3. BAB I, II DAN III

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan prinsip desentralisasi fiskal dalam otonomi

  daerah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk dapat merencanakan dan menggunakan anggaran daerah secara lebih leluasa. Desentralisasi Fiskal menurut Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 dapat didefinisikan sebagai penyerahan sebagian tanggung jawab fiskal atau keuangan negara dari pemerintah pusat kepada jenjang pemerintah dibawahnya (provinsi, kabupaten atau kota). Desentralisasi fiskal dimaksudkan untuk mempermudah pemerintah dalam mengelola keuangan daerah dan membawa pemerintah untuk lebih memahami keinginan masyarakat, sehingga pemerintah akan mampu melaksanakan otonomi daerah yang bertanggung jawab.

  Penyelenggaraan desentralisasi fiskal tentu akan memberikan kontribusi serta manfaat yang besar dalam menyukseskan otonomi daerah. Desentralisasi Fiskal sangat erat kaitannya dengan penyelenggaraan otonomi daerah dan pengelolaan keuangan daerah. Dengan berlakunya otonomi daerah yang berkonsekuensi pada desentralisasi fiskal menimbulkan reaksi yang berbeda-beda bagi daerah. Pemerintah daerah memiliki sumber kekayaan atau pendapatan yang harus dikelola untuk mensukseskan otonomi daerah. maka dari itu, Pemerintah Daerah dapat mengatur pengelolaan keuangan daerah dengan harapan terjadinya keseimbangan yang lebih transparan dan akuntabel dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah secara optimal sesuai dinamika dan tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang (Adisasmita; 2011: 88).

  Pengelolaan keuangan daerah merupakan serangkaian kegiatan manajemen yang dilakukan untuk memanajemen keuangan yang ada di daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengelolaan keuangan daerah di era otonomi dan reformasi anggaran berdasarkan Permendagri No.

  13 Tahun 2006 sudah menggunakan Sistem Anggaran Berbasis Kinerja sehingga dalam menyusun Anggaran Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah harus menggunakan sistem Penganggaran Berbasis Kinerja. Anggaran daerah merupakan alat dalam pengelolaan keuangan daerah, yang digunakan untuk menentukan besaran pendapatan dan pengeluaran, membantu dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan.

  Dengan beberapa penjelasan mengenai anggaran daerah diatas, hal tersebut menjelaskan bahwasannya peran anggaran daerah dalam pengelolaan keuangan daerah sangatlah penting. Sehingga jika sistem penganggaran yang dilaksanakan itu baik, maka pengelolaan keuangan daerah juga pasti baik.

  Sistem penganggaran yang baik sesuai reformasi anggaran dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah sistem penganggaran yang berbasis kinerja. Karena penganggaran Berbasis Kinerja menjadikan sistem anggaran yang dulunya bersifat line-item dan incrementalism (anggaran yang hanya mendasarkan pada besaran realisasi anggaran tahun sebelumnya) menjadi bersifat performance budgeting (anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja). Bastian (2006: 170-171) juga mengungkapkan bahwasannya Penganggaran Berbasis Kinerja pada dasarnya adalah sebuah sistem penganggaran yang berorientasi pada output organisasi dan berkaitan erat dengan visi, misi dan rencana strategis organisasi. Penganggaran berbasis kinerja bertujuan untuk menunjukkan keterkaitan antara pendanaan dengan kinerja yang akan dicapai, meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam penganggaran, meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas dan pengelolaan anggaran.

  Salah satu daerah yang menerapkan Penganggaran Berbasis Kinerja adalah Kabupaten Gresik. Kabupaten Gresik merupakan salah satu kota industri yang sudah mandiri, artinya sudah menjalankan daerahnya dengan asas Otonomi Daerah. Sehingga diperlukan pengelolaan keuangan daerah yang baik, agar dapat menjalankan otomi daerah secara efektif dan efisien. Penganggaran Berbasis Kinerja menjadikan pengelolaan keuangan daerah lebih bermanfaat, karena dana yang dikeluarkan lebih jelas penggunaannya melalui output dan outcome yang dihasilkan.

  Mengingat bahwa penerapan penganggarn berbasis kinerja memang sangat penting, maka Kabupaten Gresik telah menerapakan penganggaran berbasisi kinerja. Kabupaten Gresik sudah mulai menerapakan penganggaran berbasis kinerja sejak tahun 2009. Hal ini juga disampaikan oleh Sekretaris Tim Anggaran Pemerintahan Daerah Kabupaten Gresik bahwa Kabupaten Gresik saat ini sudah menerapkan Penganggaran Berbasis Kinerja namun masih belum maksimal, karena perubahan sistem itu tidak mudah sehingga membutuhkan waktu untuk perubahan yang maksimal. Hal senada juga diungkapkan oleh pihak Wakil Badan Anggaran DPRD Kabupaten Gresik, bahwasannya Kabupaten Gresik sudah mulai menerapkan Penganggaran Berbasis Kinerja sejak tahun 2009 namun sampai saat ini masih kurang maksimal pelaksanaanya.

  Berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal peneliti, menurut LSM Prakarsa Jawa Timur Kabupaten Gresik masih menggunakan penganggaran yang incremental, yakni berdasarkan pada besarnya anggaran. Karena itulah diperlukan pemahaman terhadap penerapan yang sudah dilakukan serta mengidentifikasi kendala yang muncul dalam penerapan sistem penganggaran di Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik, agar nantinya penganggaran berbasis kinerja dapat dilaksanakan secara maksimal.

  Untuk itu berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian yang ingin diangkat penulis berjudul :

  “ PENERAPAN

SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DALAM

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (Studi pada

Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik). Penelitian ini diharapkan

  akan menjawab permasalahan dan isu yang berkembang mengenai penerapan penganggaran yang kurang maksimal dan menemukan kendala apa saja yang menyebabkan kurang maksimalnya penerapan penganggaran berbasisis kinerja di Kabupaten Gresik. Sehingga peneliti dapat memberikan hasil penelitian, memberikan gambaran serta menjabarkan penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja serta kendala-kendala yang muncul dalam penerapan Sistem Penganggaran Berbasis Kinerja dalam Pengelolaan Keuangan Daerah yang ada di Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik.

B. Rumusan Masalah

  Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan penelitian ini adalah: 1.

  Bagaimana Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja dalam Pengelolaan Keuangan Daerah di Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik? 2. Apa Kendala yang dihadapi pada penerapan

  Penganggaran Berbasis Kinerja dalam Pengelolaan Keuangan Daerah di Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian tentang

  “ PENERAPAN SISTEM

PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DALAM

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (Studi pada

Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik ).” Bertujuan untuk; Tujuan Umum: a.

  Melaksanakan Penelitian yang diajukan sebagai Tugas Akhir (Skripsi) untuk mendapatkan gelar Sarjana Administrasi Publik.

  b.

  Meningkatkan kompetensi serta memberikan tambahan informasi terkait sistem penganggaran yang berbasis kinerja secara teori maupun praktik.

  Tujuan Khusus: a.

  Untuk mendapatkan gambaran mengenai Pencapaian Penerapan sistem “Penganggaran Berbasis Kinerja” (performance based budgeting) dalam Pengelolaan Keuangan di Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik.

  b.

  Untuk Menggambarkan dan menjelaskan berbagai kendala dan hambatan dalam penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting ) dalam Pengelolaan Keuangan Daerah di Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik.

  D. Manfaat Penelitian

  Manfaat yang diperoleh dari hasil penerapan penganggaran berbasis kinerja dalam pengelolaan keuangan daerah pada pamerintah daerah Kabupaten Gresik, adalah sebagai berikut;

  Manfaat Teoritis a.

  Penelitian ini diharapkan Dapat memberikan informasi berharga mengenai penerapan penganggaran Berbasis Kinerja dalam pengelolaan keuangan daerah di Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik.

  b.

  Penelitian ini diharapkan Dapat memberikan sumbangan teori konseptual berupa prinsip serta peraturan dalam penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja.

  c.

  Penelitian ini juga diharapkan Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka meningkatkan kualitas kerja instansi pemerintah penyusunan Penganggaran yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah.

  Manfaat Praktis

  Secara praktis,penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut; a.

  Sebagai bahan dan masukan dalam memperbaiki penerapan penganggaran berbasis kinerja di Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik.

  b.

  Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pihak yang memerlukan pemahaman mengenai pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja.

  c.

  Sebagai masukan bagi SKPD Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik dalam penerapan Sistem Penganggaran Berbasis Kinerja.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Desentralisasi Fiskal 1. Pengertian Desentralisasi Fiskal Istilah Desentralisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di jelaskan bahwa sistem pemerintahan yang

  lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah atau pada pengertian kedua di jelaskan bahwa desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang pimpinan kepada bawahan (atau pusat kepada cabang). Desentralisasi sangat berkaitan erat dengan kekuasaan atau wewenang yang diberikan dalam pemerintahan sehingga desentralisasi sering digunakan dalam urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang paling Vital adalah masalah keuangan negara yang biasa disebut dengan kata fiskal. Sehingga desentralisasi pada keuangan dikenal dengan istilah desentralisasi fiskal. Istilah fiskal berasal dari bahasa inggris fiscalyang berarti perbendaharaan negara. Kata Fiskal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai urusan pajak atau pendapatan negara.

  Desentralisasi Fiskal menurut Undang-Undang No.

  32 Tahun 2004 dapat didefinisikan sebagai penyerahan sebagian tanggung jawab fiskal atau keuangan negara dari pemerintah pusat kepada jenjang pemerintah dibawahnya (provinsi, kabupaten atau kota). Desentralisasi fiskal dimaksudkan untuk mempermudah pemerintah dalam mengelola keuangan daerah dan membawa pemerintah untuk lebih memahami keinginan masyarakat, sehingga pemerintah akan mampu melaksanakan otonomi daerah yang bertanggung jawab. Senada dengan hal itu, Kajatmiko (dalam Halim; 2007: 193) mengemukakan bahwa desentralisasi fiskal mengandung makna untuk mendukung penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah.

2. Manfaat Desentralisasi Fiskal

  Penyelenggaraan desentralisasi fiskal tentu akan memberikan kontribusi serta manfaat yang besar dalam menyukseskan otonomi daerah. Otonomi daerah secara utuh dilaksanakan sejak januari 2001, berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang- Undang No. 25 Tahun 1999 yang sekarang direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 dan No. 33 Tahun 2004 menjadi awal berjalannya otonomi daerah atau yang biasa kita dengar dengan reformasi pemerintahan daerah dan reformasi pengelolaan keuangan daerah. Misi utama kedua Undang-Undang tersebut adalah desentralisasi fiskal.

  Menurut Adisasmita, (2011: 87) Desentralisasi fiskal yang menjadi Misi utama Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah ini diharapkan akan mampu menghasilkan manfaat nyata, yaitu: 1.

  Mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan di seluruh daerah di Indonesia.

  2. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambil keputusan ke tingkat pemerintah yang lebih rendah.

B. Pengelolaan Keuangan Daerah

  Sesuai pada pembahasan sebelumnya, Desentralisasi Fiskal sangat erat kaitannya dengan penyelenggaraan otonomi daerah dan pengelolaan keuangan daerah. Dengan berlakunya otonomi daerah yang berkonsekuensi pada desentralisasi fiskal menimbulkan reaksi yang berbeda-beda bagi daerah. Pemerintah daerah memiliki sumber kekayaan atau pendapatan yang harus dikelola untuk mensukseskan otonomi daerah. Terkait dengan penyelenggaraan pengelolaan keuangan di daerah, maka berdasarkan PP 105 Tahun 2000, Pemerintah Daerah dapat mengatur pengelolaan keuangan daerah dengan harapan terjadinya keseimbangan yang lebih transparan dan akuntabel dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah secara optimal sesuai dinamika dan tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang (Adisasmita; 2011: 88).

1. Pengertian Pengelolaan Keuangan Daerah

  Pengelolaan merupakan istilah yang dipakai dalam ilmu manajemen secara etimologi pengelolaan berasal dari ka ta “kelola” (to manage) dan yang merujuk pada proses mengurus atau menangani sesuatu untuk mencapai tujuan. Sejalan dengan pendapat Balderton (dalam Westra; 1983: 14 (dalam Adisasmita; 2011: 21)) yang mengemukakan bahwa istilah pengelolaan sama dengan manajemen yaitu menggerakkan, mengorganisasikan, dan mengarahkan usaha manusia untuk memanfaatkan secara efektif material dan fasilitas untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan istilah keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah (adisasmita; 2011: 34).

  Maka pengertian pengelolaan keuangan daerah yang dijelaskan dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan dalam keuangan daerah. Yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah seperti yang telah didefinisikan pada paragraf sebelumnya yang merupakan segala bentuk kekayaan dan yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan hak dan kewajiban daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. sehingga dapat disimpulkan bahwa pengelolaan keuangan daerah merupakan serangkaian kegiatan manajemen yang dilakukan untuk memanajemen keuangan yang ada di daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.

2. Prinsip-prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah

  Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah di era otonomi dan reformasi anggaran berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 sudah menggunakan Sistem Anggaran Berbasis Kinerja. Prinsip dalam pengelolaan keuangan tersebut, terdiri dari: Transparansi, Akuntabilitas dan Value for Money. Penjelasan terhadap ketiga prinsip tersebut menurut Adisasmita (2011: 29) dapat diuraikan pada uraian berikut:

  “Transparansi anggaran berarti keterbukaan dalam setiap proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan anggaran daerah, sehingga masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses penganggaran daerah karena menyangkut kepentingan, aspirasi dan upaya pemecahan permasalahan yang mereka hadapi untuk memenuhi kebutuhanya.” “Sedangkan Akuntabilitas adalah (1) usaha instansi pemerintah dalam memperoleh kepercayaan dari warga dengan memperlihatkan umpan balik sebagai wujud pelayanan atas penghasilan yang diberikan warga, (2) prinsip tanggung jawab dalam pengelolaan keuangan daerah, dimana pengelolaan keuangan negara dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (publik) sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi dan perundang-undangan yang berlaku.” “Dan Value for Money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam penganggaran yakni ekonomi, efisiensi dan efektifitas. Adapaun ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna). Sedangkan efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target- target atau tujuan kepentingan publik.” Sehingga dengan ketiga prinsip diatas, kita akan memahami bagaimana pelaksanaan pengelolaan

keuangan daerah yang seharusnya terjadi pada suatu daerah yang telah menggunakan era otonomi dan reformasi anggaran.

3. Tahapan Kegiatan dalam Pengelolaan Keuangan dan Penganggaran Daerah

  Pengelolaan keuangan daerah merupakan serangkaian kegiatan yang utuh dan saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Sehingga tahapan kegiatan dalam pengelolaan keuangan daerah harus dilaksanakan secara keseluruhan. Adisasmita (2011: 35) mengatakan bahwa kegiatan pengelolaan keuangan daerah meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan. Kegiatan- kegiatan dalam pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian terbesar dari anggaran daerah.

  Anggaran daerah merupakan alat dalam pengelolaan keuangan daerah, yang digunakan untuk menentukan besaran pendapatan dan pengeluaran, membantu dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan. Sama dengan pendapat Chalit, 1976 (dalam Adisasmita;2011: 50) menyatakan bahwa dalam anggaran daerah dibuatlah bentuk kongkrit rencana kerja keuangan daerah yang komprehensif yang mengaitkan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah yang dinyatakan dalam bentuk uang untuk mencapai tujuan atau target yang direncanakan dalam jangka waktu tertentu dalam satu tahun anggaran. Dengan beberapa penjelasan mengenai anggaran daerah diatas, hal tersebut menjelaskan bahwasannya peran anggaran daerah dalam pengelolaan keuangan daerah sangatlah penting. Sehingga jika sistem penganggaran yang dilaksanakan itu baik, maka pengelolaan keuangan daerah juga pasti baik.

  Dalam anggaran daerah terdapat siklus pengelolaan anggaran yang terdiri dari perancanaan, persetujuan, pelaksanaan, pelaporan dan pemeriksaan/ pertanggungjawaban. Seknas Fitra, 2010 juga mengungkapkan bahwa pengelolaan anggaran daerah terdiri dari 4 tahap kegiatan, yakni perencanaan anggaran, pembahasan anggaran, pelaksanaan anggaran dan pertanggungjawaban anggaran. Dari beberapa gabungan pendapat diatas, dan pertimbangan peneliti, 5 tahap pengelolaan keuangan daerah yang baik itu terdiri dari lima tahap kegiatan. Lima tahapan yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan pertimbangan peneliti dan thesis (Widyantoro; 2009) tersebut meliputi: Perencanaan Anggaran Kinerja, Pelaksanan Anggaran, Pengukuran Kinerja, Evaluasi Kinerja dan Pelaporan Kinerja.Ulasan lebih lanjut mengenai 5 kegiatan tersebut, adalah sebagai berikut: a. Perencanaan Anggaran Kinerja

  Perencanaan merupakan bagian terpenting dalam pengelolaan keuangan daerah, sebelum melakukan tahapan dan kegiatan selanjutnya perlu dilakukan perencanaan. Seperti yang diungkapkan Siagian (dalam adisasmita; 2011: 63) bahwa perencanaan merupakan kegiatan berfikir karena merencanakan memang didahului oleh konseptualisasi usaha sebelum bertindak.

  b.

  .Pelaksanaan Anggaran Pelaksanaan anggaran merupakan tahap selanjutnya setelah perencanaan. Pelaksanaan anggaran berupakan kegiatan yang dilakukan untuk mensukseskan perencanaan. Senada dengan ungkapan westra,dkk (1989: 210), (dalam adisasmita; 2011: 210) bahwa pelaksanaan anggaran adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk melaksanakan semua rencana dan kebijakan yang telah dirumuskan dan ditetapkan dengan melengkapi segala kebutuhan yang diperlukan.

  c.

  Pengukuran Kinerja Kegiatan Pengukuran kinerja merupakan proses penilaian kemajuan pelaksanaan kegiatan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dan efektifitas pencapaian sasaran (Pedoman PBK; 2009: 26). Tahapan kegiatan pengukuran kinerja merupakan kegiatan yang diperlukan dalam sistem penganggaran kinerja.

  d.

  Evaluasi Kinerja Kegiatan Evaluasi kinerja kegiatan merupakan proses penilaian terhadap tujuan dan pengungkapan kendala, baik pada saat penyusunan maupun pada saat implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja kebijakan (Pedoman PBK; 2009: 27). Evaluasi kinerja kegiatan ini juga merupakan tahap dalam penganggaran yang berfungsi untuk memperbaiki kinerja di masa lalu sebagai dasar dan pelajaran untuk kinerja di masa mendatang.

  e.

  Pelaporan Kinerja Sedangkan pelaporan kinerja sama halnya dengan kegiatan yang disebut sebagai pertanggungjawaban anggaran dalam pengelolaan keuangan daerah. dalam pemerintah daerah laporan kinerja yang disusun berupa LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja).Lakip merupakansalah satu bentuk pertanggngjawaban sebagaimana instruksi presiden melalui inpres nomor 7 tahun 1999 tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang kemudian dipertegas kembali melalui keputusan LAN nomor 239/IX/6/8/2003 tanggal 25 Maret 2003 tentang pedoman penyusunan laporan akuntabilitas instansi pemerintah.

  C.

  

Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based

Budgeting)

  Seperti pada pembahasan pada poin sebelumnya, pengelolaan keuangan daerah di era otonomi saat ini harus sudah menerapkan penganggaran berbasis kinerja. Dalam peelaksanaan otonomi dan desentralisasi, memberi peluang kepada kabupaten/kota untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah dalam bentuk reformasi anggaran. Aspek utama dari reformasi anggaran adalah perubahan dari traditional budgedke performance budged. Traditional budged didominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line- item dan incrementalism, yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besaran realisasi anggaran tahun sebelumnya. Sedangkan sistem penganggaran performance budgeting yakni sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja (Adisasmita; 2011: 29).

1. Pengertian Penganggaran Berbasis Kinerja

  Performance budgetatau Penganggaran kinerja pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti berorientasi pada kepentingan publik ( Mardiasmo, 2002:105). Senada dengan pendapat Putri (dalam adisasmita; 2011: 27) yang menyatakan bahwa penganggaran kinerja adalah anggaran yang menghubungkan pengeluaran dan hasil yang diinginkan.

  Lebih lanjut mengenai Pengertian Penganggaran Berbasis Kinerja, Bastian (2006: 170-171) juga mengungkapkan bahwasannya Penganggaran Berbasis Kinerja pada dasarnya adalah sebuah sistem penganggaran yang berorientasi pada output organisasi dan berkaitan erat dengan visi, misi dan rencana strategis organisasi. Sistem penganggaran yang berbasis kinerja (Performance Based Budgeting) merupakan sistem yang saat ini berkembang pesat dan banyak dipakai oleh negara-negara maju di dunia sebagai pengganti sistem penganggaran lama yaitu sistem Line Item Budgeting.

  Dengan demikian berdasarkan pemahaman pengertian Penganggaran Berbasis Kinerja yang telah dikemukakan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Penganggaran Berbasis Kinerja merupakan perbaikan dari sistem anggaran yang berorientasi pada besarnya anggaran, yang kini menjadi penganggaran yang berorientasi pada hasil dan target serta melihat input yang masuk, sehingga anggaran dan keuangan daerah dapat dikelola secara efektif dan efisien.

2. Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja

  Performance Budgeting diperkenalkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1949, tetapi praktiknya mengalami kegagalan (Schiavo-Campo dan Tommasi, 1999 (dalam Bastian; 2006:171)). Namun, pada reformasi anggaran tahun 1990-an, beberapa karakteristik penting dari performance budgeting dianggap sangat bermanfaat dan kemudian dikembangkan bersama dalam konteks reformasi administrasi publik. Sehingga Penganggaran Berbasis Kinerja menjadi penting dan banyak diterapkan di berbagai negara.

  Dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja tentu memiliki tujuan-tujuan sehingga hingga saat ini masih digunakan dalam sistem penganggaran di Indonesia. Pendekatan anggaran berbasis kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam anggaran tradisional, khususnya kelemahan yang disebabakan oleh tidak adanya tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik. Berbeda dengan hal diatas, tujuan penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja Menurut Robinson and Last (2009: 2) bahwasanya performancebased budgeting bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengeluaran publik dengan mengaitkan pendanaan organisasi sektor publik dengan hasil yang dicapai dengan penggunaan informasi kinerja secara sistematik.

  Dalam penerapan penganggaran tentu banyak tata cara untuk meraih kesuksesan dalam penerapannya. Salah satunya menurut pendapat Robinson dan Last (2009: 3) yang menyatakan bahwa penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) hanya dapat berhasil jika setiap satuan kerja yang melakukan pengeluaran anggaran (spending agency) diharuskan untuk: a.

  Secara eksplisit mendefinisikan outcome yang pelayanannya diberikan kepada masyarakat, b.

  Menyediakan indikator kinerja kunci untuk mengukur efektifitas dan efisiensi pelayanannya untuk menteri keuangan dan pembuat keputusan politik kunci selama proses penyusunan anggaran.

  Terkait penerapan penganggaran berbasis kinerja, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Buku Pedoman Penyusunan Penganggaran Berbasis Kinerja, yang dikeluarkan melalui Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah (2008: 8)Dalam rangka penerapan Anggaran Berbasis Kinerja, terdapat elemen-elemen utama yang harus harus ditetapkan terlebih dahulu dalam penganggaran berbasis kinerja yaitu:

1. Renstra (Rencana Stratejik)

  Renstra merupakan analisis dan pengambilan keputusan stratejik tentang masa depan organisasi untuk menempatkan dirinya pada masa yang akan datang. Terdapat beberapa langkah yang lazim dalam melakukan perencanaan stratejik yaitu merumuskan: a.

  Visi dan Misi Visi mengacu kepada hal yang ingin dicapai dalam jangka panjang sedangkan misi adalah kerangka yang menggambarkan bagaimana visi akan dicapai.

  b. Tujuan dan Sasaran Tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi dan misi. Tujuan tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang menunjukkan tahapan –tahapan yang harus dilalui dalam rangka mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Tujuan harus menggambarkan arah yang jelas serta tantangan yang realisitis. Tujuan yang baik bercirikan, antara lain memberikan gambaran pelayanan utama yang akan disediakan, secara jelas menggambarkan arah organisasi dan program- programnya, menantang namun realistis, mengidentifikasikan obyek yang akan dilayani serta apa yang hendak dicapai. Sedangkan Sasaran menggambarkan langkah-langkah yang spesifik dan terukur untuk mencapai tujuan. Sasaran akan membantu penyusun anggaran untuk mencapai tujuan dengan menetapkan target tertentu dan terukur. Kriteria sasaran yang baik adalah dilakukan dengan menggunakan kriteria spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan ada batasan waktu (specific, measurable, achievable, relevant, timely/SMART) dan yang tidak kalah penting bahwa sasaran tersebut harus mendukung tujuan (support goal).

2. Rencana Kinerja

  Perencanaan kinerja merupakan komponen kunci untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pemerintah daerah. karena perencanaan kinerja membantu pemerintah untuk mencapai tujuan yang sudah diidentifikasikan dalam rencana stratejik. Didalam pembuatan rencana kinerja harus terdapat: a.

  Program.

  Program adalah sekumpulan kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai bagian dari usaha untuk mencapai serangkaian tujuan dan sasaran. Program dibagi menjadi kegiatan dan harus disertai dengan target sasaran output dan outcome. Program yang baik harus mempunyai keterkaitan dengan tujuan dan sasaran serta masuk akal dan dapat dicapai.

  b. Kegiatan.

  Kegiatan adalah serangkaian pelayanan yang mempunyai maksud menghasilkan output dan hasil yang penting untuk pencapaian program. Kegiatan yang baik kriterianya adalah harus dapat mendukung pencapaian program. Dalam menyusun anggaran berdasarkan kinerja, organisasi ataupun unit organisasi tidak hanya diwajibkan menyusun anggaran atas dasar fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja tetapi juga menetapkan kinerja yang ingin dicapai. Kinerja tersebut antara lain dalam bentuk keluaran (output) dari kegiatan yang akan dilaksanakan dan hasil (outcome) dari program yang telah ditetapkan. Apabila telah ditetapkan prestasi (kinerja) yang hendak dicapai, baru kemudian dihitung pendanaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan keluaran atau hasil yang ditargetkan sesuai rencana kinerja.

  Pada kedua hal yang telah dijelaskan sebelumnya terkait program dan kegiatan, program dan kegiatan merupakan langkah yang sistematis dan terpadu guna mencapai tujuan dan sasaran, maka dalam penyusunannya harus menggunakan beberapa komponen yang perlu diterapkan dalam penyusunan penganggaran berbasis kinerja.Tiga komponen untuk masing –masing program dan kegiatan sebagaimana uraian Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga (dalam Pedoman PBK; 2009: 14), yakni terdiri dari: 1.

   Indikator Kinerja

  Indikator kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan. Indikator kinerja yang digunakan terdiri dari Key Performance

  Indicator (KPI) diterjemahkan sebagai Indikator Kinerja Utama Program (IKU Program) untuk menilai kinerja program, Indikator Kinerja Kegiatan (IK Kegiatan) untuk menilai kinerja kegiatan, dan Indikator Keluaran untuk menilai kinerja subkegiatan (tingkatan dibawah kegiatan).

2. Standar Biaya

  Standar biaya yang digunakan merupakan standar biaya masukan pada awal tahap perencanaan anggaran berbasis kinerja, dan nantinya menjadi standar biaya keluaran. Pengertian tersebut diterjemahkan berupa Standar Biaya Umum (SBU) dan Standar Biaya Khusus (SBK). SBU digunakan lintas kementrian negara/lembaga dan/atau lintas wilayah, sedangkan SBK digunakan oleh kementrian negara/lembaga tertentu dan/atau wilayah tertentu. Kementrian negara/lembaga diharuskan untuk merumuskan keluaran kegiatan beserta alokasi anggarannya. Alokasi anggaran tersebut dalam proses penyusunan anggaran mendasarkan pada prakiraan cara pelaksanaannya (asumsi). Pada saat pelaksanaan kegiatan, cara pelaksanaan kegiatan dapat saja berbeda sesuai dengan kondisi yang ada, sepanjang keluaran kegiatan tetap dapat dicapai. Sudut pandang pemikiran tersebut sejalan dengan prinsip let the manager manage.

3. Evaluasi Kinerja

  Evaluasi kinerja dimulai dari pengukuran kinerja. Secara umum, kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu, dimana dalam mengukur keberhasilan/kegagalan suatu organisasi, seluruh aktifitas organisasi tersebut harus dapat dicatat dan diukur. Evaluasi kinerja merupakan proses penilaian dan pengungkapan masalah implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja, baik dari sisi efisiensi dan efektivitas dari suatu program/ kegiatan.

  Dari beberapa elemen dan komponen yang diperlukan dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja diatas, peneliti menarik kesimpulan bahwa dalam penerapan penganggaran penganggaran berbasis kinerja diperlukan: Rencana Stratejik, Rencana Kinerja, Indikator Kinerja, Standar Biaya dan Evaluasi Kinerja agar penerapan penganggaran berbasis kinerja dapat berjalan maksimal. Sehingga peneliti menggunakan gabungan komponen dan elemen diatas menjadiindikator penelitian yang diperlukan dalam penelitian penerapan penganggaran berbasis kinerja. Indikator yang digunakan peneliti, disajikan pada tabel 2.1 dibawah ini:

Tabel 2.1 Indikator Analisis Penerapan Sistem Anggaran

  

Berbasis Kinerja dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

Elemen yang harus ditetapkan

  a.

  Rencana

  dalam menerapkan

  Stratejik

  penganggaran berbasis kinerja b.

  Rencana Kerja

  Tiga komponen yang c.

  Indikator

  diperlukan dalam program

  Kinerja

  dan kegiatan sesuai

  d. Standart Biaya

  penganggaran berbasis e.

  Evaluasi Kinerja

  kinerja

Tabel 2.1 diatas, dimaksudkan untuk mengambarkan secara rinci indikator yang digunakan

  peneliti dalam penelitiannya, sehingga dapat menjawab pertanyaan peneliti terkait penerapan penganggaran berbasis kinerja di lokasi penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti. Dimana terdapat lima indikator yang nantinyaakan menjabarkan penerapan penganggaran berbasis kinerja dalam pengelolaan keuangan daerah di lokasi terkait, yang meliputi: Rencana Stratejik, Rencana Kinerja, Indikator Kinerja, Standar Biaya dan Evaluasi Kinerja.

  Sedangkan untuk melihat keberhasilan dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja sendiri, terdapat faktor-faktor yang dapat menyebabkan keberhasilan implementasi penganggaran berbasis kinerja. Faktor-faktor inilah yang akan digunakan peneliti untuk menganalisis berbagai kendala yang muncul dan menentukan solusi atas kendala dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja. Faktor-faktor ini disebutkan dalam Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasisi Kinerja (Deputi IV BPKP) (2008: 29), yakni sebagai berikut: (1)Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi; (2)Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus; (3)Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang, waktu dan orang); (4)Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas dan (5)Keinginan yang kuat untuk berhasil.

  Dengan kelima faktor diatas inilah, peneliti akan menganalisis permasalahan yang akan muncul dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja. Sehingga permasalahan yang muncul akan mendapatkan solusi serta perbaikan dengan kelima faktor yang mendukung keberhasilan penerapan Pada penerapan penganggaran berbasis kinerja.

  Penyusunan anggaran berbasis kinerja juga tidak terlepas dari siklus perencanaan, pelaksanaan, pelaporan/pertanggungjawaban atas anggaran itu sendiri. Seperti siklus dalam pengelolaan keuangan daerah. Dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja, perencanaan sudah dijelaskan sebelumnya pada bahasan renstra dan rencana kinerja, kemudian pelaksanaanya juga sudah dijelaskan dengan penyusunan indikator, standart biaya dan evaluasi kinerja. Sedangkan untuk pelaporan dalam penganggaran berbasis kinerja akan diuraikan dalam poin selanjutnya.

3. Pelaporan dalam Penganggaran Berbasis Kinerja

  Dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja juga diperlukan pelaporan. Pelaporan penganggaran berbasis kinerja merupakan pelaporan terhadap pencapaian kinerja anggaran yang dapat dituangkan dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. (Pedoman Penyusunan ABK; 2008: 15). Sistem AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang diantaranya adalah Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan kemudian dipertegas kembali melalui keputusan LAN nomor 239/IX/6/8/2003 tanggal 25 Maret 2003 tentang pedoman penyusunan laporan akuntabilitas instansi pemerintah serta Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

  Keputusan Kepala LAN No.239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, menjelaskan bahwa akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dakam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sistem pertanggungjawaban secara periodik.

  Dari beberapa peraturan tersebut diatas, setiap Instansi Pemerintah diwajibkan mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Sistem AKIP), dimana tujuannya adalah untuk mendorong terciptanya Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah sebagai salah satu prasyarat untuk terciptanya pemerintahan yang baik (good govermance). Sistem AKIP pada dasarnya merupakan sistem manajemen berorientasi pada hasil, yang merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan instansi pemerintah yang akuntabel, sehingga dapat beroperasi secara efesien, efektif, transparan, serta responsive terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungan. Dengan demikian pada hakekatnya sistem AKIP ini merupakan perwujudan dari Penganggaran Berbasis Kinerja (Widyiantoro; 2010: 23).

  Dengan menerapkan Sistem AKIP, setiap instansi pemerintah harus meliputi tahap - tahap berdasarkan keputusan Lembaga Administrasi Negara (LAN) nomor 239/IX/6/8/2003 tanggal 25 Maret 2003 tentang pedoman penyusunan laporan akuntabilitas instansi pemerintah: a.

  Perencanaaen Stratejik Perencanaan stratejik merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1(satu) sampai dengan 5 (lima) tahun secara sistematis dan berkesinambungan dengan memperhitungkan potensi. peluang, dan kendala yang ada atau yang mungkin timbul. Proses ini menghasilkan suatu rencana stratejik instansi pemerintah, yang memuat visi misi, tujuan, sasaran, strateji, kebijakan, dan program serta ukuran keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaannya.

  b. Perencanaan Kinerja Perencanaan kinerja merupakan proses penetapan kegiatan tahunan dan indikator kinerja berdasarkan program,kebijakan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam rencana stratejik. Hasil dari proses ini berupa rencana kinerja tahunan.Komponen rencana Kinerja meliputi Sasaran, Program, Kegiatan, dan Indikator Kinerja Kegiatan.

  c.

  Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja adalah proses sistematis dan berkesinambungan untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program, kebijakan, sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam mewujudkan visi.misi dan strateji instansi pemerintah. Proses ini dimaksudkan untuk menilai pencapaian setiap indikator kinerja guna memberikan gambaran tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. Selanjutnya dilakukan pula analisis akuntabilitas kinerja yang menggambarkan keterkaitan pencapaian kinerja kegiatan dengan program dan kebijakan dalam rangka mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi sebagaimana yanmg ditetapkan dalam rencana stratejik. Pengukuran kinerja mencakup: (1) kinerja kegiatan yang merupakan tingkat pencapaian target (rencana tingkat capaian) dari masing-masing kelompok indikator kinerja kegiatan, dan (2) tingkat pencapaian sasaran instansi pemerintah yang merupakan tingkat pencapaian target (rencana tingkat capaian) dari masing-masing indikator sasaran yang telah ditetapkan sebagaimana dituangkan dalam dokumen Rencana Kinerja. Pengukuran kinerja dimaksud dapat dilakukah denganmenggunakan formulir Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) dan Formulir Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS).

  d.

  Evaluasi kinerja Berdasarkan hasil-hasil perhitungan formulir PKK, dilakukan evaluasi terhadap pencapaian setiap indikator kinerja kegiatan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hal-hal yang mendukung keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu kegiatan. Evaluasi bertujuan agar diketahui pencapaian realisasi, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam rangka pencapaian misi, agar dapat dinilai dan dipelajari guna perbaikan pelaksanaan program/kegiatan di masa yang akan datang.

  Selain itu, dalam evaluasi kinerja dilakukan pula analisis efisiensi dengan cara membandingkan antara output dengan input baik untuk rencana maupun realisasi. Analisis ini menggambarkan tingkat efisiensi yang dilakukan oleh instansi dengan memberikan data nilai output per unit yang dihasilkan oleh suatu input tertentu. Selanjutnya dilakukan pula pengukuran/penentuan tingkat efektivitas yang menggambarkan tingkat kesesuaian antara tujuan dengan hasil, manfaat atau dampak. Selain itu, evaluasi juga dilakukan terhadap setiap perbedaan kinerja (performance gap) yang terjadi, baik terhadap penyebab terjadinya gap maupun strateji. pemecahan masalah yang telah dan akan dilaksanakan.

  e. Pelaporan Kinerja Setiap instansi pemerintah berkewajiban untuk menyiapkan, menyusun dan menyampaikan laporan kinerja secara tertulis, periodik dan melembaga. Pelaporan kinerja ini dimaksudkan untuk mengkomunikasikan capaian kinerja instansi pemerintah dalam suatu tahun anggaran yang dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan dan sasaran instansi pemerintah. Instansi pemerintah yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan dan menjelaskan keberhasilan dan kegagalan tingkat kinerja yang dicapainya. Pelaporan kinerja oleh instansi pemerintah ini kemudian dituangkan dalam dokumen Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). LAKIP dapat dikategorikan sebagai laporan rutin, karena paling tidak disusun dan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan setahun sekali.

  LAKIP menyajikan uraian tentang kinerja instansi pemerintah dalam arti keberhasilan dan kegagalan pencapaian sasaran dan tujuan instansi pemerintah. Di samping itu, perlu juga dimasukkan dalam LAKIP aspek keuangan yang secara langsung mengaitkan hubungan antara anggaran negara yang dibelanjakan dengan hasil atau manfaat yang diperoleh.

D. Penelitian Terdahulu

  Penelitian terdahulu merupakan hasil intrepretasi dan penelitian yang telah ada sebelumnya dan menghasilkan teori-teori baru. Hal ini akan menjadi rujukan dan pemberi gambaran pada peneliti untuk memperjelas penelitiannya dan memberikan gambaran pembeda yang dilakukan oleh peneliti. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang digunakan peneliti sebagai bahan rujukan dan pembeda dalam penelitian. Beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan rujukan oleh peneliti, diuraikan dalam tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu Keteranga Penelitian I Penelitian II n

  

Nama Ari Eko Widyantoro. 2009. Haspiarti. 2012. Pengaruh

peneliti, Implementasi Performance Based Penerapan Anggaran

Tahun, Budgeting: Sebuah Kajian Berbasis Kinerja Terhadap

Judul

  Fenomenologis (Studi Kasus pada Akuntabilitas Kinerja

  Penelitian,

  Universitas Diponegoro). Instansi Pemerintah (Studi

  dan

  Universitas Diponegoro. pada Pemerintah Kota

  Instansi

  Parepare). Universitas Hasanuddin Makassar.

  Rumusan

  1. Bagaimana pemahaman Bagaimana Pengaruh

  

Masalah pegawai tentang Penganggaran Perencanaan Anggaran,

  Berbasis Kinerja dan Pelaksanaan Anggaran, seberapa jauh pencapaian Pelaporan/ pelaksanaan Penganggaran Pertanggungjawaban Berbasis Kinerja di Universitas Anggaran dan Evaluasi Diponegoro? Kinerja terhadap

  2. Apa saja yang menjadi kendala Akuntabilitas Kinerja dalam pelaksanaan Instansi Pemerintah? Penganggaran Berbasis Kinerja diUniversitas Diponegoro dan bagaimana mengatasinya?

  Fokus Berfokus pada pencapaian

  pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja dan kendala dalam pelaksanaanya di Universitas Diponegoro.

  Berfokus pada pengaruh perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan evaluasi terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

  Hasil Penelitian

  Secara umum pegawai di Universitas Diponegoro sudah memahami maknaPenganggaran Berbasis Kinerja, yaitu penganggaran yang berorientasi pada output kinerja yang dihasilkan.Meskipun sudah memahami makna Penganggaran Berbasis Kinerja, sejauh ini Undip belum melaksanakan Penganggaran Berbasis Kinerja dengan benar, karena:

  a. Pada tahap perencanaan kinerja, rencana kerja dibuat dulu barudisambungkan dengan Rencana Strategis. Disamping itu pembuatan rencanabelanja tidak diawali dengan pembuatan target pendapatan.

  b. Pada tahap pelaksanaan anggaran, banyak terjadi penyimpangan daridokumen perencanaan yang sudahdibuat.

  c. Pengukuran kinerja belum dilakukan dengan benarterutama untuk indikatoroutput dan outcomes.

  d. Pada tahap evaluasi,pencapaian kinerja belum dievaluasi dengan rencana strategis dan konsep value for Money. Disamping itu sistem kontrol danevaluasi belum