BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Anak - Umi Lestari BAB II

   Tinjauan Teori 1. Anak a.

  Pengertian Definisi anak pada Pasal 1 UU No.3 tahun 1997 tentang

  Peradilan Anak disebutkan bahwa yang dimaksud dengan seorang anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal tersebut sama juga dengan pengertian menurut Konvensi Hak Anak (KHA) definisi anak adalah manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun (Alimul, 2005).

  Department of Child and Adolescent Health and Development ,

  mendefinisikan anak-anak sebagai orang yang berusia di bawah 20 tahun. Pendapat The Convention on the Rights of the Child mendefinisikan anak usia antara 0–14 tahun, karena di usia inilah risiko terganggunya perkembangan anak cenderung menjadi besar (Azwar, 2005).

  b.

  Periode pola perkembangan Tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak terdiri dari :

  (Pediatric Nursing, 2009) 1)

  Masa Prenatal

  a) : konsepsi - 2 minggu Germinal

  b) : 2 - 8 minggu Embrio

  Fetal 2)

  Masa Anak-Anak Tengah (6 - 12 tahun) 5)

  Perkembangan motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan sebagian besar tubuh yang dilakuakan oleh otot-otot yang lebih besar sehingga memerlukan cukup tenaga (Nursalam, 2005), kemampuan kontrol ini

  Perkembangan pada masa usia toddler, petumbuhan fisiknya relatif lambat dibandingkan dengan masa bayi, tetapi perkembangan motoriknya lebih cepat. Anak belajar berdiri, berlari, menaiki tangga, menggenggam dan memotong kertas, kemudian anak akan lebih perhatian terhadap lingkungannya dibandingkan masa sebelumnya. Menurut Soetjiningsih perkembangan anak dibagi menjadi 4 kelompok yang disebut sektor perkembangan yang meliputi : a.

  : 13 - 18 tahun 2.

  b) Remaja

  :12 - 13 tahun

  a) Pre Pubertas

  Masa Anak-Anak Akhir (12 - 18 tahun)

  : 3 - 6 tahun 4)

  Masa Bayi

  b) Prasekolah

  : 1 - 3 tahun

  a) Toodler

  Masa Kanak-Kanak (1-6 tahun)

  : 1 - 12 bulan 3)

  b) Bayi

  : lahir - 27/28 hari

  a) Neonatus

Perkembangan Anak Usia Toddler

Perkembangan motorik kasar

  telah muncul sejak bayi dilahirkan. Jika kemampuan ini tidak berkembang, maka seorang anak akan tetap tinggal tidak berdaya (Gamayanti, 2009). 1)

  Usia 1 tahun Anak usia 1 tahun perkembangan motorik kasarnya seperti : dapat berdiri sendiri, merangkak naik tangga, berjalan belum mantap dengan kaki lebar, lengan agak tertekuk dan diletakkan di atas kepala atau setinggi bahu untuk keseimbangan.

  2) Usia 18 bulan

  Anak usia 18 bulan perkembangan motorik kasarnya antara lain berjalan dengan baik dengan kaki sedikit merenggang. Mulai berjalan dan berhenti dengan aman, berjalan menaiki tangga dengan bimbingan, merangkak mundur menuruni tangga.

  3) Usia 2 tahun

  Anak usia 2 tahun perkembangan motorik kasarnya meliputi berjalan dengan aman, berjalan ke arah bola besar jika ingin menendangnya, menunggangi mainan besar yang berada dan mendorong ke depan dengan kaki di lantai.

  4) Usia 3 tahun

  Anak usia 3 tahun motorik kasarnya adalah naik sepeda roda tiga dan dapat membelok, dapat berjalan berjingkat. Perkembangan motorik halus Perkembangan motorik halus adalah kemampuan anak untuk melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil, memerlukan koordinasi yang cermat, serta tidak memerlukan tenaga 1)

  Usia 1 tahun Perkembangan motorik halusnya antara lain anak mampu mengambil gula kecil antara ibu jari dan jari lain dengan gerakan menjepit, menunjuk dengan sabar pada obyek yang ingin dilihatnya, membenturkan kubus.

  2) Usia 18 bulan

  Perkembangan motorik halusnya meliputi mencorat – coret dengan spontan bila diberi krayon dan kertas dengan tangan yang disenangi, menyusun menara dari 3 kubus sesudah diajari

  3) Usia 2 tahun

  Perkembangan motorik halusnya meliputi meniru garis tegak, lebih jelas tangan yang disukai, mengenali orang dewasa yang dikenal pada foto sesudah ditunjukkan sekali. 4)

Usia 3 tahun

  Motorik halusnya meliputi memotong dengan gunting, membandingkan 2-3 warna dasar (biasanya menyebut merah dan kuning dengan benar tetapi masih bingung antara biru dan hijau).

Perkembangan bahasa

  Bahasa merupakan suatu aspek perkembangan yang erat kaitanya dengan berpikir, karena bahasa merupakan suatu hal yang dipakai untuk mempresentasikan ide - ide atau apa yang dipikirkanya. Bahasa merupakan suatu rangkaian kata yang disusun menggunakan tata bahasa yang komplek, yang merupakan suatu hal sifatnya dipelajari sekaligus dipengaruhi oleh faktor kematangan. Anak belajar berbahasa secara otomatis dan kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan latihan, karena pada dasarnya belajar bahasa adalah melalui peniruan maupun pengalaman sehingga anak bisa menyebut benda arau nama orang disekitarnya 1)

  Usia 1 tahun Perkembangan yang dapat dicapai pada anak usia ini adalah menunjuk orang yang dikenal, binatang, mainan dan lain- lain bila disuruh, berbicara 2 - 6 kata dengan jelas dan mengerti beberapa kata lain.

  2) Usia 18 bulan

  Perkembangan yang dicapai pada usia ini adala anak menggunakan 6 - 20 kata yang dimengerti dan mengerti lebih banyak kata, menunjuk rambut, sepatu, hidungnya sendiri atau milik bonekanya.

  3) Usia 2 tahun

  Perkembangan yang dapat dicapai pada usia ini adalah anak menyusun 2 kata atau lebih untuk membentuk kalimat tunggal, banyak lagi. 4)

  Usia 3 tahun Perkembangan yang dapat dicapai anak pada usia ini adalah anak menyebutkan nama lengkap dan jenis kelaminnya, menanyakan banyak pertanyaan yang dimulai dengan ”apa”, ”dimana” dan ”siapa”.

  d.

Perkembangan Sosial

  Perkembangan sosial anak sebenarnya sudah dimulai sejak awal, yaitu pada saat seorang bayi telah dapat bereaksi terhadap lingkungan sosialnya, walaupun masih sangat sederhana, yaitu dengan adanya reaksi terhadap suara dan mulai memperhatikan wajah orang. Dengan bertambahnya usia dan kesempatan untuk bersosialisasi bagi anak, maka tingkah laku lekat juga mengalami perubahan. Kebutuhan anak untuk berhubungan dengan orang lain akan bertambah. Adanya kontak sosial dengan lingkungannya akan menghasilkan beberapa tingkah laku sosial antara lain negatifisme, tingkah laku agresif, bertengkar, menggoda, mengganggu, persaingan, kerja sama, berkuasa, sikap mementingkan diri sendiri, sikap simpatik. Bentuk-bentuk tingkah laku ini nantinya akan besar sekali pengaruhnya dalam kemasakan sosial.

  1) Usia 1 tahun

  Perkembangan yang dapat dicapai anak pada usia ini adalah anak dapat minum dari cangkir dengan sedikit bantuan, mengunyah, menemukan mainan yang disembunyikan dengan cepat. 2)

  Usia 18 bulan Perkembangan dapat dicapai anak pada usia ini adalah anak mengangkat dan memegang cangkir diantara 2 tangan dan minum tanpa menumpahkan, menunjukkan keinginan berak / BAB dengan gelisah atau bersuara.

  3) Usia 2 tahun

  Perkembangan yang dapat dicapai anak pada usia ini adalah anak dapat mengangkat dan minum dari cangkir dan mengembalikan ke meja, makan dengan sendok tanpa menumpahkan, tidak ngompol di siang hari. Bermain dekat anak lain tetapi tidak bermain bersama mereka

  4) Usia 3 tahun

  Perkembangan yang dapat dicapai anak pada usia ini adalah anak dapat makan menggunakan sendok garpu, dapat menarik atau menaikkan celana, tidak ngompol malam hari, bergabung dalam permainan dengan anak lain di dalam atau di luar ruangan

Pengertian

  Hospitalisasi didefinisikan sebagai suatu proses dirawat atau tinggal di rumah sakit yang dapat merupakan pengalaman baru dan seringkali menakutkan bagi seorang anak (Turkington & Tzeel, 2004). pasien karena berbagai alasan (Castello, 2008).

  Hospitalisasi merupakan suatu proses karena suatu alasan yang berencana atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa peneliti ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh stress (Supartini, 2004).

  Berdasarkan tiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi adalah suatu proses masuk dan dirawatnya seorang individu di rumah sakit karena berbagai alasan dan bagi anak hal tersebut dapat merupakan pengalaman baru yang seringkali menakutkan.

  b.

Stressor dan reaksi anak usia prasekolah terhadap hospitalisasi

  Penyakit dan hospitalisasi merupakan krisis pertama yang harus dihadapi anak. Anak-anak terutama pada usia awal sangat rentan untuk mengalami krisis akibat sakit dan dirawat di rumah sakit. Krisis tersebut disebabkan karena stres adanya perubahan status kesehatan dan lingkungan sehari-hari serta keterbatasan mekanisme koping terhadap stressor yang dimiliki. Reaksi terhadap krisis tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan, pengalaman anak sebelumnya terhadap penyakit, perpisahan atau hospitalisasi, kemampuan koping yang anak miliki atau dapatkan, keparahan penyakit dan ketersediaan sistem pendukung (Hockenberry & Wilson, 2009). Dampak hospitalisasi pada anak prasekolah Dampak hospitalisasi terhadap anak usia prasekolah menurut Dachi (2006), antara lain: 1)

Cemas akibat perpisahan (separation anxiety)

  Kecemasan pada anak yang terjadi akibat perpisahan dengan orang tua atau orang yang menyayangi merupakan sebuah mekanisme pertahanan dan karakteristik normal dalam perkembangan anak. Perilaku utama yang ditampilkan anak sebagai respon dari kecemasan akibat perpisahan terdiri dari tiga fase, yaitu fase protes, putus asa dan menolak atau menyesuaikan diri. Fase protes, anak-anak bereaksi secara agresif terhadap perpisahan dengan orang tua. Anak menangis dan berteriak memanggil orang tuanya, menolak perhatian dari orang lain dan sulit dikendalikan. Selama fase putus asa, tangisan berhenti dan mulai muncul depresi. Anak menjadi kurang aktif, tidak tertarik untuk bermain atau terhadap makanan dan menarik diri dari orang lain. Fase ketiga yaitu menolak atau menyesuaikan diri, anak secara sederhana sudah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kehilangan yang dihadapi (Hockenberry & Wilson, 2009). 2)

Kehilangan kontrol (loss of control)

  Anak yang mengalami hospitalisasi biasanya mengalami kehilangan kontrol. Kehilangan kontrol dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya sehingga memperdalam kecemasan dan tertinggi untuk kehilangan kontrol (Bowden & Greenberg, 2008). 3)

  Cedera tubuh dan nyeri (bodily injury and pain) Ketakutan terhadap cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak-anak. Konsekuensi rasa takut ini dapat mendalam.

  Anak-anak yang mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan merasa lebih takut terhadap nyeri di masa dewasa dan cenderung menghindari perawatan medis (Hockenberry & Wilson, 2009).

  4) Lingkungan yang asing

  Lingkungan yang asing, situasi ruangan rawat di rumah sakit juga seringkali menakutkan bagi anak. Hal tersebut dapat terjadi karena anak usia prasekolah sering mengalami takut berkaitan dengan mutilasi tubuh dan objek serta orang-orang yang berhubungan dengan pengalaman yang menyakitkan (Muscari, 2005).

Pengertian Kecemasan

  Kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan, rasa takut yang kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda. Cemas sangat berkaitan dengan perasaan yang sangat tidak enak, khawatir, gelisah, tidak pasti dan tidak berdaya yang disertai satu atau lebih gejala badaniah (Stuart & Sundeen, 2007). suatu respon stressor yang merupakan gangguan efek dan emosi. Efek adalah nada perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang menyertai suatu pikiran dan biasanya berlangsung lama dan disertai oleh banyak komponen fisiologik.

  Menurut Carpenito (2005), cemas berbeda dengan takut,

  perbedaan yang penting, yaitu :

  walaupun hampir sama tetapi terdapat 1)

  Takut merupakan rasa tidak berani terhadap suatu objek yang konkrit.

  2)

Kecemasan menyerang pada tingkat lebih dalam dari pada takut, yaitu sampai pusat kepribadian

  Hospitalisasi menyebabkan anak harus berpisah dari lingkungannya yang lama serta orang-orang yang terdekat dengannya.

  Anak biasanya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas. Kecemasan juga dapat terjadi pada anak juga akibat kehilangan kendali atas dirinya dan kehilangan kebebasan dalam mengembangkan otonominya. Anak akan bereaksi negatif terhadap ketergantungan yang dialaminya, terutama anak akan menjadi cepat marah dan agresif (Nursalam, 2008).

  b.

  Gejala kecemasan Gejala klinis kecemasan menurut Nursalam (2008), adalah :

Fase protes (phase of protest)

  Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit, dan memanggil ibunya atau menggunakan tingkah laku agresif, seperti menendang, menggigit, memukul, mencubit, mencoba untuk membuat orang tuanya tetap tinggal, dan menolak perhatian orang lain. Secara verbal, anak menyerang dengan rasa marah, seperti mengatakan “pergi!”. Perilaku tersebut dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. 2)

  Fase putus asa (Phase of Despair) Tahap ini dimanifestasikan dengan anak tampak tegang, tangisnya berkurang, tidak aktif, kurang berminat untuk bermain, tidak ada nafsu makan, menarik diri, tidak mau berkomunikasi, sedih, apatis, dan regresi misalnya mengompol atau mengisap jari.

  Kondisi anak mengkhawatirkan karena menolak untuk makan atau bergerak.

  3)

Fase menolak (Phase of Denial)

  Tahap ini ditandai dengan anak secara samar-samar menerima perpisahan, mulai tertarik pada apa yang ada di sekitarnya, dan membina hubungan dangkal dengan orang lain. Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah perpisahan yang lama dengan orang tua. Faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan 1)

  Faktor predisposisi kecemasan Faktor predisposisi kecemasan dijelaskan oleh beberapa teori yang telah dikembangkan untuk menjelaskan asal kecemasan, yaitu: a)

Biologi

  Model biologis menjelaskan bahwa ekpresi emosi melibatkan struktur anatomi di dalam otak. Aspek biologis yang menjelaskan gangguan ansietas adalah adanya pengaruh system saraf otonom. Dalam sistem saraf otonom stresor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui mekanisme berikut ini: ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke korteks serebri, kemudian ke sistem limbik dan RAS (Reticular Activating System), lalu ke hipotalamus dan hipofisis. Kemudian kelenjar adrenal mensekresikan katekolamin dan terjadilah stimulasi saraf otonom (Mudjaddid, 2006).

  Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi berbagai sistem organ dan menyebabkan gejala tertentu, misalnya: kardiovaskuler (contohnya: takikardi), muskuler (contohnya: nyeri kepala), gastrointestinal (contohnya: diare), dan pernafasan (contohnya: nafas cepat).

  b)

Psikologis

  Dalam pandangan ini dijelaskan bahwa kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan implus dikendalikan oleh norma budaya. Ego atau keakutan, berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah meningkatkan ego bahwa ada bahaya (Stuart, 2007).

  Perilaku lekat dan perpisahan ringan terlihat sebagai sesuatu yang sesuai dengan respon adaptif terhadap stresor pada situasi yang penuh dengan tekanan pada kanak-kanak. Anak yang mengalami pengalaman yang hebat dengan gejala yang berlebihan dalam mengatasi perpisahan, ego yang belum matang tidak terlalu kuat untuk mengatasi konflik (Dongoes, Townsend & Moorhouse, 2007).

  c) Stimulus

  Kecemasan juga berhubungan dengan stimulus atau rangsangan, jika anak kurang stimulasi akan mengalami hambatan perkembangan dan pertumbuhan serta kesulitan berinteraksi dengan orang lain. Stimulasi yang diberikan pada anak selama tiga tahun pertama (golden age) akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan otaknya. Stimulasi kecerdasan multiple merupakan berbagai jenis kecerdasan yang dapat dikembangkan pada anak, antara lain verbal-linguistic dan

  

logical-mathematical menyusun balok, merangkai, menghitung mainan, bermain puzzle, dan bermain komputer (Stuart, 2007). Faktor presipitasi kecemasan Faktor presipitasi adalah faktor-faktor yang dapat menjadi pencetus terjadinya kecemasan (Stuart, 2007). Faktor pencetus tersebut adalah:

  a) Faktor Genetik

  Biasanya faktor genetik pada wanita lebih banyak dari pada pria dan lebih dari satu keluarga yang terkena. Gangguan panik memiliki komponen genetik yang sama dan terdapat lebih banyak dari pada wanita (Hurlock, 2008).

  b)

Faktor sifat

  Kecemasan merupakan hasil frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Para ahli perilaku menganggap ansietas merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan untuk menghindarkan rasa sakit. Teori ini meyakini bahwa manusia yang pada awal kehidupannya dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan akan menunjukkan kemungkinan ansietas yang berat pada kehidupan masa dewasanya (Smeltzer & Bare, 2006).

  c)

Jumlah stimulus

  Intensitas cemas yang dialami setiap individu kemungkinan memiliki jumlah stimulus yang berbeda sesuai dengan genetik.

  Orang tua yang memiliki jumlah stimulus dan gangguan gangguan kecemasan. 3)

  Penilaian terhadap stressor

  a) Kognitif

  Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik proses piker maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasimenurun, mudah lupa, menurunnya lapang persepsi, dan bingung.

  b) Afektif

  Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan.

  c) Psikologi

  Kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal maupun personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak refleks. Kesulitan mendengarkan akan mengganggu hubungan dengan orang lain. Kecemasan dapat membuat individu menarik diri dan menurunkan keterlibatan dengan orang lain (Muscari, 2005).

  d)

Sosial budaya

  Seseorang yang mempunyai falsafah hidup yang jelas dan keyakinan agama yang kuat umumnya lebih sukar mengalami stres. Klasifikasi tingkat Kecemasan Menurut Stuart dan Sundeen (2007), manifestasi cemas dapat meliputi aspek fisik, emosi, kognitif, dan tingkah laku. Respon terhadap ancaman dapat berkisar dari kecemasan ringan, sedang, berat dan panik. 1)

Kecemasan Ringan

  Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Gejala adanya kecemasan ringan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan, terutama di otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan akibatnya akan menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada, leher dan punggung. Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan (Tucker, 2007).

  2)

Kecemasan Sedang

  Kecemasan sedang merupakan tahap persepsi pada lingkungan yang semakin menurun. Individu lebih memfokuskan pada hal-hal yang lebih penting pada saat ini dan mengesampingkan hal yang lain. Gejala yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada sabar, mudah lupa, marah dan menangis (Stuart & Sundeen, 2007). 3)

Kecemasan Berat

  Kecemasan berat merupakan tahap persepsi pada lingkungan menjadi sangat menurun. Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan. Gejala yang muncul pada kecemasan berat diantaranya yaitu mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur atau insomnia, sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung dan disorientasi.

  4)

Kecemasan Sangat Berat atau Panik

  Kecemasan sangat berat atau panik ditandai dengan persepsi individu yang sudah sangat sempit sehingga tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pangarahan dan tuntunan. Keadaan ini terjadi karena peningkatan aktifitas motoriktidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu lama dapat terjadi kelelahan yang sangat berat bahkan kematian. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon halusinasi dan delusi (Stuart, 2007).

  e.

  Respon Kecemasan Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, respon kecemasan menurut Suliswati (2005) antara lain:

  1)

Respon Fisiologis terhadap kecemasan

  Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis). Serabut saraf simpatis mengaktifkan tanda-tanda vital pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan tubuh (Muscari, 2005). Anak yang mengalami gangguan kecemasan akibat perpisahan akan menunjukkan sakit perut, sakit kepala, mual, muntah, demam ringan, gelisah, kelelahan, sulit berkonsentrasi, dan mudah marah (Pott & Modleco, 2007).

  2) Respon Psikologis terhadap kecemasan

  Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah, terdapat ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, menghindar, dan sangat waspada (Stuart, 2007). 3)

Respon Kognitif

  Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik proses pikir maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut pada cedera atau kematian dan mimpi buruk (Stuart, 2007).

  4) Respon Afektif

  Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, khawatir, mati rasa, rasa bersalah atau malu, dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan (Stuart, 2007).

  f.

  Pengukuran kecemasan 1)

  CMFS (Child Medical Fear Scale) Menurut Tsai (2007), stress hospitalisasi anak saat ini dapat dikaji dengan menggunakan Child Medical Fear Scale (CMFS) dan

  Hospital Stres Scale (HSS). CMFS ini sering digunakan dalam

  penelitian-penelitian keperawatan (Broom & Bobley, 2003 dalam Tsai 2007). HSS memiliki skala stress 0-100, dimana jika anak memiliki skor 49,6 artinya anak memiliki stres sedang (Bosser, 2004 dalam Tsai 2007). 2)

  STAIC (State-Trait Inventory for Children) Kecemasan anak juga dapat dikaji dengan State-Trait

  Inventory for Children (STAIC) dari Spielberger (1973). Menurut

  Tsai (2007), STAIC telah banyak digunakan dalam penelitian untuk mengukur kecemasan pada anak usia sekolah. MASC (Multidimentional Anxiety Scale for Children)

  Multidimentional Anxiety Scale for Children (MASC), juga

  dapat digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan anak usia 10-15 tahun (Olason, Sighvatsson, Smari, 2008).

  4)

T-MAS (Taylor Manifest Anxiety Scale)

  Mengukur tingkat kecemasan pasien digunakan alat ukur T- MAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). T-MAS merupakan alat yang digunakan untuk mengukur intensitas kecemasan melalui observasi yang disusun oleh Janet Taylor (Mulyani, 2004). Menurut Kaplant dan Sadock’s (2002) skala pengukuran kecemasan secara umum pada anak prasekolah adalah modifikasi pengukuran kecemasan pada orang dewasa disesuaikan dengan kondisi anak. Alat ini berisi 34 pertanyaan observasi intensitas kecemasan pada anak prasekolah dengan jawaban ya skor (1) dan tidak (0). Dari 34 pertanyaan tersebut skor yang diperoleh antara 0-34. Skor yang diperoleh kemudian dikategorikan menurut Arikunto (2010) meliputi cemas berat 26-34, cemas sedang 16-25, cemas ringan 1-15 dan tidak cemas 0. Peneliti memilih T-MAS untuk mengukur kecemasan anak prasekolah, keuntungan memakai T-MAS yaitu waktu pemeriksaan yang cepat dan hanya memerlukan waktu selama 10-15 menit.

  Pengertian Terapi merupakan penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu kondisi atau tingkah laku yang dianggap dimaksud bisa berarti menghilangkan, mengurangi, meningkatkan, atau memodifikasi suatu kondisi atau tingkah laku tertentu (Adriana, 2011).

  Bermain adalah aktivitas yang dapat dilakukan anak sebagai upaya stimulasi pertumbuhan dan perkembangannya. Kegiatan bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial. Bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata atau berkomunikasi, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dilakukannya dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Supartini, 2004).

  Berdasarkan pengertian terapi dan bermain diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan terapi bermain adalah suatu perlakuan dan pengobatan yang ditujukan kepada penyembuhan satu kondisi yang mengalami hospitalisasi selama dirumah sakit yang dilakukan dengan sukarela oleh pasien dengan cara bermain apa yang disukai untuk memperoleh kesenangan, kepuasan dan dapat mengekspresikan diri.

  b.

  Fungsi Bermain Fungsi bermain bagi anak terdiri dari : (Nursalam, 2005) 1)

Perkembangan sensori dan motorik

  Menurut Hartini (2004) fungsi bermain pada anak dapat dikembangkan dengan melakukan rangsangan pada sensorik dan motorik dalam mengekplorasikan alam disekitarnya. Membantu perkembangan kognitif Anak belajar mengenal warna, bentuk atau ukuran, tekstur dari berbagai macam objek, angka, dan benda. Anak belajar untuk merangkai kata, berpikir abstrak dan memahami hubungan ruang seperti naik, turun, dibawah dan terbuka. Aktivitas bermain juga dapat membantu perkembangan keterampilan dan mengenal dunia nyata atau fantasi (Aziz, 2005).

  3) Meningkatkan kemampuan sosialisasi anak

  Proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan, misalnya pada saat anak akan merasakan kesenangan terhadap kehadiran orang lain dan merasakan ada teman yang dunianya sama (Sutarya, 2005).

  4) Meningkatkan kreativitas

  Bermain juga dapat berfungsi dalam peningkatan kreativitas, dimana anak mulai belajar menciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan mampu memodifikasi objek yang digunakan dalam permainan sehingga anak akan lebih kreatif melalui model permainan ini, seperti bermain bongkar pasang dan mobil-mobilan (Nursalam, 2005).

  5)

Meningkatkan kesadaran diri

  Bermain pada anak dapat memberi kemampuan untuk mengekplorasikan tubuh dan merasakan dirinya sadar dengan orang lain yang merupakan bagian dari individu yang saling berhubungan, dengan orang lain (Nursalam, 2005). 6)

  Mempunyai nilai terapeutik Bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman sehingga adanya stress dan ketegangan dapat dihindari, mengingat bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya (Vessey & Mohan, 1990 dikutip oleh Supartini, 2004).

  7) Mempunyai nilai moral pada anak

  Bermain juga dapat memberikan nilai moral tersendiri pada anak. Hal ini dapat dijumpai ketika anak sudah mampu belajar benar atau salah dari budaya di rumah, di sekolah dan ketika berinteraksi dengan temannya. Ada beberapa permainan yang memiliki aturan-aturan yang harus dilakukan dan tidak boleh dilanggar (Soetjiningsih, 2010).

  c.

  Karakteristik Bermain Karakteristik bermain menurut Whatley & Wong (2009) : 1)

  Menurut isi

  a)

Social affektif play

  Permainan yang membuat anak belajar berhubungan dengan orang lain. Contohnya antara lain orang tua berbicara, memeluk, bersenandung, anak memberi respon dengan tersenyum, mendengkur, tertawa, beraktivitas dan lain-lain.

  Sense pleasure play (bermain untuk bersenang-senang)

  Sense pleasure play yaitu stimulus pengalaman non sosial

  yang berasal dari luar. Anak menstimulasi sensori mereka dan kesenangan. Contohnya antara lainbermain air dan pasir, objek seperti cahaya, kayu, rasa, benda alam dan gerakan tubuh.

  c) Skill-play

  Skill play yaitu permainan yang bersifat membina

  ketrampilan anak khususnya motorik kasar dan halus. Anak dapat memindahkan benda-benda dari satu tempat ke tempat yang lain. Ketrampilan ini merupakan ketrampilan pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan. Contohnya antara lainbelajar naik sepeda, bermain puzzle dan origami.

  d) Dramatic plays

  Dramatic plays dikenal sebagai permainan simbolik atau

  permainan berpura-pura. Permainan drama memberikan kerangka bagi tingkah laku matang yang diuji. Contohnya antara lain berpura-pura melakukan kegiatan keluarga seperti makan, minum dan tidur serta main dokter-dokteran.

  2) Menurut karakteristik sosial

  a) Solitary play Solitary play yaitu anak bermain sendiri. Anak menyukai

  kehadiran orang lain tapi tidak ada usaha untuk mendekat atau berbicara dan berpusat pada aktivitas atau permainannya sendiri.

   Paralel play Paralel play yaitu bermain yang dilakukan oleh suatu

  kelompok balita atau prasekolah yang masing-masing mempunyai permainan yang sama tetapi satu sama lainnya tidak ada interaksi dan tidak saling tergantung.

  c) Asosiasi play Asosiasi play yaitu bermain dan berakativitas serupa

  bersama tetapi tidak ada pembagian kerja, pemimpin atau tujuan bersama. Anak berinteraksi dengan saling meminjam alat permainan. Contohnya yaitu permainan yang dilakukan anak prasekolah misalnya main boneka, masak-masakan, puzzle dan origami. Pada penelitian ini permainan yang digunakan masuk dalam Asosiasi play, karena anak lebih dapat bermain bersama- sama dan dapat berinteraksi dengan yang lain.

  d) Cooperatif play Cooperatif play yaitu bermain dalam kelompok, ada

  perasaan kebersamaan atau sebaliknya, terbentuk hubungan pemimpin dan pengikut. Ada tujuan yang ditetapkan dan ingin dicapai. Contohnya yaitu bermain sepak bola.

  d.

  Bentuk-bentuk Bermain Bentuk-bentuk bermain menurut Soetjiningsih (2010) diantaranya adalah :

  Bermain aktif

  a) Bermain mengamati atau menyelidiki (exploratory play)

  Perhatian pertama anak pada alat bermain adalah memeriksa alat permainan tersebut. Anak memperhatikan alat permainan, mengocok-ngocok apakah ada bunyi, mencium, meraba, menekan dan kadang-kadang membongkar. Contoh permainan yaitu puzzle, origami dan permainan bongkar pasang.

  b) Bermain musik

  Bermain musik dapat mendorong anak untuk mengembangkan tingkah laku sosialnya, yaitu dengan bekerja sama dengan teman sebaya dalam mendengarkan musik, menyanyi atau memainkan alat musik.

  c) Bermain drama (dramatic play)

  Anak memerankan suatu peranan, menirukan karakter yang dikagumi dalam kehidupan yang nyata. Pada permainan ini, contohnya adalah main sandiwara boneka, main rumah- rumahan dengan saudara-saudaranya atau dengan teman- temannya.

  d)

Mengumpulkan atau mengoleksi sesuatu

  Kegiatan ini sering menimbulkan rasa bangga, karena anak mempunyai koleksi lebih banyak daripada teman- temannya. Disamping itu mengumpulkan benda-benda dapat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Anak terdorong untuk bersikap jujur, bekerja sama dan bersaing. Permainan olah raga Permainan olah raga memungkinkan anak banyak menggunakan energi fisik sehingga sangat membantu perkembangan fisiknya. Kegiatan ini mendorong sosialisasi dengan belajar bergaul dan bekerja sama.

  2) Bermain pasif

  Bermain pasif menunjukkan bahwa anak hanya melihat dan mendengar. Bermain pasif ideal apabila anak sudah lelah bermain aktif dan membutuhkan sesuatu untuk mengatasi kebosanan dan keletihannya. Contohnya antara lain melihat gambar-gambar di buku-buku atau majalah, mendengarkan cerita atau musik, menonton televisi dan lain-lain.

  e.

  Alat permainan Alat permainan adalah semua alat yang digunakan oleh anak untuk memenuhi naluri bermainnya dan memiliki berbagai macam sifat mengelompokkan, memperagakan, membentuk, menyempurnakan suatu desain atau menyusun sesuai dengan bentuk utuhnya (Soetjiningsih, 2010). 1)

  Ciri alat permainan untuk anak usia toddler: (Muscari, 2005)

  a) Mengembangkan kemampuan menyamakan dan membedakan

  b) Mengembangkan kemampuan berbahasa

  c) Mengembangkan kemampuan berhitung, menambah dan mengurangi

  Merangsang daya imajinasi dengan berbagai cara permainan berpura-pura e)

  Membedakan benda-benda dengan peralatan

  f) Menumbuhkan sportivitas

  g) Mengembangkan kepercayaan diri dan kreativitas

  h) Mengembangkan koordinasi motorik (melompat, memanjat dan lain-lain). i)

  Memperkenalkan pengertian yang bersifat pengetahuan (terapung dan tenggelam) j)

  Memperkenalkan suasana kompetisi dan gotong royong 2)

  Jenis alat permainan Jenis alat permainan yang dapat digunakan adalah berbagai benda di sekitar rumah, buku gambar, majalah anak-anak, alat gambar dan tulis, kertas untuk melipat, puzzle, menggunting dan lain-lain. Anak dapat melakukan bermain dengan anak sebaya, orang tua dan orang lain di lingkungan rumah (Supartini, 2004).

  f.

  Manfaat bermain dalam mengurangi dampak hospitalisasi Ada banyak manfaat bermain dalam mengurangi dampak hospitalisasi (Wong, 2009) :

  1) Memfasilitasi situasi yang tidak asing

  2) Memberi kesempatan untuk membuat keputusan dan control

  3) Membantu untuk mengurangi stress terhadap perpisahan

  4) Member kesempatan untuk mempelajari tentang fungsi dan bagian tubuh

  Memperbaiki konsep-konsep yang salah tentang penggunaan, tujuan peralatan, dan prosedur medis 6)

  Member peralihan dan relaksasi 7)

  Membantu anak untuk merasa aman dalam lingkungan yang asing 8)

  Memberikan cara untuk mengurangi tekanan dan untuk mengekspresikan perasaan 9)

  Menganjurkan untuk berinteraksi dan mengembangkan sikap-sikap yang positif terhadap orang lain

  Konsep dasar puzzle

  Puzzle merupakan metode menyusun potongan-potongan gambar

  menjadi gambar yang utuh. Gambar adalah sesuatu yang diwujudkan secara visual dalam bentuk dua dimensi sebagai curahan perasaan dan pikiran (Hamalik, 2004). Ada beberapa jenis puzzle antara lain yaitu (Misbah, 2011) : 1)

  Logic puzzle Logic puzzle adalah puzzle yang menggunakan logika.

  Gambar 2.1.Logic puzzle

  Jigsaw puzzle

  Jigsaw puzzle adalah puzzle yang merupakan kepingan-

  kepingan dan disebut dengan jigsaw puzzle karena alat untuk memotong menjadi keping disebut dengan jigsaw.

Gambar 2.2. Jigsaw puzzle

  3) Mechanical puzzle

  Mechanical puzzle adalah puzzle yang kepingannya saling

  berhubungan. Contoh puzzle pada mechanical puzzle adalah some cube dan Chinese wood knots.

Gambar 2.3. Mechanical puzzle

  Combination puzzle

  Combination puzzle adalah puzzle yang dapat diselesaikan

  melalui beberapa kombinasi yang berbeda. Contoh Combination Puzzle adalah Rubik’s cube, Hanoi dan tower.

Gambar 2.4. Combination puzzle Puzzle yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jigsaw Puzzle.

  Jigsaw puzzle adalah puzzle yang merupakan kepingan-kepingan. Puzzle nya berupa bentuk binatang dan mobil. Jenis jigsaw puzzle

  merupakan jenis puzzle yang paling sederhana dan mudah dilakukan untuk anak usia prasekolah. Penggunaan puzzle sebagai alat bermain mempunyai keunggulan dibanding alat permainan yang lain karena merangsang perkembangan kognitif, motorik, dan stimulus anak. Hal ini dapat terlihat pada saat anak bermain akan mencoba melakukan komunikasi dengan bahasa anak, mampu memahami objek permainan, mampu belajar warna, memahami bentuk ukuran dan berbagai manfaat benda yang digunakan dalam permainan sehingga fungsi dari bermain pada model ini akan meningkatkan perkembangan kognitif selanjutnya. Manfaat puzzle

  Puzzle memiliki banyak manfaat, antara lain (Misbah, 2011) :

  1) Meningkatkan kemampuan berpikir dan membuat anak belajar berkonsentrasi.

  Saat bermain puzzle, anak akan melatih sel-sel otaknya untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya dan berkonsentrasi untuk menyelesaikan potongan-potongan kepingan gambar tersebut (Soetjiningsih, 2010).

  2) Melatih koordinasi tangan dan mata

  Puzzle dapat melatih koordinasi tangan dan mata anak untuk

  mencocokkan keping-keping puzzle dan menyusunnya menjadi satu gambar. Puzzle juga membantu anak mengenal dan menghapal bentuk (Hawari, 2008). 3)

  Meningkatkan ketrampilan kognitif Ketrampilan kognitif (cognitive skill) berkaitan dengan kemampuan untuk belajar dan memecahkan masalah. Puzzle adalah permainan yang menarik bagi anak karena anak pada dasarnya menyukai bentuk gambar dan warna yang menarik. Anak akan mencoba memecahkan masalah yaitu menyusun gambar saat bermain puzzle (Misbah, 2011).

  4)

Memperluas pengetahuan

  Anak akan belajar banyak hal, seperti warna, bentuk, angka, huruf. Pengetahuan yang diperoleh dari cara ini biasanya mengesankan bagi anak dibandingkan yang dihafalkan. Anak dapat dan lain-lain (Soetjiningsih, 2010). 5)

  Melatih kesabaran Bermain puzzle membutuhkan ketekunan, kesabaran dan memerlukan waktu untuk berfikir dalam menyelesaikan tantangan

  (Nursalam, 2008). 6)

  Belajar bersosialisasi Dua anak yang bermain bersama-sama tentunya butuh diskusi untuk merancang kepingan-kepingan gambar dari puzzle tersebut.

  Anak yang lebih besar akan merasa senang jika dapat membantu anak yang lebih kecil (Misbah, 2011).

Pengertian Musik

  Musik merupakan suatu bentuk seni yang menyangkut organisasi otak atau kombinasi dari suara atau bunyi dan keadaan diam yang dapat menggambarkan keindahan dan ekspresi dari emosi dalam alur waktu dan ruang tertentu. Musik dapat menyebabkan terjadinya kepuasan estetis melalui indera pendengaran dan memiliki hubungan waktu dan menghasilkan komposisi yang memiliki kesatuan dan kesinambungan (Campbell, 2011).

  Musik dapat di definisikan sebagai suara dan diam yang terorganisasi melalui waktu yang mengalir (dalam ruang), beberapa kesimpulan sementara dan pertanyaan yang muncul adalah musik dari segala sesuatu (Amsila, 2011).

  Musik adalah bunyi atau nada yang menyenangkan untuk di dengar. Musik dapat keras, ribut dan lembut yang membuat orang senang mendengarnya. Orang cenderung untuk mengatakan indah terhadap musik yang di sukainya. Musik ialah bunyi yang di terima oleh individu dan berbeda bergantung kepada sejarah, lokasi,budaya dan selera seseorang (Farida, 2010).

  Melalui musik juga seseorang dapat berusaha untuk menemukan harmoni internal (inner hear). Jadi musik adalah alat yang bermanfaat bagi seseorang untuk menemukan harmoni di dalam dirinya. Hal ini di rasakan perlu, karena dengan adanya harmoni di dalam diri seseorang, ia akan lebih mudah mengatasi stres, ketegangan, rasa sakit dan sebagai gangguan atau gejolak emosi negativ yang di alaminya. Selain itu musik melalui suaranya dapat merubah frekuensi yang tidak harmonis tersebut kembali ke vibrasi yang normal, sehat dan dengan demikian memulihkan kembali keadaan yang normal (Merrit, 2003).

  b.

Pegertian Terapi musik

  Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan yang menggunakan musik di mana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki kondisi fisik, emosi, kognitif dan sosial bagi individu dari berbagai kalangan usia (Suhartini, 2008). Terapi musik adalah materi yang mampu mempengaruhi kondisi seseorang baik fisik maupun mental. Musik memberikan rangsangan pertumbuhan fungsi fungsi otak seperti fungsi kesadaran (Satiadarma, 2004).

  c.

Terapi Musik Lagu Anak-Anak

  Dalam pemberian terapi akademis hendaknya bisa digabungkan dengan terapi musik agar hasil yang didapatkan jauh lebih baik, hal ini bisa dilakukan dengan memberikan hafalan huruf, hitungan, nama nama warna dan anggota badan dalam bentuk lagu atau syair (Agustin, 2005).

  Dengan menggunakan lagu anak-anak, anak juga akan ikut berpatisipasi dalam menyanyikan lagu tersebut, seperti lagu karya Ibu Sud tahun 1942 yang berjudul Menanam Jagung. Lagu tersebut menjadi terapi musik dalam proses pembelajaran mereka ketika mulai mengenal jenis tanaman, lalu menanam hingga memetik hasilnya (Budiman, 2006). Selain itu, penggunaan lagu anak yang berjudul Topi saya bundar. Lagu ini digunakan terapis untuk mengenalkan bentuk bangun lingkaran kepada anak. Dengan iringan musik, terapis menjadi lebih mudah untuk mengenalkan berbagai macam benda kepada anak. Seperti halnya dengan pengenalan bentuk bangun, anak kesulitan untuk mengenal warna. Selain menggunakan alat pewarna, terapis menggunakan lagu anak berjudul Balonku untuk mengenalkan warna pada anak.

  Terapi musik menggunakan lagu anak adalah suatu kegiatan dalam belajar yang mempergunakan musik untuk mencapai tujuan- tujuan seperti merubah tingkah laku, menjaga dan memelihara agar tingkah laku atau kemampuan yang telah dicapai tidak mengalami digunakannya terapi musik pada gangguan autisme adalah membantu penyandang autis agar dapat berperilaku wajar dengan menggunakan suatu pendekatan yang menyenangkan bagi mereka (Yulianti, 2009). Terapi musik menggunakan lagu anak dapat membuat anak menikmati hidup dari kondisinya yang terisolasi menjadi berinteraksi dan meningkatkan perkembangan emosi sosial anak (Yulianti, 2009).

  d.

Cara Kerja Terapi Musik

  Musik bersifat terapeutik artinya dapat menyembuhkan, salah satu alasannya karena musik menghasilkan rangsangan ritmis yang kemudian di tangkap melalui organ pendengaran dan di olah di dalam sistem saraf tubuh dan kelenjar pada otak yang selanjutnya mereorganisasi interpretasi bunyi ke dalam ritme intenal pendengarannya. Ritme internal ini mempengaruhi metabolisme tubuh manusia sehingga prosesnya berlangsung dengan lebih baik. Dengan metabolisme yang lebih baik tubuh akan mampu membangun sistem kekebalan yang lebih baik, dan dengan sistem kekebalan yang lebih baik tubuh menjadi lebih tangguh terhadap kemungkinan serangan penyakit (Satiadarma, 2002). Sebagian besar perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas 2 sistem neuroendokrin yang di kendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal (Prabowo & Regina, 2007).

  Hipotalamus juga di namakan pusat stres otak karena fungsi gandanya dalam keadaan darurat. Fungsi pertamanya adalah menghantarkan impuls saraf ke nukleus. Nukleus di batang otak yang mengendalikan fungsi sistem saraf otonom bereaksi langsung pada otot polos dan organ internal untuk menghasilkan beberapa perubahan tubuh seperti peningkatan denyut jantung dan peningkatan tekanan darah.

  Sistem simpatis juga menstimulasi medula adrenal untuk melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin secara tidak langsung melalui aksinya pada kelenjar hipofisis melepaskan gula dari hati.

  

Ardenal Corticotropin Hormon (ACTH) menstimulasi lapisan luar

  kelenjar adrenal (korteks adrenal) yang menyebabkan pelepasan hormon (salah satu yang utama adalah kortisol) yang meregulasi kadar glukosa dan mineral tertentu (Primadita, 2011).

  Salah satu manfaat musik sebagai terapi adalah self-mastery yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri. Musik mengandung vibrasi energi, vibrasi ini juga mengaktifkan sel-sel di dalam diri seseorang, sehingga dengan aktifnya sel-sel tersebut sistem kekebalan tubuh seseorang lebih berpeluang untuk aktif dan meningkat fungsinya. Selain itu, musik dapat meningkatkan serotonin dan pertumbuhan hormon yang sama baiknya dengan menurunkan hormon ACTH (Satiadarma, 2002). Pemberian intervensi terapi musik klasik membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, melepaskan rasa sakit dan menurunkan tingkat stres, sehingga dapat menyebabkan penurunan kecemasan (Musbikin, 2009). Hal tersebut terjadi karena adanya hormon stres (Djohan, 2005).

  e.

  Tata Cara Pemberian Terapi Musik Belum ada rekomendasi mengenai durasi yang optimal dalam pemberian terapi musik. Seringkali durasi yang diberikan dalam pemberian terapi musik adalah selama 15-20 menit, tetapi untuk masalah kesehatan yang lebih spesifik terapi musik diberikan dengan durasi 30 sampai 45 menit. Ketika mendengarkan terapi musik klien berbaring dengan posisi yang nyaman, sedangkan tempo harus sedikit lebih lambat, 50 - 70 ketukan/menit, menggunakan irama yang tenang (Schou, 2007).

  Bermain adalah salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan salah satu alat yang efektif untuk penatalaksanaan stres, karena sakit dan dirawat di rumah sakit menimbulkan krisis dalam kehidupan anak, dan karena situasi tersebut sering disertai stres berlebihan, maka anak-anak perlu bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka alami sebagai alat koping dalam menghadapi stres tersebut.