BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. NAPZA - GAMBARAN PELAKSANAAN THERAPEUTIC COMMUNITY TAHAP ORIENTASI PADA PENYALAHGUNAAN NAPZA DI IPWL YPI NURUL ICHSAN AL ISLAMI KAB.PURBALINGGA TAHUN 2016 - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. NAPZA a. Pengertian NAPZA NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan

  adiktif lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan (BNN, 2009). NAPZA (Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) adalah zat yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi system saraf pusat (SPP) sehingga menimbulkan perubahan aktivitas mental, emosional, dan perilaku penggunanya dan sering menyebabkan ketagihan dan ketergantungan terhadap zat tersebut (Hidayat, 2005).

  NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi (Kemenkes RI, 2010).

  b.

Jenis–Jenis NAPZA

  Menurut Partodiharjo (2008), NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok.

  1)

Narkotika

  Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi.

  Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.

  Daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain.

  b) Narkotika golongan II adalah: narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian.

  Contohnya adalah petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain. c) Narkotika golongan III adalah: narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian.

  Contohnya adalah kodein dan turunannya. 2)

Psikotropika

  Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa (psyche). dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu:

  a) Golongan I adalah: psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya. Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.

  b) Golongan II adalah: psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan sebagainya.

  c) Golongan III adalah: psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam, dan sebagainya.

  d) Golongan IV adalah: psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah nitrazepam (BK, mogadon, dumolid), diazepam, dan lain- lain.

  3)

Bahan Adiktif Lainnya

  Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya: rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan dan thinner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin, yang bila dihisap, dihirup, dan dicium, dapat memabukkan. Jadi, alkohol, rokok, serta zat-zat lain NAPZA.

  c.

Penyalahgunaan NAPZA

  Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya “enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai secara salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat.

  Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasa ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik (Sumiati, 2009).

  Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

  Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu (Sumiati, 2009): 1)

  Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau akan mengalami gejala putus zat. Selain ditandai dengan gejala putus zat, ketergantungan fisik juga dapat ditandai dengan adanya toleransi. 2)

  Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan NAPZA tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang sangat kuat untuk menggunakan NAPZA tersebut walaupun ia tidak mengalami gejala fisik.

  d.

  NAPZA yang sering disalahgunakan beserta efek yang ditimbulkan Menurut Martono & Joewana (2008), jenis NAPZA yang sering disalah gunakan oleh orang antara lain:

  1) Opioida (morfin, heroin, putaw, dan lain-lain)

  Segolongan zat dengan daya kerja serupa, ada yang alami, sintetik, dan semi sintetik. Opioida alami berasal dari getah opium

  poppy (opiat), seperti mortin, opium, dan kodein .Contoh opioida semi sintetik adalah heroin/putauw dan metadon fentanyl (china white). Potensi menghasilkan nyeri dan menyebabkan ketergantungan heroin adalah sepuluh kali lipat dibanding morfin dan kekuatan opoida sintetik 400 kali lipat dan kekuatan morfin.

  Cara pemakaiannya adalah disuntikan ke dalam pembuluh darah atau di hisap melalui hidung setelah dibakar. Pengaruh jangka pendek: hilangnya rasa nyeri, ketegangan berkurang, munculnya rasa nyaman (eforik) diikuti perasan seperti mimpi dan rasa mengantuk ,dan pemakai dapat meninggal karena overdosis. Pengaruh jangka panjang: seperti sembelit, gangguan menstruasi, dan impotensi karena pemakaian jarum suntik yang tidak steril timbul abses, hepatitis B/C yang merusak hati dan penyakit HIV/AIDS yang merusak kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi dan akhirnya menyebabkan kematian. 2)

Ganja (marijuana, cimeng, gelek, hasis)

  Ganja mengandung THC (tetrahydro-cannabinol) yang besifat psikoaktif. Ganja yang dipakai berupa tanaman kering yang dirajang ,dilinting, dan disulut seperti rokok. Menurut Undang-Undang ,ganja tergolong narkotik golongan I. Segera setelah pemakain muncul cemas, rasa gembira, banyak bicara, tertawa cekikikan halusinasi dan berubahnya perasaan waktu (lama dikira sebentar) dan ruang (jauh dikira dekat), peningkatan denyut jantung, mata merah, mulut dan tenggorokan kering, dan selera makan meningkat. Pengaruh jangka panjang: daya pikir berkurang, motivasi belajar turun, perhatian kesekitarnya berkurang, daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun mengurangi kesuburan, peradangan jalan nafas, aliran darah ke jantung berkurang dan terjadi perubahan pada sel-sel otak. 3)

Kokain (kokain, crack, daun koka, pasta koka)

  Kokain berasal dari tanaman koka, tergolong stimulansia (meningkatkan aktivitas otak dan fungsi organ tubuh lain). Menurut Undang-Undang, kokain termasuk narkotika golongan I. Kokain Charlie, srepet, snow/salju putih. Digunakan dengan cara disedot melaluin hidung, dirokok, atau disuntikkan. Kokain dengan cepat menyebabkan ketergantungan.

  Segera setelah pemakaian :rasa percaya diri meningkat, banyak bicara, rasa lelah hilang, kebutuhan tidur berkurang, minat seksual meningkat, halusinasi visual dan taktil (seperti ada serangga merayap), waham/curiga (paranoid). Pengaruh jangka panjang: kurang gizi, anemia, sekat hidung rusak, dan terjadi gangguan jiwa (psikotik). 4)

  Golongan Amfetamin (amfetamin, ekstasi, sabu) Golongan amfetamin termasuk stimulansia susunan saraf pusat.

  Disebut juga upper, amfetamin sering digunakan untuk menurunkan berat badan karena dapat mengurangi rasa lapar, atau mengurangin rasa kantuk harus begadang. Amfetamin cepat menyebabkan ketergantungan .

  Termasuk golongan amfetamin adalah MDM (ekstasi, XTC, ineks ) dan metamfetamin (sabu), yang banyak disalahgunakan.

  Berbentuk pil warna-warni (ekstasi) atau kristal putih (sabu) amfetamin disebut disainer drug karena dibuat dalam laboratorium gelap yang kandunganya adalah campuran berbagai jenis zat. Remaja dan orang dewasa muda dari bebagai kalangan mengunakan ekstasi dan sabu untuk bersenang –senang.

  (sabu), atau disuntikkan atau dihisap memakai sedotan. Pengaruh jangka pendek: tidak tidur (terjaga), rasa riang, perasaan melambung (fly), rasa nyaman, dan meningkatkan keakraban. Akan tetapi, setelah itu, muncul rasa tidak enak, murung, nafsu makan hilang, berkeringat, haus, rahang kaku dan bergerak-gerak dan badan gemetar serta dapat terjadi gangguan jiwa). Pengaruh jangka panjang: kurang gizi, anemia, penyakit jantung dan gangguan jiwa psikotik. 5)

Golongan Halusinogen: Lysergic Acid (LSD)

  LSD menyebabkan halusinasi (khayalan) dan termasuk psikotropika golongan I. Nama yang sering digunakan adalah acid, red dragon, blue heaven, sugar cubes, trips, tabs. Bentuknya seperti kertas beukuran kotak kecil sebesar seperempat perangko dalam banyak warna dan gambar atau berbentuk pil dan kapsul. Cara pemakainnya adalah dengan meletakkan LSD pada lidah.

  Pengaruh LSD tak dapat diduga. Sensasi dan perasaan berubah secara dramatis, dengan mengalami flashback atau bad trips (halusinansi/penglihatan semu) berulang tanpa peringatan sebelumnya. Pupil melebar, tidak bias tidur, selera makan hilang, suhu tubuh meningkat, berkeringat, denyut nadi dan tekanan darah naik, koordinasi otot terganggu dan tremor dapat merusak sel otak, gangguan daya ingat dan pemusatan perhatian yang diikuti

  6)

Sedativa dan Hipnotika (obat penenang, obat tidur)

  Contoh Sedativa dan hipnotik adalah Lexo, nipam, pil BK, MG, DUM dan Rohyp yang termasuk psikotropika golongan III dan IV dan digunakan dalam pengobatan dengan pengawasan. Tidak boleh diperjualbelikan tanpa resep dokter.

  Orang minum obat tidur atau pil penenang untuk menghilangkan stres atau gangguan tidur. Memang stres berkurang atau hilang sementara tetapi persoalan tetap saja ada. Pengaruhnya sama dengan alkohol, yaitu menekan kerja otak dan aktifitas organ tubuh lain (depresan). Jika diminum bersama alkohol akan meningkatkan pengaruhnya, sehingga dapat terjadi kematian. Segera setelah pemakaian : Muncul perasaan tenang dan otak-otak mengendur. Pada dosis lebih tinggi : tertekannya pernapasan, koma, dan kematian. Pada pemakaian jangka panjang: gejala ketergantungan.

  e.

  Tahapan Pemakaian NAPZA Ada beberapa tahapan pemakaian NAPZA menurut Harlina (2008), yaitu sebagai berikut:

  1) Tahap pemakaian coba-coba (eksperimental)

  Karena pengaruh kelompok sebaya sangat besar, remaja ingin tahu atau coba-coba. Biasanya mencoba mengisap rokok, ganja, atau minum-minuman beralkohol. Jarang yang langsung mencoba

  2) Tahap pemakaian sosial

  Tahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan (saat berkumpul atau pada acara tertentu), ingin diakui/diterima kelompoknya. Mula- mula NAPZA diperoleh secara gratis atau dibeli dengan murah. Ia belum secara aktif mencari NAPZA.

  3) Tahap pemakaian situasional

  Tahap pemakaian karena situasi tertentu, misalnya kesepian atau stres. Pemakaian NAPZA sebagai cara mengatasi masalah. Pada tahap ini pemakai berusaha memperoleh NAPZA secara aktif. 4)

Tahap habituasi (kebiasaan)

  Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap pemakaian teratur (sering), disebut juga penyalahgunaan NAPZA, terjadi perubahan pada faal tubuh dan gaya hidup. Teman lama berganti dengan teman pecandu. Ia menjadi sensitif, mudah tersinggung, pemarah, dan sulit tidur atau berkonsentrasi, sebab narkoba mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-citanya semula hilang. Ia sering membolos dan prestasi sekolahnya merosot. Ia lebih suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga. 5)

Tahap ketergantungan

  Ia berusaha agar selalu memperoleh NAPZA dengan berbagai cara. Berbohong, menipu, atau mencuri menjadi kebiasaannya. Ia sudah tidak dapat mengendalikan penggunaannya. NAPZA telah teman rusak.

  Pada ketergantungan, tubuh memerlukan sejumlah takaran zat yang dipakai, agar ia dapat berfungsi normal. Selama pasokan NAPZA cukup, ia tampak sehat, meskipun sebenarnya sakit. Akan tetapi, jika pemakaiannya dikurangi atau dihentikan, timbul gejala sakit. Hal ini disebut gejala putus zat (sakaw). Gejalanya bergantung pada jenis zat yang digunakan.

  Orang pun mencoba mencampur berbagai jenis NAPZA agar dapat merasakan pengaruh zat yang diinginkan, dengan risiko meningkatnya kerusakan organ-organ tubuh. Gejala lain ketergantungan adalah toleransi, suatu keadaan di mana jumlah NAPZA yang dikonsumsi tidak lagi cukup untuk menghasilkan pengaruh yang sama seperti yang dialami sebelumnya. Oleh karena itu, jumlah yang diperlukan meningkat. Jika jumlah NAPZA yang dipakai berlebihan (overdosis), dapat terjadi kematian.

  f.

  Faktor Risiko Penyalahgunaan NAPZA Menurut Soetjiningsih (2010), faktor risiko yang menyebabkan penyalahgunaan NAPZA antara lain faktor genetik, lingkungan keluarga, pergaulan (teman sebaya), dan karakteristik individu. 1)

  Faktor Genetik Risiko faktor genetik didukung oleh hasil penelitian bahwa remaja dari orang tua kandung alkoholik mempunyai risiko 3-4 kali alkoholik. Penelitian lain membuktikan remaja kembar monozigot mempunyai risiko alkoholik lebih besar dibandingkan remaja kembar dizigot. 2)

Lingkungan Keluarga

  Pola asuh dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap penyalahgunaan NAPZA. Pola asuh orang tua yang demokratis dan terbuka mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA lebih rendah dibandingkan dengan pola asuh orang tua dengan disiplin yang ketat.

  Fakta berbicara bahwa tidak semua keluarga mampu menciptakan kebahagiaan bagi semua anggotanya. Banyak keluarga mengalami problem-problem tertentu. Salah satunya ketidakharmonisan hubungan keluarga. Banyak keluarga berantakan yang ditandai oleh relasi orangtua yang tidak harmonis dan matinya komunikasi antara mereka.

  Ketidakharmonisan yang terus berlanjut sering berakibat perceraian. Kalau pun keluarga ini tetap dipertahankan, maka yang ada sebetulnya adalah sebuah rumah tangga yang tidak akrab dimana anggota keluarga tidak merasa betah. Orangtua sering minggat dari rumah atau pergi pagi dan pulang hingga larut malam. Kebanyakan diantara penyalahguna NAPZA mempunyai hubungan yang biasa- biasa saja dengan orang tuanya. Mereka jarang menghabiskan waktu

  3)

Pergaulan (Teman Sebaya)

  Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA, teman kelompok sebaya (peer group) mempunyai pengaruh yang dapat mendorong atau mencetuskan penyalahgunaan NAPZA pada diri seseorang. Menurut Hawari (2010) perkenalan pertama dengan NAPZA justru datangnya dari teman kelompok. Pengaruh teman kelompok ini dapat menciptakan keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang bersangkutan sukar melepaskan diri. Pengaruh teman kelompok ini tidak hanya pada saat perkenalan pertama dengan NAPZA, melainkan juga menyebabkan seseorang tetap menyalahgunakan NAPZA, dan yang menyebabkan kekambuhan (relapse).

  Bila hubungan orangtua dan anak tidak baik, maka anak akan terlepas ikatan psikologisnya dengan orangtua dan anak akan mudah jatuh dalam pengaruh teman kelompok. Berbagai cara teman kelompok ini memengaruhi si anak, misalnya dengan cara membujuk, ditawari bahkan sampai dijebak dan seterusnya sehingga anak turut menyalahgunakan NAPZA dan sukar melepaskan diri dari teman kelompoknya.

  Marlatt dan Gordon (1980) dalam penelitiannya terhadap para penyalahguna NAPZA yang kambuh, menyatakan bahwa mereka menggunakan NAPZA (mereka kembali bertemu dan bergaul). Kondisi pergaulan sosial dalam lingkungan yang seperti ini merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kekambuhan. Proporsi pengaruh teman kelompok sebagai penyebab kekambuhan dalam penelitian tersebut mencapai 34%.

  4) Karakteristik Individu

  a)

Umur

  Berdasarkan penelitian, kebanyakan penyalahguna NAPZA adalah mereka yang termasuk kelompok remaja. Pada umur ini secara kejiwaan masih sangat labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan sedang mencari identitas diri serta senang memasuki kehidupan kelompok. Hasil temuan Tim Kelompok Kerja Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba Departemen Pendidikan Nasional menyatakan sebanyak 70% penyalahguna NAPZA di Indonesia adalah anak usia sekolah (Jehani, dkk, 2006).

  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2004) proporsi penyalahguna NAPZA tertinggi pada kelompok umur 17-19 tahun (54%).

  b)

Pendidikan

  Menurut Friedman (2005) belum ada hasil penelitian yang menyatakan apakah pendidikan mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA. Akan tetapi, pendidikan ada kaitannya dengan cara keputusan dalam keluarga.

  Hasil penelitian Prasetyaningsih (2009) menunjukkan bahwa pendidikan penyalahguna NAPZA sebagian besar termasuk kategori tingkat pendidikan dasar (50,7%). Asumsi umum bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin mempunyai wawasan/pengalaman yang luas dan cara berpikir serta bertindak yang lebih baik. Pendidikan yang rendah memengaruhi tingkat pemahaman terhadap informasi yang sangat penting tentang NAPZA dan segala dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, karena pendidikan rendah berakibat sulit untuk berkembang menerima informasi baru serta mempunyai pola pikir yang sempit. c) Pekerjaan

  Hasil studi BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2009 di kalangan pekerja di Indonesia diperoleh data bahwa penyalahguna NAPZA tertinggi pada karyawan swasta dengan prevalensi 68%, PNS/TNI/POLRI dengan prevalensi 13%, dan karyawan BUMN dengan prevalensi 11% (BNN, 2010).

  g.

  Dampak Penyalahgunaan NAPZA Menurut Alatas (2010), penyalahgunaan NAPZA akan berdampak sebagai berikut:

  Terhadap kondisi fisik

  a) Akibat zat itu sendiri

  Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat, misalnya intoksikasi yaitu suatu perubahan mental yang terjadi karena dosis berlebih yang memang diharapkan oleh pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya terputus akan terjadi kondisi putus zat. (1)

  Ganja: pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga mudah terserang infeksi. Ganja juga memperburuk aliran darah koroner. (2)

  Kokain: bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi sekat hidung, jangka panjang terjadi anemia dan turunnya berat badan.

  (3) Alkohol: menimbulkan banyak komplikasi misalnya gangguan lambung, kanker usus, gangguan hati, gangguan pada otot jantung dan saraf, gangguan metabolisme, cacat janin dan gangguan seksual.

  b) Akibat bahan campuran/pelarut: bahaya yang mungkin timbul antara lain infeksi, emboli c)

  Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril. Akan terjadi infeksi, berjangkitnya AIDS atau hepatitis.

  d) Akibat pertolongan yang keliru misalnya dalam keadaan tidak

  e) Akibat tidak langsung misalnya terjadi stroke pada pemakaian alkohol atau malnutrisi karena gangguan absorbsi pada pemakaian alkohol.

  f) Akibat cara hidup pasien. Terjadi kurang gizi, penyakit kulit, kerusakan gigi dan penyakit kelamin.

  2)

Terhadap kehidupan mental emosional

  Intoksikasi alkohol atau sedatif-hipnotik menimbulkan perubahan pada kehidupan mental emosional yang bermanifestasi pada gangguan perilaku tidak wajar. Pemakaian ganja yang berat dan lama menimbulkan sindrom amotivasional. Putus obat golongan amfetamin dapat menimbulkan depresi sampai bunuh diri.

  3)

Terhadap kehidupan sosial

  Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan obat akan mengganggu fungsinya sebagai anggota masyarakat, bekerja atau sekolah. Pada umumnya prestasi akan menurun, lalu dipecat/dikeluarkan yang berakibat makin kuatnya dorongan untuk menyalahgunakan obat.

  Dalam posisi demikian hubungan anggota keluarga dan kawan dekat pada umumnya terganggu. Pemakaian yang lama akan menimbulkan toleransi, kebutuhan akan zat bertambah. Akibat rumah tangga sampai perceraian. Semua pelanggaran, baik norma sosial maupun hukumnya terjadi karena kebutuhan akan zat yang mendesak dan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan bersifat agresif dan impulsif h. Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA

  Pencegahan penyalahgunaan NAPZA menurut BNN (2009), meliputi: 1)

Pencegahan primer

  Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada mereka, individu, keluarga, kelompok atau komunitas yang memiliki risiko tinggi terhadap penyalahgunaan NAPZA, untuk melakukan intervensi agar individu, kelompok, dan masyarakat waspada serta memiliki ketahanan agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor yang dapat menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan baik.

  2) Pencegahan sekunder

  Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas yang sudah menyalahgunakan NAPZA. Dilakukan pengobatan agar mereka tidak menggunakan NAPZA lagi. 3)

  Pencegahan tersier Pencegahan tersier ditujukan kepada mereka yang sudah pernah menjadi penyalahguna NAPZA dan telah mengikuti program terapi pencegahan terhadap penyalahguna NAPZA yang kambuh kembali adalah dengan melakukan pendampingan yang dapat membantunya untuk mengatasi masalah perilaku adiksinya, detoksifikasi, maupun dengan melakukan rehabilitasi kembali. i.

  Terapi dan Rehabilitasi 1)

  Terapi Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:

  a) Detoksifikasi Tanpa Subsitusi

  Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.

  b)

Detoksifikasi dengan Substitusi

  Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut (Purba, 2008). 2)

Rehabilitasi

  Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna NAPZA kembali sehat dalam arti sehat fisik, psikologik, sosial, dan spiritual. Dengan kondisi sehat tersebut diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari.

  Menurut Hawari (2008) jenis-jenis rehabilitasi antara lain :

  a)

Rehabilitasi Medik

  Dengan rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar mantan penyalahguna NAPZA benar-benar sehat secara fisik. Termasuk dalam program rehabilitasi medik ini ialah memulihkan kondisi fisik yang lemah, tidak cukup diberikan gizi makanan yang bernilai tinggi, tetapi juga kegiatan olahraga yang teratur disesuaikan dengan kemampuan masing-masing yang bersangkutan.

  b) Rehabilitasi Psikiatrik

  Rehabilitasi psikiatrik ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi yang semula bersikap dan bertindak antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan baik dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing atau mengasuhnya. Termasuk rehabilitasi psikiatrik ini adalah “rehabilitasi” keluarga terutama bagi keluarga-keluarga broken

  

home . Konsultasi keluarga ini penting dilakukan agar keluarga

  dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang terlibat penyalahgunaan NAPZA, bagaimana cara menyikapinya bila kelak ia telah kembali ke rumah dan upaya pencegahan agar tidak kambuh.

  c)

Rehabilitasi Psikososial

  Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di sekolah/kampus dan di tempat kerja. Program ini merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali dengan pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun balai latihan kerja yang dapat diadakan di pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila mereka telah selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali ke sekolah/kuliah atau bekerja.

  d)

Rehabilitasi Psikoreligius

  Rehabilitasi psikoreligius memegang peranan penting. Unsur agama dalam rehabilitasi bagi para pasien penyalahguna NAPZA mempunyai arti penting dalam mencapai penyembuhan. Unsur agama yang mereka terima akan memulihkan dam memperkuat rasa percaya diri, harapan dan keimanan. Pendalaman, penghayatan kekuatan kerohanian pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA.

  e)

Forum Silaturahmi

  Forum silaturahmi merupakan program lanjutan (pasca rehabilitasi) yaitu program atau kegiatan yang dapat diikuti oleh mantan penyalahguna NAPZA (yang telah selesai menjalani tahapan rehabilitasi) dan keluarganya. Tujuan yang hendak dicapai dalam forum silaturahmi ini adalah untuk memantapkan terwujudnya rumah tangga/keluarga sakinah yaitu keluarga yang harmonis dan religius, sehingga dapat memperkecil kekambuhan penyalahgunaan NAPZA. f) Program Terminal

  Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari mereka sesudah menjalani program rehabilitasi dan kemudian mengikuti forum silaturahmi, mengalami kebingungan untuk program selanjutnya. Khususnya bagi pelajar dan mahasiswa yang karena keterlibatannya pada penyalahgunaan NAPZA di masa lalu terpaksa putus sekolah menjadi pengangguran; perlu menjalani program khusus yang dinamakan program terminal (re-entry

  program ), yaitu program persiapan untuk kembali melanjutkan 2.

   Rehabiliasi Pengguna NAPZA a.

Pengertian

  Rehabilitasi NAPZA adalah rehabilitasi yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi para mantan pengguna NAPZA agar mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Rehabilitasi NAPZA adalah suatu bentuk terapi dimana klien dengan ketergantungan NAPZA ditempatkan dalam suatu institusi tertutup selama beberapa waktu untuk mengedukasi pengguna yang berusaha untuk mengubah perilakunya, mampu mengantisipasi dan mengatasi masalah relaps (kambuh) (Sutarti, 2008).

  b.

  Model-model Pelayanan Rehabilitasi NAPZA Berdasarkan KEPMENKES No.996/MENKES/SK/VIII/2002, pelayanan rehabilitasi meliputi:

  1) Pelayanan Medik

  a) Detoksifikasi

  Detoksifikasi adalah suatu proses dimana seorang individu yang ketergantungan fisik terhadap zat psikoaktif (khususnya Opioida), dilakukan pelepasan zat psikoaktif (opioida) tersebut secara tiba- tiba (abrupt) atau secara sedikit demi sedikit (gradual).

  b) Terapi Maintenance

  Terapi maintenance (rumatan) adalah pelayanan pasca detoksifikasi dengan tanpa komplikasi medik.

Terapi Psikososial

  Dapat dilakukan melalui pendekatan Non Medis, misalnya Sosial, Agama, Spiritual, Therapeutic Community, Twelve Steps, dan alternatif lain. Metode ini diperlukan tindak lanjut dari sektor terkait seperti Departemen Sosial, Departemen Agama atau pusat-pusat yang mengembangkan metode tersebut. Pelaksanaan metode apapun, harus tetap berkoordinasi bersama dokter puskesmas kecamatan setempat atau dokter rumah sakit terdekat untuk menanggulangi masalah kesehatan fisik dan mental yang mungkin dan atau dapat terjadi selama proses rehabilitasi.

  3)

Rujukan

  Pasien penyalahguna dan ketergantungan NAPZA dengan komplikasi medis fisik dirujuk ke Rumah Sakit Umum Kabupaten / Kota atau Rumah Sakit Umum Provinsi. Pasien penyalahguna dan ketergantungan NAPZA dengan komplikasi medis psikiatris dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa atau bagian psikiatri Rumah Sakit Umum terdekat. Model-model pelayanan rehabilitasi NAPZA adalah sebagai berikut : 1)

  Model pelayanan dan rehabilitasi medis

  a)

Metadon

  Metadon adalah zat opioid sintetik berbentuk cair yang diberikan lewat mulut. Metadon merupakan obat yang paling sering digunakan untuk terapi substitusi bagi ketergantungan opioid.

  Terapi substitusi Metadon dari penelitian dan monitoring pelayanan, secara kuat terbukti efektif menurunkan penggunaan NAPZA jalur gelap, mortalitas, resiko penyebaran HIV, memperbaiki kesehatan mental dan fisik, memperbaiki fungsi sosial serta menurunkan kriminalitas.

  Pada klien dengan pengguna heroin yang memakai rehabilitasi dengan Metadon, maka dosis Metadon dosis tinggi dinilai lebih efektif daripada dosisnya rendah atau menengah. Dosis Metadon yang tinggi akan diturunkan secara bertahap. Terapi rumatan Metadon diikuti perbaikan kesehatan secara substansial dan insiden efek samping rendah. Hampir ¾ klien yang mengikuti terapi Metadon berespon baik (RSKO, 2005). Meski demikian, tidak semua pengguna dengan ketergantungn opioid dapat diberi terapi substitusi Metadon. Bagi mereka yang tidak dapat menggunakan metode ini, tersedia banyak pendekatan lainnya dan menggugah mereka tetap berada dalam terapi.

  b) Burprenorfin Burprenorfin adalah obat yang diberikan oleh dokter mellui resep.

  Aktifitas agonis opioid Burprenorfin lebih rendah dari Metadon. Burprenorfin tidak diabsorbsi dengan baik jika ditelan, karena itu cara penggunaannya adalah sublingual (diletakkan di bawah lidah).

  2) Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan bimbingan

  Terapi ini merupakan terapi konvensional untuk klien ketergantungan NAPZA yang tidak menjalani rawat inap dan dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Program ini didesain dengan kegiatan yang bervariasi seperti edukasi keterampilan, meningkatkan sosialisasi, pertemuan yang bersifat vokasional, edukasi moral dan spiritual, serta terapi 12 langkah (the 12 steps recopvery

  program ).

  3) Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan Therapeutic

  Community

  Therapeutic Community (TC) adalah sebuah kelompok yang terdiri dari individu dengan masalah yang sama, tinggal di tempat yang sama, memiliki seperangkat peraturan, filosofi, norma dan nilai, serta kultural yang disetujui, dipahami dan dianut bersama. Kesemuanya dijalankan demi pemulihan diri masing-masing.

  Program TC berlandaskan pada filosofi dan slogan-slogan tertentu, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

  a)

Filosofi TC tertulis:

  “Saya berada di sini karena tiada lagi tempat berlindung, baik dari diri sendiri, hingga saya melihat diri saya di mata dan hati insan yang lain. Saya masih berlari, sehingga saya masih belum sanggup merasakan kepedihan dan menceritakan segala rahasia diri saya ini, akan senantiasa sendiri. Dimana lagi kalau bukan di sini, dapatkah saya melihat cermin diri sendiri? Bukan kebesaran semu dalam mimpi atau si kerdil di dalam ketakutannya, tetapi seorang insan, bagian dari masyarakat yang penuh kepedulian. Di sini saya dapat tumbuh dan berakar, bukan lagi seseorang seperti dalam kematian tetapi dalam kehidupan yang nyata dan berharga baik untuk diri sendiri maupun orang lain.”

  b) Filosofi tidak tertulis:

  (1) Honesty (kejujuran) adalah nilai hakiki yang harus dijalankan para residen, setelah sekian lama mereka hidup dalam kebohongan.

  (2) No free lunch (di dunia ini tidak ada yang gratis). Tidak ada sesuatupun di dunia ini yang didapatkan tanpa usaha terlebih dahulu.

  (3) Trust your environment (percaya pada lingkunganmu). Percaya pada lingkungan rehabilitasi dan yakin bahwa lingkungan ini mampu membawa klien pada kehidupan yang positif.

  (4) Understand is rather than to be Understood (pahami lebih dulu orang lain sebelum kita minta dipahami)

  (5) Blind faith (keyakinan total pada lingkungan) To be aware is to be alive (waspada adlah inti kehidupan)

  (7) Do your things right, everything else will follow (pekerjaan yang dilakukan dengan benar-benar akan memberikan hasil yang positif)

  (8) Be careful what ask to you, you might just get it (mulutmu harimaumu)

  (9) You can’t keep it unless you give it away (sebarkanlah ilmumu pada banyak orang)

  (10) What goes around, comes around (perbuatan baik akan berbuah baik)

  (11) Compensation is valid (selalu ada ganjaran bagi perilaku yang kita buat)

  (12) Act as if (bertindak sebagaimana mestinya)

  (13) Personal growth before vested status (kembangkanlah dirimu seoptimal mungkin)

  4)

Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan agama

  Ada berbagai macam pusat rehabilitasi dengan pendekatan agama, misalnya Pondok Pesantren dengan pendekatan nilai-nilai agama Islam dimana kegiatan utamanya adalah berdzikir. Beda halnya di Thailand dimana para biksu Budha merawat klien yang mengalami ketergantungan opioida di kuil, antara lain kuil Budha Tan Kraborg. Di dalam kuil, setiap pagi klien diberi ramuan daun yang agama Budha dalam lima hari pertama. Setelah lima hari tidak ada lagi kegiatan terstruktur dan klien diberi kesempatan untuk memulihkan kesehatannya dari kelelahan. Para pendeta ini juga telah dilatih dalam memberi konseling kepada klien. 5)

Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan Narcotic

  Anonymus Suatu program recovery yang dijalankan seorang pecandu berdasarkan prinsip 12 langkah. Langkah-langkah ini harus dijalankan lebih dari satu kali. Setelah selesai mengerjakan seluruh langkah yang ada, seorang pecandu harus menjalankan kembali langkah pertama.

  Karena banyak hal baru yang terjadi dan timbul sehingga seorang pecandu harus menjalankan recorvery-nya seumur hidup. 12 langkah tersebut antara lain: a) Step 1: Kami mengakui bahwa kami tidak punya kekuatan untuk mengatasi kebiasaan menggunakan alkohol sehingga hidup kami menjadi tidak terkendali.

  b) Step 2: Kami berkesimpulan bahwa suatu kekuatan yang lebih besar dari diri kami sendiri dapat memulihkan kami kepada hidup yang lebih sehat.

  c) Step 3: Kami memutuskan untuk memalingkan kemauan dan hidup kami di bawah bimbingan Tuhan, sebagaimana kami memahaminya.

  Step 4: Mencari dan tidak takut akan menemukan moral kami sendiri.

  e) Step 5: Mengakui kepada Tuhan, kepada diri kami sendiri dan kepada orang lain, kesalahankesalahan kami yang bersifat alamiah.

  f) Step 6: Siap secara bulat menerima Tuhan yang akan mengubah semua cacat watak.

  g) Step 7: Dengan rendah hati memohon kepada-Nya untuk menghilangkan kekurangan kami.

  h) Step 8: Membuat daftar-daftar orang yang telah kami rugikan, dan ingin berubah terhadap mereka. i)

  Step 9: Berubah secara langsung kepada orang tersebut dimana mungkin, kecuali bila dengan berbuat demikian akan mencederai mereka atau orang lain. j) Step 10: Terus menemukan diri kami sendiri dan bila terdapat kesalahan, segera mengakuinya. k)

  Step 11: Melalui doa dan meditasi meningkatkan hubungan secara sadar dengan Tuhan, sebagaimana kami memahami-Nya, berdoa hanya untuk mengetahui akan kehendak-Nya atas diri kami dan kekuatan melaksanakannya. l)

  Step 12: Dengan memiliki kesadaran spiritual sebagai hasil dari langkah ini, kami akan mencoba untuk menyampaikan kabar ini kepada pecandu alkohol, dan menerapkan prinsip ini dalam semua

  6) Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan terpadu

  Suatu pelayanan rehabilitasi dengan memadukan konsep dari berbagai pendekatan dan bidang ilmu yang mendukung sehingga dapat memfasilitasi korban NAPZA dalam mengatasi masalahnya dari aspek bio, psiko, sosial, dan spiritual. Tahapan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahguna Narkoba dilaksanakan sesuai.

  Pengertian

  Therapeutic community adalah grup atau sekelompok orang yang

  memiliki prinsip interpersonal yang cukup tinggi, sehingga mampu mendorong orang lain untuk belajar berinteraksi di suatu komunitas.

  Therapeutic community terdiri dari staf yang pernah mengalami rasa sakit dan memiliki perilaku yang timbul akibat ketergantungan narkoba, namun telah mampu dan mengetahui cara mengatasinya serta telah melalui pendidikan dan pelatihan khusus yang memenuhi syarat dan konselor (Leon, 2007).

  Teori yang mendasari metode therapeutic community adalah pendekatan behavioral dimana berlaku sistem reward (penghargaan / penguatan) dan punishment (hukuman) dalam mengubah suatu perilaku. Selain itu digunakan juga pendekatan kelompok, dimana sebuah kelompok dijadikan suatu media untuk mengubah suatu perilaku. sekelompok individu hidup dalam satu lingkungan yang sebelumnya hidup terasing dari masyarakat umum, berupaya mengenal diri sendiri serta belajar menjalani kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip yang utama dalam hubungan antar individu, sehingga mampu merubah perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat. (Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, 2003).

  Pengertian lain menyebutkan bahwa Therapeutic Community merupakan suatu treatment yang menggunakan pendekatan psikososial, yaitu bersama-sama dengan mantan pengguna narkoba lainnya hidup dalam satu lingkungan dan saling membantu untuk mencapai kesembuhan (Syarifuddin, 2013).

  Menurut pengertian diatas, maka yang dimaksud therapeutic

  

community adalah salah satu program untuk merehabilitasi dalam hal ini para pecandu narkoba agar bisa mempertahankan proses pemulihannya. Dalam program ini, para pecandu narkoba berupaya untuk mengenal diri dan sesamanya serta saling mendukung dalam mempersiapkan diri untuk pada peningkatan kemampuan dan keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari maupun masalah dalam kehidupannya

  Konsep therapeutic community yaitu menolong diri sendiri, dapat dilakukan dengan adanya keyakinan bahwa: 1)

  Setiap orang bisa berubah Kelompok bisa mendukung untuk berubah

  3) Setiap individu harus bertanggung jawab

  4) Program terstruktur dapat menyediakan lingkungan aman dan kondusif bagi perubahan

  b.

  Program Therapeutic Community Pelaksanaan program disusun untuk membuat residen terlibat secara penuh dalam setiap kegiatan, sesuai dengan job function-nya masing – masing. Kedudukan petugas hanya sebagai pengawas, yang mengawasi program. Kategori struktur program utama dari Therapeutic

  Community, terdiri dari 4 (empat), yaitu:

  1) Behaviour management shaping (Pembentukan tingkah laku)

  Perubahan perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai, norma – norma kehidupan masyarakat. 2)

  Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi) Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian diri secara emosional dan psikologis.

  3) Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian)

  Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek menghadapi dan mengatasi tugas – tugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum terselesaikan

  4)

Vocational and survival (Keterampilan kerja dan keterampilan bersosial serta bertahan hidup)

  Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari – hari maupun masalah dalam kehidupannya (Winarti, 2008).

  Fase penanganan progam Therapeutic Community (TC) menurut Perfas (2009) terdiri atas 5 tahap, yaitu : 1)

  Entry / Orientation Phase Perkiraan waktu 2 sampai 4 minggu. Tahap awal berupa orientasi terhadap aturan, norma, ritual dan tugas di TC. Pengenalan terhadap komunitas dan staf pegawai. Kegiatan yang dilakukan berupa pekerjaan sederhana dan mudah sehingga tidak perlu mengambil keputusan penting, tetapi perlu pengawasan tingkat tinggi. 2)

  Core Treatment Phase Perkiraan waktu antara 3 – 6 bulan. Belajar untuk mengidentifikasi isu-isu klinis atau pengobatan misalnya psikologis, sosial atau keluarga, kesehatan, pendidikan, pelatihan, dll. Pengelolaan emosi dan belajar ekspresi perasaan yang tepat dalam kelompok dan bentuk lain dari konseling. Selain itu praktek dalam mengartikulasikan dan belum terselesaikan dalam sesi kelompok atau sesi pribadi.

  3)

Pre – Reentry Phase

  Perkiraan waktu antara 2 – 3 bulan. Pada tahap ini fokus terhadap pengejaran karier, pendidikan dan kegiatan produktif lainnya yang meningkatkan kemandirian, sebagai wujud resosialisasi secara bertahap untuk persiapan kegiatan di luar TC. Proses Internalisasi yang baru untuk memperoleh norma, nilai-nilai pribadi dan gaya hidup bebas narkoba. Keberhasilan dari proses ini perlu melibatkan peran manajerial dan pengawasan

  4)

Reentry Phase

  Perkiraan waktu antara 2 – 6 bulan. Dalam usaha pengembalian diri ke masyarakat di luar kehidupan komunitas, maka perlu belajar untuk menangani isu-isi jika terjadi kekambuhan dan menemukan gaya hidup yang stabil. Oleh karena itu perlu dukungan dari keluarga, teman, komunitas, dll. Melatih kemampuan dengan gaya hidup baru seperti mengelola uang, manajemen waktu, manajemen stress, kesehatan dan praktek seks yang aman.

  5) Aftercare Phase

  Perkiraan waktu antara 6 - 12 bulan. Melakukan kunjungan ke komunitas TC untuk berhubungan kembali dengan komunitas atau memberi waktu pribadi sebagai pembicara atau fasilitator dari kelompok-kelompok khusus dalam upaya mempertahankan gaya c.

  Kegiatan Therapeutic Community Menurut Leon (2007), prinsip terapi yang dilakukan dengan metode therapeutic community berupa kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan secara rutin dan teratur. Adapun kegiatan yang rutin dilakukan,yaitu: 1)

Perbaikan Perilaku Sehari-hari (Behavior Management)

  Setiap hari, residen diharuskan beraktivitas mengikuti jadwal yang telah ditentukan, kecuali ada kendala seperti residen dalam keadaan sakit. Setiap kegiatan sudah dijadwal secara padat dan teratur. Tujuannya agar pasien diberi kesibukan sehingga tidak memiliki waktu untuk berdiam diri dan berkhayal. Semua aktivitas dilakukan secara bersama – sama, antara para residen dan staf yang bertugas.

  Tujuannya untuk meningkatkan kedisiplinan dan rasa kebersamaan dalam suatu komunitas.

  2) Pertemuan

  Pada terapi komunitas pertemuan berdasarkan tujuannya, dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu : a)

Morning Meeting

  Kegiatan yang bersifat formal dilakukan pada pagi hari, sesudah makan, selama 30-45 menit. Kegiatan ini diikuti oleh staf dan residen dengan mengenakan pakaian formal dan bersepatu, memberi semangat dan bebas dari ketergantungan narkoba. Tujuan kegiatan ini yaitu mempengaruhi aspek psikologi, dengan mengawali hari dengan baik, meningkatkan rasa keakraban dan persaudaraan dalam komunitas dan yang terutama adalah memotivasi agar aktivitas sepanjang hari dapat berlangsung dengan baik (Leon, 2007).

  b)

Seminar Pertemuan formal yang dilakukan setiap sore selama 60-90 menit

  Kegiatan seminar dilakukan untuk mengasah kemampuan mendengarkan, berbicara dan memperhatikan. Pada kegiatan ini pasien diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat secara bebas sehingga merangsang kemampuan berkomunikasi. Tujuan seminar adalah sebagai stimulasi intelektual, yaitu merangsang kreatifitas untuk memberi ide dan tanggapan terhadap hal-hal yang baru, dan membentuk pola berpikir yang benar dan sarana berinteraksi sosial serta merupakan pastisipasi aktif dalam kegiatan berkomunikasi. Penataan ruang biasanya disusun seperti susunan ruang kelas agar terkesan formal (Leon, 2007).

  c) House Meeting

  Pertemuan informal yang dilakukan setiap malam hari, setelah makan malam. Sifat pertemuan lebih akrab. Lama pertemuan sekitar 45-60 menit. Situasi pada saat pertemuan adalah pasien mendengarkan. Tujuan house meeting adalah mengevaluasi semua kegiatan yang telah dilakukan sepanjang hari, baik yang positif maupun yang negatif (Leon, 2007) d)

  General Meeting Pertemuan ini bersifat santai namun kekeluargaan. Lama pertemuan tidak ditentukan. Tujuannya merayakan hal-hal yang membanggakan atas prestasi residen sehingga memotivasi dan meningkatkan kesadaran untuk berperilaku positif.. Hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri merupakan bagian yang sangat berarti bagi proses kesembuhan (Leon, 2007)

  3) Permainan

  Berbagai permainan yang dapat meningkatkan kemampuan bekerja sama dalam kelompok, mengasah kreativitas dan intelektual, mengembangkan kemampuan untuk mengungapkan pendapat dan lain-lain.

  4) Ibadah

  Perbaikan mental spiritual sangat dibutuhkan oleh pasien. Memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan dapat membantu pasien dalam mengendalikan perilaku dan pola berpikir. Beribadah secara rutin akan dapat membantu proses penyembuhan. Kegiatan beribadah dilakukan bersama-sama. 5)

  Ketrampilan untuk bertahan mandiri lepas dari ketergantungan dengan Pelatihan yang diberikan untuk mampu bertahan mandiri lepas dari ketergantungan narkoba dengan pemberian tugas secara bertahap mulai dari yang mudah hingga kompleks dan menuntut tanggung jawab dari setiap individu. Pelatihan kepemimpinan dan penerapannya di lingkungan komunitas, meliputi evaluasi dan pengambilan keputusan yang telah dibuat dalam komunitas.

  d.

  Tahapan Program Menurut Leon (2007), tahapan dalam pelaksanaan program

  therapeutic community meliputi:

  1)