Pendeteksian Fraud dan Pemeriksaan Kiner
Pendeteksian Fraud dalam Pemeriksaan Kinerja atas
Pelayanan Dasar Publik Sektor Pendidikan1
Eko Yulianto
Pemeriksaan kinerja boleh dikatakan sedang naik daun saat ini karena dianggap
memiliki peranan dalam peningkatan akuntabilitas publik. INTOSAI menilai bahwa
pemeriksaan kinerja memiliki kontribusi dalam meningkatkan nilai-nilai legitimasi
dan kepercayaan (trust) dalam pemerintahaan melalui penyajian informasi yang
andal mengenai ekonomi, efisiensi dan efektivitas program-program pemerintah2.
Untuk alasan tersebut, banyak lembaga audit negara kini mulai memberikan
perhatian lebih pada pemeriksaan kinerja. Sebagai contoh, The U.S. Government
Accountability Office (GAO), bahkan menjadikan pemeriksaan kinerja sebagai
aktivitas pokok dalam melaksanakan misinya. Sementara itu, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) sendiri nampaknya juga sudah mulai melirik potensi pemeriksaan
kinerja akhir-akhir ini.
Keputusan BPK untuk meningkatkan cakupan pemeriksaan kinerja di satu sisi
memang strategis mengingat peranannya dalam meningkatkan akutabilitas
pemerintah. Namun, di sisi lain, pelaksanaan pemeriksaan kinerja juga memiliki
konsekuensi tersendiri terkait kesiapan sumber daya manusia dan konsekuensi
strategis menyangkut ‘ sumbangan ’ BPK dalam pengungkapan dan pencegahan
kasus-kasus korupsi. Konsekuensi terakhir ini harus menjadi pemikiran tersendiri
mengingat masih masifnya praktik korupsi di negeri ini.
Paper ini ditulis untuk secara singkat mengusulkan beberapa gagasan mengenai
desain pemeriksaan kinerja yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan
pendeteksian dan pencegahan korupsi oleh pemerintah. Pembahasan akan
difokuskan pada pemeriksaan kinerja pelayanan publik dasar sektor pendidikan.
Pemilihan topik ini dilandasi pada pemikiran bahwa pendidikan merupakan salah
satu program prioritas pemerintah yang menentukan masa depan bangsa
Indonesia, dan dari sisi anggaran, sektor pendidikan memperoleh alokasi anggaran
yang cukup besar.
1
Judul paper ini berbeda dengan judul yang diminta untuk workshop ini. Kami menganggap bahwa pendeteksian
fraud sudah menjadi bagian dalam pemeriksaan kinerja, seperti yang diatur dalam SPKN. Jadi konstruksi yang tepat
seharusnya “Pendeteksian fraud dalam pemeriksaan kinerja”, bukan “Pemeriksaan kinerja atas pendeteksian fraud”.
Selengkapnya lihat di SPKN: Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja, paragraf 07 dan 16-25.
2
Implementation Guidelines for Performance Auditing, INTOSAI
1
Risiko Fraud dalam Sektor Pendidikan
Dalam berbagai literatur auditing di Indonesia, istilah fraud jarang diterjemahkan
dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) mengartikan fraud sebagai satu
jenis tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh
sesuatu.3 Fraud bisa terjadi diberbagai bidang pekerjaan, di mana ada aliran uang
di situlah praktik-praktik fraud mulai bertumbuh.
Dengan memakai logika sederhana ini, kita tentu juga bisa mengajukan hipotesis
bahwa praktik korupsi juga bisa terjadi di sektor pendidikan, mulai Kementrian
Pendidikan sampai dengan dinas pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hipotesis ini masuk akal sebab sektor pendidikan memperoleh alokasi anggaran,
menurut Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebesar 20% dari
total anggaran yang dialokasikan pemerintah. Untuk APBN 2010, misalnya, bidang
pendidikan memperoleh alokasi sekitar Rp221 triliun dari total Rp992 triliun. Bagi
pelaksana anggaran dan masyarakat, angka ini merupakan sebuah harapan.
Namun, bagi BPK, besarnya angka alokasi ini juga berarti besarnya risiko
penyimpangan yang mungkin terjadi.
Analisis terhadap risiko terjadinya fraud sektor pendidikan akan lebih mudah
dilakukan dengan memahami proses bisnis utama yang terkait dalam pelaksanaan
program-program bidang pendidikan. Meskipun memiliki cakupan dan sasaran
yang berbeda-beda, program-program bidang pendidikan yang selama ini
dijalankan biasanya berwujud pada bantuan dari Kementrian Pendidikan kepada
daerah, dengan penerima/pengelola akhir sekolah. Adapun bantuan tersebut
biasanya disalurkan melalui pemberian Dana Alokasi Khusus maupun Bantuan
Operasional Sekolah.
Dalam kaitan ini, proses bisnis terkait pemberian bantuan dapat dipilah menjadi
tiga area pokok: perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Dalam
perencanaan, aktivitas terkait biasanya melibatkan pendataan jumlah penerima
bantuan yang eligible (layak) dan penentuan besaran alokasi bantuan. Sedangkan
pada tahap pelaksanaan, aktivitas utamanya menyangkut pencairan dana ke
penerima bantuan dan pelaksanaan kegiatan yang tercakup dalam program
bantuan terkait. Terakhir, pertanggungjawaban meliputi pelaporan kegiatan dan
pertanggungjawaban keuangan dari penerima bantuan kepada pemberi bantuan
(dari sekolah ke pemda dan dari pemda ke Kementrian Pendidikan).
3
SPKN: Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja, catatan kaki untuk paragraf 20 (halaman 64).
2
Setelah mengidentifikasi proses bisnis utama, kita sekarang dapat menaksir (assess)
risiko yang mungkin terjadi dalam setiap tahapan. Adapun risiko dimaksud dapat
dipetakan sebagai berikut.
Tahapan
Aktivitas Utama
Risiko fraud
Perencanaan
Pelaksanaan
Pertanggungjawaban
Pendataan penerima
Pencairan dana
Pelaporan kegiatan secara
bantuan
bantuan
fungsional
Penetapan alokasi
Pelaksanaan kegiatan
Pertanggungjawaban
bantuan
oleh penerima bantuan
keuangan
Penetapan data dan
Pencairan tidak sesuai
Pelaporan tidak sesuai
alokasi bantuan tidak
tujuan dan besaran
dengan kondisi senyatanya
didasarkan kriteria yang
yang telah ditetapkan
(fraudulent reports)
Penggunaan dana tidak
Pertanggungjawaban
sesuai ketentuan
keuangan tidak sesuai
telah ditetapkan
(karena intervensi
politik dsb).
ketentuan
Perlu dicatat, bahwa risiko fraud tidak mesti terkait langsung dengan tindakan
pencurian dana. Fraud bisa terjadi dalam berbagai bentuk sepanjang menyangkut
upaya yang melanggar ketentuan atau kriteria yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu,
fraud bisa berupa pengubahan data sekolah (ditambah, dikurangi atau dihilangkan
dengan pertimbangan diluar ketentuan yang telah ditetapkan) atau pembuatan
laporan kegiatan yang tidak benar. Dalam pemeriksaan kinerja, setiap pemeriksa
harus mempertimbangkan risiko ini mengingat tujuan audit utamanya adalah
menilai apakah sebuah program atau kegiatan telah dilaksanakan secara ekonomis,
efisien dan efektif. Oleh karena itu, pemeriksa harus fokus, tidak hanya pada
penyimpangan
keuangan,
melainkan
penyimpangan
lain
yang
mungkin
menghalangi organisasi dalam memperoleh input paling ekonomis, proses yang
paling efisien dan tercapainya tujuan akhir dari program atau kegiatan bidang
pendidikan.
Usaha Entitas dalam Mencegah Fraud
Berdasarkan teori segitiga fraud (fraud triangle), fraud terjadi apabila ada
kesempatan (perceived opportunities), tekanan (pressure) dan pembenaran
(rationalization). Orang akan melakukan tindakan fraud jika mereka melihat adanya
kesempatan untuk melakukan itu dan didorong oleh serangkaian tekanan, baik
keuangan maupun nonkeuangan, sebagai pendorong tindakan fraud. Pada saat
3
yang sama, orang tersebut akan melakukan fraud jika memiliki sejumlah alasan
penguat atau pembenar tindakannya.
Terkait pelaksanaan program pendidikan, kesempatan terjadinya fraud biasanya
ditandai dengan kelemahan kebijakan dan prosedur terkait perencanaan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban program bidang pendidikan serta kurangnya
kompetensi aparat terkait. Sedangkan tekanan akan muncul manakala organisasi
tidak mempraktikkan kehidupan yang sehat dan etis. Dalam kaitan ini, pemeriksa
perlu menilai apakah entitas telah melakukan mitigasi risiko dengan serangkaian
aktivitas
untuk
mengompensasi
(compensating) kelemahan kebijakan dan
ketidakcakapan aparat terkait. Selanjutnya, upaya-upaya terkait hal itu akan dapat
memberikan sinyal apakah entitas memiliki komitmen dalam mencegah fraud.
Namun, bila yang terjadi sebaliknya, pemeriksa perlu waspada dan mulai
mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin terjadi dan berpengaruh pada
pencapaian tujuan program secara keseluruhan.
Penentuan Area Kunci dan Tujuan Audit Spesifik4
Dalam pemeriksaan kinerja, penentuan area kunci merupakan salah satu tahapan
penting karena dari sana pemeriksa akan membuat rencana audit secara detail,
mulai dari pengumpulan bukti, analisis bukti dan pembuatan laporan. Efektivitas
pelaksanaan pemeriksaan kinerja sangat tergantung pada ketepatan penentuan
area kunci ini.
Secara praktis, penentuan area kunci dimaksudkan untuk memperkecil cakupan
audit. Hal ini dilakukan agar pemeriksaan dapat lebih fokus dan terkait dengan
area-area pokok yang menentukan keberhasilan program bidang pendiddikan. Agar
lebih efektif, pemeriksa kemudian harus menentuan tujuan audit spesifik untuk
setiap area kunci yang dipilih. Pemeriksa kemudian menetapkan serangkaian
kriteria yang relevan untuk setiap tujuan tersebut. Kriteria-kriteria ini selanjutnya
akan menjadi panduan bagi pemeriksa dalam mengumpulkan bukti-bukti di
lapangan. Dari bukti yang terkumpul, pemeriksa selanjutnya melakukan analisis
untuk menentukan tingkat kesesuaiannya dengan kriteria5 yang telah ditetapkan.
4
Kami sengaja tidak menggunakan istilah “tentative audit objective dan sasaran pemeriksaan” karena dalam
pemeriksaan kinerja, fokus pemeriksaan biasanya diwujudkan dalam pemilihan “area kunci” (key area) dan hal ini
dilakukan berdasarkan, salah satunya, pertimbangan risiko fraud yang mungkin terjadi dalam proses bisnis terkait.
5
Dalam pemeriksaan kinerja, kriteria tidak harus berwujud peraturan yang sudah ada. Jika belum ada, kriteria
dapat diciptakan oleh pemeriksa dan disetujui oleh auditee (tentunya dengan pertimbangan ilmiah yang sehat).
Kriteria bisa berupa kriteria hasil bila hasil akhir sebuah program bisa diukur secara kuantitatif, atau kriteria proses
bila keberhasilan program hanya dapat dilihat dari sisi kualitatif.
4
Terakhir,
rekomendasi
akan
dirumuskan
apabila
pemeriksa
menjumpai
ketidaksesuaian kondisi yang ditemukan dengan kriteria.
Ketersediaan Sumber Daya
Pemeriksaan kinerja berbeda dengan pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan
lainnya. Apabila pemeriksaan lain lebih menitikberatkan pada sisi ketaatan
(compliance) atau pembuktian suatu hal tertentu, maka pemeriksaan kinerja akan
menitikberatkan pada penilaian atau analisis atas suatu kegiatan organisasi atau
pelaksanaan sebuah kebijakan atau program. Dengan sifat utama ini, harus
dipahami
bahwa
paradigma
pemeriksaan
kinerja
sungguh
berbeda
dari
pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan kinerja tidak berorientasi pada pengungkapan
kasus korupsi, meskipun pemeriksa juga harus mendesain prosedur audit untuk
mengungkapkan tindakan fraud.
Agar pelaksanaan pemeriksaan kinerja dapat berjalan sebagaimana mestinya, BPK
sangat memerlukan pemeriksa yang mampu berpikir holistik dan sistemik, yang
dapat melihat keterkaitan sebuah fakta dengan fakta lain dalam sebuah sistem
besar yang terdiri dari masyarakat luas, aparat perumus dan pelaku kebijakan, dan
kebijakan itu sendiri. BPK memerlukan pemeriksa yang memiliki kemampuan
analisis yang tajam, yang tidak berpikir soal benar atau salah, melainkan berpikir
ala ‘ konsultan manajemen ’ yang mampu memberikan solusi atas permasalahan
yang menghambat pencapaian tujuan sebuah program.
Untuk memenuhi tuntutan itu, BPK memang harus memiliki sumber daya manusia
yang memiliki latar belakang tidak hanya akuntansi, hukum atau teknik, seperti
sekarang, melainkan harus menyediakan tempat bagi para lulusan dengan latar
belakang yang lebih luas, seperti kebijakan publik, statistik, matematika, sosiologi
dan lain sebagainya. Kompetensi yang beragam sangat dituntut untuk memenuhi
tantangan BPK pada masa yang akan datang, apabila memang memutuskan untuk
secara total terjun dalam pemeriksaan kinerja. Harapannya tentu saja agar sudut
pandang pemeriksa BPK terhadap sebuah masalah lebih komprehensif dan BPK
dapat merumuskan rekomendasi yang lebih membumi dan benar-benar mampu
memperbaiki kinerja pemerintahan.
Kendari, 22 November 2010
5
Pelayanan Dasar Publik Sektor Pendidikan1
Eko Yulianto
Pemeriksaan kinerja boleh dikatakan sedang naik daun saat ini karena dianggap
memiliki peranan dalam peningkatan akuntabilitas publik. INTOSAI menilai bahwa
pemeriksaan kinerja memiliki kontribusi dalam meningkatkan nilai-nilai legitimasi
dan kepercayaan (trust) dalam pemerintahaan melalui penyajian informasi yang
andal mengenai ekonomi, efisiensi dan efektivitas program-program pemerintah2.
Untuk alasan tersebut, banyak lembaga audit negara kini mulai memberikan
perhatian lebih pada pemeriksaan kinerja. Sebagai contoh, The U.S. Government
Accountability Office (GAO), bahkan menjadikan pemeriksaan kinerja sebagai
aktivitas pokok dalam melaksanakan misinya. Sementara itu, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) sendiri nampaknya juga sudah mulai melirik potensi pemeriksaan
kinerja akhir-akhir ini.
Keputusan BPK untuk meningkatkan cakupan pemeriksaan kinerja di satu sisi
memang strategis mengingat peranannya dalam meningkatkan akutabilitas
pemerintah. Namun, di sisi lain, pelaksanaan pemeriksaan kinerja juga memiliki
konsekuensi tersendiri terkait kesiapan sumber daya manusia dan konsekuensi
strategis menyangkut ‘ sumbangan ’ BPK dalam pengungkapan dan pencegahan
kasus-kasus korupsi. Konsekuensi terakhir ini harus menjadi pemikiran tersendiri
mengingat masih masifnya praktik korupsi di negeri ini.
Paper ini ditulis untuk secara singkat mengusulkan beberapa gagasan mengenai
desain pemeriksaan kinerja yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan
pendeteksian dan pencegahan korupsi oleh pemerintah. Pembahasan akan
difokuskan pada pemeriksaan kinerja pelayanan publik dasar sektor pendidikan.
Pemilihan topik ini dilandasi pada pemikiran bahwa pendidikan merupakan salah
satu program prioritas pemerintah yang menentukan masa depan bangsa
Indonesia, dan dari sisi anggaran, sektor pendidikan memperoleh alokasi anggaran
yang cukup besar.
1
Judul paper ini berbeda dengan judul yang diminta untuk workshop ini. Kami menganggap bahwa pendeteksian
fraud sudah menjadi bagian dalam pemeriksaan kinerja, seperti yang diatur dalam SPKN. Jadi konstruksi yang tepat
seharusnya “Pendeteksian fraud dalam pemeriksaan kinerja”, bukan “Pemeriksaan kinerja atas pendeteksian fraud”.
Selengkapnya lihat di SPKN: Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja, paragraf 07 dan 16-25.
2
Implementation Guidelines for Performance Auditing, INTOSAI
1
Risiko Fraud dalam Sektor Pendidikan
Dalam berbagai literatur auditing di Indonesia, istilah fraud jarang diterjemahkan
dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) mengartikan fraud sebagai satu
jenis tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh
sesuatu.3 Fraud bisa terjadi diberbagai bidang pekerjaan, di mana ada aliran uang
di situlah praktik-praktik fraud mulai bertumbuh.
Dengan memakai logika sederhana ini, kita tentu juga bisa mengajukan hipotesis
bahwa praktik korupsi juga bisa terjadi di sektor pendidikan, mulai Kementrian
Pendidikan sampai dengan dinas pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hipotesis ini masuk akal sebab sektor pendidikan memperoleh alokasi anggaran,
menurut Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebesar 20% dari
total anggaran yang dialokasikan pemerintah. Untuk APBN 2010, misalnya, bidang
pendidikan memperoleh alokasi sekitar Rp221 triliun dari total Rp992 triliun. Bagi
pelaksana anggaran dan masyarakat, angka ini merupakan sebuah harapan.
Namun, bagi BPK, besarnya angka alokasi ini juga berarti besarnya risiko
penyimpangan yang mungkin terjadi.
Analisis terhadap risiko terjadinya fraud sektor pendidikan akan lebih mudah
dilakukan dengan memahami proses bisnis utama yang terkait dalam pelaksanaan
program-program bidang pendidikan. Meskipun memiliki cakupan dan sasaran
yang berbeda-beda, program-program bidang pendidikan yang selama ini
dijalankan biasanya berwujud pada bantuan dari Kementrian Pendidikan kepada
daerah, dengan penerima/pengelola akhir sekolah. Adapun bantuan tersebut
biasanya disalurkan melalui pemberian Dana Alokasi Khusus maupun Bantuan
Operasional Sekolah.
Dalam kaitan ini, proses bisnis terkait pemberian bantuan dapat dipilah menjadi
tiga area pokok: perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Dalam
perencanaan, aktivitas terkait biasanya melibatkan pendataan jumlah penerima
bantuan yang eligible (layak) dan penentuan besaran alokasi bantuan. Sedangkan
pada tahap pelaksanaan, aktivitas utamanya menyangkut pencairan dana ke
penerima bantuan dan pelaksanaan kegiatan yang tercakup dalam program
bantuan terkait. Terakhir, pertanggungjawaban meliputi pelaporan kegiatan dan
pertanggungjawaban keuangan dari penerima bantuan kepada pemberi bantuan
(dari sekolah ke pemda dan dari pemda ke Kementrian Pendidikan).
3
SPKN: Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja, catatan kaki untuk paragraf 20 (halaman 64).
2
Setelah mengidentifikasi proses bisnis utama, kita sekarang dapat menaksir (assess)
risiko yang mungkin terjadi dalam setiap tahapan. Adapun risiko dimaksud dapat
dipetakan sebagai berikut.
Tahapan
Aktivitas Utama
Risiko fraud
Perencanaan
Pelaksanaan
Pertanggungjawaban
Pendataan penerima
Pencairan dana
Pelaporan kegiatan secara
bantuan
bantuan
fungsional
Penetapan alokasi
Pelaksanaan kegiatan
Pertanggungjawaban
bantuan
oleh penerima bantuan
keuangan
Penetapan data dan
Pencairan tidak sesuai
Pelaporan tidak sesuai
alokasi bantuan tidak
tujuan dan besaran
dengan kondisi senyatanya
didasarkan kriteria yang
yang telah ditetapkan
(fraudulent reports)
Penggunaan dana tidak
Pertanggungjawaban
sesuai ketentuan
keuangan tidak sesuai
telah ditetapkan
(karena intervensi
politik dsb).
ketentuan
Perlu dicatat, bahwa risiko fraud tidak mesti terkait langsung dengan tindakan
pencurian dana. Fraud bisa terjadi dalam berbagai bentuk sepanjang menyangkut
upaya yang melanggar ketentuan atau kriteria yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu,
fraud bisa berupa pengubahan data sekolah (ditambah, dikurangi atau dihilangkan
dengan pertimbangan diluar ketentuan yang telah ditetapkan) atau pembuatan
laporan kegiatan yang tidak benar. Dalam pemeriksaan kinerja, setiap pemeriksa
harus mempertimbangkan risiko ini mengingat tujuan audit utamanya adalah
menilai apakah sebuah program atau kegiatan telah dilaksanakan secara ekonomis,
efisien dan efektif. Oleh karena itu, pemeriksa harus fokus, tidak hanya pada
penyimpangan
keuangan,
melainkan
penyimpangan
lain
yang
mungkin
menghalangi organisasi dalam memperoleh input paling ekonomis, proses yang
paling efisien dan tercapainya tujuan akhir dari program atau kegiatan bidang
pendidikan.
Usaha Entitas dalam Mencegah Fraud
Berdasarkan teori segitiga fraud (fraud triangle), fraud terjadi apabila ada
kesempatan (perceived opportunities), tekanan (pressure) dan pembenaran
(rationalization). Orang akan melakukan tindakan fraud jika mereka melihat adanya
kesempatan untuk melakukan itu dan didorong oleh serangkaian tekanan, baik
keuangan maupun nonkeuangan, sebagai pendorong tindakan fraud. Pada saat
3
yang sama, orang tersebut akan melakukan fraud jika memiliki sejumlah alasan
penguat atau pembenar tindakannya.
Terkait pelaksanaan program pendidikan, kesempatan terjadinya fraud biasanya
ditandai dengan kelemahan kebijakan dan prosedur terkait perencanaan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban program bidang pendidikan serta kurangnya
kompetensi aparat terkait. Sedangkan tekanan akan muncul manakala organisasi
tidak mempraktikkan kehidupan yang sehat dan etis. Dalam kaitan ini, pemeriksa
perlu menilai apakah entitas telah melakukan mitigasi risiko dengan serangkaian
aktivitas
untuk
mengompensasi
(compensating) kelemahan kebijakan dan
ketidakcakapan aparat terkait. Selanjutnya, upaya-upaya terkait hal itu akan dapat
memberikan sinyal apakah entitas memiliki komitmen dalam mencegah fraud.
Namun, bila yang terjadi sebaliknya, pemeriksa perlu waspada dan mulai
mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin terjadi dan berpengaruh pada
pencapaian tujuan program secara keseluruhan.
Penentuan Area Kunci dan Tujuan Audit Spesifik4
Dalam pemeriksaan kinerja, penentuan area kunci merupakan salah satu tahapan
penting karena dari sana pemeriksa akan membuat rencana audit secara detail,
mulai dari pengumpulan bukti, analisis bukti dan pembuatan laporan. Efektivitas
pelaksanaan pemeriksaan kinerja sangat tergantung pada ketepatan penentuan
area kunci ini.
Secara praktis, penentuan area kunci dimaksudkan untuk memperkecil cakupan
audit. Hal ini dilakukan agar pemeriksaan dapat lebih fokus dan terkait dengan
area-area pokok yang menentukan keberhasilan program bidang pendiddikan. Agar
lebih efektif, pemeriksa kemudian harus menentuan tujuan audit spesifik untuk
setiap area kunci yang dipilih. Pemeriksa kemudian menetapkan serangkaian
kriteria yang relevan untuk setiap tujuan tersebut. Kriteria-kriteria ini selanjutnya
akan menjadi panduan bagi pemeriksa dalam mengumpulkan bukti-bukti di
lapangan. Dari bukti yang terkumpul, pemeriksa selanjutnya melakukan analisis
untuk menentukan tingkat kesesuaiannya dengan kriteria5 yang telah ditetapkan.
4
Kami sengaja tidak menggunakan istilah “tentative audit objective dan sasaran pemeriksaan” karena dalam
pemeriksaan kinerja, fokus pemeriksaan biasanya diwujudkan dalam pemilihan “area kunci” (key area) dan hal ini
dilakukan berdasarkan, salah satunya, pertimbangan risiko fraud yang mungkin terjadi dalam proses bisnis terkait.
5
Dalam pemeriksaan kinerja, kriteria tidak harus berwujud peraturan yang sudah ada. Jika belum ada, kriteria
dapat diciptakan oleh pemeriksa dan disetujui oleh auditee (tentunya dengan pertimbangan ilmiah yang sehat).
Kriteria bisa berupa kriteria hasil bila hasil akhir sebuah program bisa diukur secara kuantitatif, atau kriteria proses
bila keberhasilan program hanya dapat dilihat dari sisi kualitatif.
4
Terakhir,
rekomendasi
akan
dirumuskan
apabila
pemeriksa
menjumpai
ketidaksesuaian kondisi yang ditemukan dengan kriteria.
Ketersediaan Sumber Daya
Pemeriksaan kinerja berbeda dengan pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan
lainnya. Apabila pemeriksaan lain lebih menitikberatkan pada sisi ketaatan
(compliance) atau pembuktian suatu hal tertentu, maka pemeriksaan kinerja akan
menitikberatkan pada penilaian atau analisis atas suatu kegiatan organisasi atau
pelaksanaan sebuah kebijakan atau program. Dengan sifat utama ini, harus
dipahami
bahwa
paradigma
pemeriksaan
kinerja
sungguh
berbeda
dari
pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan kinerja tidak berorientasi pada pengungkapan
kasus korupsi, meskipun pemeriksa juga harus mendesain prosedur audit untuk
mengungkapkan tindakan fraud.
Agar pelaksanaan pemeriksaan kinerja dapat berjalan sebagaimana mestinya, BPK
sangat memerlukan pemeriksa yang mampu berpikir holistik dan sistemik, yang
dapat melihat keterkaitan sebuah fakta dengan fakta lain dalam sebuah sistem
besar yang terdiri dari masyarakat luas, aparat perumus dan pelaku kebijakan, dan
kebijakan itu sendiri. BPK memerlukan pemeriksa yang memiliki kemampuan
analisis yang tajam, yang tidak berpikir soal benar atau salah, melainkan berpikir
ala ‘ konsultan manajemen ’ yang mampu memberikan solusi atas permasalahan
yang menghambat pencapaian tujuan sebuah program.
Untuk memenuhi tuntutan itu, BPK memang harus memiliki sumber daya manusia
yang memiliki latar belakang tidak hanya akuntansi, hukum atau teknik, seperti
sekarang, melainkan harus menyediakan tempat bagi para lulusan dengan latar
belakang yang lebih luas, seperti kebijakan publik, statistik, matematika, sosiologi
dan lain sebagainya. Kompetensi yang beragam sangat dituntut untuk memenuhi
tantangan BPK pada masa yang akan datang, apabila memang memutuskan untuk
secara total terjun dalam pemeriksaan kinerja. Harapannya tentu saja agar sudut
pandang pemeriksa BPK terhadap sebuah masalah lebih komprehensif dan BPK
dapat merumuskan rekomendasi yang lebih membumi dan benar-benar mampu
memperbaiki kinerja pemerintahan.
Kendari, 22 November 2010
5