Pembuatan dan Karakterisasi Semi-Hard Magnetic Fe2O3 Berbasis Mill Scale Limbah Industri Baja dengan Penambahan FeMo

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mill Scale
Hingga saat ini bahan-bahan oksida besi masih menjadi salah satu fokus
kajian penting dalam kegiatan riset. Secara alamiah bahan-bahan tersebut
ditemukan dalam bentuk mineral oksida besi berupa magnetit (Fe3O4), maghemit
(γFe2O3) dan hematit (

Fe2O3). Berdasarkan keunggulan sifat kemagnetannya,

bahan oksida besi telah dimanfaatkan secara luas untuk berbagai produk seperti
sensor, tinta, katalis, film tipis, dan beberapa produk berteknologi nano partikel.
Di indonesia oksida besi dapat ditemukan pada beberapa bahan lokal diantaranya
pada sisa produk pembuatan besi baja, atau yang dikenal sebagai mill scale, serta
pada bahan alam pasir besi, senyawa tersebut terbentuk secara alamiah pada saat
proses pembentukan batuan. Meskipun kedua bahan lokal tersebut mengandung
senyawa dominan dengan jenis dan persentase yang berbeda, namun pada
keduanya terdapat ketiga jenis oksida besi yaitu magnetit, maghemit dan hematit.
Keberadaaan oksida besi pada mill scale menjadikan sangat potensialnya untuk
dikembangkan lebih lanjut menjadi produk lebih berdaya guna dan bernilai

ekonomi tinggi. Selain itu ketersediaanya yang melimpah menjadi salah satu
faktor pendorong untuk dikembangkannya bahan-bahan lokal [Prasetya, 2007].
Mill scale merupakan salah satu limbah hasil industri baja dalam proses hot
rolling maupun cold rolling. Kandungan di dalamnya berupa material besi oksida

dalam bentuk (magnetit, hematit, dan wustit). Jumlah limbah ini sangat besar,
selama ini material selain dilakukan pengecoran kembali juga diekspor dalam
bentuk raw material dengan jumlah yang sangat besar sehingga perlu dilakukan
sebuah upaya alternatif pengolahan untuk meningkatkan nilai ekonomi [Rahman
dkk, 2013].
Dengan melihat korelasi kandungan dari mill scale yang berupa ion bisa
dilakukan pengolahan mill scale menjadi pigmen besi oksida dengan
menggunakan proses reaksi kimia/fisika. Dan telah diketahui bahwa untuk

Universitas Sumatera Utara

mengetahui fasa hematit dilakukan kalsinasi pada temperatur 9000C dan diperoleh
fasa tunggal.
Material mill scale merupakan campuran antara Fe2O3 dan Fe3O4 dengan
fraksi masing-masing adalah 99,71% dan 0,29% menjadikan material ini menjadi

material dua fasa. Pada proses oksidasi 9000C selama waktu oksidasi minimal 1
jam diperoleh material besi oksida fasa tunggal berupa Fe2O3 [Rahman dkk,
2013].
Pelet nano kristalin besi telah dibuat dari serbuk mill scale melalui proses
konvensional. Efek dari suhu sintering dan waktu terhadap sifat fisis dan magnet
telah diteliti. Metode Archimedes sama halnya dengan Universal Testing Machine
telah digunakan untuk menentukan sifat fisis dari pelet. Sementara itu, fasa yang
terbentuk dan sifat magnet yang dihasilkan diteliti dengan menggunakan x-ray
diffraction, scanning electron microscope dan vibrating sample magnetometer .

Hasil menunjukkan bahwa dengan suhu pembakaran 11000C, dengan tekanan
832kgF/cm2 dan bulk density tertinggi adalah 3.93 g/cm3, sedangkan magnetisasi
saturasi tertinggi 45.2 emu/g dan koersivitas terendah 6.13 Oe yang dicapai
sampel pada suhu 12000C. Efek lama pembakaran dan suhu optimum terhadap
sifat fisis dan sifat magnet yang dihasilkan pelet tidak signifikan . struktur kristal
berubahdari tetragonal menjadi kubik seiring dengan disosiasi Fe [Ahmed dkk,
2008].

2.1.1 Hematite (Fe2O3)
Fe2O3 termasuk dalam besi oksida. Mineral ini mempunyai warna abu-abu,

putih dan coklat. Mineral ini memiliki struktur kristal isometrik. Fasa-fasa pada
Fe2O3 antara lain:
-

Fasa alpha
- Fe2O3 memiliki struktur rhombohedral. Itu terjadi secara alami sebagai
mineral hematit yang merupakan hasil utama dari penambangan, dan
memiliki sifat antiferomagnetik. Fasa ini mudah dibuat menggunakan
thermal decomposition dan presipitasi pada fasa cair. Sifat magnetiknya

bergantung pada beberapa faktor yaitu tekanan, ukuran partikel, dan
intensitas medan magnetik.

Universitas Sumatera Utara

-

Fasa beta
- Fe2O3 memiliki struktur kristal FCC,


bersifat metastabil, pada suhu

500oC berubah menjadi fasa alpha. Dapat dibuat dengan mereduksi hematit
dengan menggunakan karbon, pyrolysis dari larutan besi (III) klorida, atau
thermal decomposition dari besi (III) sulfat.

-

Fasa Gamma
-Fe2O memiliki struktur kristal kubik, bersifa metastabil, berubah menjadi
fasa alpha pada temperatur yang tinggi. Di alam berbentuk sebagai
maghemite. Bersifat ferrimagnetik, dan pada ukuran partikel yang ultra halus
yang lebih kecil daripada 10 nm bersifat superparamagnetik.

2.2 Ferromolybdenum (FeMo)
Besi (Fe) merupakan unsur transisi yang mempunyai sifat logam
sebagaimana semua unsur transisi lainnya. Sifat logam ini dipengaruhi oleh
kemudahan unsur tersebut untuk melepas elektron valensi. Besi juga merupakan
unsur logam terbanyak di bumi ini yang membentuk 5% kerak bumi,namun jarang
memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Endapan besi yang ekonomis biasanya

berupa magnetite dan hematite. Magnetite merupakan bijih yang mengandung Fe
paling tinggi tetapi terdapat dalam jumlah yang kecil. Berbeda dengan hematite
yang merupakan bijih yang paling dibutuhkan dalam industri besi. [Nurul, 2011].
Fe tergolong bahan ferromagnetik sehingga termasuk bahan yang memiliki nilai
remanensi yang baik dan suseptibilitas yang baik juga [Iwan, 2014].
Besi dengan simbol Fe mempunyai nomor atom 26, massa atom 55,845
g/mol, titik didih 3143 K, titik lebur 1811 K, struktur kristal BCC, dan warna
perak keabu-abuan. [syukri, 1999].
Molybdenum adalah elemen logam yang seringkali digunakan sebagai aditif

pada pada baja. Molybdenum dapat meningkatkan kekuatan, kekerasan, mampu
las, ketahanan terhadap temperatur tinggi, dan ketahanan terhadap korosi.
Walaupun molybdenum sering digunakan dalam pencampuran baja,
molybdenum memiliki sifat unik dan kompleks telah terbukti salah satu sifat unik
molybdenum yang langka dibandingkan metal keras lainnya, hasil laboratorium

Universitas Sumatera Utara

telah menunjukkan komponennya mengandung sifat racun yang rendah
[Wimbledon, 1998].


2.3 Pembuatan Sampel Uji
Secara teoritis semua logam dapat dibuat menjadi serbuk, tetapi hanya
beberapa logam yang dimanfaatkan dalam pembuatan serbuk logam. Metode
yang digunakan dalam pembentukan serbuk tergantung pada sifat-sifat khusus
material [German, 1994].
Bahan baku yang digunakan dalam proses penggilingan adalah serbuk.
Ukuran serbuk yang digunakan umumnya berkisar antara 1 mm - 20 mm.
Semakin kecil ukuran partikel yang digunakan, maka proses penggilingan akan
semakin efektif dan efisien. Selain itu serbuk yang digunakan juga harus
memiliki kemurnian yang sangat tinggi. Namun ukuran tidaklah terlalu kritis,
asalkan ukuran material itu haruslah lebih kecil dari ukuran bola gerinda. Ini
disebabkan karena ukuran partikel serbuk akan berkurang dan akan mencapai
ukuran mikron setelah dimilling beberapa jam. Selain itu serbuk yang dimilling
dengan cairan misalnya dengan toluene dan dikenal dengan penggilingan basah.
Dan telah diteliti bahwa kecepatan atmosfir lebih cepat selama proses
penggilingan basah daripada penggilingan kering. Kerugian dari penggilingan
basah adalah meningkatnya kontaminasi serbuk [C.Suryanaraya, 2001].

2.3.1 Bentuk dan ukuran Partikel

Bentuk dari partikel tergantung dari cara pembuatannya, bentuk partikel
ini akan mempengaruhi packing, aliran, dan kompresitas [German, 1994].
Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel, keduanya memiliki pengaruh
dalam sifat bulk density. Perubahan kecil pada ukuran partikel bisa
menyebabkan perubahan yang signifikan. Ukuran partikel merupakan faktor
penting dalam mengatur struktur susunan serbuk dan pada waktu yanng
bersamaan gaya interparticulate mempengaruhi kekuatan struktur serbuk
[Ganesan dkk, 2008].

Universitas Sumatera Utara

2.3.2

Distribusi Ukuran Partikel
Dalam memproduksi serbuk logam ukuran partikel yang dihasilkan

tidaklah seragam, terdapat daerah ukuran partikel serbuk. Ukuran partikel yang
terkumpul tersebut lalu dianalisa distribusi ukuran partikelnya kemudian
distribusi ukuran partikel dibuat dalam bentuk histogram atau frekuensi yang
menunjukkan jumlah dari serbuk pada tiap-tiap ukuran.Pengaruh distribusi

ukuran partikel ini adalah pada appereant density, densitas, dan porositas produk
[Amstead dkk, 1985].

2.3.3 Mechanical Milling
Mechanical Milling atau milling adalah suatu penggilingan mekanik

dengan suatu proses penggilingan bola dimana suatu serbuk yang ditempatkan
dalam suatu wadah penggiilingan digiling dengan cara dikenai benturan bolabola berenergi tingi. Proses ini merupakan metode pencampuran yang dapat
menghasilkan produk yang sangat homogen. Proses milling disini selain
bertujuan untuk memperoleh campuran yang homogen juga dapat memperoleh
partikel campuran yang relatif lebih kecil sehingga dapat diharapkan sifat
magnetikyang baik dari bahan [F. Izuni, 2012].
Dalam mekanik milling serbuk akan dicampur dalam suatu chamber
(ruangan) dan dikenai energi tinggi terjadi deformasi yang berulang-ulang
sehingga terjadi partikel-partikel yang lebih kecil dari sebelumnya. Akibat dari
tumbukan pada tiap tipe dari unsur partikel serbuk akan menghasilkan bentuk
yang berbeda juga, untuk bahan yang ulet, sebelum terjadi fracture akan menjadi
flat atau pipih terlebih dahulu, sedangkan untuk bahan yang getas akan langsung

terjadi fracture dan menjadi partikel serbuk yang lebih kecil. Saat dua bola

bertumbukan berulang-ulang menyebabkan terjadinya penggabungan alloying.
[Suryanaraya, 2003].
Proses milling memiliki dua metode yaitu: Metode dry milling dan wet
milling. Dalam metode dry milling proses milling untuk menghindari terjadinya

proses oksidasi dilakukan pemberian gas innert seperti argon atau nitrogen.
Sedangkan dalam wet milling untuk menghindari

terjadinya oksidasi maka

Universitas Sumatera Utara

selama proses milling diberi campuran toluene. Adapun yang mempengaruhi
proses milling antara lain adalah:

2.3.4 Tipe Milling
Tipe-tipe milling berbeda dari peralatan milling yang digunakan untuk
menghaluskan ukuran partikel serbuk. Perbedaannya terletak pada kapasitasnya,
efisiensi milling, dan kecepatan putar jar milling. Tipe-tipe milling tersebut
antara lain: rotary ball mill, high energy milling, shaker milling, planetary ball

mill, attritor mill [Nurul, 2007].
Ball mill adalah salah satu jenis mesin penggiling yang digunakan untuk

menggiling suatu bahan material menjadi bubuk yang sangat halus. Mesin ini
sangat umum digunakan untuk proses milling. Secara umum prinsip kerjanya
yaitu dengan cara menghancurkan campuran serbuk melalui mekanisme
pembenturan bola-bola giling yang bergerak mengikuti pola gerakan wadahnya
yang berbentuk elips tiga dimensi inilah yang memungkinkan pembentukan
partikel-partikel serbuk berkala mikrometer sampai nanometer akibat tingginya
frekuensi tumbukan. Tingginya frekuensi tumbukan yang terjadi antara
campuran serbuk dengan bola-bola giling disebabkan karena wadahnya yang
berputar dengan kecepatan tinggi [Nurul,2007].

2.3.5 Bola Milling
Fungsi bola milling dalam proses penggilingan adalah sebagai penghancur
srbuk atau digunakan sebagai pengecil ukuran partikel. Oleh karena itu, material
pembentuk bola giling harus memiliki kekerasan yang tinggi agar tidak terjadi
kontaminasi saat terjadi benturan dan gesekan antara serbuk, bola dan wadah
penggilingan. Ukuran bola yang dapat digunakan dalam proses milling ini
bermacam-macam. Pemilihan ukuran bola bergantung pada ukuran serbuk yang

akan dipadu. Bola yang akan digunakan harus memiliki diameter yang lebih
besar dibandingakan dengan diameter serbuknya [Solafide, W., 2015].
Rasio berat bola/ball powder ratio (BPR) adalah variabel yang penting
dalam proses milling, rasio berat-serbuk mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fasa tersebut dari bubuk yang

Universitas Sumatera Utara

dimilling. Semakin tinggi BPR semakin pendek waktu yang dibutuhkan. Hal ini
dikarenakan peningkatan berat bola tumbukan per satuan waktu meningkat dan
konsekuensinya adalah banyak energi yang ditransfer ke partikel serbuk dan
proses milling berjalan lebih cepat.

Gambar 2.1 Bola-bola milling
2.3.6 Kecepatan Milling
Besar kecepatan maksimum tiap tipe milling akan berbeda, ketika
perputaran ball mill semakin cepat, maka energi yang dihasilkan juga akan
semakin besar. Tetapi disamping itu, design dari milling ada pembatasan
kecepatan yang harus dilakukan. Sebagai contoh pada ball mill, meningkatkan
kecepatan akan mengakibatkan bola yang ada di dalam chamber juga akan
semakin cepat pergerakannya, tenaga yang dihasilkan juga besar. Tapi jika
kecepatan melebihi kecepatan kritis maka akan terjadi pinned pada dinding
bagian dalam sehingga bola-bola tidak jatuh sehingga tidak menghasilkan gaya
impact yang optimal. Hal ini akan berpengaruh ke waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai hasil yang diinginkan [suryanaraya,2003].

2.3.7 Waktu Milling
Waktu milling merupakan salah satu parameter yang penting untuk milling
pada serbuk. Pada umumnya waktu dipilih untuk mencapai posisi tepatnya
antara pemisahan dan pengelasan partikel serbuk untuk memudahkan
memadukan logam. Variasi waktu yang diperlukan tergantung pada tipe milling
yang digunakan, pengaturan milling, intensitas milling BPR, dan temperatur
pada milling. Pada umumnya dihitung waktu yang diambil untuk mencapai
kondisi yang tepat, yaitu jangka pendek untuk energi milling yang tinggi, dan

Universitas Sumatera Utara

jangka waktu lama ketika dengan energi milling yang rendah. Waktu yang
dibutuhkan lebih sedikit untuk BPR dengan nilai-nilai yang tinggi dan waktu
yang lama untuk BPR dengan nilai rendah [Suryanaraya, 2003].

2.3.8 Mekanisme Sintering
Proses sintering merupakan proses pemadatan material serbuk dengan cara
membentuk ikatan batas butir antar serbuk penyusunnya. Ikatan antar butir terjadi
akibat pemanasan dengan atau tanpa penekanan dan temperatur sintering diatur
dibawah temperatur leleh dari partikel penyusunnya [German, 1994].
Pada proses sinter, benda padat terjadi karena terbentuk ikatan-ikatan antar
partikel. Panas menyebabkan bersatunya partikel dan efektivitas reaksi tegangan
permukaan meningkat, dengan kata lain, proses sinter menyebabkan bersatunya
partikel sedemikian rupa sehingga kepadatan bertambah. Selama proses ini
terbentuklah batas-batas butir, yang merupakan tahap permulaan rekristalisasi. Di
samping itu, gas yang ada menguap dan temperatur sinter umumnya berada di
bawah titik cair unsur serbuk utama. Selama sinter terjadi perubahan dimensi, baik
berupa pengembangan maupun penyusutan tergantung pada bentuk dan distribusi
ukuran partikel serbuk, komposisi serbuk, prosedur sinter dan tekanan
pemampatan [German, 1994].

2.4 Magnet
Magnet atau magnit adalah suatu objek yang mempunyai medan magnet.
Kata magnet berasal dari bahasa yunani magnitis lithos yang berarti batu
magnesian. Magnesian adalah nama suatu wilayah di yunani pada masa lalu yang
kini bernama manisa (sekarang berada di wilayah turki) dimana terkandung batu
magnet yang ditemukan sejak zaman dahulu di wilayah tersebut. Berdasarkan
asalnya, magnet dibagi menjadi dua kelompok, yaitu magnet alam dan magnet
buatan. Magnet alam adalah magnet yang ditemukan di alam, sedangkan magnet
buatan adalah magnet yang sengaja dibuat oleh manusia. Magnet buatan
selanjutnya terbagi lagi menjadi magnet permanen dan magnet sementara. Magnet
permanen adalah magnet yang sifat kemagnetannya tetap (terjadi dalam waktu

Universitas Sumatera Utara

yang cukup lama). Sebaliknya, magnet sementara adalah magnet yang sifat
kemagnetannya tidak tetap atau sementara [William,2011].
Magnet dapat menarik benda lain, beberapa benda bahkan tertarik lebih
kuat dari yang lain, yaitu bahan logam. Namun tidak semua logam mempunyai
daya tarik yang sama terhadap magnet. Besi dan baja adalah dua contoh materi
yang mempunyai daya tarik yang tinggi oleh magnet. Sedangkan oksigen cair
adalah contoh materi yang mempunyai daya tarik yang rendah oleh magnet.
Satuan internasional magnet menurut sistem metrik Satuan Internasional (SI)
adalah Tesla dan SI unit untuk total fluks magnet adalah weber (1 weber/m2 = 1
tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi [Anonim,2014].

2.4.1 Medan Magnet
Medan magnet adalah daerah disekitar magnet yang masih merasakan
adanya gaya magnet. Jika sebatang magnet diletakkan dalam suatu ruang, maka
terjadi perubahan dalam ruang ini yaitu dalam setiap titik dalam ruang akan
terdapat medan magnetik. Arah medan magnetik disuatu titik didefenisikan
sebagai arah yang ditunjukkan oleh kutub utara jarum kompas ketika
ditempatkan pada titik tersebut [Halliday&Resnick,1989].

2.4.2 Momen Magnetik
Bila terdapat dua buah kutub magnet yang berlawanan +m dan –m terpisah
sejauh l, maka besarnya momen magnetiknya ( ⃑⃑ ) adalah
⃑⃑ ) = ml ̂

(2.1)

Dengan ⃑⃑ adalah sebuah vektor dalam arah vektor unit ̂ berarah dari kutub

negatif ke kutub positif. Arah momen magnetik atom-atom bahan non magnetik
adalah acak sehingga momen magnetik resultannya menjadi nol. Sebaliknya di

dalam bahan-bahan magnetik, arah momen magnetik atom-atom bahan itu
teratur sehingga momen magnetik resultan tidak nol.

2.2 arah momen magnetik bahan non magnetik

Universitas Sumatera Utara

2.3 Arah momen magnetik bahan magnetik
Satuan momen magnet dalam SI adalah A.m2

2.4.3 Induksi Magnetik
Induksi magnet didefenisikan sebagai medan total bahan. Suatu bahan
magnetik yang diletakkan dalam medan luar ̅ akan menghasilkan medan
tersendiri ̅̅̅ yang meningkatkan nilai total medan magnetik bahan tersebut.

Induksi magnetik diformulasikan sebagai berikut:
̅ = ̅ + ̅̅̅

(2.2)

Hubungan medan sekunder ̅̅̅ = 4 ̅ , satuan ̅ dalam cgs adalah gauss, dan

dalam SI adalah Tesla

2.4.4 Kuat Medan Magnetik
Kuat medan magnet ( ̅ pada suatu titik yang berjarak r dari m1

didefenisikan sebagai gaya persatuan kuat kutub magnet, dapat dituliskan
sebagai:
̅=

̅

=

̅ (oersted)

(2.3)

Dengan r adalah jarak titik pengukuran dari m. ̅ mempunyai satuan A/m dalam

SI sedangkan dalam cgs ̅ mempunyai satuan oersted.
2.4.5 Intensitas Kemagnetan

Sejumlah benda-benda magnet dapat dipandang sebagai sekumpulan
benda megnetik. Apabila benda tersebut diletakkan dalam medan luar, benda
tersebut menjadi termagnetisasi karena induksi. Dengan demikian, intensitas
kemagnetan dapat didefenisikan sebagai tingkat kemampuan menyearahkan
momen-momen magnetik dalam medan magnetik luar dapat juga dinyatakan
sebagai momen magnetik per satuan volume. Satuan magnetisasi dalam cgs
adalah gauss atau emu.cm-3 dan dalam Sistem internasional adalah Am-1(Afza
E., 2011).

Universitas Sumatera Utara

Intensitas magnet (kuat medan magnet) adalah bilangan perbandingan rapat
fluks magnetik di ruang hampa udara dan permeabilitas ruang tersebut
(2.4)

H=
[Astuti.Irnin, 2012].

2.5 Bahan Magnetik
Bahan magnetik adalah bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam
komponen

pembentuknya.

Menurur

sifatnya

terhadap

adanya

pengaruh

kemagnetan, bahan magnet ini dapat digolongkan menjdai 5 yaitu bahan
diamagnetik, paramagnetik, ferromagnetik, anti ferromagnetik, dan ferrimagnetik
[Jiles, D. C, 1998].

2.5.1 Bahan Diamagnetik
Diamagnetik merupakan sifat universal dari atom karena terjadi gerakan
elektron pada orbitnya mengelilingi nukleus. Elektron dengan gerakan seperti ini
merupakan suatu rangkaian listrik, dan dari hukum Lenz diketahui bahwa
gerakan ini diubah oleh medan yang diterapkan sedemikian rupa sehingga
menimbulkan gaya tolak [Smallman, R.E, 2000].
Bahan diamagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis
masing-masing atom/molekulnya adalah nol, tetapi medan magnet akibat orbit
dan spin elektronnya tidak nol [Halliday& Resnick, 1978].Material diamagnetik
mempunyai suseptibilitas magnetik negatif kecil, yang berarti akan bersifat
lemah terhadap medan magnetik luar yang diberikan [Matthew, 2013].
Sifat diamagnetik bahan ditimbulkan oleh gerak orbital elektron. Suatu
bahan dapat bersifat magnet apabila susunan atom dalam bahan tersebut
mempunyai spin elektron yang tidak berpasangan. Dalam bahan diamagnetik
hampir semua spin elektron berpasangan, akibatnya bahan ini tidak menarik
garis gaya. Permeabilitas bahan ini <

dengan suseptibilitas magnetik bahan:

< 0. Nilai bahan diamagnetik mempunyai orde -10-5 m3/kg. Contoh bahan
diamagnetik yaitu: bismut, perak, emas, tembaga dan seng.

Universitas Sumatera Utara

2.5.2 Bahan Paramagnetik
Bahan paramagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis
masing-masing atom atau molekulnya tidak nol, tetapi resultan medan magnet
atomis total seluruh atom/molekul dalam bahan nol, hal ini disebabkan karena
gerakan atom/molekul acak, sehingga resultan medan magnet atomis masingmasing atom saling meniadakan [Halliday & resnick, 1978]. Setiap elektron
berperilaku seperti magnet kecil dan dalam medan magnetik memiliki salah satu
dari dua orientasi, yaitu searah atau berlawanan dengan arah medan, tergantung
pada arah spin elektron tersebut. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen
magnetk spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar. Dalam bahan ini
hanya sedikit spin elektron yang tidak berpasangan, sehingga bahan ini sedikit
menarik garis-garis gaya. Dalam bahan paramagnetik, medan B yang dihasilkan
akan lebih besar dibanding dengan nilainya dalam hampa udara. Suseptibilitas
magnet dari bahan paramagnetik adalah positif dan berada dalam rentang 10-510-3 m3/kg, sedangkan permeabilitasnya >

. Contoh bahan paramagnetik:

aluminium, magnesium dan wolfram [Nicola, 2003].

2.5.3 Bahan Ferromagnetik
Bahan ferromagnetik mempunyai resultan medan magnet atomis besar, hal
ini disebabkan oleh momen magnetik spin elektron. Pada bahan ini banyak spin
elektron yang tidak berpasangan, masing-masing spin elektron yang tidak
berpasangan ini akan menimbulkan medan magnetik, sehingga medan magnet
total yang dihasilkan oleh satu atom menjadi lebih besar [halliday & resnick,
1989].
Ferromagnetisme seperti paramagnetisme, berasal dari spin elektron.
Namun, pada matetrial ferromagnetik, dihasilkan magnet permanen dan ini
menunjukkan bahwa ada kecenderungan dari spin elektron untuk tidak berubah
arah meskipun medan ditiadakan. Pada logam ferromagnetik terjadi penyearahan
spin elektron secara spontan karena interaksi yang kuat, meski tidak diterapkan
suatu medan [smallman, R. E, 2000].

Universitas Sumatera Utara

2.5.4 Bahan Anti Ferromagnetik
Pada bahan anti ferromagnetik terjadi peristiwa kopling momen magnetik
di antara atom-atom atau ion-ion yang berdekatan. Peristiwa kopling tersebut
menghasilkan terbentuknya orientasi spin anti paralel. Satu set dari ion magnetik
secara spontan termagnetisasi di bawah temperatur kritis. Temperatur menandai
perubahan sifat magnet dari anti ferromagnetik ke paramagnetik. Susceptibilitas
bahan anti ferromagnetik adalah kecil dan bernilai positif. Suseptibilitasnya
menurun seiring menurunnya temperatur [ Matthew, 2013].

2.5.5 Bahan Ferrimagnetik
Material ferrimagnetik seperti ferrit (misalnya Fe3O4) menunjukkan sifat
serupa dengan material ferromagnetik untuk temperatur di bawah harga kritis
yang disebut dengan temperatur Curie (Tc). Pada temperatur di atas Tc maka
material ferrimagnetik berubah menjadi paramagnetik. Ciri khas material
ferrimagnetik adalah adanya momen dipol yang besarnya tidak sama dan
berlawanan arah.

2.6 Sifat-sifat Magnet
Sifat-sifat yang terdapat dalam benda magnetik antara lain adalah:
a. Induksi remanen (Br)
Induksi remanen yang tertinggal dalam sirkuit magnetik (besi lunak)
setelah memindahkan/menghilangkan pengaruh bidang magnetik. Ketika
arus dialirkan pada sebuah kumparan yang melilit besi lunak maka akan
terjadi orientasi pada partikel-partikel yang ada dalam besi. Orientasi ini
mengubah/mengarahkan pada kutub utara dan selatan.
b. Saturasi magnetisasi adalah keadaan dimana terjadi kejenuhan, nilai
medan magnet B akan selalu konstan walaupun medan eksternal H
dinaikkan terus. Remanensi bergantung pada saturasi magnetisasi. Untuk
magnet permanen saturasi magnetisasi seharusnya lebih besar daripada
soft magnet. Kerapatan dari bahan ferit lebih rendah dibandingkan logamlogam lain dengan ukuran yang sama. Oleh karenanya nilai saturasi dari
bahan ferrit relatif lebih rendah.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

dalam magnet permanen secara umum jauh lebih besar dari pada dalam
bahan soft magnet.
Magnet keras adalah material yang sulit dimagnetisasi dan sulit di
demagnetisasi. Karena hasil kali medan magnet (A/m) dan induksi
(V.det/m2) merupakan energi per satuan volume, luas daerah hasil
integrasi di dalam loop histerisis adalah sama dengan energi yang
diperlukan untuk satu siklus magnetisasi mulai dari 0 sampai +H hingga –
H sampai 0. Energi yang dibutuhkan magnet lunak dapat diabaikan, medan
magnet keras memerlukan energi lebih banyak sehingga pada kondisi
ruang, demagnetisasi dapat diabaikan [Ginting, D., 2015].
Karakteristik material ferromagnetik dapat dilihat dari bentuk kurva
histerisis yang menggambarkan hubungan antara medan magnet luar,
induksi magnet dan magnetisasi dengan persamaan:
B=

(H + M)

(2.7)

Dengan:
B = Induksi Magnet (tesla)
H = Medan magnet luar (A/m)
= Permeabilitas ruang hampa
M = Magnetisasi (A/m)
Gambar 2.5 menunjukan bentuk kurva histerisis dari bahan
feromagnetik. Dari keadaan saturasi, saat medan magnet luar H direduksi
menjadi nol, ternyata kurva tidak kembali seperti keadaan semula tetapi
memiliki fluks magnet sisa . fluks magnet tersisa saat h = 0 ini disebut
sebagai remanen. Pada keadaan ini sebagian momen-momen magnet tidak
kembali ke orientasi sebelum diberi medan luar H, sehingga material
termagnetisasi sebagian. Proses dilanjutkan dengan membalikkan arah
medan magnet luar, dan terus ditambah sehingga dicapai nilai fluks
magnet B menjadi nol. Nilai medan arah balik H pada saat B = 0 disebut
koersivitas. Pada keadaan ini, orientasi seluruh momen magnet kembali
acak. Medan arah balik kemudian direduksi menuju nol dan dicapai nilai
remanen arah balik, -Br. Proses dilanjutkan dengan medan luar positif
sehingga dicapai nilai koersivitas positif Hc dan terus menuju titik

Universitas Sumatera Utara

magnetisasi saturasi. Dari bentuk kurva histerisis tersebut kita dapat
membedakan antara soft magnetik dan hard magnetik.Soft magnetik
memiliki nilai koersivitas dan remanen yang kecil, sehingga bentuk kurva
sangat pipih. Sedangkan hard magnetik memiliki nilai koersivitas dan
remanen yang cukup besar.

Gambar 2.5 Loop Histerisis
f. Medan Anisotropi
Medan anisotropi merupakan nilai intrinsik yang sangat penting dari
magnet permanen karena nilai ini merupakan koersivitas maksimum yang
menunjukkan besar medan magnet luar yang diberikan dengan arah
berlawanan untuk menghilangkan medan magnet permanen. Anisotropi
adalah metode menyearahkan domain dari magnet sehingga partikelpartikel pada magnet terorientasi [Young Joon An, 2008].
Anisotropi pada magnet dapat muncul disebabkan oleh beberapa
faktor seperti: bentuk magnet, struktur kristal, efek stress dan sebagainya
[S.Puneet, 2008].
g. Energi Produk Maksimum (Bhmax)
Energi Produk menyatakan jumlah energi yang tersimpan dalam
magnet persatuan volume. Nilai energi produk sangat dipengaruhi oleh
remanen, koersivitas, dan bentuk kurva histerisis. Energi produk dalam
hubungannya dengan kurva histerisis adalah luas pada kuadran II kurva
tersebut [Hasan,2008].

Universitas Sumatera Utara

Untuk melihat energi produk maksimum (Bhmax) dari magnet
tersebut dapat diperoleh dari nilai maksimal hasil perkalian antara B dan H
pada kuadran kedua histerisis (daerah demagnetisasi). Semakin tinggi
remanensi, maka gaya koersivitas dan loop histerisis semakin gemuk dan
semakin besar pula energi produk maksimalnya [Billah, 2006].
Permagraf merupakan salah satu alat ukur sifat magnet dari
berbagai kelompok seperti Alnico, Ferrite, atau dari logam tanah jarang.
Sifat magnet yang diukur permagraf antara lain adalah: koersifitas Hc,
nilai produk maksimum (BH) max dan remanensi Br. Hasil yang diperoleh
dari permagraf yaitu untuk mengukur kurva histerisis, menentukan
kuantitas magnet seperti koersifitas, remanensi dan nilai produk
maksimum [Hia, 2015].

2.7 Jenis-jenis Magnet
Jenis-jenis magnet berdasarkan sifat kemagnetannya terdiri dari: magnet
permanen dan magnet tidak tetap.

2.7.1 Magnet Permanen
Magnet permanen adalah suatu bahan yang dapat menghasilkan medan
magnet yang besarnya tetap tanpa adanya pengaruh dari luar atau disebut magnet
alam karena memiliki sifat kemagnetan yang tetap. Magnet permanen tidak
memerlukan tenaga atau bantuan dari luar untuk menghasilkan daya magnet
(bereloktromagnetik) [Silitonga, L, 2016]. Magnet NdFeB adalah jenis magnet
permanen yang memiliki sifat magnet yang sangat baik, seperti pada nilai
induksi remanen, koersivitas dan energi produk yang lebih tinggi pula apabila
dibandingkan dengan magnet permanen lainnya [William,2015].

2.7.2 Magnet tidak Tetap
Magnet tidak tetap adalah suatu bahan yang hanya dapat menghasilkan
medan magnet yang bersifat sementara. Medan magnet remanen dihasilkan
dengan cara mengalirkan arus listrik atau digosok-gosokkan dengan magnet
alam. Medan magnet remanen yang digunakan dalam praktek kebanyakan

Universitas Sumatera Utara

dihasilkan oleh arus dalam kumparan yang berinti besi. Agar medan magnet
yang dihasilkan cukup kuat, kumparan diisi dengan besi atau bahan sejenis besi
sistem ini dinamakan elektromagnet [Afza, 2011].

2.8 Karakterisasi
2.8.1 Densitas
Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material. True density
adalah densitas nyata dari partikel atau kepadatan sebenarrya dari partikel padat
atau serbuk (powder ) berbeda dengan bulk density, yang mengukur kepadatan
rata-rata volume terbesar dari serbuk yang sudah dipadatkan pada pengujian true
density menggunakan piknometer. Berikut persamaan yang digunakan untuk

menghitung nilai true density :
(2.8)
Dimana,
= Massa piknometer kosong (g)
= Massa piknometer kosong + air (g)
= Massa piknometer kosong + serbuk (g)
= Massa piknometer kosong + serbuk + air (g)
= Massa jenis air (g/cm3)
= True density serbuk (g/cm3)
Bulk density merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume sampel

termasuk dengan rongga atau pori. Pengujian bulk density dilakukan untuk
mengukur benda padatan yang besar dengan bentuk yang beraturan maupun
yang tidak beraturan. Pada pengujian bulk density menggunakan metode
archimedes. Bulk density dapat dihitung dengan persamaan
(2.9)
Dimana:
Mo = Massa sampel digantung dalam air (g)
Mk = Massa sampel kering (g)
= Massa jenis cairan (g/cm3)
= Bulk density bahan (g/cm3) [Lisjak, 2006].

Universitas Sumatera Utara

2.8.2 Porositas
Porositas dapat didefenisikan sebagai perbandingan antara jumlah volume
lubang-lubang kosong yang dimiliki oleh zat padat (volume kosong) dengan
jumlah dari volume zat padat yang ditempati oleh zat padat. Porositas pada suatu
material dinyatakan dalam persen (%) rongga fraksi volume dari suatu rongga
yang ada di dalam material tersebut. Besarnya porositas pada suatu material
bervariasi mulai dari 0% sampai dengan 90% tergantung dari jenis dan aplikasi
material tersebut. Ada dua jenis porositas yaitu porositas terbuka dan porositas
tertutup. Porositas yang tertutup pada umumnya sulit untuk ditentukan karena
pori tersebut merupakan rongga yang terjebak di dalam padatan dan serta tidak
ada akses ke permukaan luar, sedangkan pori terbuka masih ada akses ke
permukaan luar, walaupun rongga tersebut ada di tengah-tengah padatan [Lisjak,
2006].
Untuk pengukuran porositas suatu bahan mengacu pada standar khususnya
untuk material berpori. Porositas dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut:
(2.10)

Porositas =
Dimana,
Mk = Massa kering (g)
Mb = Massa basah (g)

2.8.3 X-Ray Diffraction (XRD)
Struktur kristal dapat dianalisa dengan menggunakan difraksi sinar X atau
disebut X-Ray Dfraction (XRD). Bila ada berkas gelombang elektromagnetik
yang mengenai kristal akan mengalami difraksi sesuai dengan hukum fisika. Bila
sinar X jatuh pada kisi kristal maka sinar akan didifraksikan, dimana sinar sefasa
akan diperkuat, sedangkan sinar yang tidak sefasa akan ditiadakan. Gambaran
sinar X yang mengenai bidang kristal diperlihatkan pada gambar 2.6
Sesuai dengan hukum Bragg maka hubungan d dengan ϴ dinyatakan dalam
rumus sebagai berikut:
n λ = 2 d sin ϴ

(2.11) [Haryadi, J., 2006].

Universitas Sumatera Utara

X-ray diffractometer adalah alat yang dapat memberikan data-data difraksi
dan kuantitas intensitas difraksi pada sudut-sudut difraksi (2 ) dari suatu bahan.
Tujuan dilakukannya pengujian analisis struktur kristal adalah untuk mengetahui
perubahan fasa struktur bahan dan mengetahui fasa apa saja yang terbentuk
selama proses pembuatan sampel uji.

Gambar 2.6 Pola Difraksi sinar X
Difraksi sinar-x digunakan untuk mengidentifikasi struktur kristal suatu
padatan dengan membandingkan nilai jarak d (bidang kristal) dan intensitas
puncak difraksi dengan data standar. Melalui analisis XRD diketahui dimensi
kisi (d = jarak antar bidang) dalam struktur mineral. Sehingga dapat ditentukan
apakah suatu material mempunyai kerapatan yang tinggi atau tidak [ Sholihah &
Zainuri, 2012].

2.8.4 Vibrating Sample Magnetometer (VSM)
Semua bahan mempunyai momen magnetik jika ditempatkan dalam medan
magnetik. Momen magnetik per satuan volume dikenal sebagai magnetisasi.
VSM merupakan salah satu jenis peralatan yang digunakan untuk mempelajari
sifat magnetik bahan. Dengan alat ini akan dapat diperoleh informasi mengenai
besaran-besaran sifat magnetik sebagai akibat perubahan medan magnet luar
yang digambarkan dalam kurva histerisis, sifat magnetik bahan sebagai akibat
perubahan susu, dan sifat-sifat magnetik sebagai fungsi sudut pengukuran atau
kondisi anisotropik bahan.
Secara umum ketelitian hasil pengukuran dipengaruhi oleh bentuk dan
ukuran cuplikan, serta parameter pengukuran. Koreksi data berkaitan dengan
bentuk dan ukuran cuplikan sekecil mungkin, dibandingkan dengan dimensi

Universitas Sumatera Utara

kumparan untuk memenuhi pendekatan dipol yang digunakan pada asumsi
prinsip kerja alat ini. Selain itu bentuknya juga seidentik mungkin dengan
cuplikan standar yang digunakan, untuk pengukuran histerisis (M terhadap H),
data yang terukur adalah data magnetisasi sebagai fungsi medan magnet luar
yang diberikan. Pada proses pengukuran bahan magnet permanen, akan timbul
medan internal yang berlawanan dengan arah magnetisasi. Medan ini dikenal
sebagai medan demagnetisasi. Besar medan ini akan bergantung pada
bentuk/dimensi cuplikan serta medan luar yang diberikan. Untuk itu data yang
diperoleh harus dikoreksi dengan medan demagnetisasi ini sehingga diperoleh
medan efektif yang sebenarnya [Mujamilah dkk, 2012].

2.8.5 X-ray Fluoresence (XRF)
X-Ray Fluoresense (XRF) berfungsi untuk menganalisa komposisi kimia

yang terkandung dalam suatu sampel dengan menggunakan metode stoikiometri.
Secara garis besar, prinsip kerja XRF adalah elektron pada kulit bagian dalam
sampel akan dieksitasi oleh foton. Selama proses dieksitasi proton akan
berpindah dari tingkat energi yang lebih tinggi untuk mengisi kekosongan
elektron. Energi yang dipancarkan oleh kulit yang berbeda akan muncul sebagai
sinar X yang diemisikan oleh atom. Spektrum sinar X yang diperoleh selama
proses di atas menyatakan jumlah dari karakteristik puncak. Energi puncak
untuk mengidentifikasi unsur dalam sampel (analisis kualitatif), sementara
intensitas puncak menyediakan konsentrasi unsur yang yang relevan dan mutlak
(analisis kuantitatif dan semi kuantitatif). Waktu yang digunakan untuk sekali
pengujian adalah 300 detik. Sedangkan preparasi sampel tidak perlu dilakukan
dengan merusak, sehingga sampel dapat segera diukur [Beckhoff B et al, 2007].

Universitas Sumatera Utara