Pembentukan Identitas Diri Foreclosure P (1)

1
Pembentukan Identitas Diri Foreclosure Pada Remaja dalam Menempuh Pendidikan di
Pondok pesantren
Ainul Zulqoifah Asmawati
([email protected])
Faizah
Sumi Lestari
Universitas Brawijaya Malang
Abstract
This research was conducted to understand the process of foreclosure identity formation in
adolescents for taking education. Foreclosure identity status represented by individuals who
are not experienced exploration period (crisis) but they have made a number of commitments
that are not from the search itself and prepared by those around him. This study used
qualitative methods with phenomenological approach. Subjects in this study were 4
adolescents who have been educated in boarding school since junior high to high school and
had foreclosure identity in his education. Data collection techniques were interviews, and
observation. Analysis technique used coding analysis (open coding, axial coding, selective
coding). The results found that the formation of identity Foreclosure indicated by lower
exploration capabilities illustrated by the lack of knowledge about the place of education, the
boarding school information obtained by nearby, and following the decision of the
surrounding. Adolescents have demonstrated commitment conducted by diligent and obedient

to the rules. Stages of its formation, the adolescents have barriers to identity crisis and
identity diffusion, and identification was conducted in order to gain the attention and respect
of the people around.
Keywords: identity foreclosure, Adolescents, boarding school education.
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk memahami proses pembentukan identitas diri foreclosure
pada remaja dalam menempuh pendidikan. Status identitas foreclosure digambarkan dengan
individu yang tidak mengalami periode eksplorasi (krisis) tapi mereka telah membuat
sejumlah komitmen yang bukan berasal dari pencarian sendiri dan sudah disiapkan oleh
orang disekitarnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Subjek dalam penelitian ini merupakan 4 remaja yang telah menempuh
pendidikan dipondok pesantren sejak SMP hingga SMA dan memiliki status identitas
foreclosure dalam menempuh pendidikan. Teknik pengumpulan data menggunakan
wawancara, dan observasi. Teknik analisa menggunakan analisis coding (open coding, axial
coding, selective coding). Hasil penelitian menemukan bahwa pembentukan identitas diri
Foreclosure ditunjukkan dengan kemampuan eksplorasi yang rendah yang digambarkan
dengan kurangnya pengetahuan mengenai tempat pendidikan, informasi pondok pesantren
didapatkan orang terdekat, dan mengikuti keputusan dari sekitar. Remaja telah memiliki
komitmen yang ditunjukkan dengan perilaku rajin dan patuh pada peraturan. Untuk tahapan
pembentukannya remaja memiliki hambatan pada identity crisis dan identity diffusion, dan

identifikasi (identification) dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dan
penghargaan dari orang sekitar.
Kata kunci : identitas diri foreclosure, remaja, pendidikan pondok pesantren.

2
Latar Belakang
Seiring dengan bertambahnya usia dan berkembangnya fisik yang dialami oleh manusia
dalam menjalani kehidupan, manusia akan melalui masa yang disebut dengan masa remaja.
Masa remaja sering sekali diartikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju
masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004),
dengan adanya masa remaja yang berada pada masa transisi inilah yang menjadikan para
remaja masih belum dapat digolongkan sebagai dewasa dan juga tidak dapat disebut sebagai
anak-anak. Keinginan remaja untuk menentukan nasib sendiri, menjadikan remaja mulai
memiliki ketertarikan untuk mempertanyakan kehidupannya dimasa lalu, siapakah dirinya,
ingin menjadi seperti apa, dan apa yang ingin diraih di masa yang akan datang, pertanyaanpertanyaan yang muncul tersebut menjadikan remaja untuk membuat sebuah keputusan yang
akan mengarahkan untuk menentukan identitas dirinya, seperti yang kemukakan oleh Acher
(Baihaqi., Kartini., Ihsan., Musthofa, 2009) bahwa keputusan-keputusan yang telah diambil
selama masa remaja mulai membentuk inti tentang bagaimana individu menunjukkan
keberadaanya sebagai manusia, konsep ini yang disebut para ahli sebagai identitas diri.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh rahmat (2005) disebutkan 18% santriwati

tidak mengetahui tujuan hidup mereka dan 4% bingung menentukan tujuan hidupnya, dapat
diketahui bahwa sebagian santriwati belum dapat menentukan dan memutuskan hal-hal yang
berkaitan dengan masa depan dan hidup mereka, hal ini selaras dengan hasil penggalian data
awal yang dilakukan terhadap beberapa santriwati disalah satu asrama pondok pesantren
Darul Ulum, beberapa remaja mengatakan bahwa mereka menempuh pendidikan di pondok
pesantren bedasarkan pada pilihan orang tua, begitu pula dengan pemilihan
jurusan/peminatan bidang studi antara IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS (Ilmu
Pengetahuan Sosial), dengan didasari oleh alasan kebingunan dalam menentukan pilihan
maka mereka menganggap bahwa pilihan dari orang tua adalah yang terbaik tanpa terlebih
dahulu melihat minat dan kemampuan yang mereka miliki, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Moesono (Sawitri, 2009) bahwa ternyata siswa SMA tidak pernah betul-betul tahu
apa yang diinginkannya, tidak terbiasa tertantang menggali informasi sampai tuntas,
namun hanya bermodal informasi yang hanya 40% petunjuk orang tua.
Keputusan yang diambil oleh remaja untuk tinggal dan menempuh pendidikan dipondok
pesantren tidak sepenuhnya didasarkan pada keinginan dari diri mereka sendiri, orang tua
mereka juga terlibat dalam keputusan tersebut, kebanyakan dari para santriwati memang
dianjurkan oleh orang tua mereka untuk menuntut ilmu dipondok pesantren saat mereka
mulai beranjak remaja, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ghonimah (2010) bahwa
pesantren merupakan pilihan alternatif para orang tua untuk dijadikan tempat tinggal
sekaligus tempat belajar dan bersosialisasi yang tepat pada anak. Hal ini dikarenakan anak

mereka berada dibawah tangan para Kyai yang merupakan tokoh agama dan panutan
masyarakat, menjadikan para orang tua percaya dan yakin dengan bimbingan para Kyai dan
guru, seorang anak akan menjadi muslim yang berilmu dan berakhlak baik, sehingga motif
untuk tinggal dipesantren pun sedikit mereka paksakan agar anak mau belajar di pesantren
dan jauh dari keluarga.
Adanya keputusan untuk tinggal dipesantren yang dilandasi dengan campur tangan orang
tua, terkadang menjadikan remaja tersebut melakukan perilaku melanggar peraturan

3
dipondok pesantren, hal ini dikarenakan sifat dari para remaja yang menginginkan untuk
hidup atas pilihan mereka sendiri. Dalam penggalian data awal yang dilakukan terhadap
beberapa remaja di salah satu asrama dipondok pesantren Darul Ulum, diketahui bahwa
dengan adanya kesediaan untuk menempuh pendidikan dan tinggal dipesantren atas
keputusan dari orang tua dengan tanpa menanyakan hasil dari keputusan remaja sendiri
menjadikan mereka tidak mengetahui apa yang hendak mereka lakukan setelah berada
dipondok pesantren, merekapun menjadikan mengaji, dan bersekolah sebagai rutinitas dalam
keseharian yang harus dilakukan jika tidak ingin mendapatkan hukuman. Alasan lain yang
mendasari mereka memilih untuk menempuh pendidikan di pondok pesantren adalah
keluarga inti dari mereka yaitu ayah dan saudara kandung mereka juga menempuh
pendidikan dipondok pesantren, sehingga menempuh pendidikan di pondok pesantren telah

menjadi sebuah keharusan bagi mereka sehingga merekapun tidak pernah membuat rencana
atau tidak pernah memikirkan keinginan mereka yang sebenarnya seperti halnya keinginan
untuk melanjutkan sekolah di lembaga pendidikan selain pondok pesantren, mereka
menganggap bahwa mereka hanya perlu untuk menuruti, menjalankan dan mematuhi apa
yang telah direncanakan oleh orang tua mereka.
Adanya fenomena yang ditemukan dilapangan yang menyatakan bahwa keputusan yang
dipilih oleh remaja untuk menempuh pendidikan dipondok pesantren ditunjukan dengan
adanya keputusan yang dilandasi oleh tradisi keluarga yaitu bersekolah dipondok pesantren
secara turun temurun serta atas dasar keinginan orang tua, maka remaja tersebut dapat
dikatakan memiliki status identitas foreclosure dalam menempuh pendidikan dipondok
pesantren atau memiliki status identitas foreclosure dalam domain vocational
(pendidikan/karir), seperti yang diungkapkan oleh Kau (2008) status identitas foreclosure
dalam dalam bidang pendidikan diartikan sebagai individu yang memiliki tingkat eksplorasi
yang rendah terhadap beberapa alternatif pilihan dalam menempuh pendidikan namun
memiliki komitmen yang tinggi terhadap suatu pilihan bidang pendidikan. Padahal mengutip
pendapat Erikson (Dariyo, 2004) dijelaskan bahwa untuk menjadi orang dewasa, maka
remaja akan melalui masa krisis dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri serta
sifat dari remaja yang ingin menentukan nasib sendiri, akan tetapi mengapa pada remaja
dengan status identitas foreclosure ini mereka tidak membuat keputusan dam memilih
alternatif pilihan tempat untuk menempuh pendidikan, hal ini menjadikan peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian secara empiris mengenai pembentukan identitas diri foreclosure
pada remaja dalam menempuh pendidikan dipondok pesantren.
Landasan Teori
A. Identitas Diri
1. Pengertian Identitas Diri
Muss (Mulyono, 2007) mengungkapkan bahwa Erikson menyebutkan istilah pencarian
identitas diri sebagai sebuah upaya untuk meneguhkan suatu konsep diri yang bermakna,
merangkum semua pengalaman berharga di masa lalu, realitas kekinian yang terjadi termasuk
juga aktivitas yang dilakukan sekarang serta harapan di masa yang akan datang menjadi
sebuah kesatuan gambaran tentang ‘diri’ yang utuh, berkesinambungan dan unik. Dalam
istilah Erikson (Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa identitas diri merupakan sebuah

4
kondisi psikologis secara keseluruhan yang membuat individu menerima dirinya, memiliki
orientasi dan tujuan dalam mengarahkan hidupnya serta keyakinan internal dalam
mempertimbangkan berbagai hal.
2. Pembentukan Identitas Diri
Marcia (Kau, 2008) menyebutkan bahwa pembentukan identitas diri merupakan suatu
proses mengkobinasikan pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa
kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang

akan memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah
bagi masa yang akan datang. Marcia (Santrock, 2009) menyatakan bahwa pembentukan
identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya eksplorasi
(krisis) dan komitmen.
Menurut Marcia (Kau, 2008) indikasi ada tidaknya eksplorasi pada remaja ditunjukkan
oleh kriteria sebagai berikut : 1). Pengetahuan, 2). Aktivitas untuk mengumpulkan informasi,
3). Tingkat emosi, 4). Keinginan untuk membuat keputusan secara dini; dan kriteria yang
digunakan oleh Marcia (Purwadi,2004) untuk mengukur tingkat komitmen remaja dalam
rangka proses pembentukan identitas diri meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
1).Penguasaan pengetahuan (knowledgeability), 2) kegiatan yang diarahkan untuk
melaksanakan elemen identitas yang telah dipilih, 3) suasana emosi, 4) identifikasi pada
orang yang dianggap tepat, 5) proyeksi diri kemasa depan, dan 6) daya tahan terhdap
goncangan yang terjadi.
3. Tahapan Pembentukan Identitas Diri
Dalam tahapan pembentukannya menurut Olson (Yuniardi, 2010) identitas diri
memiliki tiga tahapan pembentukan identitas diri antara lain :
a. Identity crisis
Tahap ini terjadi ketika seseorang melihat dirinya tidak lagi sesuai dengan perubahan
kondisi yang terjadi di dalam kehidupannya. Tahap ini terjadi secara normal selama masa
remaja atau pada usia tengah baya.

b. Identity diffusion
Tahap ini terjadi jika seseorang gagal menyesuaikan diri dengan harapan dan tuntutan
masyarakat. Individu tersebut tidak dapat mengembangkan dan mempertahankan persepsi
mengenai dirinya sendiri dan memberikan cara-cara respon yang terkait. Olson
membedakan tahap ini menjadi 2 (dua)bagian yaitu : acute identity diffusion dan chronic
identity diffusion. acute identity diffusion ini bersifat sementara tapi cukup kuat
pengaruhnya di dalam mematahkan pembentukan identitas diri seseorang, sedangkan
Chronic identity diffusion adalah ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri
sehingga mengganggu perkembangan psikologisnya secara serius.
c. Identification
Identifikasi menurut Benner (Yuniardi, 2010) adalah suatu proses dimana individu
mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu, seseorang, atau institusi dan berpikir, merasa,
serta bertingkah laku secara konsisten sesuai dengan gambaran mental dan model tersebut.

5
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas Diri.
Fuhrmann (Ristianti, 2008) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi proses pembentukan identitas diri:
a. Pola asuh
b. Homogenitas lingkungan

c. Model untuk identifikasi
d. Pengalaman masa kanak-kanak
e. Perkembangan kognisi
f. Sifat individu
g. Pengalaman kerja
h. Identitas etnik
Sedangkan Marcia (Dariyo, 2004) menjelaskannya melalui tabel sebagai berikut :
Tabel. 1. Faktor-faktor pembentuk status identitas menurut James Marcia
Faktor

Identitas matang

Keluarga

Orang tua :
supportif,
perhatian,
mempercayai
anak.


Kepribadian

Anak punya
kekuatan ego,
kemandirian,
kontrol diri
internal, akrab,
percaya diri,
inisiatif, kreatif,
dan berprestasi.

Foreclosure
Orang tua :
tak terima sikap
/ perasaan anak.
Tak dengarkan
keluhan /
kehendak anak.

Anak

tergantung,
kontrol diri
eksternal,
cemas, tidak
percaya diri.

Moratorium

Orang tua tidak
punya aturan jelas.
Anak bingung
terhadap otoritas
orang tua.
Anak cemas, takut
gagal, egois,
kurang percaya
diri, harga diri /
konsep diri
rendah.

Identity diffusion
Orang tua
permisif, tidak
berwibawa dan
tidak beri arahan,
dan bimbingan
dengan baik.
Perkembangan
konsep diri anak
lambat,
kemampuan
kognitif tidak
berfungsi baik,
ragu – ragu, pasif
tidak inisiatif.

5. Status Identitas Diri Remaja
Marcia (Dariyo, 2004), melakukan perluasan dan pengembangan dari teori psikososial
Erikson identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-lima dalam tahap
perkembangan psikososial yang diutarakan oleh Erikson. Marcia berpendapat bahwa teori
perkembangan identitas Erikson terdiri dari empat status identitas, atau cara yang ditempuh
dalam menyelesaikan krisis identitas. Keempat status identitas tersebut (Santrock,2007).
Kempat status identitas tersebut antara lain :
a. Identity Diffused, Merupakan istilah yang digunakan Marcia untuk merujuk pada remaja
yang belum pernah mengalami krisis ataupun membuat komitmen apapun.
b. Identity Foreclosure, adalah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk merujuk pada
kondisi remaja yang telah membuat komitmen namun tidak pernah mengalami krisis .
c. Identity moratorium, adalah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk merujuk pada
kondisi remaja yang berada di pertengahan krisis namun belum memiliki komitmen yang
jelas terhadap identitas tertentu.
d. Identity Achievement, adalah istilah yang digunakan Marcia untuk merujuk pada kondisi
remaja yang telah mengatasi krisis identitas dan membuat komitmen.

6
6. Status Identitas Foreclosure
Kroger (Schwartz; Luyckx; Vignoles, 2011) menyatakan bahwa :
“Foreclosures may appear as strong and self-directed as achievements. However, there is a
brittleness, and, hence, underlying fragility, to their position. Because of their difficulty in
considering alternatives seriously, they must maintain their stances defensively and either
deny or distort disconfirming information. If their values are generally mainstream and they
stay within social contexts supporting those values, they appear “happy,” “well -adjusted,”
loving their families and their families loving them. But if they stray from these conforming
positions, they experience both self and familial rejection”.
Individu dengan status identitas foreclosure seakan-akan terlihat kuat dan
mengarahkan diri mereka seperti halnya identitas achievement. Namun, ada kerapuhan, dan,
karenanya, yang melandasi kerentanan, posisi mereka. Dengan adanya kesulitan serius dalam
mempertimbangkan alternatif, foreclosure harus menjaga sikap mereka untuk membela diri
dan juga menolak atau mendistorsi (mengubah) informasi yang kurang menyenangkan
baginya. Jika nilai-nilai mereka pada umumnya merupakan arus utama dan mereka berada
dalam konteks sosial yang mendukung nilai-nilai tersebut, mereka terlihat "bahagia,"
"menyesuaikan dengan baik," mencintai keluarga mereka dan keluarga merekapun mencintai
mereka, tetapi jika mereka mengalami penyimpangan atau melenceng dari konteks sosial
yang mendukung nilai-nilai tersebut mereka mengalami penolakan baik penolakan diri
maupun keluarga.
Kemudian Cramer, Marcia (Kroger, 2008) menyatakan bahwa
“Foreclosed individuals have consistently shown personality characteristics such as
high levels of conformity, authoritarianism, and levels of aspiration change, coupled with low
anxiety, and use of defensive narcissism”.
Selanjutnya Blustein & Phillips menambahkan bahwa (Kroger, 2008)
“Foreclosed individuals rely on dependent strategies for their decision making and
are not generally open to new experiences.”
Individu yang foreclosure secara konsisten menunjukkan karakteristik kepribadian
menguntungkan seperti tingginya tingkat kesesuaian, otoritarianisme, dan tingkat perubahan
cita-cita, ditambah dengan kecemasan rendah, dan penggunaan narsisme untuk pertahanan
diri. Individu dengan status identitas foreclosure bergantung pada strategi atau pilihan orang
lain dalam melakukan pengambilan keputusan mereka, dan secara umum mereka tidak
terbuka terhadap pengalaman baru.
Menurut Donovan (Marcia, 1993) dalam desertasinya yang secara luas melengkapi
pandangan lebih dalam mengenai status identitas menemukan bahwa :
“Foreclosures were the "best behaved" of the statuses. They studied diligently, kept
regular hours, and seemed happy -even in the face of upsetting circumstances”
Dari pernyataan diatas dapat diartikan bahwa individu dengan status identitas
foreclosure merupakan yang "paling berkelakuan baik" dari semua status, mereka belajar

7
dengan rajin, menjaga jam secara teratur, dan tampak bahagia bahkan dalam menghadapi
situasi menjengkelkan.
B. Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan
psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat Erikson, remaja akan melalui
masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (search for self-identity)
(Dariyo, 2004). Masa remaja dibedakan oleh para ahli perkembangan menjadi periode awal
dan periode akhir. Masa remaja awal (early adolescence) ini berlangsung pada masa sekolah
menengah pertama (SMP) dan menengah akhir (SMA) dan pada masa ini perubahan pubertal
terjadi, sedangkan masa remaja akhir kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang
kedua dari kehidupan. Pada masa ini eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol
dibandingkan pada masa remaja awal (Santrock, 2007).
2. Tugas-tugas Perkembangan Remaja
Dariyo (2004) mendefinisikan tugas perkembangan (development tasks) merupakan
tugas-tugas atau kewajiban yang harus dilalui oleh setiap individu sesuai dengan tahap
perkembangan individu itu sendiri. Dari sejak dikandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa
awal sampai dewasa akhir, setiap individu harus melakukan tugas tersebut.
Berkaitan dengan tugas perkembangan remaja, Erikson mengatakan bahwa tugas utama
remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-lima
dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Yang dimaksud dengan krisis
ialah suatu masalah yang berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus dilalui oleh setiap
individu termasuk remaja. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri
agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang
koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Metode
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan
pendekatan fenomenologi. Menurut Iskandar (2009) fenomenologi berorientasi untuk
memahami, menggali dan menafsirkan arti dari peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena dan
hubungan dengan orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu. Adapun subjek yang terlibat
dalam penelitian ini sebanyak 4 orang remaja. Data dalam penelitian ini menggunakan dua
jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari remaja yang telah
menempuh pendidikan dipondok pesantren sejak SMP hingga SMA dan memiliki status
identitas foreclosure dalam menempuh pendidikan melalui wawancara, dan observasi dengan
menggunakan metode behaviora l check list. Data sekunder dari penelitian ini diperoleh dari
orang tua, teman dekat, dan pengasuh asrama melalui wawancara. Teknik analisis data yang
digunakan terhadap data-data yang sudah diperoleh yaitu dengan analisis coding, bentukbentuk coding yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah open coding, axial coding
dan selective coding (Herdiansyah, 2010).

8
Hasil
Pada proses pembentukannya menurut furhmann (Ristianti,2008) identitas diri
dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah pola asuh. Gambaran cara pengasuhan
yang ditemukan dalam penelitian adalah keseluruhan orang tua mengontrol subjek yaitu
remaja dalam menentukan pilihan pendidikan tanpa memberikan kesempatan kepada mereka
untuk mengekspresikan pendapat, bahkan menghiraukan kehendak dan keluhan dari subjek
yaitu remaja. Gaya atau cara pengasuhan yang dilakukan oleh para orang tua subjek biasanya
disebut dengan istilah pola pengasuhan otoritarian. Grotevan dan Cooper (Kroger, 2008) bahwa
orang tua yang menghambat dan mencegah ekspresi pendapat individual diantara anggota
keluarga memiliki remaja yang menunjukan level ekplorasi rendah.
Adapun cara untuk melihat dan menilai proses eksplorasi menurut Marcia (Kau, 2008)
ditunjukkan melalui kriteria sebagai berikut: 1). Pengetahuan, 2). Aktivitas untuk
memperoleh informasi, 3). Pertimbangan alternatif elemen identitas yang ada, 4). Suasana
emosi, 5).Keinginan untuk membuat keputusan secara dini.
Pada remaja dengan status identitas foreclosure dalam menempuh pendidikan, dalam
unsur yang pertama yaitu pengetahuan mengenai tempat pendidikan, masing-masing subjek
kurang memiliki pengetahuan mengenai berbagai alternatif-alternatif pendidikan yang dapat
berguna bagi dirinya, hal ini dapat dilihat dalam unsur selanjutnya yaitu unsur aktivitas untuk
memperoleh informasi. Pada unsur aktivitas untuk memperoleh informasi, dalam hal ini
informasi mengenai tempat pendidikan yang akan mereka tempuh, subjek 1,2, dan subjek 4
menggali informasi yang mereka butuhkan guna mengetahui kualitas dan kenyamanan tempat
pendidikan yang dipilih hanya didasarkan pada informasi dari orang terdekatnya seperti
orang tua, saudara kandung dan saudara sepupu, sedangkan pada subjek ke-3 sepenuhnya
menyerahkan pemilihan tempat pendidikan kepada orang tuanya.
Pada saat membuat keputusan terhadap pilihan tempat pendidikan yang dianjurkan oleh
kedua orang tua maupun kakak dan sepupu baik pilihan tempat pendidikan yang ditempuh,
masing-masing subjek kurang mempertimbangkannya secara matang, keseluruhan dari
subjek memilih pondok pesantren sebagai tempat pemilihan pendidikan atas dasar
pertimbangan dari sisi orang tuanya, dan tidak melihat kekurangan ataupun kelebihan dari
pilihan pendidikan yang diajurkan orang tuanya dari sisi dirinya sendiri. Para remaja
foreclosure memilih pendidikan dipondok karena adanya kewajiban, pilihan dari orang tua
adalah yang terbaik dan rasa takut untuk memilih, kesuksesan yang didapat dari saudara
sepupu yang bersekolah dipondok, riwayat pendidikan yang diturunkan dari keluarga, serta
adanya keinginan dari orang tua untuk menyekolahkan para subjek dipondok pesantren inilah
yang dijadikan sebagai pertimbangan oleh para subjek untuk memilih alternatif pendidikan
tersebut, Hal ini sesuai dengan penelitian dari Perosa, Perosa; dan Tam (Kroger, 2008) bahwa
anak dengan status identitas foreclosure mencontoh nilai-nilai dari orang tuanya
dibandingkan melakukan eksplorasi terhadap kemungkinan-kemungkinan alternatif yang
lainnya. Kriteria selanjutnya adalah suasana emosi, suasana emosi seperti rasa senang
bersemangat dan bangga tersebut tidaklah muncul pada setiap subjek, karena subjek tidak
menggali informasi mengenai tempat pendidikan secara mandiri, seperti pada subjek 3 ayah

9
subjeklah yang mencari dan menggali informasi mengenai pondok dan kemudian diterima
dan disetujui oleh subjek.
Salah satu faktor yang juga muncul dan mempengaruhi pembentukan identitas selain
pola asuh yang diterapkan orang tua adalah sifat dari masing-masing individu, seperti yang
diungkapkan oleh Fuhrmann (Ristianti, 2008). Sifat dari masing-masing subjek yang tidak
percaya diri dan terlalu bergantung pada pilihan orang tua serta cemas dengan akibat dari
pilihan tersebut diwaktu yang akan datang, menjadikan para subjek ragu-ragu dalam
menentukan pilihan atau pengambilan keputusan hingga tidak berani untuk menentukan dan
menjalankan pilihan-pilihan bidang dan tempat pendidikan yang mereka inginkan, pada
akhirnya masing-masing subjek memilih untuk menjalankan apa yang telah disiapkan para
orang tua.
Pertimbangan untuk memilih alternatif-aternatif pendidikan lebih banyak berasal dari
orang terdekat subjek sehingga keputusan yang telah diambil lebih memberikan kebahagiaan
dan keuntungan pada orang-orang yang berada disekitar dibandingkan dirinya sebagai
individu yang menjalankan keputusan tersebut. Selain itu orang tua yang tidak pernah
memberikan kesempatan untuk memilih, serta keinginan untuk membahagiakan orang tua
serta tidak adanya pilihan lain, menjadi penyebab pada masing-masing subjek sehingga tidak
memenuhi kriteria dalam unsur kecenderungan untuk membuat keputusan dengan segera,
sehingga para subjek terlihat cenderung untuk mengikuti keputusan yang dibuat oleh orang
tua mereka. Blustein & Phillips (Kroger, 2008) menyatakan bahwa individu dengan identitas
foreclosure bergantung pada strategi pilihan yang diberikan orang lain dalam pengambilan
keputusan mereka.
Melihat pada keseluruhan dari proses eksplorasi yang terjadi pada masing-masing
subjek, yang dilihat melalui pengecekan terhadap unsur-unsur eksplorasi, menunjukan bahwa
masing-masing subjek memiliki kemampuan yang rendah dalam melakukan eksplorasi yang
ditunjukkan dengan pengetahuan mengenai tempat pendidikan yang rendah dan informasi
hanya diperoleh dari orang terdekat, pertimbangan yang kurang matang serta keputusan
cenderung lebih memberikan kebahagiaan dan keuntungan bagi orang terdekat dibandingkan
dirinya, sehingga remaja belum melakukan eksplorasi yang signifikan (penting/berarti) bagi
dirinya, hal ini sesuai dengan pengungkapan dari Marcia (Kroger,2008) bahwa individu
dengan status foreclosure telah membentuk/membuat komitmen tanpa eksplorasi yang
signifikan (penting/berarti) dan Kroger & Marcia (Schwartz, 2011) menyebutkan bahwa
individu dengan status identitas foreclosure mengambil komitmen dari seseorang yang
dianggap penting (significant others), seperti orang tua dengan sedikit atau tanpa eksplorasi.
Selanjutnya kriteria yang digunakan oleh Marcia (Purwadi, 2004) untuk mengukur
tingkat komitmen remaja dalam rangka proses pembentukan identitas diri meliputi unsurunsur sebagai berikut: 1).Penguasaan pengetahuan (knowledgeability), 2) kegiatan yang
diarahkan untuk melaksanakan elemen identitas yang telah dipilih, 3) suasana emosi, 4)
identifikasi pada orang yang dianggap tepat, 5) proyeksi diri kemasa depan, dan 6) daya tahan
terhadap goncangan yang terjadi.
Penguasan pengetahuan (knowledgeability) menunjuk pada seberapa banyak remaja
memiliki pengetahuan tentang alternatif yang telah dipilihnya, baik menyangkut kelebihan
dan kekurangannya. Seseorang yang menguasai informasi tentang pilihannya secara baik,
berarti memiliki tingkat komitmen tinggi (Purwadi,2004). Masing-masing subjek memiliki

10
pengetahuan yang kurang mengenai pendidikan dipondok pesantren, hal ini dipengaruhi oleh
faktor homogenitas lingkungan keluarga dalam menempuh pendidikan, seperti yang
diungkapkan oleh Furhmann (Ristianti,2008) bahwa homogenitas lingkungan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri.
Pada unsur ke-dua yang berupa kegiatan yang diarahkan untuk melaksanakan elemen
identitas yang telah dipilih, subjek yang berupa keputusan menempuh pendidikan dipondok
masing-masing subjek menunjukan aktivitas yang diarahkan untuk melaksanakan elemen
identitas yang dipilihnya dengan selalu mengikuti dan menaati segala kegiatan yang
ditentukan oleh pondok seperti mengaji, muhadloroh dan shalat berjama’ah. Subjek juga
menaati hingga mematuhi setiap peraturan yang ada dipondok pesantren sehingga masingmasing subjek selalu berkelakuan baik dan jarang mendapatkan hukuman. Hal ini sesuai
dengan pengungkapan dari Donovan (Marcia,1993:117) mengenai perilaku dari individu
dengan status identitas foreclosure sebagai berikut bahwa individu dengan status identitas
foreclosure merupakan yang "berkelakuan terbaik" dari semua status, mereka belajar dengan
rajin, menjaga jam secara teratur, dan tampak bahagia bahkan dalam menghadapi situasi
menjengkelkan.
Kemudian untuk suasana emosi yang berkaitan dengan alternatif pilihannya, masingmasing subjek mengalami rasa sedih dalam menjalankan alternatif pilihan pendidikan yang
didasarkan atas keputusan dari orang-orang terdekat. Unsur yang menjadi indikator
komitmen selanjutnya adalah identifikasi pada orang yang dianggap tepat. Menurut Purwadi
(2004) dalam hal ini remaja mengidentifikasi diri pada seseorang yang telah nyata, memiliki
prestasi dalam bidang yang sesuai dengan alternatif yang dipilih. Pada remaja dengan status
identitas foreclosure dalam menempuh pendidikan ini, individu yang dianggap tepat untuk di
identifikasi oleh mereka adalah para individu yang cenderung memiliki kesamaan pendidikan
dengan dirinya seperti orang terdekatnya yaitu orang tua (ayah), saudaranya (kakak), dan
tokoh dalam sejarah islam yang juga dianggap dapat memberikan motivasi kepada dirinya.
Untuk unsur selanjutnya yaitu proyeksi terhadap masa depan, masing-masing subjek
cenderung kurang memiliki kemampuan untuk memproyeksikan masa depan seperti pada
subjek 2, subjek memilih untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan pilihan
bidang studi yang dipilih oleh ayahnya, hal ini dikarenakan subjek takut untuk mengambil
pilihannya dikarenakan ketakutatan dan kecemasan subjek terhadap resiko dari pilihan yang
berasal dari dirinya sendiri.
Unsur yang terakhir dari komitmen apabila yang bersangkutan menunjukan kemampuan
untuk bertahan pada alternatif pilihannya; walaupun mendapat goncangan dan gangguan
seberat atau sebesar apapun yang akan mengoyahkan pilihannya (Purwadi, 2004). Dalam hal
ini masing-masing subjek menunjukan kemampuan untuk bertahan pada alternatif pilihannya
dengan tetap bertahan untuk melaksanakan pilihannya bersekolah dipondok pesantren hingga
sekolah menengah atas (SMA) walaupun masing-masing subjek tidak betah saat berada
didalam pondok pesantren yang disebabkan dengan adanya hambatan dalam penyesuaian diri
dengan lingkungan dan peraturan serta kegiatan yang ada dipondok pesantren.
Melihat pada keseluruhan gambaran dari proses komitmen yang terjadi pada masingmasing subjek melalui pengecekan terhadap unsur-unsur komitmen pada masing-masing
subjek, dapat diketahui bahwa masing-masing subjek telah membentuk sebuah komitmen
terhadap pilihan pendidikan yang telah subjek putuskan yang ditunjukkan dengan

11
melaksanakan,menaati dam mematuhi peraturan, serta mampu untuk bertahan terhadap
alternatif piihan pendidikan yang telah dipilih, walaupun keputusan yang diambil dipengaruhi
oleh keputusan dari orang-orang terdekat, pengetahuan (knowledgaability) yang rendah
mengenai tempat pendidikan.
Marcia (Kau, 2008) menyebutkan bahwa pembentukan identitas diri merupakan suatu
proses mengkobinasikan pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa
kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang
akan memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah
bagi masa yang akan datang. Dengan demikian maka pada remaja yang menempuh
pendidikan dipondok pesantren ini, pada pembentukannya mengkombinasikan pengalaman
yang didapatkan dari pengalaman orang lain dalam artian orang terdekat mereka bukan dari
diri mereka sendiri, sehingga kepercayaan diri untuk membuat keputusan secara mandiripun
tidak muncul dan menyerahkan segala keputusan kepada orang tua mereka dengan anggapan
bahwa pilihan orang tua dan orang terdekat mereka pilihan yang paling baik bagi dirinya.
Anggapan tersebut muncul pada setiap subjek dikarenakan mereka melakukan petahanan diri
yang berupa rasionalisasi dan regresi untuk menutupi kekurangannya yang takut untuk
menghadi resiko dari pilihan mereka pada masa yang akan datang. Selain itu dengan adanya
identifikasi para subjek terhadap orang terdekat mereka yaitu pada ayah, kakak maupun
tokoh yang memiliki pengalaman dan kesamaan dengan dirinya inilah yang membentuk
identitas foreclosure pada masing-masing subjek dalam menempuh pendidikan dipondok
pesantren.
Olson (Yuniardi, 2010) menyebutkan bahwa dalam pembentukannya identitas diri
terdiri dari tiga tahapan antara lain : 1.identity crisis, 2.identity diffusion, dan 3. Identification.
Pada tahapan yang pertama yaitu identity crisis. Pada tahapan identity crisis yang mana Olson
(Yuniardi, 2010) menyebutnya dengan periode transisi yang ditandai dengan kebingungan,
mencoba-coba (bereksperimen), dan penuh dengan muatan emosi. Pada masing-masing
subjek keinginan untuk mencoba atau bereksperimen dengan alternatif pendidikan yang ada
di lingkungan masyarakat tidaklah muncul, adanya keinginan dari para orang tua agar anak
menempuh pendidikan dipondok pesantren hingga menempatkan anak untuk menempuh
pendidikan dipondok pesantren sejak usia dini serta kedua orang tua yang memiliki riwayat
pendidikan yang sama yaitu menempuh pendidikan dipondok pesantren menjadi alasan yang
mendasari tidak munculnya keinginan dari masing-masing subjek untuk mencoba
(bereksperimen) pada alternatif yang ada. Tidak munculnya keinginan untuk mencoba
alternatif tempat pendidikan selain pendidikan pondok pesantren, dan lebih memilih untuk
mengukuti pendidikan yang telah di jalankan oleh individu dalam keluarga, hal ini sesuai
dengan perilaku dari individu yang berada pada status identitas foreclosure yang mana
menurut Kroger & Marcia (Schwartz, 2011) disebutkan bahwa individu pada status identitas
foreclosure tampak seperti pewaris identitas yang diwariskan dari pada membentuk identitas
sendiri melalui proses eksplorasi.
Tahapan yang ke-dua yaitu identity diffusion yang merupakan tahap yang berkaitan
dengan penyesuaian diri pada individu dengan harapan dan tuntutan masyarakat seperti yang
dikemukakan oleh Olson (Yuniardi, 2010), pada tahap ini masing-masing subjek mengalami
acute identity diffusion yang artinya merupakan ketidakmampuan individu dalam
menyeseuaiakan diri dan sifatnya hanya sementara. Dalam tahapan ini masing-masing subjek

12
memiliki hambatan yang berbeda-beda, pada subjek 1 hambatan dalam penyesuaian terhadap
tuntutan dari teman-temannya yang dikarenakan gaya berbicara (logat), dan ketidakcocokan
dengan teman memberikan konsekuensi tersendiri bagi subjek seperti menarik diri dari
interaksi dengan temannya, dan memilih untuk selalu rajin dan disiplin terhadap kegiatan
agar jarang untuk bertemu dengan teman-temannya. begitu juga dengan sabjek 3 gaya
berbicara yang ceplas-ceplos menjadi salah satu hambatan dalam melakukan komunikasi dan
interaksi dengan temannya sehingga penyesuaian diri denga lingkungannya berlangsung
sangat lama, konsekuensinya adalah menjadi kurang disukai oleh temanya, dan tidak percaya
diri dan selalu mengedepankan pendapat dari orang lain.
Pada subjek 4 hambatan pada tahapan identity diffusion muncul dikarenakan subjek
lebih suka untuk menyendiri sehingga sangat sulit untuk melakukan interaksi dan sosialisasi
dengan temannya, rasa tidak betah berada dipondok pesantren serta adanya sifat pendiam dan
kurang terbuka kepada orang lain. pada subjek 2 hambatan dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan pondok dan tuntutan (harapan) orang tua dikarenakan subjek mengalami
kegagalan yaitu tinggal kelas (tidak naik kelas), tidak dapat mengawali interaksi dengan
orang lain, mengulang kembali untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sifat
pendiam yang dimilikinya sehingga sulit untuk mengungkapkan perasaan serta pendapat
kepada orang tuanya dan orang sekitar.
Pada tahapan yang ketiga identifikasi (identification), pada tahap ini para remaja yang
berada pada status identitas foreclosure dalam menempuh pendidikan di pondok pesantren
mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang atau tokoh yang memiliki latar belakang
pendidikan yang sama dengan subjek, seperti orang tua yaitu ayah, kakak kandung dan tokoh
islam wanita. Dilakukannya identifikasi terhadap role model yang dilakukan oleh masingmasing subjek bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari orang-orang terdekat
bahwasanya mereka patut untuk dibanggakan karena mereka merupakan anak-anak yang
bertingkah laku baik. Selain itu sebagai motivasi untuk bertahan dan melakukan seluruh
kegiatan dan peraturan baik saat di asrama maupun di sekolah merupakan alasan bagi
masing-masing subjek untuk melakukan identifikasi pada individu yang diidolakan oleh
mereka.
Diskusi
Pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang perlu untuk didiskusikan lebih lanjutyang
nantinya dapat berguna bagi penelitian selanjutnya yang pertama adalah penentuan subjek
penelitian, dalam penelitian teknik sampling yang dilakukan dilapang tidak dijelaskan secara
rinci sehingga kurang memberikan informasi serta gambaran mengenai subjek yang akurat
dan mewakili karakteristik subjek, oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya diharapkan
untuk menjelaskan secara rinci mengenai teknik sampling yang dilakukan dalam menentukan
subjek penelitian dilapangan. Kedua untuk metode observasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah behavioral checklist saja sehingga hanya memberikan data mengenai
perilaku identitas foreclosure subjek dan kurang memberikan gambaran data mengenai
perilaku dan emosi subjek saat menceritakan atau merespon pertanyaan yang diajukan, maka
akan lebih baik jika menggunakan metode observasi lainnya seperti metode anecdotal
recording yang melakukan pencatatan secara teliti dan detail setiap perilaku dalam situasi

13
yang ditentukan, dan yang keitiga adanya pembentukan identitas diri foreclosure yang sudah
jelas dipengaruhi oleh faktor lingkungan pada pembentukannya, maka pada penelitian
selanjutnya diharapkan untuk memilih tipe status identitas diri yang lainnya atau akan lebih
menarik apabila melakukan penelitian pada identitas diri foreclosure yang lebih difokuskan
pada masalah tipe kepribadian.

14
Daftar Pustaka
Baihaqi., Kartini,Titin., Ihsan,Helli., Musthofa,A.M. (2009). Status Identitas dan Spiritualitas
Remaja (Studi Korelasi dan Demografis Mahasiswa UPI Bandung). Artikel. Fakultas
ilmu pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Dariyo,Agus. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja . Bogor Selatan: Penerbit Ghalia
Indonesia.
Ghonimah,Lailatul. (2010). Kualitas Kelekatan (Attachment) Santri Berdasarkan Figure
Lekat Santri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Skripsi. Universitas Islam
Negeri Malang.
Herdiansyah, Haris. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta
: Salemba Humanika.
Iskandar. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Gaung Persada (GP press).
Kau, Muhrima A. (2008). Pencapaian Status Identitas Diri Bidang Pendidikan Dalam
Hubungannya dengan Gaya Pengasuhan Orang Tua Enabling – Constraining Siswa
– Siswi SMA Negeri 3 Gorontalo. Jurnal Penelitian dan Pendidikan, Vol.5 No.2
Universitas Negeri Gorontalo.
Kroger, Jane. (2008). Identity Development During Adolescence, Blackwell Handbook of
Adolescence (eds G. R. Adams and M. D. Berzonsky) chapter:10. Oxford, UK :
Blackwell Publishing Ltd. doi: 10.1002/9780470756607. Published Online: 21 JAN
2008 Online ISBN: 9780470756607
Marcia, James E. (1993). Handbook of Adolescent Psychology. J. Adelson. New York :
Wiley & Sons.
Mulyono, Ninin Kholida. (2007). Proses Pencarian Identitas Diri Pada Remaja Muallaf.
Skripsi. Universitas Diponegoro.
Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8th ed.).
Boston: McGraw-Hill
Purwadi. (2004). Proses pembentukan identitas diri remaja. Humanitas : Indonesian
Psychologycal journal Vol.1.
Rahmat. (2005). Perkembangan remaja dalam mencari jati diri (survey bimbingan koseling
Mts. Daarel-Qolam). Artikel . http://chil-ki.blogspot.com. Diakses pada tanggal 10
januari 2011.
Ristianti, Amie. (2008). Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Identitas
Diri Pada Remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta. Skripsi. Universitas Gunadarma.
Santrock, John W. (2007). Remaja. Edisi kesebelas jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
______________. (2009). Perkembangan Anak. Edisi Ke-11 jilid 2. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Setyanti, Christina A. (2011). Alasan Mengapa Anak Kabur dari Rumah. Artikel.
http://female.kompas.com. Diakses pada tanggal 15 februari 2012.

15
Schwartz,S.J., Luyckx, K., Vignoles,V.L. (2011). Handbook of Identity Theory and Research,
DOI 10.1007/978-1-4419-7988-9_2, Springer Science Business Media.
Yuniardi, M. Salis. (2010). Identitas Diri Para Slanker. Jurnal. Universitas Muhammadiyah
Malang. http://research-report.umm.ac.id /.../360_umm_research_report_fulltext.pdf.