PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS DISERTASI.

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR:
PENEMUAN JATI DIRI
MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

EDITOR:
WIDIASTUTI

PENERBIT
UDAYANA UNIVERSITY PRESS
2015

i

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

ii

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI


iii

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

SEKAPUR SIRIH
Dalam proses bimbingan mahasiswa Pascasarjana pada Program Magister
Arsitektur, seringkali karyasiswa mengalami kebingungan baik ketika memilih
judul, menyusun proposal maupun pada penulisan Tesis. Salah satu masalah yang
sering dihadapi mahasiswa adalah ketika memilih metoda penelitian. Pada
umumnya karyasiswa memilih metoda kualitatif. Namun pemahaman tentang
metoda tersebut perlu ditingkatkan lagi.
Dalam rangka memperingati ulang tahun emas (ke 50 tahun) Jurusan Arsitektur,
Fakultas Teknik, Universitas Udayana, tercetus ide untuk mengumpulkan tulisan
alumni yang terserak dan tak terdokumentasi dengan baik dan penulis ditugaskan
untuk menindak lanjuti ide tersebut. Karya Tesis/Disertasi ini adalah salah satu
upaya penemuan jatidiri alumni dalam menapaki perjalanan yang masih panjang.
Berangkat dari dua keperluan tersebut penulis menyatukannya dalam buku ini.
Sistematika ringkasan Tesis dan Disertasi ini disusun dengan cara: pertama adalah
kelompok Tesis dan kedua adalah kelompok Disertasi. Dari kedua kelompok
tersebut diurutkan lagi berdasar tahun penyelesaian.

Penulis menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dekan Fakultas
Teknik dan Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Udayana atas dukungannya.
Terimakasih juga disampaikan kepada seluruh alumni yang telah
menyumbangkan tulisannya.
Tiada gading yang tak retak. Dengan waktu yang sangat terbatas penyelesaian
buku ini tentu jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mohon maaf kepada seluruh
penyumbang bila ada tulisannya yang berubah. Semoga tulisan ini memberi
manfaat bagi pembacanya dan menjadi titik awal untuk mendokumentasikan
Tesis dan Disertasi alumni secara berkesinambungan.
Selamat Ulang Tahun Jurusan Arsitektur Universitas udayana. Semoga tetap
menjadi institusi yang menghasilkan arsitek handal di masa depan.
Denpasar, 21 September 2015

Editor

iv

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

DAFTAR ISI

PENGANTAR DEKAN .............................................................................
PENGANTAR KETUA JURUSAN ..............................................................
SEKAPUR SIRIH ....................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................
TENTANG PENYUMBANG ..........................................................................

ii
iii
iv
v
vii

PENDAHULUAN
PENELITIAN KUALITATIF
PADA TESIS DAN DISERTASI ARSITEKTUR ..............................................
Oleh: Syamsul Alam Paturusi
REFORMASI NILAI-NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
PADA ARSITEKTUR KONTEMPORER DI BALI .
STUDI KASUS BANGUNAN FASILITAS UMUM ........................................
Oleh:I Wayan Gomudha

MAKNA DALAM ARSITEKTUR UMAH BALI .............................................
Kasus Desa Tengkudak – Bali
Oleh; I Nyoman Gde Suardana
PENGELOLAAN KONSERVASI PADA PURI AGUNG UBUD,
GIANYAR SEBAGAI OBYEK WISATA BUDAYA .........................................
Oleh: Nyoman Ratih Prajnyani Salain
KAJIAN PROPORSI
PADA CANDI TEBING GUNUNG KAWI
DI TAMPAKSIRING – GIANYAR ..............................................................
Oleh: Anak Agung Gede Raka Gunawarman

1

22

124

182

190


ADAPTIVE REUSE BANGUNAN BERCORAK ARSITEKTUR CHINA
DI SAMPANGAN, PEKALONGAN, JAWA TENGAH ..................................
Oleh: Anis Yunanistya

221

BALINESE TRADITIONAL ARCHITECTURAL PRINCIPLES
IN HOTEL BUILDING .............................................................................
Oleh: Sulistyawati

261

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
KASUS STUDI: PEMPATAN AGUNG DI BALI, INDONESIA.........................
Oleh: Widiastuti

295

v


PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

SISTEM SPASIAL DESA PEGUNUNGAN DI BALI
DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA ....................................................

386

Oleh: I Wayan Runa
ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
PADA MASJID AL HIKMAH DI KERTALANGU, DENPASAR........................
Oleh: Putu Rumawan Salain
PAMESUAN DALAM ARSITEKTUR BALI
SUATU KAJIAN TERITORI ARSITEKTUR
DENGAN (PENG-)UNGKAPAN MAKNA............................
Oleh: Anak Agung Ayu Oka Saraswati

vi

419


434

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

TENTANG PENYUMBANG
EDITOR
WIDIASTUTI, adalah dosen di Program Studi
Arsitektur, Universitas Udayana. Menyelesaikan
studi “3 di Universite De Pau et De L’Adour, Pau,
Prancis pada September 2002.

PENYUMBANG TEORI
SYAMSUL ALAM PATURUSI, adalah dosen Program
Studi
Arsitektur,
Universitas
Udayana.
Menyelesaikan studi S3 di Universite De Pau et De
L,Adour, Pau, Prancis pada Desember 2000. Saat ini

adalah Sekretaris Jurusan Program S2 Kajian
Pariwisata, Program Pascasarjana Unud, serta
mengajar di S2 dan S3 Kajian Pariwisata, S2 Magister
Lingkungan Universitas Udayana
RINGKASAN TESIS
I WAYAN GOMUDHA, adalah dosen Program Studi
Arsitektur, Universitas Udayana. Menyelesaikan
studi S2 diProgram Studi Arsitektur, Bidang Studi
Perancangan dan Kritik Arsitektur, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, Surabaya, pada tahun 1999

NYOMAN GEDE SUARDANA, adalah dosen tetap
Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas
Warmadewa. Menyelesaikan Pendidikan S2 di
diProgram Studi Arsitektur, Bidang Studi
Perancangan dan Kritik Arsitekutr, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, Surabaya, pada tahun 2002

vii


PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

NYOMAN RATIH PRAJNYANI SALAIN, adalah Arsitek
Profesional . Menyelesaikan S2 di Program Magister
Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas
Udayana, pada 26 Januari 2010

ANAK AGUNG GEDE RAKA GUNAWARMAN, adalah
dosen Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik,
Universitas Warmadewa. Menyelesaikan S2 di
Program Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana,
Universitas Udayana, pada tahun 2014

YUNANISTYA RAHMADHIANI, adalah Arsitek
Profesional. Menyelesaikan S2 di Program Magister
Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas
Udayana, pada 19 Agustus 2015

RINGKASAN DISERTASI
SULISTYAWATI, adalah Guru Besar Emeritus

Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan S3
(Ph.D) di School of Architecture, Faculty of
Environment, Oxford Brookes-UK), tahun 1995 dan S3
(DTh), Bidang Agama Kristen di STTII Bali- Denpasar .
Sedang menempuh pendidikan (lagi) di S3 Pariwisata
Universitas Udayana dan S3 Bidang Agama Hindu di
IHDN-Denpasar.

viii

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

I WAYAN RUNA, adalah Guru Besar Program Studi
Arsitektur, Universitas Warmadewa. Menyelesaikan
pendidikan di S3 Arsitektur, Universitas Gajahmada
pada tahun 2004. Sedang menjabat Wakil Direktur I
Pasca Sarjana Universitas Warmadewa

PUTU RUMAWAN SALAIN, adalah Guru Besar
Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana

Menyelesaikan pendidikan di S3 Kajian Budaya,
Program Pasca Sarjana, universitas Udayana pada
tahun 2011. Selain di S1 dan S2 Arsitektur, beliau
mengajar juga di S2 Kajian Budaya Unud. Pernah
menjabat Pembantu Rektor Universitas Udayana
pada periode 2002 s/d 2006
ANAK AGUNG AYU OKA SARASWATI, adalah dosen
Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana.
Menyelesaikan studi S3 di Program Studi Arsitektur,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,
pada tahun 2013. Terpilih sebagai Ketua Jurusan
Arsitektur Universitas Udayana Periode 2015-2019

ix

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM
PERANCANGAN KOTA.
KASUS STUDI: PEMPATAN AGUNG DI BALI, INDONESIA
RINGKASAN DISERTASI
INSTITUT DE RECHERCHE SUR LES SOCIETES ET DE L’AMENAGEMENT
UNIVERSITE DE PAU ET DE PAYS DE L’ADOUR, PAU PERANCIS, 2002

Oleh:
Widiastuti

295

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

ABSTRAK
Ruang bagi masyarakat Bali adalah tiruan dari Cosmos. Ini mencerminkan baik
mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (dunia / alam). Ruang merupakan
transformasi kosmologis dari tata nilai sakral dan profan. Pempatan Agung adalah
pusat dari Cosmos di mana pembagian ruang atas sakral dan profan diterapkan.
Ia menyatukan kekuatan agama, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Semua
prosesi keagamaan, sosial-budaya, kekuasaan politik berkaitan dengan titik ini
karena semua kekuatan dewata terkonsentrasi. Ia adalah kerangka kerja untuk
kehidupan sehari-hari orang Bali Hindu dalam perilaku mereka, di lingkungan
mereka, karena Bali percaya bahwa Pempatan Agung memimpin mereka untuk
kemakmuran dan hidup kekal (Moksha). Perluasan desa dan pertumbuhan
penduduk telah dicampur comologiques referensi. Batas kosmologis telah
menjadi kabur, sentralitas Pempatan Agung melemah, nilai-nilai sakral dan
sekuler telah bercampur di kota Bali saat ini. Tapi kehidupan sehari-hari orang
Bali semakin sangat religius untuk memenuhi nilai-nilai sosial budaya dan agama.
Apa dampak memiliki perubahan spasial perilaku penduduk? Apakah ada spirit
Pempatan Agung untuk melestarikan pembagian ruang tradisional dalam
pengembangan saat ini? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
spirit Pempatan Agung dan mengusulkan, dengan pendekatan budaya, model
konservasi kota untuk melestarikan spirit ini, dari nilai-nilai sosial budaya dan
agama, pada pengembangan tata ruang kontemporer dari rancang kota (urban
design).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda kualitatif
naturalistik, dengan pendekatan EC (perilaku ligkungan) atau "studi EB" oleh John
Zeisel (1981:10), kemudian digabungkan dengan studi aspek-aspek fundamental
rumah Bali oleh Parimin (1986) yaitu: sosiologis, morfologi, fungsional dan
simbolis. Pendekatan ini dibangun dari pengamatan perilaku dan reaksi dari
orang Bali di lingkungan mereka dan transformasi spasial konsepsi kosmologi.
Pengamatan dilakukan pada 27 Pempatan Agung di 9 kabupaten dan kota dengan
pengelompokan Pemparan Agung uraban (PAU), Pempatan Agung semi urban
(PASU), dan Pempatan Agung rural (PAR). Untuk mengamati perubahan nilai,
metode "super impose" dilakukan terhadap perubahan morfologi. Perubahan
juga dimati dari perilaku masyarakat setelah perempatan agung berubah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pempatan Agung berubah pada saat
terjadi perubahan kekuatan politik. Perilaku masyarakat juga berubah karena
perubahan tata ruang. Dari bentuk morfologi, perubahan perilaku dan tanggapan
diamati, penelitian ini menemukan bahwa spirit budaya yang dikandung oleh
bentuk spasial Pempatan Agung adalah magis-religius, kolektif, dan pusat . Tapi
dengan kontrol sosial yang kuat dari organisasi sosial-budaya dan agama,
perubahan tata ruang memiliki sedikit pengaruh pada pikiran Pempatan Agung.
296

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Hanya mempengaruhi pinggiran budaya, tetapi tidak kernel. Ketika spasial
perubahan, konservasi sangat penting untuk melestarikan nilai-nilai budaya.
Pengalaman konservasi yang dilakukan oleh kota-kota Eropa di berbagai skala
(Barcelona, Paris dan Sarlat) digunakan untuk membantu merumuskan usulan
untuk tindakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konservasi spasial,
terutama ruang publik, berhasil mempertahankan spirit budaya tertentu. Peran
negara, pemisahan yang jelas antara modernitas dan tradisi, sistem sirkulasi dan
ruang publik adalah elemen yang memungkinkan untuk untuk mengusulkan
solusi.
Model pelestarian yang diusulkan adalah "melestarikan konsepsi spasial sakral
dan tradisi dan mengadaptasi aspek profan modernitas" setelah menemukan
spirit budaya Pempatan Agung. Melestarikan batas spasial kosmologis dalam
sistem sirkulasi, menghilangkan dualisme antara sistem politik antara
administrasi dan adat di tingkat desa dan banjar, penggunaan konsepsi tata ruang
dan arsitektur lokal dan penciptaan zona pejalan kaki baik sebagai ruang suci dan
ruang publik di Pempatan Agung adalah cara yang diusulkan dan disimulasikan
dalam panduan rancang kota.Kata kunci: kota, budaya, konsepsi perkotaan,.
Kata kunci: kota, spirit, budaya, rancang kota, Pempatan Agung, Bali

297

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
a. Budaya sebagai identitas kota
Pada

tahun tujuh puluh limaan, seorang arsitek terkenal, Le Corbusier,

mengatakan bahwa suatu hari akan ada arsitektur tunggal terlepas dari lokasinya.
Visinya didasarkan pada fenomena perkembangan arsitektur modern yang
memperhitungkan hanya fungsi, efisiensi dan ekonomi. Arsitektur akan
tergantung pada teknologi dan proses industri. Akibatnya, dekorasi yang
meningkatkan bangunan dan memberikan napas pada budaya lokal, akan hilang.
Spirit integrasi dengan PBB sedang mencoba untuk meminggirkan peran politik
kota dan globalisasi tumbuh untuk beradaptasi sistem (Prevelakis, 1999: 2-4).
Menjadi warga dunia dipahami modern, serta menjadi modern dipahami Amerika
atau Eropa. Oleh karena itu, semua kapal uniformiseraient. Kota dunia akan
seperti perlahan (Danisworo 1994: 1). Tapi di sisi lain, keinginan untuk
mengekspresikan identitas lokal ditegaskan, termasuk di tingkat kota. Untuk
menjadi warga dunia, itu tidak akan diperlukan untuk melihat satu sama lain,
karena orang bisa hidup rukun dalam perbedaan. Dalam gelombang modernitas
yang memperkuat kesamaan, ada karena itu adalah kesempatan menegaskan
kekhususan dalam penciptaan kota? Eksplorasi positif dari aset alam dan sosialbudaya telah menjadi kaya kemungkinan tindakan.
Hal ini diketahui bahwa banyak faktor yang pada asal pembentukan kota,
khususnya ekologi (misalnya subur tanah), demografi (jumlah penduduk),
ekonomi, teknologi dan agama . Namun dari semua pertimbangan ini, tampak
bahwa faktor agama hadir pada asal segala sesuatu. Kota ini berasal sebagai pusat
seremonial terkait dengan makna simbolis dikaitkan dengan kosmos. Apresiasi
kota perspektif kosmologis tercermin dalam bentuk peraturan dengan pola
spasial dan model geometris yang memberikan kota morfologi. Dengan demikian,
perbedaan dalam sudut pandang budaya perusahaan menghasilkan morfologi
298

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

yang berbeda dari kota (Rapoport, 1980: 38-44). mengamati bahwa penting
untuk memberikan karakter unik untuk setiap tempat untuk "roh." Dengan
memahami interaksi antara aspek lingkungan dan ekspresi budaya, seseorang
dapat merasakan arah kota dan dengan demikian dapat berusaha untuk
memanfaatkan ini "roh" dari kota (Garnham, 1985).
Robert Rotenberg dan Gary MCDONOGH (1993) setuju dengan antropolog
(Bourdieu 1971; Fernandez, 1977; Richardson, 1980,1982), sosio-psikolog
(Altman, 1975; Goffman, 1971), pengembang (Perin, 1977 ), dan arsitek
(Broadbent, Bunt dan Llorens, 1980; Oliver, 1969; Rapoport, 1969) tentang
pentingnya hubungan antara budaya dan bentuk dibangun. Setiap perusahaan
memiliki nilai-nilai yang menciptakan model yang berbeda dari kota. Darnton
menunjukkan (1990: 330) bahwa orang-orang membangun makna berdasarkan
pengalaman yang berbeda: misalnya, jika ideogram tradisional Cina tidak
memiliki kata yang berarti "pribadi", mereka memiliki yin dan konsep jika jia zhou
bu KE Yang wai untuk menentukan urusan keluarga dan hubungan seksual di
rumah mereka (Pellow, 1993). Jepang Shitamachi, mantan distrik komersial
Tokyo, memiliki rasa alun-alun kota yang menghapus kepentingan individu dan
mempromosikan nilai-nilai bersama. Budaya kelompok yang berbeda sesuai
dengan mereka campuran provinsi dengan interaksi antara orang dan lembaga di
seluruh stereotip positif dan negatif (Berque, 1982 Bestor, 1993). Untuk Hiss dan
Alexander (1979: 92) orang, budaya, bangunan dan rencana semua dimensi kota.
Tidak ada dikotomi antara bentuk dan budaya dibangun. Jadi, bagaimana
melestarikan "roh" dari sebuah kota dalam globalisasi dunia?
Menciptakan ruang di kota ini tidak hanya menanam pohon di taman, itu adalah
lebih kompleks (Rodman, 1993). Konteks spesifik sosial budaya, ekonomi, politik
dan sejarah, diperhitungkan. Beberapa percobaan untuk menciptakan ruang
menenun bersama-sama wilayah, bentuk bangunan, perilaku, ide-ide untuk skala
individu dan kolektif.
299

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

......bentuk kota, posisinya saat ini, ide-ide dan nilai-nilai yang telah
menciptakan orang-orang, menulis fenomena unik. Oleh karena itu,
sejarah kota tidak dapat ditulis hanya untuk menentukan distribusi pola
grid persegi panjang [...] atau sepenuhnya untuk mengkoordinasikan
kekuatan impersonal dari negara dan pasar [...] Seseorang harus
memasukkan pengalaman saat kotak atau dalam perjalanan pengalaman
sehari-hari mereka. (Lynch, 1981: 36).

Tapi semuanya berubah, tidak ada yang abadi. Berkat perkembangan ekonomi
dan pendidikan berkembang, membangun gedung-gedung baru, kota baru
dengan teknologi baru dan baru "roh". Setiap warisan generasi ulang dengan
kebebasan besar pikiran. Konservator telah banyak menghancurkan atas nama
kehendak untuk mengembalikan. Jadi bagaimana dan di mana salah satu mulai
menciptakan "roh" dari kota?Kelangsungan pikiran dan budaya di situs dirasakan
oleh permainan lapisan budaya untuk Andrea Bruno, seorang arsitek Italia. Dia
pikir terbaik untuk melestarikan keaslian dan terutama masa lalu untuk masa
depan, seperti Palang Merah yang mengkompensasi kehilangan kaki kruk. Dalam
konteks ini, mengacu pada kata-kata "restorasi, konservasi, pelestarian dan
keaslian" (Bruno, 1998: 6). Inilah sebabnya mengapa sekolah arsitektur harus
mengajarkan "roh" dari tempat. Interaksi antara budaya dan kota menciptakan
identitas ruang kota atau "roh" dari kota atau lokus Genius. Spirit kota hadir
dalam bahasa arsitektur, benda, ruang dan lingkungan yang diciptakan oleh
budaya yang kuat dan identitas etnis dalam individu sosial, budaya, ekonomi,
politik dan sejarah. Pengolahan dan pelestarian budaya sebagai makna dan
identitas kota tidak keberatan; sebaliknya, arsitektur yang diawetkan hanya jika
mereka tetap hidup, yaitu untuk mengatakan digunakan.
b. Pembangunan kota-kota di Indonesia dan di Bali
Di Indonesia, kata "negara" yang dikenal sejak abad kelima di era Kutai kerajaan
(Borneo) di masa pemerintahan Raja Mulawarman. Negara-negara kecil, tidak
stabil dan berkompetisi. Pada saat Kertanegara (kerajaan Singasari, Pulau Jawa,
1268-1292) negara itu stabil dalam masa pertumbuhan. Bentuknya adalah "kota300

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

negara" yang di pusat kota diwakili oleh puri dan kuil. Negara pertama yang
mengambil équipementss perkotaan Trowulan ke Majapahit (abad XIV). Kota ini
dibangun di Jawa berdasarkan dasar-dasar agama Hindu dan Buddha. Batas
negara tidak hanya fisik tetapi juga tergantung pada pusatnya, yaitu kapasitas
daya. Kota, yang adalah kekuatan kosmik, dibangun sesuai dengan pola ritual
dengan inti yang terdiri dari puri, kuil dan pasar. Puri adalah pusat budaya dan
prosesi ritual. Pasar adalah tempat umum dan pasar sebagai Agora pada zaman
Yunani kuno. Macapat Konsep ini dikembangkan untuk dengan mudah
mengembangkan desa. Dalam konsepsi ini, unit ekonomi terdiri dari lima desa,
setiap desa memiliki pasar, dan hari setiap kegiatan dihitung setelah kalender
Hindu.
Islam telah berkembang di Mataram kerajaan era (abad kelima belas), dengan
ibukotanya Kota Gede, melalui pertukaran ekonomi dengan Cina, Gujarat (India)
dan Persia. Perannya adalah untuk menetapkan aturan organisasi pasar dalam
bentuk kota. Pasar, bagian dari kegiatan sosial-ekonomi, yang menyebabkan
banyak kota. Di pulau Jawa, sistem ini telah dikenal sebagai Peken Kuta (pasar
kota), di Aceh sebagai Uroe Gantoe, Pekan Baru dan di mana pasar ini terletak di
sebelah sungai (pada tahun 1787). Pada saat itu, Esplanade (Alun-alum) diwakili
pusat orientasi kota. Masjid, puri, pasar dan rumah-rumah yang dibangun di atas
itu semua sekitar.
Kolonisasi Eropa dimulai dengan kedatangan Portugis di tahun 1513. Mereka
bekerja sama dengan Kerajaan Pajajaran untuk menghancurkan kerajaan lain
Fatahillah (1527). Sejak saat itu, lain Eropa (Belanda, Spanyol, Inggris) juga
menetap. Belanda tiba pada tahun 1698. Mereka telah mengobarkan perang
yang dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen, melawan kerajaan lokal. Pada 30 Mei
1619 Jayakarta dihancurkan (sekarang Jakarta) dan kota kolonial pertama
(Batavia) dibangun. Secara bertahap kota-kota tradisional beralih ke Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Alun-alum menjadi pusat kota kolonial, dengan rumah selatan
301

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

dari pemerintah kolonial, barat diawetkan masjid, timur dan utara rumah Eropa
dan asing lainnya (Cina, India dan Arab) dan pasar dikeluarkan dari daerah. Kota
ini telah kehilangan arti dari pusat didedikasikan untuk prosesi ritual dan konteks
kegiatan sosial-ekonomi. Penduduk pemisahan politik (Eropa, non-Eropa dan
pribumi) menghancurkan rasa kota tradisional, sedangkan kehidupan sehari-hari
masyarakat Indonesia masih sangat ditandai oleh spirit keagamaan. Beberapa
arsitek Eropa telah mencoba untuk menerapkan konsep dan nilai-nilai dalam
proyek-proyek lokal mereka. Wolf Schoemaker yang dikandung dekorasi lokal,
Eduard Cuypers, AF Albers, HP Berlage, Maclaine Pont dengan konsep adaptasi
dan kedaerahan Thomas Karsten Herman adalah contoh. Di antara mereka,
Thomas Karsten telah paling mempromosikan integrasi semua penduduk,
berusaha untuk menghapus kebijakan segregasi di kota Indonesia.
Selama Perang Dunia II, Belanda telah membuat Jepang yang menduduki
Indonesia dari tahun 1942 sampai 1945. Ketika itu mengambil kemerdekaannya
(17 Agustus 1945) perkembangan kota terus pertumbuhan ekonomi mewakili
faktor yang paling penting. Perencanaan ini kemudian diadopsi sebagai kebijakan
pemerintah. Fungsi tradisional wajib untuk memodernisasi pasar digantikan oleh
supermarket, bangunan tua dengan set besar (super blok). Modernisasi diterima
sebagai standar internasional yang mewakili kekayaan dan kemajuan, lebih
tepatnya dilambangkan dengan "Amerikanisasi". Kekuatan ekonomi sebagai
mesin pembangunan, menciptakan kota berjiwa. Selain itu, konservasi dan
pelestarian warisan nasional diperhitungkan dalam bentuk materi mereka.
Fenomena ini terjadi di hampir semua kota di Indonesia, termasuk Bali.
Bali menangkap ruang melalui kosmologi Hindu. Dalam pendekatan ini, ruang
makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmos, keduanya mengandung nilainilai yang sama dan elemen yang sama. Satu mencerminkan lainnya.
Penekanannya adalah pada pencapaian keharmonisan antara makrokosmos dan
mikrokosmos, tercermin dalam konsep Tri Hita Karana (Keseimbangan dalam
302

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

hubungan vertikal dan horizontal), korespondensi antara yang ilahi dan diri,
antara alam dan manusia (Budihardjo, 1985 Gelebet, 1985 Sularto, 1987 Saliya,
1975 Parimin, 1986). Prinsip-prinsip ini ditransmisikan dalam urutan hubungan
sakral-profan (Utama, Madya dan Nista) dan mendirikan hirarki struktur spasial
(Sanga Mandala dan Tri Angga) desa tradisional Bali (Desa adat atau desa adat).
Hirarki ini didasarkan pada jaringan candi teritorial. Yang pertama adalah jaringan
dari candi daerah, maka itu dari desa-desa tradisional (desa adat), akhirnya kuil
keluarga (Dadia).
Inilah sebabnya mengapa tata ruang tradisional dibangun sebagai berikut:
regional (Bali), desa adat (desa adat), dusun adat (banjar adat) dan level terendah
diwakili oleh rumah. Oleh karena itu jelas bahwa dalam pendekatan kosmologis,
kota tidak ada. Dan bahkan jika kata-kata kuta, kutanegara, kata Sanskerta atau
pura murni untuk benteng (tapi itu hanya sebuah puri) ada. Pergi ke kota
dipahami untuk pergi ke pusat kekuasaan. Kota tua Bali adalah sebuah kota kecil
dalam tradisi Anglo-Saxon, dilihat sebagai situs pasar periodik (mingguan)
(Wiryomartono 1995). Rotasi ini diterapkan di lima desa adat dalam suatu sistem
yang disebut Mancapat atau Manca Agung, yang meliputi sistem pertahanan dan
aspek sosial-budaya dengan pusat sebagai gatra modal. Ini adalah pusat desa
tradisional yang telah muncul sebagai yang paling kuat dari mereka.
Negara, sebuah kata Sansekerta, sesuai dengan "negara" kontemporer. Ini adalah
khusus sebuah "kota negara," yang terdiri dari beberapa desa tradisional (desa
adat). Menurut Geertz, "negara" Bali akan ada hanya untuk menjadi tuan rumah
upacara ritual. Pandangan ini dikritik oleh Henk Schulte Nordholt (1991), karena
meskipun keberadaan gatra Bali tanpa ritual tidak terpikirkan, kemampuan Raja
untuk memobilisasi dan mengendalikan populasi di kepentingan negara (perang,
upacara keagamaan) untuk mengontrol dan menyesuaikan irigasi dan merupakan
sumber yang kuat dari kekuasaan dan bukti yang cukup dari keberadaan gatra
Bali.
303

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Desa adat (desa adat), sebuah kata Sansekerta, juga tidak ada hubungannya
dengan pertentangan antara perkotaan dan pedesaan di peradaban Barat. Ini
adalah unit teritorial, komunitas dan jaringan candi di beberapa dusun adat
(banjar adat). Secara fisik, istilah ini tidak berarti ukuran yang tepat. Banjar Adat
Beberapa sangat besar dengan sangat banyak orang tetapi ada juga kecil.
Penerapan konsepsi kosmologi ditransmisikan dalam hirarki spasial desa adat:
paling suci (the Utama) untuk candi asli (Pura Puseh), rata-rata (Madya) untuk
fasilitas perumahan dan publik yang Nista (paling haram) untuk pemakaman dan
kuil kematian (Pura Dalem). Persimpangan suci (Pempatan Agung) berada di
pihak Madya.
Kota Bali dibangun dari model desa adat. Yang terakhir merupakan komponen
penting perkotaan dan memiliki posisi yang unik dalam masyarakat Bali. Ini
adalah cikal bakal pusat kota dan simbol kekuatan ekonomi dan orang-orang.
Sebagai bagian dari habitat, memiliki hubungan yang sangat kuat dengan pusat
kekuatan ekonomi dan politik. Dalam Pempatan Agung kita menemukan
peralatan sehubungan dengan hierarki sakral dan profan, pasar (Peken), puri
(puri), kuil (pura), dan esplanade (alum tawas). Masyarakat Bali berlatih kegiatan
sosial dan keagamaan di tempat-tempat ini. Singkatnya, Pempatan Agung
constutue citra budaya Bali. Model ini khas dari kota tua menjadi pusat kekuasaan
politik dan ekonomi: Denpasar, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Mengwi,
Tabanan dan Bangli.
Konsep modern kota sebagai unit administratif yang diterapkan selama
penjajahan oleh Belanda 1908-1942, sesuai dengan struktur administrasi berikut:
residentie-afdeling-onderafdeling / departemen-kabupaten / kota perbekelan /
Kelurahan -banjar administrasi / dusun administrasi. Sistem ini diciptakan untuk
melemahkan kekuatan kerajaan lokal dan untuk mengkonsolidasikan penjajahan.
Kota sebagai pusat ekonomi dan bisnis didorong dari daerah pemukiman Arab
dan Cina dan terpinggirkan petani pribumi.
304

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Meskipun kondisi ini, orang Bali selalu mengikuti prinsip-prinsip kosmologis
dalam proses pengembangan desa tradisional mereka dan rumah mereka.
Mereka menggunakan tujuh aturan tradisional, ditulis dari abad kesepuluh
kesebelas dalam pelajaran Wiswakarma Asta Bumi, Kosali Asta, Asta Kosala,
Janantaka Brahma Kerti, Dewa Tattwa, Padma Bhumi.
Pendekatan ini dihormati sampai sekarang. Tapi secara fisik, kota administrasi
kontemporer Bali telah disesuaikan dengan kondisi hidup modern. Secara
bertahap, desa-desa ad inistratif telah
enelan

enelan desa adat, anjar ad inistrasi

anjar adat. Fungsi tradisional sekitar Pe patan Agung eru ah.

Penciptaan lembaga baru dan fungsi, seperti pusat perbelanjaan, pusat rekreasi,
mengubah mantan penggunaan lahan. Lokasi strategis Pempatan Agung
membuat tanah yang paling dicari dari daerah lain. Kondisi ini menempatkan
tekanan untuk mengubah fungsi sistem tertentu. Daerah perumahan daerah
pusat perdagangan atau pusat administrasi. Pertumbuhan perkembangan
kehidupan modern yang dihasilkan oleh pariwisata menciptakan komponen
perkotaan baru yang merusak pola tanah tradisional Bali dan akhirnya mengubah
arah tanah. Desa adat telah kehilangan ekspresi nilai-nilai spasial mereka dalam
kehidupan sehari-hari yang masih mempertahankan nilai-nilai lainnya. Jadi apa
yang telah menjadi desa adat dengan puri sebagai pusat? Dalam kehidupan
sehari-hari, baik sosial dan keagamaan, masih berfungsi dengan baik. Memang,
85% dari populasi terdiri dari desa-desa adat dari anggota yang mematuhi
Peraturan adat (awig-awig) lebih dari pada hukum. Mereka masih percaya bahwa
pusat desa adalah pusat adat upacara di mana yang baik dan yang jahat dan
menetralisir tempat takhta Siwa. Ini adalah pusat energi spiritual desa.
Singkatnya, desa adat sebagai model organisasi masih hidup dalam semua sosial,
budaya, ritual dan ruang.
The kohabitasi dari praktek prinsip kosmologis desa adat dalam kehidupan seharihari dan pelaksanaan peraturan kota administrasi di wilayah itu telah
305

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

membingungkan warga dan pengembang. Saling adaptasi antara dua pendekatan
ini sulit karena ini sesuai dengan dua kutub yang sama sekali berbeda. Selain itu,
kota dan desa tradisional merata diwakili dalam stratifikasi spasial modern. Tapi
keinginan dan desakan untuk memulihkan rasa kota, diwakili oleh kesatuan sosial
budaya desa adat dalam pendekatan teritorial kontemporer Bali masih sangat
kuat

1.2 RUMUSAN MASALAH
Pembangunan fisik (berkat pertumbuhan ekonomi, teknologi dan politik) kotakota di Bali dengan pusat Pempatan Agung, sangat cepat.Selain itu kehidupan
budaya Bali menolak dan menyesuaikan, yang mengatakan, perubahan budaya
mengerem. Pertanyaan besar adalah: melakukan perubahan fisik, termasuk
Pempatan Agung, menganggap kehidupan budaya Bali? Apa perkembangan
terbaik untuk melestarikan kehidupan budaya Pempatan Agung Bali di masa
depan? Bagaimana menjaga spirit Pempatan Agung Bali dalam mengembangkan
kota?

1.3 TUJUAN PENELITIAN
Untuk

enja a hipotesis hipotesis ah a spirit dari kota-kota di Bali adalah

dari pusat desa adat (Pempatan Agung) dan perencanaan tata ruang inti,
penelitian ini difokuskan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:






Apa makna Pempatan Agung untuk masyarakat Bali?
Apa saja perubahan yang terjadi diPempatan Agung (morfologis, spiritual
dan simbolis)?
Apa harapan masyarakat untuk Pempatan Agung di masa depan?
Apa metode pelestarian yang tepat bagi Pempatan Agung dalam
pengembangan kehidupan modern sebagai alat perencanaan tata ruang.

306

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Dalam penelitian ini akan diusulkan model perubahan Pempatan Agung seperti
yang diinginkan oleh masyarakat Bali untuk kota mereka di masa depan dan
secara umum, model konservasi kota bersejarah. Usulan model ini diharapkan
berguna untuk pemerintah Bali dalam proses pembangunan kota dan membantu
mengurangi kontradiksi antara pembangunan modern dan nilai-nilai lokal

1.4 Pendekatan
a. Domain penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian terapan. Dalam pendekatan diekplorasi
hubungan antara budaya dan kota menurut para geograf, ahli sejarah, arsitek dan
arsitek perkotaan (urban designer). Dalam penelitian ini, difokuskan pada
rancang kota, terutama dengan pendekatan budaya. Untuk memahami asal-usul
dari bentuk materi, studi ini akan fokus pada sejarah politik dan morfologi kota,
mengingat berikut:
1. Sebuah kota membutuhkan karakter tertentu sebagai tengara dan setiap
tempat memiliki diprediksi, makna dan identitas yang makhluk disimpan
dalam proses pembangunan, khususnya konservasi.
2. Perkembangan kota ini berkaitan dengan sangat kompleks multi-dimensi,
sosial, budaya, politik, ekonomi, teknologi dan alam. Meskipun kontradiksi
antara nilai-nilai budaya dan ekonomi, orang Bali selalu menerima
pembangunan, termasuk pariwisata, karena merupakan sumber penciptaan
dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, pembangunan harus dilakukan
oleh keseimbangan antara nilai-nilai lokal dan kepentingan politik-ekonomi
untuk menciptakan kota yang berkelanjutan untuk budaya, tata ruang,
politik dan ekonomi
3. Budaya dinamis, tetapi tingkat adaptasi terhadap perkembangan budaya
masing-masing berbeda. Dengan demikian budaya Hindu sebagai budaya
Bali memberikan implikasi pada pertumbuhan ekonomi. Budaya masih hidup
307

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

dalam kehidupan sehari-hari saat ini Bali dan menyesuaikan dengan tempat
ide, waktu, keadaan (desa, kala, patra). Dengan kata lain: budaya Bali
menolak dan sekaligus menerima pembangunan. Untuk ini, pengembangan
apapun harus memperhitungkan faktor budaya .
b. Beberapa studi tentang Bali
Bali adalah salah satu laboratorium yang sangat baik dari studi untuk memahami
hubungan antara budaya dan kota, terutama untuk pikiran oriental kontemporer.
Kota pertama Bali yang dibangun di atas fondasi tradisional yang berkaitan
dengan agama dan adat istiadat orang Bali Hindu. Imam adalah pemimpin agama
dan raja adalah pemimpin negara-negara tradisional (Negara). Sebagai pemimpin
negara, raja dapat memobilisasi semua orang termasuk imam untuk upacara dan
ritual keagamaan untuk melawan musuh (Nordholt, 1991; Geertz, 1980).
Pedanda hanya berkaitan dengan urusan agama, sedangkan raja berurusan
dengan urusan politik. Akibatnya, wilayah agama selalu terpisah dari puri. Selain
itu, desa adat Bali (negara) adalah otonom. Memiliki wilayah penduduk dan peran
sendiri. Meskipun terletak di pusat kota, selalu bernama Desa Adat. Beberapa
desa adat membentuk sebuah kota, bahkan jika semua kondisi ini masih hadir
dalam morfologi kota Bali. Selama sejarah panjang, bentuk pemerintahan
berubah di setiap zaman dan bentuk kota telah beradaptasi. Dalam situasi yang
meminta campuran kelompok etnis Indonesia, pertanyaan yang paling penting
adalah bagaimana kota mengakomodasi kepentingan yang berbeda dari orang.
Akhirnya, kekuatan ekonomi saat ini yang dominan, terutama di sektor pariwisata
dan komersial. Dalam proses perencanaan kota Bali, dominasi ekonomi ini
menciptakan konflik antara pembangunan tata ruang dan pemeliharaan nilai-nilai
budaya.
Umumnya, kota Bali keduanya makrokosmos dan mikrokosmos. Nilai-nilai dan
norma-norma sosial budaya dan agama terkait dengan citra pusat magis
(mandala). Sebagai mikrokosmos, mereka memiliki kepala, tubuh dan kaki
308

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

sehingga sebagai makrokosmos, mereka memiliki atmosfer (diwakili oleh udara
dan Gunung Suci), litosfer (diwakili oleh tanah dan rumah ) dan hidrosfer (diwakili
oleh laut). Konsepsi ini masih berlaku dengan skala membaca apapun, bangunan
kecil seperti terbesar, kota dan seluruh pulau Bali.
Banyak studi ilmiah telah dilakukan pada Bali atau oleh para peneliti lokal atau
oleh orang asing. Satu catatan studi tentang dampak sosial-budaya pariwisata
(MacKean 1978 Noronha, 1980; Picard, 1992; Bandem, 1993 Pisau, 1993;
Paturusi, 2000) dan beberapa karya Ilmiah Pusat Universitas Udayana ( Bali) pada
dampaknya sosio-ekonomi (Erawan, 1987) dan dampak fisik pada lingkungan
(Mardani, 1984).
Kekuasaan politik sebagai aktor budaya Bali telah menjadi subyek dari penelitian
yang luas oleh Nordholt (1986,1991,1996), hubungannya dengan arsitektur oleh
Putra (1998) dan hubungannya dengan budaya dan sosiologi di desa-desa Bali
oleh Geertz (1959,1966,1980), Goris (1935) dan Belo (1970); hubungannya
dengan agama, simbol-simbol yang dipelajari oleh Cohen (1969.1974) dan Forge
(1980).
Identifikasi bentuk dan masalah arsitektur telah diteliti oleh Salija (1975) Sularto
(1980), Budihardjo (1985), Gelebet (1986), Pardiman (1986), Paturusi (1989)
Sulistyawati (1995 ) Lancret (1997). Ardi Pardiman Parimin jelas menunjukkan
bahwa rumah tradisional Bali terletak pada empat atribut yaitu:





sosiologis, dengan sistem hubungan Bali ditandai dengan sistem desa adat
banjar, subak, Sekehe, Dadia, perbekelan;
morfologi terkait dengan perumahan tradisional (inti dan pinggiran);
fungsional, yang berkaitan dengan praktek-praktek sosial dan keagamaan;
simbolik, berhubungan dengan arah dan sumbu kosmologis.

Selama evolusinya, desa Bali telah berubah sedikit demi sedikit. Perubahan
budaya habitat Bali telah lebih cepat di sektor non-sakral, seperti rumah, fasilitas
309

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

umum di daerah suci (peralatan agama, kuil atau keluarga atau kolektif) (Paturusi,
1989). Menurut Sulistyawati, perubahan peralatan non-sakral telah disesuaikan
dengan peraturan publik. Tapi penelitian ini tidak memperhitungkan fitur
arsitektur: tidak ada penelitian telah dilakukan pada Pempatan sebagai embrio
pusat Agung Bali kota, perkembangannya diversifikasi, hubungan budaya dan
perannya dalam kehidupan Bali kontemporer.
c. Spirit pusat kota di Bali: sebuah hipotesa
Menurut
perke

Bagus

Wiryomartono,

beberapa

fenomena

terjadi

dalam

angan kota konte porer Indonesia: enurunn a pusat , enga urkan

perbedaan antara kota dan desa, kurangnya budaya urban, kurangn a agora
dan keberadaan kelurahan (desa kota / kampung kota) (Wiryomartono 1995:
171-182). Kota Bali juga dipengaruhi oleh perkembangan ini. Kota tumbuh lebih
dan lebih karena pertumbuhan penduduk, yang heterogenitas diperlukan karena
migrasi. Kegiatan ekonomi telah bergeser dari pertanian ke industri, terutama
pariwisata.
Dalam konteks budaya Bali, perubahan profesi penghuni juga berubah gaya
hidupnya dan akhirnya mengubah budaya sendiri (sistem nilai dan standar
pemikiran dan produksi, distribusi fungsi dan tugas). Pariwisata yang
menghasilkan pertumbuhan ekonomi merupakan pendorong yang kuat dari
perubahan. Ia telah mengganti dari sistem transportasi tradisional ke sistem
transportasi modern, pasar tradisional jadi supermarket. Aspek lain dari
perubahan berkaitan dengan evolusi sistem politik monarki kolonisasi dan
akhirnya ke republik yang mengurangi fungsi dan kekuatan puri. Kemudian
meskipun munculnya dualisme antara kekuasaan adat dan kekuasaan
administratif, puri tetap menjadi pusat budaya yang mengelola tidak hanya
urusan politik tetapi juga urusan agama dan adat istiadat. Akhirnya, teknologi
telah mengubah semua penampilan tradisional di bawah pengaruh modernitas,
akhirnya menciptakan wajah kota baru Bali.
310

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Variabel yang perubahan yang lambat adalah Hindu, struktur sosial tradisional,
peraturan adat dan tanah tradisional Bali:


Hindu menjiwai semua kehidupan sehari-hari orang Bali. Bahkan jika
perubahan pendidikan di bawah pengaruh nilai-nilai dan standar eksternal,
mereka hanya mempengaruhi unsur perifer agama (misalnya: bahan dan





cara Upacara).
Struktur sosial tradisional dibagi antara sistem kasta (didukung oleh agama
Hindu) dan adat setempat.
Kebiasaan tradisional Hindu hasil menetapkan hubungan antara manusia,
alam dan Tuhan.
Akhirnya, regulasi publik telah disesuaikan norma-norma dan nilai-nilai
tradisional dalam pengembangan organisasi. Meskipun peraturan hanya
mempengaruhi apa yang material, upaya ini cukup signifikan untuk
mengurangi

konflik antara kebutuhan

untuk

memodernisasi

dan

memerlukan identitas lokal (lihat Gambar 1).
Sebaliknya, variabel lain mendukung perubahan: Pariwisata telah menjadi suatu
kegiatan penting dalam kehidupan sehari-hari Bali. Untuk sampai sekarang
budaya Bali terutama yang berbasis pertanian. Perubahan aktivitas juga
mengubah kehidupan sehari-hari orang Bali.


Sistem politik kerajaan mendominasi transformasi spasial desa tradisional
Bali. Transisi dari monarki ke kolonisasi dan republik juga dipengaruhi



transformasi spasial, termasuk peran kekuatan kosmik dari pusat.
sistem transportasi dan konstruksi mempengaruhi bentuk perencanaan tata
ruang. Perkembangan dalam teknik otomotif dan konstruksi telah muncul
dengan modernisasi. Model spasial desa tradisional Bali telah berubah, dan
dengan itu proses ritual, dimensi ruang dan perjalanan kecepatan.

311

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Variabel bebas perubahan:
1.
Pariwisata
2.
Sistem politik
3.
Teknologi

Variabel terikat :
1. Struktur umum :
 Parhyangan : Pura
 Pawongan : Masyarakat
 Palemahan : wilayah
2. Struktur spasial
a. Desa Adat

Pura Puseh

Permukiman

Pura Dalem dan kuburan
b. Pempatan Agung :
 Pura Desa
 Bale Kul-kul
 Puri
 Bale Banjar/Wantilan
 Pohon beringin
 Pasar
 Alun-alun

Perubahan
1.
Sistem
Pembangunan
2. Profesi pariwisata
3. Sistem Politik

Hipotesis

Hasil Spasial
1. Tradisi Vs modernitas
2. Pelemahan “pusat”
3. Kaburnya batas sacral dan profan
4. Pertumbuhan kota
5. Kampung-kota

Spirit kota-kota di
Bali berasal dari
“pusat” desa adat
yaitu
Pempatan
Agung
yang
mengandung tata
cara pengaturan
ruang

Keberlanjutan
1. Kehidupan beragama
2. Kekerabatan dan aktifitas sosial
3.Aturan adat (awig-awig)

Variabel bebas keberlanjutan:
1. Agama Hindu
2. Struktur social tradisional
3. Adat istiadat
4. Hukum nasional

Gambar 1. Hipotesis Penelitian

312

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Dalam konteks spasial, variabel-variabel ini sehingga mengubah morfologi dan
tipologi desa tradisional Bali menjadi besar sebagai kota tradisional. Kota-kota
baru melemahkan kekuatan pusat tradisional pertumbuhan mereka. Fungsi
sekuler dan bergerak mendekati fungsi sakral, sehingga batas antara sakral dan
profan menghilang. Konflik antara modernitas dan tradisi yang rumit. Orang Bali
percaya bahwa kota masih mencerminkan makrokosmos dan mikrokosmos yang
adalah terjemahan dari nilai-nilai tradisional dan norma agama. Morfologi dan
tipologi kota dan persepsi telah berubah. Jika perubahan ini terutama
mempengaruhi pinggiran, yang mengatakan, ruang sekuler, pusat tahan terhadap
perubahan budaya.
Antara

tradisi

(kecenderungan

untuk

kelangsungan

dan

modernitas

(kecenderungan untuk berubah) dalam komposisi spasial desa tradisional Bali
pada akar kota hari ini, spirit yang terkait dengan pusat kekuasaan (yang
Pempatan Agung) adalah titik penyatuan antara dua kutub ini. Kami akan mencari
spirit ini dan menggunakannya untuk memberikan perencanaan tata ruang kota
Bali saat ini

1.5 METODE PENELITIAN
Menurut Susanne Almeida-Klein (1994: 193) tidak ada metodologi kuantitatif
yang pasti dan cukup relevan untuk menilai dimensi budaya dalam
pembangunan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk penelitian ini
dan penelitian yang paling sosial. Penelitian ini menggunakan metode EC
(Environment-Compertement) yang secara sistematis mengamati kegiatan dan
interaksi dari orang di lingkungan mereka (di sini: Desa Adat kota) dan pada saat
yang sama mengamati kemampuan kota untuk mengelola kegiatan ini (Zeisel,
1981). Kami akan mempertanyakan pada:



aktor yang berbeda (pemerintah, tokoh adat, arsitek, guru, dll),
tindakan mereka terhadap lingkungan dalam konteks yang berbeda,
313

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA



hasil dari tindakan ini dalam rekonstruksi morfologi (hubungan spasial).

Komentar dan survei penduduk adalah dua metode yang dominan. Pengamatan
lingkungan didasarkan pada tiga elemen: Bahan (benda, ruang, hubungan antara
ruang, kualitas), administrasi (formal dan informal regulasi) dan perilaku
(karakteristik masyarakat, kegiatan mereka, antar hubungan mereka: konflik,
aliansi , asosiasi). Didedikasikan untuk roh dari kota budaya Bali, penelitian ini
akan mempelajari evolusi spasial (morfologi dan atribut simbolik) dari Pempatan
Agung, peraturan pemerintah dan, peraturan administrasi adat dan karakteristik
demografi, agama dan kepercayaan, sistem sosial kekerabatan, perilaku orang
dalam kegiatan sehari-hari mereka. Pencarian jawabannya akan dengan
mempelajari reaksi penduduk terhadap lingkungannya. Apa yang ada di konsep
lingkungan, apa pengetahuan, nilai apa, apa yang terjadi di kehidupan sehari-hari,
tindakan apa untuk mempertahankan lingkungan ini?

1.6 Tahapan penelitian
Untuk menjawab pertanyaan ini, pekerjaan ini dibagi menjadi lima tahap:
Tahap I: Studi tentang kota dan budaya
Fase ini ingin mendefinisikan konsep budaya kota, spirit kota dan semua
pertanyaan tentang masalah identitas dan citra kota dalam hubungannya dengan
budaya. Penelitian ini merupakan penelitian literatur berbasis.
Tahap II: Studi kasus
Ini melibatkan dua langkah: pengamatan lingkungan dan pengobatan jawaban.
Untuk ini perlu untuk memilih zona untuk tahap pertama dan diwawancarai
untuk yang kedua.

314

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Tahap III: Analisis perubahan
Kami akan menganalisis perubahan yang diamati dan kami akan mencari
konsekuensi budaya mereka. Kami akan membandingkan struktur spasial oleh
"layering" untuk menemukan tingkat perubahan morfologi dan simbolik.
Berdasarkan hasil ini, kita akan menyoroti perubahan dalam "spirit" dari
Pempatan Agung diamati oleh orang atau lembaga yang bertanggung jawab. Hasil
yang diharapkan adalah jawaban hipotesis, masalah dan kesempatan untuk
mengembangkan Pempatan Agung dalam proyek perkotaan (urban design).
Tahap IV: Pencarian untuk pelajaran
Untuk lebih memahami metode pelestarian spirit kota, kita akan mempelajari
kasus kota-kota Eropa. Dari sejarah morfologi dan disiplin dari proyek perkotaan,
kita akan memilih beberapa elemen penting dari pusat kota Paris (Place des
Vosges, Champs-Elysées, Bastille), Barcelona (Ramblas, Plaza Catalonia, Diamond
Place, Place Royale ) dan Sarlat.
Tahap V: Rekomendasi: pelestarian spirit kota Bali
Sebagai budaya Eropa dan Bali berbeda, penerapan metode konservasi harus
disesuaikan dengan kondisi setempat (potensi, masalah dan peluang) lokal.
Dengan demikian kita akan mengusulkan beberapa model konservasi spirit pusat
kota Bali dari hasil analisis kami. Proposal ini dibuat dalam konteks proyek
perkotaan mengintegrasikan dimensi budaya dalam perencanaan tata ruang.

315

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Gambar 2. Tahapan Penelitian

1.7 STRUKTUR DISERTASI
Disertasi ini terdiri atas tiga bagian. Pertama melihat kota dan "spirit"
berdasarkan faktor budaya. Akan dieksplorasi teori dan konsep dari kota, budaya,
spirit kota dan proyek perkotaan. Pendekatan ini diharapkan menghasilkan
kerangka teoritis dan konseptual interaksi antara kota dan budaya. Hal ini
dilakukan melalui studi bibliografi, penelitian lebih yang telah dilakukan dan
sumber tertulis lainnya.
Kedua memberikan informasi umum dari lapangan, struktur sosial dan
administrasi dari kota-kota di Bali, kisah Bali, morfologi dan tipologi Pempatan
Agung Bali di kota, di bawah setiap rezim politik (tradisional, monarki, kolonial,
republik) . Untuk ini, data dikumpulkan dari perpustakaan dan survey lapang.
Dengan membandingkan hasil, diharapkan dihasilkan hipotesis dari keberadaan
spirit Pempatan Agung. Kemudian dianalisis perubahan morfologi diamati dan
dampak budaya menyebabkan perubahan ini. Langkah berikutnya adalah
membuat sebuah analisis oleh "berlapis", untuk membandingkan struktur spasial.
Perubahan morfologi dan simbolik dibagi menjadi tiga kelas: perubahan,
kesinambungan, adaptasi. Berdasarkan hasil ini, dianalisis pendapat dari orang

316

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

atau lembaga yang bertanggung jawab (pemerintah, tokoh adat, arsitek, guru, dll)
dengan informasi yang dikumpulkan dengan teknik wawancara.
Bagian ketiga berkaitan dengan konservasi spirit kota dengan belajar dari
pengalaman Eropa. Mengacu pada hasil studi penelitian dan komparatif,
ditunjukkan bagaimana menggunakan Pempatan Agung, sebagai "spirit" kota Bali
untuk masa depan dan integrasi ke dalam model rancang kota

317

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

BAGIAN PERTAMA: BUDAYA, KOTA, DAN SPIRIT: TEORI
DAN KONSEP
1.1 Konsep dan Teori Kota
Apa yang saat ini diketahui tentang hubungan antara budaya dan kota? Apa ideide, konsep dan hubungan tentang kota dan budaya? Apa hasil dari hubungan
antara kota dan budaya? Bagaimana menerapkan konsepsi budaya dalam
rancangan kota? Apakah masalah-masalah yang harus dihindari? Bagian ini akan
melihat evolusi hubungan antara budaya dan kota dalam konteks proyek
perkotaan. Pertanyaan-pertanyaan di atas dihubungkan dengan pembangunan
karena pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan perubahan struktural dan
menimbulkan masalah sosial budaya di negara-negara Timur. Lebih penting lagi,
perlu dipahami perubahan dan implikasi budaya di kota.
Menurut Claval (1995: 5-8) budaya adalah mediasi antara manusia dan alam,
warisan dan hasil persilangan komunikasi dan konstruksi. Hal ini memungkinkan
individu dan kelompok untuk proyek ke masa depan dan di luar dalam beragam.
Budaya adalah, untuk sebagian sangat besar, merupakan faktor penting dari
diferensiasi sosial dan objek istimewa dari geografi budaya. Ini adalah spirit yang
mereproduksi urutan tertentu. Ini adalah sebuah sistem makna diproduksi dan
terintegrasi oleh masing-masing melalui kegiatannya, hubungan dan lembagalembaganya (William, 1982). Awalnya, budaya adalah sistem simbolik alam dan
pikiran (Geertz, 1983). Sebagai sebuah sistem makna dan simbol, itu merupakan
kesinambungan dan perubahan. Hal ini berakar dalam kehidupan sosial materi
(Agnew et al, 1984. 1-8). Elaborasi kota dan budaya juga dielaborasi menurut
menurut Almeida (1994). Agnew, et al., (1984 : 1); Koentjoroningrat, (1974 : 11);
Sutedjo, (1982 : 4-19), Koentjoroningrat (1981 : 12 ), dan Messier,(2001). Untuk
pemahaman lebih lanjut dielaborasi evolusi kota-kota di dunia barat dan timur
318

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

mulai dari jaman antik sampaia sekarng. Dari perbandingan tersebut disimpulkan
bahwa walaupun pada awalnya memiliki pendekatan yang sama, dalam
evolusinya dua dunia tersebut memiliki perbedaan pendekatan dalam
perancangan kota. Dimensi sosial budaya menjadi