BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan - Gita Rendita BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan

  1. Pengertian Menurut Kaplan, kecemasan merupakan respons terhadap situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Seringkali kecemasan juga ditandai dengan perasaan tegang, mudah gugup, kewaspadaan berlebih, dan terkadang menyebabkan keringat pada telapak tangan (Arindra, 2012).

  Kecemasan merupakan bagian dari respon emosional, dimana ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Dimana ansietas dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal. (Stuart, 2006).

  Para ahli mendefinisikan bahwa kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas normal. Sementara ahli lain menyatakan bahwa kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan

  11 menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik (Stuart, 2006).

  2. Respon terhadap kecemasan Aspek-aspek kecemasan terbagi menjadi dua bentuk, yaitu fisiologis dan psikologis (Noerma, 2010).

  a. Fisiologis Bentuk reaksi fisiologis berupa detak jantung meningkat, pencernaan tidak teratur, keringat yang berlebihan, ujung-ujung jari terasa dingin, sering buang air kecil, tidur tidak nyenyak, kepala pusing, nafsu makan hilang, dan sesak nafas (Neorma, 2010).

  Beberapa keluhan yang sering dikemukakan juga ialah rasa sakit pada otot, tulang dan pendengaran berdenging (tinnitus) dan gangguan pola tidur (Hawari, 2011).

  b. Psikologis Pada aspek psikologis, kecemasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

  1) Aspek kognitif Termasuk dalam aspek ini adalah tidak mampu memusatkan perhatian (Noerma, 2010).

  2) Aspek afektif

  Termasuk dalam aspek ini antara lain, takut, merasa akan ditimpa bahaya, kurang mampu memusatkan perhatian, merasa tidak berdaya, tidak tentram, kurang percaya diri, ingin lari dari kenyataan hidup (Noerma, 2010), gangguan daya ingat, mudah terkejut, merasa tegang (Hawari, 2011).

  3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kecemasan Menurut Keable (2003), mengemukakan faktor umum yang dapat menyebabkan kecemasan antara lain; stres di tempat kerja, stres dengan pernikahan atau persahabatan, stres karena keuangan, stres karena penyakit yng diderita, efek samping obat, stres karena trauma emosional, gejala penyakit yang diderita, dan akibat kekurangan oksigen.

  Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya kecemasan, yaitu:

  a. Pengaruh keluarga (misalnya, faktor neurobiologis dan kepribadian); kecemasan disini diartikan sebagai kecemasan yang disebabkan oleh adanya turunan sifat pencemas, dan atau mencemaskan salah seorang atau sekelompok orang di dalam keluarga yang mengalami sesuatu sehingga menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan serta timbul kekhawatiran.

  b. Trauma dari peristiwa-peristiwa psikologis tertentu; kecemasan timbul diakibatkan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan sehingga perasaan menjadi was-was dan terlalu protektif terhadap diri sendiri maupun orang lain.

  c. Stress; tekanan psikologis yang mampu membuat perasaan menjadi sangat gelisah, takut berkepanjangan, tidak tenang, gangguan pada proses berpikir, sukar konsentrasi dan gangguan fisik seperti jantung yang berdebar-debar.

  d. Kegagalan dalam belajar; kecemasan yang disebabkan oleh kegagalan dalam belajar merupakan kecemasan yang disebabkan kurangnya daya atau kemampuan untuk menghadapi kejadian/peristiwa tertentu yang serupa (pernah terjadi) sehingga menimbulkan keresahan dan ketidakmampuan kontrol diri.

  4. Kecemasan pada Kehamilan Adanya ansietas pada kehamilan dapat berakibat kurang baik pada ibu ataupun pada janin. Dampak kurang baik tersebut tidak hanya pada saat kehamilan tetapi dapat berpengaruh juga pada proses kelahiran, pasca kelahiran dan pada masa laktasi. Dari hasil beberapa penelitian dampak buruk yang dapat terjadi akibat ansietas pada kehamilan antara lain: kematian janin intrauterine, abortus, gangguan perkembangan otak janin, kelahiran premature, berat badan lahir rendah. Pada ibu dapat meningkatkan kejadian hipertensi, preeklamsi dan eklamsi. Walaupun belum banyak penelitian yang menghubungkan akibat buruk lain yang dapat terjadi pada kehamilan dengan ansietas, namun atas dasar psikofisiologi dan psikopatologi stres secara umum, tentunya komplikasi atau dampak buruk lain dapat timbul sehubungan dengan adanya gangguan psikosomatik ansietas pada kehamilan (Laksmi dkk., 2008)

  Perkembangan psikologi selama kehamilan bervariasi menurut tahap kehamilan. Pada trimester pertama adalah periode penyesuaian diri, seringkali ibu mencari tanda-tanda untuk lebih meyakinkan bahwa dirinya memang hamil. Perubahan psikologis pada trimester pertama disebabkan karena adaptasi tubuh terhadap peningkatan hormon progesteron dan estrogen. Segera setelah terjadi perubahan, hormon progestereon dan estrogen dalam tubuh akan meningkat dan ini menyebabkan timbulnya rasa mual-mual pada pagi hari, lemah, lelah dan membesarnya payudara (Indrayani, 2011).

  Seringkali pada awal kehamilannya, sekitar 80% ibu melewati kekecewaan, menolak, sedih, gelisah. Kegelisahan timbul karena adanya perasaan takut, takut abortus atau kehamilan dengan penyulit, kecacatan, kematian bayi, kematian saat persalinan, takut rumah sakit dan lain-lain.

  Kegelisahan sering dibarengi dengan mimpi buruk, firasat dan hal ini sangat mengganggu (Indrayani, 2011).

  Pada trimester kedua, dengan mengenali gerakan janin, ibu akan menyadari bahwa janin adalah individu yang berdiri sendiri, yang mempunyai kebutuhan sendiri yang sementara tinggal di dalam tubuhnya (Saifuddin, 2010). Selama trimester ini wanita umumnya merasa baik dan terbebas dari ketidaknyamanan kehamilan. Pada trimester kedua tubuh ibu sudah beradaptasi dengan kadar hormon yang lebih tinggi, sehingga merasa lebih sehat dibandingkan dengan trimester pertama. Periode ini sering disebut periode sehat ibu sudah bebas dari ketidaknyamanan. (Indrayani, 2011).

  Trimester ketiga sering kali disebut periode menunggu penantian dan waspada sebab pada saat itu ibu merasa tidak sabar menunggu kelahiran bayinya. Trimester ketiga adalah waktu untuk mempersiapkan kelahiran dan kedudukan sebagai orangtua seperti terpusatnya perhatian pada kehadiran bayi (Indrayani, 2011).

  Pada trimester ketiga perempuan akan mendapati dirinya sebagai calon ibu dan mulai menyiapkan dirinya untuk hidup bersama bayinya dan membangun hubungan dengan bayinya (Saifuddin, 2010) Pada trimester ketiga biasanya ibu merasa khawatir, takut akan kehidupan dirinya, bayinya, kelainan pada bayi, persalinan, nyeri persalinan dan ibu tidak akan pernah tahu kapan ia akan melahirkan. Pada periode ini ibu tidak sabar menunggu kelahiran bayinya, menuggu tanda-tanda persalinan, perhatian ibu berfokus pada bayinya, gerakan janin dan membesarnya uterus mengingatkannya pada bayinya (Indrayani, 2011).

  Ketidaknyamanan pada trimester ini meningkat, ibu merasa dirinya aneh dan jelek, menjadi lebih ketergantungan, malas dan mudah tersinggung serta merasa menyulitkan. Di samping itu ibu merasa sedih akan berpisah dari bayinya dan kehilangan perhatian khusus yang diterimanya selama hamil. Masa ini juga disebut masa krusial/penuh kemelut untuk beberapa wanita karena adanya krisis identitas, karena mereka mulai berhenti bekerja, kehilangan kontak dengan teman dan kolega. Wanita mempunyai banyak kekhawatiran seperti tindakan mendikalisasi saat persalinan, perubahan body image merasa kehamilannya sangat berat, tidak praktis, kurang atraktif serta takut kehilangan pasangan (Indrayani, 2011).

  5. Tingkat Kecemasan Menurut Videbeck (2008), ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu yaitu: a. Kecemasan ringan Berhubungan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari.

  Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

  b. Kecemasan sedang

  Individu terfokus pada pikiran yang menjadi perhatiannya, terjadi penyempitan, masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.

  c. Kecemasan berat Kecemasan ini sangat mengurangi persepsi individu.

  Cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan atau perintah untuk berfokus pada area lain.

  d. Panik Individu kehilangan kendali diri. Karena hilangnya control, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah.

  Terjadi peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidka mampu berfungsi secara efektif.

  6. Alat ukur tingkat kecemasan Kecemasan seseorang dapat diukur dengan menggunakan instrument Hamilton Ansietas Rating Scale (HARS), Analog Ansietas

  , Zung Self-Rating Ansietas Scale (ZSAS), dan Trait Ansietas

  Scale

Inventory Form Z-I (STAI Form Z-I). Zung Self-Rating Ansietas Scale

  (ZSAS) dirancang untuk meneliti kecemasan secara kuantitatif. Instrument ZSAS dikembangkan oleh William W.K Zung pada tahun 1997 (Astria, 2009).

B. Preeklamsi

  1. Pengertian Pre-eklampsia merupakan keadaan yang khas pada kehamilan yang ditandai dengan gejala edema, hipertensi, serta proteinuria yang terjadi setelah usia kehamilan 28 minggu dan belum diketahui penyebabnya. Tetapi ada faktor tertentu sebagai predisposisi yaitu kekhasan pada kehamilan terutama pada primigravida, overdistensi uterus (kehamilan kembar, polihidramnion, abnormalitas janin), penyakit ginjal, hipertensi essensial, diabetes, dan disfungsi plasenta (Armagustini, 2010).

  Preeklampsia dan eklampsia merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias: hipertensi, proteinuria dan edema, yang kadang-kadang disertai konvulsi sampai koma. Ibu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya (Puspita, 2013).

  2. Tanda dan gejala Tanda-tanda terjadinya preeklamsi pada ibu hamil adalah:

  a. Hipertensi

  Terjadinya peningkatan tekanan sistolik sekurang-kurangnya 30 mm Hg, atau peningkatan tekanan diastolik sekurang-kurangnya 15 mm Hg, atau adanya tekanan sistolik sekurang-kurangnya 140 mmHg, atau tekanan diastolik sekurang-kurangnya 90 mm Hg atau lebih atau dengan kenaikan 20 mm Hg atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai diagnosa. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat. Tetapi bila diastolik sudah mencapai 100 mmHg atau lebih, ini sebuah indikasi terjadi preeklampsia berat.

  b. Proteinuria Proteinuria yang merupakan tanda diagnostik preeklampsi dapat terjadi karena kerusakan glomerulus ginjal. Dalam keadaan normal, proteoglikan dalam membran dasar glomerulus menyebabkan muatan listrik negatif terhadap protein, sehingga hasil akhir filtrat glomerulus adalah bebas protein. Pada penyakit ginjal tertentu, muatan negatif proteoglikan menjadi hilang sehingga terjadi nefropati dan proteinuria atau albuminuria. Salah satu dampak dari disfungsi endotel yang ada pada preeklampsi adalah nefropati ginjal karena peningkatan permeabilitas vaskular. Proses tersebut dapat menjelaskan terjadinya proteinuria pada preeklampsi. Kadar kreatinin plasma pada preeklampsi umumnya normal atau naik sedikit (1,0-1,5mg/dl). Hal ini disebabkan karena preeklampsi menghambat filtrasi, sedangkan kehamilan memacu filtrasi sehingga terjadi kesimpangan (Guyton, 2007).

  c. Edema Edema adalah PIH (preegnacy indused hypertension) yang paling tidak tepat karena edema dependen normal terjadi pada kehamilan dan hingga 40% pasien dengan PIH (preegnacy indused hypertension) tidak mengalami edama, kriteria berikut dapat mempermudah diagnosis yaitu Penambahan berat badan > 2 pon/minggu karena pengaruh kehamilan dan Edema non dependen pada tangan dan muka yang timbul pada saat bangun tidur pagi (Guyton, 2007).

  Berikut ini merupakan tanda-tanda atau gejala preeklampsia: (Rozikhan, 2007) d. Sakit kepala yang keras karena vasospasmus atau oedema otak.

  e. Sakit di ulu hati karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau edema, atau sakit kerena perubahan pada lambung.

  f. Gangguan penglihatan: Penglihatan menjadi kabur malahan kadang- kadang pasien buta. Gangguan ini disebabkan vasospasmus, edema atau ablation retinae. Perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoscop.

  g. Gangguan pernafasan sampai sianosis

  h. Pada keadaan berat akan diikuti gangguan kesadaran

  3. Macam-macam preeklamsia Preeklampsia ini dibagi dalam preeklampsia ringan dan berat.Preeklampsia ringan masih dapat berobat jalan dengan diet rendah garam dan kontrol setiap minggu.Disamping itu diberikan nasihat bila keluhan makin meningkat disertai gangguan subjektif maka disarankan untuk segera kembali memeriksakan diri.Preeklampsia berat merupakan kelanjutan preeklampsia ringan(Armagustini, 2010). Preeklampsia dibagi menjadi beberapa golongan yaitu: (Indriani, 2012)

  a. preeklampsia ringan, bila disetai keadaan sebagai berikut:

  1. Tekanan darah 140/90mmHg atau kenaikan diastolic 15 mmHg atau lebih atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih pada usia kehamilan 20 minggu dengan riwayat tekanan darah sebelumnya normal.

  2. Proteinuria ≥0,3 gr per liter atau kuantitatif 1+ atau 2+ pada urine keteter atau midstream.

  b. Preeklampsia berat,bila disetai keadaan sebagai berikut: 1. tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih

  2. Proteinuria 5gr per liter atau lebih dalam 24 jam atau kuantitatif 3+ atau 4+

  3. Oliguri, yaitu jumlah urine <500 cc per 24 jam

  4. Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium

  5. Terdapat edema paru dan sianosissi hati

  6. Pertumbuhan janin terhambat

  c. Eklampsia: pada umumnya gejala eclampsia didahului dengan semakin memburuknya preeklampsia. Apabila keadaan ini tidak dikenali dan diobati segera maka akan timbul kejang terutama pada saat persalinan. Eklampsia merupakan keadaan langka yang tidak dapat terjadi mendadak tanpa didahului preeklampsia, yang ditandai dengan terjadinya kejang. Kejang biasanya didahului adanya peningkatan intensitas pre-eklmpsia, gejala majemuk yang bertambah, mata yang berputar-putar, kedutan, dan pernapasan yang tidak teratur (Retnowati, 2010).

  4. Pencegahan Preeklampsia Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti, dapat menemukan tanda-tanda bahaya sedini mungkin, lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat, selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya preeklampsia. Walaupun timbulnya preeklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi sepenuhnya, namun frekuensi terjadinya masih dapat dikurangi dengan pelaksanaan pengawasan yang baik pada ibu hamil (Indriani, 2012)

  5. Penanganan Preeklampsia Konsep pengobatannya harus dapat mematahkan mata rantai iskemia regio uteoplasenter sehingga gejala hipertensi dalam kehamilan dapat diturunkan (Manuaba, 2007). Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklampsia adalah (Cunningham, 2006):

  a. Terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan janinnya b. Lahirnya bayi yang kemudian dapat berkembang

  c. Pemulihan sempurna kesehatan ibu Berikut merupakan penanganan preeklampsia sesuai dengan jenis preeklampsianya: a. Preeklampsia ringan

  Penderita preeklampsia ringan biasanya tidak dirawat dan harus lebih sering melakukan pemeriksaan antenatal dengan memantau tekanan darah, urine (untuk proteinuria), dan kondisi janin.Selain itu Pasien diminta untuk istirahat, dan juga konseling pasien dengan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya.Obat anti hipertensi dan diuretik belum direkomendasikan untuk digunakan pada penderita preeklampsia ringan kecuali jika terdapat edema paru, dekompensatio kordis atau gagal ginjal akut (Artikasari, 2009).

  b. Preeklampsia berat Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalinan harus berlangsungdalam 12 jam setelah timbulnya kejang pada eklampsia. Semua kasus preeklampsia berat harus ditangani secara aktif (Artikasari, 2009). Pengelolaan preeklampsia berat mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat yang tepat untuk persalinan. Pengelolaan cairan pada preeklampsia bertujuan untuk mencegah terjadinya edema paru dan oliguria.Diuretikum diberikan jika terjadi edema paru dan payah jantung.Pemberian obat antikejang pada preeclampsia bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang (eklampsia).Obat yang digunakan sebagai antikejang antara lain diazepam, fenitoin, dan magnesium sulfat (MgSO4). MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia (sebagai tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai pencegahan kejang) (Kemenkes RI, 2013).

  6. Karakteristik penyebab preeklampsia a. Umur Kehamilan bagi wanita dengan umur muda maupun umur tua merupakan suatu keadaan yang dapat menimbulkan risiko komplikasi dan kematian ibu.Pada Umur 20-35 tahun adalah periode yang aman untuk melahirkan dengan risiko kesakitan dan kematian ibu yang paling rendah.Penelitian yang dilakukan oleh Langelo, dkk (2013), menunjukan bahwa wanita umur<20 tahun dan >35 tahun memiliki risiko 3,37 kali dibandingkan wanita umur 20-35 tahun.

  Selain itu, hasil penelitian Asrianti (2009 ) menyimpulkan bahwa umur ibu hamil <20 tahun dan >35 tahun berisiko 3,144 kali mengalami preeklampsia, penelitian Salim (2005) juga menyebutkan usia ibu hamil < 20 tahun atau = 35 tahun berisiko 3,615 kali lebih besar untuk mengalami preeklampsia, serta hasil penelitian Ferida (2007) menyimpulkan, ibu hamil dengan usia yang sama berisiko 3,659 kali lebih besar untuk mengalami preeklampsia. Pada umur kurang dari 20 tahun, rahim dan panggul seringkali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa.

  Akibatnya ibu hamil pada umur itu berisiko mengalami penyulit pada kehamilannya dikarenakan belum matangnya alat reproduksinya.Keadaan tersebut diperparah jika ada tekanan (stress) psikologi saat kehamilan (Sukaesih, 2012). Pada umur 35 tahun atau lebih, kesehatan ibu sudah menurun akibatnya ibu hamil pada usia itu mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai anak cacat, persalinan lama dan perdarahan. Disamping itu, pada wanita usia>35 tahun sering terjadi kekakuan pada bibir rahim sehingga menimbulkan perdarahan hebat yang bila tidak segera diatasi dapat menyebabkan kematian ibu (Armagustini, 2010). Wanita usia remaja yang hamil untuk pertama kali dan wanita yang hamil pada usia >35 tahun akan mempunyai risiko yang sangat tinggi untuk mengalami preeklampsia (Indriani, 2012).

  b. Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Seseorang yang memiliki pendidikan tinggi maka akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Oleh karena itu,

  Pendidikan sangat erat hubungannya dengan pengetahuan seseorang.Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akan menentukan sikap dan perilaku seseorang. (Sulistiyani, 2013).

  Hasil penelitian Supriandono (2001) menyebutkan menyebutkan bahwa 93,9% penderita preeklampsia berpendidikan kurang dari 12 tahun.

  Menurut hasil penelitian Nuryani, dkk (2012) menunjukan bahwa ibu yang mengalami preeklampsia 63,1% memiliki pendidikan kurang dan ibuyang memiliki pendidikan rendah 2,190 akan mengalami kejadiaan preeklampsia dari pada ibu yang memiliki pendidikan tinggi.Pendidikan seseorang berhubungan dengan kesempatan dalam menyerap informasi mengenai pencegahan dan faktor-faktor risiko preeklampsia. Tetapi pendidikan ini akan dipengaruhi oleh seberapa besar motivasi, atau dukungan lingkungan seseorang untuk menerapkan pencegahan dan faktor risiko preeklampsia/eklampsia (Djannah, 2010).

  c. Paritas Persalinan yang berulang-ulang akan mempunyai banyak risiko terhadap kehamilan, telah terbukti bahwa persalinan kedua dan ketiga adalah persalinan yang paling aman. Pada The New England Journal

  

of Medicine tercatat bahwa pada kehamilan pertama risiko terjadi

  preeklampsia 3,9% , kehamilan kedua 1,7%, dan kehamilan ketiga 1,8%. Paritas yang berisiko mengalami komplikasi yaitu apabila tidak hamil selama 8 tahun atau lebih sejak kehamilan terakhir, mengalami kehamilan dengan durasi sedikitnya 20 minggu sebanyak 5 kali atau lebih, dan kehamilan terjadi dalam waktu 3 bulan dari persalinan terakhir (Lockhart, 2014).

  Paritas 2 sampai 3 merupakan paritas yang paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal.Paritas 1 dan paritas tinggi >3 mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi, semakin tinggi paritas semakin tinggi kematian maternal. Hal tersebut dikarenakan pada setiap kehamilan terjadi peregangan rahim, jika kehamilan berlangsung terus menerus maka Rahimakan semakin melemah sehingga dikhawatirkan akan terjadi gangguan pada saat kehamilan, persalinan, dan nifas (Sukaesih, 2012).

  d. Status pekerjaan ibu Faktorpekerjaanibu dapat mempengaruhi terjadinya resiko preeklampsia/eklampsia.Wanita yang bekerja diluar rumah memiliki risiko lebih tinggi mengalami preeklampsia dibandingkan dengan ibu rumah tangga.Pekerjaan dikaitkan dengan adanya aktifitas fisik dan stress yang merupakan faktor resiko terjadinya preeklampsia (Indriani, 2012).

  Pekerjaan dikaitkan dengan adanya aktifitas fisik dan stress yang merupakan faktor resiko terjadinya preeklampsia. Akan tetapi, pada kelompok ibu yang tidak bekerja dengan tingkat pendapatan yang rendah akan menyebabkan frekuensi ANC berkurang di samping dengan pendapatan yang rendah menyebabkan kualitas gizi juga rendah. Kecuali itu pada kelompok buruh/tani biasanya juga dari kalangan pendidikan rendah kurang sehingga pengetahuan untuk ANC maupun gizi juga berkurang.Sosial ekonomi rendah menyebabkan kemampuan daya beli berkurang sehingga asupan gizi juga berkurang terutama protein.Akibatnya kejadian atau masalah-masalah dalam kehamilan seperti preeklampsia, molahidatidosa, partus prematurus, keguguran dan lain-lain (Djannah, 2010).

  e. Jarak kehamilan dengan persalinan sebelumnya Selama kehamilan sumber biologis dalam tubuh ibu secara sistematis terpakai dan untuk kehamilan berikutnya dibutuhkan waktu

  2-4 tahun agar kondisi tubuh ibu kembali seperti kondisi sebelumnya. Apabila terjadi kehamilan sebelum 2 tahun, kesehatan ibu akan mundur secara progresif. Jarak yang aman bagi wanita untuk melahirkan kembali paling sedikit 2 tahun.Hal ini agar wanita dapat pulih setelah masa kehamilan dan laktasi.Ibu yang hamil lagi sebelum 2 tahun sejak kelahiran anak terakhir seringkali mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan.

  Hasil penelitian Rozikhan (2007), menunjukan bahwa ibu dengan jarak kehamilan yang dekat atau kurang dari 24 bulan mempunyai risiko terjadi preeklampsia berat yaitu 0,92 kali dibandingkan dengan seorang ibu dengan jarak kehamilan 24 bulan atau lebih. Wanita dengan jarak kelahiran <2 tahun juga mempunyai risiko dua kali lebih besar mengalami kematian dibandingkan jarak kelahiran yang lebih lama (Armagustini, 2010).

C. Kerangka Teori

  Karakteristik preeklamsi:

  1. Umur

  2. Pendidikan

  3. Paritas

  4. Status pekerjaan ibu Factor-faktor yang

  5. Jarak kehamilan mempengaruhi kecemasan: kecemasan preeklamsi

  1. Pengaruh keluarga

  2. Trauma

  3. Stress

  4. Kegagalan dalam belajar Sumber : Indriana (2012), Keable (2003). (Modifikasi)

D. Kerangka Konsep Variabel independent Variabel Dependent

  Tingkat Kecemasan Kejadian kehamlan preeklamasi

Gambar 2.2 kerangka konsep E.

Hipotesis

  Ha: Ada hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian kehamilan preeklamsi pada ibu hamil trimester 3 di wilayah kerja Puskesmas Purwanegara Ho: Tidak ada hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian kehamilan preeklamsi pada ibu hamil trimester 3 di wilayah kerja Puskesmas

  Purwanegara.