar mereka mati, karena di dalam hutan
tersebut banyak terdapat binatang buas. Singkat cerita, berkat pertolongan Tuhan
dan juga kerja keras dari orang Kristen Bali pada saat itu, mereka berhasil
memberdayakan hutan angker yang penuh dengan binatang buas menajdi sebuah
desa yang asri sampai dengan saat ini.41
Dibalik sejarah terbentuknya kekristenan awal di Bali yang begitu rumit,
penamaan desa Blimbingsari sendiri memiliki sejarah yang sederhana. Ketika
orang Kristen Bali dibuang ke hutan angker Bali Barat, mereka tidak putus asa
dan menjauh dari Tuhan, tetapi terus berusaha untuk bertahan hidup. Dalam
pergumulannya, mereka pun mulai mengusahakan hutan tersebut sehingga layak
untuk dijadikan tempat tinggal, sehingga mereka mulai menebang sebagian pohon
untuk dijadikan lahan pemukiman. Diantara pohon yang ditebang terdapat banyak
pohon belimbing hutan yang disebut belimbing talun, yaitu pohon yang bentuk
daunnya hampir sama dengan daun belimbing, tetapi daun-daun muda yang baru
tumbuh berwarna merah muda dan tampak sangat indah karena daun-daun itu

40

Ketut Suyaga Ayub, Blimbingsari The Promise Land: Gereja Kristen Protestan di Bali
(Yogyakarta: Andi, 2014), 18-23.
41
Ayub, Blimbingsari The Promise, 23-39.

16

tumbuh pada bulan-bulan tertentu secara bersamaan. Daerah tersebut kemudian
diberi nama “Blimbingsari”.42
Tata letak desa Blimbingsari dapat dikatakan unik, karena jalannya dibuat
dengan formasi salib. Arah utara ke selatan, dibuatkan jalan panjang, seolah-olah
tempat tubuh Yesus, mulai dari kepala hingga kaki yang dipaku. Sementara dari
barat ke timur dibuatkan jalan yang pendek, sebagai tempat tangan Yesus yang
dipaku pada salib. Formasi salib ini dibuat berdasarkan budaya Bali, yaitu tanah
kuburan diletakkan dibagian selatan, di arah tenggara. Sebagaimana hal pura,
Gereja ditempatkan dibagian utara, di arah timur laut, tetapi seiring berjalannya
waktu, Gereja dipindahkan dibagian barat. Kemudian, sebagai patokan di
pertemuan kayu salib ditanam sebuah pohon beringin besar, yang saat ini telah
dibuatkan sebuah tugu, yang sekaligus menjadi pusat aktivitas masyarakat dalam
berjualan makanan khas Bali, seusai ibadah Minggu.43 Penamaan dan penataan
desa Blimbingsari memang terkesan sederhana, tetapi dibalik kesederhanaannya
itu tersimpan makna bersejarah atas lahirnya GKPB.44
Pada saat ini, secara keseluruhan jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terdiri dari
175 KK dengan jumlah anggota jemaat kurang lebih 800 jiwa. Jumlah ini
kemungkinan akan meningkat, mengingat pada tahun ini majelis setempat belum
melakukan pendataan ulang kepada warga jemaat.45 Mayoritas jemaat
Blimbingsari adalah pensiunan dari kota yang memilih pulang kampung dan
menetap di kampung. Maka dari itu, kebanyakan jemaat di Desa Blimbingsari
bermatapencaharian sebagai petani atau berkebun.46
Selain warga jemaat menetap di Desa Blimbingsari, GKPB Pniel
Blimbingsari juga memiliki jemaat diaspora. Jemaat diaspora adalah jemaat yang
secara status tercatat sebagai jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, tetapi karena
pekerjaan, pendidikan, ataupun kepentingan lainnya mereka terpaksa harus
meninggalkan desa dan merantau ke luar desa. Oleh karena itu, perayaan hari raya
gerejawi menjadi momen yang paling ditunggu oleh jemaat diaspora, karena
42

Ayub, Blimbingsari The Promise, 49.
Ayub, Blimbingsari The Promise, 50-51.
44
I Wayan Sunarya, Blimbingsari Selayang Pandang (Yogyakarta: Andi, 2015), 1.
45
Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,
12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA.
46
Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12
Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.
43

17

disanalah mereka akan memiliki kesempatan untuk pulang ke kampung halaman
dan berkumpul serta beribadah bersama keluarga.47
Desa Blimbingsari saat ini telah berkembang menjadi desa wisata. Kearifan
lokal yang ada menjadikan Desa Blimbingsari memiliki daya tarik tersendiri, tidak
hanya bagi wisatawan lokal, melainkan juga wisatawan asing dari berbagai
negara. Tidak jarang para wisatawan asing sengaja datang untuk menetap secara
sementara hanya untuk mempelajari kearifan lokal yang ada, bahkan mereka juga
membantu jemaat dalam bentuk pengajaran bahasa Inggris, khususnya mengajar
anak-anak panti asuhan yang berada di Desa Blimbingsari.48
2.

Penggunaan Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari
Musik adalah penghayatan isi hati manusia yang diungkapkan dalam bentuk

bunyi yang teratur dengan melodi atau ritme serta mempunyai unsur atau
keselarasan yang indah.49 Maka dari itu, musik seringkali dijadikan sebagai sarana
dalam mengekspresikan emosional manusia. Musik tidak hanya dapat dijadikan
sebagai sarana hiburan saja, melainkan musik juga seringkali dijadikan sebagai
sarana spiritualitas, yaitu sebagai pengiring dalam suatu upacara keagamaan.
Di dalam konteks kekristenan, musik digunakan sebagai sarana pendukung
liturgi. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan gereja perdana yang sudah
mengenal musik, yaitu musik yang berakar pada ibadat Yahudi. 50 Sampai saat ini
penggunaan musik sebagai sarana pendukung liturgi terus berkembang. Pada
mulanya gereja-gereja, khususnya di Indonesia lebih sering menggunakan musik
bernuansa Eropa, atau yang lebih dikenal dengan musik modern sebagai musik
pengiring ibadah. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu musik bernuansa
tradisional pun mulai digunakan sebagai upaya mengkontekstualisasikan diri
dengan budaya di mana gereja itu bertumbuh.
Upaya mengkontekstualisasikan diri dengan budaya dilakukan pula oleh
jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, dengan mengadakan ibadah kontekstual setiap
satu bulan sekali, di minggu pertama. Di dalam ibadah kontekstual, seluruh
47

Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,
12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA.
48
Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,
12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA.
49
Widhyatama, Sejarah Musik, 1.
50
Martasudjita dan Kristanto, Panduan Memilih, 11-12.

18

rangkaian ibadah bernuansa budaya Bali. Di mulai dari penggunaan bahasa dalam
liturgi dan khotbah adalah bahasa Bali, pakaian yang digunakan adalah pakaian
adat Bali, dan musik yang digunakan pun bernuansa Bali. Gamelan gong, menjadi
alat musik tradisional yang dipakai oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari sebagai
musik pengiring di dalam ibadah kontekstual. Ibadah ini dirangkai dengan ibadah
keluarga, dengan kata lain tidak hanya warga dewasa atau warga SIDI yang
mengikuti ibadah kontekstual, melainkan seluruh kategorial, mulai dari Sekolah
Minggu sampai lansia.51
Kontekstualisasi budaya merupakan suatu upaya sinode GKPB dalam
mengeks