Pemikiran Politik M Natsir dan SM. Karto

Nama
Kelas
NIM
Email

: Isnina Intan Cahya
: 7B
: 1113015000105
: isnina.intancahya13@mhs.uinjkt.ac.id
Pandangan Politik M. Natsir dan SM. Kartosoewirjo
1. M. Natsir
Orang Islam itu mempunyai falsafah hidup, mempunyai satu ideologi sebagaimana juga orang Kristen mempunyai falsafah hidup dan ideologi,
seperti juga orang fasih atau komunis mempunyai falsafah hidup dan ideologinya sendiri. Falsafah hidup umat Islam tertuang di dalam Al-Qur’an
yaitu “ tidak aku jadikan jin dan manusia itu, hanyalah untuk mengabdi kepada ku” (Adz-Dzariyaat:56) jadi, seorang muslim hidup di atas dunia ini
sepenuhnya dengan cita-cita hendak menjadi seorang hamba Allah SWT dalam arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan di dunia dan kemenangan
di akkhirat. Untuk mencapai tingkatan yang mulia itu, Tuhan memberi kita bermacam-macam aturan. Semua aturan-aturan itu terhimpun di dalam
Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana
mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup, berupa keuasaan dalam negara, sebagaimana telah di
peringatkan oleh Rassulullah SAW kepada kaum Muslimin “sesungguhnya Allah SWT memegang dengan kekuasaan penguasa, yang tidak dapat
dipelihara dan dipegang oleh Al-Qur’an itu” (HR. Ibnu Katsir). Seperti buku Undang-Undang lainnya, Al-Qur’an pun tak dapat berbuat apapun
dengan sendirinya, dan peraturan-peraturannya tidak akan berjalan dengan sendirinya, dengan semata-mata ia diletakkan di atas lemari atau sekalipun

dijunjung di atas kepala.1 Dalam dunia Eropa jika diterangkan agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah dimatanya seorang bahlul
(bloody fool) duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh “harem-haremnya ” menonton tari dayang-dayangnya. Terbayarng olehnya yang duduk
mengepali kementerian kerajaan beberapa orang tua bangka memakai sorban besar memegang tasbih sambil meminum hoga. Sebab memang
beginilah gambaran “pemerintaha n Islam” yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang dibacakan dan diterangkan oleh guru-guru bangsa Barat
selama ini. Berhimpunnya keharmonisasian kejayaan dunia dan kemenangan akhirat itulah yang dimaknakan progress, itulah yang menjadi tujuan
hidup yang harus dicapai. Tercapainya hal yang demikian barulah kita berhak menamakan diri kita hamba Allah SWT dengan arti sepenuh-penuhnya.
Zia Keuk Alp berkata “kita datang dari Timur, kita berjalan menuju ke Barat, maka kita berkata: baik di Barat ataupun di Timur, kita menuju
keridhaan Ilahi”.2
Di dalam Al-Qur’an tidak akan bertemu petunjuk-petunjuk untuk merancangkan Anggara Belanja Negara, tak ada di dalamnya cara-cara
mengatur contingenteering, tidak bersua di dalamnya peraturan valuta, aturan devisa dan lain-lain yang semacam itu. Dan memang tidak perlu di
atur dengan wahyu Ilahi yang bersifat kekal, sebab semua ini adalah hal-hal yang berkenaan dengan keduniaan yang selalu berubah-ubah sesuai
tempat, zaman dan keadaan. Yang diatur oleh Islam ialah dasar dan pokok-pokok mengatur masyarakat manusia yang tidak berubah-ubah
kepentingan dan keperluannya selama manusia masih bersifat manusia. Ditetepkan oleh Islam untuk keselamatan masyarakat manusia, beberapa
sifat yang perlu ada pada seorang yang akan dipilih menjadi Ketua atau Kepala Negara. Kemudian, ditetapkan kriteria untuk melantik yang akan
menjadi kepala itu adalah Agamanya, sifatnya dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya. Ditetapkan si Kepala itu wajib bermusyawarah. Kemudian
ditetapkan beberapa hak dan kewajiban antara yang diperintah dengan yang memerintah. Ditetapkan oleh Islam bermacam aturan pembasmi
bermacam-macam penyakit masyaraat yang besar-besar, yang ada dari dahulu sampai sekarang. Ditetapkan beberapa undang-undang untuk
mengatur kehidupan berumah tangga. Kemudian adanya undang-undang yang berkenaan dengan kemasyarakatan. Hal-hal semacam inilah yang
ditetapkan oleh Agama Islam, aturan yang sederajat dengan inilah yang kita dapati dalam undang-undang Islam, yakni undang-undang atau garis
besar dari bermacam-macam peraturan yang mengenai kehidupan seseorang, dan yang mengenai kehidupan bermasyarakat. Semua itu tidak akan

berubah dan tidak boleh berubah untuk keselamatan seseorang dan kesentosaan masyarakat itu sendiri, selama perseorangan dan masyarakat itu
masih terdiri dari manusia yang terjadi dari darah dan daging dan selama manusia itu belum menjadi malaikat. 3 Kedudukan Islam dalam
kedemokrasian, agama Islam bukanlah semata-mata tambahan satu ekstra yang harus dimasukkan kepada negara, tetapi menurut outlook kita. Negara
itu adalah menjadi alat dan perkakas bagi berlakunya hukum-hukum Islam. Islam itu bersifat demokrasi dalam arti Islam itu anti istibdad, anti
absolutisme, anti sewenang-wenang. Tidak berarti persetujuan parlemen untuk penghapusan judi dan kecabulan, dan tidak perlu dimusyawarahkan
apakah perlu diadakan pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak dan sebagainya. Semua itu bukan merupakan tugas parlemen
musyawarah. Yang mungkin dibicaraan adalah cara untuk menjalankan semua hukum itu. Kita orang Islam cukup mengenal akibat apabila demokrasi
telah merosot menjadi partai cratie, atau menjadi kliek-cratie lengkap pula dengan segala main pencak dan sulap dibelakang layarnya. 4
Islam tidak kenal kepada Kepala Agama, seperti Paus atau Patriarch. Islam hanya mengenal satu Kepala Agama ialah Muhammad SAW. Beliau
sudah wafat dan tak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. Kepala Agama yang bernama Muhammad ini, telah meninggalkan satu sistem yang
bernama Islam, yang harus dijalankan kaum Muslimin dan harus dipelihara dan dijaga supaya dijaankan oleh kepala-kepala dunia (raja, khalifa,
presiden dan lainnya) yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum muslimin. Menjadikan pemerintahannya menurut aturan yang telah
ditinggalkan oleh Kepala Agama, yaitu Muhammad SAW. Kalau dalam satu negeri yang kebetulan Kepala Negaranya beragama Islam dan disitu
terdapat pemerintahan caesaro-papisme. Atau yang bersifat dualisme, dan terdapat konflik antara yang keduniaan, dan keagamaan, atau antara
kemauan masyarakat dengan kemauan Agama, maka yang demikian bukanlah terbit dari ajaran Islam. Yang mungkin berkonflik dengan ajaran
Islam, bukanlah kemakmuran manusia, bukanlah kesentosaan manusia, bukan progress manusia, tetapi mungkin kemauan manusia (hawa nafsu
manusia). Kalau ada konflik antara kemauan masyarakat dan kemmauan Islam, maka satu antara dua atau kemauan masyarakat itu memang salah,
atau Islamnya bukan Islam sejati, tapi Islam bikin-bikinan. Dalam kenegaraan Islam sama sekali tidak ada tempat untuk dualisme atau konflik yang
semacam itu.5
Ada beberapa hal pokok dalam agama dan negara yaitu:

1. Agama Islam berlainan dengan agama-agama lain, ia mempunyai dalam aturannya beberapa bagian yang berkenaan dengan hukum-hukum
kenegaraan dan uqubat (pidana), dan beberapa peraturan yang berhubungan dengan mu’amalah, yang semuanya itu adalah bagian–bagian
yang tak dapat dipisahkan dari Agama Islam itu sendiri.
2. Orang yang tidak mau negaranya menjalankan semua peraturan-peraturan Agama Islam yang berhubungan dengan hal-hal yang tersebut itu
dengan mengatakan bahwa negara harus berdiri di atas semua agama, atau dengan alasan bahwa kita perlu berdemokratis dan sebagainya
pada hakekatnya bukan memisahkan agama dari negara, melainkan melemparkan sebagian dari hukum-hukum Islam yang berkenaan dengan
hal-hal kenegaraan dan hukum mua’malah.
3. Islam memang bersifat demokratis tapi sekali-kali tidak berarti semua hal yakni termasuk hukum-hukumya yang sudah tetap harus distem
pula lebih dulu dalam parlemen, dimana nasibnya digantungkan kepada undian suara separo tambah satu dalam negeri Islam, yang masih
harus dimusyawarahan dan tak perlu distem atau diundi itu ialah urusan-urusan keduniaan yang belum atau tidak ada ketentuannya dalam
hukum-hukum agama.
4. Kaum muslimin haruslah bergerak dan berjuang dengan sekuat-kuatnya, supaya mendapatkan suara yang tebanyak dalam parlemen dan
dengan begitu mungkin bisa memasukkan hukum-hukum Islam menjadi Undang-undang negara.
5. Kekuasaan ada dalam tangan orang Islam (bukan kemalisten) orang-orang beragama lain tak usah khawatir. Dalam satu negara yang berdasar
Islam orang-orang yang bukan Islam mendapat kemerdekaan beragama dengan luas. Malah lebih luas lagi daripada apa yang mungkin
diberikan oleh negara-negara di Eropa sekarang kepada agama-agama yang ada disana.
6. Orang yang tidak mau mendasarkan negara itu kepada hukum-hukum Islam, sebenarnya berlaku zhalim kepada orang Islam sendiri yang
bilangnya di Indonesia ini 20 kali lebih banyak.
7. Bagi kaum kita yang berhakim kepada firman Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW dalam masalah yang bersangkutan dengan agama
Allah SWT ini, cukup kiranya kalau kita persilakan membuka kitab Allah SWT sendiri, dimana boleh dikatakan bertebaran firman Ilahi yang

M. Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, (Media Dak’wah: Jakarta, 2001), h. 78-79.
Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, h. 84.
3
Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, h. 86-87.
4
Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, h. 89.
5
Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, h. 93.
1

2

dengan tegas dan nyata serta mudah dipahami, yang menundukkan perkara ini pada tempatnya dengan tidak usah berpanjang falsafah perihal
pisah atau tidak pisah, dinamis atau tidak dinamis dan kata-kata lain semacam itu.
8. Masalah agama dan negara ini memang satu masalah yang penting. Hal ini tidak berarti masalah-masalah shalat dan air wudhunya
umpamanya, semata-mata tetek bengek saja yang tak usah diperbincangkan sama sekali. Yang tadi berhubungan dengan mu’amalah antara
makhluk dengan makhluk, shalat, puasa, haji dan lain-lainnya itu berhubungan dengan kewajiban antara makhluk dengan khalik keduaduanya bagi kita penting. Keduanya harus kita ketahui dan harus kita selesaikan. Kejayaan dunia dan kemenangan akhirat yang keduanya
menjadi pertalian kita dengan Ilahi dan baik pula perhubungan kita dengan sesama manusia.6
2. S.M Kartosoewirjo
Islam tidak pernah memaksakan seseorang dan tidak pula disebarkan lewat tajamnya pedang, sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh

Islam. Islam mensyariatkan perang, untuk menyingkirkan thaghut-thaghut yang menghalangi jalan dakwah ke rakyat dan penduduk. Tendensi
dakwah Islam semacam ini dikuatkan dengan perkataan Rab’i bin ‘Amir di hadapan Rustum, pemimpin pasukan Persia, “Kami diutus Allah untuk
mengeluarkan manusia dari penyembahan makhluk ke penyembahan Allah, dari dunia yang sempit ke dunia yang lapang dan dari kesewenangan
agama ke keadilan Islam”. Kebebasan yang diberikan kepada orang-orang yang ditundukkan kaum Muslimin untuk memilih masuk Islam ataukah
membayar jizyah, merupakan bukti yang kuat, jelas dan gamblang bahwa Islam melarang menerapkan kultur paksaan. Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala, “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.” (Al-Baqarah:
256).7
Pemuda Muslimin Indonesia bercita-cita tidak lain melainkan supaya dikemudian hari kelak anggota-anggotanya menjadi orang P.S.I yang utama,
yang akan berjuang dengan sekuat tenaga dan fikirannya untuk mencapai segala apa yang diangan-angannya yakni Kemuliaan Islam, ke-Tinggian
Islam, dan ke-Utamaan Islam dalam tanah air ini khususnya di muka bumi umumnya. Bagi anggota-anggota yang belum cukup umur untuk
mempelajari politik (belum berumur 18 tahun) akan diadakan kursus yang tidak bersangkutan dengan politik dan bagi anggota-anggota lainnya yang
berhak untuk mempelajari politik akan diberi pelajaran dalam politik umum, teristimewa dipelajari tentang politik Islam yang direncanakan dan
dilakukan oleh Partai Serikat Islam Indonesia tegasnya politik perserikatan pemuda-pemuda Islam biasa dengan maksud dan tujuan yang tetap dan
tertentu tetapi kepada anggota-anggotanya diberikan kesempatan untuk mempelajari politik umum, terlebih-lebih politik Islam. Dalam Islam dan
Nasionalisme sebab cinta bangsa dan tanah air hanyalah sebagian dari pada segalanya itu Iman. Bagi tiap-tiap orang Islam, tua dan muda, kaya dan
melarat, pandai atau bodoh, semuaya memikul tanggung jawab atas kewajibannya itu, yaitu kewajibannya mencintai tanah airnya. Belum lama
berselang telah diberitakan tentang Masjid Cikini yang akan diancam pihak lain yang hendak membongkarnya dengan alasan yang tidak sah menurut
agama Islam yang Suci itu. Sepuluh tahun lamanya masjid itu diintai-intai oleh pihak yang yang tidak mengetahui akan hukum-hukum Islam.
Tentang kewakafan Masjid itu tidaklah boleh dipungkiri lagi, sebab masjid itu berdirinya sedikit-sedikitnya sudah seratus tahun dan belum juga
pernah membayar pajak. Katanya pemerintah bersikap “Neutraal” terhadap kepada Agama. Tiba-tiba pegawai pegawainya (pegawai pemerintahan)

juga mencampuri urusan-urusan yang semata-mata bersangkutan dengan keperluan dengan kepentingan Islam dan ke-Islaman, yang sama sekali
menjadi tanggungan umat Islam. Masjid adalah pusat umat Islam, tempat bermusyawara, tempat menyembah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Masjid juga merupakan tempat kita bersatu dan tempat kita kalau kita hendak merundingkan segala hal yang mengenai agama Islam. Mulai beberapa
tahun yang lalu hingga kini belum juga ada berhentinya orang memperbincangkan tentang soal “Punale Sanctie” keadaan perbudakan dan
perhambaan, tentang artikel yang kita anggap sebagai ranjau dalam perjalanan kita menuju dan mencapai angan-angan kita yang tinggi dan mulia
itu ada beberapa pasal lainnya yang mengikat tangan dan kaki kita. Tidak juga perlu di sini kita terangkan bagaimana jeleknya nasib kuli-kuli
kontrakan, bagaimana nasib kaum pergerakan yang dalam melakukan kewajibannya telah berbulan-bulan atau bertahun-tahun meringkuk di
terungku, dan betapa nasib saudara-saudara kita yang sudah diasingkan dan baru dalam perjalanan ke tanah pengasingan.8
Politik adalah asal mulanya terambil daripada bahasa Asing “polis”, yang meknanya: “kota” negeri atau negara”. Sehingga kata-kata politik itu
mengandung makna: cara-cara mengatur dan memerintah suatu negara. Pada zaman penjajahan Belanda. Negara kita diperintah oleh bangsa yang
dipertuan”, sedang bangsa Indonesia dianggapnya sebagai “bangsa yang diperhamba”. Bangsa indonesia kehilangan hak-haknya untuk menentukan
nasibnya sendiri. Keadaan yang serupa itu berlaku atas kita sekalian kurang lebih tiga setengah abad lamanya (350 tahun). Kemudian, setelah Belanda
lari meninggalkan Indonesia, maka datanglah:tamu baru, yang menamakan dirinya sudara tua” (Jepang). Keadaan rakyat bangsa kita dibawah
perintah kapitalis Belanda atau dibawah fascis Jepang “setali tiga uang”, alias sama saja. Sebab kedua bangsa itu terpengaruh oleh nafsunya, untuk
menindas dan memperbudakan bangsa lain, yang lazimnya menurut terminologi (istilah) politik dikatakan “imperialisme”. Sampai pada dewasa itu
bangsa Indonesia hanya tahu kewajiban ialah “kewajiban diperintah” dan cuma kenal satu hak ialah “hak hamba sahaya”. Apa lagi setelah selesai
Perang Dunia yang pertama, dan dilangsungkan “Perjanjian damai di Versailles” (1919), maka bangsa Belanda makin rajin mencari tipu daya dan
tipu muslihat yang halus-halus, bagi mempertahankan dan mencentuskan kekuasaan Belanda di Indonesia, Salah satu tipu daya yang halus itu ialah
“hak politik”. Tetapi di belakang, di samping kanan, dan di samping kiri, bahkan pada tiap-tiap penjuru dipasangnya berbagai-bagai perangkap, yang
merupakan goda dan bencana, halangan dan rintangan, fitnah dan aniaya. Belum terhitung banyaknya provokasi dan intimidasi, yang dihamburhamburkan di tengah-tengah pergerakan rakyat. Mengingat keadaan dan kejadian yang sedemikan itu, maka “hak politik” pada waktu itu bukanlah

satu hak, yang patut diterima dan dimiliki oleh sesuatu bangsa yang beradab. Politik itu seolah-olah mengandung hantu yang menakutkan dan
mendahsyatkan Inilah sebab kata-kata “politik” menjadi cemar, karena noda yang dilemparkan oleh politik jajahan pada waktu itu. Sehingga politik
dijauhi, dibenci, dicaci, bahkan ada pula yang berani mengharamkan bergerak dan berbuat politik. Pada zaman pendudukan Jepang, maka
keadaannya lebih menyedihkan daripada zaman Belanda. Semuanya pergerakan politik dengan tidak kecuali disapu bersih. Kehidupan politik
dibongkar sampai keakar-akarnya, atau dibunuh mati. Hak politik untuk rakyat nol, tidak barang sedikitpun diberikan. Tetap rakyat tampak masih
seta dan menurut, padahal sesungguhnya hanya takut kepada “nakir dan munkar” yang bermain dibelakang layar politik Jepangisme. Politik yang
dulu pada zaman Belanda dan Jepang “dibenci dan ditakuti” maka sekarang pada zaman merdeka “dicintai dan disukai”, selanjutnya politik yang
dulu oleh setengah orang “diharamkan”, maka sekarang didalam suasana Indonesia Merdeka “politik adalah halal, bahkan wajib” bagi tiap-tiap
warga Negara, terutama yang mengaku Umat Islam, Umat Muhammad. Di dalam perjuangan politik, maka kita selalu harus berpegangan kepada
dua akidah politik. Akidah yang pertama ialah Ideologi atau cita-cita, tegasnya maksud dan tujuan daripada perjuangan politik. Kedua ialah Realiteit,
tegasnya: Kenyataan, ialah bukti syari’at yang terletak di depan mata kita. Kenyataan itu boleh merupakan sejumlah kekuatan, jiwa, kecakapan,
kepandaian, dll. Semuanya itu mewujudkan syarat dan alat perjuangan, untuk mendekati dan mencapaikan maksud serta tujuan (ideologi).9
Revolusi Nasional, ialah segala perubahan yang mengenai Negara kita ‘dari dalam keluar, yang bahwa sekali menolak tiap-tiap penjajahan
perjuangan Nasional itu boleh mengeluarkan “diplomasi” dan bukan pula merupakan pertempuran rakyat sebagai suatu bentuk yang nyata, bahwa
rakyat Indonesia sesungguh-sungguhnya tidak menyukai penjajahan yang manapun juga. Revolusi Sosial, ialah sifat kedua daripada perjuangan
umat, yang menghendaki perubahan masyarakat dari dalam ke dalam, di dalam negeri sendiri, oleh bangsa sendiri dan bagi kepentingan Negara kita
sendiri. Revolusi Sosial ini berlaku atau tidak berlaku di sesuatu tempat atau daerah, tergantung semata-mata kepada matang atau mentahnya sesuatu
ikatan masyarakat, ditempat atau daerah itu. Dalam pandangan Agama Islam, tiadalah mungkin dibentuk jiwa merdeka, melainkan berdasarkan atas
sesuci-suci Iman kepada Allah dan sebersih-bersih Tauhid, sepanjang ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, Muhammad. Usaha mengubah diri
menjadi “jiwa merdeka” adalah kewajiban, yang diletakkan atas pundak tiap-tiap warga Negara, yang sadar dan insaf akan bangsa dan tanah airnya,

terutama atas warga Negara yang menamakan dirinya Muslim atau Mukmin, yang telah mendapat panggilan suci dari Agamanya. Ideologi Islam
tidak hanya menuju kepada Keselamatan Dunia saja, melainkan juga Kesejahteraan Akhirat. Dalam hal ketatanegaraan dan di dalam masyarakat
suara jiwa Umat Islam sebagai berikut:
1) Hendaklah Republik Indonesia menjadi republik yang berdasar Islam;
2) Hendaklah pemerintah dapat menjamin berlakunya hukum secara Agama Islam; dalam arti yang seluas-luas dan sesempurnasesempurnanya;
3) Kiranya tiap-tiap Muslim dapat kesempatan dan lapangan usaha, untuk melakukan kewajibannya baik dalam bagian duniawi maupun dalam
urusan uhrowi;
6

Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, h. 116-119
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonsia SM. Kartosoewirjo, (Darul Falah, 1999), h. VII.
8
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonsia SM. Kartosoewirjo , h. 238-241.
9
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonsia SM. Kartosoewirjo , h. 537-538.
7

4) Kiranya rakyat Indonesia, teristimewa sekali Umat Islam, terlepaslah daripada tiap-tiap perhambaan yang mana pun juga.
Dalam ringkas tapi tegas bolehlah kita katakan, bahwa cita-cita umat Islam (ideologi Islam) ialah: hendak membangunkan Dunia Baru, atau
Dunia Islam, atau dengan kata-kata (terminologi) lain: Darul Islam. Cita-cita yang serupa itu tertanam dalam-dalam dan berakar kuat-kuat dalam

kalbu Umat Islam, sehingga tiap-tiap Muslim dan Mukmin menganggap hidupnya tiada berguna (mubazir), bahkan ia merasa menanggung dosa
yang sebesar-besarnya.10

10

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonsia SM. Kartosoewirjo , h. 540-542.