Artikel Islam dan Pancasila docx

Buya Hamka dan Pancasila
by jejakislam1 on Oct 31, 2016 • 4:04 am
Pancasila. Sembilan huruf itu, dari sejak awal digali oleh Sukarno dan
dilengkapi oleh Panitia Sembilan di tahun 1945, hingga kini tak kehilangan
perbincangannya di masyarakat. Sejak masa kemerdekaan, rezim orde lama,
orde baru, Pancasila terus diberikan makna yang berbeda-beda. Jika
Pancasila awalnya sebagai dasar negara merupakan sebuah landasan
sementara sebelum sidang konstituante, maka di rezim orde lama, bahkan
hingga Partai komunis pun memberikan tafsir sendiri tentang Pancasila. Di
rezim Orde baru, Pancasila sampai perlu diberikan kata ’Kesaktian‘ agar
dapat menjadi penopang tegaknya rezim tersebut. Kini Pancasila acapkali
menjadi semacam alat pukul yang ditujukan bagi sebagian gerakan Islam.
Sedikit-sedikit dibenturkan dengan Pancasila. Sesungguhnya Pancasila tak
pernah kehilangan maknanya yang ditafsirkan berbeda-beda bagi tiap
kelompok.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lazim kita kenal dengan Buya
Hamka, seorang ulama Indonesia, sastrawan, dan sejarawan, yang
kontribusinya tak hanya diakui tanah air, tetapi juga hingga ke Timur tengah,
adalah salah satu sosok yang bergelut dengan pemikiran mengenai
Pancasila. Hidupnya yang merentang dari zaman penjajahan, kemerdekaan,
revolusi hingga orde baru, membuatnya mengecap berbagai pengalaman

yang mewarnai dirinya dalam memandang Pancasila.
Menelusuri sejarah Pancasila, maka kita akan berjumpa dengan berbagai
warna perdebatan para pendiri bangsa. Sidang BPUPKI menjadi ajang para
pendiri bangsa untuk merumuskan dasar negara yang akan merdeka. Sidang
itu sendiri, seperti disimpulkan oleh Prof Soepomo, menjadi ajang
pertarungan dua ide negara, yaitu negara berdasarkan agama dan negara
sekular. Pertentangan dua ide menjadi semakin sengit. Untuk mencari
kompromi diantara keduanya, maka dibentuklah panitia sembilan. Haji Agus
Salim, Wahid Hasjim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir,
Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebarjo, Muhammad Yamin, dan A.A.
Maramis menjadi anggota dari panitia sembilan tersebut. Mereka kemudian
menghasilkan yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta. Sila pertama
dari piagam Jakarta yang mengandung kalimat, ”kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ ini kemudian yang menjadi suatu
nilai yang sangat penting. Bagi Tokoh-tokoh Islam, kalimat inilah yang
menjadi sebuah puncak perjuangan untuk memasukkan Islam menjadi
bagian dari dasar negara. Sebaliknya, bagi tokoh sekular, kalimat tadi
membuat mereka hidup dengan bermacam kekhawatiran. (Endang Saifuddin
Anshari, 1981, Piagam Jakarta Dan Sejarah Konsesnsus Nasional Antara


Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945-1959)
Jalannya sejarah kemudian berbelok. Kalimat ini, atas prakarsa Bung Hatta
yang melobi berbagai tokoh mendesak dihapuskannya 7 kata dalam sila
pertama tersebut. Ia khawatir kelompok nasrani memisahkan diri dari
Indonesia akibat hadirnya tujuh kata ini. Namun, meminjam istilah Prawoto
Mangkusasmito, upaya penghapusan ini beserta latar belakangnya
menyisakan sebuah pertanyaan sejarah. (Prawoto Mangkusasmito, 1970,
Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi)
Atas lobi dan berbagai pendekatan, penghapusan ketujuh kata ini coba
dihapuskan. Namun ada satu tokoh yang menjadi perintang dihapuskannya
ketujuh kata ini, yaitu Ki Bagus Hadikusumo. Ialah tokoh Muhammadiyah
yang dalam sidang BPUPKI menjadi figur yang amat keras mendorong Islam
sebagai dasar negara. Semua yang hadir tentu akan mengingat, ialah salah
satu tokoh Islam yang berpidato meminta agar Islam menjadi dasar negara.
Di akhir pidatonya tersebut ia menegaskan seraya berharap, ” “Mudahmudahan Negara Indonesia baru yang akan datang itu, berdasarkan agama
Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh, serta kuat dan kokoh.
Amien!” (Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq
Pemimpin)
Sikap kerasnya kembali muncul saat berbagai tokoh mencoba membujuknya

untuk menyetujui penghapusan tujuh kata tersebut. Teuku Hasan, salah
seorang tokoh dari Aceh coba meyakinkan Ki Bagus. Ia menjelaskan, „ “…
yang kita perlukan kini adalah kemerdekaan. Apabila kita terus
mempertahankan kepentingan sepihak, bisa-bisa orang Kristen dapat
dipersenjatai oleh Belanda. Padahal kita kan maunya merdeka, bukan
berperang.” Kemudian Teuku hasan kembali menekankan,” “Kalau kita
banyak, kita tidak perlu cemas. Yang penting merdeka dulu, setelah itu,
terserah kita mau dibawa ke mana negara ini.” (Panitia 75 Tahun Kasman,
1982, Hidup itu Berjuang. Kasman Singodimedjo 75 tahun)
Mr Kasman Singodimedjo, yang juga tokoh Muhammdiyah, menyebutkan
upaya Teuku hasan tersebut tak berhasil. Akhirnya ia sendirilah yang diminta
untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo. Dengan pendekatannya sebagai
sesama tokoh Muhammdiyah dan dengan bahasa jawa, Kasman
Singodimedjo membujuk Ki Bagus Hadikusumo, “Kiyahi, kemarin proklamasi
kemerdekaan telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan UndangUndang Dasar, sebagai dasar negara kita bernegara, dan masih harus
ditetapkan siapa Presiden dan lain sebagainya, untuk melancarkan
perputaran roda pemerintahan.”
Kasman pun mengingatkan janji Soekarno, “…Kiyahi, dalam rancangan
Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum


satu pasal yang menyatakan bahwa, 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang
yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan UndangUndang Dasar darurat. Belum ada lagi waktu untuk membikin yang
sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!”
(Panitia 75 Tahun Kasman, 1982, Hidup itu Berjuang. Kasman Singodimedjo
75 tahun)
Ki Bagus Hadikusumo pun akhirnya luluh, setelah diingatkan oleh Kasman
Singodimedjo bahwa persoalan dasar negara ini akan dibahas sekurangkurangnya enam bulan kemudian. Apa daya, sejarah berkata lain. Bukan 6
bulan melainkan 12 tahun kemudian baru dasar negara kembali dibahas oleh
para wakil rakyat dalam Sidang Konstituante. Di sidang tersebut kembali
dipertarungkan berbagai ideologi untuk menjadi dasar negara. Kembali Islam
dipertarungkan dengan Pancasila. Kepada anggota Dewan Konstituante,
Kasman Singodimedjo mengingatkan kembali peristiwa penghapusan dan
janji kepada Ki Bagus Hadikusumo itu,
“…Saudara Ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah
meninggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah pulang ke
Rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6
bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti
sampai wafatnya. Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan
Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam, ke dalam Undang-Undang

Dasar yang kita hadapi sekarang ini.
Ia kemudian bertanya, ” , “…Saudara ketua, secara kategoris saya ingin
tanya, saudara Ketua, dimana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang
terhormat ini, Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat
menuntut penunaian ‘Janji’ tadi itu? Di mana lagi tempatnya?” (2001, Debat
Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957)
Kasman Singodimedjo, bukan satu-satunya tokoh Islam yang
memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara, tetapi juga tokoh-tokoh lain
seperti KH Masykur, KH Wahab Hasbullah, (Partai Nadhlatul Ulama), Moh.
Natsir dan termasuk Buya Hamka (Masyumi). Sidang Konstituate, bagi umat
Islam adalah wadah legal dan konstitusional untuk memperjuangkan Islam
sebagai dasar negara setelah ‘tertunda’ pasca Piagam Jakarta. Itu sebabnya,
pasca Piagam Jakarta dan sebelum sidang konstituante, mereka menerima
(sementara) Pancasila sebagai dasar Negara. Kesempatan ini pun tak disiasiakan oleh para tokoh Islam, termasuk Buya Hamka, yang memberikan
uraian mendalam mengenai Islam dan Pancasila.
Buya Hamka mengingatkan dalam bahwa semangat melawan penjajahan,
keberanian yang timbul hingga mengobarkan semangat berani mati, syahid

adalah akibat kecintaan pada Allah yang bersemayam di dalam dada, bukan
Pancasila,

“Itulah yang kami kenal, jiwa atau yang menjiwai proklamasi 17 Agustus,
bukan Pancasila! Sungguh Saudara Ketua. Pancasila itu belum pernah dan
tidak pernah, karena keistimewaan hidupnya di zaman Belanda itu
menggentarkan hati dan tidak pernah dikenal, tidak popular dan belum
pernah dalam dada ini sekarang, Saudara Ketua, bukanlah Pancasila, tetapi
Allahu Akbar! Bahkan sebagian besar dari pembela Pancasila sekarang ini,
kecuali orang-orang PKI, yang nyata dalam hati sanubarinya sampai saat
sekarang inipun, pada hakekatnya adalah Allahu Akbar!”
Buya kemudian melanjutkan bahwa kalimat takbir, bukan saja mengandung
Pancasila, tetapi segala sila,
“Allahu Akbar yang tertulis dalam dada saudara itulah sekarang yang kami
mohon direalisasikan. Allahu Akbar yang di dalamnya terkandung segala
macam sila, baik panca, atau sapta, atau ika, atau dasa, Allahu Akbar yang
menjadi pertahanan saudara ketika saudara pernah menghadapi bahaya
besar! Allahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara disaat maut telah
melayang-layang diatas kepala saudara. Allahu Akbar, yang kepada-Nya
putra saudara yang tercinta saudara serahkan! Allahu Akbar yang dengan
dia saudara sambut waktu lahir dari perut ibu.” (H. Abdul Malik Karim
Amrullah, Berbeda dalam Mencari Kebenaran dalam Pancasila dan Islam;
Perdebatan antar Parpol dalam penyusunan Dasar Negara di Dewan

Konstituante, 2008)
Buya Hamka menegaskan, perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar
Negara bukan mengkhianati Indonesia, malah sebaliknya, hanya
meneruskan wasiat dari para pejuang dan pendahulu bangsa seperti Sultan
Hasanuddin, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik Di Tiro, Maulana Hasanuddin
Banten, Pangeran Antasari dan lainnya. Menjadikan Islam sebagai dasar
Negara bukanlah demi kepentingan partai atau fraksi Islam di Konstituante,
tetapi untuk anak cucu yang menyambung perjuangan nenek moyang. (H.
Abdul Malik Karim Amrullah, Berbeda dalam Mencari Kebenaran dalam
Pancasila dan Islam; Perdebatan antar Parpol dalam penyusunan Dasar
Negara di Dewan Konstituante, 2008)

Partai-partai Islam sejalan dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar
Negara. Kebulatan tekad tersebut membentur partai-partai lain yang
mendukung Pancasila sebagai dasar Negara. Tak ada kata sepakat diantara
kedua pihak. Kebuntuan ini membuat habis kesabaran Sukarno. Akhirnya
Konstituante pun dibubarkan, dan Dekrit Presiden mengembalikan Pancasila
untuk ditetapkan sebagai dasar negara, dengan Piagam Jakarta yang
menjiwai UUD ’45.
Runtuhnya rezim orde lama dan bangkitnya rezim orde baru dibawah

Suharto tak memberikan kesempatan untuk memperjuangkan kembali Islam
sebagai dasar Negara. Bahkan untuk memperjuangkan Piagam Jakarta pun
rezim orde baru tak beri kesempatan sedikit pun. Berada dalam situasi
tersebut, ada perubahan sikap dari para tokoh Islam dalam memandang
Pancasila pasca runtuhnya orde lama dan munculnya orde baru. Perubahan
sikap ini juga yang kita lihat pada Buya Hamka.
Buya Hamka, yang pernah merasakan represifnya rezim orde lama di balik
jeruji penjara, memilih sikap untuk menafsirkan Pancasila sesuai dengan jiwa
Islam. Ketika memberikan khotbah Iedul Fitri di Istana Negara tahun 1968,
Buya Hamka memberikan makna Pancasila, dengan jiwa Islam. Sila pertama,
Ketuhanan Maha Esa, menurut Buya Hamka adalah Tauhid, Lailaha illalah.
Ketuhanan Maha Esa adalah Tauhid. Sila inilah yang menjadi sumber empat
sila lainnya. (Hamka, 2002, Pancasila akan Hampa Tanpa Ketuhanan yang
Maha Esa Dalam Dari Hati ke Hati)
Apabila manusia telah mempercayai Tuhan yang satu (Maha Esa), maka
secara logis dan pasti, orang tersebut akan menghargai dasar sila kedua,
yaitu peri kemanusiaan. Mengutip surat Al Hujarat ayat 14, Buya Hamka
mengatakan dengan percaya pada Ketuhanan Yang Maha Esa pula, maka
manusia akan menimbulkan rasa kebangsaan. Rasa kebangsaan itu adalah
rasa mencintai tanah air, seperti yang sudah diteladani para pejuang Islam


sejak zaman dahulu. Bukan rasa kebangsaan yang chauvinis dan
bertentangan dengan peri kemanusiaan. Adab adalah kata yang berasal dari
kosa kata arab yang mendapat nilai-nilai Islam.
Buya pun menjelaskan, Ketuhanan yang Maha Esa memberikan konsekuensi
logis bagi manusia untuk bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Kata
mufakat dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab. Sebuah kata
yang lagi-lagi mendapat nilai-nilai Islam.
Menurut Buya Hamka, Tauhid (beriman pada Tuhan yang maha Esa), sudah
pasti menyuruh manusia untuk berbuat adil. Kata Al-Adl adalah salah satu
dari nama Allah. Allah menyuruh manusia untuk mengerjakan amal dan
kebaikan berjama’ah.
Penafsiran Pancasila dalam cahaya Islam, bagi Buya Hamka bermuara pada
sila pertama, yang mencerminkan agama tauhid (Islam). “Agama yang
mengakui ke-Esa-an Allah yang mutlak dan dianut oleh mayoritas bangsa
Indonesia. “ (Hamka, 2002, Ketuhanan yang Maha Esa Dalam Dari Hati ke
Hati)
Tak ada penafsiran lain dari Ketuhanan yang Maha Esa, melainkan Tauhid.
Buya menekankan,
“Tak ada kata lain, melainkan Allah, dan Allah itu Esa adanya. Jelas sekali

dalam anggapan segala agama, bahwa Allah itu Esa. Dan jelas sekali disini
bahwa sumber utama yang memberikan inspirasi sehingga timbulnya hasrat
merdeka ialah Allah itu sendiri.” (Hamka, 2002, Ketuhanan yang Maha Esa
Dalam Dari Hati ke Hati)
Sesungguhnya bukan Buya Hamka saja yang memaknai sila pertama
sebagai Tauhid, tetapi juga Ki Bagus Hadikusumo dan Mohammad Hatta
(seorang tokoh yang dalam perdebatan dasar Negara di Sidang BPUPKI
termasuk dari kelompok nasionalis sekular). Maka sudah pasti Buya Hamka
menolak tafsir Pancasila yang sekular.
Menurut Buya Hamka, “Di Negara kita ini tidak bisa sekularisme, kalau kita
hendak berpegang pada UUD 1945, terutama dasar negara Pancasila.
Janganlah dicoba sekali lagi, hendak membuat Pancasila kosong
melompong, dengan menjadikan negara kita sekuler.” Menurut Buya justru
dengan percaya pada Tuhan yang Maha Esa, maka Indonesia terhindar
menjadi negara sekular. (Hamka, 2002, Dengan Sekularisasi Pancasila akan
Kosong Dalam Dari Hati ke Hati)
Perubahan pandangan Buya Hamka terhadap Pancasila, tak bisa kita
lepaskan dari situasi dan kondisi bangsa. Saat ada kesempatan untuk
mengemukakan Islam sebagai dasar negara secara konstitusional, maka


Buya Hamka tampil ke muka untuk memperjuangkannya. Saat ia
menghadapi pemerintah orde baru yang tidak membuka kemungkinan untuk
membicarakan kembali soal dasar negara, Buya Hamka memberikan
penafsiran Pancasila yang sesuai dengan ajaran Islam. Penulis berpendapat,
inilah cara Buya Hamka memperjuangkan syariat Islam. Bagi Buya,
“Orang Islam tidaklah apriori meminta agar Negara Republik Indonesia ini
agar bernama Republik Indonesia Islam, sebab meskipun disini orang takut
mendengar nama, namun ditinjau oleh orang luar, negeri ini bukan negeri
Kristen, dan bukan negeri komunis, tetapi negeri orang Islam. Yang penting
bagi kita bukan nama, tapi pengakuan di negeri ini, Islam adalah mayoritas,
diberi hak melakukan kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan
kita sendiri.” (HAMKA, 2002, Mengapa mereka Masih Ribut? “Mari kita
Berpahit-pahit, Kaum Muslimin Belum Puas atas Kemerdekaan Ini” Dalam
Dalam Dari Hati ke Hati)
Baik situasi ketika negara memungkinkan untuk memperdebatkan dasar
Negara secara konstitusional, atau ketika Negara tidak memberikan jalan
untuknya, Buya Hamka tetap berjalan di atas jalan jihad fi sabilillah
memperjuangkan syariat Islam di Indonesia, terang dan terbuka. Maka kita
renungkan dan resapi kata-kata Buya Hamka,
“Negara kita berdasar Pancasila; dalam negara berdasar Pancasila itu, kita
kaum muslimin wajib mengisinya dengan cinta yang telah kita terima dari
langsung dari Allah dan Rasul.
Namun tidak!-demi Tuhanmu-tidaklah mereka beriman, sebelum engkau
jadikan hakim, pada barang yang mereka perselisihkan diantara mereka,
kemudian itu tidak mereka dapati dalam diri mereka sendiri rasa keberatan
pada apa yang engkau putuskan, dan mereka menyerah sebenar-benar
menyerah.
Itulah dia iman, dan itulah dia hidup.
Kalau tidak, sama dengan artinya mati, walaupun nafas masih turun naik.”
(HAMKA, 2002, Cintakan Rasul SAW dalam Dalam Dari Hati ke Hati)
Oleh karena itu, Buya juga mengingatkan kita untuk berterus terang tampil
ke muka dan menyatakan pendirian sebagai umat Islam di Indonesia;
“Mari kita berpahit-pahit, kaum muslimin belum pernah merasa puas dalam
kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam
kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945
belum menjadi kenyataan.”

(HAMKA, 2002, Mengapa mereka Masih Ribut? “Mari kita Berpahit-pahit,
Kaum Muslimin Belum Puas atas Kemerdekaan Ini” Dalam Dalam Dari Hati
ke Hati)
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
artikel ini dimuat di Majalah Tabligh edisi bulan Agustus 2016