MK dan Reformasi Kehutanan 1

Tema:
Pertanyaan:
Kronik
-

A. PLG
1. Kepemilikan/akses (terhadap lahan) lahannya seperti apa, punya
sendiri atau minjm atau beli atau banyak merata jumlahnya atau
malah sedikit hanya pada orang elit2 politik saja yg banyak punya.
Misalnya orang elit desa lebih banyak punya lahan dr pada

-

pendatang yg miskin bru dikenal.
2. Bentuk pengelolaannnya seperti apa.
3. Pola pengorganisasian kerja (keluarga, misalnya perempuan

-

ngapain, laki2 ngapain, anak2 ngapain )
4. Hutang atau tidak untuk modal mereka dalam mengelola ladang


-

tersebut.
5. Hasil dari corak produksi/pengelolaan sda itu apa ?misalnya
kebakaran

hutan

sehingga

merubah

kebiasaan

dia

dalam

berladang/bertani, dan mungkin gagal panen dll, (dampak PLG)

B. BOS MAWAS
Intinya dari referensi yang saya baca, kalau saat masa BOS MAWAS
masyarakat jarang lagi nanam padi, tapi lebih kekebun karet dan cari
ikan, karena ada bantuan biaya dari proyek tersebut.
C. KFCP

I.

Mega proyek Eks PLG
a. Akses masyarakat terhadap lahan
Akses ke lahan diartikan sebagai cara seseorang/kelompok
untuk mendapatkan akses atau menggunakan lahan. Di pedesaan,
akses ke lahan berbasis adat-istiadat setempat ditentukan oleh
pimpinan adat yang memberikan hak pakai kepada anggota
masyarakat.
Pada umumnya ladang masyarakat dayak selalu berbatasan
dengan sekat bakar alami berupa sungai atau handil atau kanal
yang dibuat sebelumnya. Sekat atau tatas hanya dibuat pada sisisisi ladang yang berbatasan dengan ladang yang lain atau hutan
alam. Dalam acara-acara ritual keagamanaan dan melakukan
aktivitas matapencaharian, tokoh-tokoh adat masih cukup berperan

dalam memberi nasehat dan mengatur warga, sekaligus sebagai
tokoh spiritual Hindu Kaharingan (Agama).
Selain itu, akses ke lahan dapat diperoleh dengan cara
membeli, menyewa, sistem bagi hasil, mendapatkan warisan atau
menempati lahan secara tidak sah. Misalnya di daerah transmigarsi
dikabupaten kapuas, setiap kepala keluarga mendapatkan lahan
seluas 2ha dengan pekarang dan rumah dibagi merata pada setiap
kepala keluarga dari pemerintah. Studi ini mengenai bagaimana
mata pencarian dibentuk oleh kepemilikan dan hak lahan dan
bagaimana masyarakat mengelola sumberdaya alam di suatu
wilayah.
Di lokasi yang terkena program baru REDD, para elit lokal
yang memiliki modal kapital dan jaringan yang kuat mampu
mendapatkan akses yang lebih besar untuk mendapatkan
kepemilikan lahan. Mereka mengambil keuntungan dari masuknya
berbagai proyek di lingkungannya. hutan yang semula bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal secara bebas menjadi kawasan
terbatas yang masuk dalam wilayah teritorial negara.1

1


http://etd.ugm.ac.id

Biasanya wilayah frontier (frontier merupakan daerah yang
dengan sendirinya menjadi basis ekstraksi sumber daya alam
(Tsing. 2005)) akan lebih mudah di menarik para investor dari luar
yang bekerjasama dengan para swasta, negara, masyarakat umum
dan menyerahkan nya pada elit lokal setempat, sehingga
masyarakat lokal yang biasa kehilangan akses lahan pertanian atau
perladangan mereka, padahal selama ini mereka bergantung pada
hutan yang melimpah akan sumber daya alam.
b. Bentuk pengelolaan lahan
Wilayah domain ekonomi Dayak adalah Lahan dan
Sumberdaya alam. Mereka berladang, berkebun, menanam
rotan,

pohon-buah-buahan,

dalam


skala

besar.

Ekonomi

perspektif masa depan jangka panjang. Hutan dipelihara
untuk

tetap

menghasilkan

sumber

hewani

dan

nabati


bagi keluarga. Permukiman di tata untuk tidak meluas
secara

sporadis

menghindari

kawasan-kawasan

yang

sakral dan sumber daya bagi kehidupan masyarakat Dayak
jangka panjang. Mereka dengan cerdik membangun perladangan
berpindah, merotasi masa tanam memelihara kesuburan lahan.
Pada awal pembukaan lahan, dilakukan pembuatan sekat bakar.
Untuk membasmi hama. penyakit tanaman, lahan di bakar
dan

diolah


binatang

mensterilkan

perusak

tanaman

lahan
dan

dari

lahan

kera,
lari

dari


babi,
lahan

yang di bakar, menjadi siap tanam bebas hama-penyakit.
Perekonomian rakyat kalimantan, terutama suku dayak
sering kali dipandang sebagai suatu sistem perekonomian
bertipikal subsistem. Alasan yang mendukung adalah sistem
perladangan sebagai ciri khasnya dan hasil produksinya hanya
untuk kebutuhan konsumsi internal.2 Namun ada pandangan lain
tentang perekonomian Kalimantan (Hoffman,1985), adalah benar,
2

Roedy Haryo Widjono, Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Grasindo, hlm 59-60

bahwa perladangan padi dan tanaman nonpadi tertentu merupakan
aspek penting. Namun tak disangkal bahwa aktivitas ekonomi lain
seperti berburu, mencari ikan, mencari hasil hutan, berternak juga
merupakan


aspek

penting

secara

sekunder

menopang

perekonomian rakyat kalimantan ( Widjono, 1990-1993 ).
Kehidupan tidak akan lepas dengan mata pencaharian untuk
bertahan hidup seperti berladang. Berladang merupakan aktivitas
kehidupan sosial ekonomi bagi suku dayak yang biasanya
dinamakan sitem perladangan Huma Tugal. Menurut J.Danandjaya
berladang merupakan suatu pekerjaan yang memakan banyak
sekali tenaga. Untuk mengerjakannya, penghuni dari suatu rumah
tangga saja tidak akan mencukupi; mereka harus memperoleh
bantuan dari tetangga/orang lain. Di desa Telang daerah Ma’anyan
misalnya, telah dikembangkan suatu sistem kerjasama dengan jalan

membentuk kelompok gotong royong, yang biasanya ada
hubungan persaudaraan atau kekerabatan yang secara bergiliran
membuka hutan bagi ladang masing-masing anggota. Secara
teoritis, sebuah rumah tangga yang sedang menerima bantuan,
harus membayarnya kembali.3
Dalam pengerjaan ladang di kalimantan terdapat siklus
tersendiri sesuai dengan apa yang hendak dikerjakan atau
ditanam,musim sangat berpengaruh pada jenis pekerjaan mereka.4
Tanaman pertama, adalah padi dan jagung dan palawija
lainnya.
lahan
karet,

Selama
menurun,
rotan,

sekitar

tiga


tahun

pada

saat

kondisi
berupa

mulai

ditanam

tanaman

keras

jelutung,

pohon

buahan

dan

lainnya.

Lahan dibuat jeda, seraya merawat tanaman keras yang
ada,

setelah

penyiapan

tanaman

keras

tersebut

selesai, mereka membuka lagi lahan lain yang dianggap
3

Prof.Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan kebudayaan Di Indonesia, Djambatan, 2007, hlm.125127
4
Alfrid Uga,dkk, Menengok Ke Tengah Tanah Borneo Saat Masyarakat Adat Dayak Ot Danum
Mengelola Alamnya, Yayasan Betang Borneo,2001, hlm 14-17

sesuai

untuk

areal

(lima)

tahun

mereka

tanam

baru.

kembali

ke

Setelah
lahan

sekitar
pertama

5
tadi

untuk kembali mengolah lahan bagi penanaman padi dan
palawija serta memelihara tanaman keras yang ada. Pada musim
kemarau mereka mencari ladang yang baru, sesuai dengan
pengetahuan tradisional mereka seperti melihat letak dan corak
warna yang dipancarkan oleh bintang baur ataupun yang lain.
Mereka berkerja keras memanen hasil tanaman. Karet di
sadap dengan turun ke kebun dini hari, sebelum mata
hari pertama menyapa pagi, getah karet akan mengucur
deras

pada

mengental.

dini

hari,

Masyarakat

siang
berubah

hari

getah

mata

karet

pencaharian

akan
dengan

berkebun karet, karena hasil padi dilahan gambut tidaklah cukup
baik karena kadar kemasaman air.
Untuk memulai membuka ladangpun, orang dayak di sana
selain melihat tanda-tanda alam juga melihat tanda dari binatang
terutama burung, dengan kepercayaan mereka apabila tidak di
hiraukan maka akan ada bencana dalam berladang tersebut.
Menurut Daud (1997) ketika melakukan kegiatan mencari nafkah
dan ada yang melakukan peramalan tentang waktu yang baik
disamping tindakan religius/magis yang bermaksud agar kegiatan
ekonomi tersebut mebuahkan hasil baik guna menjaga keselamatan
sesuai keyakinan mereka, seperti rangkaian prosesi “huma tugal”
yang dilakukan suku dayak5. Alat produksi dalam berladang
biasanya menggunakan parang, taruh, linggis, ehek, salumbang dan
dilengkapi dengan lanjung atau tas ari anyaman rotan yang
dipgendong dipunggung.
Masyarakat suku

dayak

tidak

hanya

melakukan

perladangan tetapi juga pertanian, seperti yang dilakukan
masyarakat kapuas pada umumnya. Pertanian di lahan gambut
5

Edy Sedyawati dkk, Dinamika Kearifan Lokal, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda
Kalimantan Banjarbaru, 2005. Hlm 71-75

secara tradisional dilakukan oleh suku Dayak, Bugis, Banjar, dan
Melayu dalam skala kecil. Mereka memilih lokasi dengan cara
yang cermat, memilih komoditas yang telah teruji, dan dalam skala
yang masih dapat terjangkau oleh daya dukung/layanan alam.
Menurut Noorsyamsi dan Hidayat dalam Noor et al (1991)
petani

Banjar

memanfaatkan

lahan

gambut

dalam

untuk

persawahan dengan melakukan pengolahan tanah secara minimum.
Mereka menggunakan alat tradisional tajak dalam pengolahan
tanah untuk menghindari tersingkapnya lapisan pirit yang dapat
menyebabkan peningkatan kemasaman tanah. Untuk meningkatkan
kesuburan lahan gambut, umumnya petani menggunakan abu. Abu
ini mereka peroleh secara beragam. Contohnya petani maju di
Siantan

mengumpulkan

sisa-sisa

tanaman

dan

tumbuhan

pengganggu (gulma) untuk dibakar dan diambil abunya. Ada juga
yang membeli abu serbuk gergaji hasil pembakaran di kilangkilang kayu meskipun sekarang agak sulit mendapatkannya karena
banyak kilang kayu yang tutup akibat penertiban penebangan liar
(illegal logging). Di Kalampangan memanfaatkan abu sisa
kebakaran lahan gambut pada musim kemarau. Dalam proses
pembakaran, petani membuat tempat khusus (pondok) untuk
membakar gulma dan sisa-sisa tanaman. Selain itu mereka juga
membuat parit-parit di sekeliling lahan usaha taninya agar lahan
selalu berair sehingga tetap basah dan dapat terhindar dari
kebakaran.
Namun tidak hanya abu saja yang digunakan untuk penyubur
pertanian dilahan gambut, ada petani keturunan Cina dan suku
Jawa di Siantan, maupun petani suku Jawa di Kalampangan
menggunakan pupuk kandang untuk memperkaya kandungan hara
lahan usahataninya.
Petani di Kalampangan selain menggunakan arit, parang,
cangkul biasa, menciptakan dan menggunakan cangkul garpu

untuk pengolahan tanah. Cangkul ini dimodifikasi dari cangkul
biasa yang kemudian dibelah sehingga menyerupai garpu.
Masyarakat kapuas, biasanya mengelola perladangan dan
pertanian mereka dengan mengerjakan sendiri, namun ada pula
yang mengambil upah dengan orang lain. Misalnya ada sistem bagi
hasil dalam penyadapan getah karet, ataupun panen padi.
c. Pola pengorganisasian kerja pada setiap keluarga
Pada kegiatan berladang, biasanya dilakukan oleh masing-masing
keluarga dan bergotong royong dengan tetangga berdasarkan
hubungan kekeluargaan. Di dalam rumah tangga yang kekurangan
kaum laki-laki, kaum wanitalah yang menggantikan pekerjaan
tersebut, seperti membuka hutan, membersihkan semak-semak,
bahkan menebang pohon yang biasanya pekerjaan laki-laki.6
Dengan pengerjaan berladang sesuai siklus musim yang dilakukan
mereka, kira-kira pada bulan oktober dimulai untuk menanam padi
tersebut. Para laki-laki berbaris di muka sambil menusuk-nusuk
tanah dengan tongkat tugalnya (tongkat tugal biasanya terbuat dari
kayu), sedangkan para wanita mengikuti berbaris dibelakang,
sambil memasukkan beberapa butir padi ke dalam lubang-lubang
yang dibuat oleh kaum laki-laki tadi. Setelah penanaman selesai
mereka menjaga tanaman tersebut hingga musim panen tiba (pada
bulan sesuai jenis padi yang ditanamkan). Di kalimantan tengah
paling sedikit ada 3 jenis padi yang ditanam, yaitu padi enam
bulanan, empat bulanan dan padi ketan empat bulanan. Padi ketn
ditanam untuk keperluan acara adat, seperti membuat arak pada
upacara adat oleh dayak ngaju, bila Ot-danum disebut anding.7
d. Upaya modal dalam pengelolaan lahan
Keadaan sosial ekonomi suatu

masyarakat

pada

kenyataannya merupakan buah dari sikap hidup atau kebiasaan –
6
7

A.B Hudson, J.M Hudson, 1964
J.Danandjaja, Kebudayaan penduduk kalimantan tengah. Universitas Indonesia.

kebiasaan tertentu para warganya. Contoh kebiasaan orang dayak
dalam bidang perekonomian, baik secara langsung ataupun tidak,
seperti orang dayak belum banyak meninggalkan sifat-sifat sebagai
manusia peramu. Kebiasaan menyimpan padi di lumbung bukan
dimaksudkan untuk menabung, tetapi sekedar menyimpan padi
untuk keperluan satu tahun siklus perladangan mereka. Manja pada
alam, mereka terbiasa dengan mudah memperoleh sayur-sayuran,
buah-buahan, ikan, dan daging binatang yang tersedia di alam
sekitarnya. Tidak mengenal sistem dagang, baik dikalangan mereka
sendiri maupun dengan kalangan luar. Apabila mereka pergi
menukarkan hasil hutan atau hasil tani dengan barang lain yang
mereka perlukan,maka itu dilakukan sepenuhnya dengan sikap
‘’terserah kepada taoke’’.8
Salah satu upaya dalam rangka peningkatan produksi
pertanian untuk pembangunan ekonomi ialah pembentukan dan
pembinaan kelembagaan formal maupun non formal antara lain
meliputi pembinaan kelompok tani, peningkatan prasarana
koperasi/KUD dan penyuluhan (Kasryno dan Rasahan, 1989).
e. Hasil corak produksi
Dalam suatu aktivitas proses produksi guna memenuhi
kebutuhannya, manusia berhubungan dengan manusia lain, karena
proses produksi selalu merupakan hasil saling hubungan antar
manusia, maka sifat dari produksi juga bersifat Sosial. Saling
hubungan antar manusia dalam suatu proses produksi ini disebut
sebagai Hubungan Sosial Produksi. Dari kegiatan produksi ini
muncul kegiatan berikutnya yaitu distribusi dan pertukaran barang.
Hubungan Sosial produksi dalam sebuah masyarakat bisa bersifat
kerja sama atau bersifat eksploitasi (penghisapan). 9 Hal ini
tergantung siapakah yang memiliki atau menguasai seluruh alat8
9

P.Florus, Transformasi Budaya dayak dalam Pembangunan Sosial-Ekonomi
http://kajinasrull.blogspot.com/2013/04/kapitalisme.html

alat produksi. Kerjasama atau gotong royong merupakan
perwujudan dari hubungan sosial produksi dimana dalam
masyarakat Dayak dikenal dengan istilah handep. Dimasa sekarang
hubungan produksi sosial sudah digantikan dengan alat-alat
produksi karena didasarkan kepada orientasi hasil produksi dengan
skala besar dengan proses yang cepat.
Sedangkan corak produksi adalah hubungan antara
produksi sosial dan tenaga produksi. Dimana seperti penjelasan
diatas corak produksi menentukan terkait mekanisme mendapatkan
hasil produksi jika lebih mengutamakan sebagai alat-alat produksi
ketimbangan hubungan sosial produksi akan melahirkan sebuah
penghisapan atas kerja produksi. Individu yang mempunyai alat
produksi akan membuat manusia lain sebagai pembantu si-tuan
untuk mengerjakan kerja-kerja produksi. Manusia yang tidak
mempunyai alat produksi akan diperintah oleh sang punya alat
sedangkan si-tuan tinggal menikmati hasil dari kerja-kerja produksi
orang lain.
Pengembangan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar
membuat reklamasi berupa pembuatan kanal dan saluran terbuka
sepanjang 2.114 km (Jaya, 2003) pada lahan gambut dengan
kisaran ketebalan 0,5 hingga lebih dari 13 m tanpa diimbangi
dengan fasilitas irigasi yang memadai telah menyebabkan
kekeringan gambut disertai dengan peningkatan kemasaman pada
taraf yang memprihatinkan.10
Lahan rawa gambut yang sudah dibuka dan dikeringkan
sangat rentan terbakar. Kejadian kebakaran terbesar di Indonesia
setelah tahun 1982/1983 terjadi lagi pada tahun 1997-2000 di areal
ini. Bahkan para peneliti Internasional menemukan fakta bahwa
emisi gas rumah kaca dari kebakaran lahan gambut di Eks PLG
tahun 1997 sebesar 0.15-0.18 Gigaton (1 Giga = 1 Milyar) (Pages,
dkk 2002). Setelah tahun 2000, lahan-lahan bekas kebakaran
10

Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan

menjadi langganan dilalap api setiap tahun hingga saat ini.
Akibatnya lahan gambut yang terus terbakar menjadi miskin hara
dan air menjadi masam.11
Perkembangan ekonomi diikuti oleh pertumbuhan jumlah
penduduk yang pesat sejak era orde baru, menuntut adanya
pemenuhan kebutuhan di segala aspek kehidupan. Penebangan
kayu merajalela, sistem perladangan dan penyiapan lahan
perkebunan dengan cara bakar semakin meluas, dan eksploitasi
hutan gambut menjadi tak terkendali.
Adanya pembuatan saluran-saluran air berupa handil
muncul setelah letak ladang semakin jauh dari badan sungai yang
dibangun sebagai alat transportasi. Dari budaya handil inilah
dikembangkan oleh Proyek PLG menjadi kanal-kanal besar
sebagai saluran drainase di lahan rawa gambut. Perladangan dan
pertanian mengalami kendala saat musim kemarau tiba, terjadi
kebakaran yang berakibat gagal panen ataupun padi rusak akibat
pembukaan kanal/parit dilahan gambut tersebut.
II.

Mega Proyek BOS MAWAS
Wilayah Hutan Mawas berbatasan dengan 59 Desa dan kampung yang
dihuni sekitar 15.000 orang penduduk yang tersebar di dalam lima
kecamatan dan dua wilayah kabupaten Kapuas. Dimana di Kabupaten
ini penduduknya terdiri dari suku asli Dayak, sisanya berasal dari suku
Banjar, Jawa, Bugis, Batak, dan Manado. Keturunan dari penduduk
asli yang tersebar di wilayah ini adalah Dayak dengan kelompok etnis
Ngaju, Ma'anyan dan Luangan. Sekitar 85% keturunan Dayak masih
berdiam di wilayah kelola BOS Mawas.
Berdasarkan hasil penilaian Desa partisipatif oleh Tim BOSMawas tahun 2006, periode sejarah desa dan penduduk di sekitar
wilayah ini dimulai sejak tahun 1600, 1700, 1800-an, atau jauh
sebelum Proyek Bos-Mawas dimulai. Terbentuknya Desa-Desa atau

11

Artikel, proyek sejuta hektar yang meninggalkan sejuta masalah

pemukiman pada umumnya dimulai dari sekelompok orang tertentu
dengan tujuan menetap. Secara historis, cikal-bakalnya ada yang
dimulai dari sekelompok masyarakat peladang yang secara turun
temurun mengajak saudaranya. Pendapat lain mengatakan bahwa
penduduk berasal dari keturunan Nyai Indu Runtun yang menjelma
menjadi Batu Palan Tuhuk/Patahu. Sedangkan pendapat terakhir
mengatakan bahwa berkembangnya suatu desa atau pemukiman itu
berawal dari masuknya sekelompok misionaris yang mendirikan
sekola zending.12
Kebiasaan masyarakat sekitar daerah Mawas di mantangai saat
membuka lahan perladangan pada musimnya mereka membuka lahan
perladangan dengan cara membakar sesuai aturan nilai kearifan budaya
mereka. Pembakaran terkontrol menurut kearifan lokal masyarakat
Dayak adalah menyangkut alat, sumberdaya manusia, dan cara-cara
membakar. Jika lahan untuk berladang sudah mengalami penebasan
dan kering, maka pembakaran pun dimulai.

.13 Pembukaan lahan

berskala kecil dengan cara membakar di masyarakat Kalimantan dan
Sumatra telah tumbuh sekitar 200 tahun yang lalu (Lawrence and
Schlesinger, 2001; UNDP, 1998).
Pada jaman dahulu dalam satu kampung hanya bermukim 5 10 kepala keluarga sehingga apabila ada api pembakaran, dapat
dipastikan siapa yang membakar. Sejak zaman dahulu praktek
bekerjasama sudah ada dimana menurut istilah Dayak tersebut
“handep , bahkan ada peribahasa “Handep isen molang yang berarti
gotong-royong pantang menyerah dianut ketika populasi suku Dayak
sangat

sedikit.

Demikian

pula

masyarakat

desa

Katunjung

mengistilahkan kerjasama dengan istilah “hapakat . Zaman dahulu,
jarak ladang ke rumah rata-rata hanya kurang dari 1 km, sehingga
kondisi ladang dapat diawasi setiap saat dan tanpa diawasipun api liar
yang dihasilkan hanya sekitar 10-15 depa saja (10-15 meter), hal
12

Acep akbar, studi kearifan local penggunaan api persiapan lahan hutan MAWAS Kalimantan
tengah, balai penelitian kehutanan banjarbaru, kal-sel.
13
Acep akbar.

tersebut dikarenakan keadaan hutan masih baik, namun saat ini
meningkatnya api liar terjadi setelah dibukanya saluran-saluran
drainase (kanal) pada lahan gambut. Adanya intervensi orang luar
dengan peralatan modern, contoh penggunaan alat gergaji mesin
( chainsaw) untuk menebang kayu, pohon hutan menjadi cepat habis.
Keterbukaan tutupan hutan menjadikan hutan rawan kebakaran karena
saat musim kering cuaca di sekitar hutan menjadi lebih panas daripada
ketika masih lebat dan hijau.
Banyak mega proyek dalam menanggulangi kebakaran hutan
guna pengamanan

dalam berladang salah satunya BOS MAWAS,

Sarana prasarana unit pengelola hutan BOS-Mawas yang berhubungan
dengan kebakaran yaitu : (1) regu api internal, (2) 3 stasiun
pengamatan (tower ), (4) lima camp lapangan dan beberapa pos
pemantauan dan deteksi kawasan, dan 3 kantor perwakilan yang
berada di Provinsi dan Kabupaten, (5) RPK bentukan sebanyak 15
regu di 15 desa sekitar hutan mawas.dan (6) pesawat mini “ultralight ”
sebagai sarana patrol dan pemantauan api hutan dan illegal logging .
Pelatihan pengendalian kebakaran hutan dalam tahun 2006 telah
dilakukan 2 kali berlokasi di Mantangai dan Sungai Lui (Blok AB)
(Wahono, 2006).
Menghadapi musim kemarau yang berhubungan dengan api
kebakaran masyarakat Dayak biasanya cukup dengan membuat “tatas”
atau sekat bakar pada “ume ” (ladang). Sistem kebersamaan membakar
ladang dalam membuka lahan dengan menggunakan api oleh
masyarakat Dayak sudah menjadi tradisi turun temurun. Tetapi tidak
dipungkiri adanya sebagian kecil penduduk yang terisolir (terpisah)
tempat berladangnya sehingga pola kerjasamanya hanya dilakukan
dalam kelompok kecil atau 2-3 kepala keluarga. Untuk kelompok
kerjasama yang normal ratarata adalah 10 kepala keluarga (KK).
Didalam kelompok, keperluan konsumsi dan keperluan kerja tertentu
menjadi tanggung jawab yang dibakar ladangnya. Kelompok-

kelompok tersebut terbentuk oleh adanya letak ladang dalam satu
handil atau satu wilayah pinggiran sungai.
Dalam masyarakat Dayak Maanyan,

pembukaan

lahan

diistilahkan “panganraw”. Sedangkan lahan gambut disebut “lahan
luwaw ”, dan lahan mineral disebut “jawuk ”. Jawuk lebih disenangi
untuk berladang. Namun ada jenis lahan kering tetapi bersifat asam
disebut “janah”. Lahan janah dianggap lahan tidak subur. Lahan yang
cocok untuk pertanian bagi para petani pioner ditentukan oleh jeluk
mempan (kedalaman efektif) dan bau dari tanah lapisan atas yang
diistilahkan dengan “bau harum” dan air yang keruh atau kecoklatan.
Bagi masyarakat Dayak Maanyan, semboyan “Daya pakat rano
welun” (Dengan bekerjasama akan sukses dan berkesinambungan)
telah menjadi falsafah hidup.
Kegiatan pengelolaan sumber daya alam masyarakat dayak di
sekitar MAWAS pada dasarnya masih sama seperti dulu yaitu
berpindah-pindah mencari lahan baru yang subur atau perladangan
dilakukan secara berpindah-pindah ( shifting cultivation ) dan sistem
tabas bakar ( slash and burn ) yang biasa disebut “ swidden agriculture
”, namun pengetahuan mereka lebih terfokus pada melimpahnya ikanikan di sungai saat musim kering sehingga mereka segera memasang
perangkap ikan atau saat yang tepat dimulainya menyadap karet karena
telah terbebas dari banjir sungai. Pada umumnya ladang padi huma
yang mereka kelola pada akhirnya akan menjadi kebun karet (kebun
getah) manakala lahan sudah tidak dianggap subur lagi untuk tanaman
padi ( Oryza sativa ) yaitu setelah 2-3 tahun. Adanya peralatan yang
diberikan oleh pihak Pengelola Hutan Konservasi Mawas serta insentif
yang diberikan kepada RPK desa ternyata telah membentuk jiwa korsa
untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di desa.
Karifan lokal suku Dayak terhadap lingkungan kembali
dihidupkan guna menangkal berbagai persoalan kehutanan (Abdul
Khoir, 2009). Sebagai perbandingan bahwa pengelolaan kebakaran
dengan melibatkan masyarakat di Gambia lebih dititik beratkan kepada

perlunya pengaturan pembakaran daripada melarang untuk membakar
dalam bertani (Dampha, 2001).
Memandang perlu untuk tetap melestarikan budaya asli
masyarakat bukan malah mendorong dengan pola-pola baru. Karena
pengetahuan lokal merupakan satu pengetahuan yang harus dihargai
dan lindungi agar menjadi pengetahuan umum. Memang sulit untuk
membenturkan cara mana yang paling baik namun masing-masing pola
ini harus dipandang sebagai penyelamatan bukan malah menjadi suatu
pola yang menghilangan pengetahuan lokal masyarakat. Permasalahan
utama dalam kebakaran hutan yang terjadi bukan karena hanya
kebiasaan membakar masyarakat untuk membersihkan lahan namun
juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang tidak dapat lagi
menyangga alam agar tetap lestari.
Kearifan budaya akan menjamin

keberhasilan

karena

didalamnya mengandung norma dan nilai-nilai sosial yang mengatur
bagaimana seharusnya membangun keseimbangan antara daya dukung
lingkungan alam dengan gaya hidup dan kebutuhan manusia
(Pattinama, 2009).