Tingkat Kesuburan Perairan Danau Kelapa Gading di Kisaran Naga Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan ProvinsiaSumatera Utara
17
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Danau
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu
kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan
biotic (produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan
timbal balik dan saling mempengaruhi. Perairan danau merupakan salah satu
bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Secara fisik, danau
merupakan suatu tempat yang luas yang mempunyai air yang tetap, jernih atau
beragam dengan aliran tertentu (Silalahi, 2009).
Berdasarkan keadaan nutrsinya pembagian danau menurut Sitorus (2009)
sebagai berikut:
a.
Danau Oligotrofik, yaitu suatu danau yang mengandung sedikit nutrien
(miskin nutrien), biasanya lebih dalam dan produktivitas primernya rendah.
Sedimen pada bagian dasar kebanyakan mengandung senyawa anorganik dan
konsentrasi oksigen pada bagian hipolimnion tinggi. Walaupun jumlah
organisme pada danau ini rendah tetapi keanekaragaman spesies tinggi.
b.
Danau Eutrofik, yaitu suatu danau yang mengandung banyak nutrien (kaya
nutrien), khususnya Nitrat dan Fosfor yang mengandung pertumbuhan algae
dan tumbuhan akuatik lainnya meningkat. Dengan demikian produktivitas
primer pada danau ini tinggi dan konsentrasi oksigen rendah. Walaupun
jumlah dan biomassa organisme pada danau ini tinggi tetapi keanekaragaman
spesies rendah.
Universitas Sumatera Utara
18
c.
Danau Distrofik, yaitu suatu danau yang memperoleh sejumlah bahan-bahan
organik
dari
luar
danau,
khususnya
senyawa-senyawa
asam
yang
menyebabkan air coklat. Produktivitas primer pada danau ini rendah, yang
umumnya berasal dari hasil fotosintesa palankton. Tipe danau distrofik ini
juga sedikit mengandung nutrien dan pada bagian hipolimnion terjadi defisit
oksigen. Suatu danau berlumpur mewakili bentuk danau distrofik ini.
Menurut Odum (1994), suatu danau terdiri dari tiga zona yaitu:
a. Zona litoral, yaitu daerah perairan dangkal dengan penetrasi cahaya samapi ke
dasar.
b. Zona limnetik, yaitu daerah air terbuka sampai kedalaman penetrasi cahaya
yang efektif, yang disebut juga tingkat kompensasi, yaitu daerah di mana
fotosintesa seimbang dengan respirasi.
c. Zona profundal, yaitu merupakan bagian dasar dan daerah air yang dalam,
yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif.
Ekosistem danau dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu Benthal
Merupakan zona substrat dasar yang dibagi menjadi zona litoral dan zona
profundal. Litoral merupakan bagian dari zona benthal yang masih dapat ditembus
oleh cahaya matahari, sedangkan zona profundal merupakan bagian dari zona
benthal di bagian perairan yang dalam dan tidak dapat ditembus lagi oleh cahaya
matahari. Zona perairan bebas sampai ke wilayah tepi merupakan habitat nekton
dan plankton yang disebut zona pelagial. Selanjutnya dikenal zona pleustal, yaitu
zona pada permukaan perairan yang merupakan habitat bagi kelompok neuston
dan pleuston. Berdasarkan pada daya tembus cahaya matahari kedalam lapisan
air, dapat dibedakan menjadi beberapa antara lain zona fotik (photic zone) di
Universitas Sumatera Utara
19
bagian atas, yaitu zona yang dapat ditembus cahaya matahari dan zona afotik
(aphotic zone) di bagian bawah, yaitu zona yang tidak dapat ditembus oleh cahaya
matahari (Barus, 2004).
Fitoplankton
Plankton merupakan organisme perairan yang keberadaannya dapat
menjadi indikator perubahan kualitas biologi perairan sungai. Plankton memegang
peran penting dalam mempengaruhi produktivitas primer perairan sungai.
Beberapa organisme plankton bersifat toleran dan mempunyai respon yang
berbeda terhadap perubahan kualitas perairan. Salah satu pendekatan yang
dilakukan adalah dengan menggunakan indeks saprobik, dimana indeks ini
digunakan untuk mengetahui tingkat ketergantungan atau hubungan suatu
organisme dengan senyawa yang menjadi sumber nutrisinya, sehingga dapat
diketahui hubungan kelimpahan plankton dengan tingkat pencemaran suatu
perairan (Hutabarat, dkk., 2013).
Fitoplankton adalah mikroorganisme nabati yang hidup melayang di dalam
air, relatif tidak mempunyai daya gerak, sehingga keberadaannya dipengaruhi oleh
gerakan air, serta mampu berfotosintesis (Fachrul, 2007). Menurut
Thurman
Fitoplankton adalah golongan plankton yang mempunyai klorofil di dalam
tubuhnya. Daerah hidup fitoplankton adalah di lapisan yang masih dapat terkena
sinar matahari. Fitoplankton dapat membuat makanannya sendiri dengan
mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis
dengan menggunakan bantuan sinar matahari (Adani, dkk., 2013).
Proses fotosintesis berjalan melalui mekanisme enzimatis, sehingga
berlangsung pada rentang suhu tertentu. Kenaikan suhu akan memacu enzim
Universitas Sumatera Utara
20
mengkatalis proses fotosintesis, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan
degradasi enzim dan penghambatan fotosintesis. Distribusi biomassa organisme
fotoautotrof mempengaruhi produktivitas primer perairan. Distribusi biomassa
organisme fotoautotrof dapat terjadi secara temporal dan spatial. Distribusi
temporal sangat dipengaruhi siklus matahari tahunan dan harian, misalnya alga
motil yang melakukan migrasi vertikal harian (Asih, dkk., 2010).
Pada tahapan awal aliran energi, cahaya matahari “ditangkap” oleh
tumbuhan hijau yang merupakan produser primer bagi ekosistem perairan. Energi
yang ditangkap digunakan untuk melakukan proses fotosintesis dengan
memanfaatkan nutrien yang ada di lingkungannya. Melalui pigmen-pigmen yang
ada fitoplankton melakukan proses fotosintesis. Proses fotosintesis hanya dapat
berlangsung bila pigmen fotosintesis menerima intensitas cahaya tertentu yang
memenuhi syarat untuk terjadinya proses tersebut, pada proses fotosintesis adalah
mengabsorpsi cahaya. Tidak semua radiasi elektromagnetik yang jatuh pada
tumbuhan yang berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya cahaya tampak (visible
light) yang memilki panjang gelombang berkisar antara 400 sampai 720 nm yang
diabsorpsi dan digunakan untuk fotosintesis (Sunarto, dkk., 2008).
Kandungan pigmen fotosintesis (terutama klorofil-a) dalam air sampel
menggambarkan biomassa fitoplankton dalam suatu perairan. Klorofil-a
merupakan pigmen yang selalu ditemukan dalam fitoplankton dan merupakan
pigmen yang terlibat langsung dalam proses fotosintesis. Jumlah klorofil-a pada
setiap individu fitoplankton tergantung pada jenis fitoplankton, oleh karena itu
komposisi jenis fitoplankton sangat berpengaruh terhadap kandungan klorofil-a di
perairan (Adani, dkk., 2013).
Universitas Sumatera Utara
21
Klorofil-a
Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan
produktivitas primer di perairan. Konsentrasi klorofil-a di atas 0,2 mg/m3
menunjukkan
adanya
kehidupan
fitoplankton
yang
memadai
untuk
mempertahankan kelangsungan perkembangan perikanan. Sementara itu klorofil
terdapat di dalam fitoplankton. Klorofil berperan untuk mengikat cahaya
matahari. Fitoplankton dalam proses fotosintesis membutuhkan nutrien (baik
mikro maupun makro) dan cahaya matahari. Di perairan cahaya akan berkurang
dengan bertambahnya kedalaman, sehingga kelimpahan fitoplankton berbeda
dengan bertambahnya kedalaman, maka kandungan klorofil-a akan berbeda
dengan bertambahnya kedalaman (Sinurat, dkk., 2013).
Klorofil-a sangat menentukan produktivitas primer di perairan.Sebaran
dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi
geografis suatu perairan. Beberapa parameter fisik-kimia yang mengontrol dan
mempengaruhi sebaran klorofil-a adalah intensitas cahaya, nutrien. Perbedaan
parameter
fisika-kimia
tersebut
secara
langsung
merupakan
penyebab
bervariasinya Produktivitas Primer di beberapa tempat di laut. Selain itu,
“grazing” juga memiliki peran besar dalam mengontrol konsentrasi klorofil-a di
perairan (Sitorus, 2009).
Apabila faktor abiotik terganggu maka faktor biotik, terutama sekali
fitoplankton
sebagai
dasar
rantai
makanan
akan
ikut
terganggu.
Ketidakseimbangan faktor abiotik dengan biotik akan berpengaruh terhadap
kondisi perairan. Terganggunya kondisi perairan dapat diketahui dari tingkat
kesuburan yang semakin rendah.Kadar klorofil-a juga dapat digunakan sebagai
Universitas Sumatera Utara
22
biomonitoring kualitas dan kesuburan perairan (produktivitas perairan). Semua
fitoplankton memiliki klorofil terutama sekali klorofil-a. Klorofil berfungsi
sebagai katalisator dan penyerap energi cahaya matahari. Dengan demikian proses
produksi zat organik darizat anorganik dalam fotosintesis tidak akan terjadi
apabila tidak ada klorofil. Semakin tinggi kadar klorofil menandakan tingginya
kelimpahan fitoplankton di perairan (Fitra, dkk., 2013).
Klorofil tediri dari kelompok pigmen fotosintesis yang terdapat dalam
tumbuhan, menyerap cahaya merah, biru dan ungu serta merefleksikan cahaya
hijau yang menyebabkan tumbuhan memperoleh ciri warnanya. Terdapat dalam
kloroplas dan memanfaatkan cahaya yang diserap sebagai energi untuk reaksireaksi cahaya dalam proses fotosintesis. Klorofil-a merupakan salah satu bentuk
klorofil yang terdapat pada semua tumbuhan autotrof. Klorofil-b terdapat pada
ganggang hijau Chlorophyta dan tumbuhan darat. Klorofil-c terdapat pada
ganggang coklat Phaeophyta serta diatome Bacillariophyta (Sitorus, 2009).
Fisik Kimia Perairan
Dalam studi ekologi, pengukuran faktor lingkungan abiotik penting
dilakukan. Dengan dilakukannya penguluran faktor lingkungan abiotik, maka
akan dapat diketahui faktor yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan
kepadatan populasi. Faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dapat dibagi
atas faktor iklim, fisika dan kimia. Faktor fisik air yang sering merupakan faktor
pembatas bagi organisme air adalah suhu, kecerahan, kedalaman, sedangkan
faktor kimia air yang menentukan kualitas air adalah pH, DO, BOD
(Silalahi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
23
Suhu Air
Suhu berpengaruh langsung terhadap tumbuhan dan hewan, yakni pada
laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khusunya derajat
metabolisme dan siklus reproduksinya. Selanjutnya, seiring dengan semakin
besarnya sudut datang matahari, secara berkelanjutan intensitas cahaya semakin
kuat masuk ke kolom perairan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap
aktivitas fitoplankton untuk memperbanyak diri, sehingga pada kolom air yang
mendapat penyinaran yang lebih besar akan mempunyai jumlah fitoplankton lebih
banyak (Sitorus, 2009).
Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan
lingkungan daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme akuatik
terhadap suhu juga relatif sempit dibandingkan dengan organisme daratan.
Berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik.
Naiknya suhu perairan dari yang biasa karena pembuangan limbah, misalnya
dapat menyebabkan organisme akuatik terganggu sehingga dapat mengakibatkan
struktur komunitasnya berubah (Suin, 2002).
Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan
mengalami kenaikan kecepatan respirasi, disamping itu suhu yang relatif tinggi
akan menurunkan jumlah oksigen yang terlarut di dalam air, akibatnya ikan dan
hewan air akan mati karena kekurangan oksigen. Suhu air kali atau air buangan
yang relatif tinggi dapat ditandai antara lain dengan munculnya ikan-ikan dan
hewan air lainnya ke permukaan untuk mencari oksigen (Fardiaz, 1992).
Peningkatan suhu disertai dengan penurunan oksigen terlarut sehingga
keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi
Universitas Sumatera Utara
24
organisme akuatik untuk dapat melakukan proses metabolism dan respirasi.
Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan
organik oleh mikroba. Kisaran optimum bagi pertumbuhan organisme di perairan
adalah 20 oC – 30 oC (Effendi, 2003).
Kenaikan temperatur sebesar 10°C (hanya pada kisaran tempratur yang
masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3
kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi
oksigen meningkat, sementara di lain pihak dengan naiknya tempratur akan
menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini akan
menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi
(Barus, 2004).
Derajat Keasaman (pH)
Air tawar yang mengandung garam, basa atau asam dapat menyebabkan
iritasi mata karena pH yang tidak sesuai dengan cairan dalam mata. Sehingga
restriksi persyaratan pH yang khusus lebih dibutuhkan bagi suatu badan air yang
dimanfaatkan untuk keperluan rekreasi, tetapi karena cairan itu dapat mempunyai
kemampuan buffer maka rentang nilai pH antara 6.5 – 8.3, dapat ditoleransi dalam
kondisi yang normal (Isnaini, 2011).
Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan.
Organisme akuatik dapat hidup dalam perairan yang mempunyai nilai pH netral
dengan kisaran toleransi antara asam lemah dan basa lemah. pH yang ideal bagi
kehidupan organisme akuatik umumnya berkisar antara 7 – 8.5. Kondisi perairan
yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan
Universitas Sumatera Utara
25
hidup organisme karena akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam
berat yang bersifat toksik (Barus, 2004).
Penetrasi cahaya
Menurut Barus (2004) faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air
akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagaian cahaya matahari tersebut
akan diabsorpsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar permukaan air. Dengan
bertambahnya kedalaman lapisan air dan intensitas cahaya tersebut akan
mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan
yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat warna biru dari
permukaan.
DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting didalam
ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian
besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen air sangat terbatas
dibandingkan kadar oksigen diudara yang mempunyai konsentrasi sebanyak 21%
volume air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volume saja
(Barus, 2004).
Di perairan danau, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis algae
yang banyak terdapat pada mintakat epilimnion. Pada perairan tergenang yang
dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zona litoral, keberadaan oksigen
lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air (Effendi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
26
Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan
karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar
tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan non organik yang berasal
dari berbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah organik,
bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga. Sebagian besar dari zat
pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik
(Sitorus, 2009).
Nitrat dan fosfat
Menurut Barus (2004) bahwa Fosfor bersama dengan Nitrogen sangat
berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air. Seperti
diketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan Nitrogen
dan Fosfor sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian
maka peningkatan unsur Fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi
algae secara massal yang dapat menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air.
Nitrogen di perairan dalam bentuk gas N2, NO2-, NO3-, NH3 dan NH4+ serta
sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks. Sumber nitrogen terbesar
berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui
sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik. Keberadaan Nitrogen di perairan
dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion
nitrit (NO2-), ion nitrat (NO3-), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4+ ) dan
molekul N2 yang larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam
amino dan urea kan mengendap dalam air (Effendi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Danau
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu
kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan
biotic (produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan
timbal balik dan saling mempengaruhi. Perairan danau merupakan salah satu
bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Secara fisik, danau
merupakan suatu tempat yang luas yang mempunyai air yang tetap, jernih atau
beragam dengan aliran tertentu (Silalahi, 2009).
Berdasarkan keadaan nutrsinya pembagian danau menurut Sitorus (2009)
sebagai berikut:
a.
Danau Oligotrofik, yaitu suatu danau yang mengandung sedikit nutrien
(miskin nutrien), biasanya lebih dalam dan produktivitas primernya rendah.
Sedimen pada bagian dasar kebanyakan mengandung senyawa anorganik dan
konsentrasi oksigen pada bagian hipolimnion tinggi. Walaupun jumlah
organisme pada danau ini rendah tetapi keanekaragaman spesies tinggi.
b.
Danau Eutrofik, yaitu suatu danau yang mengandung banyak nutrien (kaya
nutrien), khususnya Nitrat dan Fosfor yang mengandung pertumbuhan algae
dan tumbuhan akuatik lainnya meningkat. Dengan demikian produktivitas
primer pada danau ini tinggi dan konsentrasi oksigen rendah. Walaupun
jumlah dan biomassa organisme pada danau ini tinggi tetapi keanekaragaman
spesies rendah.
Universitas Sumatera Utara
18
c.
Danau Distrofik, yaitu suatu danau yang memperoleh sejumlah bahan-bahan
organik
dari
luar
danau,
khususnya
senyawa-senyawa
asam
yang
menyebabkan air coklat. Produktivitas primer pada danau ini rendah, yang
umumnya berasal dari hasil fotosintesa palankton. Tipe danau distrofik ini
juga sedikit mengandung nutrien dan pada bagian hipolimnion terjadi defisit
oksigen. Suatu danau berlumpur mewakili bentuk danau distrofik ini.
Menurut Odum (1994), suatu danau terdiri dari tiga zona yaitu:
a. Zona litoral, yaitu daerah perairan dangkal dengan penetrasi cahaya samapi ke
dasar.
b. Zona limnetik, yaitu daerah air terbuka sampai kedalaman penetrasi cahaya
yang efektif, yang disebut juga tingkat kompensasi, yaitu daerah di mana
fotosintesa seimbang dengan respirasi.
c. Zona profundal, yaitu merupakan bagian dasar dan daerah air yang dalam,
yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif.
Ekosistem danau dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu Benthal
Merupakan zona substrat dasar yang dibagi menjadi zona litoral dan zona
profundal. Litoral merupakan bagian dari zona benthal yang masih dapat ditembus
oleh cahaya matahari, sedangkan zona profundal merupakan bagian dari zona
benthal di bagian perairan yang dalam dan tidak dapat ditembus lagi oleh cahaya
matahari. Zona perairan bebas sampai ke wilayah tepi merupakan habitat nekton
dan plankton yang disebut zona pelagial. Selanjutnya dikenal zona pleustal, yaitu
zona pada permukaan perairan yang merupakan habitat bagi kelompok neuston
dan pleuston. Berdasarkan pada daya tembus cahaya matahari kedalam lapisan
air, dapat dibedakan menjadi beberapa antara lain zona fotik (photic zone) di
Universitas Sumatera Utara
19
bagian atas, yaitu zona yang dapat ditembus cahaya matahari dan zona afotik
(aphotic zone) di bagian bawah, yaitu zona yang tidak dapat ditembus oleh cahaya
matahari (Barus, 2004).
Fitoplankton
Plankton merupakan organisme perairan yang keberadaannya dapat
menjadi indikator perubahan kualitas biologi perairan sungai. Plankton memegang
peran penting dalam mempengaruhi produktivitas primer perairan sungai.
Beberapa organisme plankton bersifat toleran dan mempunyai respon yang
berbeda terhadap perubahan kualitas perairan. Salah satu pendekatan yang
dilakukan adalah dengan menggunakan indeks saprobik, dimana indeks ini
digunakan untuk mengetahui tingkat ketergantungan atau hubungan suatu
organisme dengan senyawa yang menjadi sumber nutrisinya, sehingga dapat
diketahui hubungan kelimpahan plankton dengan tingkat pencemaran suatu
perairan (Hutabarat, dkk., 2013).
Fitoplankton adalah mikroorganisme nabati yang hidup melayang di dalam
air, relatif tidak mempunyai daya gerak, sehingga keberadaannya dipengaruhi oleh
gerakan air, serta mampu berfotosintesis (Fachrul, 2007). Menurut
Thurman
Fitoplankton adalah golongan plankton yang mempunyai klorofil di dalam
tubuhnya. Daerah hidup fitoplankton adalah di lapisan yang masih dapat terkena
sinar matahari. Fitoplankton dapat membuat makanannya sendiri dengan
mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis
dengan menggunakan bantuan sinar matahari (Adani, dkk., 2013).
Proses fotosintesis berjalan melalui mekanisme enzimatis, sehingga
berlangsung pada rentang suhu tertentu. Kenaikan suhu akan memacu enzim
Universitas Sumatera Utara
20
mengkatalis proses fotosintesis, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan
degradasi enzim dan penghambatan fotosintesis. Distribusi biomassa organisme
fotoautotrof mempengaruhi produktivitas primer perairan. Distribusi biomassa
organisme fotoautotrof dapat terjadi secara temporal dan spatial. Distribusi
temporal sangat dipengaruhi siklus matahari tahunan dan harian, misalnya alga
motil yang melakukan migrasi vertikal harian (Asih, dkk., 2010).
Pada tahapan awal aliran energi, cahaya matahari “ditangkap” oleh
tumbuhan hijau yang merupakan produser primer bagi ekosistem perairan. Energi
yang ditangkap digunakan untuk melakukan proses fotosintesis dengan
memanfaatkan nutrien yang ada di lingkungannya. Melalui pigmen-pigmen yang
ada fitoplankton melakukan proses fotosintesis. Proses fotosintesis hanya dapat
berlangsung bila pigmen fotosintesis menerima intensitas cahaya tertentu yang
memenuhi syarat untuk terjadinya proses tersebut, pada proses fotosintesis adalah
mengabsorpsi cahaya. Tidak semua radiasi elektromagnetik yang jatuh pada
tumbuhan yang berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya cahaya tampak (visible
light) yang memilki panjang gelombang berkisar antara 400 sampai 720 nm yang
diabsorpsi dan digunakan untuk fotosintesis (Sunarto, dkk., 2008).
Kandungan pigmen fotosintesis (terutama klorofil-a) dalam air sampel
menggambarkan biomassa fitoplankton dalam suatu perairan. Klorofil-a
merupakan pigmen yang selalu ditemukan dalam fitoplankton dan merupakan
pigmen yang terlibat langsung dalam proses fotosintesis. Jumlah klorofil-a pada
setiap individu fitoplankton tergantung pada jenis fitoplankton, oleh karena itu
komposisi jenis fitoplankton sangat berpengaruh terhadap kandungan klorofil-a di
perairan (Adani, dkk., 2013).
Universitas Sumatera Utara
21
Klorofil-a
Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan
produktivitas primer di perairan. Konsentrasi klorofil-a di atas 0,2 mg/m3
menunjukkan
adanya
kehidupan
fitoplankton
yang
memadai
untuk
mempertahankan kelangsungan perkembangan perikanan. Sementara itu klorofil
terdapat di dalam fitoplankton. Klorofil berperan untuk mengikat cahaya
matahari. Fitoplankton dalam proses fotosintesis membutuhkan nutrien (baik
mikro maupun makro) dan cahaya matahari. Di perairan cahaya akan berkurang
dengan bertambahnya kedalaman, sehingga kelimpahan fitoplankton berbeda
dengan bertambahnya kedalaman, maka kandungan klorofil-a akan berbeda
dengan bertambahnya kedalaman (Sinurat, dkk., 2013).
Klorofil-a sangat menentukan produktivitas primer di perairan.Sebaran
dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi
geografis suatu perairan. Beberapa parameter fisik-kimia yang mengontrol dan
mempengaruhi sebaran klorofil-a adalah intensitas cahaya, nutrien. Perbedaan
parameter
fisika-kimia
tersebut
secara
langsung
merupakan
penyebab
bervariasinya Produktivitas Primer di beberapa tempat di laut. Selain itu,
“grazing” juga memiliki peran besar dalam mengontrol konsentrasi klorofil-a di
perairan (Sitorus, 2009).
Apabila faktor abiotik terganggu maka faktor biotik, terutama sekali
fitoplankton
sebagai
dasar
rantai
makanan
akan
ikut
terganggu.
Ketidakseimbangan faktor abiotik dengan biotik akan berpengaruh terhadap
kondisi perairan. Terganggunya kondisi perairan dapat diketahui dari tingkat
kesuburan yang semakin rendah.Kadar klorofil-a juga dapat digunakan sebagai
Universitas Sumatera Utara
22
biomonitoring kualitas dan kesuburan perairan (produktivitas perairan). Semua
fitoplankton memiliki klorofil terutama sekali klorofil-a. Klorofil berfungsi
sebagai katalisator dan penyerap energi cahaya matahari. Dengan demikian proses
produksi zat organik darizat anorganik dalam fotosintesis tidak akan terjadi
apabila tidak ada klorofil. Semakin tinggi kadar klorofil menandakan tingginya
kelimpahan fitoplankton di perairan (Fitra, dkk., 2013).
Klorofil tediri dari kelompok pigmen fotosintesis yang terdapat dalam
tumbuhan, menyerap cahaya merah, biru dan ungu serta merefleksikan cahaya
hijau yang menyebabkan tumbuhan memperoleh ciri warnanya. Terdapat dalam
kloroplas dan memanfaatkan cahaya yang diserap sebagai energi untuk reaksireaksi cahaya dalam proses fotosintesis. Klorofil-a merupakan salah satu bentuk
klorofil yang terdapat pada semua tumbuhan autotrof. Klorofil-b terdapat pada
ganggang hijau Chlorophyta dan tumbuhan darat. Klorofil-c terdapat pada
ganggang coklat Phaeophyta serta diatome Bacillariophyta (Sitorus, 2009).
Fisik Kimia Perairan
Dalam studi ekologi, pengukuran faktor lingkungan abiotik penting
dilakukan. Dengan dilakukannya penguluran faktor lingkungan abiotik, maka
akan dapat diketahui faktor yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan
kepadatan populasi. Faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dapat dibagi
atas faktor iklim, fisika dan kimia. Faktor fisik air yang sering merupakan faktor
pembatas bagi organisme air adalah suhu, kecerahan, kedalaman, sedangkan
faktor kimia air yang menentukan kualitas air adalah pH, DO, BOD
(Silalahi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
23
Suhu Air
Suhu berpengaruh langsung terhadap tumbuhan dan hewan, yakni pada
laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khusunya derajat
metabolisme dan siklus reproduksinya. Selanjutnya, seiring dengan semakin
besarnya sudut datang matahari, secara berkelanjutan intensitas cahaya semakin
kuat masuk ke kolom perairan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap
aktivitas fitoplankton untuk memperbanyak diri, sehingga pada kolom air yang
mendapat penyinaran yang lebih besar akan mempunyai jumlah fitoplankton lebih
banyak (Sitorus, 2009).
Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan
lingkungan daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme akuatik
terhadap suhu juga relatif sempit dibandingkan dengan organisme daratan.
Berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik.
Naiknya suhu perairan dari yang biasa karena pembuangan limbah, misalnya
dapat menyebabkan organisme akuatik terganggu sehingga dapat mengakibatkan
struktur komunitasnya berubah (Suin, 2002).
Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan
mengalami kenaikan kecepatan respirasi, disamping itu suhu yang relatif tinggi
akan menurunkan jumlah oksigen yang terlarut di dalam air, akibatnya ikan dan
hewan air akan mati karena kekurangan oksigen. Suhu air kali atau air buangan
yang relatif tinggi dapat ditandai antara lain dengan munculnya ikan-ikan dan
hewan air lainnya ke permukaan untuk mencari oksigen (Fardiaz, 1992).
Peningkatan suhu disertai dengan penurunan oksigen terlarut sehingga
keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi
Universitas Sumatera Utara
24
organisme akuatik untuk dapat melakukan proses metabolism dan respirasi.
Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan
organik oleh mikroba. Kisaran optimum bagi pertumbuhan organisme di perairan
adalah 20 oC – 30 oC (Effendi, 2003).
Kenaikan temperatur sebesar 10°C (hanya pada kisaran tempratur yang
masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3
kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi
oksigen meningkat, sementara di lain pihak dengan naiknya tempratur akan
menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini akan
menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi
(Barus, 2004).
Derajat Keasaman (pH)
Air tawar yang mengandung garam, basa atau asam dapat menyebabkan
iritasi mata karena pH yang tidak sesuai dengan cairan dalam mata. Sehingga
restriksi persyaratan pH yang khusus lebih dibutuhkan bagi suatu badan air yang
dimanfaatkan untuk keperluan rekreasi, tetapi karena cairan itu dapat mempunyai
kemampuan buffer maka rentang nilai pH antara 6.5 – 8.3, dapat ditoleransi dalam
kondisi yang normal (Isnaini, 2011).
Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan.
Organisme akuatik dapat hidup dalam perairan yang mempunyai nilai pH netral
dengan kisaran toleransi antara asam lemah dan basa lemah. pH yang ideal bagi
kehidupan organisme akuatik umumnya berkisar antara 7 – 8.5. Kondisi perairan
yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan
Universitas Sumatera Utara
25
hidup organisme karena akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam
berat yang bersifat toksik (Barus, 2004).
Penetrasi cahaya
Menurut Barus (2004) faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air
akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagaian cahaya matahari tersebut
akan diabsorpsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar permukaan air. Dengan
bertambahnya kedalaman lapisan air dan intensitas cahaya tersebut akan
mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan
yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat warna biru dari
permukaan.
DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting didalam
ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian
besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen air sangat terbatas
dibandingkan kadar oksigen diudara yang mempunyai konsentrasi sebanyak 21%
volume air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volume saja
(Barus, 2004).
Di perairan danau, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis algae
yang banyak terdapat pada mintakat epilimnion. Pada perairan tergenang yang
dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zona litoral, keberadaan oksigen
lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air (Effendi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
26
Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan
karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar
tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan non organik yang berasal
dari berbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah organik,
bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga. Sebagian besar dari zat
pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik
(Sitorus, 2009).
Nitrat dan fosfat
Menurut Barus (2004) bahwa Fosfor bersama dengan Nitrogen sangat
berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air. Seperti
diketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan Nitrogen
dan Fosfor sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian
maka peningkatan unsur Fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi
algae secara massal yang dapat menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air.
Nitrogen di perairan dalam bentuk gas N2, NO2-, NO3-, NH3 dan NH4+ serta
sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks. Sumber nitrogen terbesar
berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui
sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik. Keberadaan Nitrogen di perairan
dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion
nitrit (NO2-), ion nitrat (NO3-), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4+ ) dan
molekul N2 yang larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam
amino dan urea kan mengendap dalam air (Effendi, 2003).
Universitas Sumatera Utara