PUSTAKAWAN DAN UPAYA PENCEGAHAN PENJIPLAKAN KARYA ILMIAH

PUSTAKAWAN DAN UPAYA PENCEGAHAN PENJIPLAKAN KARYA ILMIAH
Oleh : Harmawan (UPT Perpustakaan UNS)
Abtrak
Tulisan ini menguraikan tentang bagaimana cara mengatasi penjiplakan karya ilmiah.
Untuk mengurangi adanya penjiplakan karya ilmiah penulis menyarankan tiga hal yang
perlu dilakukan khususnya bagi pustakawan. Pertama perlu adanya program yang dapat
meningkatkan minat baca. Kedua pengadaan bahan pustaka harus berorientasi kepada
kebutuhan pengguna, sehingga harus ada prioritas pengadaan mengingat anggaran
perpustakaan yang terbatas. Ketiga perlu pembentukan database hasil penelitian
termasuk skripsi, tesis dan disertasi.

Seorang oknum dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya telah melakukan
perbuatan tercela dengan melakukan penjiplakan karya ilmiah milik orang lain (Jawa
Pos, 28-9-1997). Kasus ini tentunya mencoreng tidak hanya nama baik perguruan tinggi
yang bersangkutan melainkan juga perguruan tinggi pada umumnya. Pernyataan bahwa
perguruan tinggi merupakan kampungnya masyarakat ilmiah yang menjunjung tinggi
kejujuran, kebenaran dan objektivitas akan ternodai. Bukan mustahil penjiplakan karya
ilmiah juga terjadi di perguruan tinggi lain, tetapi tidak diketahui. Pertanyaannya adalah
kenapa kasus semacam ini dapat terjadi ? Ada banyak factor yang menyebabkan
terjadinya penjiplakan tersebut. Diantaranya adalah kurangnya budaya baca di
masyarakat kita termasuk masyarakat perguruan tinggi, masih minimnya anggaran

untuk perpustakaan terutama untuk pengadaan bahan pustaka dan belum adanya
database (pangkalan data) tentang hasil penelitian termasuk skripsi, tesis, disertasi, dsb
sebagai media penyimpanan dan alat untuk memudahkan dalam penelusuran. Penulis
mencoba

untuk

menguraikan

penyebab

tersebut

di

atas

beserta

upaya


penanggulangannya dalam kaitannya dengan profesi pustakawan.
1. Kurangnya minat baca bagi civitas akademika.
Semakin banyak membaca semakin luas pengetahuan seseorang. Seseorang
yang luas pengetahuannya tidak akan mengalami kesulitan dalam melakukan

penelitian. Jadi seorang peneliti harus banyak bacaan/referensi terutama bacaan
yang berkaitan dengan apa yang akan diteliti, termasuk pengetahuan tentang
metode penelitian. Di Perguruan Tinggi cara yang termudah dan termurah untuk
mencari bahan bacaan yang banyak adalah dengan berkunjung ke perpustakaan.
Oleh karena itu, tinggi rendahnya minat baca di perguruan tinggi biasanya dapat
di ukur dari tinggi rendahnya kunjungan mahasiswa atau dosen ke perpustakaan.
Indikator ini tentunya mengesampingkan individu yang mempunyai budaya baca
tinggi, tetapi mereka dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara membeli buku
atau bahan pustaka sendiri. Kalau kita melihat dapa Profil Perpustakaan
Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia terlihat bahwa jumlah pengguna
perpustakaan yang berkunjung ke perpustakaan adalah sangat rendah, yaitu ratarata belum ada 10 % dari jumlah pengguna potensial. Untuk mengatasi hal
tersebut di atas tentunya harus ada kerjasama yang harmonis dan bersenergi
antara para dosen dan pustakawan. Pustakawan tentunya harus ikut bertanggung
jawab untuk meningkatkan minat baca bagi civitas akademikanya dengan lebih

proaktif, misalnya, selalu memperhatikan kebutuhan informasi bagi pengguna,
membuat alat penelusuran seperti indeks, abstrak dsb. Begitu juga dosen harus
ikut aktif mengusulkan bahan pustaka yang dibutuhkan dan menyarankan
kepada mahasiswanya untuk mencari informasi yang bersangkutan dengan mata
kuliahnya ke perpustakaan. Hal ini akan berjalan baik apabila ada koordinasi
antara dosen dan pustakawan.
2. Anggaran pengadaan bahan pustaka di perpustakaan yang relatif kecil
Harus diakui bahwa anggaran pengadaan bahan pustaka untuk perpustakaan di
Indonesia pada umumnya sangat kecil kalau kita bandingkan dengan anggaran
perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi di negara maju. Penulis pernah
magang kerja di Glasgow University Library (Inggeris) selama 1 bulan pada
tahun 1992; pada waktu itu perpustakaan tersebut telah memiliki koleksi kurang
lebih sebanyak 1,5 juta buku dan berlangganan jurnal sebanyak 1000 judul lebih.
Bandingkan dengan perpustakaan di Indonesia, Perpustakaan UGM misalnya ,
pada tahun 1995 hanya memiliki 532.189 eksemplar dan 498 judul jurnal. Lebih
menyolok lagi kalau kita bandingkan dengan perpustakaan UNS yang hanya
memiliki 85.923 eksemplar dan 36 judul (langganan jurnal) pada tahun 1995.

Gambaran ini menunjukan bahwa anggaran pengadaan bahan pustaka untuk
perpustakaan perpguruan tinggi di Indonesia masih sangat minim terutama untuk

langganan jurnal ilmiah.
Pustakawan mestinya tidak kecil hati menghadapi kenyataan ini. Kita harus
dapat mengatur anggaran yang relatif kecil ini dengan sebaik mungkin.
Pengadaan bahan pustaka harus tetap berorientasi kepada pengguna dan ada
skala prioritas mana kebutuhan pengguna yang mendesak dan mana kebutuhan
yang dapat ditangguhkan. Dengan cara tersebut diharapkan pengguna
perpustakaan tidak malas lagi dating ke perpustakaan.
3.

Belum adanya database (pangkalan data) tentang hasil penelitian.
Pembentukan database (pangkalan data) sangat besar manfaatnya untuk melihat
apakah suatu penelitian dengan topik tertentu, telah dilakukan oleh seseorang.
Sehingga pembimbing penelitian tidak akan mengalami kesulitan untuk
mengetahui apakah proposal yang diajukan oleh peneliti/mahasiswa sudah
pernah dilakukan oleh orang lain. Hal dapat mengurangi kemungkinan adanya
penjiplakan atau duplikasi penelitian.
Database adalah kumpulan dari suatu catatan/dokumen. Database penelitian
dapat berupa kumpulan abstrak atau indeks baik yang menggunakan system
konvensional maupun komputer. Apabila penyimpanan data/dokumen sudah
menggunakan komputer akan sangat membantu para pengelola (pustakawan)

atau pencari informasi (peneliti atau pembimbing) untuk mengakses informasi.
Dengan kemajuan teknologi informasi sekarang ini, untuk membentuk database
tidaklah sulit.
Ada beberapa lembaga penelitian yang menerbitkan kumpulan abtrak hasil
penelitian, namun keberadaannya belum memadai.
Oleh karena itu, pembentukan database sangat diperlukan untuk mencegah
munculnya penjiplakan karya ilmiah. Masing-masing perguruan tinggi
seharusnya membentuk database local, selanjutnya dari database local tersebut
dapat diakses secara nasional maupun intenasional dengan menggunakan
internet.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penjiplakan karya ilmiah
diharapkan tidak terjadi lagi di perguruan tinggi. Untuk mencegah terjadinya

penjiplakan karya ilmiah di lingkungan perguruan tinggi masing-masing,
diperlukan kerjasama yang harmonis antara pustakawan dan dosen untuk
meningkatkan minat baca. Disamping itu perlu adanya dukungan dari pimpinan
universitas dan kreativitas pustakawan untuk memenuhi kebutuhan informasi
bagi civitas akademikanya. Pembentukan database tentang hasil penelitian
termasuk skripsi, tesis, desertasi adalah hal yang sangat diperlukan. Hal ini
untuk meudahkan pengecekan hasil penelitian agar supaya tidak terjadi

penjiplakan atau penelitian ganda.