Tipuan Dunia dan Keutamaan Zuhud

Tipuan Dunia dan Keutamaan Zuhud
INILAHCOM, Jakarta--Kata zuhud sering disebut-sebut ketika kita mendengar nasehat
dan seruan agar mengekang ketamakan terhadap dunia dan mengejar kenikmatannya
yang fana dan pasti sirna, dan agar jangan melupakan kehidupan akhirat yang hakiki
setelah kematian.
Hal ini sebagaimana peringatan Allah tentang kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana
dan berbagai keindahan yang melalaikan dari hakikat kehidupan yang sebenarnya. Allah
berfirman, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan
suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian
menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”(QS.
Al-Hadid: 20)
Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu, batil, dan
sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah sesuatu yang tiada bermanfaat dan
melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dunia adalah perhiasan, dan orang-orang yang
terfitnah dengan dunia menjadikannya sebagai perhiasannya dan tempat untuk saling bermegahmegahan dengan kenikmatan yang ada padanya berupa anak-anak, harta-benda, kedudukan dan
yang lainnya sehingga lalai dan tidak beramal untuk akhiratnya.
Allah menyerupakan kehancuran dunia dan kefanaannya yang begitu cepat dengan hujan yang
turun ke permukaan bumi. Ia menumbuhkan tanaman yang menghijau lalu kemudian berubah

menjadi layu, kering dan pada akhirnya mati. Demikianlah kenikmatan dunia, yang pasti pada
saatnya akan punah dan binasa. Maka barangsiapa mengambil pelajaran dari permisalan yang
disebutkan di atas, akan mengetahui bahwa dunia ibarat es yang semakin lama semakin mencair
dan pada akhirnya akan hilang dan sirna. Sedangkan segala apa yang ada di sisi Allah adalah
lebih kekal, dan akhirat itu lebih baik dan utama sebagaimana lebih indah dan kekalnya permata
dibandingkan dengan es.
Apabila seseorang mengetahui dengan yakin akan perbedaan antara dunia dan akhirat dan dapat
membandingkan keduanya, maka akan timbul tekad yang kuat untuk menggapai kebahagian
dunia akhirat.
Definisi Zuhud
Banyak sekali penjelasan ulama tentang makna zuhud. Umumnya mengarah kepada makna yang
hampir sama. Di sini akan disampaikan sebagian dari pendapat tersebut.
Makna secara bahasa:

Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena
(seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan“syaiun zahidun”yang
berarti“sesuatu yang rendah dan hina”.
Makna secara istilah:
Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim – bahwa
zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.

Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau
menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang
ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu.
Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja
di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.
Di sini zuhud ditafsirkan dengan tiga perkara yang semuanya berkaitan dengan perbuatan hati:
1. Bagi seorang hamba yang zuhud, apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai daripada
apa yang ada di tangannya sendiri. Hal ini timbul dari keyakinannya yang kuat dan lurus
terhadap kekuasaan Allah. Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya,“Berupa apakah
hartamu?”Beliau menjawab,“Dua macam. Aku tidak pernah takut miskin karena percaya
kepada Allah, dan tidak pernah mengharapkan apa yang ada di tangan
manusia.”Kemudian beliau ditanya lagi,“Engkau tidak takut miskin?”Beliau
menjawab,“(Mengapa) aku harus takut miskin, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit,
bumi serta apa yang berada di antara keduanya.”
2. Apabila terkena musibah, baik itu kehilangan harta, kematian anak atau yang lainnya, dia
lebih mengharapkan pahala karenanya daripada mengharapkan kembalinya harta atau
anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena keyakinannya yang sempurna kepada Allah.
3. Baginya orang yang memuji atau yang mencelanya ketika ia berada di atas kebenaran
adalah sama saja. Karena kalau seseorang menganggap dunia itu besar, maka dia akan lebih
memilih pujian daripada celaan. Hal itu akan mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran

karena khawatir dicela atau dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan
karena mengharapkan pujian. Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama
kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti menunjukkan bahwa
kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan hatinya dipenuhi dengan rasa cinta
kepada kebenaran.
Hakekat zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan
terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia (hanya) di tangannya, sementara
hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat.
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah Nabi, teladan
bagi orang-orang yang zuhud, beliau mempunyai sembilan istri. Demikian juga Nabi Dawud dan

Nabi Sulaiman, sebagai seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang
disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Para Shahabat, juga mempunyai istri-istri dan harta
kekayaan, yang di antara mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan
mereka dari hakekat zuhud yang sebenarnya. [Bersambung]