Tingkat Kesuburan Tanah Pada Lahan Agroforestri Karet di Desa Marjanji Asih, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Agroforestri Karet
Agroforestri berhubungan dengan sistem penggunaan lahan di mana pohon
ditanam bersama – sama dengan tanaman pertanian dan tanaman penghasil
makanan ternak. Asosiasi ini meliputi dimensi waktu dan ruang, dimana
komponen – komponen ini tumbuh bersama-sama pada lahan yang sama. Dalam
sistem ini akan mempertimbangkan nilai – nilai ekologi dan ekonomi dalam
interaksi antar pohondan komponen lainnya. Di sisi lain agroforestri merupakan
bentuk pengelolaan lahan dengan mengelola pohon secara bersama-sama dengan
tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem berkelanjutan secara
ekologi, sosial maupun ekonomi. Sistem agroforestri dapat dikelompokkan
menurut struktur dan fungsinya, dan merupakan kombinasi antara pepohonan,
tanaman, padang rumput/makanan ternak dan komponen lainnya (Hairiah, 2003).
Pembukaan hutan menjadi kebun-kebun karet rakyat secara tradisional,
terdapat pola-pola pencampuran penanaman antara tanaman karet sebagai
tanaman pokok dengan tanaman semusim (padi, palawija, dan lain-lain), maupun
dengan tanaman keras lainnya (kayu-kayuan dan buah-buahan). Khusus untuk
penanaman karet rakyat dengan pencampuran atau kombinasi tanaman lainnya,
menurut de Foresta dan Michon (1992) suatu bentuk agroforestri karet yang biasa
terdapat pada daratan-daratan rendah di Sumatera dan Kalimantan yang

menyerupai hutan sekunder dengan tegakan-tegakan lebat, pohon-pohon rendah
dan pergantian spesies yang sangat cepat. Agroforesri karet rakyat biasanya

4

Universitas Sumatera Utara

dikelola dengan teknik budidaya sederhana berupa pemupukan sesuai kemampuan
petani.
Lebih spesifik lagi pola pencampuran atau kombinasi karet dengan
tanaman lainnya menurut Budiman dkk (1994) disebut sebagai suatu Sistem
Agroforestri Karet atau Rubber Agroforestry System (RAS) yaitu suatu pola
agroforestri pada karet yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hasil
panen, termasuk karet itu sendiri sebagai hasil utama dan juga hasil sampingan
seperti 3 buah-buahan, kayu, rotan, dan lain-lain dengan suatu sistem intensifikasi
dan untuk kepentingan kelestarian karet tersebut.
Agroforestri memliki 2 tipe bentuk lahan, yakni tipe agroforestri sederhana
dan tipe agroforestri kompleks. Pada Sistem agroforestri sederhana adalah
menanam pepohonan contoh karet, secara tumpang-sari dengan satu atau beberapa
jenis tanaman semusim contoh kakao, kacang-kacangan dan


lain-lain.

Agroforestri kompleks merupakan suatu sistem pertanian menetap yang berisi
banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam. Di dalam sistem ini
tercakup beraneka jenis komponen seperti pepohonan, perdu, tanaman musiman
dan rerumputan dalam jumlah banyak. Kenampakan fisik dan dinamika di
dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan
sekunder (ICRAF, 2013).
Penerapan pola agroforestri berupa memberikan manfaat yang cukup besar
bagi warga masyarakat baik secara ekonomi maupun ekologi. Secara ekologi pola
memberikan banyak manfaat yakni: (1) Dapat mempertahankan kualitas
sumberdaya alam serta agroekosistem secara keseluruhan yang didalamnya

Universitas Sumatera Utara

termasuk hewan,tanaman dan jasad renik; (2) tercipta iklim mikro yang cocok
bagi organisme lain; (3) sebagai sumber penghasilan tambahan bagi keluarga; (4)
mobilisasi unsur hara dalam ekosistem; (5) mengendalikan populasi hama,
penyakit dan gulma jauh dibawah ambang ekonomis; (6) mengkonservasi air dan

mengoptimalkan pemakaiannya; (7) mengkonservasi berbagai keragaman genetik
dengan

fungsi

yang

berbeda

dalam

menstabilkan

ekosistem

tersebut

(Hairiah dan Sunaryo,1999).
Potensi Tanaman Karet
Indonesia memiliki luas lahan perkebunan karet terbesar di dunia, dengan

luas areal mencapai 3,4 juta ha, mengungguli areal karet Thailand (2,67 juta ha)
dan Malaysia (1,02 juta ha). Menurut data Ditjenbun (2012), penerimaan devisa
negara dari perkebunan karet dapat mencapai 5,27 miliar dolar AS. Selain
berperan besar dalam perekonomian, perkebunan karet juga berkontribusi penting
dalam peningkatan cadangan karbon. Jumlah penyerapan karbon di perkebunan
karet dapat mencapai 4,65 ton CO 2 /ha tiap tahunnya. Artinya, jumlah karbon yang
diserap dalam areal perkebunan karet selama satu siklus penanaman (±21 tahun)
dapat mencapai 97,65 ton CO 2 /ha. Penyerapan tersebut bersumber dari serasah
tanaman karet (64,99 ton CO 2 /ha) dan biomassa tanaman (32,59 ton CO 2 /ha)
(Stevanus dan Sahuri, 2014).
Sumatra dan Kalimantan adalah daerah penghasil karet terbesar di
Indonesia dengan sentra produksi tersebar di Sumatra Selatan (668 ribu hektar),
Sumatra Utara (465 ribu hektar), Jambi (444 ribu hektar), Riau (390 ribu hektar),
dan Kalimantan Barat (388 ribu hektar). Sementara Sulawesi Selatan adalah

Universitas Sumatera Utara

Provinsi yang memiliki luas perkebunan karet terbesar di Sulawesi yaitu sekitar
19 ribu hektar (Janudianto dkk, 2013).
Tanaman karet juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam

pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu
penting mengingat kondisi sebagian besar hutan alam makin memprihatinkan.
Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan seperti oksigen, kayu, dan biomassa
dapat digunakan untuk mendukung fungsi perbaikan lingkungan seperti
rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir, pengaturan tata guna air bagi
tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan bebas polusi. Pada daerah
kritis, daun karet yang gugur mampu menyuburkan tanah. Daur hidup tanaman
karet yang demikian akan terus berputar dan berulang selama satu siklus tanaman
karet paling tidak selama 30 tahun. Oleh karena itu, keberadaan pertanaman karet
sangat strategis bagi kelangsungan kehidupan, karena mampu berperan sebagai
penyimpan dan sumber energi (Indraty, 2005).
Nilai ekonomis karet terletak pada kemampuannya dalam menghasilkan
lateks, sedangkan produk non lateks seperti kayu karet pada awalnya dianggap
sebagai hasil samping terutama untuk kayu bakar. Namun, sejalan dengan
berkembangnya teknologi pengolahan dan pengawetan kayu karet dan makin
terbatasnya ketersediaan kayu dari hutan alam, baik untuk memenuhi permintaan
pasar domestik maupun ekspor maka permintaan terhadap kayu karet terus
meningkat setiap tahun (Boerhendhy dkk, 2003).

Universitas Sumatera Utara


Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi merupakan sebuah cara untuk mempelajari komposisi
jenis dan struktur vegetasi atau kelompok tumbuh-tumbuhan. Dalam ekologi
hutan satuan yang diselidiki adalah suatu tegakan, yang merupakan asosiasi
konkrit. Analisis vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari tegakan
hutan, yaitu tingkat pohon dan permudaannya dan mempelajari tegakan tumbuhtumbuhan bawah, yaitu suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat dibawah tegakan
hutan kecuali permudaan pohon hutan, padang rumput/alang-alang dan vegetasi
semak belukar. Untuk suatu kondisi hutan yang luas, maka kegiatan analisa
vegetasi dapat dilakukan dengan sampling, bagian dari metodologi statistika yang
berhubungan dengan pengambilan sebagian dari populasi. Dalam sampling ini ada
tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah petak, cara peletakkan petak dan
teknik analis vegetasi yang digunakan (Loveless, 1983).
Teknik sampling kuadrat ini merupakan suatu teknik survey vegetasi yang
sering digunakan dalam semua tipe komunitas tumbuhan. Plot yang dibuat dalam
teknik sampling ini bisa berupa petak tunggal atau beberapa petak. Petak tunggal
mungkin akan memberikan informasi yang baik bila komunitas vegetasi yang
diteliti bersifat homogen. Adapun plot yang dibuat dapat diletakkan secara
random atau beraturan. Pada umumnya Metode jalur (line transect) paling efektif
untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi tanah, topografi

dan elevasi. Jalur - jalur contoh ini harus dibuat memotong garis-garis topografi,
misal tegak lurus garis pantai, memotong sungai, dan menaik atau menurun lereng
gunung. Analisis vegetasi ini dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana
komposisi tegakan pada suatu lahan (Kusmana, 1997).

Universitas Sumatera Utara

Dalam analisis vegetasi juga bertujuan untuk menghitung kerapatan,
frekuensi, dominansi dan Indeks Nilai Penting (INP) pada suatu tegakan.
Kerapatan adalah jumlah individu per satuan luas atau per unit volume, Frekuensi
spesies tumbuhan adalah jumlah plot tempat ditemukannya suatu spesies dari
sejumlah

plot yang

dibuat.

Frekuensi

merupakan


besarnya

intensitas

ditemukannya spesies dalam pengamatan keberadaan organisme pada komunitas
atau ekosistem. Dominansi menyatakan suatu jenis tumbuhan utama yang
mempengaruhi dan melaksanakan kontrol terhadap komunitas dengan cara
banyaknya jumlah jenis, besarnya ukuran maupun pertumbuhannya yang
dominan. Indeks Nilai Penting (INP) atau important value index merupakan
indeks kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan suatu vegetasi
dalam ekosistemnya. Apabila nilai INP suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka
jenis itu sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut (Irwanto, 2007).
Sifat Kimia Tanah
Tanah yang baik dan subur adalah tanah yang mampu menyediakan unsur
hara secara cukup dan seimbang untuk dapat diserap oleh tanaman. Hal ini dapat
dilihat dari nilai produktifitas lahan, salah satunya dengan menganalisa
konsentrasi unsur hara yang terkandung di dalam tanah tersebut. Pemanfaatan
tanah oleh manusia dituntut seoptimal mungkin, oleh karena itu perlu adanya
salah satu teknik pemanfaatan lahan yang harus diterapkan oleh masyarakat yaitu

teknologi agroforestri, dimana pengkombinasian antara tanaman kehutanan dan
pertanian ini diharapkan akan mendapatkan keuntungan ekologis dan ekonomis
baik jangka pendek yang dihasilkan dari tanaman pertanian dan jangka panjang
dari tanaman kehutanan, dengan strategi pengaturan ruang dan waktu yang telah

Universitas Sumatera Utara

direncanakan, sehingga produksi hasil usaha akan lebih maksimal dan mampu
meningkatkan kesuburan tanah serta penambahan unsur hara bagi tanaman yang
diusahakan baik secara kualitas maupun kuantitas (Yamani, 2010).
Sifat kimia tanah merupakan salah satu komponen yang dapat dijelaskan
untuk menentukan kesuburan. Komponen kimia tanah tersebut meliputi pH tanah,
N, P, C-organik, dan KTK. Adanya perbedaan sifat kimia ini, dapat diketahui dari
tanah lapisan atas bumi yang merupakan campuran dari pelapukan batuan dan
jasad makhluk hidup yang telah mati dan membusuk, akibat pengaruh cuaca, jasad
makhluk hidup tadi menjadi lapuk, mineral-mineralnya terurai (terlepas), dan
kemudian membentuk tanah yang subur (Saridevi, 2013).
Kandungan C organik dalam tanah menunjukkan besarnya kandungan
bahan organik. Bahan organik merupakan bahan penting dalam menciptakan
kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Bahan organik adalah

bahan pemantap agregat tanah yang baik. Bahan organik berperan sebagai sumber
hara tanaman dan sumber energi bagi sebagian besar organisme tanah
(Hakim dkk 1986). Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan
sebagai kunci utama dalam mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia
maupun biologi. Bahan organik mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti
menurunkan berat volume tanah, meningkatkan permeabilitas, menggemburkan
tanah, memperbaiki aerasi tanah, meningkatkan stabilitas agregat, meningkatkan
kemampuan tanah memegang air, menjaga kelembaban dan suhu tanah,
mengurangi energi kinetik langsung air hujan, mengurangi aliran permukaan dan
erosi tanah (Rahayu, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Fenomena yang menarik juga menunjukan bahwa kandungan C-organik
pada lapisan≤ 30 cm lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan 30 -60 cm.
Kandungan C-organik yang rendah merupakan indikator rendahnya jumlah bahan
organik tanah yang tersedia dalam tanah (Gerson, 2008). Hal ini di sebabkan
karena lapisan tanah bagian atas merupakan tempat akumulasi bahan-bahan
organik. Jatuhnya dedaunan, ranting dan batang dari vegetasi di atasnya sebagai
sumber bahan organik utama. Menurut Wasis (2012), pembukaan lahan dengan

perambahan hutan juga berdampak menurunkan jumlah kandungan bahan organik
tanah terutama C-organik, N-total dan P.
Nitrogen merupakan hara makro utama yang sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman, namun jumlah nitrogen yang terdapat dalam tanah sedikit
sedangkan yang diangkut tanaman berupa panen setiap musim cukup banyak. N
diserap

tanaman

dalam

bentuk

ion

NO 3 -

(Nitrat)

atau

NH 4 +

(Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Tanaman sering mengalami kekurangan
nitrogen (N) dibandingkan unsur-unsur lain. Hal ini disebabkan karena 97-99%
dari N di tanah berada sebagai kompleks organik dan lambat menjadi tersedia bagi
tanaman melalui dekomposisi mikroorganisme (Mukhlis, 2007). Tingginya
N-total disebabkan oleh adanya bahan organik yang memberikan sumbangan
kedalam tanah. Hal ini mengidentifikasikan bahwa telah terjadi pelepasan hara
dari proses dekomposisi bahan organik ke dalam tanah sebagai stimulan
bertambahnya N dalam tanah. Selain itu penurunan jumlah nitrogen juga
dipengaruhi oleh penurunan jumlah bahan organik dan mikroorganime tanah di
lokasi tersebut. Karena di dalam susunan jaringan bahan organik terkandung unsur

Universitas Sumatera Utara

nitrogen organik yang di dekomposisi oleh mikroorganisme tanah menjadi
nitrogen tersedia bagi tanaman (Izzudin, 2012).
Fosfor (P) merupakan unsur hara kedua setelah nitrogen (N) yang sangat
dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan baik dan normal. Kertersediaan
unsur P dalam tanah sangat ditentukan oleh sifat dan jenis tanah. Unsur P
berperan dalam pembentukkan biji dan buah. Adrinal (2012) mengemukakan
bahwa semakin baiknya kondisi hara tanah tanah terutama P-tersedia ini diduga
karena meningkatnya pH tanahnya. Tingginya P-tersedia pada hutan primer
kemungkinan disebabkan oleh pengaruh pH tanah yang netral yaitu pH 6,59.
Ketersediaan unsur P ditentukan oleh pH dan konsentrasi P itu sendiri. Pada tanah
bereaksi masam (pH rendah), P akan mudah bersenyawa dengan Al, Fe, dan Mn,
yang mengubah P menjadi tidak larut dan juga tidak tersedia bagi tumbuhan
tanaman.
Kapasitas Tukar Kation (KTK) adalah jumlah muatan positif dari kation
yang diserap koloid tanah pada pH tertentu. Kapasitas tukar kation (KTK)
merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah.
Pada tanah dengan nilai KTK relatif rendah, proses penyerapan unsur hara oleh
koloid tanah tidak berlangsung relatif, dan akibatnya unsur-unsur hara tersebut
akan dengan mudah tercuci dan hilang bersama gerakan air di tanah (infiltrasi,
Perkolasi), dan pada gilirannya hara tidak tersedia bagi tumbuhan tanaman. Nilai
KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri
(Barek, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kemampuan suatu koloid untuk
mengadsorpsi kation dan mempertukarkannya. Besarnya KTK suatu tanah
ditentukan oleh faktor-faktor berikut antara lain tekstur tanah, tanah bertekstur liat
akan memilki nilai KTK lebih besar dibandingkan tanah yang bertekstur pasir.
Hal ini karena liat merupakan koloid tanah, kadar bahan organik, oleh karena
sebagian bahan organik merupakan humus yang berperan sebagai koloid tanah,
maka semakin banyak bahan organik akan semakin besar KTK tanah, jenis
mineral liat yang terkandung di tanah, jenis mineral liat sangat menentukan
besarnya KTK tanah (Mukhlis dkk, 2011).
Kandungan unsur hara tanah memiliki berbagai kriteria. Kriteria status
hara tanah untuk tanaman karet dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria status hara tanah untuk tanaman karet (Adiwiganda, 1994).
Unsur Hara

Sangat
Rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat Tinggi

C (%)

< 1.00

1- 2

2.01- 3.00

3.01- 4.00

> 4.00

N (%)

< 0.10

0.10- 0.20

0.21- 0.50

0.51- 0.80

> 0.80

P (ppm)

35

K (me/100g)

< 0.10

0.10- 0.30

0.31- 0.50

0.51- 0.70

> 0.70

Ca (me/100g)

< 0.25

0.25- 1.00

1.01- 1.75

1.76- 2.50

> 2.50

Mg
(me/100g)

< 0.20

0.20- 0.50

0.51- 0.80

0.81- 1.10

> 1.10

KTK
(me/100g)

40

Sangat
Masam

Masam

Agak Masam

Netral

Agak Alkalis

Alkalis

pH 8.5

Universitas Sumatera Utara

Tanah
Dalam bidang pertanian, tanah memiliki arti yang lebih khusus dan
penting sebagai media tumbuh tanaman darat. Tanah berasal dari hasil pelapukan
batuan

bercampur

dengan

sisa

bahan

organik

dari

organisme

(vegetasi atau hewan) yang hidup di atasnya atau di dalamnya. Selain itu di dalam
tanah terdapat pula udara danair yang berasal dari hujan yang ditahan oleh tanah
sehingga tidak meresap ke tempat lain. Dalam proses pembentukan tanah, selain
campuran bahan mineral dan bahan organik terbentuk pula lapisan-lapisan tanah
yang disebut horizon. Dengan demikian tanah (dalam arti pertanian) dapat
didefenisikan sebagai kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun
dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air
dan udara, dan merupakan media tumbuhnya tanaman (Fauzi, 2008).
Darmawijaya (1990) menjelaskan bahwa sifat tanah sangat menentukan
dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman, baik sifat fisik,
biologi dan kimia tanah. Sifat fisik tanah antara lain tekstur, struktur dan
permeabilitas tanah. Sifat kimia tanah antara lain pH tanah dan kandungan unsur
hara. Kandungan hara, terdiri dari kandungan nitrogen, fospor, kalium dan bahan
organik. Sifat biologi tanah antara lain mikroorganisme pengurai bahan organik di
dalam tanah.
Tanah dikatakan subur apabila fase padat mengandung cukup unsur hara
tersedia dan cukup air serta udara bagi pertumbuhan tanaman. Apabila ruangruang pori yang terdapat diantara partikel-partikel padat menyebar sedemikian
rupa sehingga dapat menyediakan air yang cukup untuk pertumbuan tanaman dan

Universitas Sumatera Utara

pada waktu yang bersamaan memungkinkan aerasi yang cukup pada akar, maka
tanah itu dinilai mempunyai hubungan air dan udara yang cocok. Banyaknya
unsur hara di dalam tanah tidak menjamin tanaman dapat tumbuh dengan baik dan
berproduksi tinggi, tetapi tergantung juga dari hubungan air dan udara yang
memungkinkan tanaman dapat mempergunakan unsur hara tersedia secara efisien,
perkembangan akar lebih intensif dan proses biologi dan kimia berlangsung baik
pada kondisi optimum (Hasibuan, 1981).
Keragaman sifat tanah secara alamiah adalah akibat dari faktor dan proses
pembentukannya mulai dari bahan induk berkembang menjadi tanah pada
berbagai kondisi lahan. Sehubungan dengan tingginya keragaman tanah tersebut,
maka informasi yang lebih objektif tentang kesuburan tanah sangat diperlukan
untuk lebih mengarahkan pengelolaan tanahnya. Tanah yang subur akan memiliki
nilai status kesuburan yang tinggi, sehingga upaya pemeliharaannya akan dapat
dilakukan secara mudah, sedangkan pada tanah kurus nilai kesuburannya yang
rendah akan memerlukan pemeliharaan yang lebih intensif (Adiwiganda, 1998).
Kadar hara tanah di kebun wilayah Sumatera menunjukkan bahwa secara
umum kesuburan tanahnya tergolong rendah hingga agak rendah. Kemasaman
(pH) tanah berkisar 4,7–5,5 yang tergolong agak rendah. Kadar karbon
(C-organik) tanah lapisan atas berkisar 1–4,4 yang tergolong rendah hingga
sedang, selanjutnya pada lapisan bawah berada dibawah 2% berkisar 0,15–1,45%
yang tergolong rendah. Ratio C/N lapisan atas berkisar 10,50–20,40 yang
tergolong sedang hingga tinggi, selanjutnya pada lapisan bawah berkisar
5,7–10,75 yang tergolong agak rendah hingga sedang. Kandungan P tersedia
umumnya adalah sangat rendah berkisar 1–3 ppm. Kation tertukarkan K, Na, Ca,

Universitas Sumatera Utara

dan Mg juga tergolong rendah, Secara umum tingkat kesuburan tanah kebun
wilayah Sumatera sedikit lebih baik dibanding tanah kebun wilayah Kalimantan
(Koedadiri dkk. 1999).
Uji Tanah
Uji Tanah adalah pengukuran sifat kimia dan fisika yang diperlakukan
terhadap tanah dan dapat memberikan informasi kepada kebutuhan hara tertentu.
(Nelson and Anderson,1977 dalam Mukhlis, 2007) mengemukakan bahwa uji
tanah adalah pengukuran terhadap tanah untuk hara tertentu yang memberikan
informasi tertentu kepada kebutuhan pupuk. Kesuburan Tanah menghendaki
bentuk hara yang tersedia, yaitu bentuk unsur yang dapat diserap oleh akar
tanaman, maka hasil analisis tanah lebih diarahkan untuk menggambarkan jumlah
unsur yang tersedia tersebut. Pengambilan contoh tanah merupakan tahapan
terpenting di dalam program uji tanah. Analisis kimia dari contoh tanah yang
diambil diperlukan untuk mengukur kadar hara, menetapkan status hara tanah dan
dapat digunakan sebagai petunjuk penggunaan pupuk dan kapur secara efisien,
rasional dan menguntungkan. Namun, hasil uji tanah tidak berarti apabila contoh
tanah yang diambil tidak mewakili areal yang dimintakan rekomendasinya dan
tidak dengan cara yang benar (Hardjowigeno, 1987).
Pengambilan contoh tanah merupakan tahap penting di dalam program uji
tanah. cara umum uji tanah adalah suatu kegiatan analisis kimia di laboratorium
yang sederhana, cepat, murah, tepat, dan dapat diulang (reproduceable) untuk
menduga ketersediaan hara dalam tanah. Dalam arti yang luas, uji tanah
menyangkut aspek-aspek interpretasi, evaluasi dan penyusunan rekomendasi

Universitas Sumatera Utara

pupuk

dari

hasil

uji

tanah

serta

pengambilan

contoh

tanah

(Melsted and Peck, 1972 dalam Mukhlis, 2007). Dengan demikian program uji
tanah dapat dirangkum dalam empat komponen pokok yaitu, pengambilan contoh
tanah, analisis tanah, interpretasi, evaluasi dan rekomendasi.
Kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah menyediakan unsur hara
yang

dibutuhkan

oleh

tanaman

untuk

mendukung

pertumbuhan

dan

reproduksinya. Unsur hara dalam bentuk nutrisi dapat diserap oleh tanaman
melalui akar. Nutrisi di dalam tanah diserap tanaman agar dapat tumbuh dengan
baik. Penyediaan nutrisi bagi tanaman dapat dilakukan dengan penambahan pupuk
yang merupakan kunci dari kesuburan tanah. Pupuk dapat menggantikan nutrisi
yang habis diserap tanaman (Hardjowigeno, 2007).

Universitas Sumatera Utara